• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM PENERAPAN ASAL USUL ANAK PERKAWINAN SIRI S K R I P S I. Oleh: CHAIRUNNISA SIREGAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUKUM PENERAPAN ASAL USUL ANAK PERKAWINAN SIRI S K R I P S I. Oleh: CHAIRUNNISA SIREGAR"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM PENERAPAN ASAL USUL ANAK PERKAWINAN SIRI

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

CHAIRUNNISA SIREGAR 160200295

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Chairunnisa Siregar NIM : 160200295

Adalah mahasiswa pada Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis dengan judul:

“ HUKUM PENERAPAN ASAL USUL ANAK PERKAWINAN SIRI”

Merupakan hasil penelitian saya sendiri, dan saya bersedia menanggung segala akibat yang ditimbulkan jika skripsi ini sebagian atau seluruhnya adalah hasil karya orang lain.

Medan, Oktober 2020

Chairunnisa Siregar

NIM: 160200295

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat berlimpah, kemurahanNya dan kekuatan yang diberikan sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini. Menjadi suatu kewajiban dan keharusan bagi setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi yang berjudul “PENARAPAN ASAL USUL ANAK PERKAWINAN SIRI ”.

Pada kesempatan yang berbahagia ini dengan segala kerendahan hati peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan oleh peneliti selama proses penyusunan skripsi ini serta yang telah memberikan dorongan dan dukungan moril maupun materil kepada peneliti sehingga skripsi dapat terselesaikan. Maka pada kesempatan yang berbahagia ini peneliti menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Saidin, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

5. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. Edy Ikhsan S.H., MA, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran untuk memberikan masukan, bimbingan, saran, nasihat, arahan, serta ilmu yang bermanfaat dalam proses penelitian skripsi ini.

7. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran untuk memberikan masukan, bimbingan, saran, nasihat, arahan, serta ilmu yang bermanfaat dalam proses penelitian skripsi ini.

8. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum, selaku Dosen Penasihat Akademik Peneliti yang telah membimbing peneliti selama peneliti menimba ilmu perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Seluruh staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing peneliti selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pelayanan administrasi yang baik selama proses akademik peneliti di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Terkhusus untuk Kedua Orangtua peneliti yang sangat dicintai, dihormati, dan dikasihi yang tiada lelah memberikan dukungan, perhatian, motivasi,

(6)

nasihat, pepatah, cinta kasih, serta doa yang tulus ikhlas kepada peneliti.

Untuk Ayahanda H. Burhanuddin Siregar SE, MIP,dan Ibunda Hj. Halimah Harahap M.Pd, terimakasih telah mengasuh, membesarkan, mendidik, dan menyayangi peneliti yang tidak ada habis-habisnya memberikan dukungan moril maupun materil kepada peneliti dalam segala kondisi apapun serta yang selalu memotivasi peneliti sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini.

Terimakasih Ayah, Ibu.

13. Terima kasih kepada saudara/i kandung peneliti, Kakak Riza Handayani Siregar S.Pd, S.H, Kakak Rizka Wahyuni Siregar S.E, M.Ak, Adinda Maysarah Siregar, Adinda Aminatul Munawwarah Siregar, dan Salsabila Arramadhani yang selalu memberikan semangat kepada peneliti dan selalu mengigatkan peneliti untuk mengerjakan skripsi ini hingga selesai.

14. Terimakasih teruntuk sang kekasih tercinta Mhd Maulana, yang selalu memberikan dukungan, selalu mengigatkan, memberikan cinta kasih dan yang selalu ada disetiap waktu baik itu sedih maupun senang selama peneliti mengerjakan skripsi ini.

15. Terimakasih untuk abang-abang ipar Muhammad Mushab ,Husnul Mizan dan keponakan Dzakira aftani yang telah mendorong saya untuk mengerjakan skripsi ini

16. Terimakasih kepada sahabat-sahabat peneliti dari semester I hingga selesainya skripsi ini, Jessyca Gan, Riza Fadli, Nia Khairunnisya Lubis, nishkasylviana,Ainaya Fathia dan Fadiah Arifah Parinduri yang selalu

(7)

memberikan semangatdan motivasi kepada peneliti selama perkuliahan hingga menyelesaikan skripsi ini.

17. Terimakasih kepada keluarga besar Ikatan Mahasiswa Perdata (IMP) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2016.

18. Terimakasih kepada sanak saudara yang tidak bisa peneliti sebutkan namanya satu persatu.

19. Terimakasih kepada teman-teman semua grup C Fakultas Hukum 2016 atas kebersamaannya dari semester I sampai selesainya penelitian skripsi ini, dan harapannya semoga kita tetap solid dan kompak kedepannya.

20. Terimakasih kepada teman-teman klinis PTUN, Perdata, dan Pidana atas kerjasamanya selama ini sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian skripsi ini masih jauh dari kata kesempurnaan dan banyak kekurangan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar menjadi acuan bagi penulis dalam penyempurnaan penulisan karya berikutnya dan dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Hukum.

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAK ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Tinjauan Pustaka ... 11

G. Metode Penelitian ... 22

BAB II HUKUM PERKAWINAN SIRI A. Pengertian Perkawinan Siri ... 26

B. Syarat-syarat Perkawinan Siri ... 27

C. Komplikasi Hukum Islam ... 28

BAB III PENETAPAN ASAL-USUL ANAK DALAM PERKAWINAN SIRI A. Asal-usul Anak dalam Perkawinan Siri ... 46

B. Kedudukan Hukum Anak dari Perkawinan Siri ... 53

BAB IV HUKUM PENETAPAN ASAL-USUL ANAK PERKAWINAN SIRI A. Hukum Penetapan Anak Perkawinan Siri ... 59

B. Pandangan Hukum Islam Mengenai Asal-Usul Anak Perkawinan Siri ... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 86

(9)

ABSTRAK Chairunnisa Siregar*)

Dr. Edy Ikhsan**) Puspa Melati Hasibuan***)

Perkawinan siri merupakan salah satu perkawinan yang diperbolehkan dalam Islam apabila sesuai dengan ketentuan syariat yang berlaku. Perkawinan siri tetap dianggap sah menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena sesuai dengan ketentuang agamanya masing-masing dalam hal ini agama Islam. Namun, walaupun diperbolehkan perkawinan siri ini tidak memenuhi syarat administrasi/atau dengan kata lain tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, hal tersebut berimbas kepada status asal-usul anak yang akan dilahirkan dalam perkawinan siri tersebut. Karena untuk mengesahkan asal-usul anak dengan adanya akta kelahiran dari pencatatan sipil, syarat utamanya ialah harus ada akta nikah dari perkawinan kedua orangtuanya.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kedudukan anak dari perkawinan siri, penetapan asal-usul anak dari perkawinan siri tersebut dan juga menganalisis hukum penetapan asal-usul anak dari perkawinan siri. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif yang diambil dari data sekunder dengan mengolah data dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa kedudukan hukum anak dari perkawinan siri tetap diakui oleh Negara sebagai anak sah dikarenakan perkawinan siri itu tetap sah secara Islam walaupun tidak dicatatkan berdasarkan pasal 2 Undang-undang Perkawinan dan berdasarkan Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-undang Perkawinan, Pasal 99 dan Pasal 100 Komplikasi Hukum Islam.

