GUS-JI-GANG
SEBAGAI
SOCIAL
CAPITAL
KOMUNITAS PENGUSAHA INDUSTRI KECIL
BISNIS KELUARGA BORDIR
Pendahuluan
Dalam bab ini dikemukakan fenomena komunitas Industri Kecil Bisnis Keluarga (IKBK) bordir beserta karakter perilakunya yang mendasari dan memperkuat social capital melalui dialektika sosial pengembangan parameter social capital yaitu: (1) Prinsip ajo mitunani wong liya sebagai norma dan nilai, (2) Prinsip nyaur ngamek sebagai dasar kepercayaan bisnis, (3) Prinsip tuna satak bathi sanak sebagai dasar membangun jaringan usaha. (4) Sistem hubungan sosial yang terorganisir, dan (5) Hubungan timbal balik yang saling meng-untungkan.
Perwujudan
Gus-ji-gang
sebagai
Social Capital
Gus-ji-gang di dalam persoalan duniawi dengan melakukan kegiatan ekonomi atau dagang dalam rangka memperoleh rejeki dihubungkan dengan tawakal, karena pada dasarnya perilaku tawakal adalah membangun transendensi kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Perilaku tawakal pada diri pengusaha di Kabupaten Kudus dalam kehidupan ekonomi yang menekankan pada mencari keuntungan dengan bekerja keras dan sungguh-sunguh serta selalu dekat dengan Tuhannya, telah menjadikan dasar membentuk pengusaha masyarakat Kudus memiliki kepribadian luhur atau “Gus” dalam Gus-ji-gang yaitu perilaku bagus (jujur dan dapat dipercaya) serta perilaku “Ji” dalam meningkatkan kekuatan religius dengan berhaji atau mengaji. “Gus” dan “Ji” bertemu dalam kegiatan praktik disebut dagang. Pertemuan itu oleh Bourdieu disebut dengan praktik merupakan realitas sosial, yang dalam bahasa Bourdieu, merupakan sebuah proses “dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi internalitas”1 yang dapat
memunculkan habitus.
Dalam proses interaksi dialektis itulah struktur objektif dan pengertian-pengertian subjektif, struktur dan agen bertemu. Pertemuan itu disebut Bourdieu dengan praktik2. Praktik diatur dan
berlangsungnya struktur kewajiban (obligations) terpenuhi dengan baik, adanya ekspektasi dan kepercayaan lingkungan sosial secara baik. Artinya dalam struktur sosial memiliki kepercayaan sangat tinggi maka akan mendatangkan social capital yang lebih baik daripada kondisi sebaliknya. Kedua, jaringan informasi, yakni aktor (pengusaha IKBK bordir sebagai pelaku) yang mendapatkan dan atau memiliki basis jaringan informasi komunikasi lebih luas akan memiliki social capital lebih besar. Ketiga, nilai dan norma sebagai struktur sosial yang memiliki sifat kondusif bagi suatu komunitas, maka akan menjadi pendorong terhadap kemajuan dan perubahan yang lebih baik dan struktur sosial yang demikian ini memiliki social capital yang lebih baik.
Hal ini terjadi karena dalam kehidupan sosial, kebanyakan aktor (individu atau kelompok) cenderung menerima dunia sosial apa adanya serta terjadi interaksi antar-sruktur dan tindakan agen sebagai elemen social capital (Hasbulah, 2006) yang terdiri dari enam elemen yaitu keluarga dan kerabat3, kehidupan asosiasi kelompok4, jaringan
sosial5, masyarakat politik6, institusi7, dan norma atau nilai-nilai sosial8,
yang saling mempengaruhi di dalam rangka membentuk social capital. Elemen-elemen social capital akan menjadi sumber munculnya interaksi sosial antara orang-orang dalam satu komunitas industri kecil berbasis keluarga.
Gus-ji-gang
sebagai Dasar Pembentukan
Social Capital
di
Kalangan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis
Keluarga Bordir
Norma yang tumbuh di lingkungan pengusaha IKBK bordir disebabkan juga oleh keyakinan agama yang dianut (Islam) oleh sebagian besar pengusaha IKBK bordir.
Di kalangan komunitas IKBK bordir terdapat suatu nilai atau norma yang timbul akibat hubungan timbal balik di antara sesamanya, yang menumbuhkan ikatan sosial atau kesetiakawanan sosial. Norma-norma yang ada merupakan peraturan secara informal yang mengatur tentang hubungan serta tata kehidupan berdagang sehingga menumbuhkan trust atau kepercayaan antara satu sama lain.
Norma yang tumbuh di lingkungan IKBK bordir didasarkan pada nilai keyakinan agama (Islam) yang dianutnya. Seperti yang dikatakan Bapak H.Moch Ansori9:
“Setiap umat Islam yang melakukan kegiatan bisnis,
termasuk di Padurenan Kecamatan Gebog, pasti didasarkan pada akidah Islam yang menuntut nilai-nilai ke-Tuhanan yang mendasari etos kerja bagi seorang muslim, seperti berakhak baik sebagai keutamaan karakter. Hal ini dapat membentuk suatu sikap wirausahawan yang tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga memiliki tanggung
jawab sosial di lingkungannya”
Peneliti dan staf pengajar STAIN Sunan Kudus Bapak Nur Said10 menjelaskan mengenai etos kerja seorang muslim di Kudus
sebagai berikut:
“Aspek moral sangat ditonjolkan bagi masyarakat Kudus, di
samping memiliki semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu juga memiliki etos kerja yang diandalkan, kemudian
muncul konsep „Gus-ji-gang”, yaitu harus bagus akhlak, pinter ngaji dan pinter berdagang. Memposisikan Gus-ji-gang
sebagai tanda bagi masyarakat di Kudus yang memiliki hubungan paradigma dengan Kanjeng Sunan Kudus yang
“waliyyul ilmy” dan”wali saudagar”.
termasuk dalam melakukan transaksi. Karenanya untuk kerperluan tersebut sangat diperlukan nilai dan norma guna mengatur dalam berperilaku dalam bertransaksi yang saling menguntungkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Fukuyama (1999) bahwa sekumpulan nilai informal atau norma yang menyebar di antara kelompok yang memungkinkan kerja sama terjadi di antara mereka. Kerja sama tersebut terjadi apabila antar anggota kelompok masyarakat tersebut memenuhi apa yang diharapkan antara mereka bahwa lainnya akan bertingkah laku dengan dapat diandalkan dan memiliki kejujuran, kemudian mereka akan saling mempercayai satu sama lain. Kepercayaan adalah seperti minyak pelumas yang membuat jalannya organisasi lebih efisien.
Selanjutnya Lawang (2005) mengatakan bahwa, norma menjadi social capital haruslah bersifat positif, dengan alasan, bahwa (a) social capital itu harus mendorong pertumbuhan ekonomi; kalau tidak demikian maka bukan dinamakan kapital, (b) social capital mampu membuat pertumbuhan ekonomi itu berdampak pada peningkatan kesejahteraan sosial, tidak hanya sebatas bagi yang termasuk dalam lingkungan persahabatan itu khususnya, tetapi masyarakat secara luas.
Menurut H.Gufron11 tokoh masyarakat Desa Padurenan dan
pengurus KSU Padurenan Jaya, menjelaskan bahwa nilai ke-Tuhanan yang tinggi tersebut oleh individu pengusaha dalam menyeimbangkan dan menyelaraskan kepentingan bisnis dan tanggung jawab sosial sebagai mahkluk sosial yang bermasyarakat, hal itu diungkapkan sebagai berikut:
kehidupan kebersamaan di masyarakat sini melakukan kegiatan-kegiatan kumpulan keagamaan harus diikuti pada malam harinya seperti pengajian, slametan”.
Bentuk-bentuk ketaatan terhadap norma agama dalam kegiatan keagamaan masyarakat Kudus misalnya tadarusan, pengajian maupun slametan, dan selapanan akan digunakan masyarakat sebagai ajang silaturahmi termasuk para pengusaha, tetangga dan para kerabat dengan tujuan untuk meningkatkan kerja sama, kepercayaan. Menurut Baharudin (2010), ajang silaturahmi banyak dipergunakan para pelaku usaha untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap usaha bisnisnya, contoh kepercayaan adalah keluarga, sebagian besar bisnis yang berlangsung sejak dulu hingga saat ini dalam bisnis–bisnis keluarga. Para pengusaha IKBK bordir sebagai bisnis keluarga yang didasarkan atas basis kepercayaan.
Betapa pentingnya kepercayaan bagi pengusaha, maka Glasser et.al (2000) menjelaskan bahwa, kepercayaan sebagai modal dasar dan dapat memperkuat kohesi social capital. Kepercayaan sebagai modal dasar merupakan dasar dari social capital itu sendiri, sebab dengan memiliki kepercayaan maka akan timbul suatu harapan dan melalui harapan yang didasari kepercayaan dapat mempermudah melakukan kerja sama dan dapat melakukan transaksi dalam kegiatan bisnis. Menurut Lawang (2005) ada 3 (tiga) substansi pokok yang saling terkait untuk membangun kepercayaan yaitu: (i) Hubungan sosial antara dua orang atau lebih (termasuk di dalamnya institusi yang diwakili oleh orang), (ii) dalam hubungan tersebut, terdapat harapan yang bilamana diwujudkan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak, (iii) Hubungan dan harapan ini dimungkinkan melalui interaksi sosial. Jadi berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan merupakan “hubungan dua pihak atau lebih” yang memuat harapan yang menguntungkan dua pihak atau lebih melalui interaksi sosial12. Kepercayaan tidak saja membina sebuah hubungan
(dalam Fukuyama, 2007) adalah pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur, dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dari komunitas itu. Norma yang berlaku di dalam masyarakat, sering disebut dengan norma sosial.
