14
KEKELIRUAN PADA
PENENTUAN STATUS KUALITAS AIR DENGAN FITOPLANKTON
Yudhi Soetrisno Garno Pusat Teknologi Lingkungan Kedeputian Teknologi Sumberdaya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
e-mail: [email protected]
Abstrak
Kajian ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan kelimpahan dan struktur komunitas fitoplankton yang pada penentuannya melibatkan planktonnet, untuk menganalisis status kualitas perairan.
Untuk itu dilakukan perbandingan hasil penentuan kelimpahan dan struktur komunitas fitoplankton dengan metode yang melibatkan penyaringan dengan planktonnet dan yang tidak melibatkan penyaringan. Kajian ini mengungkapkan bahwa penggunaan planktonnet menghasilkan ratio populasi dan ratio kelimpahan yang tidak konsisten sehingga mengakibatkan terbentuknya struktur komunitas yang sangat berbeda dengan yang tidak disaring. Berdasarkan realita tersebut maka analisis status kualitas air dengan data struktur komunitas dan kelimpahan yang penentuannya melibatkan planktonnet adalah sangat tidak layak untuk dijadikan dasar analisis status kualitas perairan, apalagi dijadikan dasar pengambilan keputusan pada penglolaan lingkungan perairan.
Untuk itu disarankan untuk analisis status kualitas air secara biologis digunakan data struktur komunitas dan kelimpahan fitoplankton yang dalam penentuannya tidak melibatkan planktonnet untuk pengambilan sampelnya
Kata kunci: fitoplankton, kelimpahan, planktonnet, struktur komunitas
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakangKemajuan teknologi budidaya pertanian yang selama ini mengandalkan penggunaak pupuk untuk meningkatkan produksi telah menyebabkan tingginya sisa-sisa hara N:P:K yang masuk ke perairan umum.
Demikian pula kegiatan rumah tangga modern dan indusrri yang menggunakan pembersih dengan takaran yang berlebihan telah menyisakan hara, terutama posfor yang mengalir masuk ke perairan umum. Masuknya hara dari berbagai kegiatan itulah maka tanpa disadari, badan-badan air disekiling kita terutama yang relatif tergenang seperti situ, danau dan waduk bahkan pantai tertutup (seperti teluk) sedikit demi sedikit telah berubah menjadi kehijau-hijauan.
Para pakar ekologi perairan sepakat bahwa fenomena kehijau-hijauan perairan tersebut disebabkan oleh peningkatan kelimpahan fitoplankton yang disebabkan oleh eutrofikasi, yaitu peningkatan konsentrasi nutrien/
hara terlarut dalam badan air yang berasal dari dalam dan luar ekosistem. (Hutchinson, 1944; Margalef, 1958 dan Frost, 1980, Garno, 1992). Dari dalam ekosistem, peningkatan nutrien berasal dari dekomposisi bahan organik (detritus dan kotoran/ekskresi) dan regenerasi nutrien oleh zooplankton, sedangkan yang berasal dari luar ekosistem nutrien masuk ke badan air melalui saluran air yang dibawa air mengandung berbagai bahan buangan (limbah) dari limbah pertanian, domestik dan industri, baik yang disengaja ataupun tidak disengaja.
Nutrien merupakan unsur kimia yang diperlukan alga (fitoplankton) untuk hidup dan pertumbuhannya (Garno,1995) Sampai pada tingkat konsentrasi tertentu, peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air akan meningkatkan produktivitas perairan. Publikasi yang ada menyatakan bahwa kandungan fosfor > 0,010 mgP/l dan nitrogen > 0,300 mgN/l dalam badan air akan merangsang fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang-biak dengan pesat, sehingga terjadi blooming sebagai hasil fotosintesa yang maksimal dan menyebabkan peningkatan biomasa perairan tersebut.
