• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Spons

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Spons"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi Spons

Spons adalah hewan yang termasuk Filum Porifera. Filum Porifera terdiri dari tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida (Haywood &

Wells 1989; Sara 1992; Rachmaniar 1996; Romimohtarto & Juwana 1999), sedangkan menurut Warren (1982), Kozloff (1990), Harrison dan De Vos (1991), Pechenik (1991), Ruppert dan Barnes (1991), Filum Porifera terdiri dari empat kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, Hexactinellida, dan Sclerospongia.

Kelas Calcarea adalah kelas spons yang semuanya hidup di laut. Spons ini mempunyai struktur sederhana dibandingkan yang lainnya. Spikulanya terdiri dari kalsium karbonat dalam bentuk calcite. Kelas Demospongiae adalah kelompok spons yang paling dominan di antara Porifera masa kini. Jenis ini tersebar luas di alam, serta jumlah jenis maupun organismenya sangat banyak. Mereka sering berbentuk masif dan berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit, dihubungkan dengan kamar-kamar bercambuk kecil yang bundar. Spikulanya ada yang terdiri dari silikat dan ada beberapa (Dictyoceratida, Dendroceratida dan Verongida) spikulanya hanya terdiri serat spongin, serat kollagen atau tanpa spikula. Kelas Hexactinellida merupakan spons gelas. Mereka kebanyakan hidup di laut dalam dan tersebar luas. Spikulanya terdiri dari silikat dan tidak mengandung spongin (Warren 1982; Kozloff 1990; Brusca & Brusca 1990;

Ruppert & Barnes 1991; Romimohtarto & Juwana 1999). Kelas Sclerospongia merupakan spons yang kebanyakan hidup pada perairan dalam di terumbu karang atau pada gua-gua, celah-celah batuan bawah laut atau terowongan diterumbu karang. Semua jenis ini adalah bertipe leuconoid yang kompleks yang mempunyai spikula silikat dan serat spongin. Elemen-elemen ini dikelilingi oleh jaringan hidup yang terdapat pada rangka basal kalsium karbonat yang kokoh atau pada rongga yang ditutupi oleh kalsium karbonat (Warren 1982; Kozloff 1990; Harrison & De Vos 1991; Pechenik 1991; Ruppert & Barnes 1991).

Morfologi luar spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi, dan biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan yang terbuka dan berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga merambat.

Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung

(2)

tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal (Bergquist 1978).

Spons dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis, atau masif bentuknya dan agak tidak teratur. Banyak spons juga terdiri dari segumpal jaringan yang tak tentu bentuknya, menempel dan membuat kerak pada batu, cangkang, tonggak, atau tumbuh-tumbuhan. Kelompok spons lain mempunyai bentuk lebih teratur dan melekat pada dasar perairan melalui sekumpulan spikula. Bentuk-bentuk yang dimiliki spons dapat beragam.

Beberapa jenis bercabang seperti pohon, lainnya berbentuk seperti sarung tinju, seperti cawan atau seperti kubah. Ukuran spons juga beragam, mulai dari jenis berukuran sebesar kepala jarum pentul, sampai ke jenis yang ukuran garis tengahnya 0.9 m dan tebalnya 30.5 cm. Jenis-jenis spons tertentu nampak berbulu getar karena spikulanya menyembul keluar dari badannya (Romimohtarto & Juwana 1999).

Banyak spons berwarna putih atau abu-abu, tetapi lainnya berwarna kuning, oranye, merah, atau hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut zoochlorellae yang terdapat didalamnya (Romimohtarto & Juwana 1999). Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesa mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons umumnya adalah cyanophyta (cyanobacteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau zooxanthella). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun termasuk dalam jenis yang sama. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah (Wilkinson 1980).

Secara umum spons terdiri dari beberapa jenis sel yang menyusun struktur tubuh dan biomassanya. Sel-sel tersebut memiliki fungsi yang berperan dalam organisasi tubuh spons. Dinding tubuh spons terorganisasi secara sederhana.

Lapisan luar dinding tubuh disusun oleh sel-sel pipih yang menyerupai sel epitel pada hewan lain, yang disebut pinacocytes, membentuk lapisan pinacoderm.