Tolok ukur keberhasilan bisnis, secara ekonomis yaitu menghasilkan keuntungan. Menurut Bertens (2000), ada tiga tolok ukur berdasarkan sistem hukum dan menurut norma yaitu: a).Tidak betentangan dengan suara hati nurani, yaitu sesuatu (nilai) yang terkait dengan keyakinan terdalam. Hati nurani adalah menyangkut tentang integritas pribadi manusia. Karena hati nurani besifat subyektif, sehingga tidak terbuka dengan orang lain, sebagai norma moral hati nurani acapkali sulit untuk dipakai sebagai ukuran umum; b) untuk obyektivitas maka perlu disertai norma-norma lain, yaitu memperlakukan orang lain, sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan atau tidak memperlakukan sesuatu tindakan tertentu pada orang lain, karena diri sendiri tidak ingin diperlakukan sebagaimana tindakan tertentu tersebut dari orang lain, c) guna efektivitasnya diperlukan pula ”penilaian umum” atau penilaian masyarakat sebagai “audit sosial”, yang seluas dan seterbuka mungkin.
Pengusaha bordir sebagai manusia tidak hanya sebagai homo economicus yang hanya mementingkan keuntungan semata, tetapi masih memiliki aspek lain yang tidak kalah pentingnya dalam menentukan pola perilaku dan tindakan dalam berdagang, misalnya nilai dan norma, kepercayaan, hubungan timbal balik maupun pengembangan jejaring usaha.
Pengusaha sebagai individu dan anggota suatu masyarakat menjaga kepercayaan dalam suatu interaksi sosial akan menjadi suatu yang sangat penting jika interaksi sosial tersebut dilandasi oleh kepercayaan, hal ini sebagaimana yang diungkapkan beberapa pengusaha IKBK bordir sebagai berikut:
“injih leres sanget, menawi bisnis meniko kedah kathah rencangipun, kalian sinten kemawon lan dipunlandasi roso pithadosan, khan aneh kekancan tanpo kepithadosan kodos pundi”
Artinya:
Sangat benar, dalam bisnis harus banyak teman, dengan siapa saja dan dilandasi rasa kepercayaan, kan aneh bila berteman tanpa dilandasi kepercayaan, gimana.
Ibu Nurul Hikmah14 mengatakan:
“Hubungan antar teman usaha atau bukan teman usaha itu harus didasari rasa percaya, kalau tidak kan lucu”
Bapak Moch Anshori15 mengatakan:
“menjalin silaturahmi dengan sesamanya itu perintah Allah, maka pasti didasari rasa saling percaya, kalau tidak didasari saling percaya ya silaturahmi tidak akan berjalan baik, apalagi dalam bisnis”.
Bapak H.Hasan16 mengatakan:
“berteman dalam berbisnis itu penting, tapi yang tidak kalah pentingnya berteman bisnis dengan menjaga kepercayaan
supaya hubungan dapat terjaga berjalan terus”.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang dikemukakan para informan di atas dapat dipahami bahwa setiap melakukan hubungan antar-individu yang dibangun para pengusaha tersebut dengan orang lain selalu dilandasi dengan kepercayaan. Menurut mereka kepercayaan merupakan kekuatan moral17 yang di dalamnya secara
implisit ada pada kalimat ajo mitunani wong liya artinya jangan merugikan orang lain. Menurut Suseno (2005), kalimat itu merupakan norma moral terpenting dan atau prinsip dasarnya etika sosial Jawa. Tujuan sikap integrasi dengan kekuatan moral aja mitunani wong liyo18
Sedangkan menurut Bapak Nur Syafiq pengusaha bordir berusia 55 tahun, untuk mempercayai seseorang dalam hubungan bisnis, beliau tidak langsung percaya pada orang yang baru dikenal, yang penting dalam menghadapi harus bersikap baik dan ramah meskipun harus lebih hati-hati dalam mengambil keputusan apakah akan mempercayai orang tersebut atau tidak. Hal itu dilakukan karena sekarang banyak sekali orang yang berpenampilan dan tutur kata baik tetapi orang tersebut seorang penipu dan sering bohong. Kehati-hatian itu karena modal saya kecil maka kalau ditipu bagaimana. Berikut ini ungkapan dari Bapak Nur Syafiq20 yang menyatakan:
“Kodhos pundi jaman sakmeniko katah tiyang sering apus-apus, kito kedhah atos-atos menawi bisnis, menopo malih kaliyan tiyang enggal kenalipun, menawi tiyang meniko sampun dipun kenal lami lan sampun mangertos athen-athen nipun ya kawulo pitados, amargi modal kawulo alit, mangke menawi dipun apusi kadhos pundi, ingkang baku kito kedah ramah lan sopon kaliyan sinthen kemawon ,inggih alhamdulillah kawolu dereng nate kapusan”
Artinya:
Bagaimana jaman sekarang banyak orang sering menipu, kita harus hati-hati kalau bisnis, apalagi dengan orang yang baru dikenal, tetapi kalau dengan orang sudah dikenal dan sudah tahu perilakunya ya pasti percaya, sebabnya modal kecil, kalau ditipu gimana, yang penting kita harus ramah dan sopan dengan siapa saja, yah alhamdulillah sampai sekarang belum pernah ditipu.
identik dengan rasionalitas yang memiliki parameter yang terukur seperti keuntungan, kerugian, transaksi.
Jadi kekuatan spiritualitas yang dimiliki masyarakat Kudus dengan melakukan “gus” dan “ji” tersebut sebagai dasar kekuatan -kekuatan transendensi untuk membentuk spiritual dagang yang tidak hanya mengekpresikan dalam keuntungan, transaksi, manajemen tetapi juga mempersoalkan pelayanan, tanggung jawab sosial, pengembangan, maupun keadilan. Ketiga karakter yaitu “gus”, “ji”, dan “gang” secara harmonis melekat pada diri masyarakat Kudus, yaitu religius yang mendorong kerja yang ulet, kuat dan hemat di dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu dagang ala Kudus.
Menurut Abdul Jalil (2014), penempatan Sunan Kudus dengan kearifan lokalnya sebagai suatu rujukan dalam berperilaku dan berusaha, dalam batas-batas tertentu, merupakan sumber nilai bagi masyarakat. Sehingga di Kudus, Muslim yang taat dalam beribadah dan ulet dalam berdagang memiliki status yang tinggi di masyarakat. Karena itu bisa dimengerti jika di Kudus Kulon sebagai asal mula munculnya Gus-ji-gang yang kemudian berkembang di seluruh wilayah Kudus, telah berkembang mitos larangan menikahkan anak gadis dengan pegawai negeri, orang tua pada waktu dahulu lebih memilih pasangan seorang santri saudagar karena cepat mendapatkan kekayaan dan memiliki keimanan yang kuat, meskipun sekarang ini mitos larangan sudah mulai pudar. Bahkan sekarang telah berubah terbalik bekerja di pegawai nageri menjadi pilihan utama, baru berdagang kalau tidak diterima sebagai pegawai negeri karena sebagai pegawai negeri masih bisa memiliki pekerjaan sampingan berdagang.
mereka sadari, termasuk dalam berbisnis bordir telah melakukan praktik Gus-ji-gang.
Proses ditemukannya identitas keutamaan Gus-ji-gang bagi masyarakat Kudus dalam melakukan aktivitas ekonomi antara lain berdagang, di satu pihak tidak dibawa sejak lahir tetapi diperoleh melalui proses yang kompleks dalam dunia kehidupannya atau pada budaya Jawa di Kudus sesuai pada masanya. Kompleksitas memperoleh keutamaan, menurut Bertens (2011), sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya membaca buku-buku, instruksi, atau mengikuti kursus saja. Namun, menurut Sonny Keraf (2002), dengan metode reflektif kritis merupakan bagian penting untuk menentukan berbagai pilihan keutamaan sebagai cara bersikap dan bertindak benar atau baik secara moral tentang tiga hal. Pertama, sesuai atau tidaknya keberlakuan norma dan nilai moral yang diberikan oleh adat-istiadat (etika dan moralitas) dalam situasi konkret pada masa kehidupannya. Kedua, masalah tersebut terhadap situasi khusus yang dihadapi dengan keunikan dan kompleksitasnya. Ketiga, terhadap paham yang dianut oleh manusia atau kelompok masyarakat tentang apa saja: tentang manusia, Tuhan, alam, masyarakat dengan sistem sosial-politiknya atau sistem ekonomi, kerja, dan sebagainya.
