• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RUKHSAH DAN AZIMAH

D. Darurat karena masyaqqah

Masyaqqah secara kebahasaan berarti kesulitan (al-juhd).61 Adapun secara istilah berarti sesuatu yang menimpa mukallaf berupa kesulitan yang mengakibatkan kesempitan dan kesusahan.62 Masyaqqah di sini berbeda dengan kesulitan yang timbul dari taklīf yang dibebankan syariat seperti puasa misalnya.

Alasannya karena taklīf masih berada dalam batas kemampuan berbuat manusia.63 Jadi masyaqqah yang menjadi sebab diberikan keringanan secara syarak ialah

59 ‘Abd al-Qādir ‘Awdah. Tasyrī‘ al-Jinā’ī al-Islāmī; Muqāran bi al-Qanūn al-Wad‘ī (Kairo: Maktabah Dār al-Turāth, 2005), Jilid. I, hlm. 495.

60 Al-Syātibī. Al-Muwāfaqāt (Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2003), Jilid. I, hlm. 272.

61 Ibn Manzūr. Lisān al-‘Arab…, Jilid. V, hlm. 159.

62 Al-Mansī. Taghayyur al-Zurūf…, hlm. 228.

ت ام :ةقشملا .جرحلاو قيضلا يف هعقوي بعت وا ءانع نم فلكملا بيص

63 Al-Syātibī. Al-Muwāfaqāt…, Jilid. II, hlm. 104.

30

masyaqqah yang keluar dari kesanggupan manusia. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Alquran sendiri, misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 185,64 tentang kebolehan berbuka puasa bagi musafir. Adapun pernyataan bahwa agama tidak bermaksud memberatkan--antara lain--terlihat dalam surat al-Hajj ayat 78.65 Menurut al-Suyūtī, masyaqqah adalah salah satu dari lima kaidah utama di mana fikih dibangun di atasnya, karena semua keringanan yang diberikan syariat kembali padanya.66

Menurut Ibn ‘Abd al-Salām, syariat memberikan enam bentuk keringangan: 1) menggugurkan hukum, seperti digugurkannya salat berjamaah, puasa, haji, dan umrah disebabkan oleh uzur tertentu; 2) pengurangan, seperti dikuranginya jumlah rakaat salat; 3) penggantian, seperti digantinya wuduk dengan tayamum; 4) didahulukan, seperti menjamak salat asar pada waktu zuhur; 5)

64 (Q.S al-Baqarah [2]: 185:

ا و ى د هْلا ن م ٍتا ن ي ب و ساَّنل ل ى د ه نآ ْر قْلا هي ف ل زْن أ ي ذَّلا نا ض م ر رْه ش ْر فْل

م ف نا ق ْن م د ه ش ْن م ك ي ر م نا ك ْن م و هْم ص يْل ف رْهَّشلا ى ل ع ْو أ ا ض

عْلا م ك ب دي ر ي لا و رْس يْلا م ك ب َّاللَّ دي ر ي ر خ أ ٍماَّي أ ْن م ةَّد ع ف ٍر ف س رْس

و ل مْك ت ل ت ل و ةَّد عْلا او و ْم كا د ه ا م ى ل ع َّاللَّ او ر ب ك

و ر كْش ت ْم كَّل ع ل ( ن

185 )

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dari pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu,barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atau petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

65 (Q.S. al-Hajj [22]: 78:

م ني دلا ي ف ْم كْي ل ع ل ع ج ا م و ْم كا ب تْجا و ه ه دا ه ج َّق ح َّاللَّ ي ف او د ها ج و ح ْن

َّل م ٍج ر ا رْب إ ْم كي ب أ ة ْن م ني م لْس مْلا م كاَّم س و ه مي ه

ا ذ ه ي ف و لْب ق

كْي ل ع ا دي ه ش لو س َّرلا نو ك ي ل لاَّصلا او مي ق أ ف ساَّنلا ى ل ع ءا د ه ش او نو ك ت و ْم

و ة َّزلا او تآ و م ص تْعا و ةا ك ْلا مْع ن ف ْم ك لا ْو م و ه َّللّا ب ا

مْع ن و ى ل ْو م

( ري صَّنلا 78 )

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama sesuatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Di (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.

66 Jalāl al-Dīn al-Suyūtī. Al-Asybāh wa al-Nazā’ir (Singapura: al-Harāmayn, 1960), hlm.

6.

