• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Fisiografi

SWP dkk. (1989) membagi bentang alam Sidikalang yang terdiri atas enam bagian utama yaitu Rangkaian Pegunungan Bukit Barisan, Kaki Perbukitan Barisan, Teras Marin, Dataran Rendah, Plato Toba, dan Depresi Toba (Gambar II.1). Berdasarkan letak daerah penelitian, daerah penelitian berada pada fisiografi Pegunungan Bukit Barisan.

Gambar II. 1 Peta fisiografi Sidikalang (SWP dkk., 1989)

Rangkaian Pegunungan Bukit Barisan merupakan rangkaian pegunungan memanjang dari barat laut-tenggara dengan punggungan dan berbagai lembah bukit yang tidak beraturan. Memiliki puncak dengan ketinggian 2000-3000 mdpl. Pada Lembar Pematangsiantar yang berada di bagian barat laut Danau Toba terdapat sisa rangkaian pegunungan yang lebih kecil, yang merupakan lanjutan rangkaian pegunungan tersebut. Terdapat jalur patahan utama diantara kedua rangkaian tersebut. Aliran piroklastik dari erupsi Toba telah menutupi sebagian besar kaki lereng pegunungan ini (SWP dkk., 1989).

(2)

26

Kaki Perbukitan Barisan umumnya terbentuk akibat aktivitas tektonik yang lebih muda dengan perbedaan ketinggian <300m. Tersusun atas batuan yang lebih muda dibandingkan batuan di daerah Rangkaian Pegunungan Bukit Barisan, terutama berupa batuan vulkanik Tersier. Bentang alam ini dimasukkan pada grup perbukitan dikarenakan batuan pada daerah ini telah mengalami perlipatan yang kuat serta kondisi morfologinya tidak jelas (SWP dkk., 1989).

Teras laut adalah kelanjutan dari penyebaran kaki perbukitan. Daerah ini merupakan hasil endapan laut tua dan pra-laut yang terangkat hingga ketinggian 10- 50 mdpl. Sebagian daerah teras marin ini telah tererosi berat, sedangkan di sisi lain yaitu bagian yang lebih rendah pada umumnya belum mengalami erosi. Batas antara kelompok Teras laut dengan dataran pantai umumnya berbentuk lereng terjal (SWP dkk., 1989).

Secara morfologi dataran rendah dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu: Marin, Grup Aluvial, dan Grup Kubah Gambut. Grup Marin adalah jalur-jalur sempit sepanjang pantai berupa tepi pantai dan lembah antar beting, yang merupakan sisa dataran mangrove. Grup Aluvial terdiri atas sabuk meander dan rawa belakang dari sungai-sungai yang berasal dari Rangkaian Pegunungan Bukit Barisan, mengalir ke arah barat kelautan Indonesia. Beberapa sungai di belakang Kubah Gambut atau di belakang tepi pantai mengalir sejajar ke pantai. Bagian lain Grup Aluvial terdiri dari kipas aluvial dan koluvial dengan komposisi berbeda dan juga lembah tertutup (di daerah Plato Toba) (SWP dkk., 1989).

Sebagian besar dari dataran rendah ditutupi oleh grup Kubah Gambut. Kubah Gambut ini dapat dilihat di sepanjang pantai barat, antara tepi pantai dan daerah aliran sungai. Di sebelah timur daerah ini dikelilingi oleh sungai-sungai yang mengalir sejajar ke pantai atau oleh lereng terjal dari Teras Marin (SWP dkk., 1989).

Plato Toba (Grup Tuf Toba Asam) terbentuk dari ignimbrit hasil letusan Vulkanik Gunung Api Toba. Aliran abu asam ini (dasit dan liparit) diendapkan sangat tebal

(3)

27

dan terkadang menyatu di dekat Danau Toba, membentuk plato dengan ketinggian mencapai 1900 m di bagian selatan Pulau Samosir di daerah berlereng terjal dan lerengnya melandai dari Danau Toba ke arah timur laut dan barat daya. Aliran abu Toba ini menutupi sebagian besar daerah lembahan, hingga ketinggian tertentu dan Tuf Toba ditemukan pada kipas dari kaki perbukitan serta teras marin. Sistem patahan Sumatra memotong Plato Toba di sebelah barat daya Danau Toba, hal ini ditandai oleh banyaknya jalur-jalur patahan kecil yang sering merubah aliran sungai, serta adanya perbukitan memanjang sepanjang garis patahan (SWP dkk., 1989).