Penjelasan tersebut mengimplikasikan maksud untuk memahami Gus-ji-gang dan habitus Bourdieu sebagai keutamaan dagang Jawa di Kudus dapat dianalisis dengan teori kritis21 terhadap
nilai-nilai moral budaya Jawa tentang tiga hal.
Pertama, kebaikan tingkah laku sama dengan kebagusan moral mengacu pada kata “gus” dikembangkan pemahamannya melalui internalisasi sebagai proses pembelajaran (learning) seperti dimaksud pada kata “ji” dalam satu kesatuan pengalaman keagamaan menentukan ciri khas keutamaan moral. Ciri khasnya diobyektifkan melalui cara bersikap baik dalam pergaulan melalui prinsip hormat dan rukun22
searah maksudnya pada habitus Bourdieu sebagai penghimpunan kekuatan social capital23. Jadi sifat rukun dan hormat berlaku agar
masyarakat mencapai keselarasan, tidak hanya orang-perorangan, tetapi masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam komunitas pengusaha IKBK bordir sebagai masyarakat Jawa memiliki habitus seperti sabar, kerja sama, patuh dan rela berkorban, sehingga terciptanya keadaan yang selaras, serasi dan seimbang, yang sering disebut sebagai keadaan tata titi tentrem kerta raharja. Orang Jawa termasuk masyarakat Kudus dalam hidupnya selalu mengharapkan tetap terpeliharanya keteraturan relasi yang ada (Anderson, 1965). Menurut Geertz (1964), semua unsur yang ada dalam keadaan keselarasan dan memuat pada konsep rukun dan hormat dipakai sebagai dasar kehidupannya. Demikian pula dalam kehidupan sosial, selalu menjaga keselarasan sosial dengan cara mencegah konflik. Guna menjaga keselarasan tersebut, seseoarang harus mampu mengontrol hawa nafsu dan mengembangkan sikap sepi ing pamrih dan memenuhi kewajibannya sesuai dengan pangkat dan derajatnya dengan rame ing gawe. Dengan sepi ing pamrih dan rame ing gawe tersebut diharapkan masyarakat atau komunitas pengusaha IKBK bordir dapat slamet, tenang hidup batinnya, tenteram dan aman.
Kedua, obyektifikasi keutamaan moral pada hormat dan rukun tersebut sebagai acuan caranya bersikap kekeluargaan atau bergotong-royong baik di pemikiran atau tindakan (teknis pelaksanaan)24 dalam realitas sosial25Jawa yang modern atau sesuai di masanya.
Ketiga, acuan teknis obyektifikasi keutamaan moral yang kedua itu dipahami sebagai keutamaan social capital dagang Jawa di Kudus. Analisis tiga hal itu dimaksudkan untuk memahami bahwa, antara keutamaan moral dengan dunia kehidupan atau realitas sosial Jawa adalah sumber social capital merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi terhadap perubahan cara bersikap dan bertindak secara terus-menerus (dinamis) baik pada dataran pemikiran pedagang atau cara pelaksanaannya yang sesuai (modern) dan berlaku di masanya.
dengan hakikat manusia, jika ditulis di buku tidak akan ada habis-habisnya. Kebudayaan pada dasarnya merupakan kristalisasi dari berbagai kegiatan serta karya manusia26. Geertz menjelaskan,
kebudayaan adalah susunan dinamisnya ide-ide dan aktivitas-aktivitas yang saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain secara terus-menerus27, karenanya, sebelum menganalis tiga hal tersebut
diperlukan pemahaman karakteristik budaya Jawa dalam kontruksi teoritis para ahli sebagai kekuatan modal hubungan sosial (social capital) pedagang di Kudus. De Jong (1976) dalam Endraswara (2006) mengemukakan, unsur sentral kebudayaan Jawa (termasuk Kudus) adalah sikap rila (rela), nrima (menerima), dan sabar. Hal ini akan mendasari segala gerak dan langkah orang Jawa dalam segala persoalan. Rela disebut juga ikhlas yaitu kesediaan menyerahkan segala milik, kemampuan dan hasil karya kepada Tuhan. Nrima berarti merasa puas dengan nasib dan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tapi mengucapkan matur nuwun (terima kasih). Sabar menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan nafsu yang bergolak.
meninggal akan dapat hidup bahagia “munggah suwargo” atau naik ke surga.
Pengajian yang mereka ikuti akan menumbuhkan kesadaran manusia akan adanya hubungan manusia dengan Tuhan-Nya, atau sesuatu yang dipersepsikan sebagai proses transendental. Proses inilah yang sering disebut dengan spiritualitas28.Dengan demikian spiritualitas
mencakup perilaku inner life individual, idealisme, sikap, pemikiran, perasaan, dan pengharapannya kepada Yang Mutlak. Perilaku spiritual tersebut timbul dan mengubah jalan hidup pelaku menuju kesadaran atas kekeliruan yang telah mereka lakukan. Kedua, perilaku spiritual muncul ketika kita menentukan pilihan. Ketiga, perilaku spiritual muncul ketika kita merasa istimewa, unik, dan tidak tergantikan oleh orang lain. Keempat, perilaku spiritual membersit dalam tanggung jawab, dan Kelima, perilaku spiritual akan mencuat dalam situasi transendensi.
Menunjuk pada wawancara dengan Ibu Hj. Sri Murni‟ah, pemilik usaha bordir “Fadillah” sama sekali tidak mengesankan cara pandang tentang betapa lebih pentingnya suatu modal financial, tidak pula mengunggulkan pengalaman belajar dan berusaha bordir dari orang tuanya, pada waktu dia masih muda diajarkan teknik menjahit dan disain bordir serta berjualan bordir. Pemilik usaha bordir “Fadillah” tidak pernah mendapatkan pendidikan formal yang mengajarkan teori nilai dan norma berbisnis, tentang pentingnya jaringan usaha dan kepercayaan sebagai modal usaha. Namun mereka hanya mendapat sentuhan pendidikan informal melalui pengajian-pengajian yang selalu diikuti setiap bulan 2 s/d 3 kali, yang disampaikan para kyai atau ustad tentang pentingnya nilai-nilai agama maupun saran atau petuah-petuah orang tua tentang kehidupan bahkan beliau memiliki keinginan menunaikan ibadah haji lagi bersama suami.
Berikut wawancara peneliti dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah29
“Menambah bekal ilmu dan membangun jaringan sosial niku injih wajib kagem tiyang gesang., injih derek pengajian. Dados inggih kedah seimbang, menawi derek pengajian terus, kesupen usahanipun lajeng rejeki saking pundhi lan
ingkang baku tiyang meniko yen „Nandhure Apik Ngunduhe
Apik‟ niku ular-ular saking tiyang sepuh kawulo lan dadi
wong sing duwe sikap relo, narimo dan sabar”
Artinya:
menambah bekal ilmu dan membangun jejaring sosial itu juga wajib buat orang hidup, ya ikut pengajian, jadi harus seimbang, kalau ikut pengajian terus, melupakan usahanya lalu rejeki dari mana, dan yang mendasar orang itu kalau
„menanam baik akan memperoleh hasil baik‟, itu petuah
orang tua saya dan jadi orang itu punya sikap iklas, menerima dan sabar.
Selanjutnya Ibu Sri Murni‟ah menyampaikan kepada peneliti bahwa:
“kawulo inggih kepengin sowan ngilen (naik haji) malih kalian bapak (suami), injih kagem nambah ibadah lan langkung celak kalian Gusti Allah, tambah iman lan kagem sangu urip, supados saget nampi menepo kemawon paringane Gusti Allah lan supados anggenipun nyambut gawe meniko saget baroqah kagem keluarga”
Artinya:
Saya juga berkeinginan datang ke barat (menunaikan Haji) lagi dengan suami, ya untuk menambah ibadah dan lebih dekat dengan Gusti Allah, tambah iman dan buat sangu hidup, supaya bisa menerima apa saja pemberian Gusti Allah, supaya dalam bekerja bisa barokah buat keluarga.
Informan Bapak H.Noor Kholid30 pengusaha bordir menyatakan
lebih lanjut dalam cuplikan wawancara:
“Dadi wong niku sing jujur lan dipercoyo kanggo dagang utowo urip saben dinane, trus ya kerja keras sebab kanggo ngentukake penghasilan ya kudu usaha disik lan selain iku ojo lali karo ibadah menurut agamane, ya bershodakhoh
kanggo wong sing membutuhkan”
Artinya:
mendapatkan penghasilan, ya berusaha dulu dan selain itu jangan lupa beribadah menurut agamanya).