Fitoplankton adalah tumbuhan mikroskopik yang hidup melayang-layang dalam air (Goldman and Horne, 1983). Berdasarkan ukurannya fitoplankton dikelompokan dalam ultra nannoplankton (<2 m), Nanno- plankton (2-20 m), Microplankton (20 –200 m), Mesoplankton (200-2.000 m) dan Megaplankton (> 2.000
m). Selain ukuran, bentuk dan keberadaan fitoplankton pun sangat bervariasi. Fitoplankton mempunyai berbagai macam bentuk, yakni bulat, elips, segi-empat, trapesium, tongkat, silinder beserta bentuk kombinasinya; dan keberadaannya dapat dalam bentuk tunggal/singgel sel (Chlorella sp. &, Chlamydomonas sp.) dan gabungan/koloni (Mycrocystis sp. & Gonium sp.) (Gambar 1). Di perairan umum, komunitas
15 Gambar 1 Beberapa fitoplankton dengan bentuk
yang berbeda-beda
Gambar 2 Posisi fitoplankton saat disaring
fitoplankton umumnya didominasi oleh jenis fitoplankton yang berukuran lebih kecil dari 10 m. (Garno, 1992).
Keberadaaan dan kelimpahan fitoplankton sangat dipengaruhi oleh keberadaan nutrien merangsang pertubuhannya dan zooplankton yang memangsanya (Garno, 1995). Dalam memanfaatkan nutrien tersebut, setiap jenis fitoplankton mempunyai kemampuan yang berbeda (Hendersen & Markland, 1987; Margalef, 1956 dan Reynold, 1999). Diketahui pula bahwa dalam pemangsaan fitoplankton, zooplankton melakukan pemilihan terhadap jenis, bentuk dan ukuran fitoplankton yang hendak dimakan atau selective feeding (Garno, 1993;
Geller, 1975 dan Horn. 1981). Sementara itu zooplankton melepas nutrien (dimanfaatkan fitoplanton) kebadan air melalui eksresi dan dekomposisi setelah mati. Interaksi kompleks antara nutrien, fitoplankton dan zooplankton tersebut menyebabkan badan air yang mengalami eutrofikasi pada akhirnya akan didominasi oleh sejenis fitoplankton tertentu yang pada umumnya tidak bisa dimakan oleh fauna air, terutama zooplankton dan ikan (Garno, 1998).. Sebagai contoh yang nyata dari fenomena ini adalah dominasi Mycrocistis sp di waduk-waduk yang ada di sepanjang Sungai Citarum.
Kombinasi pengaruh antara nutrien dan zooplankton inilah yang menjadikan struktur komunitas dan dominasi fitoplankton pada setiap badan air tidak sama (Garno, 1993), dan oleh karena itulah keberadaan (dominasi) suatu jenis fitoplankton dapat dihubungkan dengan status kualitas badan air dimana mereka berada, atau dengan kata lain fitoplankton dapat dijadikan sebagai indokator biologis. Mengingat peran penting fitoplankton tersebut diatas maka penentuan kelimpahan dan struktur komunitas fitoplankton pada suatu badan air harus dilakukan dengan proses yang benar sehingga menghasilkan data yang akurat dan mendekati keadaan sebenarnya. Saat ini, penentuan struktur komunitas dan kelimpahan fitoplankton menggunakan sampel fitoplankton yang diperoleh dengan menyaring volume air tertentu.
Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah adanya peluang tingkat kelolosan setiap taksa fitoplankton pada saat air disaring. Kondisi saat dilakukan penyaringan air dengan planktonnet adalah
1) fitoplankton bulat dan atau oval yang lebih kecil dari mesh size sebagian besar lolos atau tidak tersaring;
2) fitoplankton berbentuk jarum/ tongkat , seperti diatom; jika tegak lurus atau miring terhadap permukaan jaring akan lolos dan jika sejajar dengan jaring tidak lolos atau tersaring (Gambar- 2).
3) fitoplankton yang lebih besar dari mesh size tidak lolos atau tidak tersaring.
Fenomena kondisi fitoplankton saat disaring tersebut diatas menjadikan penyaringan air dengan planktonnet untuk mengumpulkan sampel fitoplankton memberi peluang yang berbeda pada setiap taksa untuk dapat lolos saringan. baik pada taksa yang sama pada ulangan penyaringan maupun taksa yang berbeda pada penyaringan pertama. Akibat dari perbedaan peluang kelolosan setiap taksa pada setiap penyaringan tersebut menyebabkan struktur fitoplankton dalam sampel yang diperoleh menjadi tidak sama dengan struktur fitoplankton dalam badan air asalnya. Selanjutnya struktur yang berbeda akibat dari penyaringan tersebut juga akan mengakibatkan perbedaan ratio kelimpahan antara kelimpahan hasil saringan baik dari tempat yang berbeda maupun dari tempat yang sama.