Selain itu didapat penetapan asal-usul anak dari perkawinan siri orangtua dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama untuk menetapkan status anak tersebut menjadi anak sah, sebelumnya kedua orangtua harus membuat juga akta pengakuan anak tersebut sebagai anak sah dari perkawinan mereka, seterusnya hasil penetapan dari Pengadilan Agama itu akan dijadikan sebagai dasar kedua orangtua untuk mengajukan kembali akta kelahiran anak kepada pejabat Pencatatan Sipil pada analisis penetapan asal usul anak dari perkawinan siri itu dikaitkan dengan contoh-contoh yang perna terjadi tentunya yang sudah diputuskan oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pengadilan sudah memutuskan penetapan asal-usul anak ini mempunyai kesamaan yaitu anak yang berasal dari perkawinan siri tetap dapat membuat akta kelahirannya. Hal itu dikarenakan sesungguhnya perkawinan siri itu sah secara aturan Islam dan diakui, hanya pencatatannya saja yang tidak ada.

(10)

Kata Kunci : Hukum, Penetapan, Anak, Perkawinan Siri

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

* Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

* Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seseorang laki-laki dan seorang perempuan karena ikatan suami istri, dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.1 Sistem perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa, tidak terlepas dari suatu pengaruh budaya dan lingkungan, dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keragaman yang dianut oleh masyarakat.2

Perkawinan adalah suatu hak asasi yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) perubahan II UUD 1945 dan kemudian dalam tataran praktisnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya di dalam Pasal 1 ayat 1 di katakan bahwa :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

1Mustofa Hasan, 2011. Pengantar Hukum Keluarga. Bandung: CV Pustaka Setia, halaman 9.

2 Hasyim Nawwawi, “Perlindungan Hukum dan Akibat Hukum Anak dari Perkawinan Tidak Tercatat”, (Ahkam, Volume 3, Nomor 1, Juli 2015), hlm. 112.

(12)

Dalam Bab II pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebut tentang pencatatan perkawinan dengan berbagai tata caranya.

Hal tersebut diperjelas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 5 ayat 1 dan pasal 6 ayat 2 yang menyebutkan :

“Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekutan hukum.”3

Dalam kenyataannya, praktik perkawinan yang terjadi di lingkungan masyarakat tidak sepenuhnya mengacu kepada undang-undang. Beberapa proses perkawinan mengacu pada lembaga keagamaan masing-masing. Fakta ini hampir diakui karena pengakuan negara terhadap pluralisme hukum tidak bisa diabaikan.

Konsekuensinya, pilihan hukum dalam bidang keluarga cenderung diserahkan sebagai kewenangan pribadi. Sebagai contoh, kasus kawin sirih adalah pilihan hukum yang didasarkan konteks agama, yang penekanan esensinya tidak sekedar hubungan hukum saja, tapi lebih kepada faktor konsekuensi pengalaman ibadah kepada Allah.

Fenomena yang terjadi, pencatatan nikah merupakan salah satu yang harus dipenuhi dalam hal anjuran pemerintah, ulil amri, yang dalam hal ini mencakup urusan duniawi. Sementara beberapa kalangan masyarakat muslim, lebih memandang bahwa keabsahan dari sisi agama, lebih penting karena mengandung unsur ukhrawi yang lebih menentramkan, sementara sisi duniawi tadi adalah unsur pelengkap yang bisa dilakukan setelah unsur pertama terpenuhi.

3 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2007), hlm. 6-7.

(13)

Dalam hal ini unsur duniawi, yaitu nikah dengan dicatatkan adalah langkah kedua setelah ketenangan batin didapatkan.

Dari sinilah kemudian kasus kawin siri atau kawin di bawah tangan merebak menjadi fenomena sendiri. Kawin siri adalah suatu perkawinan meski telah memenuhi syarat rukun kawin, tetapi karena alasan tertentu tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Secara hukum islam perkawinan tersebut dianggap sah oleh beberapa kalangan karena telah memenuhi kriteria keabsahan pernikahan yaitu adanya ijab, kabul, dua orang mempelai, wali dan dua orang saksi. Kawin siri masih sering dijadikan sebagai alternatif mengantisipasi pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan non muhrim yang secara psikologis, moril, maupun materil belum mempunyai kesiapan untuk kawin secara formal.4

Di samping itu para pakar hukum dari kalangan teoritis dan praktisi hukum juga masih bersilang pendapat tentang pengertian yuridis sahnya suatu perkawinan. Ada dua pendapat para pakar hukum mengenai masalah ini. Pertama, ahli hukum yang berpegang pad acara penafsiran legisme (keabsahan). Mereka berpendapat bahwa perkawinan yang dilakukan menurut cara berdasarkan agama dan keyakinan dua belah pihak yang melakukan perkawinan adalah sah, sedangkan pencatatan perkawinan

4 Ibid, hlm. 113.

(14)

bukanlah syarat sah perkawinan, tetapi hanya sebagai syarat kelengkapan administrasi perkawinan.5

Kedua, ahli hukum yang berpegang pad acara penafsiran sistematis (penafsiran undang-undang dnegan asumsi bahwa antara pasal satu dengan yang lainnya saling menjelaskan dan merupakan satu-satunya. Mereka berpendapat bahwa pencatatan perkawinan adalah syarat sahnya suatu perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan yang tidak dicatat dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum.

Sebagaimana diketahui, bahwa dasar terbentuknya sebuah keluarga adalah perkawinan. Dari pengertian perkawinan di atas, jelaslah bahwa perkawinan merupakan lembaga suci dan berkekuatan hukum. Dengan adanya perkawinan akan memberikan kejelasan status dan kedudukan anak yang dilahirkan.

Akibat hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan, walaupun secara agama atau kepercayaan dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan dianggap tidak sah di mata hukum negara. Hal ini berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa, Perkawinan yang telah melalui pencatatan mengandung kemaslahatan bagi umum artinya perkawinan tersebut melindungi hak asasi kaum wanita, sebab menurut hukum positif Indonesia, perkawinan yang tidak dicatatkan

5 Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bnadung : Pusataka Bani Quraisy), hllm 73.

(15)

atau kawin di bawah tangan tidak diakui sama sekali oleh negara. Akibat hukum perkawinan tersebut berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan.