Perbedaan sel ini dengan sel epitel hewan lainnya adalah tidak adanya basal lamina dan saluran interseluler, serta dapat berkontraksi atau menyusut, sehingga dapat mengubah ukuran spons. Selain itu, sel pinacocytes

(3)

menghasilkan material seksresi yang dapat melekatkan spons ke substratnya.

Pada dinding tubuh spons juga terdapat pori-pori yang dibentuk oleh porocyte, yaitu sel berbentuk cincin yang berkembang dari permukaan luar ke bagian spongocoel. Sel-sel ini dapat membuka dan menutup dengan adanya kontraksi.

Pada bagian dalam pinacoderm terdapat mesohyl, yang terdiri dari matriks protein bergelatin yang mengandung skeleton dan sel-sel amoeboid. Lapisan ini berfungsi seperti jaringan ikat pada metazoa lainnya. Skeleton spons demospongia terbentuk dari spikula bersilika dan serat protein spongin. Materi inilah yang membentuk dan menyokong bangun tubuh spons. Spikula spons memiliki jenis yang beragam, sehingga dijadikan dasar untuk identifikasi spons.

Secara umum, spikula terbagi menjadi megascleres (spikula berukuran besar dan merupakan elemen penyokong utama dalam skeleton) dan microscleres (spikula berukuran kecil). Spikula berada di dalam mesohyl, namun sering juga ditemukan pada lapisan pinacoderm. Sementara itu, serat spongin merupakan serat protein yang menyerupai kolagen. Spons dengan serat spongin yang berlimpah, biasanya memiliki morfologi yang keras dan padat (kasar). Selain itu, pada banyak spesies, seringkali sebagian atau keseluruhan spikula bersilika ditutupi oleh serat spongin ini, sehingga menjadi lebih kaku.

Sel-sel amoeboid dapat ditemukan pada mesohyl, dan tersusun dari beberapa jenis sel. Archaeocyt adalah sel berukuran besar dengan nukleus yang besar pula. Sel ini merupakan sel fagositosis dan berperan dalam digesti makanan. Sel ini juga bersifat totipotent (dapat berubah fungsi), sehingga dapat berubah fungsi menjadi sel lain yang dibutuhkan oleh spons. Sel-sel tetap yang disebut dengan collencytes, berfungsi mensekresikan jaringan kolagen yang menyebar pada dinding tubuh spons.

Spikula pembentuk skeleton dihasilkan oleh sel-sel sclerocyte yang bersifat amoeboid. Sementara jaringan spongin merupakan hasil sekresi sel-sel spongocytes.

Choanocytes, adalah lapisan sel yang terdapat pada bagian dalam mesohyl, sejajar dengan spongocoel. Sel ini memiliki struktur yang menyerupai protozoa choanoflagelata. Choanocyte berbentuk bulat, dengan satu ujungnya terhubung ke mesohyl. Sisi berlawanan dengan bagian tersebut memiliki flagella yang dikelilingi oleh mikrovilli. Sel choanocyte berperan dalam pergerakan air dalam tubuh spons dan untuk menyediakan makanan (Rupert & Barnes 1994).

Gambar 1 menunjukkan struktur organisasi sel-sel penyusun tubuh spons.

(4)

Gambar 1 Struktur organisasi tubuh spons (sumber: www.maricopa.edu)

Selain sel-sel yang telah disebutkan di atas, spons juga bersimbiosis dengan beberapa mikroorganisme, seperti bakteri. Menurut Friedrich et al. (2001, diacu dalam Thakur & Mϋller 2004), diperkirakan sekitar 40% biomassa beberapa spons disusun oleh komunitas bakteri. Bakteri-bakteri tersebut merupakan simbion dalam tubuh spons. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa simbion-simbion tersebut memiliki peranan dalam produksi senyawa bioaktif yang berfungsi dalam adaptasi ekologi spons (Faulkner et al. 1994;

Kobayashi & Kitagawa 1994; Guyot 2000; Proksch et al. 2003; Rahe 2004;

Thakur & Mϋller 2004; dan Zheng et al. 2004).

