• Tidak ada hasil yang ditemukan

INISIASI DAN PENGGANDAAN TUNAS RAMI (Boehmeria nivea (L.) Gaud) PADA BERBAGAI KONSENTRASI SITOKININ MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN (Initiation and multiplication of bud of rami (Boehmeria nivea (L.) Gaud) at several concentrations of cytokinine in vitro).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "INISIASI DAN PENGGANDAAN TUNAS RAMI (Boehmeria nivea (L.) Gaud) PADA BERBAGAI KONSENTRASI SITOKININ MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN (Initiation and multiplication of bud of rami (Boehmeria nivea (L.) Gaud) at several concentrations of cytokinine in vitro)."

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

INISIASI DAN PENGGANDAAN TUNAS RAMI (Boehmeria nivea (L.) Gaud)

PADA BERBAGAI KONSENTRASI SITOKININ MELALUI TEKNIK

KULTUR JARINGAN

(Initiation and multiplication of bud of rami (Boehmeria nivea (L.) Gaud) at several concentrations of cytokinine in vitro)

Reni Mayerni

ABSTRACT

The experiment was conducted in Tissue Culture Labora-tory Department of Agronomy Faculty of Agriculture Andalas University from May to September 2004. The objective of the experiment was to obtain the best concentration of cytokinine BAP for bud induction of ramie. Treatments were arranged in Factorial experiment 2 x 5 in Completely Randomized Design with five replica-tions. The first factor was two kinds of bud namely: auxiliary bud = t0 and rhizomatous bud = t1, while the se-cond factor consisted of five levels of cytokinine concen-tration namely: 0 mg/l = b0, 1 mg/l = b1, 2 mg/l = b2, 3 mg/l = b3, and 4 mg/l = b4. Results showed that concen-trations of cytokinine cannot promote budding of ramie either through auxiliary bud or rhizomatous bud. However, cytokinine at 3 and 4 mg/l increased budding of ramie as much as 6 %.

Key words: rami, Boehmeria nivea,cytokinine

PENDAHULUAN

Industri tekstil di Indonesia mengalami perkem-bangan yang pesat sehingga pada tahun 1992 menjadi penghasil devisa tertinggi di antara komoditas nonminyak dan nongas dengan nilai ekspor sebesar US $ 3.5 milyar. Industri tekstil tersebut tidak berbasis pada produksi bahan baku domestik yang kuat. Bahan baku tekstil yang berupa serat kapas harus diimpor. Setiap tahun Indonesia mengimpor kapas dalam jumlah besar.

Indonesia sebagai negara agraris sampai saat ini masih mendatangkan kapas sebagai bahan baku industri tekstil sebanyak 92% - 95% dari kebutuhan nasional, karena produksi kapas dalam negeri hanya mampu memenuhi 5% – 8% dari kebutuhan tersebut (Sumarno, 1980). Menurut Deperindag (2000) kebutuhan kapas Indonesia mencapai 700.000 ton th-1. Salah satu upaya

untuk mengurangi ketergantungan pada kapas sebagai bahan baku utama tekstil adalah peng-gunaan serat alam lain yang berasal dari tanaman rami yang memiliki karakteristikanya mirip kapas dan dapat digunakan sebagai bahan baku tekstil seperti yang dikemukakan oleh Buxton dan

Greenhalgh (1989). Keunggulan lain dari rami adalah produktivitas per hektarnya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kapas, yaitu 5.65 : 1 (Sumantri, 1989).