Anak yang dilahirkan tidak dapat melakukan tindakan hukum keperdataan berkaitan dengan rumah tangganya. Anak-anaknya hanya akan diakui oleh Negara sebagai anak diluar kawin yang hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya. Istri dan anak yang ditelantarkan oleh suami dan ayah biologisnya tidak dapat melakukan tuntutan hukum baik pemenuhan hak ekonomi maupun harta kekayaan milik bersama.6

Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan tidak mempunyai identitas resmi dihadapan hukum di negara mereka dilahirkan atau negara asal orang tua mereka. Perkawinan yang tidak dicatatkan mengakibatkan banyak anak yang tidak tercatat di catatan sipil. Imbasnya anak tidak memiliki identitas karena Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mensyaratkan pengajuan akta kelahiran harus disertai dokumen perkawinan dari negara. Padahal tanpa akta kelahiran, anak akan kesulitan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), paspor, mendaftar sekolah dan mendapat harta warisan.7

Menurut hukum perdata yang berlaku di Indonesia,penetapan asal usul anak dapat dilakukan secara sukarela dan pengakuan yang dipaksakan.pengakuan

6 Fatia Kemalayanti dan Sri Pursetyowati, “Kedudukan Anak Hasil Perkawinan Siri”, hlm. 2.

7 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Sinar Grafika, 2013), hlm. 153.

(16)

anak secara sukarela adalah pernyataan sebagaimana yang ditentukan dalam hukum perdata bahwa seorang ayah dan ibunya atau ibunya mengakui seorang anak yang lahir dari seorang ibunya itu betul anak dari hasil hubungan biologis mereka dan hubungan itu tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, serta bukan kerena hubungan zina dan sumbang. Pengakuan yang dipaksakan adalah pengakuan yang terjadi karena adanya putusan hakim dalam suatu gugatan asal usul seorang anak. Hal ini berkaitan dengan pasal 287 ayat(2) kitab Undang- undang Hukum Perdata dimana disebutkan apabila terjadi salah satu kejahatan sebagimana tersebut dalam Pasal 285-288, 294 atau 322 kitab Undang-undang HukumPidana maka atas kesejahteraan itu dapat diajukan ke pengadilan.

Berdasarkan bukti-bukti yang kuat, hakim dapat menetapkan bahwa laki-laki berbuat jahat sebagai bapak yang sah dari seorang anak yang lahir dari perbuatan jahatnya.8

Pasal 55 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan telah mencantumkan penetapan asal usul anak menjadi Kewenangan Lembanga Peradilan Agama. Adanya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1977 yang masih membatasi Kewenangan Peradilan Agama, maka penetapan asal usul anak itu masih dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri.

Baru setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989 kewenangan tentang penetapan asal usul anak bagi yang beragama islam menjadi kewenangan Peradilan Agama.

8Bambang Irawan, dalam “Dilema Penyelesaian Perkara Permohonan”, melalui http://masbembengs.blogspot.co.id/2012/09/dilema-penyelesaian-permohonan.html,diakses tanggal 28 April 2016, Pukul 14.00 Wib.

(17)

Penetapan asal usul anak bagi yang beragama Islam berlaku hukum perdata Islam dan diselesaikan oleh lembaga Peradilan Agama.Penetapan atau putusan Pengadilan Agama menjadi dasar bagi Kantor Catatan Sipil untuk mengeluarkan akta kelahiran anakbbagi yang memerlukannya.

Permohonan penetapan asal-usul anak juga dimohonkan oleh pasangan suami istri yang menikah secara siri lalu mencatatkan pernikahannya setelah beberapa tahun setelah pernikahan melalui pengajuan permohonan ke Pengadilan yang berwenang.

Setelah seluruh rangkaian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka ditemukan beberapa permasalahan didalamnya terutama untuk kejelasan asal usul anak melalui penetapan. Berdasarkan hal tersebut maka diangkat judul penelitian ini yaitu “Hukum Penetapan Asal Usul Anak Perkawinan Siri “.

B. Perumusan Masalah

Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang dikaji serta mempermudah pembahasan masalah agar lebih terarah dan mendalam sesuai dengan sasaran yang tepat, perumusan masalah diharapkan dapat memberikan arah pembahasan yang jelas sehingga terbentuk hubungan dengan masalah yang dibahas. Maka berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka yang

menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kedudukan hukum anak dari perkawinan siri ?

2. Bagaimana penetapan asal usul anak dalam perkawinan ?

(18)

3. Bagaimana hukum penetapan asal usul anak perkawinan siri ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan utama dari penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Disamping itu, penulisan ini juga bertujuan untuk menjawab permasalahan yang sudah disebutkan sebelumnya. Melalui penulisan ini yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kedudukan hukum anak dari perkawinan siri.

2. Untuk mengetahui penetapan asal usul anak dalam perkawinan.

3. Untuk mengetahui hukum penetapan asal usul anak perkawinan siri.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi pembaca.

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk menambah ilmu pengetahuan, memperluas cakrawala berpikir penulis dan menambah pengalaman penulis dalam melakukan penelitian hukum yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan.

b. Untuk memperkaya pengetahuan ilmu hukum, terkhusus hukum perdata serta dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang didapat

(19)

selama kuliah dan berlatih untuk penulisan karya ilmiah yang lebih baik.

c. Bermanfaat bagi penulis yaitu dalam rangka menganalisis dan menjawab keingintahuan penulis terhadap perumusan masalah dalam penulisan ini. Selain itu juga untuk memberikan kontribusi pemikiran dan menunjang terhadap perkembangan ilmu hokum khususnya mengenai asal usul anak .

2. Manfaat Praktis.

Dari segi praktisnya penelitian ini berfaedah bagi kepentingan negara, bangsa, masyarakat pada umumnya tanpa memandang agama. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh legislatif dalam merumuskan perundang-undangan yang mengatur permasalahan ini dengan baik. Dengan adanya penelitian ini masyarakat dapat dimudahkan dalam mencari kepastian hukum asal usul anak yang lahir dalam perkawinan siri dan penelitian ini dapat dijadikan pemerintah sebagai bahan pertimbangan untuk merumuskan kebijakan- keijakan yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian ini dapat bermanfaat dan berguna bagi saya sendiri sebagai penulis serta pihak-pihak terkait khususnya terhadap para instansi terkait yang berkaitan, seperti Pengadilan, Kantor Urusan Agama, Dinas Pencatatan Sipil dan lainnya.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini diajukan sebagai syarat meraih gelar sarjana hukum.

