• Tidak ada hasil yang ditemukan

Shalat Bagi Petugas Medis Yang Berpakaian Personal Protective Equipment (PPE) Semasa Pandemi Covid-19 (Studi Perbandingan Pendapat Empat Mazhab)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Shalat Bagi Petugas Medis Yang Berpakaian Personal Protective Equipment (PPE) Semasa Pandemi Covid-19 (Studi Perbandingan Pendapat Empat Mazhab)"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

SHALAT BAGI PETUGAS MEDIS YANG BERPAKAIAN PERSONAL PROTECTIVE EQUIPMENT (PPE) SEMASA PANDEMI COVID-19

(Studi Perbandingan pendapat Empat Mazhab)

SKRIPSI

Diajukan oleh:

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM, BANDA ACEH 1444 H/2022 M

MOHAMAD AMZARUL NIDZAR BIN ZAKARIA NIM. 170103061

Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Prodi Perbandingan Mazhab

(2)

SHALAT BAGI PETUGAS MEDIS YANG BERPAKAIAN PERSONAL PROTECTIVE EQUIPMENT (PPE) SEMASA PANDEMI COVID-19

(Studi Perbandingan pendapat Empat Mazhab)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh

Sebagai Salah Satu Beban Program Sarjana (S1) dalam Ilmu Perbandingan Mazhab dan Hukum

Oleh:

Disetujui untuk dimunaqasyahkan oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Jabbar Sabil, M.A.

NIP: 197402032005011010

Yenny Sri Wahyuni, M.H.

NIP: 198101222014032001 MOHAMAD AMZARUL NIDZAR BIN ZAKARIA

NIM. 170103061

Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum

(3)
(4)
(5)

ii ABSTRAK

Protective Personal Equipment (PPE) Semasa Pandemi Covid-19 (Studi Perbandingan Pendapat Empat Mazhab) Tebal Skripsi : 67 Halaman

Pembimbing I : Dr. Jabbar Sabil, S.Hi., M.Ag Pembimbing II : Yenny Sri Wahyuni, M.H.

Kata Kunci : Rukhshah, azimah, shalat

Syarat dan rukun adalah suatu yang melekat pada perbuatan shalat seperti kewajiban utama sebelum shalat adalah bersuci. Agama Islam penuh dengan keberkahan serta kemudahan (rukhsah) yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya yang muslim dimana apabila berhalangan berwudhu dengan air maka Allah SWT memberikan rukhsah berupa bertayammum. Namun, bagaimana jika seorang muslim berhalangan dalam melakukan keduanya baik wudhu mahupun tayammum seperti halnya yang dirasakan baru-baru ini oleh para petugas medis COVID-19. Para ulama empat mazhab berbeda pendapat tentang pelaksanaan shalat bagi orang yang dalam keadaan faqidu thahurain. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pendapat para ulama empat mazhab dalam masalah ini yang dikaitkan sama hal seperti faqidu thahurain. Seterusnya bagaimana aplikasi rukhshah dan azimah terhadap pelaksanaan shalat bagi para petugas medis. Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), metode yang digunakan adalah deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan azimah ialah hukum yang mula-mula harus dikerjakan lantaran tidak ada sesuatu yang menghalang, sedangkan rukshah ialah suatu hukum yang dikerjakan lantaran ada suatu sebab yang memperbolehkan untuk meninggalkan hukum asal.

Sebagaimana penulis bahaskan bahwa terdapat beberapa pendapat para ulama dalam hal pelaksanaan shalat bagi faqidu thahurain. Perubahan pelaksanaan tuntutan hukum, sangat dipengaruhi oleh pertimbangan mashlahat dan mafsadat yang akan ditimbulkan pada saat tuntutan hukum tersebut dilakukan oleh subjek hukum (mukallaf). Kemafsadatan yang dialami mukallaf baik pada tingkat haji (al-masaqqah) atau pun pada tingkat dharuri merupakan faktor yang menentukan perubahan tuntutan pelaksanaan hukum.

Nama : Mohamad Amzarul Nidzar Bin Zakaria

NIM : 170103061

Fakultas/Prodi : Syari’ah dan Hukum/Perbandingan Mazhab

Judul : Hukum Shalat Bagi Petugas Medis Yang Berpakaian

(6)

iii

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas segala kudrah dan iradah-Nya yang selalu memberikan penulis kesehatan, kesempatan, dan kemampuan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sesuai dengan yang direncanakan. Shalawat beriring salam penulis sanjung sajikan ke pangkuan Nabi Muhammad yang telah membawa umatnya dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang benderang dan dari masa kebodohan menuju masa yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Salah satu nikmat dan anugerah dari Allah adalah saat penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Shalat Bagi Petugas Medis Yang Berpakaian Personal Protective Equipment (PPE) Semasa Pandemi Covid-19 (Studi Perbandingan Pendapat Empat Mazhab)

Maksud dan tujuan penulisan skripsi ini untuk memenuhi syarat-syarat guna mencapai gelar sarjana Ilmu Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak tidak terlepas dari petunjuk Allah serta bimbingan. Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan rasa hormat, ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada orang tua penulis, Ayahanda Zakaria Bin Che Sab dan Ibunda Roslina Binti Junus serta Isteri Zakirah Huwaina, juga teman-teman Hanif Halillah dan Ehsan Shaary dan keluarga besar penulis yang telah, mendidik, merawat, mendoakan dan memberikan motivasi yang begitu besar sehingga sampai kepada cita-cita menyelesaikan jenjang pendidikan di Perguruan Tinggi.

Selanjutnya kepada pembimbing I Bapak Dr. Jabbar Sabil, S.Hi., M.Ag serta kepada Ibu Yenny Sri Wahyuni, M.H. selaku pembimbing II yang telah banyak membantu mengarahkan, membimbing dan memberikan kontribusi yang

(7)

iv

sangat luar biasa dalam menyempurnakan skripsi ini. Kepada Bapak Dr. Husni Mubarrak, Lc., M.A.

Mohamad Amzarul Nidzar Bin Zakaria Banda Aceh, 12 Juli 202

(8)

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. TRANSLITERASI

Dalam skripsi ini banyak dijumpai istilah yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf latin, oleh karena itu perlu pedoman untuk membacanya dengan benar. Pedoman Transliterasi yang peneliti gunakan untuk penulisan kata Arab adalah sebagai berikut:

a) Konsonan

No. Arab Latin Ket No. Arab Latin Ket

1 ا Tidak

dilambangkan 16 ط t dengan titik di

bawahnya

2 ب B 17 ظ z dengan titik di

bawahnya

3 ت T 18 ع

4 ث Ś s dengan titik di

atasnya 19 غ Gh

5 ج J 20 ف F

6 ح h dengan titik di

bawahnya 21 ق Q

7 خ Kh 22 ك K

8 د D 23 ل L

9 ذ Ż z dengan titik di

atasnya 24 م M

10 ر R 25 ن N

11 ز Z 26 و W

12 س S 27 ه H

13 ش Sy 28 ء

14 ص Ş s dengan titik di 29 ي Y

(9)

vi bawahnya

15 ض d dengan titik di

bawahnya

b) Konsonan

Vokal Bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

a. Vokal Tunggal

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat, transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin

َ Fatḥah A

َ Kasrah I

َ Dammah U

b. Vokal Rangkap

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:

Tanda dan Huruf

Nama Gabungan

Huruf

ي َ Fatḥah dan ya ai

و َ Fatḥah dan wau au

Contoh:

فيك = kaifa, لوه = haula

c) Maddah

(10)

vii

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Harkat dan Huruf

Nama Huruf dan tanda

ي/ ا Fatḥah dan alif atau ya Ā

ي Kasrah dan ya Ī

و Dammah dan wau Ū

Contoh:

لا ق = qāla

ي م ر

= ramā لْي ق = qīla لْوق ي = yaqūlu

d) Ta Marbutah (ة)

Transliterasi untuk ta marbutah ada dua.

a. Ta marbutah (ة) hidup

Ta marbutah (ة) yang hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah dan dammah, transliterasinya adalah t.

b. Ta marbutah (ة) mati

Ta marbutah (ة) yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya adalah h.

c. Kalau pada suatu kata yang akhir huruf ta marbutah ( ة) diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka ta marbutah (ة) itu ditransliterasikan dengan h.