Hampir sama pernyataan mereka berdua yaitu Ibu Hj. Sri Murni‟ah dan Bapak H.Noor Kholid dan seorang tokoh masyarakat Desa Padurenan dan juga pengusaha bordir yaitu Bapak H.Moch Anshori mengungkapkan bahwa nilai kejujuran sangat dipegang teguh oleh Bapak H.Moch Anshori karena sejak kecil beliau tumbuh dalam keluarga dengan nilai keagamaan yang sangat kuat yaitu dari Pondok Pesantren, dengan kejujuran berarti mereka mepunyai akhlak mulia, sehingga tetap berada dalam jalan yang benar dan jangan berbuat curang dalam berbisnis maupun kehidupan sehari-hari, sekali berbuat curang dan tidak jujur nantinya akan menghancurkan diri sendiri. Ini berarti telah melaksanakan “gus” dan “ji” dalam Gus-ji-gang dalam membangun religius mereka meskipun mereka tidak menyadarinya. Berikut petikan wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori31
selengkapnya:
“hidup itu harus didasarkan pada ahklak yang baik, sehingga
jangan main curang, karena ahklak yang baik itu adalah tuntunan nilai-nilai agama yang senantiasa saya pegang teguh karena saya sejak kecil dalam keluarga yang nilai agamanya kuat dari pondok pesantren. Selain itu prinsip atau ajaran atau petuah lain dari orang tua atau para kyai harus terus dijalankan terus, orang dagang itu harus jujur, sekali
tidak jujur maka akhirnya akan menghancurkan diri sendiri”.
Bapak Nur Syafiq32, pengusaha bordir berusia 55 tahun
menyatakan kepada peneliti:
”manusia harus berikhtiar semaksimal mungkin, lalu ia
pasrahkan pada Yang Kuasa.” Dengan cara ini saya tenteram
-Kabeh wis tinakdir saking Pangeran”
Pemanfaatan Parameter
Social Capital
oleh Pengusaha
Industri Kecil Bisnis Keluarga dalam Pengembangan Usaha
mendifinisikan social capital sebagai sesuatu yang terdiri dari ciri-ciri sosio-struktural atau sumber-sumber yang bermanfaat bagi beberapa orang untuk tindakan-tindakan khusus, menekankan social capital sebagai kebaikan publik (public good). Hal ini disebabkan social capital adalah kebaikan publik atau kebaikan bersama, yang berarti keadaan ini tergantung pada good will (niat baik), sedangkan niat baik tersebut dibangun masyarakat Kudus melalui beraklak baik (bagus) dan kemampuan ngaji (pintar ngaji) yang mampu membangun spiritualitas sebagai dasar berniat baik para pengusaha bordir dalam melakukan perdagangan, sangat dibutuhkan membentuk fungsi struktural menjadi norma, kepercayaan, hubungan timbal balik, membangun jejaring menjadi hal yang penting dalam menopang social capital di bisnis IKBK bordir.
Meminjam istilah dari Bertens (2004), social capital merupakan hubungan satu sama lain yang diadakan para warga masyarakat dengan suka rela untuk mencapai tujuan yang tidak (dapat) diwujudkan selama orang berjalan sendiri. Dalam memahami keberadaan dan keberlangsungan social capital dalam komunitas pengusaha bordir di Kudus dapat dari bagaimana komunitas tersebut membangun norma-norma dan nilai-nilai, jejaring-jejaring, hubungan timbal balik, kepercayaan sosial yang mempermudah koordinasi dan kerja sama demi kemanfaatan bersama pengusaha bordir.
Prinsip
Aja Mitunani Wong Liya
sebagai Norma & Nilai
Manifestasi norma dan nilai dapat dinyatakan sebagai social capital, merujuk Yustika (2006) yakni dengan mengalaborasi berdasarkan kesesuaiannya dengan perspektif bentuk-bentuk (forms) social capital sebagaimana diajukan Coleman (1988) dalam Yustika (2006) yaitu: Pertama, berlangsungnya struktur kewajiban (obligations) yang terpenuhi dengan baik, adanya ekspektasi (expectations), dan kepercayaan (trust worthiness) lingkungan sosial, sehingga struktur sosial tersebut akan memiliki derajat kepercayaan tinggi, maka dipandang akan memiliki social capital yang lebih baik dari pada kondisi sebaliknya. Kedua, jaringan informasi komunikasi yang luas (informatian channels), yakni aktor (pengusaha bordir) yang mendapat dan atau memiliki basis jaringan informasi komunikasi lebih luas, berarti memiliki social capital lebih besar. Ketiga, norma dan sanksi yang efektif (norm and effective sanctions). Maka bila norma sebagai struktur sosial yang memuat kondusif bagi sesuatu komunitas (pengusaha bordir), maka akan menjadi pendorong kemajuan dan perubahan yang lebih baik, dengan demikian struktur sosial memiliki social capital yang lebih baik dan sebaliknya.
Sebagai mahkluk sosial, seorang pengusaha bordir dan atau pun pembeli/konsumen sebagai manusia adalah memerlukan orang lain, dan untuk itu terdapat kecenderungan untuk dapat kerja sama dan saling berinteraksi termasuk dalam hal bertransaksi, maka norma dan nilai sangat diperlukan guna mengatur dalam berperilaku, sehingga mereka dapat hidup bersama-sama yang saling menguntungkan.
Menurut Rahardjo (1990) dalam bukunya “Etika Ekonomi dan Manajemen” mengemukakan lima prinsip utama yang menjadi dasar sistem nilai (etis) yaitu: Pertama, adanya prinsip bahwa hidup munusia itu harus dipelihara dan dilindungi. Kedua, prinsip bahwa kebaikan dan kebenaran itu perlu ditegakkan dengan: (a) mengunggulkan kebaikan atas keburukan dan kebenaran atas kesalahan, (b) tidak menimbulkan keburukan atau kerusakan, dan (c) mencegah agar tidak timbul kerusakan dan lahirnya keburukkan. Ketiga, kebaikkan maupun keburukkan itu perlu dibagi di antara manusia, sejauh mungkin secara merata. Keempat, perlunya orang menyatakan sesuatu secara jujur dan sebenarnya serta melaksanakan janji atau komitmen yang dibuat. Kelima, perlunya dipelihara kebebasan individu, guna memungkinkan adanya keluwesan dan terhindar dari kekakuan.
berhubungan atau beriteraksi dengan individu atau masyarakat selalu menjaga nilai-nilai religius yang mereka anut (agama Islam).
“Gus” dan “ji” dalam Gus-ji-gang telah membangun objektivikasi kebaikan tindakan moral sebagai etos dalam pluralisme modern ada dua hal. Pertama, tereksternalisasi dalam tindakan dan kata-kata saling percaya, merasa puas dan senang atas kepandaian, loyalitas dan keluhuran budi. Kedua, bersikap integrasi33 kepada
berbagai pihak yang terlibat di dalamnya sehingga merasa terjalin dalam satu pola kekeluargaan atau kekerabatan yang saling kasih (tresno) dan dapat tercipta keadaan yang harmonis yang hangat. Berdasarkan pada hal tersebut sebagai etos bagi pluranisme modern sebagai inti kekuatan moral.Kekuatan moral menurut Suseno (2005) merupakan kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai kebenaran yang secara implisit ada pada kalimat “aja mitunani wong liya” (jangan merugikan orang lain). Ajo mitunani wong liya merupakan norma dan nilai moral terpenting dan atau prinsip dasarnya etika Jawa.34 Tujuan dan sikap integrasi dengan kekuatan moral ajo mitunani wong liya adalah bahwa manusia hendaknya selalu bersikap baik satu sama lain, saling membuat bahagia, dan tidak saling menganggu. Seperti yang dituturkan para informan kepada peneliti sebagai berikut:
Ibu Hj.Sri Murni‟ah35 mengungkapkan:
“ngih menawi hubungan kalian tiang niku, ngih wajib dan kedah menghormati kalian menghargai tiang, namun menawi Derek kempalan RT/RW utawi pengajian menawi pas sawek repot, boten saget dumugi, ngih iuran nipun pasti kawulo titipaken pengurus kempalan”.
Artinya:
Bapak H. Moch Anshori36, pengusaha bordir dan tokoh
masyarakat Desa Padurenan, menyampaikan sebagai berikut:
”menghormati orang lain, menghargai pendapatnya, tidak
membeda-bedakan, bertegur sapa dengan tetangga, teman pengusaha dan orang yang kita kenal, tetapi dalam mengikuti kumpulan Haji, pengajian, RT/RW setiap saat, pasti saya usahakan hadir, selama saya tidak ke luar kota dan biasanya saya ditunggu-tunggu kedatangannya untuk memberikan
masukkan dalam perkumpulan tersebut”.
Ibu Nurul Hikmah37 mengungkapkan kepada peneliti
pentingnya ikut kumpulan sebagai berikut:
“Hubungan dengan orang lain, ya peting sekali, karena itu
kita harus saling menghormati dan menghargai orang lain, ya namanya kita manusia kan harus berhubungan baik dengan manusia siapa saja, apalagi saya usaha bordir, kalau ikut kumpulan PKK kadang-kadang ikut dan kadang-kadang tidak bisa ikut, tetapi iuran biasanya saya titipkan karena dikejar-kejar pesanan bordir harus segera jadi, tetapi kalau pengajian saya usahakan bisa hadir, karena untuk menambah
sangu urip”.