Sesuai prosedur yang ditentukan oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera

(20)

Utara Departemen Perdata, penulis terlebih dahulu mengajukan judul ini kepada ketua Departemen Hukum Perdata untuk mendapat persetujuan dan kemudian melakukan pengecekan judul ke perpustakaan Fakultas Hukum untuk menghindari permasalahan yang berulang. Penulisan Skripsi ini didasarkan atas ide atau gagasan penulis. Telah dilakukan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum USU oleh Petugas Pustaka bahwa judul skripsi Hukum Penetapan Asal Usul Anak Perkawinan Siri ini tidak ditemukan dan tidak ada sama, namun ada beberapa yang mirip seperti, skripsi Yosua Ferdinan yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Status Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Siri Online Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, skripsi Putri Nurdiana yang berjudul Tinjuan Yuridis Terhadap Perkawinan Siri Dan Akibat Hukumnya Menurut UU No 1 Tahun 1974, skripsi Finta Anugrah yang berjudul Penikahan Dini, Pernikahan Siri dan Perceraian, skripsi Syamsudin yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pernikahan Siri, skripsi Yoga Kurniawan yang berjudul Hukum Perkawinan Siri dan Implikasinya Terhadap Anak Dan Istri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah asli. Skripsi ini diproses melalui pemikiran penulis, refrensi dari peraturanperaturan, buku-buku, kamus hukum, internet, bantuan dari pihak-pihak yang berkompeten dalam bidangnya yang berkaitan dengan skripsi ini. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

(21)

F. Tinjauan Pustaka

1. Penetapan

Putusan yaitu keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa atau perselisihan, dalam arti putusan merupakan produk pengadilan dalam perkara-perkara contentiosa, yaitu produk pengadilan yang sesungguhnya. Disebut jurisdiction contentiosa, karena adanya 2 (dua) pihak berlawanan dalam perkara (penggutgat dan tergugat)

Adapun yang dimaksud dengan penetapan adalah keputusan pengadilan atas perkara permohonan (volunter), misalnya penetapan dalam perkara dispensasi nikah, izin nikah, wali adhal, poligamo perwalian, istbat nikah, dan sebagainya.

Penetapan merupakan jurisdiction valuntaria(vukan peradilan yang seseungguhnya). Pada penetapan hanya ada permohonan tidak ada lawan h1ukum.

Dalam penetapan, hakim tidak menggunakan kata “mengadili”, namun cukup dengan menggunakan kata”menetapkan”.9

2. Asal Usul Anak

Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, anak adalah seseorang yang belum beruisa 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang dalam kandungan.

Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga menurut hukum perkawinan Islam. Dalam

9 SMJS Syariah, dalam “Penetapan dan Putusan” melalui https://smjsyariah89.word press.com/2011/06/20/penetapan-dan-putusan/, diakses tanggal 30 April, pukul 19.23 Wib

(22)

Islam anak adalah anak yang dilahirkan yang tercipta melalui ciptaan Allah dengan perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan. Di dalam Al- Qur’an, anak sering disebutkan dengan kata walad-awlad yang berarti anak yang dilahirkan orang tuanya, laki-laki maupun perempuan,besar atau kecil, tunggal maupun banyak. Karena jika anak belum lahir belum dapat disebut al-walad atau al-mawlud, tetapi disebut al-janin yang berarti al-mastur(tertutup) dan al- khafy(tersembunyi) di dalam rahim ibu.10

Seorang anak yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibu. Sahnya seorang anak didalam islam adalah menentukan apakah ada atau tidak hubungan kebapakan(nasab) dengan seorang laki-laki. Hubungan nasab dengan bapaknya tidak ditentukan oleh kehendak atau kerelaan manusia, namun ditentukan oleh perkawinan yang dengan nama Allah disucikan. Dalam hukum Islam ada ketentuan batasan kelahirannya, yaitu batas minimal kelahiran anak dari perkawinan ibunya adalah 6 (enam) bulan.11

Hukum Islam menentukan bahwa pada dasarnya keturunan anak adalah sah apabila pada permulaan kehamilan antara ibu anak dan laki-laki yang menyababkan terjadinya kehamilan terjadi dalam perkawinan yang sah. Untuk mengetahui secara hukum apakah anak dalam kandungan berasal dari suami ibu atau bukan ditentukan masa kehamilannya, masa yang terpendek enam bulan dan masa terpanjang biasanya adalah satu tahun.

10Yuyanti Lalata, dalam “Akibat Hukum Nikah Siri Terhadap Anak” melalui

http://yuyantilalata.blogspot.co.id/2013/02/akibat-hukum-nikah-siri-terhadap.html,diakses tanggal 27 april 2016, pukul 11.20 Wib.

11Ibid

(23)

Apabila seseorang perempuan melahirkan dalam keadaan perkawinan sah dengan laki-laki, tetapi jarak waktu antara terjadinya perkawinan dengan saat melahirkan kurang dari enam bula, maka anak dilahirkan bukan anak sah dari suaminya ibunya. Demikian pula apabila seseorang janda yang ditinggal mati suaminya melahirkan anak setelah lebih dari satu tahun kematian suaminya, maka anak yang dilahirkan bukan nak sah bagi almarhum suami perempuan tersebut.12

Apabila seseorang perempuan diketahui telah hamil sebagai akibat hubungan zina, kemudian dikawinkan dengan laki-laki yang menyababkan kehamilan dan akhirnya melahirkan kandungannya lebih dari enam bulan dari waktu perkawinan dilakukan, dalam hal ini karena anak tersebut telah dalam kandungan sebelum terjadi perkawinan, meskipun ia lahir dalam perkawinan yang sah antara laki-laki yang menyebabkan kehamilan, kedudukannya hanya menjadi anak sah ibunya saja, bukan anak sah dari bapaknya. Antara anak dengan anak dari ibu bapaknya yang lahir kemudian mempunyai hubungan sedarah seibu.13

Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan daalm atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari ketentuan undang-undang ini lihat adanya dua kemungkinan sahnya anak, yaitu anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah atau anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah.

3. Perkawinan Siri

12Hamid Sarong. 2010. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Banda Aceh: Yayasan PeNa Banda Aceh Halaman 174.

13Ibid., halaman 175.

(24)

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin anatara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Perkawinan diatur dalam hukum perkawinan. Hukum perkawinan di Indnesia diatur dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.14Perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki san seorang perempuan karena ikatan suami istri, dan membatasi hak dan kewajiban anatara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.

a. Definisi Perkawinan

Perkawinan juga sering disebut dengan pernikahan. Kata nikah berasal dari bahasa Arab yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja, sinonimnya kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan perkawinan. Kemudian nikah telah dilakukan menjadi bahasa Indonesia. Oleh karena itu, secara sosial, kata pernikahan dipergunakan dalam berbagai upara perkawinan.

Nikah adalah akad yang mengandung pembolehan untuk berhubungan seks. Dengan demikian, menikahi perempuan makna hakikatnya menggauli istri atau munkahat, artinya saling menggauli. Para fuqaha dan Mazhab empat sepakat bahwa makna nikah atau suatu perjanjian yang mengandung arti sahnya hubungan kelamin. Maka perkawinan adalah suatu perjanjian untuk melegalkan hubungan kelamin dan untuk melanjutkan keturunan.

14Mustofa Hasan. 2011. Pengantar Hukum Keluarga. Bandung: CV Pustaka Setia, Halaman 6.