Contoh:

(11)

viii

ةَض او َر الاَفاطَ الْا : rauḍah al-aṭfāl/ rauḍatul aṭfāl ةَنايِدَمالا اة َر َّوَن مالا : al-Madīnah al-Munawwarah/

al-Madīnatul Munawwarah اةَحالَط : Ṭalḥah

3. Modifikasi

1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa transliterasi, seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya ditulis sesuai kaidah penerjemahan. Contoh: Ḥamad Ibn Sulaiman.

2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, seperti Mesir, bukan Misr; Beirut, bukan Bayrut; dan sebagainya.

3. Kata-kata asing yang sudah menjadi kata serapan, maka penulisannya disesuaikan dengan kamus Bahasa Indonesia.

(12)

ix

DAFTAR ISI

LEMBARAN JUDUL

PENGESAHAN PEMBIMBING PENGESAHAN SIDANG

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS

ABSTRAK ...ii

KATA PENGANTAR ... iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

DAFTAR ISI... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Penjelasan Istilah ... 8

E. Kajian Pustaka ... 9

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Pembahasan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RUKHSAH DAN AZIMAH ... 14

A. Pengertian Rukhshah dan Azimah ... 14

B. Pembagian Rukhshah ... 20

C. Batasan Darurat ... 28

D. Darurat karena masyaqqah ... 30

BAB III PEMBAHASAN TENTANG HUKUM SHALAT FAQIDU THAHURAIN MENURUT EMPAT MAZHAB ... 35

A. Sejarah Ringkas Empat Mazhab ... 35

B. Shalat Bagi Petugas Medis Dalam Keadaan Faqidu Thahurain Menurut Empat Mazhab ... 43

(13)

x

C. Azimah, Rukhshah dan Raf'u Taklif Dalam Pelaksanaan Tuntutan

Hukum Ibadah Shalat Ketika Terjadi Pandemi Covid-19 ... 51

BAB IV PENUTUP ... 58

A. Kesimpulan. ... 58

B.Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

DAFTAR RIWAYAT HIDUP...65

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada akhir tahun 2019, dunia telah digemparkan dengan suatu wabah pandemi yang dikenal Coronavirus Disease atas singkatannya Covid-19.

Demikian termasuklah negara Malaysia, Indonesia, Brunei dan negara asia yang lain. Menurut kenyataan Kementerian Kesehatan Malaysia (KKM), virus corona (Covid-19) ini telah tertular sejak akhir tahun 2019 dari negara China.1 Perkara ini telah menyebabkan kemerosotan ekonomi negara kita dan perekonomian dunia, bahkan yang lebih teruk wabak pandemi ini telah merenggut ribuan nyawa manusia tanpa mengira usia, bangsa dan agama.

Perkara ini telah membimbangkan seluruh umat manusia dan menjadikan huru-hara dalam pelbagai aspek baik aktiviti harian maupun peribadatan. Maka dengan itu, kebanyakkan negara di dunia termasuklah Malaysia telah mengambil pelbagai kebijakan dalam menangani penularan virus ini. Langkah yang diambil oleh pemerintah Malaysia adalah dengan mengadakan Perintah Kawalan Pergerakan (PKP), yaitu suatu tindakan untuk mengawal dan meminimalkan pergerakan masyarakat bertujuan untuk menyekat berlakunya penularan wabah ini secara meluas.

Menurut Tan Sri Dr Noor Hisham Abdullah yaitu Menteri Kesihatan berkata jumlah kes positif COVID-19 di negara Malaysia sudah menjangkau 11,034 kes dengan jumlah kes aktif 1,011 kes. Masyarakat diingatkan untuk

1 https://kpkesihatan.com/2020/03/13/kenyataan-akhbar-kpk-13-mac-2020-situasi-semasa- jangkitan-penyakit-coronavirus-2019-covid-19-di-malaysia/ diakses pada 13 March 2021.

(15)

2

mematuhi Prosedur Operasi Standard (SOP)2 yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu juga, untuk menangani bahaya wabak COVID-19, maka pemerintah sewajarnya prihatin terhadap kasus berkenaan bagi memastikan setiap nyawa rakyatnya terselamatkan.

Dimasa berlakunya penularan wabak pandemi ini, para petugas medis menanggung bebanan yang sangat berat dalam menangani penularan wabak ini.

Mereka perlu memakai pakaian khusus yaitu Personal Protective Equipment (PPE)3 untuk melindungi diri mereka dari batuk, dari risiko terjangkiti virus Covid-19 Seperti diketahui umum, isu berkaitan kekurangan Personal Protective Equipment (PPE) adalah isu global di mana hampir semua negara terdampak penularan wabak COVID-19. Demikian juga di fasilitas Kementerian Kesihatan Malaysia (KKM) juga, didapati penggunaannya telah meningkat secara mendadak susulan pandemi COVID-19 ini.

Mengingat keterbatasan stok Personal Protective Equipment PPE.

Kementerian Kesihatan Malaysia membatasi jumlah penggunaan baju tersebut bagi petugas medis setiap harinya. Maka pemerintah telah menerapkan prosedur bagi pihak medis agar mengenakan dan tidak menanggalkan baju tersebut selama 12 jam dalam sehari.4 Selain itu, apabila wabak ini telah tertular dengan luas maka jumlah pesakit bertambah sedangkan tenaga petugas medis masih kurang. Maka hal ini bertambah sulit sehingga menyebabkan seorang doktor atau petugas medis perlu bekerja lebih masa bagi menampung kekurangan tenaga medis.

Pemakaian baju PPE tersebut telah menimbulkan kesulitan bagi petugas- petugas medis terutamanya yang beragama Islam. Hal ini karena, mereka terpaksa untuk memakai baju tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama dan tidak

2 http://covid-19.moh.gov.my/faqsop/sop-pembukaan-ekonomi / diakses pada 13 March 2021.

3 https://www.mstar.com.my/xpose/isuke/2020/03/27/pakaian-ppe / diakses pada 13 March 2021.

4 https://muftiwp.gov.my/artikel/irsyad-fatwa/irsyad-fatwa-umum/4407-irsyad-al-fatwa- siri-ke-481-kaedah-bersuci-dan-solat-bagi-petugas-covid-19-yang-terpaksa-memakai-ppe-selama- 12-jam / diakses pada 13 March 2021.

(16)

3

mungkin untuk membukanya dalam waktu yang singkat dan sementara disebabkan beberapa faktor. Keadaan demikian memberikan kesulitan kepada para medis yang beragama Islam untuk melaksanakan kewajiban mereka seperti shalat dan bersuci.

Mencegah penularan virus jangkitan daripada diri sendiri atau pihak lain adalah dipuji oleh syariat. Ini sesuai dengan kaidah fikih berikut:

ناكملاا ردقب عفدي ررضلا

Artinya: “Kemudaratan perlu ditolak dengan kadar yang mungkin”

Kaedah fiqh berkenaan menerangkan bahwa semua kemudaratan mestilah ditolak dengan semaksimal mungkin. Ini karena syariat tidak mentaklifkan ke atas seseorang suatu perintah atau larangan yang diluar daripada kemampuan. Ini dilematis, sebab petugas-petugas medis yang beragama Islam akan menghadapi kesulitan untuk melaksanakan shalat fardu lima waktu karena dihadapi masalah yang tidak dapat dielakkan. Hal ini karena seluruh tubuh mereka ditutupi dengan baju PPE dan tidak bisa sampai air ataupun debu. Maka mereka tidak mampu untuk menyempurnakan salah satu syarat sahnya shalat yaitu berwuduk atau tayamum.

