I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Papua merupakan salah satu wilayah terbasah di dunia dengan curah hujan berkisar antara 2500–4500 mm per tahun. Wilayah ini memiliki iklim basah yang tidak biasa, baik di Indonesia maupun untuk skala global, dengan kondisi geografis yang beragam mulai dari padang rumput, rawa, hutan hujan, hingga pegunungan (Prentice dan Hope 2007). Papua mempunyai pegunungan Jayawijaya dengan puncak tertinggi yang terletak diantara pegunungan Himalaya dan Andes, serta merupakan lokasi satu-satunya glacier di wilayah warm pool ekuatorial Samudera Pasifik (BMKG dan BPRC 2010). Penelitian yang komprehensif tentang pola curah hujan di Papua masih relatif sedikit karena terbatasnya stasiun pengamatan hujan.
Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya lebih banyak menitikberatkan pada data dari stasiun-stasiun pengamatan hujan tertentu saja, sehingga belum bisa merepresentasikan karakteristik curah hujan di Papua secara keseluruhan.
Penakar hujan pada stasiun pengamatan hujan merupakan suatu alat pengukur yang akurat dalam menggambarkan kondisi hujan pada suatu tempat. Ketersediaan data curah hujan selama ini sangat tergantung pada stasiun pengamatan hujan, namun tidak semua daerah memilikinya. Sebaran pos penakar hujan ini tidak merata, khususnya di daerah tidak berpenghuni serta di sekitar lautan, yang mengakibatkan adanya kesulitan dalam memperoleh informasi mengenai sebaran pola spasial curah hujan di suatu wilayah.
Pendugaan curah hujan menggunakan satelit menjadi solusi bagi ketersedian data ini, karena dapat memberikan data yang kontinyu baik secara spasial maupun temporal.
Teknologi observasi cuaca dengan satelit memungkinkan analisis pola curah hujan dalam skala ruang yang lebih besar dibandingkan data observasi stasiun cuaca.
Karakteristik curah hujan di suatu wilayah yang luas dapat dikaji secara mendalam, misalnya kapan dan di mana saja curah hujan terjadi pada suatu waktu tertentu, serta bagaimana pola curah hujan dapat bervariasi antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain.
Salah satu produk data penginderaan jauh dengan satelit adalah GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation). GSMaP merupakan produk data grid hasil asimilasi data pengamatan beberapa satelit cuaca, antara
lain TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission), AQUA, DMSP (Defense Meteorological Satellite Program) F13-F17, NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) N15-N18 serta beberapa satelit geostasioner seperti GMS (Geostationary Meteorological Satellite). Data ini mempunyai resolusi spasial 0.1°x0.1°
hingga 0.25°x0.25° dan resolusi temporal 60 menit hingga 30 hari sehingga sangat baik digunakan untuk mengkaji pola curah hujan di suatu wilayah yang luas seperti Papua, baik secara spasial maupun temporal.
Pemahaman tentang variabililitas curah hujan secara spasial dan temporal sangat penting dalam menyusun informasi iklim yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Penelitian ini menggunakan metode EOF dan transformasi wavelet untuk menganalisis variabilitas curah hujan di Papua berdasarkan data GSMaP periode 1998-2006.
1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya tugas akhir ini adalah:
1. Validasi data GSMaP di wilayah Papua,
2. Menganalisis pola spasial dan temporal curah hujan di wilayah Papua menggunakan data GSMaP periode 1998-2006,
3. Menganalisis variabilitas curah hujan di Papua dan hubungannya dengan iklim regional menggunakan indikator SOI dan Nino 3.4.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP)
GSMaP merupakan project milik badan antariksa Jepang untuk melakukan pendekatan nilai curah hujan menggunakan media satelit luar angkasa. Tujuan dari project ini adalah pemetaan hujan secara global dengan resolusi dan keakuratan yang tinggi menggunakan satelit dengan sensor MWR (microwave radiometer) (Okamoto 2007). GSMaP dikelola oleh EORC (Earth Observation Research Center) dari JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) (JAXA 2008). Data GSMaP dapat diakses di:
http://sharaku.eorc.jaxa.jp/GSMaP/.