Perawatan rami tidak begitu sulit dan daerah penanamannya tidak begitu spesifik seperti hal-nya kapas. Selain itu, tanaman rami menghasil-kan serat yang tergolong eksklusif dan digemari konsumen serta paling cocok dikembangkan di daerah tropis (Sumantri, 1984). Tondl (1995) menyatakan bahwa tanaman rami telah lama di-kenal dan diusahakan secara komersil. Serat rami mempunyai sifat yang baik, yaitu berwarna sangat putih, berkilau, tidak berubah warna dan tidak berkerut oleh sinar matahari, higroskopis, dan mudah kering. Serat rami merupakan salah satu bahan baku tekstil yang pemakaiannya dapat dicampur dengan serat kapas atau polyester. Selain itu, serat rami juga dapat dimanfaatkan se-bagai bahan gorden, handuk, campuran wol, dan kain tenda. Buxton dan Greenhalgh (1989) me-nyatakan bahwa serat rami juga dapat digunakan untuk terpal, kaus lampu tekan, uang kertas, dan kertas sigaret. CNI (2002) melaporkan bahwa minyak mentah biji rami berkhasiat dalam mencegah dan mengobati kanker, arteriosklero-sis, stroke, serangan jantung, dan luka lambung karena biji rami mengandung minyak yang kaya protein sulfur yang dapat mengaktifkan asam lemak. Oleh sebab itu, tanaman rami dapat di-kembangkan semakin luas dan prospeknya sangat cerah. Keberhasilan pengembangan tanaman rami akan dapat membantu dalam menghemat devisa negara atau bahkan menghasilkan tambah-an devisa karena komoditas rami laku dipasarktambah-an di pasar internasional (Riyadi, 1991).

Usaha peningkatan produksi rami Indonesia dilakukan dengan ekstensifikasi dengan pengem-bangan luas areal rami. Kopserindo (2003) telah mulai menggarap perluasan penanaman rami di 12 belas titik seperti di Lampung (Lampung Uta-ra, Tanggamus, Wai Kanan), Sumatera Selatan (Muara Enim, Ogan Komering Ulu, Lahat, Pagar

(2)

Alam), Sumatera Utara (di Kabupaten Toba) dengan luas areal paling kurang ditiap titik 40 ha, untuk tiap hektar dibutuhkan 44.000 stek bibit rami, dilaporkan juga bahwa areal untuk kebun bibit sangat terbatas karena untuk satu tanaman hanya mampu menyediakan 20 buah stek rim-pang bibit, sehingga kebutuhan bahan tanam rami dimasa mendatang semakin tinggi. Permasalahan yang dihadapai dalam penyediaan bahan tanam adalah penyediaan bahan tanam unggul dalam jumlah banyak dan waktu singkat. Secara konvensional penyediaan bahan tanam dilakukan dengan membongkar perakaran tanaman induk untuk diambil stek rimpangnya dan harus diambil secara hati-hati agar tidak terlalu mengganggu pertumbuhan pohon induk berikutnya. Pohon induk dapat diambil stek rimpangnya setelah berumur setahun. Dengan cara konvensional itu kualitas bahan tanam yang dihasilkan tidak seragam dan butuh waktu yang lama dan merusak tanaman induk. Berdasarkan permasalahan ter-sebut perlu ditemukan teknik alternatif untuk per-banyakan tanaman rami yang mampu menjamin keseragaman bibit dan kestabilan genetik bahan tanam tersebut.

Teknik kultur jaringan telah digunakan seca-ra luas untuk memperbanyak tanaman secaseca-ra ko-mersil baik untuk tanaman semusim maupun un-tuk tanaman tahunan. Di India perkembangan perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan tanaman perkebunan telah berkembang dengan pesat, seperti the, kopi, vanili dan tebu (Govil dan Gupta, 1997). Di Indonesia perkembangan in-dustri pembibitan tanaman hortikultura maupun tanaman tahunan (kehutanan, industri dan perke-bunan) menggunakan teknologi kultur jaringan juga berkembang dengan pesat seperti tanaman jati (Gunawan, 1998), kelapa (Hayati et al., 2000) dan tanaman hortikultura (Imelda et al., 1998; dan Hutami et al., 1998). Oleh karena itu peman-faatan teknologi kultur jaringan untuk penyediaan bahan tanaman rami unggul perlu dilakukan.