Demikian pula nilai dalam kehidupan senantiasa ada dalam setiap diri individu, nilai itu dibangun secara terus-menerus sehingga mengkristal dalam kehidupan, dan dapat dilihat dari pandangan hidup pengusaha bordir, seperti yang diungkapkan Bapak H. Moch Anshori bahwa setiap mengikuti perkumpulan dan pengajian selalu mendapat Tolabul Ilmi (mendapat tambahan ilmu dan membangun jaringan sosial) itu wajib tetapi mendapat rejeki juga wajib, maka kita harus seimbang bahkan pada saat ada perkumpulan, ada yang memesan bordir. Berikut ini kutipan wawancara peneliti dengan Bapak H. Moch Anshori sebagai berikut:
kadang-kadang saat kumpulan kami mendapat pesanan
bordir”.
Sedangkan informan kunci Ibu Hj.Sri Murni‟ah saat diwancarai peneliti mengungkapkan sebagai berikut:
”yah menawi isteri pados nafkah meniko hukumipun
sunnah, amargi namun bantu suami, ingkang wajib pados nafkah suami, lha kawulo pados nafkah meniko kan shodaqoh kangge keluarga, lha meniko sampun manjeng
dateng niat ibadah kawulo”
Artinya:
Ya kalau isteri mencari nafkah hukumnya sunnah, sebab hanya membantu suami, yang wajib mencari nafkah itu suami, la saya mencari nafkah kan shodaqoh buat keluarga, la itu sudah mendarah daging dalam niat ibadah saya.
Bapak H.Noor Kholid38, menjelaskan bahwa hidup itu untuk
mencari ridho Allah, sehingga apa yang dilakukan dilandasi dengan niat ibadah, seperti yang dituturkan di bawah ini:
“Orang hidup bagi saya untuk mencari ridho Allah, termasuk
kegiatan bisnis yang saya lakukan ,dengan bekerja keras dengan dilandasi niat ibadah dan peduli dengan orang lain, supaya hidup ini tentram maka harus ikuti norma dan nilai-nilai yang berlaku di mana kita berada, misalnya kalau ada pertemuan RT/RW ya diusahan ikut, apalagi kalau ada pengajian tentunya kegiatan bisnis terganggu tidak, kalau pas kosong pasti saya hadir tetapi kalau pas ramai pesanan yang harus diselesaikan,ya tidak bisa hadir dan saya wakilkan anak-anak atau isteri, karena bisnis itu juga dilandasi ibadah, jadi ya harus seimbang lah.”
“dodos tiyang meniko kedah boten sombong, boten paling pinter, boten paling pener, kedah njagi tata karma, andap asor, lembah manah lan ajo mitunani wong liyan, supados gesang meniko tentrem lan saget dipitados kalian tiyang, langkung-langkung tiyang ingkang usaha, kados kawulo usaha bordir”
Artinya:
Jadi orang itu harus tidak sombong,jangan merasa paling pinter, tidak paling benar, harus jaga tata krama, rendah hati,sopan santun dan jangan merugikan orang lain, supaya hidup ini tentram dan dapat dipercaya orang, apalagi orang usaha, seperti saya usaha bordir.
Prinsip
Nyaur Ngamek
Sebagai
Dasar Kepercayaan Bisnis
Kepercayaan (trust) yang dibangun dengan baik oleh para pengusaha bordir akan dapat menuntun membangun jaringan hubungan dengan konsumen, penyedia bahan baku maupun agen-agen yang lain. Meminjam istilah Field (2010) bahwa, jaringan dengan kepercayaan tinggi akan berfungsi lebih baik dan lebih mudah daripada dalam jaringan dengan kepercayaan yang rendah. Siapa pun yang mengalami pengkhianatan dari mitra dekat akan tahu betapa sulit bagi dua orang untuk bekerja sama ketika perilaku mereka tidak dilandasi kepercayaan. Kepercayaan (trust) menurut Fukuyama (2007), merupakan pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur, dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dari komunitas itu.
berlangsung sejak dulu hingga saat ini adalah bisnis keluarga. Para pengusaha IKBK bordir di Desa Padurenan Kecamatan Gebog-Kudus sebagai salah satu contoh kecil dari bisnis keluarga, yang didasarkan atas basis kepercayaan. Menurut Lawang (2005), ada 3 (tiga) substansi pokok yang saling terkait dalam kepercayaan, yaitu Pertama, hubungan sosial antara dua orang atau lebih (termasuk di dalamnya institusi yang diwakili oleh orang), Kedua, dalam hubungan tersebut, terdapat harapan yang bilamana diwujudkan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak, Ketiga, hubungan dan harapan ini dimungkinkan melalui interaksi sosial.
Sebagai seorang pengusaha dan warga masyarakat, selalu menekankan pada kepercayaan karena bisnis itu pada dasarnya “kepercayaan”. Jadi setiap hubungan antar-individu atau kelompok didasari kepercayaan, seperti yang diungkapkan para informan berikut:
Ibu Hj. Sri Murni‟ah40 mengungkapkan :
“kepercayaan pasti wonten, amargi sangat penting, masak
kekancan kalian sinten kemawon menawi boten wonten
kepercayaan khan aneh”
Artinya:
kepercayaan pasti ada, sebab sangat penting, masak berteman dengan siapa saja kalau tidak ada kepercayaan kan aneh)
Bp.H.Moch Anshori41 juga mengungkapkan:
“Ya tentu pasti ada kepercayaan, masak sama semua orang nggak percaya, lalu kalau kita tidak percaya siapa yang bisa
dipercaya”.
Selanjutnya, Bapak H. Moch Anshori yang banyak dikenal oleh agen/toko penyalur bahan baku di Kota Kudus maupun di Kota Surakarta, mengungkapkan pengalamannya:
“dengan modal kejujuran, telaten dan penuh kesabaran saya
menjalin hubungan dan mencari agen besar penyalur bahan-bahan bordir agar mau melakukan kerja sama dengannya. Rasa bersyukur. Ada seorang keturunan Cina pemilik toko bahan–bahan bordir dan konfeksi mau diajak kerja sama”.
Bapak Nur Syafiq42,usia 55 tahun, seorang pengusaha bordir,
menyatakan prinsip kejujuran yang dianggap penting dalam berusaha/bisnis bordir, sebagai berikut:
“jadi orang itu yang jujur, trus kerja keras sebab dalam mendapat sesuatu itu perlu usaha dulu, lagi mendapatkan
hasilnya dan selain itu jangan lupa beribadah”.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak sekali petuah-petuah atau ajaran-ajaran dari orang tuanya, tokoh masyarakat yang memiliki karisma seperti Sunan Kudus, para Kyai atau ustad yang diterapkan oleh para pengusaha baik menyangkut kehidupan sosial maupun kehidupan bisnis. Salah satu petuah itu adalah kejujuran harus menjadi pedoman dalam berbisnis maupun dalam kehidupan sosial, karena kejujuran merupakan ajaran agama/religius yang diyakini mempengaruhi kemajuan usahanya, maka orang yang bekerja dan berusaha harus menjaga sikap jujur karena merupakan salah satu modal usaha. Prinsip kejujuran dianggap hal yang sangat penting dalam melakukan usaha berdagang, seperti yang diungkapkan Ibu Mirah, Ibu Islahiyah atau sering dipanggil bu Is maupun Ibu Nurul Hikmah sebagai berikut:
Ibu Mirah43 mengungkapkan:
“Tiyang meniko kedah jujur, kaliyan sinten kemawon, lan kedah kerja keras amargi kagem pikantuk meniko kedah usaha rumiyen, lajeng nembe pikantuk kasil lan sampun kendel beribadah, nyuwun kaliyan Gusti Engkang Kagungan Gesang”.
Artinya
Orang itu harus jujur dengan siapa saja dan harus kerja keras sebab untuk mendapatkan itu harus usaha dulu, baru mendapatkan hasil dan jangan lupa beribadah dan memohon kepada Tuhan Yang memiliki Hidup.
Ibu Nurul Hikmah44 dalam wawancara menjelaskan;
“Prinsip kejujuran itu sangat penting dalam kehidupan berdagang maupun kehidupan sehari-hari, bila memperolah pendapatan berapapun harus disisihkan sedikit untuk shodakoh bagi orang yang membutuhkan. Bisnis itu menjual kejujuran, jangan sampai main curang sebab akan menghancurkan usaha kita, karena kejujuran adalah nilai ajaran agama yang saya anut, dan bila mendapatkan harta berlimpah harus dibersihkan dengan bershodakoh bagi orang
yang tidak mampu”.
dipercaya oleh toko di kawasan pecinan yang pemilik tokonya orang Cina di sekitar pasar Kliwon Kota Kudus untuk menyediakan bahan baku bordir dengan cara nyaur ngamek, adalah ngamek atau mengambil bahan baku lebih dahulu dari agen atau penyalur dan kemudian nyaur atau membayar kemudian setelah barang yang dibawanya laku atau membayar setelah beberapa saat menurut perjanjiannya. Pola “nyaur ngamek” merupakan pola yang sudah menjadi tradisi –norma resiprositas– yang dijalani para pengusaha bordir dengan pemilik toko bahan-bahan bordir maupun hubungan dengan pelanggan dan antar pengusaha bordir. Dalam resiprositas, seseorang tidak hanya sebatas menerima barang dan atau sebaliknya pihak lain hanya menerima uang, tetapi di dalamnya dapat memenuhi kebutuhan sosial, yakni penghargaan yang bersifat timbal balik.