Proses interaksi antara spons dan mikroba simbionnya belum sepenuhnya diketahui. Beberapa teori mengemukakan bahwa proses rekrutmen mikroba simbion dilakukan spons pada saat proses filter feeder, dan masuk ke dalam mesohyl. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa selain mikroba episimbion yang melekat pada bagian permukaan spons selama masa pertumbuhan (Carpenter 2002; Chelossi et al. 2004), beberapa bakteri dan khamir (fungi) diturunkan secara genetis dalam tubuh spons (Maldonado et al.

2005; Oren et al. 2005; Steindler et al. 2005). Mikroba simbion spons, selain berperan dalam produksi senyawa bioaktif, juga memiliki peran menjaga kestabilan pertumbuhan dan kesehatan spons. Simbion-simbion tersebut memiliki peran penting dalam penyediaan energi dan nutrisi (Carpenter 2002;

Steindler 2002,2005), menghambat mikroba patogen (Faulkner et al. 1994), serta sebagai pelindung terhadap radiasi sinar uv dan penghasil enzim antioksidan (Steindler 2002).

(5)

Gambar 2 Spons laut Aaptos aaptos.

Spons Aaptos aaptos dapat ditemukan di Kepulauan Seribu, yaitu di Pulau Lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka, yang memiliki kondisi lingkungan yang cukup berbeda (IPB 2005). Spons ini termasuk ke dalam famili Suberitidae, Schmidt 1870, dengan morfologi yang masif. Spons genus Aaptos Gray,1867 (diacu dalam Hooper 2000), memiliki morfologi yang berbentuk spherical/subspherical (bundar/agak bundar), soliter, dengan permukaan yang halus atau berserabut, dan skeleton radial. Saluran spikula pada spons genus ini mengarah keluar dari bagian tengah spons secara bervariasi. Korteksnya yang tipis mengandung kolagen, barisan dua jenis spikula berukuran kecil, dan spikula berukuran sedang pada bagian saluran ektosomal plumose. Spikula primer spons genus Aaptos biasanya berupa strongyloxea, spikula yang berukuran sedang berbentuk lurus atau melengkung atau subtylostyle, sementara spikula ektosomal dapat berupa style, subtylostyle, dan/atau tylostyle yang lebih kecil. Pada beberapa spesies dapat juga ditemukan oxea (Kelly- Borges & Bergquist 1994, diacu dalam Hooper 2000).

Gambar 3 Spons laut Petrosia sp., berbentuk lembaran: (a) melekat pada substrat karang; (b) dengan makrofauna pada permukaannya (berwarna putih).

b

(6)

Spons Petrosia sp. juga dapat ditemukan di Kepulauan Seribu, antara lain di Pulau Pramuka dan Pulau Pari (IPB 2005). Spons ini termasuk ke dalam famili yang sama dengan Xestospongia, yaitu Petrosiidae, Van Soest 1980. Skeleton ektosomal spesies ini berupa potongan spikula yang seragam (isotropic), dengan skeleton choanosomal yang tersusun atas saluran spikula yang padat dan terikat dengan sedikit spongin, sehingga membentuk tekstur yang keras.

Spesies ini memiliki sekitar 2 jenis ukuran oxeote atau spikula strongylote (Bergquist & Warne 1980; van Soest 1980, diacu dalam Hooper 2000). Skema taksonomi spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dapat dilihat pada Lampiran 1.

Penelitian yang dilakukan Susanna (2006) menunjukkan bahwa kedua jenis spons (Aaptos aaptos dan Petrosia sp.) memiliki jumlah dan kelimpahan jenis yang semakin meningkat seiring bertambahnya kedalaman. Hal ini dikatakan terkait dengan kondisi lingkungan perairan yang semakin kondusif seiring bertambahnya kedalaman. Susanna (2006) juga menyatakan bahwa spons jenis Aaptos aaptos (yang diidentifikasi awal sebagai Xestospongia sp.2) dan Petrosia sp. merupakan jenis yang dominan ditemukan pada perairan Kepulauan Seribu (P. Lancang, P. Pari dan P. Pramuka).