Faktor yang sangat menentukan dalam kultur jaringan adalah penggunaan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan dalam media kultur yaitu sito-kinin dan auksin. Sitosito-kinin berperan dalam men-dorong pertumbuhan sel dan jaringan serta inisia-si pembentukan tunas. Sitokinin yang paling ba-nyak dipakai adalah BAP (Benzyladenin purin). Pada konsentreasi berapa BAP berpengaruh pada propagasi dan pertumbuhan tunas aksplant rami belum diketahui secara pasti.

Berdasarkan hal di atas maka penulis telah melakukan percobaan mengenai upaya peng-gandaan tunas rami (Boehmeria nivea (L.) Gaud) pada berbagai konsentrasi Sitokinin secara in-vitro. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan

konsentrasi Sitokinin yang sesuai guna mendo-rong pertunasan rami.

BAHAN DAN METODE

Percobaan ini akan dilaksanakan di Labora-torium Kultur Jaringan Jurusan Budidaya Perta-nian Fakultas PertaPerta-nian Universitas Andalas Padang. Percobaan ini dimulai dari bulan Juni sampai Desember 2004, jadwal percobaan pada lampiran

Bahan tanaman yang digunakan dalam per-cobaan ini adalah tunas aksiler, dan tunas rizom yang berasal dari tanaman rami. Media yang di-gunakan adalah media MS yang diperkaya de-ngan zat pengatur tumbuh sitokinin BAP (Benzyladenin purin), 7 g agar, 2 g arang aktif, alkohol 70%, Agrimicyn, Benlate, Tween 80, NaOH, HCl, Bayclin, asam ascorbit, dan akuades steril.

Alat-alat yang digunakan meliputi; Timbang-an, gelas piala, gelas ukur, labu ukur, corong gelas, kertas saring, pemanas elektrik, autoclave, oven, botol kultur, pH meter, pinset, gunting, skalpel, petridish, laminar air flow cabinet, alu-minum foil, plastik isolasi, dan lain-lain.

Rancangan yang digunakan adalah Rancang-an Acak Lengkap (RAL) berpola faktorial dua faktor.

Faktor pertama adalah Asal tunas, yaitu : tu-nas aksiler = (t0);tutu-nas rizom = (t1). Faktor kedua adalah zat pengatur tumbuh BAP yang terdiri dari 6 taraf yaitu :0 mg/l = (b0);1 mg/l = (b1);2 mg/l = (b2);3 mg/l = (b3);4 mg/l = (b4);5 mg/l = (b5).

Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali, pada masing-masing satuan percobaan terdiri dari 2 botol, sehingga seluruhnya terdapat 100 satuan percobaan.

Pelaksanaan Percobaan 1. Penyediaan bahan tanam

Percobaan dilaksanakan dalam keadaan asep-tik dan seluruh pekerjaan dilaksanakan di dalam laminar air flow. Eksplan berasal dari tunas aksiler dan tunas rizom. Setelah penanaman, dilakukan penggelapan 1 minggu. Tiap botol kultur ditanam dua eksplan. Hasil penanaman disimpan dan disusun pada rak-rak dalam ruang kultur ber AC dengan suhu 21-22 oC.

2. Sterilisasi alat dan media

(3)

dengan kertas duplikator yang telah dibasahkan dengan air kemudian disterilisasikan di dalam autoclave dengan tekanan 15 kgF cm-1 pada suhu

121oC selama 30 menit. da tekanan 15 kgF cm-1

pada suhu 121oC .

3. Pembuatan Media

Media yang digunakan adalah media MS yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh sitokinin BAP (Benzyladenin purin). Media yang telah disterilkan disimpan dalam ruang inkubasi selama 1 minggu untuk melihat apakah ada yang terkontaminasi atau tidak.

4. Sterilisasi Eksplan

Untuk masing-masing perlakuan, tunas dicu-ci bersih terlebih dahulu pada air mengalir. Kemudian dicuci dengan Tween 2 tetes dalam 00 ml air, airnya dibuang kemudian direndam de-ngan Benlate 2 g l-1 dan streptomicin 0.5 g l-1

selama 30 menit. Setelah dibuang airnya, kemu-dian direndam dalam Bayclyn 10 % selama 15 menit. Setelah itu, direndam lagi dalam Bayclyn 5% selama 15 menit. Terakhir eksplan dibilas dengan aquadest steril, kemudian baru ditanam.