31

mengakhirkan, seperti menjamak salat zuhur pada waktu asar; 6) keringanan, seperti pemaafan atas hadas pada kasus orang yang salat dengan bertayamum.67

Mengingat diberinya keringanan akibat masyaqqah, maka ia merupakan salah satu sebab perubahan hukum karena berubahnya keadaan. Namun masyaqqah tidak bisa dibuat batasannya, ia berbeda sesuai perbedaan orang, tempat dan keadaan. Oleh karena itu, menurut al-Mansī, syariat hanya menyebut sebab-sebab masyaqqah sebagai dasar peringanan hukum tanpa melihat wujud konkretnya dalam realitas.68 Menurut al-Suyūtī ada tujuh masyaqqah yang menjadi sebab keringanan hukum, yaitu musafir, sakit, terpaksa, lupa, jahil, kesukaran, dan umum balwa.69 Sementara itu kehidupan manusia tidak lepas dari fitrah alam yang terus mengalami perubahan mengikuti waktu dan tempat sehingga muncul masyaqqah baru di luar apa yang telah dinaskan al-Syāri‘. Lalu apakah ia berpeluang menjadi sebab yang berpengaruh bagi keringanan hukum?

Menurut Muhammad Qāsim al-Mansī, peluang ini ada pada masyaqqah dalam konteks al-hājah yang dapat naik ke tingkat al-darūrah, jika kesulitan bersifat tetap. Nyatanya para Fukaha membicarakan hājah dalam pengertian al-darūrah yang tidak sampai menghilangkan jiwa. Selain itu mereka juga menyusun kaidah fiqhiyyah seperti; “masyaqqah memberi keringanan,”70 “apa yang dibolehkan karena darurat ditentukan berdasar kadar masyaqqah-nya,”71

“kesempitan berakibat keluasan.”72 Kaidah-kaidah ini menunjukkan adanya kemungkinan untuk diberi keringanan berdasar masyaqqah, atau didahulukan kemudahan sebagai pengecualian dalam kondisi darurat. Maka diyakini hal ini

67 ‘Izz Dīn Ibn ‘Abd Salām. Qawā‘id Ahkām fī Masālih Anām (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), Jilid. II, hlm. 6.

68 Al-Mansī. Taghayyur al-Zurūf…, hlm.228.

69 Al-Suyūtī. Al-Asybāh…, hlm. 55-56.

70 Al-Suyūtī. Al-Asybāh…, hlm. 55. ريسيتلا بلجت ةقشملا

71 Al-Suyūtī. Al-Asybāh…, hlm. 60. اهرذعت ردقب ةرورضلل حيبأ ام

72 Al-Suyūtī. Al-Asybāh…, hlm. 59. عستا رملأا قاض اذإ

32

juga dapat menjangkau hajat yang posisinya berada setingkat di bawah darurat.73 Alasannya, karena hajat dan darurat memiliki persamaan dan perbedaan.74

Hal lain yang juga menunjukkan peluang ini ialah sikap para Fukaha yang memerhatikan ‘urf, baik ‘urf yang berlaku umum mau pun khusus. Alasannya jelas, karena ‘urf merupakan dasar bagi diterimanya hajat dan maslahat masyarakat yang berbeda di satu tempat dengan tempat lain. Sampai di sini dapat disimpulkan, bahwa dari perspektif Fukaha, ‘urf dan menghubungkan hajat dengan darurat merupakan solusi syariat dalam mengatasi kesulitan dan kesempitan yang menimpa manusia akibat perubahan keadaan.75 Lalu bagaimana dengan pandangan usūliyyūn?

Berbeda dari Fukaha, usūliyyūn menyorot dari sisi masyaqqah itu sendiri, dan ada pula yang melihat hubungan masyaqqah dengan mukallaf. Menurut Ibn

‘Abd al-Salām, masyaqqah yang terkait dengan ibadah tidak ada pengaruhnya bagi peringanan hukum. Misalnya masyaqqah dalam berwuduk saat kondisi dingin, puasa saat hari panas, dan sebagainya, sebab keringanan di sini akan merusak maslahat yang dikandung oleh ibadah itu sendiri. Adapun masyaqqah yang terlepas dari ibadah ia membaginya menjadi tiga tingkatan: 1) masyaqqah yang berat, seperti mengancam jiwa atau merusak anggota tubuh; 2) masyaqqah yang ringan seperti sakit kepala biasa; 3) masyaqqah pertengahan dari dua sebelumnya.

Dalam hal ini, masyaqqah yang berat mewajibkan keringanan hukum, sementara

73 Al-Mansī, Taghayyur al-Zurūf…, hlm.230.

74 Wahbah Al-Zuhaylī. Nazariyyat al-Darūrat al-Syar‘iyyah; Muqāranah ma‘a al-Qanūn al-Wad‘ī (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1985), hlm. 273-276. Menurut al-Zuhaylī, darurat berbeda dari hajat karena dua alasan: 1) dorongan darurat lebih kuat dari hajat, karena darurat dilandasi oleh sesuatu yang tidak boleh tidak, sedangkan hajat berpijak pada pemberian kemudahan; 2) hukum yang dikecualikan karena mudarat biasanya berupa pembolehan atas sesuatu yang dilarang secara tegas melalui nas, sedangkan hajat biasanya berupa penyimpangan dari kaidah umum, bukan nas. Adapun sisi kesamaan keduanya karena darurat dan hajat harus memenuhi empat syarat: 1) masyaqqah telah keluar dari batas biasa; 2) standar yang dipedomani adalah ukuran pertengahan manusia normal; 3) hajat itu harus ditentukan secara jelas sehingga dapat dipastikan tidak ada solusi lain dalam syariat; 4) keringanan itu sesuai dengan kadar kebutuhan atasnya.