Pusat letusan dari Gunung Api Toba ialah Depresi Toba, depresi ini ditandai dengan kemiringan yang sangat terjal antara Danau Toba dan Plato Toba hingga ketinggian 1000 m di bagian barat daya dan hadirnya Pulau Samosir. Daerah dengan kemiringan terjal tersebut terdapat pada litologi tua dari Rangkaian Pegunungan Bukit Barisan dan kipas koluvial yang luas (SWP dkk., 1989).

II.3 Tatanan Tektonik

Pulau Sumatra tersusun atas empat mikro blok tektonik yaitu Malaya Timur, Sibumasu, Sumatra Barat, dan Woyla dan dua suture zone yaitu Bentong-Raub and the Medial Tectonic Sumatra Zone. Daerah penelitian berada pada Blok Tektonik Sumatra Barat. Tatanan tektonik dimulai sejak Zaman Karbon dengan bukti mengacu pada batuan sedimen karbon yang menampung deposit Dairi (Barber dkk., 2005).

Endapan sedimentasi eksalatif Dairi terletak di Blok Sumatra Barat, yang merupakan bagian dari Indochina Super-terrane (Metcalfe, 2013; Barber dan Crow, 2009). Pada Permian Awal Blok Sumatra Barat melekat pada Catasian (Gambar II.2). Subduksi Samudra Paleotethys menunjam batas selatan Catasian dan menghasilkan Busur Magmatik Tipe Andes di Blok Sumatra Barat (Barber dkk., 2005).

(4)

28

Gambar II. 2 Subduksi Samudra Paleotethys dengan Blok Sumatra Barat (Barber dkk., 2005).

Subduksi di bawah Indochina Super-terrane menyebabkan penutupan Samudra Paleotethys dan tabrakan Blok Sibumasu dengan Blok Malaya Timur dan Busur Sukhothai pada Zaman Permian Akhir hingga Trias Tengah (Gambar II.3).

Peristiwa ini mengakibatkan Bentong-Raub Suture Zone (Barber dkk., 2005).

Subduksi mengakibatkan pengembangan cekungan busur belakang dan pembukaan Samudra Cenotethys bagian barat pada Trias Akhir (Metcalfe, 2013).

Gambar II. 3 Penutupan Samudra Paleotethys dan tabrakan Sibumasu dengan Blok Malaya Timur Blok dan Busur Sukhothai pada zaman Permian Akhir hingga Tengah Trias (Barber dkk., 2005).

Selama Zaman Kapur, busur pulau intra-samudera disebut sebagai Busur Woyla, berada di barat Laut Cenotethys (Aitchison dkk., 2007). Blok Woyla diakresi ke Blok Sumatra Barat pada Zaman Kapur Tengah, perakitan Pulau Sumatra selesai (Gambar II.4). (Advokaat dkk., 2018; Barber dan Crow, 2009; Metcalfe, 2013).

Pada tahapan ini daerah penelitian sudah berada pada posisi saat ini.

(5)

29

Gambar II. 4 Kondisi Blok Sumatra Barat pada saat Kapur Tengah dan Kapur Akhir (Barber dkk., 2005).

Pada Eosen/Oligosen terjadi tumbukan antara Lempeng Hindia-Australia dan Eurasia yang membentuk Bukit Barisan. Bukti Barisan merupakan batas benua busur vulkanik yang dibentuk oleh Lempeng India Australia di bawah Lempeng Eurasia. Munculnya Bukit Barisan ini menandai peristiwa pemisahan fore arc dan back arc basin (Barber dkk., 2005).