1.2 Tujuan
Kajian ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan kelimpahan dan struktur komunitas fitoplankton yang pada penentuannya melibatkan planktonnet, untuk menganalisis status kualitas perairan.
16
Gambar 5. Sedgwick-Rafter Gambar 6. Mikroskop Gambar 4. Planktonnet
2. METODOLOGI
Kajian ini dilakukan dengan mengambil air sampel dari waduk Cirata dan Saguling. Pada masing-masing waduk, dilokasi yang sama pada waktu yang sama diambil sampel fitoplankton dengan 2 cara yang berbeda yakni (1)-pengambilan sampel dengan menyaring 200 liter air menjadi 100 ml air dan (2)-pengambilan sampel dengan langsung menyimpan 100 ml air. Selanjutnya air yang masing-masing dalam botol 100 ml tersebut diawetkan dan dibawa ke laboratorium untuk di analisis dengan cara yang berbeda pula namun tujuannya sama yakni yang meliputi proses identifikasi dan pencacahan fitoplankton yang ada didalam masing-masing sampel.
Kedua proses analisis yang berbeda tersebut disebut sebagai penentuan eksisting yang untuk selanjutnya disebut proses MTL dan penentuan langsung yang untuk selanjutnya disebut proses ML.
2.1 Penentuan Eksisting
Sampai saat ini penghitungan atau penentuan kelimpahan fitoplankton di tanah air, dilakukan dengan menggunakan data hasil identifikasi dan pencacahan sampel air yang dikumpulkan menggunakan plankton-net yang memiliki mesh size berbeda beda, yakni ada yang menggunakan ukuran 20 m, 64 m, 80 m, dan 110
m. (Handayani dkk, 2016),
Sampel air ada yang diperoleh dengan menarik planktonnet (Gambar 4) dalam badan air, dan ada yang
dengan menuangkan air yang telah diitampung dengan ember bervolume tertentu kedalam planktonnet yang sebagian terendam air. Plankton yang terperangkap di botol penampung dipindahkan kedalam botol bervolume 100 ml, dan diawetkan dengan lugol/formalin. Sampel dianalisis di laboratorium dengan menuangkan fitoplankton ke dalam Sedgwick-Rafter (gelas obyektif bervolume 1 ml) (Gambar 5), kemudian diidentifikasi dan dicacah dibawah mikroskup dengan perbesaran total 400 x (Gambar 6).
Selanjutnya kelimpahan fitoplankton dihitung dengan formula.
F = L/L’ x A x B/C dimana:
F = jumlah fitoplankton (ind/l); L = luas alas kamar hitung (cm2); L„ = luas satu lapang pandang (cm2); A = rataan kepadatan pada pemeriksaan, B = volume air dalam botol (ml) dan C = volume air yang disaring (l).
17 Gambar 7. Wadah pengendap bervolume 5 ml dan 10 ml
Gambar 9. Inverted microscoop Gambar 8 Wadah, tatakan dan penutup
pengendap phytoplankton 2.2 Penentuan Langsung
Pengambilan sampel fitoplankton untuk penentuan langsung dilakukan dengan tanpa menggunakan plaktonnet atau dengan kata lain air tidak disaring. Untuk mengambil air di kedalaman tertentu, air diambil dengan menggunakan water sampler (botol Kemmerer atau Nensen) yang ditenggelamkan sampai di kedalaman yang dikehendaki, air yang terperangkap di “water sampler” diambil secukupnya (50-100 ml), diawetkan dengan pengawet seperti lugol, formalin dan lainnya sebagai sampel fitoplankton. Jika menginginkan dari satu kolom air, maka dari permukaan sampai kedalaman tertentu sampling bisa menggunakan pipa pralon yang ditenggelamkan pelahan, lubang atas ditutup karet, pipa diangkat pelan-pelan, sesampainya diatas permukaan air ditumpahkan kedalam ember, diaduk agar merata kemudian diambil 50-100 ml dan diawetkan dengan pengawet seperti lugol, formalin dan lainnya sebagai sampel plankton.