(25)

Rukun Perkawinan

Perkawinan dianggap sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya. Rukun nikah menurut Mustofa Hasan, merupaka bagian dari segala hal yang terdapat di dalam perkawinan yang wajib dipenuhi. Jika tidak terpenuhi, perkawinan tersebut dianggap batal. Dalam pasal 14 Komplikasi Hukum Islam rukun nikah terdiri dari lima macam, yaitu adanya :

1. Calon suami.

2. Calon istri.

3. Wali nikah.

4. Dua orang sanksi.

5. Ijab dan kabul.

Rukun nikah adalah adanya sighat (akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata “saya nikahkan anak saya dengan engkau bernama juleha.”Boleh juga perkataan dari mempelai laki-laki seperti,”Nikahkanlah saya dengan anakmu.”Jawab wali,”Saya nikahkan engkau dengan anak saya.” Karena maksudnya sama.tidak sah akad nikah, kecuali dengan lafaz mikah, tajwij, atau terjemahan dari keduanya.15

b. Syarat-Syarat Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan berkaitan dengan rukun-rukun nikah yang telah dikemukakan diatas. Jika dalam rukun nikah harus ada wali, orang yang menjadi wali harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh al-qur’an, hadits,

15Mustafa Hasan. Op. Cit., Halaman 60.

(26)

dan undang-undang yang berlaku. Orang yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut susunan dibawah ini :

a. Ayah.

b. Kakek (bapak dari bapak mempelai perempuan).

c. Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.

d. Saudara laki-laki sebapak dengannya

e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.

f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.

g. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak) h. Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya.

i. Hakim.

Wali dan sanksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahna. Tidak kecuali sanksi dari orang-orang yang memiliki beberapa sifat berikut:

1). Islam. Orang yang beragama islam tidak sah menjadi wali atau sanksi.

2). Baligh (sudah berumur sedikitnya 15 tahun)

3) Berakal.

4) Laki-laki.16

16Ibid., halaman 63.

(27)

Kedua mempelai disyaratkan merupakan pasangan yang halal untuk menikah. Dalam al-quran disebutkan tentang pasangan yang diharamkan untuk menikah dan menjadi suami istri. Syarat lainnya adalah kedua mempelai harus kafa’ah atau se ku-fu, atau sepadan. Akad nikah itu sama dengan jual beli kerana merupakan perjanjian timbal balik yang dianggap sah dengan sanksi dua orang perempuan disamping seorang laki-laki.

c. Perkawinan Menurut Undang-Undang

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan yang membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Menurut perundangan perkawinan itu adalah ikatan antara seorang pria, dengan seorang wanita, berarti perkawinan sama dengan perikatan (verbindtenis), sesuai dengan pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata).

Menurut pasal 26 KUH Perdata dikatakan Undang-Undang memamndang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata dan dalam pasal 81 KUH Perdata bahwa tidak upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua belah pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung.

Pasal 81 KUH Perdata ini diperkuat oleh Pasal 530 KUH Pidana yang menyatakan seorang petugas agama yang melakukan upacara perkawinan, yang

(28)

hanya dapat dilangsungkan dihadapan pejabat catatan sipil, sebelum dinyatakan kepadanya bahwa perlangsungan di hadapan pejabat itu sudah dilakukan, diancam dengan pidana denda. Kalimat “yang hanya dapat dilangsungkan di hadapan Pejabat catatan sipil” tersebut menunjukan bahwa peraturan ini tidak berlaku bagi mereka yang berlaku hukum Islam, hukum Hindu-Budha dan/atau adat, yaitu orang-orang yang dahulu disebut pribumi (Inkmder) clan Timur Asing (Vmemde Oesterllngen) tertentu, di luar Cina.

Selain kesimpangsiuran peraturan perkawinan yang berlaku di zaman Hindia Belanda itu. jelas bahwa menurut perundang-undangan yang tegas dinyatakan dalam KUH Perdata (BW), perkawinan itu hanya dilihat dari segi keperdataan dan mengabaikan segi kengamaan. Hal mana jelas bertentangan dengan falsafah Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya. Apalagi menyangkut masalah perkawinan yang merepukan perbuatan suci yang mempunyai hubungan erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga pcrkawinan bukan saja mcnjadi unsur Inhir/rohani, tetapi juga unsur bathin/rohani mempunyai peranan penting.

Jelas nampak perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut KUHPerdata dan menurut Undang-Undang Nomor l Tahun I974 Tcntang Perkawinan. Perkawinan menurut KUHPerdata hanya merupakan “Perikatan Perdata” sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan “Perikatan Keagamaan”.17

17Hamid Sarong. Op. Cit., halaman 8.

(29)

Dilihat dari tujuan perkawinan yang dikemukan dalam Pasal 1 Undang- Undang Perkawinan bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kalimat demikian itu tidak ada sama sekali di dalam KUHPerdata. Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan dan peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan perlu dipahami benar-benar oleh masyarakat, karena hal ini merupakan landasan pokok dari aturan hukum perkawinan lebih lanjut. Aturan tata-tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka masyarakat adat dan atau para pemuka agama. Aturan tata tertib itu berkembang maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan pemerintahan dan di dalam suatu negara.

Aturan perkawinan di Indonesia sudah ada sejak zaman kuno. Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan Iingkungan masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatya. Perkawinan dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan.

Seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat setempat tetapi juga dipengaruhi agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, bahkan dipengaruhi budaya perkawinan barat.18 Bangsa Indonesia kini telah memili hukum perkawinan nasional sebagai aturan pokok, namun adalah kenyataan di Indonesia masih berlaku adat dan upacara sesuai kepercayaannya sendiri-sendiri.

18Hilman Hadikusuma. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: CV Mandar Maju, Halaman 1.

(30)

Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu hal yang sangat prinsipil, karena berkaitan erat dengan akibat-akibat perkawinan, baik yang menyangkut dengan anak (keturunan) maupun yang berkaitan dengan harta. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan merumuskan kriteria keabsahan suatu perkawinan, yang diatur dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinnan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku19

Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa perkawinan mempunyai kaitan erat dengan masing-masing agama yang dianut oleh calon mempelai. Dengan demikian suatu perkawinan baru bisa dikatakan sebagai perkawinan yang sah secara yuridis apabila perkawinan tersebut dilakukan menurutagama orang yang melangsungkan perkawinan tersebut. Bagi orang yang beragama Islam, nikahnya baru dikatakan sah secara hukum apabila pemikahannya dilakukan munurut tata cara dan sesuai dengan ketentuan hukum Islam.20

Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang akan dilangsungkan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai. Penjelasan maksud dari pernyataan tersebut, agar suami istri yang akan menikah itu kelak akan membentuk keluarga

19Ansyary. 2010. Hukum Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Halaman 12.

20Ibid., halaman 13-14

(31)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan sesuai pulak dengan hak asasi manusia.

Kata “atas persetujuan kedua mempelai” di dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan ini berbeda dari kata “adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami istri” yang disebut dalam Pasa1 28 KUHPerdata. kata persetujuan dimaksud berarti orang tua/wali atau keluarga/kerabat tidak boleh memaksa anak untuk melakukan pernikahan yang tidak dikehendakinya Hal ini membuktikan bahwa kedua pihak masih berada di bawah kekuasaan orang tua/wali/kerabatnya.