GSMaP melibatkan 3 satelit pengukur curah hujan dengan menggunakan sensor MWR yaitu TRMM, AQUA, dan DMSP yang masing-masing memiliki karakteristik sebagai berikut:
Tabel 1 Satelit dan sensor dalam GSMaP (JAXA 2008) Satelit Ketinggian (km) Sensor MWR Frekuensi (GHz)
TRMM 402 TMI 10,19,21,37,85
AQUA 705 AMSR-E 7,10,19,24,37,89
DMSP-F13 803 SSM/I 19,37,85
DMSP-F14 803 SSM/I 19,37,85
DMSP-F15 803 SSM/I 19,37,85
Selain menggunakan 3 satelit MWR tersebut, GSMaP juga menggunakan data satelit dengan sensor IR (infrared), antara lain: MTSAT, METSOSAT-7/-8, dan GOES-11/-12.
Kombinasi dari sensor gelombang mikro dan inframerah digunakan untuk mendapatkan vektor pergerakan awan (Cloud Motion Vector), yang selanjutnya digunakan dalam algoritma GSMaP (Kubota et al 2007).
Penggunaan kombinasi sensor dilakukan untuk menutupi kelemahan sensor lainnya.
(a)
(b)
Gambar 1 Lintasan/Orbit gabungan satelit TRMM/TMI, AQUA/AMSR-E, ADEOOS-II/AMSR,dan DMSP SSM/I (a) dan diagram alir algoritma GSMaP MWR (b) (Okamoto 2007).
Pengambilan data curah hujan GSMaP terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
1. Pengumpulan data dari satelit-satelit GEO IR yang dilakukan oleh JMA (Japan Meteorology Agency). Data GEO IR ini digunakan untuk memperoleh data pergerakan awan (meridional dan zonal) secara global,
Gambar 2 Algortima GSMaP Okamoto 2007).
2. Data MWR yang dikumpulkan dari empat satelit setiap tiga jam (citra hujan tiga jam sebelumnya) diinterpolasikan dengan citra CMV untuk mendapatkan pergerakan hujan. Hasil interpolasi tersebut hanya berupa pergerakan hujan, tidak terdapat proses pertumbuhan atau penghilangan hujan. Oleh karena itu diperlukan suatu persamaan untuk membuat proses tersebut, yakni dengan Kalman filter. Kalman filter adalah suatu hubungan antara nilai suhu kecerahan yang didapatkan dari sensor IR dengan nilai intensitas hujan (Ushio 2008).
Selanjutnya diperoleh citra hujan satu jam- an secara global (empat jam sebelumnya) kemudian dijumlahkan dengan nilai dari sensor MWR pada jam tersebut, hanya pada lokasi tertentu yang sedang dilintasi oleh orbit satelit (Gambar 3).
Penelitian-penelitian yang menggunakan data GSMaP telah banyak dilakukan sebelumnya, diantaranya sebagai berikut:
(Tabel 2).
Gambar 3 Persamaan keadaan dan persamaan observasi yang digunakan pada Kalman Filter serta gambaran teknik prediksi pergerakan hujan dengan memanfaatkan Cloud Moving Vector dan Kalman Filter (Ushio 2008).
Tabel 2 Pemanfaatan data GSMaP pada penelitian-penelitian sebelumnya
No Penulis Tahun Judul Keterangan
1. Okamoto et al
2007 High precision and high resolution Global Precipitation Map from satellite data
Tulisan ini menjelaskan tentang proyek GSMaP yang mengembangkan algoritma pendekatan nilai curah hujan dengan memanfaatkan microwave radiometer berdasarkan model fisik yang dapat dipercaya dan menghasilkan peta curah hujan global dengan resolusi dan presisi yang tinggi dengan menggunakan data satelit.
