• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAAN KASTA (TANA’) DALAM PERKAWINAN ADAT TANA TORAJA OLEH DWI UTAMI LESTARI BATARA B 111 13 705 DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017 PERBE SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DAAN KASTA (TANA’) DALAM PERKAWINAN ADAT TANA TORAJA OLEH DWI UTAMI LESTARI BATARA B 111 13 705 DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017 PERBE SKRIPSI"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

PERBEDAAN KASTA (TANA’) DALAM PERKAWINAN ADAT TANA TORAJA

OLEH

DWI UTAMI LESTARI BATARA B 111 13 705

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2017

(2)

i

HALAMAN JUDUL

PERBEDAAN KASTA (TANA’) DALAM PERKAWINAN ADAT TANA TORAJA

OLEH

DWI UTAMI LESTARI BATARA B 111 13 705

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Hukum Dalam Departemen Hukum Keperdataan

pada Program Studi Ilmu Hukum

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2017

(3)

ii

(4)

iii

(5)

iv

(6)

v

ABSTRAK

Dwi Utami Lestari Batara (B111 13 705) dengan judul “Perbedaan Kasta (Tana’) Dalam Perkawinan Adat Tana Toraja”. Di bawah bimbingan: Aminuddin Salle selaku pembimbing I dan Ibu Sri

Susyanti Nur, selaku pembimbing II

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum adat perkawinan perbedaan kasta ( Tana’) dalam perkawinan adat Tana Toraja dan bagaimanakah penerapan sanksi adat perkawinan beda kasta (Tana’) di Tana Toraja.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sangalla Kabupaten Tana Toraja. Metode penelitian ini yang di gunakan dalam pengumpulan data yaitu melalui penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian lapangan (Field Reseacrh). Data primer di peroleh dari hasil wawancara dengan pihak yang terkait yaitu Tokoh Masyarakat, To Parengnge‟, Camat Sangalla, sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur-literatur dan buku-buku yang berhubungan dengan pemasalahan yang penulis teliti.

Data yang diperoleh baik primer maupun sekunder dianalisis secara deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedudukan hukum adat perkawinan beda kasta (Tana’) menurut pandangan masyarakat Tana Toraja adalah saat dikenal sebagai Ada’ Rampanan yang berdiri sendiri di atas Aluk Rambu Tuka’ dan Aluk Rambu Solo’. Oleh karena itu Rampanan

Kapa’ perbedaan Kasta (Tana’) di Toraja dilarang, namun pada

kenyatannya ada yang menyimpang dari aturan yang telah diatur tersebut.

Penerapan sanksi adat perkawinan beda kasta (Tana’) di Tana Toraja dilakukan menurut nilai Tana‟ yang lebih rendah dari nilai Tana’

antara suami dan istri dan nilai

Tana’ yang disepakati ketika diadakan Rampanan Kapa’ oleh pemimpin adat, juga pemutusan hubungan dengan

keluarganya dengan upacara

Mangrambu Langi’ (upacara pengakuan

dosa) .

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat, kasih tuntunan dan turut campur tangan Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbedaan Kasta (Tana’) Dalam Perkawinan Adat Tana Toraja”. Skripsi ini diajukan sebagai tugas akhir dalam rangka penyelesaian program studi ilmu hukum pada bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Pada kesempatan ini juga, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta, Andarias Pala Batara S.H dan Dina Rante Banne atas segala pengorbanan, kasih sayang dan jerih payahnya selama membesarkan dan mendidik penulis serta selalu mendoakan yang terbaik untuk keberhasilan penulis. Demikian pula saudaraku Ardyantomo Jedwar Batara, dan Silvia Adhelia Batara, terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini, terkhususnya dalam mendukung penulis menyelesaikan kuliah.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih

yang sebesar-besarnya atas bimbingan, arahan, bantuan moril maupun

materil, dukungan, dan semangat yang luar biasa kepada pihak-pihak

yang telah membantu penulis selama proses pembuatan skripsi ini, terima

kasih kepada:

(8)

vii 1.

Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, MA., selaku Rektor

Universitas Hasanuddin;

2.

Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;

3.

Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;

4.

Bapak Dr, Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang Sarana dan Prasarana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;

5.

Bapak Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;

6.

Bapak Prof. Dr. Aminuddin Salle, S.H., M.H. selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H. selaku pembimbing II yang telah dengan sabar membimbing dan mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, serta merupakan kebanggan tersendiri bagi penulis telah dibimbing oleh beliau;

7.

Ibu Prof. Dr. Andi Suriyaman, M. P., S.H., M.Hum. selaku

penguji I, Bapak M. Ramli Rahim, S.H., M.H selaku penguji II,

dan Bapak Kahar Lahae, S.H., M.H Selaku Penguji III yang

telah memerikan saran serta masukan selama penyusunan

skripsi ini;

(9)

viii 8.

Bapak Dr. Winner Sitorus, S.H., M.H., LLM. Selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan dan Ibu Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H. selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menulis skripsi ini;

9.

Seluruh dosen, pegawai, maupun staf civitas akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah memberikan ilmu, nasehat serta bantuan lainnya.

10.

Pemerintah Kabupaten Tana Toraja dalam hal ini Kepala Kecamatan Sangalla, Lembang Kecamatan Sangalla, segenap Pemangku Adat Kecamatan Sangalla serta masyarakat Kecamatan Sangalla yang telah membantu penulis dalam memberikan data terkait skripsi ini;

11.

Keluarga besar Persekutuan Mahasiswa Kristen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dan teman-teman angkatan ASAS 2013 terima kasih untuk berbagai pengalaman non- akademik yang berkesan dan semoga sukses;

12.

Heruwanto Rantelino S.E, yang telah memberi dukungan, nasehat, menjadi penyemangat serta senantiasa mendampingi dan membantu penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

13.

Arisan Rempong: Andika Ratu Tangkerun, Febrianti Fransisca

M, Jean Ayu Putri, Melly Anggraini M, Silvia A Batara, Leoni

Vonni Nani, Momsky Dina, dan Ibu Junaeda. Terimakasih atas

(10)

ix

ilmu serta pengalaman yang kalian berikan kepada penulis selama masa perkuliahan;

14.