Pada Miosen Tengah terjadi aktivitas vulkanik, Kallagher (1990) menyatakan bahwa dimulainya aktivitas vulkanik bertepatan dengan pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan. Sedimen Miosen Tengah-Bawah menunjukkan bukti hanya aktivitas vulkanik kecil pada saat itu. Hal inilah yang mengakibatkan daerah penelitian memiliki intrusi batuan beku diorit. Pada Miosen Akhir, Bukit Barisan mencapai ketinggian maksimal lalu terjadi letusan Gunung Toba pada umur Pleistosen.

II.4 Stratigrafi Regional

Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Sidikalang dan Sebagian Sinabang (Aldiss dkk., 1983), stratigrafi daerah penelitian terdiri atas tiga formasi yaitu Formasi Kluet, Formasi Gunung Api Trumon, dan Formasi Tuf Toba (Aldiss dkk., 1983).

(6)

30

Formasi Kluet terbentuk pada umur Karbon-Permian Awal (Gambar II.5), tersusun atas batuan batuserpih hitam, filit, kuarsa arenit, konglomerat metagrey wackes, litik klastik, batugamping detrital, dan batugamping meta (Barber dkk., 2005).

Secara struktural batupasir dan batusabak dari Formasi Kluet terlipat baik dalam skala besar maupun kecil. Lipatan jejak aksial berarah barat barat laut-timur tenggara dan lipatan dengan arah timur tenggara. Variasi perlapisan batuan dan belahan dengan arah dari barat laut-tenggara ke timur laut-barat daya tercatat di beberapa area. Di lapangan, batuan pelitik sering terlipat rapat secara isoklin dan belahan menyerpih (Barber dkk., 2005).

Gambar II. 5 Peta Geologi Regional Lembar Sidikalang dan Sebagian Sinabang (Aldiss dkk., 1983).

Formasi Gunung Api Trumon berumur Miosen Tengah, tersusun atas vulkanik andesit, aglomerat, dan tuf dengan asosiasi mikrodiorit hipabisal dan mikrogranit, wackes tufaan, batulempung, dan batupasir karbonatan (Barber dkk., 2005).

(7)

31

Formasi Tuf Toba terbentuk pada Pleistosen bersamaan dengan letusan Gunung Api Toba. Formasi ini terdiri atas tufa riodasit, sebagian teralaskan (Aldiss dkk., 1983).

II.4 Struktur Geologi Regional

a. Deformasi pra-Tersier dan metamorfisme regional.

Setidaknya ada dua atau tiga periode utama perlipatan berumur Pra-Tersier di daerah penelitian. Pertama, deformasi pada Kelompok Tapanuli pada Permian Tengah hal inilah yang membentuk sesar naik pada daerah penelitian. Kedua, tren Sumatra (barat barat laut ke timur tenggara). Ketiga, barat dan barat daya (Aldiss dkk., 1983), diperkirakan fase perlipatan tersebut membentuk lipatan yang terdapat di lapangan penelitian. Metamorfisme pada Kelompok Tapanuli umumnya metamorfisme derajat rendah dan diperkirakan metamorfisme tersebut yang mempengaruhi batuan karbonat terubahkan menjadi sekis dan marmer lalu periode metamorfisme selanjutnya mengakibatkan batuserpih terubahkan menjadi batusabak pada daerah penelitian (Aldiss dkk., 1983).

Peristiwa tektonik yang berperan dalam perkembangan Pulau Sumatra menurut Pulunggono dkk. (1992) adalah Fase Kompresi atau Fase Rifting yang terjadi pada zaman Jura–Kapur, lalu pada Kapur Akhir-Tersier Awal terjadi Fase Tensional, lalu pada Fase Fase Tektonik Miosen atau Intra Miosen terjadi Fase Sagging, dan yang terakhir adalah Fase Kompresional yang terjadi pada Miosen–Pliosen.