Perintah shalat dalam al-Qur`an dan sunnah rasulullah saw sangat diperhatikan, bersungguh-sungguh dengan segenap kesungguhan dalam menuntut pelaksanaannya dan mengancam dengan ancaman yang berat bagi yang meninggalkannya. Shalat merupakan sebaik-baik amalan dan yang pertama sekali di hisab atas seoarang mukmin pada hari kiamat.5 Nabi saw bersabda “Shalat adalah tiang agama, barangsiapa yang mendirikannya maka ia telah meneguhkkan agamanya, barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah meruntuhkan agama”.6

5 Yusuf al-Qardhawi, Ibadah Dalam Islam, terj: Abdurrahim Ahmad, dkk, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2005), hlm. 28

6 Sentot Hariyanto, Psikologi Salat, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 156.

(17)

4

Hadis diatas menunjukkan bahwa besarnya kewajiban melaksanakan kefarduan solat bagi umat Islam. Sehingga diibaratkan perbedaan diantara orang mukmin dan kafir adalah shalat. Bardasarkan uraian di atas, maka meninggalkan shalat merupakan perbuatan yang tidak terpuji, karena ia melawan dengan apa yang telah Allah perintahkan kepadanya. Selain dari itu, agama pun memberikan ancaman yang berat bagi orang yang meninggalkan shalat. Islam juga bukan agama yang mempersempitkan atau membebani umatnya dengan perintah serta suruhan sahaja, akan tetapi rukhsah juga diberikan bagi keadaan yang tidak dapat dielakkan. Sebagaimana firman Allah swt didalam surah al-Baqarah:

رْس عْلٱ م ك ب دي ر ي لا و رْس يْلٱ م ك ب هـَّللٱ دي ري

Artinya: “Allah menghendaki kamu beroleh kemudahan, dan Ia tidak menghendaki kamu menanggung kesukaran” (Surah al-Baqarah:183)7

Terkait masalah di atas, keadaan para petugas medis ini termasuk dalam kategori faqidu thahurain yaitu orang yang tidak memperolehi dua alat bersuci, air dan debu. Mereka tidak bisa menggunakan air maupun debu karena ditutup badan mereka seluruhnya dengan baju PPE tersebut. Demikian antara contoh lain yang merupakan keadaan faqidu thahurain yang bisa berlaku pada masa kini.

1. Pertama, Orang yang bepergian naik kereta api yang menghabiskan lebih dari dua waktu shalat (misalnya 14 jam perjalanan), dan khawatir ketinggalan saat kereta berhenti di suatu stasiun.

2. Kedua, orang yang habis operasi dan bekas operasinya belum boleh terkena air (masih mengandung najis).

3. Ketiga, pendaki gunung yang pakaiannya terkena najis dan tidak membawa pakaian lain yang suci.

4. Keempat, Orang yang berada di tengah hutan yang tidak bisa wudhu karena air tidak terjangkau dan tidak bisa tayamum karena tanahnya basah.

7 Al-Baqarah (2): 183

(18)

5

5. Kelima, Orang yang ditahan atau dipenjara di tempat yang najis.

Berdasarkan situasi dan keadaan tersebut, para ulama empat mazhab berselisih pendapat tentang hal tersebut, yaitu adakah mereka perlu shalat dalam keadaan tidak bersuci atau gugur kefardhuan shalat mereka. Para fuqaha berselisih pendapat terkait hukum shalat dan keadaan mereka kepada empat (4) pendapat.8

a. Tidak perlu shalat dalam keadaan tersebut tetapi perlu diqadha ketika telah mendapati salah satu daripada dua media bersuci.9

b. Wajib shalat dan wajib mengulangi shalatnya semula ketika telah mendapati alat untuk bersuci.10

c. Wajib shalat dan tidak wajib mengulangi shalat walaupun ia telah mendapati air atau debu.11

d. Tidak wajib shalat dan tidak wajib qadha.12

Pendapat yang pertama yang mengatakan tidak perlu menunaikan shalat dalam keadaan tersebut dan wajib menqadha shalat yang ditinggalkan itu setelah aman dan bisa untuk mendapatkan air dan debu, adalah pendapat Abu Hanifah, Imam Asbigh dan qaul qadim bagi Imam Asy-syafi’i.13 Manakala pendapat yang kedua dipelopori oleh anak murid Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf dan Muhammad

8 Zaid Hamdan al-Hazami, Ahkam at-Tayammum Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, (Riyadh: Dar as-Somi’i, 2011), hlm. 668-673

9 Qadhi Iyadh, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik li Ma’rifati A’lam Mazhab Malik, Jilid 1, (t.t: Dar al-Kalimah, 1983), hlm. 325-328

10 Syamsuddin as-Sarkhasi, al-Mabsuth, Jilid 1, (Beirut: Dar al-Makrifah, t.t), hlm. 123.

Lihat juga kita Badai’ as-Sonai, Jilid 1, hlm. 326

11 Almajmu’, Jilid 2, hlm. 223-225. Lihat juga al-Muharrar, Jilid 1, hlm.23. Lihat juga al- Inshaf, Jilid 1, hlm.269-270

12 Abi Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Maghribi, Mawahib al-Jalil li Syarhi Muhktasar Khalil, Jilid 1, (Beirut: Dar Kutub Alamiah, 2003), hlm.529-530. Lihat juga Syarah az- Zarqani, Jilid 1, hlm.230

13 Abu Zakaria Mahyudin bin Syaraf, Syarah Muhazzab li Syirrazi, Jilid 2, (Jeddah:

Maktabah al-Irsyad, t.t), hlm.223

(19)

6

Bin Hassan Asy-Syaibani, Ibnu Qassim14 yang bermazhab maliki dan ini juga merupakan qaul jadid Imam Asy-Syafi’i.

Pendapat seterusnya adalah pendapat yang tidak wajib shalat dan tidak wajib qadha, bahkan gugur baginya kewajiban shalat kepadanya karena bersuci adalah syarat wajib.15 Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Malik sebagaimana dinukilkan oleh Wahbah Zuhaily didalam kitabnya:

ردقلا دقاف وأ ،بارتلاو ءاملا امهو نيروهطلا دقاف نأ دمتعملا بهذملا لع ة

ى

صي لا ف ،ءاضقو ءادأ ةلا صلا هنع طقست ،بولصملاو هركملاك امهلامعتسا و يل

لا

ي ءادأ بوجو يف طرش ديعصلاو ءاملا دوجو نلأ ضئاحلْاك ،يضق قو ،ةلا صلا

د

مدع .

Artinya: Mazhab Maliki, pendapat yang mu’tamad bahwa Faqidu ath- Thahurain adalah orang yang tidak bisa menggunakan air dan tanah atau ada air dan tanah namun tidak mampu menggunakannya. Maka gugurlah kewajiban shalatnya. Tidak perlu shalat dan qadha seperti wanita haid, karena bersuci itu termasuk syarat kewajiban shalat. Namun hal itu tidak ada di dalamnya”16

Mengingatkan keadaan yang berlaku, maka pedoman shalat bagi petugas kesehatan di masa COVID-19, dengan membedakan situasi serta kondisi petugas kesehatan, memberikan kemudahan bagi umat Islam yang berada pada kondisi yang sama dengan petugas kesehatan seperti dokter, perawat, bahkan relawan saat wabah COVID-19 adalah orang-orang yang rentan terinfeksi COVID-19, sementara, petugas medis berada di garda terdepan dalam penanganannya.

14 Nama sebenar beliau ialah Abu Abdullah Abdurrahman bin al-Qasim bin Khalid bin Jinadah. Beliau merupakan seorang yang zuhud, alim dan merupakan seorang imam yang faqih dalam mazhab maliki. Beliau belajar bersama Imam Malik selama 20 tahun. Beliau dilahirkan pada tahun 132 H dan dikatakan pada tahun 128 H dan seterusnya beliau wafat pada tahun 191 H di Mesir. Lihat kitab Wafayat al-a’yan, Jilid 3, hlm. 129-130

15 Syasuddin ad-Dusuqi, Hasyiah Ad-Dusuqi ala Syarhi Kabir, Jilid 1, (t.tb: Dar Ihya’

Kutub al-arabiah, t.t), hlm.162

16 Wahbah Zuhaily, Fiqh Islam Waadillatuhu, Jilid 1, (Syiria: Dar al-Fikr, 1984), hlm.607- 608

(20)

7

Talfiq manhaji ini merupakan lonjakan paradigma yang sangat relevan untuk dikembangkan guna mengukuhkan ragam metode yang sudah ada. Dalam talfiq manhaji tidak dikenal fanatisme mazhab. Biarpun sememangnya kebanyakkan negara-negara di Asia berpegang kepada mazhab syafi’i, akan tetapi dalam hal ini akan menimbulkan kesulitan dan kemudharatan kepada masyarakat.17

Justru, yang ditekanlah adalah inklusivitas, moderasi serta akomodasi dari empat madzhab yang popular dengan metode yang telah dibukukan. Talfiq manhaji juga diperlukan agar hukum Islam mampu menjawab tantangan zaman, memberikan kontribusi positif pada kehidupan konkrit manusia. Serta mampu membangun citra dirinya, sehingga klaim Islam yang shalih li kulli zaman wa makan dapat terwujud.