5. Penanaman Eksplan

Penanaman eksplan dilakukan di dalam LAFC yang telah disinari sinar UV. Botol kultur yang telah berisi media dan alat-alat lain yang akan digunakan disemprot dengan alkohol 70% dan dimasukkan ke dalam LAFC. Setelah itu bo-tol kultur ditutup kembali menggunakan plastik wrap sambil didekatkan keapi dari lampu spiritus. Semua pekerjaan itu dilakukan dalam LAFC.

6. Pemeliharaan

Pemeliharaan dimulai sejak penanaman pada media perlakuan sampai berakhirnya pengamat-an. Pemeliharaan meliputi pemeliharaan keber-sihan ruang kultur. Ruang yang tidak bersih da-pat mengakibatkan kontaminasi, eksplan yang te-lah terkontaminasi segera dipisahkan dan dike-luarkan dari ruang kultur. Pemeliharaan dilaku-kan dengan menjaga temperatur ruang kultur tetap 20-25oC

5. Pengamatan dan analisis data

Pengamatan dilakukan untuk mengetahui laju pertumbuhan eksplan, meliputi persentase eks-plan yang hidup, persentase ekseks-plan yang terkon-taminasi, persentase inisiasi pertunasan, jumlah tunas, dan tinggi tunas. Data yang diperoleh di-analisis dengan menggunakan uji F dan uji lanjut BNT pada taraf nyata 5 % dan 1%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan dilakukan dua (2) kali, karena percobaan pertama hampir semua media ter-kontaminasi. Kontaminasi disebabkan senyawa fenol yang berasal dari tunas sehingga pada hari ketiga sudah terjadi browning sampai hari ketu-juh sehingga percobaan perlu diulang kembali. Pada percobaan ke dua, eksplan yang berasal dari tunas rizom hampir seluruhnya mengalami browning. Sehingga eksplan yang tinggal hanya eksplan yang berasal dari tunas aksiler.

Pada pengamatan persentase eksplan yang hidup, persentase eksplan yang terkontaminasi, waktu inisiasi pertunasan dan jumlah tunas, serta tinggi tunas tidak dianalisis ragam karena data yang didapat tidak mencukupi sehingga tidak memenuhi syarat untuk dianalisis.

1. Eksplan yang hidup dan Kontaminasi (%)

Eksplan yang tidak dikategorikan sebagai eksplan hidup, umumnya mengalami pencoklatan dan terkontaminasi organisme, dari hasil yang diperoleh, eksplan yang hidup adalah yang tidak mengalami pencoklatan dan tidak terkontaminasi oleh mikroorganisme dan warna eksplan masih hijau.

Berdasarkan perlakuan, eksplan yang berasal dari tunas rizom hanya 30% yang hidup. Dari 70% yang tidakhidup 60% diantaranya terkonta-minasi mikroorganisme. Perlakuan 3 g/ml sampai 5 g/ml kinetin belum mampu mengurangi terjadi-nya pencoklatan pada eksplan dan menurunkan persentase eksplan yang hidup. Pada perlakuan eksplan yang berasal dari tunas aksiler, 80% hi-dup. Dari 20% yang tidak hidup, 30% diantara-nya mengalami kontaminasi. Penambahan 2 g/l sampai 5 g/l kinetin sudah mampu mengurangi terjadinya pencoklatan pada eksplan dan mem-pertinggi persentase eksplan yang hidup.

(4)

sitokinin, bukan berarti sitokinin tidak dapat di-tambahkan ke dalam media tapi perlu diperhati-kan keseimbangannya. Disamping tanaman rami juga melepaskan eksudan yaitu senyawa hasil metabolisme sekunder. Eksudan ini terakumulasi disekitar jaringan yang luka, sehingga terjadi pencoklatan.