Dalam melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai usia 21(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua Hal ini disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Laki-laki dan perempuan yang akan menikah jika sudah mencapai usia di atas 21 tahun tidak perlu izin orang tua untuk melangsungkan pernikahannya. Yang perlu memakai izin orang tua untuk melakukan perkawinan adalah Ielaki yang telah mencapai umur 19 tahun dan bagi perempuan yang sudah mcncapai umur 16 tahun yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan. Di bawah umur tersebut belum boleh melakukan perkawinan sekali pun diizinkan orang tua.21

Sejak berlakunya Undang-Undang Perkawinan, sahnya suatu perkawinan menurut hukum agama di Indonesia bersifat menentukan. Apabila suatu perkawinan dilakukan tidak menurut hukum agamanya masing-masing berarti

21Hilman Hadikusuma.Op.Cit., halaman 47.

(32)

perkawinan itu tidak sah. Perkawinan yang dilakukan di kantor catatan sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut agama tertentu berarti tidak sah. Perkawinan yang dilakukan oleh Hukum Adat atau oleh aliran kepercayaan yang bukan agama, dan tidak dilakukan menurut tata cara agama yang diakui pemerintah berarti tidak sah. Dengan demikian perkawinan yang dilakukan menurut tata cara yang berlaku dalam agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu dan Budha di Indonesia.

G. Metode Penelitian

Pengertian sederhana metode penelitian adalah tata cara bagaimana melakukan penelitian. Metode penilitian membicarakan mengenai tata cara pelaksanaan penelitian. Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos yang berarti cara atau menuju suatu jalan. Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja ( sistematis ) untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya.22 Adapun pengertian penelitian adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data yang dilakukan secara sistematis, metodologis dan konsisten untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.23 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan

22Jonaedi Efendi dan Jhonny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, (Depok:Prenadamedia Group, 2016),

hlm. 2.

23Ibid,halaman 3.

(33)

menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.24

1. Jenis dan Sifat penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, pendekatan masalah adalah Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach).

Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian ini melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Deskriptif dalam arti bahwa dalam penelitian ini, bermaksud untuk menggambarkan dan melaporkan secara rinci, sistematis dan menyeluruh, mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan asal-usul anak.

2. Data dan Sumber Data Penelitian.

Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Data penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran kepustakaan (library research) untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekundar, serta bahan hokum

24Seorjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2005), hlm. 43.

(34)

tersier. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, dimana data yang diperoleh secara tidak langsung. Penelitian ini yang dijadikan data sekunder adalah data yang bersumber dari:

a. Bahan hukum primer yang yang berupa peraturan perundang- undangan, yakni kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Komplikasi Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

b. Bahan hukum sekunderterdiri atas buku-buku, karya ilmiah, jurnal ilmiah dan tulisan-tulisan yang memiliki hubungan dengan permasalahan yang teliti.

c. Bahan hukum tersier terdiri atas bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan internet.

3. Teknik pengumpulan data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara digunakan sistematis buku-buku, makalah

(35)

ilmiah, majalah, artikel hukum melalui internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisi Data

Analisi data adalah merupakan tahap yang paling penting dan menentukan dalam penulisan skripsi. Untuk dapat memecahkan permasalahan yang ada serta untuk dapat menarik kesimpulan dengan memanfaatkan data yang telah dikumpulkan, maka hasil penelitian dalanm penelitian ini terlebih dahulu dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif yaitu dengan memberikan intrrprestasi melalui kaidah-kaidah hukum positif yang berhubungan dengan pembahasan.

(36)

BAB II

HUKUM PERKAWINAN SIRI

A. Pengertian Perkawinan Siri

Perkawinan siri artinya adalah nikah rahasia, lazim juga disebut dengan nikah dibawah tangan atau nikah liar. Dalam fikih maliki nikah siri diartikan sebagai nikah yang atas pesan suami, para sanksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga setempat.25

Nikah siri dapat dibedakan dua jenis. Pertama, akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa hadirnya orang tua/wali si perempuan. Dalam pernikahan bentuk pertama akad nikah hanya dihadiri oleh laki-laki dan perempuan yang akan melakukan akad nikah, dua orang sanksi, dan guru atau ulama yang menikahkan tanpa memperoleh pendelegasian dari wali nikah yang berhak.

Kedua, adalah akad nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun suatu

perkawinan yang legal sesuai dengan ketentuan hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan sesuai dengan kehendak Undang-Undang Perkawinan di Indonesia.26

Menurut hukum Islam yang berlaku di Indonesia perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan di tempat kediaman mempelai, di mesjid atau di kantor urusan agama, dengan ijab dan kabul dalam bentuk akad nikah, Perkawinan tersebut memenuhi rukun dan syarat sah nikah menurut hukum Islam,

25H.M. Anshary. 2009. Hukum Perkawinan Indonesia. CV Pustaka Pelajar, Halaman 25.

26Ibid. Halaman 26

(37)

maka pernikahan tersebut adalah sah. Pernikahan yang dilakukan hanya menurut hukum Islam tanpa dilakukan pencatatan di pencatatan sipil di Indonesia dikenal dengan sebutan nikah siri.

Nikah siri atau perkawinan siri adalah salah satu bentuk masalah yang terjadi di Negara Indonesia saat ini, Permasalahan ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka yang melaksanakan pernikahan siri ini tidak melaporkan pernikahan mereka kepada pihak yang berkompeten dslam bidang tersebit yakni Kantor Urusan Agama (KUA) bagi umat muslim dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non muslim.

B. Syarat- syarat Perkawinan Siri

Syarat nikah siri bagi laki-laki27

1. Beragama Islam

2. Berjenis kelamin laki-laki dan bukan transgender 3. Nggak melakukan nikah siri dalam paksaan 4. Nggak memiliki 4 orang istri

5. Calon istri yang akan dinikahi bukan mahramnya

6. Pernikahan dilakukan bukan dalam masa ihram atau umrah

Syarat nikah siri bagi perempuan 28

27 Jateng.idntimes.com

(38)

1. Beragama Islam

2. Berjenis kelamin perempuan dan bukan transgender 3. Telah mendapat izin nikah dari wali yang sah

4. Mempelai perempuan bukanlah istri orang dan nggak dalam masa iddah 5. Calon suami yang akan menikahinya bukan mahram

6. Pernikahan dilakukan bukan dalam masa ihram atau umrah

C. Komplikasi Hukum Islam

Melalui Pasal 42 Undang-Undang Nomor I Tahun 19741 tentang perkawinan dan juga Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, menegaskan bahwa asal usul anak itu dapat dilihat dari perkawinan sah dari kedua orang tuanya.Perkawinan yang sah disini ialah perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan ataupun berdasarkan ketentuan Negara.