75 Al-Mansī. Taghayyur al-Zurūf…, hlm.232.

33

yang ringan tidak. Adapun masyaqqah yang pertengahan dilihat kadarnya, apakah lebih dekat pada masyaqqah berat atau ringan (taqrīb).76

Ungkapan Ibn ‘Abd al-Salām ini menunjukkan sulitnya membuat batasan masyaqqah. Dari itu ia menjadikan masyaqqah yang diiktibar syarak sebagai pedoman, lalu masyaqqah lain dihubungkan sesuai kedekatan dengannya (taqrīb).

Apa yang diurai Ibn ‘Abd al-Salām ini adalah dari sudut pandang masyaqqah itu sendiri. Adapun al-Syātibī menempuh alternatif lain, yaitu dengan jalan menghubungkan masyaqqah itu kepada keadaan mukallaf.

Al-Syātibī membedakan antara kesulitan yang biasanya dianggap masyaqqah dengan yang tidak dianggap masyaqqah. Kriteria pertama, jika amal dilanjutkan maka berakibat pada terputusnya amal itu sendiri. Kriteria kedua, jika amal dilakukan akan menimbulkan cedera bagi si pelaku, atau terhadap hartanya, bahkan mengancam jiwa. Kedua kriteria ini menjadi indikator bahwa masyaqqah telah keluar dari kemampuan manusia. Bagi al-Syātibī, jika kriteria ini tidak ada pada suatu perbuatan, maka ia masih dalam lingkup kemampuan manusia, walau tetap disebut masyaqqah.77

Berdasar pemikiran kedua tokoh ini dapat disimpulkan, bahwa masyaqqah yang tidak diberi batasan oleh al-Syāri‘ dapat ditemukan batasannya lewat adat (al-mu‘tādah) dan ‘urf. Pendapat kedua tokoh ini dapat disatukan, sebab taqrīb yang dimaksud Ibn ‘Abd al-Salām adalah mendekatkan masyaqqah baru dengan masyaqqah yang diiktibar syarak. Adapun al-Syātibī menjadikan iktibar syarak sebagai standar masyaqqah yang keluar dari batas kemampuan manusia (ghayr mu‘tādah). Lalu keringanan dinyatakan berlaku jika masyaqqah telah di luar batas kemampuan manusia. Masalahnya, apakah ‘urf dapat dijadikan batasan bagi masyaqqah yang tidak ada pembatasan berdasar nas?

76 Ibn ‘Abd al-Salām. Qawā‘id al-Ahkām…, Jilid. II, hlm. 7.

77 Al-Syātibī. Al-Muwāfaqāt…, Jilid. II, hlm. 105.

34

Al-Qarāfī dengan tegas mengatakan tidak, baginya masalah ini harus dihadapi dengan cara taqrīb sebagaimana pendapat gurunya, Ibn ‘Abd al-Salām.78 Pandangan yang bertolakbelakang dengan al-Qarāfī dikemukakan Rasyīd Ridā. Ia menyatakan keharusan merujuk pada ‘urf, sebab masalah ini tidak bisa diselesaikan tanpa merujuk pada realitas itu sendiri.79 Kiranya kedua pendapat ini harus disikapi secara moderat, sebab penolakan al-Qarāfī disebabkan kecenderungan pada metode gurunya. Adapun pendapat Rasyīd Ridā tidak bisa diterima secara mutlak, sebab kadar masyaqqah memang berbeda bagi manusia karena sebab yang sangat beragam. Kadang kala sesuatu menjadi masyaqqah bagi

‘urf masyarakat tertentu, tapi tidak bagi yang lain.

Dari diskusi ini dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab masyaqqah yang diiktibar al-Syāri‘ terbatas pada tujuh sebab yang disebut al-Suyūtī. Di luar itu, terkait dengan ibadah, biasanya tidak memberi keringanan karena umumnya ibadah tidak keluar dari kemampuan manusia. Adapun pada muamalah merupakan lapangan ijtihad, khususnya ijtihad tahqīq al-manāt. Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan yang holistik, bukan dipulangkan pada ‘urf secara mutlak seperti pendapat Rasyīd Ridā, dan tidak boleh menolak ‘urf secara mutlak seperti pendirian al-Qarāfī.

78 Al-Qarafi. Kitāb al-Furūq…, Jilid. I, hlm. 240.

79 Sayyid Muhammad Rasyīd Ridā. Tafsīr al-Manār, cet. II (Kairo: Dār al-Manār, 1947), Jilid. VI, hlm. 270.

35

Dokumen terkait