IKDS, Ikki Pramatasari Kadir, Andi Permatasari, Ayu Rezky Armala Pratiwi yang selalu mengirimkan doa dan semangat yang tidak pernah putus;

15.

Teman-teman PMK FH-UH 2013, Iin, Natalia, Marselinda, Sarce, Nara, Cecil, Yodi, Anggun, Dewina, Dikson, Kang Ono, Edna, Kevin, Vian, Sonmen, Ucok, Yoan. Terima kasih atas bantuan, kerja sama dan kebersamaan yang telah kita lalui selama masa perkuliahan;

16.

Kakak senior yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, Oktavianus Patiung, S.H.,M.H, Lollyta Elisabeth, S.H., Chery Narpa, S.H., Try Jauri Santoso, S.H, Atanasius Tandirerung, terimakasih atas arahan, bimbingan, serta semangat yang diberikan;

17.

Seluruh teman-teman KKN Reguler Gelombang 93 Kecamatan Enrekang Kabupaten Enrekang, khususnya, Kak Adinda Putri, Kak Agung Setiawan, Kak Andre Rante Lembang, Leoni Vonni Nani, dan Fauziah Anwar atas bantuan dan kerja samanya selama menjalani Kuliah Kerja Nyata;

18.

Seluruh pihak-pihak yang ikut terlibat baik secara langsung

maupun dengan doa yang tidak dapat penulis rincikan satu per

(11)

x

satu dalam tulisan ini karena keterbatasan penulis dalam mengingatnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan disebabkan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis berterima kasih apabila ada kritik ataupun saran dari pembaca demi penyempurnaan skripsi ini. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan dan bagi yang membacanya.

Makassar, Juli 2017

Penulis

(12)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Kegunaan Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perkawinan menurut UU No. 11 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 10

B. Pengertian Hukum Adat ... 14

C. Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia .... 21

D. Hukum Adat Tentang Perkawinan ……… 26

1. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Adat ... 26

2. Bentuk-Bentuk Perkawinan Menurut Hukum Adat ... 33

3. Tata Cara Perkawinan Adat ... 37

(13)

xii

E. Perkawinan Dalam Hukum Adat Tana Toraja ……… 39

F. Pembagian Kasta Dalam Hukum Adat Tana Toraja …………. 43

BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ... 44

B. Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 44

C. Teknik Pengumpulan Data ... 45

D. Populasi dan Sample ... 45

E. Analisis Data ... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 47

B. Kedudukan Hukum Adat Perkawinan Beda Kasta (Tana‟) Menurut Pandangan Masyarakat Tana Toraja ... 62

C. Penerapan sanksi Adat Perkawinan Beda Kasta (Tana‟) Adat di Tana Toraja ... 75

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(14)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem hukum adat di Indonesia, disebut hukum tidak tertulis (unstatuta law), yang berbeda dengan hukum kontinental sebagai hukum tertulis (statuta law). Dalam sistem Hukum Inggris, hukum tidak tertulis disebut common law atau judge made law.1

Tidak dapat disangkal lagi, tidak satu hukum pun di dunia ini yang tidak mempunyai tata hukumnya sendiri. Betapa pun sederhananya sebagai negara berdaulat mempunyai tata hukum sendiri yang bersumber dari pemikiran bangsa itu sendiri. Di Indonesia, jauh sebelum kemerdekaannya, bahkan jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ke bumi nusantara, masyarakat hukum adat sudah mempunyai sistem hukum sendiri, sebagai pedoman dalam pergaulan hidup masyarakat, yang dinamakan hukum adat.

Sampai dewasa ini kalangan pemikir hukum Indonesia masih dipengaruhi pola pikir yang berkembang di negara lain, terutama negara Belanda. Hal ini dapat diindikasikan masih banyak peraturan dari masa silam, yang masih saja diberlakukan sebagai peraturan dan ilmu hukum warisan dari masa penjajahan.

Demikian juga kalau berbicara mengenai hukum adat, belum dapat terlepas dari

1 Djamat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia, Eksistensi Dalam Dianmika Perkembangan Hukum di Indonesia, CV Nuasa Mulia, Bandung, Hal 1.

(15)

2 ajaran penulis barat. Pandangan tentang hukum adat dari kalangan barat seperti paku mati, pandangan yang hanya melihat dari penglihatan dan penulis barat, yang sebenarnya tidak menghayatinya, yang notabene adalah hukum Indonesia sendiri, sebagai pencerminan dari kebudayaan bangsa Indonesia. Dengan cara pandang tersebut sudah tentu peraturan-peraturan yang dibuat secara undang- undang akan semakin menjauhkannya dari budaya bangsa/ masyarakat itu sendiri. Semakin terdesaknya hukum adat terjadi karena sikap apriori bahwa hukum adat tidak mungkin eksis dalam hubungan dunia internasional, di mana kalau dibandingkan dengan hukum tertulis yang dalam performancenya akan lebih menjamin kepastian hukum, sekalipun tidak memberi rasa kesesuaian dan keselarasan dengan pandangan serta nilai-nilai hukum sendiri. Sudah tentu pola pemikiran dan pandangan seperti ini adalah suatu kekeliruan.

Pendefinisian hukum adat dalam perkembangannya hanya dilihat dari segi formalnya tanpa melihat segi materilnya. Sudah tentu hanya melihat dari segi formal saja merupakan suatu kekeliruan. Selama ini, pengetahuan tentang hukum adat hanya berpedoman pada definisi yang dikemukakan oleh para sarjana yang lebih memperhatikan segi formalnya tanpa memahami isi hukum adat itu sendiri. Dengan memperhatikan hukum adat melalui sistemnya dan unsur-unsur pembentuknya, diharapkan akan semakin memperjelas pengertian hukum adat itu sendiri.

Hukum adat merupakan produk dari budaya yang mengandung substansi tentang nilai-nilai budaya sebagai cipta, karsa, dan rasa manusia. Dalam arti bahwa hukum adat lahir dari kesadaran atas kebutuhan dan keinginan manusia

(16)

3 untuk hidup secara adil dan beradab sebagai aktualisasi peradaban manusia.