Dengan kata lain bukan hanya berdasarkan ketentuan hukum Islam ataupun hukum adat. Tentunya berdasarkan aturan Negara perkawinan yang sah yaitu perkawinan yang dicatatkan ataupun adanya akta nikah itu sendiri.

Anak sah menempati kedudukan (strata) yang paling tinggi dan paling sempurna di mata hukum dibandingkan dengan anak dalam kelompok-kelompok yang lain, karena anak sah menyandang seluruh hak yang diberikan oleh hukum, antara lain hak waris dalam peringkat yang paling tinggi diantara golongan- golongan ahli waris yang lain, hak sosial dimana anak sah itu akan mendapatkan

28 Jateng.idntimes.com

(39)

status yang terhormat ditengah-tengah lingkungan masyarakat, hak alimentasi, hak untuk mendapat penamaan ayah dalam akta kelahiran dan hak-hak lainnya.29 Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa “Anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan memperoleh si suami sebagai ayahnya”.

Berdasarkan teori pada doctrinal anak sah memiliki pengertian antara lain sebagai berikut:

1. Menurut Hilman Hadikusuma yang dimaksud dengan anak sah adalah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

2. Menurut Soetojo Prawirohamidjojo seorang anak adalah sah jika lahir dalam suatu perkawinan yang sah atau karena adanya perkawinan yang sah. Seorang yang dilahirkan selama perkawinan maka wanita yang melahirkan adalah ibunya dan pria yang mengawini ibunya yang membenihkan anak tersebut adalah ayahnya.

3. Menurut Djaren Saragih anak yang dilahirkan dalam suatu ikatan hubungan perkawinan yang sah mempunyai kedudukan sebagai anak sah. Dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah maksudnya adalah bahwa ketika anak itu dilahirkan wanita yang melahirkannya berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria tertentu. Dengan demikian sctiap anak sah jika pada saat ia dilahirkan wanita yang melahirkannya berada dalam ikatan perkawinan dengan seorang pria.

29 Witanto. 2012.Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin. Jakarta:Prestasi Pustaka, halamn 37.

(40)

4. Menurut Yusuf Al Qadhwai menyebutkan bahwa dengan adanya pcrkawinan setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami mutlak menjadi anak dari suami itu tanpa memerlukan pengakuan darinya.30

Seorang anak mendapatkan kedudukan hukum sebagai anak yang sah apabila kelahiran si anak didasarkan pada perkawinan orang tuanya yang sah atau telah didahului oleh adanya perkawinan yang sah. Pengertian tersebut harus diartikan bahwa anak tersebut dibenihkan pada saat orang tuanya telah melangsungkan perkawinan yang sah atau karena kelahirannya itu berada dalam ikatan perkawinan yang sah. Menurut makna etimologi dari beberapa rumusan di atas, maka pengertian anak sah mengandung beberapa katagori pengertian antara lain:

1. Seorang anak yang dibenihkan dalam perkawinan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah.

2. Seorang anak dibenihkan diluar perkawinan namun dilahirkan dalam perkawinan yang sah.

3. Seorang anak dibenihkan di dalam perkawinan yang sah namun dilahirkan di luar perkawinan.

4. Khusus Kompilasi Hukum Islam, seorang anak yang dibenihkan oleh Pasangan suami isteri di luar rahim dan dilahirkan oleh si isteri.31

Pengaturan hukum mengenai asal-usul anak itu sendiri telah diterangkan di berbagai peraturan perundang-undangan. Hampir keseluruhan peraturan

30 Ibid., halaman 38.

31 Ibid., halaman 39.

(41)

perundang-undangan yang terkait mengatakan bahwa asal-usul anak itu dapat dilihat dari sah atau tidaknya perkawinan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Sah dalam hal ini maksudnya ialah perkawinan yang secara resmi telah dicatatkan oleh Negara, berdasarkan ketentuan hukum.

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi untuk melindungi perempuan dan anak-anak dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah, yang masing-masing suami dan istri mcndapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percecokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau mendapatkan haknya masing-masing, karena dengan akta tersebut, suami dan istri memiliki bukti autentik atas perkawinan yang telah mereka lakukan. Pemerintah telah melakukan upaya ini sejak lama sekali, karena perkawinan selain merupakan akad suci dan juga mengandung hubungan keperdataan. Ini dapat dilihat dalam Penjelasan Umum Nomor 2 (dua) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan32.

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan era baru bagi kepentingan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Undang-undang merupakan kodifikasi dan unifikasi Hukum Perkawinan, yang bersifat nasional yang menempatkan hukum

32 Ahmad Rofiq.Op.Cit., halaman 91.

(42)

Islam memiliki eksistensinya sendiri, tanpa harus diresipir oleh Hukum Adat.

Karena itu, sangat wajar apabila ada yang berpendapat, bahwa kelahiran Undang- Undang Nomor l Tahun 1974 tentang Perkawinan ini, merupakan ajal teori iblis.

Pencatatan perkawinan seperti diatur dalam Pasal 2 ayat (2) meski telah disosialisasikan selama 30 (tiga puluh) tahun lebih, sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala yang berkepanjangan. Oleh karena itu, upaya ini perlu terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan.

Hal ini boleh jadi karena sebagian masyarakat masih ada yang memahami ketentuan perkawinan lebih menekankan perspektif fikih sentris. Menurut pemahaman versi ini, perkawinan dianggap sah, apabila syarat dan rukunnya menurut ketentuan fikih terpenuhi, tanpa diikuti pencatatan yang dibuktikan dengan akta nikah. Kondisi semacam ini dipraktikkan sebagian masyarakat dcngan menghidupkan praktik kawin siri tanpa melibatkan petugas Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagai petugas yang diserahi tugas untuk mencatat perkawinan itu. Belum lagi, apabila ada oknum yang memanfaatkan peluang ini.untuk mencari keuntungan pribadi, tanpa mempertimbangkan sisi dan nilai keadilan yang merupakan misi utama sebuah perkawinan, seperti poligami liar tanpa izin istri pertama, atau tanpa izin Pengadilan Agam.kenyataan semacam ini, menjadi hambatan besar suksesnya pelaksanaan Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 tentang Perkawinan.33

Akan halnya tentang pencatatan perkawinan, Kompilasi Hukum Islam menjelaskannya dalam Pasal 5, yang menyatakan bahwa:

33 Ibid., halaman 92-93

(43)

1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.

2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (l) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Jo.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.

Adapun teknis pelaksanaannya, dijelaskan dalam Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam

yang berbunyi sebagai berikut:

l. Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Memerhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, dapat dipahami bahwa pencatatan tersebut adalah syarat administrative. Artinya perkawinan tetap sah, karena standar sah dan tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma-norma agama dari pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. pencatatan perkawinan diatur karena tanpa pencatatan, suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibat yang timbul adalah, apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti yang sah dan autentik dari pérkawinan yang dilangsungkannya. Tentu saja, keadaan demikian bertentangan dengan misi dan tujuan perkawinan itu sendiri.