Di laboratorium; sampel dituang kedalam wadah pengendap berukuran 5 atau 10 cc (Gambar 7), ditutup dengan penutup kaca, disimpan di tempat yang datar selama 12 - 24 jam (Gambar 8), setelah mengendap fitoplankton diidentifikasi dan dicacah menggunakan inverted microscoop dengan perbesaran 600 kali (Gambar 9).
Selanjutnya fitoplankton dihitung dengan persamaan:
F = L/L’ x A/10 dimana:
F = jumlah fitoplankton (ind/ml), L = luas alas objektif (cm2), L„ = luas satu lapang pandang (Cm2);
A = rataan kepadatan plankton pada pemeriksaan dan angka 10 = volume wadah pengendap (ml).
2.3 Data dan Analisa
Kajian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan apakah benar bahwa struktur komunitas dan kelimpahan fitoplankton yang penentuannya melibatkan planktonnet untuk mengambil sampel fitoplankton (MTL) memenuhi sarat untuk menganalisis kualitas perairan. Idealnya agar hasil penentuan dengan MTL dapat digunakan atau memenuhi sarat untuk menganalisis kualitas air maka:
a. Jumlah jenis fitoplankton (taksa) hasil identifikasi dengan menggunakan MTL sama dengan menggunakan ML.
b. Hasil sampling menggunakan MTL dibeberapa tempat yang berbeda menghasilkan strukur komunitas fitoplankton yang relatif sama dengan menggunakan ML
18
Tabel 1. Jenis, populasi dan kelimpahan fitoplankton Waduk Saguling, yang ditentukan dengan ML dan MTL
Sumber: data primer
c. Perbandingan kelimpahan hasil ML dengan MTL (ratio MTL/ML) dari beberapa tempat pengambilan sampel nilainya relatif sama atau tetap, baik ratio kelimpahan jenis (populasi) ataupun kelimpahan total (komunitas)
Apabila ditemukan penyimpangan yang jauh dari kaidah tersebut diatas, maka penggunaan data struktur komunitas dan kelimpahan yang proses penentuannya menggunakan plantonnet tidak sah untuk menganalisis kualitas perairan.
Hasil penentuan kelimpahan fitopankton di waduk Cirata dan Saguling dengan menggunakan 2 metode berbeda yakni MTL dan ML disajikan pada Tabel-1 dan Tabel-2. Data kelimpahan MTL diperoleh dari 200 liter air yang disaring dengan plankton-net no 25 dengan mesh-size 64 um; dijadikan 100 ml, diawetkan kemudian dengan Sedgwick-Rafter diidentifikasi dan dicacah di bawah Mikroskop, sedangkan data kelimpahan PL diperoleh dari 5-10 ml diawetkan, kemudian diendapkan selanjutnya diidentifikasi dan dicacah dibawah Inverted microscoop.
Tabel-1 dan Tabel-2 menunjukkan bahwa secara umum kedua cara tersebut selalu menghasilkan jumlah taksa yang berbeda. Tiga (3) kali sampling di Waduk Cirata, dengan PL menghasilkan taksa 2 lebih banyak (24 vs 20 dan 28 vs 16) dari pada MTL; sedangkan 3 kali sampling di Waduk Saguling taksa lebih banyak selalu diperoleh dengan PL dari pada dengan MTL Fenomena ditemukannya taksa lebih banyak di MTL adalah hal yang wajar dan sudah diduga sebelumnya karena sudah sewajarnyalah taksa yang ditemukan ada di ML yang 5 ml sudah tentu ada didalam 300 ml yang air sama. .Ketidak samaan jumlah taksa yang diperoleh dengan ML dan MTL, apalagi terbukti bahwa jumlah taksa yang ditemukan dengan ML justru lebih banyak daripada dengan MTL, mengisaratkan bahwa hasil identifikasi dan pencacahan dengan MTL tidak dapat mewakili kondisi komunitas fitopplankton yang sesungguhnya.