Berdasarkan huraian diatas, penulis tertarik untuk mengkaji tentang permasalahan tersebut. Melihat kepada fenomena yang berlaku pada hari ini, penulis memilih judul tentang “SHALAT BAGI PETUGAS MEDIS YANG BERPAKAIAN PERSONAL PROTECTIVE EQUIPMENT(PPE) SEMASA PANDEMI COVID-19” (Studi Perbandingan Pendapat Empat Mazhab).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pendapat fuqaha empat mazhab tentang hukum shalat bagi petugas medis?

2. Bagaimanakah aplikasi konsep azimah dan rukhsah dalam ushul fiqh terhadap pelaksanaan ibadah shalat ketika terjadi wabah COVID-19?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimanakah pendapat fuqaha empat mazhab tentang hukum shalat bagi petugas medis.

17 Muhammad Iqbal, Metode Talfiq Manhaji Mui Dalam Fatwa, Jurnal al-A’dl, Vol. 13 No. 2, Juli 2020, hlm. 149-162

(21)

8

2. Untuk mengetahui Bagaimanakah aplikasi konsep azimah dan rukhsah dalam ushul fiqh terhadap pelaksanaan ibadah shalat ketika terjadi wabah COVID-19.

D. Penjelasan Istilah

Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dan kerancuan pengertian bagi para pembaca, maka peneliti memberikan penjelasan tentang istilah-istilah yang terdapat didalam karya ilmiah ini. Antara istilah-istilah tersebut adalah:

1. Shalat

Shalat merupakan perkataan yang berasal dari Bahasa Arab iaitu

“shalla” dan “shalawat” adalah perkataan jamak yang berarti berdoa untuk kebaikan18. Kata shalat dengan makna doa ditamsilkan di dalam Alquran adalah pada ayat berikut:

و ۡم أ ۡن م ۡذ خ ب مهيك ز ت و ۡم ه ر ه ط ت ً۬ ة ق د ص ۡم ه ل ٲ

ۡم هۡي ل ع ل ص و اه

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan shalatlah (doakanlah mereka)”

(QS. At-Taubah: 103)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, salat memberi arti berdoa kepada Allah atau ibadah kepada Allah Swt yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim mukalaf dengan syarat, rukun dan bacaan tertentu yang telah ditetapkan19. Menurut istilah syarak, shalat berarti beribadat menyembah Allah dimana ianya dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam serta ianya dikerjakan pada waktu-waktu tertentu20.

18 Muhammad bin Ahmad Khatib Asy-Syirbini, Iqna’ fi Hal Alfaz Abi Syuja’, Jilid 1, (Beirut: Maktabah Darul Fajar, 2015), hlm. 220

19 Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses melalui situs https://kbbi.web.id/salat, pada pukul 12:15 wib, 2 Disember 2021

20 Mohd Hasbi, Fardhu Ain Rumanis, Cet.1, (Kuala Lumpur: Percetakan Nahdi,1988), hlm. 12-13

(22)

9 2. Protection Personal Equipment

Protection personal equipment atau dipanggil alat pelindung diri adalah alat diguna pakai bagi seseorang yang berada atau bekerja di kawasan yang berbahaya dari penyakit atau luka, baik yang bersifat virus, biologis, kimia dan lain-lain. Alat pelindung diri atau Protection personal equipment sangat penting digunakan oleh doktor, jururawat, dan pesakit21.

3. Covid-19

Covid-19 atau Coronavirus adalah suatu virus yang menimbulkan pelbagai jenis penyakit, seperti demam selesema dan batuk. Sehinggalah penyakit ini dipanggil pandemi. Coronavirus ini menyebarkan penyakit kepada mamalia termasuk manusia dan binatang. Virus ini pertama menular wuhan China pada 31 Disember 2019 dan terus menular di seluruh dunia. Oleh itu, bagaimana virus ini menular, pertama melalui cecair yang dikeluarkan dengan cara batuk atau bersin dan melakukan sentuhan22.

E. Kajian Pustaka

Kajian Pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang dilakukan ini merupakan bukan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada. Pada umumnya penelitian ini dibahas kembali apabila suatu penyakit atau wabah yang menular sejak tahun lepas yaitu Coronavirus Diseases atau singkatannya disebut Covid-19, kes pertama Covid-19 di Malaysia dikesan pada 25 januari 2020 (Kementerian Kesihatan Malaysia, 2020 dan World Health Organization, 2020) dan setakat 27 Mei 2020, ia telah meragut 115 nyawa di Malaysia (Kementerian Kesihatan Malaysia 202) dan 349,190

21 Dr. Ryan Falamy, Alat Pelindung Diri, (Palembang: RS Kusta, 2018), hlm. 2-3

22 YB senator Datuk Dr. Zulkifli Mohamad Al-Bakri, Soal Jawab Fiqh Covid-19, (Pejabat Menteri Di Jabatan Perdana Menteri: Hal Ehwal Agama, 2020), hlm. 3-5

(23)

10

nyawa di seluruh dunia (World Health Organization 2020) Sudah tentu dalam berhadapan dan menguruskan Covid-19, petugas -petugas medis tidak dapat lari dari menunaikan shalat fardhu lima waktu serta mengambil wudhu. Inilah hasil dari penelitian yang penulis temukan.

Dari Jurnal Covid-19: Prestasi Solat Pasukan Perubatan Tanpa Wuduk dan Tayammum Berdasarkan Empat Fiqh Madhab membahaskan solat lima waktu itu adalah salah satu dari rukun islam yang wajib melaksanakannya serta kewajiban yang maktubah yaitu wajib bagi setiap hamba atau yang menganut agama islam sebagai bukti ketaatan kepada-Nya. Ibadah shalat bukan sahaja dari melaksanakan shalat sahaja tetapi proses atau prosuder bagaimana melaksanakan antaranya berwuduk, wudhu adalah salah satu menyucikan anggota badan dan salah satu syarat sah shalat bagi setiap umat muslim. Agama islam adalah agama memudahkan yang diberikan oleh Allah swt kepada hambanya yang berhalangan untuk mengambil wudhu tetapi dengan cara bertayamun. Kesimpulan yang dibuat oleh penulis di dalam judul artikel Covid-19: Prayers Performance of Medical Team Without Ablution and Tayammum Based On Four Madhab Fiqh adalah Berdasarkan keterangan di atas, penulis berpendapat bahawa orang sakit dibenarkan menggabungkan (jam'u) salah, terutama bagi pekerja kesihatan COVID-19 yang memakai PPE, oleh itu menyukarkan untuk melakukan wuduk (wudu atau tayammum) atau mengambil waktu untuk solat. Sekiranya jumlah pesakit terlalu tinggi, keadaan ini jelas udzur. Udzur membolehkan mereka terus melakukan lima salat harian baik dengan berwuduk (wudu dan tayammum) atau tanpa berwuduk (faqidu ath-thahurain). Udzur ini juga memungkinkan mereka melakukan salat jam'u kerana pekerja kesihatan COVID-19 merawat nyawa dan tugasnya tidak dapat ditinggalkan. Oleh itu, lebih penting bagi mereka untuk menggabungkan salat (jam'u) daripada dengan sengaja meninggalkan salat. Pada akhirnya, semua orang berharap keadaan ini dapat diatasi. Semoga Allah SWT memberkati semua orang yang telah menyumbang untuk mencari jalan keluar untuk masalah COVID-19 ini. Ini juga merupakan saat untuk kita berdoa kepada

(24)

11

Allah SWT untuk menghilangkan penyakit ini yang penyembuhannya masih belum dijumpai.

F. Metode Penelitian

Antara manfaat dari sebuah penelitian adalah dapat mengembangkan ilmu pengetahuan atau mengembangkan pemikiran dari segi teoritis maupun praktis.

Adapun metodologi adalah unsur yang sangat penting dalam melaksanakan suatu penelitian. Dalam penyusunan suatu karya ilmiah, diperlukan sebuah metode untuk mempermudah peneltian dan supaya penelitian yang dilakukan lebih efektif dan rasional bagi mencapai hasil penelitian yang optimal. Berikut adalah pemaparannya:

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang bersumberkan dari fakta-fakta yang diperoleh dari buku-buku dan jurnal-jurnal lainnya yang dapat mendukung penelitian ini.