(44)

Lembaga pencatatan perkawinan merupakan syarat administrative, selain Substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum, ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan. Setidaknya ada dua manfaat pencatatan perkawinan, yakni manfaat preventif dan manfaat represif.

Manfaat preventif, yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaannya itu, maupun menurut perundang-undangan. Dalam bentuk konkretnye, penyimpangan tadi dapat dideteksi melalui prosedur yang diatur alam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu:

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.

2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (l) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangusngkan.

3. Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Dacrah.

Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara Iisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya. Hal-hal yang diberitahukan kepada petugas meliputi: nama, umur, agama/kepercayaan, Pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu. Dengan

(45)

pemberitahuan ini, untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan atau pemalsuan identitas, atau mengantisipasi kalau di antara calon mempelai terdapat halangan perkawinan.34

Tindakan yang harus diambil oleh Pegawai Pencatat Nikah setelah menerima pemberitahuan, diatur dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai berikut:

l. Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang.

2. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (l), Pegawai Pencatat meneliti pula:

a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu.

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.

Ketentuan dalam kalusul Pasal 6 ayat (1) dan (2) di atas memberi manfaat, pertama, memelihara ketertiban hukum yang menyangkut kompetensi relaitf kewilayahan dari Pegawai Pencatat Nikah. Kedua, menghindarkan terjadinya

34 Ibid., halaman 93-95.

(46)

pemalsuan atau penyimpangan hukum lainnya, seperti identitas calon mempelai dan status perkawinan mereka, termasuk misalnya kemungkinan terjadinya perbedaan agama yang mereka anut. Lebih dari itu, dalam kaitannya dengan program pemerintah ingin membangun dan mewujudkan manusia Indonesia yang berkualitas

Penelitian umur masing-masing calon mempelai sangat penting. Karena tidak jarang terutama di kampung-kampung yang masih berpengang kuat pada tradisi bahwa mempunyai anak perawan tua dapat menjadi aib, pemalsuan umur, merupakan hal yang sering terjadi. Belum lagi kemungkinan dampak yang timbul, akibat kawin muda yang mendominasi banyaknya kasus-kasus perceraian di beberapa Pengadilan Agam. Karena itulah ketelitian pegawai pencatat merupakan faktor penting agar tidak terjadi penyimpangan. Lurah atau Kepala Desa yang dianggap mengetahui identitas atau usia calon mempelai, peranannya dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya pemalsuan, sangat besar.

Mengingat kesadaran masyarakat yang menjadi subjek hukum tidak sama, mungkin karena tidak tahu atau karena hal lain, ketentuan-ketentuan tersebut di atas belum dapat benjalan dengan baik. Peraturan perundang-undangan memberi alternative kelonggaran kepada pihak-pihak yang karena sesuatu dan lain hal harus segera melangsungkan perkawinan, dengan mengajukan izin tertulis kepada pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UndangUndang Nomor l Tahun 1974 tentang Perkawinan, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur dua puluh satu tahun.

(47)

Hasil penelitian Pegawai Pencatat Nikah kemudian ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu. Akan tetapi, apabila ternyata hasil penelitian menunjukkan adanya halangan perkawinan sebagai dimaksud undang-undang dan/atau belum terpenuhi persyaratan seperti diatur Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2975, pegawai memberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya. Langkah ini ditempuh agar pihak-pihak yang terkait, bagi calon 'mempelai dapat segera memenuhinya, dan bagi pihak yang mungkin merasa keberatan dapat mengajukan keberataannya.

Setelah dipenuhi persyaratan dan tata caranya serta tidak terdapat halangan Perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan. Caranya, dengan menempelkan pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan, ditempel pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.35

Secara lebih rinci, Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menjelaskan tentang pencatatan perkawinan:

1. Pencatat perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat, sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,Talak dan Rujuk.

35 Ibid., halaman 95-97.

(48)

2. Pencatatan perkawinan dari mareka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan

3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.

Pegawai Pencatat Nikah mempunyai peran dalam penentuan asal-usul anak Karena muara awal sebelum anak tersebut ditentukan sebagai anak sah , pegawai pencatat terlebih dahulu yang akan menentukan tentang sah tidaknya perkawinan orang tuanya. Pada umumnya apabila Perkawinan kedua orang tuanya telah dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah, maka perkawinannya tersebut juga akan sah. Dengan begitu segala hal yang diperbuat/didapatkan dalam perkawinan itu juga sah. termasuk anak yang lahir dalam perkawinan itu. Dengan perkawinan yang sah menurut Negara maka asal-usul anak itu juga akan dinyatakan secara jelas, dan surat-surat tentang asal-usul anak itu juga dapat dibuatkan dengan baik.

Perkawinan yang sah itu ialah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agamanya masing-masing. Tidak terlepas dalam Islam, apabila suatu perkawinan sudah memenuhi dan sesuai dengan aturan-aturan syariah maka Perkawinan sah itu dinyatakan sah, termasuk di dalamnya perkawinan siri.

perkawinan siri diperbolehkan dalam Islam dan juga dinyatakan sah. Namun, yang jadi persoalan dalam kawin siri ini ialah, perkawinan tersebut tidak

Referensi

Dokumen terkait

Dеngаn pеnjеlаsаn yаitu pеngаruh аdvеrtisеmеnt chаrаctеristic tеrhаdаp kеputusаn pеmbеliаn mеnunjukkаn hаsil yаng positif yаitu аpаbilа sеmаkin mеnаrik

Tingginya penggunaan minyak berpengaruh kepada produksi limbah jelantah pada kalangan masyarakat, namun tidak diimbangi dengan penanganan yang tepat.. Sehingga sering

Bintang Sembilan sudah menerapkan proses penghitungan pajak yang sesuai dengan peraturan pemerintah nomor 46 tahun 2013 karena perusahaan tersebut sudah

2) Di pantai erosional, pengembangan tambak yang sangat dekat dengan garis pantai dan hanya menyisakan sedikit sabuk mangrove mempercepat laju erosi. Kondisi ini

Dengan mengikuti prinsip yang baik seperti ini berdasarkan keyakinan diri, kita bukan sahaja mendapat peluang untuk menjadi sempurna tetapi kita juga dapat

Dengan mengetahui dan memahami pemberian nama gelar abdi dalem, memberikan manfaat untuk IPS, sebagai ilmu pengetahuan yang bisa disampaikan dan dapat dijalankan dalam

Dampak positif yang dirasakan dengan adanya pelarangan ini adalah membuka peluang bagi toko ritel-ritel local baik yang tradisional maupun modern untuk semakin

Selama Masa Sidang III Tahun 2003 yaitu sejak dari tanggal 1 Juli 2003 yang lalu sampai dengan penutupan pada hari ini tanggal 30 September 2003 dimana seluruh kegiatan Komisi E