Fenomena yang perlu mendapat perhatian adalah justru banyaknya taksa yang ditemukan ML tetapi tidak ditemukan di MTL, padahal MTL menggunakan air yang lebih banyak (200 liter) daripada ML yang hanya menggunakan air 5 ml. Dengan ditemukannya suatu taksa dengan ML yang hanya 5 ml dapat dipastikan bahwa sebenarnya taksa tersebut ada di dalam air yang 200 ml sebelum disaring. Setelah melewati sarinyan taksa tersebut tidak ditemukan pada identifikasi dengan MTL. Ini mengisyaratkan bahwa semua individual dari taksa tersebut telah lolos saringan. Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan bahwa fenomena tersebut terjadi pada semua bentuk fitoplankton, sehingga harus disimpulkan bahwa fenomena tersebut terjadi karena mess size planktonnet yang terlalu besar, yakni 52 m sehingga semua bentuk fitoplankton dengan mudahnya lolos.
Jika mess size planktonnet tidak terlalu besar, maka fitoplankton dari bentuk jarum tidak akan dengan mudahnya lolos dari melewati net dan tertampun dalam botol sampel.
Struktur komunitas fitoplankton disusun oleh populasi individual masing-masing taksa. Tabel-1 dan Tabel-2 menunjuk kan banyaknya fito- plankton yang terindikasi dengan ML tetapi tidak dengan TML. Sementara itu fitoplankton yang sama-sama teridentifikasi dengan ML dan TML
19
Tabel-2. Jenis, populasi dan kelimpahan fito plankton di Waduk Saguling, yang ditentukan dengan ML dan MTL
menunjukkan ratio yang sangat bervariasi. Sebagai contoh (a)-Chlorella sp .(green algae) di Cirata bervariasi dari 115-2.127, sedangkan di Waduk Saguling bervariasi antara 303 – 4.035 kali; (b)-Anabaena sp (blue green algae) di Cirata bervariasi dari 0 – 346 sedangkan di Waduk Saguling bervariasi antara 0 - 10 kali dan (c)- Navicula sp di Cirata bervariasi dari 115–1.371 sedangkan di Waduk Saguling bervariasi antara 0- 210 kali.
Fenomena adanya satu jenis yang hanya ditemukan dengan satu metode dan rentang rasio MTL/ML dari setiap individu yang sangat besar dipastikan membentuk struktur komunitas yang sangat berbeda antara hasil identifikasi dan pencacahan dengan ML dan MTL. Artinya struktur komunitas yang dibentuk oleh MTL tidak dapat mewakili struktur komuitas yang hasil identifikasi dan pencacahan dengan ML.
Penentuan kelimpahan fitoplankton di Waduk Cirata dengan ML di 3 TPS menghasilkan kelimpahan berkisar antara 24.000 – 38.480 ind./ml, sedangkan dengan ML hanya menghasilkan kelimpahan berkisar antara 39,93 – 158,7 ind./ml. (Tabel- 1). Ini berarti bahwa penentuan kelimpahan dengan ML menghasilkan nilai antara 183 – 601 kali lebih besar daripada kelimpahan yang ditentukan dengan PTL. Sementara itu penentuan dengan ML di Saguling menghasilkan kelimpahan antara 16.100-17.950 ind./ml, sedangkan dengan PTL menghasilkan kelimpahan berkisar antara 13,91- 62,48 ind./ml. (Tabel-2); yang berarti bahwa penentuan kelimpahan dengan ML menghasilkan nilai antara 287 - 1.158 kali lebih besar daripada kelimpahan yang ditentukan dengan PTL. Perbedaan perbandingan MTL/ML yang sangat besar, baik di Waduk Cirata maupun di Waduk Saguling mengindikasikan bahwa penyaringan dengan planktonnet tidak dapat menghasilkan ratio ML/MTL yang proporsional, sehingga keberadaan salah satunya tidak dapat digunakan untuk memprediksi besaran keberadaan yang lain. Fenomena ini jelas menjadikan nilai kelimpahan yang ditentukan dengan MTL tidak dapat digunakan untuk menganalisi status kualitas air.