Selain itu hukum adat juga merupakan produk sosial yaitu sebagai hasil kerja bersama (kesepakatan) dan merupakan karya bersama secara bersama (milik sosial) dari suatu masyarakat hukum adat. Argumentasi ini telah melegitimasi pandangan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dengan sejarahnya dan kebudayaan suatu masyarakat dengan kata lain hukum tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya.

Karena itu, Moh Koesnoe2 menyatakan bahwa Hukum adat adalah suatu model hukum dibangun baik bersifat riil maupun idiil dari bangsa Indonesia dengan bahasa suku bangsa itu. Hukum adat sebagai suatu model hukum secara jelas merupakan suatu model hukum dari rumpun suku Melayu sebagai pernyataan dari suku bangsa itu. Menurutnya, dalam sejarahnya hukum adat sebagai suatu model hukum baru mendapat perhatian dari kalangan ilmu pengetahuan modern, pada permulaan abad ke-20, yang sebelumnya sudah ada dalam praktik kehidupan suku bangsa Melayu itu sendiri. Sejak itu hukum adat menjadi perhatian dan menjadi populer di kalangan sarjana hukum, yang kemudian masuk dalam lingkungan studi hukum yang bersifat universitair.

Selanjutnya, hukum adat terus berkembang di Indonesia dengan mengutamakan studi perbandingan tentang lembaga-lembaga dan sistemnya menurut ilmu sosial. Studi hukum adat yang dilakukan oleh van Vollenhoven dengan pengolahan ilmiah secara modern merupakan studi yang disajikan secara barat

2 Moh. Koesnoe, 1992, Hukum Adat Sebagai Suatu Model (Bagian 1 Historis), Mandar Maju, Bandung, Hal. 3-4

(17)

4 (westerse vertolking). Dalam penelitian ini penulis akan meneliti tentang peranan perbedaan kasta (tana‟) sebagai dasar perkawinan adat Tana Toraja.

Menurut hukum adat pada umumnya, perkawinan itu selain sebagai perikatan perdata, juga merupakan perikatan adat, sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Terjadinya ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban orang tua, juga menyangkut hubungan-hubungan adat waris kekeluargaan/kekerabatan, dan ketetanggaan, serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.

Jadi, perkawinan adalah bukanlah hanya urusan dari seorang pria dan wanita yang akan melangsungkan perkawinan, tetapi juga merupakan urusan dari orang tua, urusan keluarga, dan urusan masyarakat hukumnya. Bahkan dalam hukum adat bahwa perkawinan tidak saja merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup, tetapi perkawinan itupun menjadi peristiwa yang sangat berarti dan sepenuhnya mendapat perhatian dari arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak3.

Perkawinan dalam arti perikatan adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sebelum perkawinan dilaksanakan, misalnya; hubungan diantara anak-anak, muda-mudi dan hubungan antara orang tua, keluarga dari para calon suami istri. Setelah terjadinya ikatan

3 Soerjono Wignjodipoero, 1987, Pengantar dan Dasar-Dasar Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, Hal. 122

(18)

5 perkawinan, maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua (termasuk anggota keluarga / kerabat), misalnya; pelaksanaan upacara adat, selanjutnya dalam peran serta pembinaan dan pemeliharaan kerukunan, keutuhan, dan ketetanggaan dari kehidupan anak yang terikat dalam perkawinan4.

Perkawinan dalam masyarakat adat Toraja masih mengenal istilah strata sosial atau dalam sebutan orang Toraja disebut Tana’. Dalam masyarakat Toraja sejak dari dahulu mengenal beberapa strata sosial (Tana’) yang sangat mempengaruhi pertumbuhan masyarakat dan kebudayaan Toraja karena sehubung dengan lahirnya sendi-sendi kehidupan dan aturan dalam aluk todolo, dan Tana’ disebut dalam 4 (empat) susunan atau tingkatan masing-masing, yaitu:

1. Kasta atau Tana’ Bulaan adalah Kasta yang menjabat ketua/pemimpin dan anggota pemerintahan adat umpamanya jabatan Puang, Ma’dika dan Sok Kong Bayu (Siambe’)

2. Kasta atau Tana’ Bassi adalah kasta yang menjabat jabatan pembantu atau anggota pemerintahan adat seperti jabatan-jabatan anak Patalo, To Bara’ dan To Parenge’.

3. Kasta atau Tana’ Karurung adalah kasta yang menjabat pembantu pemerintahan adat/serta menjadi pertugas aluk Todolo untuk urusan aluk Patuon, aluk Tananan yang dinamakan To Indo’ atau Indo padang.

4 Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta, Hal. 9.

(19)

6 4. Kasta atau Tana’ Kua-kua adalah kasta yang menjabat jabatan petugas/pengatur pemakaman dan kematian yang dinamakan To Mebalun atau To Ma’kayo (orang yang membungkus orang mati) dan juga sebagai pengabdi kepada Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi.

Hukum perkawinan adat diartikan sebagai aturan-aturan hukum yang mengantar tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan. Aturan-aturan hukum adat tentang perkawinan biasanya dilaksanakan sesuai dengan sifat atau corak kemasyarakatan yang bersangkutan, adat-istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat turut memberi warna yang membedakan daerah dengan daerah lain.

Namun saat ini oleh pengaruh perkembangan masyarakat dan kemajuan zaman, peraturan adat termasuk adat perkawinan juga mengalami kemajuan dan perubahan perkembangan dan pergeseran. Perkembangan ini sedikit demi sedikit dipengaruhi oleh agama yang nampak dalam, misalnya; perkawinan campuran antar suku, antar agama dan antar adat. Meskipun demikian perkawinan tetap termasuk persoalan keluarga yang nampak diberbagai daerah dan golongan masih berlaku adat perkawinan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kedudukan hukum adat perkawinan beda Kasta (Tana‟) menurut pandangan masyarakat di Tana Toraja?

(20)

7 2. Bagaimanakah penerapan sanksi adat perkawinan beda Kasta

(Tana‟) di Tana Toraja?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kedudukan hukum adat perkawinan beda Kasta (Tana‟) menurut pandang masyarakat di Tana Toraja.