2. Inisiasi pertunasan (%)dan Jumlah Tunas

Dari semua eksplan yang hidup pada asal eksplan tunas aksiler, sampai terakhir peng-amatan hanya 3 eksplan yang sampai membentuk tunas. Perlakuan tanpa pemberian sitokinin, 3 mg/l dan 4 mg/l masing-masing membentuk satu tunas atau hanya 6% terbentuk tunas. Hal ini diduga karena belum seimbangnya zat pengatur tumbuh yang terdapat pada media, sehingga ke-mampuan untuk membentuk tunas juga sangat dipengaruhi. Untuk pertumbuhan dan perkem-bangan eksplan selanjutnya sangat dipengaruhi oleh konsentrasi dan kombinasi zat pengatur tumbuh yang ditambahkan. Pada percobaan ini hanya diberikan sitokinin saja, dengan dugaan bahwa eksplan akan mampu membentuk tunas dengan baik. Wetherell (1982) menyatakan bah-wa interaksi dan perimbangan antara auksin dan sitokinin yang ada pada media dan diproduksi oleh tanaman secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur.

3. Tinggi tunas

Tunas mulai terbentuk pada hari ke-13 setelah tanam. Dari ketiga tunas yang terbentuk dari eksplan asal tunas aksiler, sampai akhir pengamatan pada tanpa penambahan sitokinin sudah mencapai 1 cm, pada penambahan 2 mg/l dan 3 mg/l tinggi tunas belum mencapai 1 cm. Tunas yang terbentuk diduga karena tunas tanam-an rami ytanam-ang dijadiktanam-an ekspltanam-an sudah memiliki bakal tunas. Munculnya tunas ini semakin diper-cepat dengan adanya penambahan zat pengatur tumbuh kedalam media. Respon pembentukan tunas pada masing-masing tunas tanaman rami yang ditanam pada media yang berbeda adalah tidak sama.

Arah perkembangan eksplan selain dipenga-ruhi oleh jenis eksplan yang digunakan juga sa-ngat ditentukan oleh besarnya kombinasi dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan ke dalam media perlakuan. Gunawan (1987) me-nyatakan bahwa auksin berpengaruh terhadap pertumbuhan jaringan tanaman sedangkan sitoki-nin sangat penting dalam pembelahan sel. Pemakaian sitokinin dengan dosis terlalu tinggi akan menyebabkan banyak tunas yang terbentuk,

tetapi pertumbuhan masing-masing tunas terham-bat (George dan Sherrington, 1984; Pierik, 1987; Wattimena, 1988).

UCAPAN TERIMAKASIH

Disampaikan terimakasih kepada Lembaga Penelitian Universitas Andalas, Padang yang te-lah memberikan bantuan dana sehingga peneli-tian sampai penulisan laporan ini dapat terlak-sana.

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil percobaan mengenai pe-nambahan zat pengatur tumbuh sitokinin untuk penggandaan tunas tanaman rami didapati bahwa tidak bahasan langsung mengenai perlakuan mana yang terbaik guna mendukung induksi organogenesis tunas tanaman rami. Namun ter-dapat kesimpulan yang ter-dapat dipelajari sebagai berikut :

1. Persentase eksplan hidup tertinggi diperoleh dari eksplan yang berasal dari tunas aksiler dengan perlakuan 2 g/l sampai 5 g/l kinetin.

2. Inisisasi pertunasan terdapat pada perlakuan tanpa pemberian kinetin, 3 g/l dan 4 g/l kinetin dengan persentase eksplan memben-tuk hanya 6%.

3. Hanya eksplan asal tunas aksiler yang mam-pu menekan pencoklatan.

2. Saran

1. Disarankan untuk memperbanyak tanaman rami secara in-vitro menggunakan eksplan asal tunas aksiler

2. Menggunakan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin dengan konsentrasi yang ber-variasi pada media, sehingga terdapat keseimbangan pada media.

DAFTAR PUSTAKA

Baharsjah, S. 1993. Pidato pengarahan Menteri Muda Pertanian pada Seminar Rami di Malang. Pros. Seminar Rami. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Buxton, A., and P.Greenhalgh. 1989. Ramie, short live curiosity or fibre. The Future Textile Outlook International, May, 1989. The Economist Intelligence Unit, London (5) : 52 – 71.