2. Kubota et al
2007 Global Precipitation Map using satellite- borne microwave radiometer by the GSMaP Project:
production and validation
Penelitian ini membahas tentang validasi GSMaP pada wilayah 150LS-150LU dengan curah hujan bulanan permukaan milik GPCC. Hasil validasi menunjukkan adanya korelasi sebesar 0.82 serta nilai curah hujan GSMaP berada di bawah curah hujan GPCC 3. Iwasaki 2008 NDVI prediction over
Mongolian grassland
using GSMaP
precipitation data and JRA-25/JCDAS temperature data
Penelitian ini memanfaatkan data GSMaP untuk menduga nilai NDVI di kawasan Mongolia. Hasil penelitian menunjukkan korelasi antara data GSMaP dengan data curah hujan permukaan di Mongolia adalah sebesar 0.61 serta disebutkan bahwa akurasi GSMaP untuk wilayah arid tidak akurat 4. Kubota
et al
2009 Verification of high resolution satellite-
Penelitian ini membandingkan estimasi curah hujan dari enam satelit di sekitar
based rainfall estimates around Japan using a Gauge-Calibrated Ground-Radar Dataset
Jepang dengan referensi data radar permukaan yang dikalibrasi oleh pengukuran penakar hujan dari JMA periode Januari-Desember 2004. Hasil studi menunjukkan bahwa estimasi hujan dengan menggunakan data satelit memiliki hasil terbaik pada daerah lautan dan hasil terburuk pada daerah pegunungan.
5. Seto et al 2009 An evaluation of over land rain rate estimates by the GSMaP and GPROF algorithm: the role of lower frequency channels
Tulisan ini mengevaluasi teknik pendekatan nilai curah hujan di atas daratan dari algoritma GSMaP dan TRMM TMI, dengan membandingkan keduanya dengan nilai yang dihasilkan dari algoritma standar TRMM PR.
6. Ushio et al
2009 A Kalman filter approach to the Global Satellite
Mapping of
Precipitation
(GSMaP) from combined passive microwave and infrared radiometric data
Penelitian ini mengkaji tentang produk GSMaP MVK yang dikembangkan melalui model Kalman Filter berdasarkan vektor atmosfer bergerak yang diturunkan dari dua citra infra merah. Model ini digunakan untuk menghasilkan data curah hujan dengan resolusi spasial dan temporal yang lebih tinggi dari sebelumnya (0.1°, 1 jam)
2.2 Curah Hujan di Papua
Papua merupakan salah satu pulau terbesar di dunia, dengan luas wilayah mencapai 420540 km persegi, yang mencakup 22% dari seluruh luas wilayah Indonesia. Papua terletak di 130° - 141° BT dan 2°25' LU - 9° LS.
Sebelah utara wilayah ini berbatasan dengan Samudera Pasifik, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafura, sebelah timur dan barat berbatasan dengan Papua Nugini dan Papua Barat.
Papua memiliki iklim basah yang tidak biasa, baik di Indonesia maupun untuk skala global (Prentice dan Hope 2007). Sebagian besar daerah-daerah di Papua memiliki musim hujan antara bulan Januari dan April (the northwest season), sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei dan Agustus (the southern season). Hujan turun sepanjang tahun di beberapa daerah di Papua (Prentice dan Hope 2007).
Curah hujan merupakan unsur cuaca yang sangat fluktuatif karena keragamannya menurut ruang dan waktu. Variasi curah hujan secara spasial dipengaruhi oleh sifat fisik lokal seperti geografi, topografi, ketinggian tempat, sedangkan variasi secara temporal dipengaruhi oleh angin dan perbedaan pemanasan permukaan oleh radiasi matahari (Situmorang 1990). Berdasarkan skala waktu
(temporal), Hamada et al (1997) dalam Setiawan (1998) membagi curah hujan di Indonesia kedalam empat macam variasi, yakni variasi diurnal, seasonal, intraseasonal, dan interannual.
Variasi diurnal dipengaruhi oleh faktor lokal, misalnya topografi, angin darat dan angin laut, tipe vegetasi, drainase, kelembaban dan warna tanah, albedo, dll. Variasi musiman dipengaruhi oleh pergerakan matahari, aktivitas konveksi, arah aliran udara di atas permukaan bumi, serta variasi sebaran daratan dan lautan. Sedangkan variasi tahunan dipengaruhi oleh perilaku sirkulasi atmosfer global, kejadian badai, dll.