2. Untuk mengetahui penerapan sanksi adat perkawinan beda Kasta (Tana‟) di Tana Toraja.

D. Manfaat Penelitian

1. Kegunaan Teoritis, yaitu sebagai sumbangan pemikiran untuk mengembangkan wawasan dari ilmu pengetahuan dibidang hukum, khususnya yang ada hubungannya dengan perkawinan adat di Tana Toraja.

2. Kegunaan Praktis, sebagai sumbangan pemikiran bagi praktisi hukum yang tertentu untuk mengetahui pelaksanaan perkawinan adat di Tana Toraja, khususnya perkawinan adat yang terjadi karena adanya perbedaan kasta (Tana‟).

(21)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan

Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (disingkat UU perkawinan), perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.5

Pengertian perkawinan tersebut jelaslah terlihat bahwa dalam sebuah perkawinan memiliki dua aspek yaitu:

1) Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat ikatan lahir batin, artinya bahwa perkawinan disamping mempunyai nilai ikatan secara lahir tampak juga ikatan batin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan ikatan batin ini merupakan inti dari perkawinan itu;

2) Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya membentuk keluarga dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya

5 Lihat Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(22)

9 perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga buka saja unsur jasmani tapi unsure batin berperan penting.6

Sebagai bentuk perikatan dalam sebuah perkawinan menunjukkan adanya kerelaan dua pihak yang berakad, dan akibatnya adalah kewajiban dan hak yang mereka tentukan. Oleh karena suatu perikatan perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut ajaran agama masing-masing yang mana dalam islam sahnya suatu perkawinan apabila telah terpenuhi syarat dan rukunnya.

B. Pengertian Hukum Adat

Istilah hukum adat (adatrecht) bukanlah istilah yang diberikan oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan diciptakan oleh C. Souck Hurgronje pada zaman kolonialisme7. Istilah tersebut diciptakan berdasarkan hasil penelitiannya pada masyarakat Aceh. C. Snouck Hurgronje (1891-1892) ketika melakukan penelitian di Aceh, menggunakan istilah adatrecht yang diterjemahkan sebagai

"hukum adat". Istilah tersebut semakin populer ketika van Vollenhoven menggunakan istilah "hukum adat" sebagai yang terbaik, dan dijadikannya sebagai pusat perhatian, sehingga menjadi ilmu pengetahuan hukum adat8.

Pemakaian istilah adatrecht adalah suatu penamaan sistem hukum yang hidup dan berlaku bagi bangsa Indonesia. Sebenarnya, tidak dapat dihindari

6 Titik Triwulan.2011. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Bandung:Kencana. Hlm.103-104

7 Djamanat Samosir, Ibid, Hal 7

8 Loc.cit

(23)

10 pemberian istilah “adatrecht” sudah tentu dipengaruhi politik pemerintah kolonial Belanda pada masa itu, yang kemudian terus berlanjut sampai masa kemerdekaan, bahkan sampai dewasa ini terutama pengaruh pengetahuan barat yang saat itu berpengaruh kuat pada sarjana Indonesia. Sepintas lalu pemberian istilah "adatrecht" merupakan penemuan yang harus diakui dan dibanggakan, tetapi di sisi lain terdapat juga pandangan yang menganggap hukum adat memiliki derajat yang lebih rendah dibandingkan dengan hukum barat, baik menurut bangsa Belanda, bahkan juga oleh ahli-ahli bangsa Indonesia.

Beberapa literatur dijelaskan, sebelum penjajahan istilah hukum adat sebenarnya sudah lama dikenal di Indonesia. Pendapat ini didukung oleh Hilman Hadikusuma menyatakan :

Istilah itu telah dipakai dalam "Kitab Makuta" pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) Aceh Darussalam. Selain itu ditemukan di dalam "Kitab Hukum Safinahtul Hukkam Fi Takhlisil Khassam", yang ditulis oleh Jalaluddin bin Syeh Muhammad Kamaludin (bahtera bagi semua hakim dalam menyelesaikan semua orang yang berkesumat). Di dalam pembukaan kitab tersebut ditulis: "Dalam memeriksa perkara maka hakim harus memperhatikan Hukum Syarak, Hukum Adat, serta Adat dan Resam".9

Perkataan "adat" adalah suatu istilah yang dikutip dari bahasa Arab yang dalam bahasa daerah maupun dalam Bahasa Indonesia tidak asing lagi. Di dalam bahasa Arab perkataan "adat" adalah "Adat", artinya "kebiasaan", yakni perilaku masyarakat yang selalu terjadi. Selain itu, ada yang menyebutkan berasal dari kata urf. Dengan kata urf dimaksudkan adalah semua kesusilaan

9 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal.9

(24)

11 dan kebiasaan Indonesia (peraturan, peraturan hukum dalam yang mengatur hidup bersama).

Hilman Hadikusuma berpendapat istilah adatrecht sebagai istilah teknis ilmiah saja. Meskipun tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan

"istilah teknis ilmiah", secara logika karena kata "adat" yang berasal dari bahasa Arab telah diresepsi ke dalam bahasa Indonesia dan hampir seluruh daerah di Indonesia. Karena itu, istilah "adatrecht" diterjemahkan sebagai hukum kebiasaan. Soerjono Soekanto, salah seorang yang menyetujui konsepsi tersebut, dalam tulisannya mengatakan "hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum kebiasaan," artinya kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (sein sollen). Kebiasaan yang dimaksud adalah kebiasaan yang merupakan hukum adat, yaitu perbuatan- perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama yang menuju pada rechtsvardigeordening dersamenleving.