Perilaku nyaur ngamek yang dilakukan para pengusaha bordir didasarkan pada norma dan nilai-nilai yang tumbuh oleh keyakinan agama yang dianut. Fukuyama (2000) mengemukakan bahwa, norma merupakan bagian dari social capital yang terbentuk tidak diciptakan oleh birokrasi atau pemerintah. Melalui agama yang dianut, tradisi, sejarah, tokoh kharismatik (Sunan Kudus) akan dapat terbangun suatu tata cara perilaku seseorang atau suatu kelompok masyarakat, yang di dalamnya kemudian timbul social capital secara spontan dalam kerangka menentukan tata aturan yang menjadi dasar tumbuhnya kejujuran yang dapat mengatur kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok. Namun Fukuyama (1999) juga menyatakan bahwa, penyebaran norma atau nilai tidak serta merta menjadi social capital apabila norma atau nilai termaksud tidak mengandung unsur kebenaran sebagai dasar kepercayaan. Karena norma dan nilai-nilai kebenaran dan kepercayaan sangat diperlukan guna mengatur dalam berperilaku, sehingga mereka dapat hidup bersama-sama yang saling menguntungkan.
Jadi dalam tindakan nyaur ngamek atau bayar utang dan mengambil barang, menurut Bapak H. Moch Anshori45 harus ada
“Masalahnya kita sudah mendapat kepercayaan pemilik toko, makanya harus dijaga dan kalau sudah janji bayar, ya harus ditepati dibayar, harus tepat waktu sesuai janjinya dan jangan
mengecawakan”
Jadi yang menjadi modal dasar melakukan nyaur ngamek yang dilakukan Bapak H.Moch Anshori selama ini adalah kepercayaan harus tetap dijaga, ada yang menggunakan mingguan dan ada yang bulanan. Kata Bapak H.Moch Anshori:
“Meskipun kondisi usaha saya dalam kondisi sepi, ya tetap
harus kalau sudah sampai waktu bayar, jangan sampai membuat pemilik toko bahan kecewa”.
Demikian pula yang dilakukan Bapak H.Moch Anshori, setiap menitipkan hasil produksi “bordir tempel” hasil inovasinya yaitu bentuk bordir pola untuk bagian leher baju atau blouse, lengan dan badan yang tinggal ditempelkan pada kain, yang dijual setiap paket ada yang dijual dengan harga Rp.35.000,- s/d harga Rp.150.000,- dititipkan kepada agen penjual perlengkapan bahan bordir dan konfeksi di kota Magelang, Semarang, Surakarta maupun di kota Kudus sendiri didasarkan kepercayaan karena uang hasil penjualan diterima setelah produk bordir itu laku, seperti yang diungkapkannya:
“Setiap lima hari sekali, keliling ke kota Semarang, Magelang,
Surakarta untuk menitipkan produk ”bordir tempel” ke agen -agen penjual bahan bordir dan konfeksi dan pola pembayarannya setiap 3 s/d 4 minggu dan ini sudah berjalan hampir 2 tahun, selalu lancar dan tepat waktu, sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak”.
Namun tidak semua pemilik toko misalnya toko Kita, toko Novita maupun toko Nufiya menyediakan bahan bordir dan konfeksi di kota Kudus mau menerima pola pembayaran dengan cara nyaur ngamek, mereka memintanya dengan kontan, karena takut resiko tidak terbayar, seperti diungkapkan informan Bapak H. Hasan dan Bapak Nur Syafiq:
“Setiap membeli bahan baku bordir di toko Novita dan toko Kita, harus dibayar kontan, kalau tidak dibayar kontan tidak akan diberi barang, setahun yang lalu kita masih bisa tidak bayar kontan yaitu dua atau tiga minggu baru dibayar, tetapi sekarang harus kontan” seperti yang diungkapan Bapak H.Hasan46.
Dan Bapak Nur Syafiq47 pengusaha bordir mengungkapkan
kepada peneliti:” sejak banyak orang yang tidak tepat melunasi pembayaran, sekarang ini setiap beli bahan baku di toko Kita atau toko Nufiya harus membayar dengan kontan, tidak seperti 6 bulan yang lalu masih bisa dibayar dengan nyaur ngamek.
Prinsip
Tuna Satak Bati Sanak
dalam Membangun Jaringan
Usaha
Keikutsertaan pengusaha bordir dalam berbagai partisipasi dalam suatu wadah asosiasi, paguyuban formal atau informal yang sangat beragam tersebut dapat membawa manfaat yang berguna bagi mereka. Dan manfaat itu dapat dirasakan secara langsung dan tidak langsung bagi pengusaha, yang dapat dilihat dari ungkapan para pengusaha dalam wawancara mendalam:
Bapak H.Hasan dan Bapak Nur Syafiq adalah pengusaha bordir, selalu berpartisipasi aktif mengikuti pengajian di sela-sela kesibukan bisnis bordir, apalagi pada setiap hari Jumat, yang mengungkapkan sebagai berikut:
“… ikut pengajian supaya hidup mendapat berkah sehingga usahanya dapat berjalan lancar dan mencari „sangu mati‟, “untuk bekal nanti kalau meninggal” kata Bapak H.Hasan48.
Sedangkan Bapak Nur Syafiq49 dalam wawancara dengan
peneliti, mengungkapkan:
”Orang hidup itu disamping mencari rejeki dengan kerja
keras, juga harus beribadah mengikuti pengajian, atau kumpulan-kumpulan keagamaan lainnya”.
Ibu Hj.Sri Murni‟ah50 mengungkapkan dalam wawancaranya: “ikut pengajian, injih saget tambah sedulur, tambah ilmu, tambah pahlma, sok kadang-kadang tambah reeiki sebab kadang pas enek (ada) konco pengajian sing pesen bordir neng kulo. Nek paguyuban paling nguntungaken saat ada kunjungan Tim Penggerak PKK kabupaten Kudus dateng mriki katah ingkang tumbas lan pesan bordir, injih menawi
dateng mriki rego saget dipun nego kan “tuna sathak bati
sanak”.
Artinya:
Ikut pengajian, bisa bertambah saudara, ilmu, pahala, kadang-kadang juga rejeki sebab kadang ada juga teman pengajian yang pesan bordir ke saya. Kalau paguyuban paling menguntungkan saat ada kunjungan Tim Penggerak PKK Kabupaten Kudus datang ke sini banyak yang beli dan pesan bordir. Ya kalau datang ke sini mengenai harga dapat dinego
Ibu Islahiyah51 pengusaha bordir merek “La Risma” menyatakan
alasan keikutsertaannya dalam berbagai organisasi formal (anggota koperasi KSU Padurenan Jaya) dan informal (pengajian, arisan RT/RW) menggungkapkan sebagai berikut:
“Organisasi dan perkumpulan yang saya ikuti kalau sosial itu di arisan RT/RW, pasar, kalian wanita Islam untuk kegiatan
pengajian seperti hadist dan terjemahan Qur‟an, terus mbantu orang tidak mampu atau tengok orang sakit….”.
Bapak H.Moch Anshori52 juga salah satu tokoh masyarakat
sebagai salah satu pendiri KSU Padurenan Jaya telah diwawancarai peneliti menyatakan bahwa partisipasi dalam kegiatan sosial sangat banyak, beliau mengungkapkan:
“Kalau di RT kan sebulan sekali saya itu rutin mengikutinya,
bahkan pada waktu awal pendirian KSU Padurenan Jaya hampir setiap 2 s/d 3 hari dalam seminggu melakukan pertemuan membahas pendirian Koperasi dan itu dijalani hampir 1 (satu) tahun, akhirnya berdiri seperti sekarang, Ketua pembangunan saluran air (got), mengikuti rutin pangajian rumah tangga, paguyuban Haji, setiap malam
Selasa dan malam Kamis”.
Dari ungkapan informan di atas dapat dilihat intensitas keikutseraan mereka dalam berbagai paguyuban dan kegiatan rutin yang selalu mereka ikuti seperti pengajian, mereka menggunakan waktu longgar mereka sehabis selesai bekerja untuk mengikuti kegiatan dan perkumpulan, hal ini dilakukan karena sangat penting dan bermanfaat bagi mereka. Namun ada juga beberapa pengusaha bordir yang intensitas melakukan kegiatan kumpulan tidak rutin, seperti yang diungkapkan Ibu Mirah53:
“Saksampun ipun suami sakit stroke (satu setengah tahun yang lalu), kegiatan mboten rutin, dhados kadang-kadang kawulo titipke uang arisan RT, namun menawi wonten pengajian dateng tetanggi mriki kemawon sekitar griyo, pasti kawulo perluake derek pengajian”.
Artinya:
arisan RT, tetapi kalau ada pengajian di tetangga sekitar rumah, pasti saya ikut pengajian.
Bapak Nur Syafiq54 mengungkapkan sebagai berikut:
“Pertemuan RT ada, namun untuk kehadiran saya tidak bisa
rutin kalau pas saya ada waktu saya datangi kalau tidak ada waktu (pas luar kota) ya saya nitip. Iurannya saya suruh anak saya atau isteri untuk membayarkan. Pertemuan di KSU Padurenan Jaya tidak ada pertemuan rutin secara formal (kalau tidak RAT koperasi) tetapi biasanya informal pas kebetulan ketemu di acara pengajian, gotong royong bisanya
kita ngobrol seputar usaha bordir”.