Penelusuran data ini dilakukan terhadap hukum shalat berimamkan imam berlainan mazhab baik berupa buku-buku, artikel atau jurnal dan hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah ushul fiqh atau dalil-dalil hukum Islam.

2. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah berupa penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan analisis statistik atau kuantiti. Dengan begitu, penelitian yang digunakan adalah jenis normatif dan komparatif, yaitu penelitian yang menggali norma-norma baik dari hukum-hukum yang berlaku maupun pemikiran dari ahli hukum. Selanjutnya, peneliti akan menganalisi serta membandingkan pendapat serta argumentasi masing-masing pemahaman mereka. Pendekatan penelitian merupakan merupakan cara berpikir yang diadopsi peneliti tentang bagaimana desain penelitian dibuat dan bagaimana penelitian akan dilakukan.

(25)

12 3. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan library research (kajian kepustakaan). Mengingat jenis penelitian ini adalah normatif, maka yang dibutuhkan hanyalah sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder:

a) Sumber Primer

Sumber data primer (utama): Sumber pertama yang digunakan dalam penulisan ini adalah al-Quran, Hadis, Kitab-kitab asli dari kedua-dua tokoh tersebut seperti Fatawa Al-Qaffal, Tuhfah al-Muhtaj dan lain-lain.

b) Sumber Sekunder

Sumber data sekunder (pendukung): Sumber sekunder yang digunakan adalah kitab-kitab fiqh dan buku-buku lainnya yang mempunyai relevansi dengan permasalahan ini. Peneliti juga merujuk kepada bahan ilmiah dari internet yang dikutip dari situs web resmi.

4. Analisis Data

Setelah data yang diperlukan tersaji lengkap, maka data akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode yang bersifat deskriptif komparatif. Deskriptif bermaksud metode untuk mengambarkan dan menelaah suatu masalah. Sedangkan komparatif adalah metode yang digunakan untuk membandingkan argument yang memiliki cakupan perbedaan. Peneliti akan melakukan analisis perbandingan anatara pendapat empat mazhab tentang shalat bagi petugas medis yang berpakaian personal protective equipment (PPE) semasa pandemi covid-19. Seterusnya mendeskripsikan relevansi dan kesesuai pendapat antara keempat mazhab dengan permasalah yang berlaku dalam masyarakat.

(26)

13 G. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan dan mendapat pembahasan yang sistematis serta dapat dipahami penjabarannya, penulis menggunakan sistematika sebagai berikut.

Bagian awal skripsi ini berisi halaman sampul dalam, halaman pengesahan pembimbing, halaman pengesahan panitia ujian munaqasyah, surat pernyataan keaslian karya tulis, abstrak, kata pengantar, pedoman transliterasi, daftar isi, dan daftar lampiran.

Bab pertama pendahuluan yang merupakan pengantar dari pembahasan skripsi ini. Dalam bab ini dijelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, Penjelasan Istilah, kajian pustaka, Metode Penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua membahaskan tentang definisi dan pengertian Rukhsah dan Azimah, Pembagian Rukhsah, Batasan Darurat, dan Darurat Karena Masyaqqah.

Bab ketiga adalah membahas tentang sejarah ringkas empat mazhab, shalat bagi petugas medis menurut pendapat empat mazhab, dan analisis data.

Bab keempat dalah penutup yang dari rangkaian pembahasan ini yang berisi kesimpulan dan saran.

(27)

14

BAB II

TINJAUAN UMUM RUKHSAH DAN AZIMAH

A. Pengertian Rukhshah dan Azimah

Hukum Islam dengan segala seluk-beluknya pada prinsipnya disyariatkan untuk kemaslahatan umum, baik dengan jalan mengambil kemanfaatan maupun dalam bentuk menolak kemadaratan. Oleh karena itu, di dalam menetapkan hukum Islam Allah senantiasa memperhatikan kemudahan dan menjauhkan kesulitan, artinya hukum Islam sejalan dengan fitrah kemanusiaan.23

Pada dasarnya, hukum syara’ diturunkan Allah adalah sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya. Rahmat Allah itu merata diberikan tanpa kecuali. Karena itu pada asalnya hukum itu ditujukan kepada semua manusia mukalaf tanpa pengecualian. Di samping itu, hukum Allah mengandung pembatasan-pembatasan, perintah-perintah dan larangan-larangan yang pada dasarnya masih dalam batas- batas kemampuan mukalaf untuk melaksanakannya, karena Allah tidak memberati seseorang kecuali dalam batas kemampuannya.

Kemampuan manusia dalam menjalankan hukum berbeda tingkatannya.

Apa yang mungkin dilakukan oleh orang dalam keadaan normal mungkin bagi orang-orang tertentu dan dalam keadaan tertentu dirasakannya sangat berat dan berada di luar kemampuannya.24 Karena itu dalam mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, Allah swt mengecualikan pihak-pihak tertentu itu dari tuntutan yang berlaku umum. Pengecualian itu dijelaskan sendiri oleh Allah dalam suatu petunjuk yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, terdapat hukum-hukum yang penerapannya sesuai dengan dalil semula dan hukum-hukum yang penerapannya berbeda dengan dalil asal.

23 Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam: Prinsip Dasar Memahami Berbagai Konsep dan Permasalahan Hukum Islam di Indonesia, (Yogjakarta: Penerbit Ombak, 2017), hlm. 34

24 Fauwaz Fadzil Noor, Kuasa Usul Fiqh: Membina Asas Kefahaman Ilmu Berstruktur, (Kuala Lumpur: Telaga Biru, 2018), hlm. 60-61

(28)

15

Islam menjunjung tinggi fitrah kemanusiaan dengan memelihara serta memperhatikan kondisi dan keadaan manusia samaada dalam keadaan normal atau sebaliknya. Hukum Islam yang bersifat umum, artinya bahwa hukum Islam pada mulanya disyariatkan untuk semua mukallaf tanpa memperhatikan keadaan manusia dalam keadaan tertentu. Hal ini karena salah satu prinsip hukum Islam adalah tidak memberati yakni dalam keadaan tertentu Allah tidak memaksa manusia untuk tetap berpegang pada hukum yang bersifat umum akan tetapi Allah membolehkan mengambil hukum pengecualian dengan tujuan untuk memberikan keringanan kepada manusia.

Oleh karena itu didalam pelaksanaanya, sebagian orang merasa berat untuk melaksanakan hukum yang bersifat umum tersebut azimah, untuk itu diadakan suatu pengecualian hukum untuk orang-orang tertentu yang mempunyai alasan untuk mengambil hukum keringanan rukhshah. Maka para ulama membagikan hukum syarak apabila ditinjau dari segi berat dan ringannya menjadi dua bagian, yaitu azimah dan rukhshah.25

1. Pengertian Azimah

Kalimat azimah secara lughawi berarti kemauan yang teguh, kekuatan, kekuasaan, mantra, jampi-jampi atau jimat.26 Menurut literasi-literasi usuliyun menulis azimah secara bahasa dengan qasdan muakkadan atau al-iradah al- muakkadah. Pengertian ini bisa disimak di dalam Alquran:

َّللّٱ ى ل ع ۡلَّك و ت ف ت ۡم ز ع ا ذ إ ف

“…Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakal- lah kepada Allah…” (QS Ali-Imran: 159)

ه ل ۡد ج ن ۡم ل و ى س ن ف … ا ً۬ م ۡز ع ۥ

25 Samsul Munir Amin dan Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2013), hlm. 31-32

26 Ali Mahum Zainal Abidin, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 928

(29)

16

“…tetapi dia lupa, dan Kami tidak dapati kemauan yang kuat padanya.”

(QS Taha: 115)

Sedangkan menurut istilah disisi pada fuqaha sebagaimana yang dikemukakan oleh wahbah zuhaili azimah bermaksud:

ءادتبا ةيلكلا ماكحلأا نم عرش ام يف نيفلكملا لكل اماع انوناق نوكتل

يمج ع

لاوحلأا

“Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum untuk menjadi hukum-hukum umum bagi semua mukalaf dalam semua keadaan.”27

Kata-kata “ditetapkan pertama kali” diatas mengandung arti bahwa pada mulanya pembuat hukum bermaksud menetapkan hukum taklifi kepada hamba.