Van Dijk secara tegas menolak pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa hukum adat dan hukum kebiasaan berbeda. Perbedaannya terletak pada sumber dan sifatnya. Sumber artinya, bahwa hukum kebiasaan itu tidak bersumber dari alat-alat perlengkapan masyarakat, sedangkan hukum adat ada yang bersumber dari raja-raja. Menurut sifatnya hukum kebiasaan itu sepenuhnya bersifat tidak tertulis sedangkan hukum adat ada sebagian yang, bersifat tertulis.10

Dalam pencariannya tentang arti "adat", L. Jchreiner menunjukkan pengenalan kata ini dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja "ada". Asal katanya ialah kata kerja "ada", artinya berbalik kembali, datang kembali. Jadi "adat"

10 Djamanat Samosir, Op.cit, hal.9

(25)

12 adalah yang berulang-ulang atau teratur datang kembali, artinya yang lazim, dengan demikian berarti kebiasaan. Sinonim lain yang lebih tua dalam sejarah kebudayaan Indonesia disebut dengan istilah "biasa", yang berasal dari kata Sansekerta "abhayasa".11

Menurut Djamanat Samosir bahwa di dalam masyarakat (awam) istilah hukum adat tidak terlalu dipersoalkan, bahkan hukum adat jarang digunakan.

Justru dalam kehidupan sehari-hari yang sering digunakan istilah "adat" dan juga sering dipahamkan mempunyai arti yang sama, misalnya Minangkabau: Adat yang sebenarnya adat, Adat istiadat, Adat nan diadatkan, dan Adat nan teradat.

Bugis (istilah ade atau ada): Ade' Pura Ouro, Ade' Assituruseng, Ade' Maraja ri Arungngo, Ade' abiasang ri wanue, Ade' Taro Anang.12

Demikian, kalau disebut "adat Minangkabau" atau "adat Sunda" atau

"adat Jawa" atau "adat Batak" dan sebagainya, hal ini berarti Hukum Adat Minangkabau, Hukum Adat Sunda, Hukum Adat Jawa, Hukum Adat Batak, dan sebagainya. Istilah hukum adat kurang populer bagi masyarakat Indonesia pada waktu itu. Pada umumnya bagi masyarakat Indonesia bahwa "hukum" dianggap sebagai suatu ketentuan yang datang dari luar masyarakat itu sendiri, dari penguasa, pemerintah atau berdasarkan agama. Sedangkan adat merupakan ketentuan yang timbul serta tumbuh dari dalam masyarakat itu sendiri, yang mereka taat sebagai hukum.

C. Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia

11 B.A. Simanjuntak, 1986, Pemikiran Tentang Batak, Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan, Batak-Universitas HKBP-Nommessen, Medan, hlm.85.

12 Djamanat Samosir, Op.cit, hal.10

(26)

13 Satjipto Rahardjo menyatakan:

Semua perubahan hukum pun berubah bila masyarakat berubah.

Artinya hukum berproses mengikuti perubahan-perubahan masyarakat.

Akibat cepatnya perubahan yang terjadi di masyarakat, maka ketinggalan hukum sering dikatakan sebagai ciri hukum yang khas.

Ketertinggalan (lag) terjadi apabila di situ terjadi lebih dari sekedar ketegangan tertentu, apabila hukum secara nyata telah tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang timbul dari perubahan sosial yang besar yang terjadi atau apabila tingkah laku sosial dan kesadaran hukum akan berkewajiban yang biasanya tertuju kepada hukum yang berbeda dengan jelas dari tingkah laku yang dikehendaki hukum. Ketertinggalan hukum menurut Sinzheimer, dengan mengutip pendapat Trade, terjadi karena di dalam kenyataan sosial keadaan-keadaan atau peristiwa baru (accidents sociaux) dapat menyebabkan terjadinya perubahan- perubahan di dalam masyarakat. Faktor tersebut secara fundamental dapat mempengaruhi perubnhan hukum, adalah perubahan di bidang kehidupan sosial.13

Kebanyakan tata hukum dari negara-negara sedang berkembang terdiri dari hukum tradisional dan hukum modern. Negara berkembang biasanya mewarisi tata hukum yang bersifat pluralisme di mana sistem hukum tradisional modern berlaku berdampingan dengan sistem hukum modern. Pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu fakta kemanusiaan, yakni keragaman, heterogenitas, dan kemajemukan itu sendiri. Di Indonesia, melalui Pasal Peralihan UUD 1945, masih berlaku sistem hukum pluralisme.

Pluralisme itu adalah berlakunya hukum Eropa di samping hukum adat. Hukum adat sebagai hukum masyarakat Indonesia yang bersifat tradisional.

13 Satjipto Rahardjo, 1975, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, hal. 60

(27)

14 Ciri-ciri hukum tradisional oleh Ronny Hanitijo Soemitro14 adalah sebagai berikut:

1. Hukum tradisional mempunyai sifat kolektivisme yang kuat.

2. Mempunyai corak magis-religius, yaitu yang berhubungan dengan pandangan hidup masyarakat asli.

3. Sistem hukumnya diliputi pikiran yang serba konkrit, hukum tradisional sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan yang konkret yang terjadi dalam masyarakat.

4. Sistem hukum tradisional bersifat visual, artinya hubungan-hubungan hukum dianggap terjadi hanya karena ditetapkan dengan ikatan yang dapat dilihat atau dengan suatu tanda tampak.

Selanjutnya Ronny Hanitijo Soemitro mengemukan ciri-ciri hukum modern dapat dipelajari dari Marc Galanter, yang menyebutkan sebagai berikut:

1. Hukum modern terdiri dari peraturan-peraturan uniform dan konsisten dalam penerapannya lebih bersifat teritorial daripada personal, yaitu tidak membedakan agama, suku bangsa, kasta, dan jenis kelamin.

2. Hukum modern bersifat transaksional, maksudnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum timbul dari perjanjian-perjanjian, antara lain umpamanya kontrak-kontrak. Pelanggaran-pelanggaran perdata dan pidana. Dalam hukum modern hak-hak dan kewajiban timbul sebagai akibat dari keanggotaan seseorang dalam suatu lingkungan tertentu.

3. Hukum modern bersifat universalitas. Pengaturan mengenai hal-hal yang khusus pun juga tidak terlepas dari ukuran-ukuran yang bersifat umum. Cara-cara pengaturan secara intuisif dan bersifat unik tidak terdapat di dalam hukum modern. Penerapan hukum dapat dijalankan berulang-ulang tanpa dan dapat diduga sebelumnya mengenai apa yang akan terjadi (predictable).