Metabolit Sekunder

Secara ekologis, spons terdapat pada beragam kondisi habitat. Ini menimbulkan pertanyaan mengenai mekanisme adaptasi spons, yang merupakan hewan sederhana, terhadap kondisi lingkungan habitat. Penelitian- penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa spons memiliki pertahanan diri secara kimiawi (metabolit sekunder). Senyawa-senyawa kimiawi tersebut bermanfaat untuk mempertahankan diri dari tekanan kompetitor, reaksi antagonisme, infeksi maupun predasi oleh organisme laut lainnya.

Spons menghasilkan dua jenis metabolit selama masa pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer adalah metabolit yang dibentuk selama masa pertumbuhan dan digunakan dalam proses-proses metabolisme esensial bagi organisme. Produksi metabolit ini hampir serupa pada semua organisme, melibatkan proses anabolisme dan katabolisme, contohnya lintasan pembentukan glukosa.

Sementara itu, metabolisme sekunder adalah komponen senyawa yang diproduksi pada saat kebutuhan metabolisme primer sudah terpenuhi dan digunakan dalam mekanisme evolusi spesies atau strategi adaptasi terhadap

(7)

lingkungan(Torssell 1983). Karakteristik senyawa metabolit sekunder adalah (Crueger & Crueger 1982; Madigan et al. 2000):

a. Masing-masing senyawa metabolit sekunder dihasilkan oleh beberapa organisme tertentu saja.

b. Metabolit sekunder bukanlah merupakan senyawa yang esensial bagi pertumbuhan dan reproduksi.

c. Pembentukan senyawa metabolit sekunder sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan organisme.

d. Beberapa senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan organisme merupakan kelompok senyawa yang berkerabat (memiliki kesamaan struktur).

e. Beberapa organisme membentuk berbagai substansi yang berbeda sebagai metabolit sekundernya.

f. Regulasi biosintesis metabolit sekunder sangat berbeda dengan metabolit primer.

g. Produksi metabolit sekunder seringkali dapat terjadi secara berlebihan jika terkait dengan produksi metabolit primer.

h. Produk metabolit sekunder dapat berasal dari hasil samping produk metabolit primer, atau disebut juga berasal dari beberapa produk intermedia yang terakumulasi selama metabolisme primer.

Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spons memiliki keragaman yang sangat tinggi. Senyawa-senyawa tersebut antara lain adalah derivat asam amino, dan nukleosida hingga makrolida, porphyrine, terpenoid hingga ikatan alifatik peroksida, dan sterol. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa spons kaya akan terpenoid dan steroid, yang diduga berfungsi sebagai antipredasi dan kontrol terhadap kompetisi ruang serta pertumbuhan epibion yang berlebih (Bakus et al.1986, diacu dalam Thakur & Müller 2004).

Produk Alami dan Mikroba Simbion Spons Kategori Produk Alam Laut

Produk alam laut dikelompokkan atas: (1) sumber biokimia yang mudah untuk mendapatkan dalam jumlah yang besar dan barangkali dapat dirubah ke bahan-bahan yang lebih berharga; (2) senyawa bioaktif yang termasuk (a) senyawa antimikroba, (b) senyawa aktif secara fisiologi (sinyal kimia) (c)

(8)

senyawa aktif secara farmakologi dan (d) senyawa sitotoksik dan antitumor; (3) Racun laut (Kobayashi & Rachmaniar 1998).

Senyawa Bioaktif Spons

Selama beberapa abad (sejak dua abad yang lalu) telah diketahui bahwa spons memiliki potensi bioaktif yang besar. Richter pada tahun 1907 (diacu dalam Thakur & Müller 2004) menemukan bahwa spons mandi yang dibakar ditemukan senyawa iodine. Sementara yang pertama kali mencari produk senyawa alami spons secara sistematis adalah Bergman dan Fenney (1951, diacu dalam Thakur & Müller 2004), yang berhasil mengisolasi 3 nukleosida dari spons Karibia Chryptotethya crypta Laubenfels, 1949. Sejak itu bermacam senyawa obat-obatan telah ditemukan dari produk alami spons atau pun analognya. Tabel 1 menunjukkan beragam senyawa bioaktif yang telah ditemukan dari spons.