Fase kompresional yang terjadi antara Miosen-Pliosen disebabkan oleh adanya peningkatan aktivitas tektonik merupakan hasil dari tumbukan konvergensi Lempeng Samudra Hindia yang lebih kuat dengan Lempeng Paparan Sunda pada akhir Miosen. Fase kompresi ini membentuk struktur geologi yang terdiri dari lipatan, sesar mendatar, reaktivasi sesar yang memiliki umur Paleogen, pengaktifan kembali struktur geologi yang lebih tua menjadi struktur invers (uplifted), dan membentuk kompleks antiklinorium dengan arah tenggara–barat laut (Pulunggono dkk., 1992). Kemungkinan fase inilah yang berkembang di daerah penelitian pada saat Miosen-Pliosen.

(8)

32 II. 5 Landasan Teori Studi Khusus

Istilah endapan sedimentasi eksalatif (Carne dan Cathro, 1982) didasarkan pada penjelasan bahwa bijih sulfida yang terendapkan berlapis halus. Endapan ini dihasilkan dari cairan hidrotermal yang telah “dihembuskan” ke dasar laut dan membawa unsur logam ekonomis. Menurut definisi asli dari Carne dan Cathro, (1982) endapan sedimentasi eksalatif memiliki host rock batuserpih karbonan atau batuan klastik berbutir halus, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa endapan sedimentasi eksalatif adalah endapan yang terbentuk pada cekungan sedimen yang disebabkan oleh adanya rekahan bawah laut dari cairan hidrotermal dan merupakan sumber utama penghasil sfalerit dan galena. Pengendapannya terjadi di dasar laut dan bersifat sin-genetik dengan tekstur banded/layered (Gambar II.6).

Gambar II. 6 Model Endapan sedimentasi eksalatif (Emsbo dkk., 2016).

Berdasarkan pemodelan kimia oleh Anderson (1975), Large (1977), dan Cooke dkk. (2000) telah menunjukkan bahwa ada dua jenis fluida hidrotermal yang dapat mengangkut timah (Pb) dan seng (Zn) untuk membentuk endapan super sedimen eksalatif (Gambar II.7):

1. Tereduksi (H2S>SO42-)

Fluida hidrotermal memiliki derajat keasaman (pH) asam hingga tinggi dengan temperatur tinggi 200°-300°C, fluida jenis ini membentuk endapan volcanic-

(9)

33

hosted massive sulfide (VHMS). Fluida jenis ini dapat mengurangi batuserpih dan silisiklastik turbidit pada cekungan sedimen, umumnya akan membentuk endapan jenis vent proximal (Cooke dkk., 2000).

2. Oksidasi (SO42->H2s)

Fluida hidrotermal memiliki derajat keasaman netral hingga agak basa dengan temperatur rendah 100°-200°C. Fluida jenis ini dapat dihasilkan pada cekungan sedimen teroksidasi yang mengandung rijang dan karbonat. Pada umumnya akan membentuk endapan vent distal dengan konsentrasi Zn-Pb-Ag dominan (Cooke dkk., 2000).

Pengendapan logam timah (Pb) dan seng (Zn) dikendalikan oleh fluida reduksi (kondisi derajat keasaman tinggi) dan H2S ketika cairan bijih bereaksi dengan organik kaya batuserpih hitam atau di dalam kolam air asin anoksik (fO2 rendah).

Gambar II. 7 Diagram pengangkutan Pb dan Zn (Cooke dkk., 2000).

Akumulasi belerang tereduksi sangat penting dalam pembentukan sedimentasi eksalatif. Akumulasi belerangan dapat dihasilkan dari bakteri pereduksi sulfur (biogenic sulfate reduction/BSR) terutama dalam pembentukan vent distal yang terbentuk dalam kondisi suhu rendah (Cooke dkk., 2000). Namun, pada temperatur lebih dari 120°C yang terjadi adalah reduksi sulfat termokimia (thermochemical

(10)

34

sulfate reduction/TSR) dengan sedikit oksidasi bahan organik yang menghasilkan endapan vent proximal (Cooke dkk., 2000).