4. Sistem hukum modern bersifat hierarkis (berjenjang). Di sini terdapat jaringan penerapan hukum yang teratur, mulai dari tingkat pertama meningkat ke tingkat banding dan seterusnya. Dengan demikian keputusan-keputusan setempat dapat disesuaikan dengan ukuran- ukuran/standar rasional, dan juga sistem itu dimungkinkan untuk menjadi uniform (seragam) dan dapat diduga sebelumnya (predictable).

14 Ronny Hanitijo Soemitro, 1984, Masalah-Masalah Sosiologi Hukum, Sinar Baru, Bandung, hlm. 54

(28)

15 5. Sistem hukum modern diorganisasikan secara birokratis. Untuk mencapai sistem uniformitas, sistem hukum modern harus bekerja secara impersonal, mematuhi prosedur-prosedur yang ditentukan untuk setiap kasus dan memberikan keputusan untuk setiap kasus itu sesuai dengan ketentuan-ketentuan tertulis.

6. Sistem hukum modern bersifat rasional. Peraturan-peraturan dinilai dari segi kemanfaatannya secara instrumental, yaitu apakah peraturan itu mampu dipakai untuk memperoleh hasil yang dikehendaki. Hukum tidak dinilai dari kualitas formalnya tetapi dinilai dari kualitas fungsionalnya.

7. Sistem hukum dijalankan oleh ahli-ahli yang khusus, belajar untuk menjalankan fungsi itu (professional).

8. Sistem hukum modern dapat diubah-ubah, tidak dianggap sakral (suci) sehingga dapat diubah-ubah. Sistem hukum modern memuat metode-metode dan cara-cara untuk melakukan peninjauan kembali peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur untuk menghadapi kebutuhan-kebutuhan yang berubah atau perubahan-perubahan dalam prioritas-prioritas.

9. Sistem hukum modern bersifat politis. Hukum dikaitkan dengan negara mempunyai monopoli dalam membuat peraturan-peraturan hukum. Badan-badan ini yang juga menjalankan fungsi seperti keharusan memperoleh persetujuan dari negara.

10. Tugas menemukan dan menerapkan hukum dipisahkan, dibedakan tugas eksekutif, legislatif, dan judikatif.15

Melihat kedua ciri hukum tersebut (modern dan tradisional) apabila dikaitkan dengan ciri-ciri atau karakteristik hukum adat, memperlihatkan adanya ciri-ciri yang berlawanan. Maka ciri-ciri hukum adat tersebut harus mengalami perubahan. Namun hal ini tidaklah mudah, karena akan mempertentangkan antara hukum adat dengan hukum modern, hal ini jelas merupakan suatu hal yang keliru. Menurut Soerjono Soekanto16 cara seperti itu merupakan paham yang keliru. Kekeliruan tersebut disebabkan bahwa hukum adat merupakan hukum yang dianut dan berlaku dalam masyarakat tradisional yang masih irasional. Sebaliknya, paham modern dikaitkan dengan masyarakat-masyarakat

15 Ibid, hlm. 55-56

16 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pembangunan di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 133

(29)

16 modern yang terutama akan dapat ditemukan di negara-negara barat, yang didasari oleh ajaran-ajaran Max Weber.

Soerjono Soekanto17 mengelompokkan nilai-nilai yang menjadi latar belakang hukum adat dalam 4 (empat) golongan, sebagai berikut:

1. Nilai-nilai yang menunjang pembangunan (hukum), nilai-nilai mana harus dipelihara dan malahan diperkuat.

2. Nilai-nilai yang menunjang pembangunan (hukum), apabila nilai-nilai tadi disesuaikan atau diharmonisasi dengan proses pembangunan.

3. Nilai-nilai yang walaupun menghambat pembangunan (hukum), akan tetapi secara berangsur-angsur akan berubah dan hilang karena faktor-faktor lain dalam pembangunan.

4. Nilai-nilai yang secara definitif menghambat pembangunan (hukum), dan oleh karena itu harus dihapuskan dengan sengaja.

Secara konvensional dikenal dua macam sistem hukum (legal system), yakni Sistem Civil Law (Sistem Hukum Eropa Kontinental) dan Sistem Hukum Anglo Saxon atau Common Law. Sistem Hukum Eropa Kontinental berkembang dan dianut pada umumnya di negara-negara Eropa seperti Perancis, Jerman, dan Belanda. Sistem Eropa kontinental lebih mengutamakan perundang- undangan sebagai sendi utamanya, karena itu disebut "codified legal system"

atau sistem kodifikasi. Sistem Anglo Sakson berkembang di Inggris dan Amerika Serikat, yang didasarkan pada putusan-putusan hakim (yurisprudensi) sebagai sendi utama dalam pembentukan hukum. Pembeda kedua sistem hukum ini terletak pada bagaimana peraturan itu dibuat. Sistem civil law dibuat dengan otoritas dalam bentuk perundang-undangan, sedangkan sistem common law pada umumnya dalam bentuk hukum tidak tertulis.

17 Soerjono Soekanto, Loc.cit

(30)

17 Negara Indonesia adalah pewaris hukum dari Belanda yang menganut sistem Eropa Kontinental. Dengan demikian di Indonesia perundangan- undangan menjadi sendi utama dalam pembentukan hukum.

Kebijakan Pokok dalam Pembinaan Hukum Nasional dirumuskan sebagai berikut.

"Pada dasarnya pembinaan hukum dalam rangka pembaharuan melalui perundang-undangan dalam jangka pendek akan dilaksanakan dalam rangka dan tidak terlepas dari perencanaan pembaruan hukum nasional secara menyeluruh serta terlaksananya tertib hukum dalam jangka panjang."

Rumusan tersebut secara jelas politik hukum dalam pembentukan hukum nasional melalui perundang-undangan menjadi sendi utamanya. Namun, di samping itu pembentukan hukum melalui yurisprudensi mendapat perhatian yang sama sebagaimana dalam rumusan berikutnya, yakni: "bersamaan dengan segala ini ditingkatkan usaha menyusun dan mengembangkan yurisprudensi sebagai sumber pembentukan hukum."

Sistem hukum Indonesia mengenal hukum tertulis dan tidak tertulis.