3. KESIMPULAN DAN SARAN
penggunaan planktonnet (MTL) menghasilkan jumlah taksa yang berbeda, bahkan lebih sedikit dari yang tidak disaring (ML).
penggunaan plankton net (MTL) menghasilkan ratio populasi dan ratio kelimpahan yang tidak konsisten sehingga mengakibatkan terbentuknya struktur komunitas yang sangat berbeda dengan yang tidak disaring.
data fitoplankton yang melibatkan planktonnet sangat tidak layak untuk dijadikan dasar analisis status kualitas perairan, apalagi dijadikan dasar pengambilan keputusan pada penglolaan lingkungan perairan.
Disarankan untuk tidak menggunakan data yang proses samplingnya disaring untuk menganalisa tingkat kesuburan perairan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Frost, B.W., , 1980. Grazing In I. Morris (ed.): The physiological ecology of phytoplankton. Blackwell Scientific, Oxford 1980, 465-486
Garno, Y.S. 1992. Experimental Study of Phytoplankton Dynamics under Different Impacts of Zooplankton and Nutrients. Doctor Thesis. Graduated Course of the Sciences for Atmosphe and Hydrosphere School of Sciences, Nagoya University. Japan.112 pp.
Garno, Y.S. 1993. Pengaruh grazing zooplankton terhadap struktur komunitas fitoplankton. Lokakarya Teknologi Konservasi Fauna. Dit TPLH-BPPT., 159-174.
Garno, Y.S. 1995. Phytoplankton and The Significance Of Plant Nutrients In Regulation Of Its Community Dynamics. Proceed. Workshop on Technology application on Marine Env. Monitoring, Forcasting and Information System. DTL-BPPT , 115-120.
Garno,Y.S. 1995.Pengaruh Eutrofikasi Terhadap Pertumbuhan, Mortalitas dan Produksi Ikan. Menuju Era Teknologi Hijau, Buku I: Masalah Lingkungan dan Pengelolaannya. Dit. TPLH- BPPT, 211-224.
Garno, Y.S 1998. Regenerasi Nitrogen Oleh Zooplankton; Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Kawasan Akuakultur Secara Terpadu. BPPT-OCEANOR-Dep.pertanian. 294-301
Garno, Y.S. 2002. Beban Pencemaran Limbah Perikanan Budidaya dan Yutrofikasi di Perairan waduk pada DAS Citarum. J. Tek. Ling. P3TL-BPPT. 3 (2): 112-120
Geller,, W. 1975. Food ingestion of Daphnia pulex as a punction of food concentration, temperatur, animals, body length and hunger, Arch. Hydrobiol. Suppl., 48, 47-107.
Goldman, C.R and A.J. Horne (1983). Limnology. International Student Edition. McGraw-Hill, Inc. Tokyo.
pp: 464
Handayani T, Y. S. Garno, N.Suwedi, A. Darmawan, A. Riyadi, D. B. Aviantara, R. N. Sopiah, F. Suciati Dan Lain. 2016. Kualitas Air Danau Toba, Laporan Survey Kerjasama Menkomar Dan BPPT.
Hendersen and Markland. (1987): Decaying Lakes-The Origins and Control of Cultural Eutrofication. John &
Willey Sons Ltd. New York Chichester, Brisbane, Toronto, Singapura.. Theor. Angew. Limnol. Verh., 20, 68-74
Horn, W, 1981. Phytoplankton losses due to zooplankton grazing in dringking water reservoir. Int. Revue ges.
Hidrobiol., 66, 787-810
Hutchinson, G.E., 1944. Limnological studies in Connecticut. 7. A. Critical examination of supposed relationship between phyto plankton peridiocity & chemical changes in lake waters", Ecology.
Margalef, R. 1958. Temporal succession and spaital heterogeneity in phytoplankton. In A.A. Buzzati-Traverso (ed.), Perspective in Marine Biology Univ. Calofornia Press. 323-349.
Reynolds, C.S. 1989. Physical deter-minants of phytoplankton succession. In U. Sommer (ed.) Plankton ecology. Springler-Verlag., 9-51