Berdasarkan Cooke dkk., (2000) faktor pengontrol ukuran dan kualitas hidrotermal terdiri dari enam faktor, yaitu:

1. Ukuran sistem hidrotermal (besar atau kecil).

2. Daya dukung logam dan volume fluida hidrotermal.

3. Volume batuan induk yang berkontribusi pada suplai logam.

4. Jumlah reservoir.

5. Efisiensi jebakan logam.

6. Umur sistem hidrotermal.

Mineral bijih utama pada endapan sedimentasi eksalatif adalah sfalerit (ZnS) dan galena (PbS) berbutir halus, kalkopirit (Cu2Fe2S4), perak (Ag), dan pirit (FeS2) terdapat dalam beberapa endapan, ditemukan dalam sulfat namun dalam jumlah yang sangat kecil. Pirit menjadi selalu hadir baik dalam jumlah yang sedikit ataupun menjadi sulfida dominan, barit juga sering dijumpai tapi terkadang unsur ini juga tidak hadir dalam endapan sedimentasi eksalatif dan deposit yang paling penting dalam endapan sedimentasi eksalatif adalah timah dan seng (Pb dan Zn) (Cooke dkk., 2000).

Rata-rata endapan sedimentasi eksalatif mengandung 6,8 wt% seng, 3,3 wt%

Plumbum, dan 63 g/t perak dengan sumber daya 34,8 Mt bijih dan 3,2 Mt Zn + Pb (Goodfellow dan Lydon, 2007). Taylor dkk. (2009) telah mengungkapkan endapan sedimentasi eksalatif di Dairi (Sumatra Utara) sebanyak 17,9 Mt bijih, secara global endapan ini berada di atas rata-rata global yaitu 12,6 wt% seng dan 7,3 wt%

plumbum. Berdasarkan data tersebut maka endapan sedimentasi eksalatif di Dairi dapat digolongkan sebagai endapan sedimentasi eksalatif raksasa (Gambar II.8).

(11)

35

Gambar II. 8 Tonase dan kadar endapan sedimentasi eksalatif (Rivai dkk., 2020).

Gambar

Gambar II. 1 Peta fisiografi Sidikalang (SWP dkk., 1989)
Gambar  II.  2  Subduksi  Samudra  Paleotethys  dengan  Blok  Sumatra  Barat  (Barber  dkk.,  2005)
Gambar  II.  4  Kondisi  Blok  Sumatra  Barat  pada  saat  Kapur  Tengah  dan  Kapur  Akhir  (Barber dkk., 2005)
Gambar II. 5 Peta Geologi Regional Lembar Sidikalang dan Sebagian Sinabang (Aldiss  dkk., 1983).
+4

Referensi

Dokumen terkait

2 Lihat ketentuan tentang Pemilihan Kepala Desa khususnya pasal 34 ayat (1) dan pasal 35, yang mengatur tentang keterlibatan warga dalam memilih kepala desa secara langsung; ketentuan

pemasungan pada klien gangguan jiwa di Desa Sungai Arpat Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar berdasarkan karakteristik pekerjaan pada masyarakat yang tidak bekerja

• ala$ k#ndisi trtntu kritria ditrapkan pada k#$p#nnk#$p#nn yang dapat diidnti7kasi sara trpisah dari suatu transaksi tunggal atau

Indikasi : luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal., Indikasi : luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal., cedera tumpul ginjal yang memberikan

membran yang lebih besar dari alat pengujian difusi flow through cell, sehingga luas permukaan membran yang kontak terhadap medium pun lebih besar yang nantinya berpengaruh

Upacara pelet kandhungan ini biasanya dilakukan dari pihak keluarga perempuan atau wanita yang sedang hamil, akan tetapi ada pula yang dilaksanakan oleh pihak mertua, orang

Berdasarkan pada hasil uji hipotesis yang telah dilakukan, didapatkan nilai signifikansi yang didapatkan sebesar 0,000 &lt; 0,05 yang berarti bisa disimpulkan

menguat sebesar 7,58% dibandingkan dengan nilai tukar pada tanggal 30 September 2011, dengan semua variabel lainnya dianggap tetap, maka laba komprehensif