Hukum ini tidak didahului oleh hukum lain. Seandainya ada hukum lain yang mendahuluinya, hukum yang terdahulu itu tentu dinasakh dengan hukum yang datang belakangan. Dengan demikian, hukum azimah ini berlaku sebagai hukum pemula dan sebagai pengantar kepada kemaslahatan yang bersifat umum. 28

Kata-kata “hukum-hukum kuliyah (umum)” di sini mengandung arti berlaku untuk semua mukalaf dan tidak ditentukan untuk sebagian mukalaf atau untuk sebagian waktu tertentu. Umpamanya shalat yang diwajibkan kepada semua mukalaf dalam semua situasi dan kondisi. Begitu pula kewajiban zakat, puasa, haji dan kewajiban lainnya.29

Menurut Asyatibi didalam kitabnya Muwafaqat mendefinisikan azimah:

م مه ثيح نم نيفلكملا ضعبب صتخي لا ءادتبا ةماعلا ماكحلأا نم عرش ام لك

وف ن

اوحلأا ضعبب لاو ضعب نود ل

27 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islamiy, Jilid 1, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 2021), hlm. 113

28 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 381

29 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islamiy…, hlm. 113-114

(30)

17

“Sesuatu hukum yang dituntut syarak dan bersifat umum, tidak ditentukan dengan suatu golongan yang diistimewakan dan dengan sebagian keadaan yang lain (dikecualikan).”30

Seterusnya, menurut Abdul Wahab Khalaf mengatakan definisi azimah adalah:

لاو لاح نود لاحب صتخت لا يتلا ةماعلا ماكحلأا نم ةلاصا الله هعرش ام مب

فلك

...

“Hukum yang disyariatkan Allah semenjak semula bersifat umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu.”31

Selain itu, Nasrun Haroen mengatakan azimah bermaksud apa yang disyari’atkan Allah, berasal dari hukum-hukum yang umum tidak dikhususkan dengan keadaan tertentu berlaku terhadap setiap mukallaf tanpa dijelaskan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh mukallaf tersebut. Sedangkan, Muhammad Abu Zahrah memberikan definisi azimah ialah hukum yang mula-mula harus dikerjakan lantaran tidak ada sesuatu yang menghalanginya.32

Dari definisi-definisi diatas, dapat diketahui bahwa azimah adalah hukum asli yang bersifat umum, dimana manusia diperintahkan untuk melaksanakannya.

Secara sederhana azimah bisa dipahami sebagai hukum umum dan hukum asal yang bersifat mutlak, baik hukum itu bersifat perintah untuk mengerjakan sesuatu atau larangan melakukan suatu perbuatan.

2. Pengertian Rukhsah

30 Ibrahim bin Musa Asyatibi, Al-Muwafaqat, Jilid 1, (Beirut: Dar Ibnu Affan, 1997), hlm.164

31 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Maktabah Ad-Da’wah, t.tp), hlm. 121

32 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2018), hlm. 69

(31)

18

Adapun rukshah adalah lawan dari azimah. Secara etimologis rukhsah berarti keringanan, kemudahan, kelapangan, izin dan kemurahan.33 Sebagaimana orang arab mengucapkan:

رملأا يف صخرتي نلاف

“Fulan dimudahkan dalam suatu perkara”34

Secara istilah ada beberapa defenisi yang diberikan oleh ulama ushul tentang rukhshah. Demikian istilah yang dikemukakan oleh para fuqaha:

1. Al-Baidhawi dan Wahbah Zuhaili mendefinisikan rukhshah sebagai:

رذعل ليلدلا فلاخ ىلع تباثلا مكحلا يه

“Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil karena adanya uzur.”35 2. Menurut At-Thufi rukhshah adalah:

حجار ضراعمل يعرش ليلد فلاخ ىلع تبث ام

“Sesuatu (hukum) yang ditetapkan menyalahi dalil syarak untuk mencari (hukum) yang rajih.”36

3. Abdul Wahab Khalaf memberikan pengertian rukhshah:

ةصاخ تلااح يف فلكملا ىلع افيفخت ماكحلأا نم الله هعرش ام

“Sesuatu yang disyariatkan oleh Allah dengan hukum-hukum yang ringan keatas mukallaf pada keadaan yang tertentu.”37

4. Asy-Syatibi pula memuatkan definisi rukshah didalam al-Muwafaqat:

قاش رذعل يلك لصا نم ينثتسا ام

“Sesuatu hukum yang diatur oleh syarak karena ada satu keudzuran yang berat dan menyukarkan”38

33 Ali Mahum Zainal Abidin, Kamus al-Munawwir…, hlm. 484

34 Badaruddin Muhammad az-Zarkasyi, Tasynif al-Masai’ bi Jami’l Jawami’, Jilid 1, (Beirut: Dar Kutob al-Ilmiah, t.tb), hlm. 79

35 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islamiy…, hlm. 113-114

36 Abdul Karim bin Ali bin Muhammad al-Namlah, Rukhshah as-Syari’yyah wa Istinbathuha bil Qiyas, (Riyadh: Maktabah Rusyd, 2001), hlm. 31

37 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh…, hlm. 121-122

(32)

19

Penggunaan kata “uzur” definisi ini yang mengandung arti kesukaran dan keberatan, untuk menghindari dari cakupan arti rukhsah dalam dua hal:

a) Hukum yang berlaku dan ditetapkan dengan dalil lebih kuat yang menyalahi dalil lain yang lemah dari hukum itu. Diberlakukannya hukum yang datang belakangan bukan karena memberikan keringanan tetapi memang secara ketentuan harus dilakukan karena kekuatan dalilnya.

b) Taklif atau beban hukum semuanya merupakan hukum yang tetap menyalahi dalil asal dan yang menurut asalnya tidak ada taklif

Perkataan “hukum” merupakan jenis dalam definisi yang mencakup semua bentuk hukum. Kata tsabit (berlaku tetap) mengadung arti bahwa rukhshah itu harus berdasarkan dalil yang ditetapkan pembuat hukum yang menyalahi dalil yang ditetapkan sebelumnya. Makna “menyalahi dalil yang ada” merupakan sifat pembeda dalam definisi yang mengeluarkan dari lingkup pengertian rukhshah, sesuatu yang memang pada dasarnya sudah boleh melakukannya seperti makan dan minum. Kebolehan makan dan minum memang sudah dari dahulunya dan tidak menyalahi hukum yang sudah ada. Kata “dalil” yang maksudnya adalah dalil hukum, di nyatakan dalam definisi ini agar mencakup rukhshah untuk melakukan perbuatan yang ditetapkan dengan dalil yang menghendaki hukum wajib, seperti berbuka puasa bagi musafir, atau yang menyalahi dalil yang menghendaki hukum sunah seperti meninggalkan shalat jamaah karena hujan dan lainnya.39

Rumusan ini menunjukkan bahwa hukum rukhshah hanya berlaku apabila ada dalil yang menunjukkan dan ada udzur yang menyebabkannya. Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum azimah, yang umumnya berlaku selama ada udzur yang berat dan seperlunya saja, dan hukum rukhshah ini datangnya kemudian sesudah azimah. Pada umumnya, rukhshah adalah berpindah hukum

38 Ibrahim bin Musa Asyatibi, Al-Muwafaqat…, hlm.165

39 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…, hlm. 382

(33)

20

dari haram menjadi boleh (mubah) untuk dikerjakan, bahkan terkadang berpindah kepada wajib ditinggalkan, yang berarti gugurlah hukum yang asli.40

B. Pembagian Rukhshah

Pada dasarnya rukhshah itu adalah keringanan yang diberikan Allah sebagai pembuat hukum kepada mukalaf dalam suatu keadaan tertentu yang berlaku terhadap mukalaf tersebut. Hukum keringanan ini menyalahi hukum asalnya. Pembagian rukhshah apabila dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi kepada dua, rukhshah untuk mengerjakan dan rukhshah meninggalkan.

Pembagian ini didasarkan pada hukum dalam azimah. Jika hukum azimah itu berupa larangan, maka rukhshahnya berupa dispensasi untuk mengerjakan.

Sebahagiannya jika hukum azimah itu berupa kewajiban melaksanakan suatu perbuatan, maka rukhshahnya berupa dispensasi untuk meninggalkanya.

Sebahagian telah dijelaskan di atas, bahwa dispensasi untuk mengerjakan suatu perbuatan adalah apabila hukum asal tersebut berupa larangan yang diharamkan.