(5)

George, F.E., and P.D. Sherrington. 1984. Plant propagation by tissue culture. Exegenetics Ltd. Eversley, Basing-stoke, Hants. RG27 OQY, England. 709 p.

Govil, S., dan S. C. Gupta. 1997. Cooercialization of plant tissue culture in India. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 51: 65-73. 1997.

Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuh. PAU Bioteknologi. IPB Bogor. 252 p.

Gunawan, L.W. 1998. Regenerasi pucuk dan embrio somatik dalam kultur arsenik jati. Hayati. Juni 1998. 44-49. Hayati, P.K.D., Alex Hartana, Suharsono, dan H. Aswinnoor.

2000. Keanekaragaman genetika kelapa ‘Genjah Jombang’ berdasarkan RAPD. Hayati. Juni 2000. 35-40.

Hutami, S., N. Sumarlin, Y. Suprianti, dan I. Meriska. 1998. Perbanyakan in vitro tanaman nilam Khimera melalui tunas aksiler. Jurnal Bioteknologi Pertanian. 3(2):43-52. Imelda, M., T. Setyowati dan Juleha. 1998. Penyediaan bibit tanaman sungkai (Peronema canescens) melalui prolife-rasi tunas adventif. Jurnal Bioteknologi Pertanian. 3(2):52-53.

Kementrian Koperasi dan UKM. 2003. Produk hukum.

http://www.depko.go.id. 3 Maret 2003.

Pierik, R.L.M. 1987. In vitro culture of higher plant. Martinus Nijhoff Publ. Netherlands. 344p.

PT Cakrawala Pengembangan Agro Sejahtera. 2002. Order rami cina tak mampu dipenuhi. Jakarta.

Riyadi, S. 1991. Informasi teknis. Balai Penelitian Tem-bakau dan Tanaman Serat. Malang. 63 hal.

Sumantri, R.H.L. 1984. Haramay (Ramie), penanaman, pe-meliharaan dan kegunaan. Team Proyek Pengembangan Haramay Jawa Barat, Bandung. 54 hal.

Sumantri,R.H.L. 1989. Prospek pengembangan komoditi haramay sebagai bahan baku tekstil dan bahan ekspor nonmigas. Makalah Seminar Pengembangan Tanaman Haramay di Jawa Barat. Bandung. 14 hal.

Sumarno. 1980. Suatu studi kemungkinan penggunaan serat rami sebagai bahan baku tekstil. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Tekstil, Bandung. 103 hal. Thaib,R. 1977. Perbanyakan enau (Arenga pinnata (Wurm.)

Merr) secara in-vitro. Tesis program Pascasarjana. Universitas Andalas, Padang. 121 hal.

Tondl, R. 1995. Ramie.

http://www.ianr.unl.edu.pubs/textiles. 5 Maret 2003. Wattimena, G.A. 1988. Zat pengatur tumbuh tanaman. Pusat

Antar Universitas. IPB, Bogor.

Wetherell. 1982. Pengantar propagasi tanaman secara in vitro. IKP. Semarang. Press. 110 p.

Zaid, A. 1985. In-vitro browning of tissue and media with special emphasis to date palm culture- A review. In Acta Horticulture Vol.11. Symp.on In-vitro Problems Related to Mass Propagation of Horticultural Plants. Pp 561-566.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan Pola Usaha II diharapkan petani akan tertarik mengusahakan tanaman rami karena secara finansial layak diusahakan serta keuntungan yang diperoleh lebih besar dari pada

Tujuan dari Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM-GT) ini adalah untuk memberikan gagasan tentang potensi pengembangan serat nano alam (natural

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa, kombinasi konsentrasi giberelin dan pupuk organik cair asal rami menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap diameter batang

Terdapat pengaruh kombinasi konsentrasi pupuk organik cair dan klon terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman rami (Boehmeria nivea L. Gaud) pada variabel pengamatan