Cuaca di Papua dikendalikan oleh tiga sistem sirkulasi utama, yakni sirkulasi meridional Hadley, sirkulasi zonal Walker, dan sirkulasi polar trough (Prentice dan Hope 2007). Ketiga sirkulasi tersebut membangkitkan dua zona penting dari konvergensi udara permukaan, yakni Intertropical Convergence Zone (ITCZ) dan South Pasific Convergence Zone (SPCZ) (Prentice dan Hope 2007). Sistem angin permukaan yang mempengaruhi Papua antara lain angin Pasat, angin timur laut dan tenggara, serta angin monsun. Di bawah ini merupakan penelitian-penelitian tentang Papua dan variabilitas curah hujan di Papua sebelumnya.
Tabel 3 Kajian-kajian tentang curah hujan di Papua
No Tahun Penulis Judul Keterangan
1. 2002 Hamada et al
Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO
Penelitian ini membahas tentang variasi regional dan interannual dari musim hujan di Indonesia (Sumatera- Papua) menggunakan data curah hujan harian dalam periode 1961-1990.
Permulaan dan akhir musim hujan dianalisis dengan menggunakan analisis harmonik, dan dikorelasikan dengan kejadian ENSO yang terjadi.
Hasil studi menunjukkan permulaan awal musim hujan yang datang terlambat pada tahun-tahun El Nino pada kebanyakan daerah di Indonesia.
2. 2003 Aldrian E dan Dwi Susanto R.
Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relation to sea surface temperature
Penelitian ini mengkaji tentang karakteristik variabilitas curah hujan di Indonesia (Sumatera-Papua) yang dianalisis dengan menggunakan metode korelasi ganda. Hasil analisis dibandingkan dengan menggunakan metode EOF dan EOF berputar (rotated EOF). Data SST juga digunakan sebagai pembanding tambahan. Hasil studi menunjukkan terdapat tiga pola curah hujan di Indonesia dengan karakteristik yang mencolok. Dalam jurnal ini, Papua termasuk dalam region A. Dengan demikian Papua merupakan wilayah dengan pola hujan monsun.
3. 2001 Khomarudin et al
Analisis pola hujan bulanan dengan data Outgoing Longwave
Radiation (OLR) untuk menentukan kandungan air lahan pertanian
Penelitan ini mengkaji tentang kondisi curah hujan di berbagai daerah di Indonesia. Daerah yang dapat dikatakan kering adalah Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara karena memiliki defisit air lebih dari 6 bulan dan bertipe iklim Oldeman E.
Sedangkan daerah Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya merupakan daerah dasah dengan surplus rata-rata di atas 5 bulan dan tipe iklim Oldeman antara A-C1. Sedangkan daerah lainnya termasuk kondisi sedang.
4. 2008 Adikusumah et al
Analisa monsun
dan TBO
berdasarkan GCM/LAM dan observasi
Studi ini melakukan identifikasi onset monsun Asia-Australia dan sifat hujan di beberapa kota di Indonesia serta identifikasi aktivitas TBO terhadap sifat monsun. Hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan monsun dan TBO di 21 lokasi pengamatan, termasuk Papua.
5. 2007 Prentice ML dan Hope GS.
The ecology of Papua
Tulisan ini membahas tentang karakteristik iklim di Papua dari berbagai sudut pandang parameter iklim seperti angin, temperatur, curah hujan, radiasi matahari, keawanan dan lain-lain.
6. 2008 Kikuchi K.
dan Wang B.
Diurnal precipitation regimes in the Global Tropics
Penelitian ini mendokumentasikan variasi curah hujan di wilayah tropis menggunakan dua jenis produk data TRMM (3B42 dan 3G68) periode 1998-2006. Tiga wilayah curah hujan diurnal yaitu: lautan, daratan dan pantai, diuji berdasarkan amplitudo, waktu puncak dan fase propagasi dari hujan diurnal.
7. 2010 Kubota et al Interannual rainfall variability over the Eastern Maritime Continent
Penelitian ini mengkaji variabilitas curah hujan interannual di wilayah timur benua maritim dengan menggunakan data curah hujan stasiun dari Republik Palau (1923-2009) dan Indonesia timur (1973-2008). Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat dua mekanisme yang mempengaruhi variabilitas curah hujan di wilayah ini, yaitu interaksi udara-laut di atas laut Banda dan Arafura, serta proses subsidence di atas perairan ini pada masa-masa sebelum musim monsun Australia.