Senyawa antibakteri telah diisolasi dari spons laut jenis: Discodermia kiiensis, Cliona celata, Lanthella basta, Lanthella crardis, Psammaplysila purpurea, Agelas sceptrum, Phakelia flabellata. Senyawa antijamur telah diisolasi dari spons laut jenis: Jaspis sp., Jaspis johnstoni, Geodia sp. Senyawa anti tumor/anti kanker telah diisolasi dari spons laut jenis: Aplysina fistularis, A.

aerophoba. Senyawa antivirus telah diisolasi dari spons laut jenis: Cryptotethya crypta, Ircinia variabilis. Senyawa sitotoksik diisolasi dari spons laut jenis:

Axinella cannabina, Epipolasis kuslumotoensis, Spongia officinalis, Igernella notabilis, Tedania ignis, Axinella verrucosa, Ircinia sp. Senyawa antienzim tertentu telah diisolasi dari spons laut jenis: Psammaplysilla purea (Ireland et al.

1989; Munro et al. 1989).

Spons juga diketahui memiliki mikroba simbion yang berasosiasi dalam jumlah yang sangat besar. Mikroba ini diketahui hidup di permukaan tubuh dan dalam matriks tubuh spons. Pada proses pengambilan makanan, mikroba dari lingkungan perairan sekitarnya ikut tersaring dan masuk ke dalam tubuh spons.

Diduga sebagian besar mikroba ini tetap hidup dalam tubuh spons tersebut.

Dugaan ini diperkuat oleh fenomena bahwa kepadatan mikroba simbion berubah seiring variasi perubahan lingkungan (Thakur 2001, diacu dalam Thakur

& Müller 2004). Jumlah mikroba simbion yang berasosiasi dengan spons diperkirakan mencapai 40% biomassa spons. Oleh karena itu, beberapa penelitian berusaha membuktikan bahwa senyawa aktif dan antimikroba yang dihasilkan oleh spons juga merupakan hasil metabolisme mikroba simbion pada

(9)

spons. Beberapa senyawa bioaktif spons yang diketahui dihasilkan oleh mikroba simbion adalah senyawa norharman (senyawa β-carboline dari kelompok alkaloid), yang memiliki aktivitas antibakterial, dari bakteri simbion pada spons Hymeniacidon perleve (Zheng et al. 2004), senyawa decalactone baru dari fungi simbion pada spons Xestospongia exigua (Proksch et al. 2003), 2-metil thio-1,4- naftoquinon dari bakteri simbion pada Dysidea avarai, sorbilactone A dari fungi Penicillium chrisogenum pada spons Ircinia fasciculate, dan banyak senyawa lainnya (Thakur & Müller 2004).

Spons Aaptos aaptos dapat menghasilkan metabolit sekunder yang mengandung senyawa bioaktif potensial, seperti senyawa dari golongan alkaloid (aaptamine dan demethyloxyaaptamine), homarine dan senyawa lainnya.

Senyawa-senyawa tersebut telah dibuktikan memiliki aktivitas sebagai anti- tumor, sehingga potensial sebagai sumber obat-obatan baru (Pelletier et al.

1987; Bergquist 1991, diacu dalam Miller et al. 1998; Granato et al. 2000).

Sementara itu, spons Petrosia sp. diketahui mengandung senyawa bioaktif yang termasuk kedalam kelompok poliasetilen dan dari kelompok sterol. Senyawa- senyawa tersebut telah dibukstikan potensial sebagai antibakteri, antifungi, antifouling dan lain-lain (Young et al.1999; Kim et al. 2002; Sarma et al. 2005;

www.cas.muohio.edu).

Tabel 1 Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons laut Aktivitas

Farmakologi Senyawa bioaktif Jenis spons

Sitotoksik Asam 3,6 epoksieikosa- Hymeniacidon hauraki 3 ,5,8,1 1,14,17-heksaenoat

Reidispongiolid A dan B Reidispongia coerulea Superstolida A dan B Neosiphnia sperstes Swinhol ida A Theonella swinhoet Arenastatin A Dysidea arenaria Fakeliastatin Phakelia costata Diskodermin E-H Discodermia kiiensis

Ingenamin, ingamin A dan B, Xestospongia ingens

Madangamin A

8-hidrosimanzamin A Pachypellina sp.