Pengakuan terhadap keberadaan hukum tidak tertulis secara tersurat dalam Penjelasan Umum UUD 1945, yang menyatakan: "Undang-undang suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya negara itu. UUD ialah hukum dasar tertulis, sedang disampingnya berlaku juga hukum dasar tidak tertulis, ialah peraturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis."

(31)

18 Hukum tertulis meliputi Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, termasuk Peraturan Perundang-undangan kolonial yang menurut Aturan Peralihan UUD 1945 masih berlaku untuk sementara waktu. Adapun Hukum Tidak Tertulis meliputi hukum dasar tidak tertulis, yaitu kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan fungsi kenegaraan (biasa disebut Konvensi Ketatanegaraan atau Constitutional Convention), dan hukum tidak tertulis lainnya, seperti hukum adat dan hukum kebiasaan yang hidup dan dihayati oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan kemasyarakatannya.

Aturan hukum tidak tertulis terbentuk bukan karena ditetapkan oleh pimpinan persekutuan, melainkan tumbuh dari tahapan kebiasaan, kemudian dari kebiasaan ke tata kelakuan, dari tata kelakuan ke adat istiadat, dari adat istiadat ke norma hukum. Semua itu berlangsung setelah nilai-nilai yang dihayati oleh paguyuban masyarakat itu mengendap pada masing-masing tahapannya, di bawah saringan cita hukum dan cita moral yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Hukum adat sebagai hukum tidak tertulis merupakan salah satu bagian dari hukum nasional yang eksistensinya sejak zaman kolonial secara tegas dimaksudkan sebagai aturan bagi golongan pribumi (Pasal 131 IS). Setelah merdeka, selain masih dianut pluralisme hukum berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945, yang antara lain masih menempatkan hukum adat sebagai hukum masyarakat pribumi. Pancasila dan UUD 1945 telah memberi landasan

(32)

19 untuk mengangkat hukum adat sebagai sumber hukum nasional. Dalam arti, menarik segi-segi baik dari hukum adat dan membuang segi-segi yang tidak relevan dengan perkembangan Iptek.

Kedudukan hukum tidak tertulis dalam kaitannya dengan perundang- undangan (hukum tertulis), sistem Hukum Nasional Indonesia mendahulukan hukum tertulis dari hukum tidak tertulis jika ada benturan. Tetapi jika hukum tertulis tidak mengatur maka hukum tidak tertulislah yang terakhir mengaturnya.

Jadi, peran hukum tidak tertulis bersifat anvullend (mengisi) terhadap hukum tertulis. Sistem hukum tertulis dan hukum tidak tertulis keduanya saling melengkapi satu sama lain, meskipun hukum tertulis mendapat tempat yang diutamakan. Walaupun pembentukan hukum adat berbeda dengan undang- undang, hukum adat tetap mempunyai kekuatan yang legal, karena masyarakat mentaatinya. Baik tertulis maupun tidak tertulis masing-masing mempunyai kebaikan dan kelemahan.

Untuk memperkuat pengakuan tentang dasar hukum berlakunya hukum adat, maka dalam pasal 18 B UUD NKRI Tahun 1945 hal tersebut dipertegas yang menyatakan sebagai berikut:

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang..

(33)

20 D. Hukum Adat Tentang Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Adat

Untuk memberi pengertian perkawinan yang lengkap dan sempurna sangat sulit, karena hal ini tergantung dari sudut mana seorang melihat perkawinan tersebut. Dalam bahasa Belanda perkawinan disebut Trouwen.

Hukum perdata menyatakan bahwa kawin berarti mengikatkan diri dengan suatu perjanjian dalam suatu hubungan perdata dengan mematuhi syarat-syarat baik untuk calon pengantin laki-laki maupun calon pengantin perempuan.

Hilman Hadikusuma18, mengemukakan bahwa menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai ”perikatan perdata” tetapi juga merupakan ”perikatan adat” dan sekaligus merupakan

”perikatan kekerabatan dan ketetanggaan”. Sedangkan menurut hukum agama, perkawinan adalah perbuatan yang suci (sacrament, sansekerta), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Soerjono Wignjodipoero19 mengemukakan bahwa menurut Hukum Adat, perkawinan bukanlah hanya urusan dari seorang pria dan wanita yang akan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan urusan dari orang tua, urusan keluarga dan urusan masyarakat khususnya. Bahkan dalam hukum adat bahwa perkawinan tidak saja merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup, tetapi perkawinan itupun menjadi peristiwa yang sangat berarti dan sepenuhnya mendapatkan perhatian dari arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.

18 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 8

19 Soerjono Wignjodipoero, Op.cit, hlm. 122.

(34)

21 Imam Sudiyat20 dalam bukunya Hukum Adat menyatakan bahwa Perkawinan menurut Hukum Adat biasa merupakan kerabat, keluarga, persekutuan dan biasa merupakan urusan pribadi, bergantung pada susunan masyarakat.

Menurut Hazairin21, perkawinan merupakan ketentuan perbuatan- perbuatan magis yang bertugas untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan.

A. Van Gennep22 mengemukakan bahwa perkawinan adalah suatu rites de passage (upacara peralihan) yaitu peralihan status kedua mempelai.

Peralihan terdiri dari 3 tahap, yaitu :

a. Rites de Saparation, yaitu upacara perpisahan dari status semula b. Rites de Marga, yaitu upacara perjalanan ke status yang baru

c. Rites D’agreegation, yaitu upacara penerimaan dalam status yang baru.

Perkawinan dalam arti “Perikatan Adat” ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan “Rasa Senak” (hubungan anak-anak, bujang gadis) dan “Rasa Tuhan” (hubungan

20 Iman Sudiyat, 1978, Asas-Asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, Liberti, Yogyakarta, hlm.17

21 http://www.lutfichakim.com/2012/01/perkawinan-menurut-hukum-adat.html diakses pada tanggal 17 Mei 2017, Pukul 15.00

22 Loc.cit

(35)

22 orang tua keluarga dari pada calon suami istri). Setelah terjadinya ikatan perkawinan, maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua termasuk anggota keluarga, kerabat menurut hukum adat setempat yaitu dengan pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terlibat dalam perkawinan.