Kemudian lantaran ada dharurat atau hajat, maka larangan tersebut boleh dikerjakan.

Contoh-contoh rukhshah untuk mengerjakan perbuatan yang semula (hukum pertama) diharamkan antara lain:

Pertama, jika ia mengerjakan hukum azimah, maka jiwanya akan terancam (misalnya dibunuh) tapi ia tetap diperbolehkan untuk berpegang teguh pada hukum azimah. Misalnya, seorang muslim dipaksa untuk mengucapkan kalimat atau kata- kata yang dapat menyebabkan ia kufur di bawah ancaman senjata tajam. Maka orang tersebut diperbolehkan mengucapkan kalimat yang menimbulkan kekufuran, asalkan hatinya masih teguh dalam keimanan. Berdasarkan firman Allah yang berbunyi:

ناميلأاب نئمطم هبلقو هركأ نم لاإ

40 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh…, hlm. 69

(34)

21

“Kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa).” (QS An-Nahl: 106)

Dikisahkan seorang sahabat yaitu, Ammar bin Yasir telah mengucapkan kalimat kufur setelah disiksa oleh orang-orang kafir dengan kejam. Kemudian Rasulullah saw bertanya kepadanya, “wahai Ammar apa dorongan yang menyebabkan engkau mengucapkan kalimat tersebut.” Lalu ia menjawab, “Ya Rasulullah, mereka tidak menghentikan siksaannya kepadaku, kecuali jika aku menyebut tuhan-tuhan mereka dengan baik”. Rasulullah bertanya lagi,

“Bagaimana keadaan hatimu?” Ammar menjawab “Hatiku tetap teguh dalam keimanan”. Kemudian Rasulullah bersabda, “Jika mereka mengulangi lagi, maka ulangilah hal tersebut”.41

Selain itu, pernah ada sebuah berita yang sampai kepada Rasulullah, bahwa ada dua orang laki-laki yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur di bawah ancaman pembunuhan. Kemudian yang satu menolak mengucapkan kalimat kufur sehingga ia dibunuh, dan yang lain mau mengucapkannya. Kemudian Rasulullah saw mengomentari orang yang menolak mengucapkan kalimat tersebut, “Dia adalah orang yang paling utama di antara orang-orang yang mati syahid yang akan menemaniku di syurga.”42

Hal ini menunjukkan bahwa hukum azimah tetap ada dan boleh dikerjakan, sementara hukum rukhshah pun juga dikerjakan yang merupakan sedekah dari Allah swt terhadap hamba-hamba-Nya yang dalam keadaan terpaksa. Termasuk dalam contoh ini adalah amar ma'ruf nahi munkar. Jika ada seorang penguasa yang kejam dan aniaya yang membunuh setiap orang yang melakukan amar ma'ruf nahi munkar, maka bagi para da'i (ulama) diberikan dispensasi untuk berdiam diri (tidak melakukan amar ma'ruf nahi munkar). Tetapi bagi orang- orang yang mampu, wajib melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Allah Swt telah berfirman:

41 Ibid…, hlm. 69-70

42 Alauddin Abdul Aziz al-Bukhari, Hasyiyah Bukhari ala Ushul Fakhril Islam, Jilid 1, (Istanbul: Dar Makrifah, t.th), hlm. 637

(35)

22

نمو مكرذحيو ةاقت مهنم اوقتت نأ لاإ ءيش يف الله نم سيلف كلذ لعفي الله

ن هسف

“Barang siapa yang berbuat baik demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingati kamu terhadap siksaNya”

(QS Ali-Imran: 28)

Memelihara diri dalam kondisi seperti ini diperbolehkan tetapi menurut hukum azimah, yang baik ia tetap melakukan amar nia’ruf nahi mungkar, meskipun ia dibunuh. Karena Rasulullah saw telah bersabda:

ةزمح ءادهشلا ديس هلتقف رئاج ناطلسل قح ةملك لاق لجرو بلطملا دبع نب

“Sebaik-baik para syuhada’ adalah Hamzah bin Abd Muthalib dan orang yang melakukan amar ma’ruf terhadap penguasa yang zalim kemudian ia dibunuh”43

Kedua, adalah dalam keadaan darurat, yaitu jika seseorang tidak dapat memilih antara hukum asal dan hukum yang kedua. Misalnya, orang yang dalam keadaan terpaksa harus minum khamar atau makan bangkai. Jika ia tidak minum khamar atau makan makanan yang diharamkan, maka dikhawatirkan ia akan mati.

Dalam kondisi seperti ini ia justru diwajibkan minum atau makan sesuatu yang diharamkan tersebut. Sememangnya barang-barang tersebut diharamkan lantaran dapat merusak jiwa dan akal, tapi tidak dapat disangkal lagi, bahwa mempertahankan kehidupan adalah lebih baik dibanding menjaga diri dari kerusakan akal. Di samping itu, meskipun ia berlaku sabar dengan tidak makan atau minum barang-barang yang diharamkan tersebut, ia tidak akan memperoleh pahala.

Dengan diwajibkan makan dan minum barang-barang yang diharamkan, maka hukum tersebut telah keluar dari rukhshah. Karena rukhshah itu hanya menetapkan hukum harus. Jika dalam masalah tersebut terdapat dua hukum, yaitu hukum azimah dan hukum rukhshah. Tetapi dengan diwajibkannya melakukan hal

43 Muhammad Nashiruddin Albani, Silsilah Hadist Shahih, Jilid 2, Terj M. Qodirun Nur, (Indonesia: Pustaka Mantiq, 1995), hlm. 195

(36)

23

tersebut, maka telah keluar dari hukum rukhshah dan hukum yang pertama azimah telah gugur. Imam al-Bazdawi dalam kitab Ushul-nya mengatakan, bahwa hukum tersebut dinamakan rukhshah adalah tinjauan secara majazi.44 Karena wajibnya makan dan minum barang-barang haram tersebut adalah satu-satunya hukum dalam bab rukhshah.

Para fuqaha' membedakan antara terpaksa makan bangkai dengan terpaksa makan harta benda orang lain. Dalam contoh yang kedua (makan harta benda orang lain) itu masih dapat dilaksanakan hukum azimah. Misalnya, jika ia bersabar dan tidak mau makan harta benda orang lain hingga menyebabkan ia mati, maka ia tidak akan disiksa. Berbeda dengan terpaksa makan bangkai dan sejenisnya, karena haramnya makan harta benda milik orang lain adalah senantiasa ada dalam hukum pertama (hukum azimah). Demikian diatas contoh bagi rukhshah untuk mengerjakan suatu perbuatan. Seterusnya, rukhshah meninggalkan ialah keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang menurut hukum azimah-nya adalah wajib atau sunnah. Dalam bentuk asalnya, hukumnya adalah wajib atau sunnah. Tetapi dalam keadaan tertentu si mukalaf tidak dapat melakukannya dengan arti bila dilakukannya akan membahayakan terhadap dirinya. Dalam hal ini dibolehkan dia meninggalkannya. Seperti ifthar (tidak puasa) pada bulan Ramadhan, diperbolehkan meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar seperti yang telah disebut di atas, dan gugurnya kewajiban shalat jumaat bagi orang yang sakit.

Dalam bentuk lain umpamanya keharusan shalat empat raka‘at dapat dilakukan dua rakaat dalam keadaan tertentu, yaitu dalam perjalanan.

Rukhshah dalam meninggalkan hukum-hukum yang berlaku terhadap umat sebelum Islam yang dinilai terlalu berat untuk dilakukan umat Nabi Muhammad, sebagaimana di pahami dari firman Allah:

ه ت ۡل م ح ا م ك ا ً۬ ر ۡص إ ٓا نۡي ل ع ۡل م ۡح ت لا و َّلٱ ى ل ع ۥ

ني ذ ق ن م ا ن ل ۡب

44 Fakhrul Islam Ali bin Ahmad, Fawaid al-Bazdawi, Jilid 1, (Beirut: Dar kotob al- Ilmiyah, 1997), hlm. 738

(37)

24

“Wahai Tuhan kami janganlah Engkau pikulkan kepada kami beban berat sebagaimana yang Engkau pikulkan kepada umat sebelum kami.” (QS Al- Baqarah: 286)

Umpamanya membayar zakat yang kadarnya 1/4 dari harta, bunuh diri sebagai cara untuk tobat, memotong pakaian yang terkena najis sebagai cara untuk membersihkannya dan keharusan sembahyang dalam masjid yang berlaku dalam syariat Nabi Musa. Bila diperhatikan keringanan hukum dalam hal ini dibandingkan dengan yang berlaku sebelumnya, lebih tepat disebut nasakh, meskipun artian luas dapat pula disebut rukhshah.45

Sebagaimana yang dinukilkan oleh Wahbah Zuhaili bahwa ulama syafi’iyah membagikan rukhshah kepada empat bagian:

1. Rukhshah wajib

Contohnya memakan bangkai dalam keadaan darurat atau meminum khamar bagi orang yang tenggorokannya tersekat sehingga tidak bisa bernafas.