Sedangkan manfaat partisipasi mereka dalam suatu jaringan banyak sekali manfatnya, baik dalam kehidupan sosial maupun dalam usaha mereka baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini seperti diungkapkan informan yang diwancarai peneliti:
Ibu Hj.Sri Murni‟ah55:
“tambah sederek, tambah ilmu lan tambah pahala, sok kadang-kadang tambah rejeki sebab kadang pas ada konco pengajian sing pesen kain bordir neng kulo.menawi paguyuban KSU Padurenan Jaya, pas wonten kunjungan Bupati Kudus atawi wonten tamu saking Semarang, tumbas bordir produksi kulo”.
Artinya:
Bertambah saudara, ilmu, pahala, kadang-kadang juga tambah rejeki sebab ada juga teman pengajian yang pesan kain border ke saya. Kalau paguyuban KSU Padurenan Jaya, pas ada kunjungan Bupati Kudus atau ada tamu dari Semarang, beli bordir saya).
Bapak H.Moch Anshori56:
”menjalin keakraban antar warga satu dengan yang lain,
menambah hubungan kerja sama dalam berdagang, dan hubungan sosial sebagai wadah untuk mendapatkan informasi tentang kejadian-kejadian yang sedang terjadi maupun yang akan datang di lingkungan warga Padurenan”.
Moch Anshori maupun Bapak Nur Syafiq hampir sama yaitu, berbekal pada pelajaran hidup ikut berdagang membantu orang tua, sejak kecil dan bertahun-tahun dilakukan secara terus-menerus. Bapak H.Moch Anshori dikenal dan mengenal agen penyalur bahan baku bordir menuturkan, untuk membangun jaringan hubungan dengan agen penyedia dan penyalur bahan-bahan bordir yang dimaksud, tutur Bapak H. Moch Anshori:
“Dengan modal jujur,telaten dan penuh kesabaran saya menjalin hubungan dan mencari agen-agen besar menawarkan agar mereka mau mengisi kebutuhan bahan
bordir seperti kain, benang dan sebagainya”.
Sistem Interaksi Sosial yang Terorganisir
Pranata formal yang ada di lingkungan Desa Padurenan Jaya seperti koperasi KSU Padurenan Jaya dan pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten maupun lembaga non formal seperti halnya melalui hubungan kekerabatan, pertemuan-pertemuan sosial seperti arisan, pengajian telah mampu membentuk dan menguatkan social capital para pengusaha IKBK bordir. Dengan membangun kemitraan dan jejaring dengan lembaga-lembaga formal dan non formal akan memberikan kemanfaatan bagi pengusaha bordir dan mampu mewujudkan social capital. Menurut Eriyanto (1997), ada 4 aspek penting yang bermanfaat dalam membentukan kemitraan usaha, yaitu: aspek bisnis untuk menjamin kelayakan usaha, aspek kesejahteraan sosial untuk menjamin manfaat usaha, aspek partisipasi untuk menjamin keberlanjutan dan aspek teknologi untuk menjamin teknik dan mutu produksi (kualitas produksi).
BBPP, Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas, Bank Jateng, Pemerintah Kabupaten Kudus).
Koperasi KSU Padurenan Jaya sebagai wadah pembentukan social capital karena tempat pembinaan anggotanya yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya anggotanya maupun mempermudah bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku maupun modal usaha. Sebagaimana disampaikan Bapak Arif Chuzaimahtum57 sebagai Ketua KSU Padurenan Jaya dan juga
Kepala Desa Padurenan Jaya sebagai berikut:
“Mulai tahun 2007 dengan munculnya teknologi bordir
komputer, membawa dampak bagi para pengusaha bordir di Desa Padurenan. Dengan teknologi bordir komputer mampu diciptakan jumlah bordir yang lebih banyak, lebih cepat dan harga lebih murah berdampak menurunkan akses pasar dari bordir juki atau bordir tradisional yang memiliki harga lebih mahal. Keadaan demikian dapat mematikan usaha bordir
tradisional “bordir Icik”. Untuk itulah kami bersama tokoh -tokoh masyarakat yang lain terpanggil bersama pemerintah mendirikan KSU Padurenan Jaya salah satunya untuk mempertahankan border ”icik” disamping meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Padurenan”.
Kemanfaatan KSU bagi para pengusaha di lingkungan Desa Padurenan sangat besar, seperti yang diungkapkan oleh informan kunci Bapak.H.Moch Anshori, Ibu Mirah kepada peneliti sebagai berikut:
Bapak.H.Moch Anshori58 mengungkapkan:
“setiap saat kita bisa bertemu dengan pengusaha bordir dan konfeksi waktu membeli bahan kebutuhan bordir, saling memberikan informasi, bahkan kadang-kadang malah mendapat pesanan, atau kami sering diajak ikut bazar hasil bordir oleh KSU Padurenan Jaya di kantor pemerintah Kabupaten Kudus waktu ada kegiatan pameran maupun bazar pasar murah dan ini akan menumbuhkan kepercayaan bagi kita. Disamping itu di KSU Padurenan Jaya sering melakukan kegiatan pelatihan dan penyuluhan manajerial dan pengembangan disain bordir bagi para pengusaha dan
Demikian juga Ibu Mirah59 menyampaikan:
”sampun nate, kawulo pas betah aken arto mendadak amergi kirang kagem tambahan tumbas mesin jahit, injih ngapil arto KSU Padurenan Jaya lan sekeconipun menawi wonten pesanan katah misal bet atawi logo gambar/lambang ngagem
bordir komputer inggih dateng mriki kemawon”.
Artinya:
Sudah pernah, saya pas membutuhkan uang mendadak karena kurang untuk tambahan mesin jahit. Ya pinjam di KSU Padurenan Jaya dan enaknya kalau ada pesanan banyak misalnya bet atau logo gambar lambang dengan bordir
komputer ya disini”.
Selanjutnya Bapak H. Anshori menyampaikan kepada peneliti apa yang dibahas dalam setiap pertemuan:
”dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti pertemuan keluarga, arisan maupun pengajian-pengajian disampaikan dan didiskusikan bersama-sama masalah-masalah pembangunan fisik dengan gotong royong misal buat got aliran air dari rumah tangga, tempat sampah, bahkan masalah-masalah sosial seperti menjaga kebersamaan, sikap toleransi, berbuat kebaikan dengan sesama dibahas dalam
pertemuan-pertemuan tersebut”
Kekerabatan dan pertemuan sosial, merupakan proses interaksi sosial yang wujudnya kebersamaan masyarakat dalam bentuk jaringan komunikasi antar-individu atau kelompok. Kebersamaan masyarakat ini sangat penting karena dapat membangun kesetiaan, membuka tole-ransi, kejujuran, kepercayaan, kesediaan untuk mendengarkan penda-pat orang lain, kearifan dan pengetahuan lokal (dalam filosofi gus-ji-gang) dan kepedulian antar-individu atau kelompok dalam kehidupan di masyarakat, sehingga mampu menciptakan social capital yang dapat mendorong kondisi adil, makmur dan sejahtera di masyarakat.
Hubungan Timbal Balik yang Saling Menguntungkan
dalam waktu tertentu orang lain diharapkan berbuat serupa. Resiprositas sebagai salah satu elemen social capital senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan antar-individu dalam suatu kelompok atau antar-kelompok itu sendiri.
Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara hubungan timbal balik seketika seperti dalam proses jual beli, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruesm (semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain), tetapi resiprositas seseorang tidak sebatas mendapat barang atau jasa namun dapat menunaikan kepentingan sosial yaitu berupa penghargaan, baik ketika berperan sebagai pemberi ataupun penerima. Hubungan timbal balik (resiprokal) tidak akan terjadi bila sebelum terpenuhinya hubungan simetris, yaitu hubungan sosial, yang masing-masing pelaku menempatkan diri pada kedudukan dan peranan sama ketika proses pertukaran berlangsung serta didasari oleh kepedulian sosial. Sedangkan dalam pertukaran barang atau jasa tidak ada rasa kepedulian sosial dan hubunganya bersifat asimetris.
Bantuan tersebut diberikan kepada keluarga (kerabat), teman dekat, tetangga dekat sekitar tempat tinggal,karyawan, dan tentu saja relasi usaha seperti rekan usaha, dan pelanggan dan bantuan tidak hanya finansial, tenaga atau pikiran untuk membantu memecahkan persoalan. Wujud hubungan timbal balik yang dilakukan para pengusaha bordir terhadap orang lain seperti yang dituturkan Ibu Nurul Hikmah, Bapak H.Hasan, Ibu Mufarrikhah, Bapak Noor Kholid maupun Bapak Rosyadi, dalam cuplikan hasil wawancara sebagai berikut:
Ibu Nurul Hikmah60 mengatakan:
”menyisihkan sebagian penghasilan kita untuk shodaqoh
membantu orang lain yang membutuhkan, selalu kita lakukan sesuai dengan kemampuan ”.