Glisinililimakuinon A Fasciospongia rimosa Vaskulin Cribrocalina vasculum Latrunkulin S, neolaulimalida, Fasciospongia rimosa Zampanolida

(10)

Tabel 1 Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons laut * (Lanjutan) Aktivitas

Farmakologi Senyawa bioaktif Jenis spons

Sitotoksik Leukasandrolida Leucasandra caveolata Altohirtin A-C, 5-deasctil- Hyrtos alium

Altohirtin

Halisilindramida A Halichondria caveolata Antitumor Agelasfin (AGL) Agelas muritianus Antileukemia Kurasin A Lingbya majuscula

Amfidinolid B1, B2, B3, N, Q. Amphidinium sp.

Triangulin A-H, asam Pellina triagulata Triangulinat

Anti HIV 1 Trikendiol Trikentrion loeve Antimikroba Hormotamnim Hormothamnion

Enteromorphoides Diskodermin E-H Discodermia kiiensis Antibakteri Lokisterolamin A dan B Corticium sp.

Antijamur Asam kortikatat A,B,C Petrosia corticata Leukasandrolida Leucasandra caveolata Halisilindramida Halichondria cylindrica Imunomodulato Agelasfln 10 dan 12 Agelas muritianus Antiinflamasi Manualida Luffariella variabilis Belum Halisiklamina A Haliclona sp.

(masih dalam BastadinA. dan B Ianthella basta penelitian) Asam manadat A dan B Placortis sp.

Klatirimin Clathria basilana Halisiklamina B Xestrospongia sp.

Keterangan: angka dalam kurung pada kolom kedua adalah jumlah jenis/genus * menurut Soediro (1999)

Ekstrak Kasar dan Fraksi

Produk senyawa organik spons laut yang memiliki potensi sebagai senyawa bioaktif mencakup lebih dari 50% penemuan senyawa organik potensial dari laut (Hunt & Vincent 2006). Pengisolasian senyawa organik potensial ini dilakukan dengan mengekstrak organisme spons dengan pelarut yang dipilih berdasarkan kesamaan tingkat polaritas senyawa yang diinginkan. Pada saat ekstraksi, senyawa ekstrak kasar (campuran) dari organisme spons akan tertarik keluar oleh pelarut pengekstrak, sehingga dapat dilakukan pengujian untuk melihat potensi bioaktif senyawa tersebut (Smart 2002).

(11)

Hasil ekstraksi tersebut kemudian dapat difraksinasi untuk mendapatkan senyawa organik yang terpisah dari fraksi air yang mengandung ion. Cara ini merupakan awal dari pemurnian senyawa organik yang diinginkan (Smart 2002).

Proses ini menggunakan dua pelarut yang berbeda berdasarkan teori like dislike polarity, sehingga didapatkan dua fraksi terpisah yang berbeda, yaitu fraksi organik dan ionik dari ekstrak.

Isolasi dan identifikasi komponen-komponen senyawa organik yang memiliki potensi sebagai senyawa bioaktif dapat dilakukan dengan cara kromatografi. Kromatografi merupakan metode pemisahan senyawa untuk memurnikan dan mengidentifikasi komponen-komponennya. Metode ini berdasarkan distribusi komponen yang berbeda dari suatu campuran antara fase bergerak dan fase diam pada suatu lempengan tipis. Pada kromatografi lapis tipis (Thin Layer Chromatography/TLC), fase diamnya berupa lapisan tipis yang melekat pada suatu material (dapat berupa gelas, plastik atau lembaran metal), yang memungkinkan fase bergerak dapat bergerak ke atas secara kapilari.