Maka jika berada dalam kondisi ini hukumnya wajib untuk mengambil Rukhshah untuk memelihara jiwa.46 Hal ini sesuai dengan firman Allah swt:

...هكلهتلا ىلإ مكيديأب اوقلت لاو

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan…”

(QS. Al-Baqarah: 195) 2. Rukhshah mandub (sunat)

Misalnya, shalat qasar bagi musafir yang telah melakukan perjalanan selama tiga hari. Adapun qasar dalam kondisi ini adalah sunnat atau lebih afdhal melakukannya. Berdasarkan firman Allah di dalam Alquran:

حا ن ج ۡم كۡي ل ع سۡي ل ف ض ۡر ۡلأٱ ى ف ۡم تۡب ر ض ا ذ إ و ت ن أ

ْاو ر ص ۡق َّصلٱ ن م ة ٰو ل

45 Sulastri Caniago, Azimah dan Rukhshah Suatu Kajian Dalam Hukum Islam, Jurnal JURIS Volume 13, Nomor 2, Desember 2014, hlm. 118-119

46 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islamiy…, hlm. 115

(38)

25

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat (mu)....” (QS An-Nisa’: 101)

Seterusnya, terdapat sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab bahwa “Shalat qasar adalah sedekah yang diberikan oleh Allah maka terimalah sedekah Allah tersebut”. Demikian juga hukum melihat wajah dan kedua telapak tangan calon istri saat meminangnya.47

3. Rukhshah Mubah (harus)

Contohnya seperti akad salam, akad ijarah, akad masaqah. Akad ini dikategorikan rukhshah yang mubah karena memandang hukum asalnya yang tidak diperbolehkan karena dianggap membeli barang yang ma’dum, dan mengambil manfaat yang ma’dum.48 Rukhshah dalam bentuk melegalisasikan beberapa bentuk akad yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Adanya rukhshah ini disebabkan oleh kebutuhan umum. Umpamanya jual beli ‘ariyah, yaitu menukar kurma basah dengan kurma kering dalam ukuran yang berbeda padahal keduanya satu jenis. Hal ini menyalahi ketentuan umum dalam tukar- menukar barang yang sejenis dalam ukuran yang berbeda. Contoh lain adalah jual beli as-salam. Hal ini meyalahi ketentuan umum yang melarang menjual sesuatu yang tidak ada di tangan. Kedua bentuk mu‘amalah ini di-rukhshah-kan karena kalau tidak akan menyulitkan dalam kehidupan umat.49

4. Khilaf al-Aula

Misalnya, berbuka puasa bagi musafir yang tidak mengalami kesulitan untuk melaksanakan puasa. Ruhkshah khilaf al-aula ini diambil berdasarkan dalil Alquran:

َّل ً۬ ر ۡي خ ْاو مو ص ت ن أ و ۡمك

“Dan jika kamu berpuasa itu lebih baik bagi kamu” (QS Al-Baqarah: 184)

47 Ibid…, hlm. 116

48 Ibid…, hlm. 116

49 Amir Syarifuddin, Ushul fiqh…, hlm. 386

(39)

26

Hal ini karena, berdasarkan ayat diatas dapat kita fahami bahwa orang yang dalam keadaan musafir dibenarkan untuk berbuka dan ia sudah menjadi tuntut ghair jazim dan ia juga mengandungi larangan yang untuk tidak berbuka. Akan tetapi larangan yang dipahami adalah larangan yang tidak jelas, maka ia disebut sebagai khilaf al-aula.50

Selain itu masalah lain yaitu menyapu sepatu dan melafazkan kafir dalam kondisi terpaksa.51

Adapun ulama Hanafiyah mempunyai pembagian yang berbeda dan mereka juga membagikan rukhshah kepada empat bagian sebagai berikut:

1. Kebolehan melakukan perbuatan haram ketika dalam keadaan dharurat dan mempunyai hajat. Seperti diperbolehkan mengucapkan kata-kata kufur tetapi hati tetap dalam keimanan jika berada kondisi terpaksa seperti akan dibunuh. Berbuka puasa ketika dalam keadaan terpaksa atau kebolehan memakan bangkai dalam kondisi sangat lapar serta kebolehan meminum khamar dalam kondisi sangat haus. Hal ini bersesuai firman Allah swt yang bermaksud “Janganlah kalian meletakkan tangan(diri) kalian ke dalam kebinasaan”.52

2. Kebolehan meninggalkan yang wajib apabila pelaksanaannya amat berat karena adanya kesulitan. Contohnya boleh berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang sakit dan musafir. Kondisi sakit dan safar tidak mewajibkan berbuka. Demikian juga dengan mengqasar salat yang empat rakaat ketika dalam perjalanan dan menyapu sepatu ketika berwhudu.53

50 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islamiy…, hlm. 116

51Abdul Haq, Dkk, Formulasi Nalar Fiqih; Telah Kaidah Fiqh Konseptual, (Surabaya:

Khalista, 2006), hlm. 182

52 Alauddin Abd Aziz bin Ahmad al-Bukhari, Kasyiful Asrar, Jilid 1, (Beirut: Dar Kutob Ilmiyah, 2015), hlm. 636

53 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islamiy…, hlm. 117-118

(40)

27

3. Kebolehan melakukan akad atau melakukan sesuatu yang dibutuhkan manusia dengan menyalahi kaidah-kaidah yang bersifat umum. Seperti akad salam dan ijarah.

4. Kebolehan meninggalkan syariat umat sebelum kita karena jika tidak ditinggalkan akan menimbulkan kesulitan. Contohnya membayar zakat 25% dari harta, bunuh diri sebagi cara untuk taubat, memotong pakaian yang terkena najis sebagai cara untuk membersihkannya. Bila diperhatikan keringan hukum dalam hal ini dibandingkan yang berlaku sebelum ini lebih tepat disebut nasakh, meskipun demikian dalam pengertian luas dapat juga disebut rukhshah.54

Selain itu, terdapat istilah lain yang digunakan disisi ulama hanafiyah tentang rukhshah yaitu rukshah tarfih dan rukhshah isqath. Rukhsah ini ditinjau dari segi keadaan hukum asal sesudah berlaku padanya rukhshah, apakah masih berlaku pada waktu itu atau tidak. Maksud bagi rukshah tarfih adalah Suatu hukum azimah yang masih tetap bersamanya dan dalilnya juga masih tetap, akan tetapi diberikan rukhshah untuk meninggalkannya sebagai suatu peringanan pada mukallaf. Manakala, rukhshah isqath pula adalah suatu pengguguran hukum, di mana hukum azimah tidak lagi tetap bersamanya, bahkan sesungguhnya keadaan mengharuskan peringanan telah menggugurkan hukum azimah dan hukum yang disyariatkan adalah rukhshah.55

C. Batasan Darurat

Al-Ḍarūrah secara etimologis berarti keadaan yang sulit (al-ḍayyiq/syiddat al-ḥāl).56 Adapun secara terminologis, menurut Wahbah al-Zuhayli:

ثيحب ةديدشلا ةقشملا وأ رطخلا نم ةلاح ناسنلاا ىلع أرطت نأ يه :ةرورضلا وأ وضعلاب وأ سفنلاب ىذأ وأ ررض ثودح فاخي لاملاب وأ لقعلاب وأ ضرعلاب

54 Ibid…, hlm. 118

55 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh…, hlm. 73-74

56 Ibn Manzūr. Lisān al-‘Arab, Jilid. V (Kairo: Dār al-Hadīth, 2003), hlm. 487.

Referensi

Dokumen terkait