Bapak H. Hasan61 mengungkapkan:
“Membantu sesama orang apalagi tetangga yang mempunyai kesusahan atau membutuhkan bantuan, nggih (ya ) pasti kita bantu, ya kita lihat dulu kalau musibah (sakit, kecelakaan) kita bantu uang meskipun sedikit, tetapi kalau masalah keluarga atau bisnis kita bantu nasehat. Dan kalau pas teman sudah kenal baik, dan dekat itu mantu, ya kadang nyumbang
uang dan ikut bantu tenaga”.
Ibu Mufarrikhah62 mengungkapkan kepada peneliti:
“dalam ajaran agama melakukan shodakoh kepada orang-orang yang memerlukan bantuan atau memberi sumbangan harus kita lakukan sesuai dengan kemampuan kita, dan membantu itu tidak hanya bentuk uang tetapi bisa dalam
bentuk nasehat kepada teman yang masih ada masalah”.
Bapak Noor Kholid63 mengungkapkan kepada peneliti sebagai
berikut:
nandhure apik ya ngunduhe ya apik (orang kalau menanam
kebaikan pasti mendapatkan kebaikan),”
Selanjutnya, Ibu Hj.Sri Murni‟ah64 mengungkapkan sebagai
berikut:
“adik-adik kawulo kita bantu sedoyo, bikak usaha bordir utawi konveksi supados saget mandiri, ya amargi kawulo sampun pikantuk titipan rejeki saking Gusti Allah ingkang luwih ketimbang adik-adik,menawi kagem tetanggi menawi pikantuk musibah sakit, sedho ya pasti kita bantu arto, amargi arto ingkang dipun betahaken”
Artinya:
Adik-adik saya, semua kita bantu membuka usaha bordir atau konveksi supaya bisa mandiri, ya karena saya sudah mendapat titipan rejeki dari Gusti Allah, yang lebih dari pada adik-adik, kalau untuk tetangga yang mendapat musibah sakit, meninggal ya pasti kita bantu uang, karena uang yang dibutuhkan saat itu.
Tindakan-tindakan hubungan timbal balik, sebagai bentuk inisiatif-inisiatif yang dilakukan individu merupakan tindakan yang di dalamnya terkandung semangat keaktifan, kepedulian dan hubungan timbal balik.
Hubungan timbal balik dengan berinisiatif bertukar pikiran dengan keluarga, kerabat, teman untuk mencari jalan keluar suatu masalah dengan mencari informasi yang dapat memperkaya pengetahuan. Berinisiatif mengikuti kegiatan dan perkumpulan sosial sehingga akan memperoleh keuntungan bagi orang lain maupun bagi dirinya dalam suatu hubungan sosial. Inisiatif untuk membangun hubungan timbal balik dengan cara bertukar pikiran dalam mengatasi masalah yang sedang terjadi dalam kehidupan pengusaha, baik itu masalah keluarga atau masalah yang terjadi dalam usahanya.
relasi usaha, dengan bertemu di suatu tempat atau mengundangnya ke rumah.
Ibu Hj Sri Murni‟ah diwawancarai peneliti mengungkapkan sebagai berikut:
“ingkang paling utami kaliyan semah (suami), lajeng kaliyan lare-lare, amargi sampun sami dewasa, menawi persoalanipun sangat penting lan keluarga boten saget ngrampungi sedoyo, kawulo dan semah (suami) ke kyai ingkang kawolu tepang”
Artinya:
Yang paling utama dengan suami, terus dengan anak-anak, sebab anak-anak sudah dewasa, kalau permasalahan penting dan keluarga belum bisa menyelesaikan, saya dan suami mendatangi kyai yang sudah dikenal.
Bapak H.Moch Anshori65:
“kalau ada masalah paling dengan isteri atau kerabat dekat, kakak atau adik untuk masalah keluarga, namun untuk masalah sosial menyelesaikan dengan teman-teman atau
relasi untuk berdiskusi”.
Sedangkan Bapak H.Hasan dalam mencari alternatif memecahkan masalah cenderung memilih berdiskusi dengan keluarga dan jarang berdiskusi dengan teman, Sedangkan Bapak Nur Syafiq lebih memilih mengundang teman-teman bisnis ke rumah.
Bapak H.Hasan66 menuturkan kepada peneliti:
“Kalau ada masalah, ya paling berdiskusi dengan anak,isteri
dan saudara dan jarang sekali masalah didiskusikan dengan
teman atau tetangga”
Sedangkan Bapak Nur Syafaq67, mengungkapkan:
“…. untuk membantu masalah yang dihadapinya, saya sering
CATATAN-CATATAN KAKI
1 Dialectic of the internalization of externality dan the externalizing of
internality,”Bourdieu,1997.Outline of Theory of Practice, translated Richard Nice,Cambridge University Press,USA.,hlm.72.
2 Arizal Mutahir.”Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu,Sebuah Gerakan untuk
Melawan Dominasi”. (Yogya:Bantus,Kasihan.Kreasi Wacana,2011).hlm.57.
3 Pengertian keluarga atau kerabat dalam konteks seberapa jauh interaksi sosial yang
terjadi antara anggota keluarga dengan para kerabat (red.peneliti).
4 Semakin tinggi kesadaran kehidupan berkelompok masyarakat akan memberikan
dampak positif baik bagi kelompok maupun lingkungan di luar kelompok.
5 Jaringan sosial adalah hubungan-hubungan terbentuk antar satu kelompok dengan
kelompok lain misal keluarga, kelompok kekerabatan, komunitas pengusaha, organisasi formal dan sebagainya.
6 Masyarakat politik akan menjadikan katalisator berharga dalam menjembatani
hubungan antara masyarakat kelompok dengan negara atau pemangku kepentingan.
7 Institusi adalah wadah atau lembaga dengan fungsi tertentu dari sekumpulan individu
yang keberadaannya telah ditentukan.
8 Norma adalah susunan dari pemahaman terhadap nilai-nilai kehidupan serta harapan
yang diyakini dan dijalankan oleh sekelompok orang.
9 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014. 10 Wawancara dengan Bapak Nur Said.S.Ag,.M.Ag tanggal 10 Oktober 2014. 11 Wawancara dengan Bapak.H.Gufron tanggal 13 Oktober 2014.
12 Interaksi sosial adalah hubungan antarmanusia yang sifat dari hubungan tersebut
adalah dinamis artinya hubungan itu tidak statis, selalu mengalami dinamika. Kemungkinan yang muncul ketika satu manusia berhubungan dengan manusia lainnya adalah hubungan antara individu dan individu yang lain, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Baca, Elly M.Setiadi dan Usman Kolip.
“Pengantar Sosiologi, Pemhaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori,
Aplikasi, Dan Pemecahannya” (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm.62.
13Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 14 Oktober 2014. 14 Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal 13 Oktober 2014. 15 Wawancara dengan H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014. 16 Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 18 Oktober 2014.
17 Kekuatan moral menurut F.M Suseno adalah kekuatan kepribadian seseorang yang
mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya
18“aja mitunani wang liya” (jangan merugikan orang lain) sering kali secara spontan
dikemukakan secara implisit jawaban informan terhadap berbagai aturan moral. Frans Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…,op cit.,hlm 54.Lihat juga Franz Magnis Suseno,
Kuasa dan….,op cit.,hlm.167.
19Niel, Mulder,Mysticism and Daily Life….,op, cit.,hlm.51. 20 Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq tanggal 18 Oktober 2014.
21Teori kritis mengandung dua arti. Pertama, kritis terhadap ajaran-ajaran di bidang
sosial yang ada pada waktu itu. Kedua, kritis terhadap masyarakat pada saat itu, yang perlu diubah secara radikal. Menurut teori kritis pengenalan tidak pernah merupakan suatu usaha yang terlepas dari atau terangkat dari aksi. Teori kritis menyadari bahwa kegiatan ilmiah pada pokoknya sama dengan memihak kepada suatu bentuk masyarakat tertentu. Maka teori kritis ingin memperjuangkan terwujudnya suatu masyarakat yang mempunyai dasar rasional. Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: UGM Press, 1986), hlm. 123.
22 Alasan prinsip hormat dan rukun sebagai acuan caranya bersikap baik dalam
pergaulan karena, menurut Magnis Suseno, dua prinsip itu paling menentukan
pertama-tama bagi pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kedua, kerangka normatif yang menentukan bentuk-bentuk konkrit semua interaksi dan ketiga, tuntutan dua prinsip itu selalu disadari oleh orang Jawa sejak kecil yang telah membatinkannya dan ia sadar bahwa masyarakat mengharapkan agar kelakuannya selalu sesuai dengan prinsip hormat dan rukun ini. Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah...., op. cit., hlm. 38.
23 Habitus yang merupakan kekuatan social capital adalah, modal hubungan sosial
yang jika diperlukan akan memberikan dukungan-dukungan bermanfaat yaitu, modal harga diri dan kehormatan yang sering kali diperlukan jika orang ingin menarik para klien pada posisi-posisi yang penting secara sosial dan yang bisa menjadi alat tukar, misalnya dalam karier politik. Piere Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), hlm. 503.
24 Menurut Magnis Suseno, antara bersikap hormat dan rukun dengan bersikap