Proses pemisahan senyawa berdasarkan prinsip bahwa tiap komponen dalam campuran senyawa memiliki perbedaan polaritas dan akan terserap oleh fase diamnya (misalnya gel silika), demikian pula pelarut (adsorbent) dan zat terlarut (dissolve) yang berada pada fase gerak, akan bergerak pada tingkatan yang berbeda. Oleh karena itu, tiap komponen dalam campuran senyawa akan tertarik oleh pelarut fase gerak pada tingkatan yang berbeda di sepanjang plat kromatografi.

Hasil pemisahan senyawa akan menunjukkan spot-spot yang terpisah sepanjang plat TLC berdasarkan tingkat polaritasnya. Spot-spot ini kemudian dilihat dan ditandai di bawah sinar uv. Faktor retardasi (Rf) dari tiap spot komponen yang terpisah dapat dikalkulasi dengan mengukur jarak dari titik awal sampel ke tengah spot yang sudah terpisah. Rf ini dapat merupakan langkah awal untuk memperkirakan jenis (identifikasi awal) komponen senyawa organik yang telah terpisah (Smart 2002; Furniss et al. 2004).

Spons laut menghasilkan ekstrak kasar dan fraksi organik yang bersifat antibakteri, antijamur, antibiofouling dan ichtyotoksik. Bioaktivitas antibakteri ekstrak kasar spons laut terdapat pada beberapa jenis, seperti: Halichondria sp, Callyspongia pseudoreticulata, Callyspongia sp. dan Auletta sp. (Suryati et al.

1996). Beberapa spons yang belum diketahui jenisnya, yang aktif terhadap

(12)

bakteri Staphylococcus aures, Bacillus subtilis dan Vibrio cholerae Eltor (Rachmaniar 1994, 1995, 1996, 1997).

Bioaktivitas antijamur ekstrak kasar spons laut terdapat pada beberapa jenis, seperti: Auletta spp., yang aktif terhadap jamur Aspergillus fumigatus, spons Clathria spp., yang aktif terhadap Aspergillus spp., Aspergillus fumigatus dan Fusarium spp., spons Theonella cylindrica, yang aktif terhadap Aspergillus spp., Aspergillus fumigatus, Fusarium spp. dan Fusarium solani (Muliani et al.

1998).

Bioaktivitas antibiofouling ekstrak kasar spons laut terdapat pada beberapa jenis, seperti: Asterospus sarasinorum, Callyspongia sp., Clathria sp., Clathria jaspis, yang keaktifannya tinggi terhadap teritip (Balanus amphirit);

Echynodicum sp., Gelliodes sp., Pericarax sp., Xestopongia sp., yang keaktifannya rendah terhadap teritip (Balanus amphirit) (Suryati et al. 1999).

Bioaktivitas ichtyotoksik (toksisitas terhadap biota ikan) ekstrak kasar spons laut terdapat pada beberapa jenis, seperti: Auletta spp., Callyspongia sp., Callyspongia pseudoreticulata, yang toksik terhadap nener bandeng (Chanos chanos) (Parenrengi et al. 1999).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam novel Surga Yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia, didalamnya terkandung pesan moral yang

Skripsi tersebut menganalisis dinamika kepribadian yang terdapat dalam diri tokoh utama dan menjelaskan relasi antara karya sastra dengan pengarang sebagai bentuk

Berdasarkan informasi, fenomena, dan permasalahan yang terjadi penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul, ” Pengaruh Iklan dan Atribut Produk

Penelitian tentang konversi lahan pertanian produktif akibat pertumbuhan lahan terbangun di Kota Sumenep bertujuan untuk mengetahui karakteristik perubahan tutupan

melakukan pengumpulan data produk yang diekspor yang akan digunakan untuk sistem pendukung keputusan yang penulis peroleh dari perusahaan. Dalam tahap ini dilakukan

Diharapkan model Olah Pikir Sejoli (OPS) yang menuntut keberanian siswa untuk berkompetisi yang sifatnya klasikal ini lebih menarik perhatian siswa. Guru memberi

Adalah program yang bermanfaat untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya sistem, misalnya untuk membersihkan disket. a) Memformat disk, Adalah

c. Mahasiswa dan Lulusan: 1) Secara kuantitatif, jumlah mahasiswa baru yang diterima Prodi PAI relatif stabil dan di atas rata-rata dibandingkan dengan jumlah