2.3 Sirkulasi Monsun
Curah hujan di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh sirkulasi monsun. Pada tahun 1686, Edmund Halley mengemukakan teori bahwa monsun terjadi akibat perbedaan panas antara daratan dengan lautan sebagai hasil dari zenithal march matahari (Chang 1984 dalam Setiawan 1998). Pergerakan semu matahari menyebabkan pada tanggal 22 Maret matahari berada di belahan bumi bagian utara (BBU) dan pada tanggal 22 Desember matahari berada di belahan bumi bagian selatan (BBS).
Ketika berada di BBU, suhu di BBU lebih tinggi sehingga memunculkan tekanan rendah dibagian tersebut. Hal sebaliknya terjadi di BBS, dimana BBS pada saat yang bersamaan mengalami musim dingin, sehingga tekanan di BBS lebih tinggi. Sesuai sifat angin maka pergerakanan angin dari tekanan tinggi ke rendah. Akibat adanya gaya coriolis, maka arah gerak angin ini dibelokan.
Monsun adalah siklus angin musiman yang dibangkitkan oleh radiasi matahari melalui dua alasan berikut:
1. Astronomi (planetological): adanya perbedaan pemanasan di belahan bumi menggerakkan sirkulasi meridional global. Komponen dominan dari pemanasan surya yang berupa equatorially symmetric akan membangkitkan sirkulasi Hadley.
Adanya variasi musiman dari pemanasan matahari disebabkan oleh
eccentricity dari orbit planet dan rotasi planet.
2. Geografi (terrestrial): perbedaan pemanasan benua dan lautan yang menggerakkan aliran melintasi garis pantai. Perbedaan kapasitas panas dari daratan dan lautan membangkitkan sirkulasi diurnal angin darat dan laut.
Integrasi dari siklus tersebut akan membangkitkan siklus musiman (monsun). Angin yang bertiup dari lautan menuju daratan pada musim panas membawa uap air yang akan menyebabkan musim hujan di kawasan tersebut.
Gambar 4 Persamaan matematik monsun (Yamanaka MD 2011).
Indonesia diapit oleh Benua Asia dan Australia, sehingga monsun yang paling dominan berpengaruh adalah monsun Asia dan monsun Australia.
2.3.1 Monsun Barat (Asia) dan Monsun Timur (Australia)
Angin monsun barat adalah angin yang bergerak ketika matahari berada di BBS, yang mengakibatkan Benua Asia mengalami musim dingin sehingga bertekanan tinggi, sedangkan Benua Australia mengalami musim panas sehingga bertekanan rendah. Angin akan bertiup dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.
Dengan demikian angin akan bertiup dari Benua Asia menuju Benua Australia dan karena menuju ke daerah equator, maka angin akan dibelokkan ke kanan. Menurut Laluauliyaakraboe (2010) dalam Surbakti (2010), pada saat angin monsun baratan terjadi maka wilayah Indonesia akan mengalami musim hujan akibat adanya massa uap air yang dibawa oleh angin ini ketika melalui Samudera Pasifik dan Laut Cina Selatan. Angin ini berhembus pada bulan Oktober-April.
Gambar 5 Sirkulasi monsun Asia (a) dan Australia (b) (sumber:
www.dfat.gov.au).
Angin monsun timur adalah angin yang bergerak ketika matahari berada di BBU, yang mengakibatkan Benua Australia mengalami musim dingin sehingga bertekanan tinggi.
Sedangkan suhu di Benua Asia lebih hangat sehingga bertekanan rendah. Angin akan
bertiup dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.
Dengan demikian angin akan bertiup dari Benua Australia menuju Benua Asia dan karena menuju ke daerah utara equator, maka angin akan dibelokkan ke kanan. Menurut Laluauliyaakraboe (2010) dalam Surbakti (2010), pada saat angin monsun timuran terjadi maka wilayah Indonesia akan mengalami musim kemarau karena angin tersebut melalui gurun pasir di bagian utara Australia yang kering dan hanya melalui lautan sempit. Angin ini berhembus pada bulan April-Oktober.
Gambar 6 Grafik curah hujan rata-rata vs elevasi pada bulan Januari dan Juli 1999 dari stasiun Gunung Jaya (Prentice dan Hope 2007).
Pada kebanyakan daerah di Papua, curah hujan tertinggi jatuh dalam periode Januari hingga April pada musim monsun barat laut, dan yang terendah terjadi antara bulan Mei hingga Agustus pada musim monsun tenggara (Prentice dan Hope 2007). Namun di beberapa tempat di Papua, pola ini dapat terbalik di mana hujan paling banyak terjadi selama musim tenggara ketika angin tenggara menguat. Gambar 5 menunjukkan nilai curah hujan yang meningkat pada bulan Juli 1999 di daerah Pegunungan Jaya. Hal ini disebabkan kuatnya angin tenggara yang mengakibatkan peningkatan curah hujan secara orografik di wilayah tersebut.
Gambar 7 Temperatur dan curah hujan bulanan Merauke periode 1998- 2001 (Sukri et al 2003).
(a)
(b)
Pada penelitian lainnya, Sukri et al (2003) menunjukkan bahwa Merauke bagian selatan adalah daerah Papua yang memiliki pola musiman terkuat berdasarkan perbedaan jumlah curah hujan pada musim basah dan musim kering. Pada banyak lokasi, hujan turun sepanjang tahun dan tidak memiliki pola musiman jelas. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas hujan di Papua memiliki variabilitas yang tinggi. Thunderstorm yang bersifat lokal dapat terjadi setiap hari dan menyebabkan hujan lebat pada sore dan malam hari.
2.4 Fenomena Anomali (Penyimpangan) Iklim
Anomali iklim merupakan perubahan iklim yang ekstrim secara konsisten melebihi frekuensi normalnya dalam jangka waktu yang panjang. ENSO (El Nino Southern Oscillation) merupakan salah satu contoh anomali iklim yang sering ditemui di Indonesia. Pada saat terjadi El Nino, Samudera Pasifik Timur mengalami tekanan rendah dan Samudera Pasifik Barat mengalami tekanan tinggi. Hal ini mengakibatkan angin pasat melemah, bahkan dapat berbalik arah sehingga di Bagian timur Australia memiliki curah hujan dibawah kondisi normalnya. Beberapa daerah di Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan dibawah kondisi normalnya (Philander 1990 dalam Setiawan 1998). Pada saat terjadi La Nina, suhu permukaan laut di Samudera Pasifik Timur dan Tengah sangat rendah.
Angin pasat bertiup sangat kencang dan membawa massa udara lembab, sehingga curah hujan di bagian timur Australia akan melebihi kondisi normalnya. Beberapa daerah di Indonesia akan mengalami peningkatan curah hujan diatas kondisi normalnya (Philander 1990 dalam Setiawan 1998).
(a)
(b)
Gambar 8 Kondisi lautan saat El Nino (a) dan La Nina (b)
(sumber: www.public.asu.edu).
Besar kecilnya anomali curah hujan bergantung pada intensitas ENSO. Besarnya dampak kejadian ENSO terhadap keragaman hujan di Indonesia beragam antar wilayah.
Menurut Tjasyono dan Zadrach (1996) pengaruh El Nino kuat pada daerah yang dipengaruhi oleh sistem monsoon, lemah pada daerah dengan sistem equatorial, dan tidak jelas pada daerah dengan sistem lokal. Selain itu, pengaruh El Nino terhadap hujan lebih kuat pada musim kemarau dibandingkan dengan musim hujan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hamada (2002), ENSO memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap curah hujan di Indonesia. Analisis komposit dengan data curah hujan harian menunjukkan bahwa permulaan musim hujan akan datang terlambat pada tahun-tahun El Nino, dan lebih awal pada tahun-tahun La Nina. Pengaruh ENSO terhadap permulaan dan akhir musim hujan ini lebih banyak terlihat pada wilyah timur seperti Sulawesi, Maluku dan Papua, dibandingkan dengan wilayah barat Indonesia seperti Jawa dan Sumatera.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret- Juni tahun 2011 di Laboratorium Meteorologi dan Kualitas Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor dan Nusantara Earth Observation Network (NEONET) PTISDA BPPT.
3.2 Bahan dan Alat
Data yang digunakan untuk penelitian ini antara lain:
1. Data curah hujan GSMaP MWR wilayah Papua periode 1998-2006