Sejauh mana ikatan perkawinan itu membawa akibat hukum “Perikatan Adat” seperti tentang kedudukan suami atau kedudukan isteri, begitu pula tentang kedudukan anak dan pengangkatan anak, kedudukan anak tertua, anak penerus keturunan, anak adat, anak asuh dan lain-lain; dan harta perkawinan tergantung pada bentuk dan sistem perkawinan adat setempat.23

2. Bentuk-Bentuk Perkawinan Menurut Hukum Adat

Dilihat dari bekerjanya hukum adat yaitu berdasarkan bentuk masyarakat hukum adat/persekutuan hukum adat (rechtsgemeenschaap), maka menurut Van Vollenhaven24. Untuk mengerti hukum adat, yang pertama yang harus dilakukan adalah menyelidiki pada waktu apa pun dan di daerah mana pun, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, di mana orang-orang yang dikuasai hukum itu sehari-hari. Lebih lanjut dikatakan masyarakat hukum adat berfungsi sebagai denah atau bingkai di mana hukum adat itu hidup, tumbuh, bekerja, berkembang, dan mati. Berdasarkan susunan masyarakat hukum,

23 Ibid.

24 Djamanat Samosir, Op.cit, hlm. 281

(36)

23 bentuk perkawinan adat dapat dibedakan, yaitu bentuk perkawinan adat masyarakat patrilineal, matrilineal, dan parental/bilateral.

a. Bentuk Perkawinan Masyarakat Hukum Patrilineal

Menurut kekerabatan masyarakat patrilineal, bentuk perkawinannya adalah perkawinan jujur. Perkawinan jujur adalah perkawinan dengan pemberian/pembayaran perkawinan (jujur, belis) oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Maksud dari pembayaran/ pemberian jujur atau belis oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan adalah sebagai pertanda atau lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si istri dengan orang tuanya, saudara-saudaranya, dan bahkan masyarakatnya.25

Tujuannya adalah untuk memindahkan keanggotaan kerabat wanita, si wanita dilepas dari kelompok kerabatnya dan masuk ke dalam lingkungan kerabat suaminya, dan juga anak-anak yang akan dilahirkan dari perkawinan itu akan menarik garis keturunan dari pihak bapaknya, menjadi anggota dari masyarakat hukum dari bapaknya. Karena itu dapat dikatakan bahwa pemberian jujur dapat berfungsi:

a. Secara yuridis, pemberian jujur adalah untuk mengubah status keanggotaan calon pengantin wanita;

b. Secara ekonomi, membawa pergeseran dalam harta kekayaan;

dan

25 Loc.cit

(37)

24 c. Secara sosial, penyerahan jujur mempunyai arti pihak si wanita

mempunyai kedudukan yang dihormati.26

Perkawinan jujur terdapat pada masyarakat hukum yang mempertahankan garis keturunan kebapakan (patrilineal), misalnya: Gayo, Batak, Nias, Lampung, Bali, Timor, dan Maluku. Pada masyarakat Tapanuli (Batak) pembayaran jujur disebut dengan istilah boli, tuho, parunjuk, pangoli, sinamot; di Nias: beuli aiha; Gayo: unjuk; Lampung: seroh; Timor: belis;

Maluku: beli atau wilin; dan Bali: patunkunluh.27

Perkawinan jujur mengandung ketentuan pokok sebagai berikut.

a. Perkawinan dilakukan dengan seorang dari luar marganya (dan).

b. Perkawinan bersifat asimetris.

c. Istri dilepaskan dari lingkungan familinya/keluarga/marga sendiri.

d. Kepada istri dan familinya/keluarga diberikan sejumlah uang dan barang (jujur).

e. Istri dimasukkan dalam lingkungan kerabat suaminya.

f. Istri mengikuti dan menetap dalam lingkungan kerabat suaminya.

g. Hak dan kekuasaan suami dalam keluarga dan derajat sosial lebih tinggi dari istri.

h. Anak-anak masuk kerabat suami.

i. Suami menguasai harta kekayaan, tidak ada harta bersama.28

26 Loc.cit

27 Loc.cit

28 Ahmad Sanusi, 1984, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Tarsito, Bandung, hlm.

143

(38)

25 Pada masyarakat adat terutama ada norma hukum yang menentukan dilarang kawin dengan orang yang semarga atau bermarga yang sama, yang disebut eksogami marga. Dengan perkawinan, istri berada dibawah kekuasan kerabat suami, artinya hidup matinya istri menjadi tanggung jawab kerabat suami, berkedudukan hukum dan menetap (tinggal) di pihak kerabat suami, anak-anak keturunannya melanjutkan keturunan suaminya, harta kekayaan yang dibawa istri dalam perkawinan semuanya dikuasai oleh suaminya.

Pemberian/pembayaran jujur dimaksudkan untuk melepaskan istri dari lingkungan kerabatnya pindah ke lingkungan kerabat suaminya. Maka dengan berpindahnya istri ke kerabat suaminya, maka pada kerabat istri terjadi kevakuman magis. Karena itu kevakuman itu dapat diperbaiki dengan menyerahkan pembayaran jujur sebagai pengganti atau pengisi kevakuman itu. Pemberian jujur dapat diartikan pada hakekatnya adalah suatu pemberian ke dalam suasana religius-magis guna memelihara tetapnya keseimbangan hubungan kedua belah pihak. Jadi bukan pembayaran sebagai harga pembelian si istri, itu adalah pendapat yang keliru.

Pembayaran/pemberian jujur biasanya dilakukan menjelang perkawinan secara tunai (kontan). Tetapi ada kemungkinan terjadi jujur (mas kawin) dibayar di kemudian hari.

(39)

26 Berdasarkan kemungkinan tersebut, Djamanat Samosir29 menyatakan bahwa perkawinan jujur dapat dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut:

a. Perkawinan Mengabdi

Dalam bentuk perkawinan ini pembayaran jujurnya ditunda. Si suami hidup bersama istrinya dan bekerja pada mertuanya sampai jujurnya lunas. Sebelum jujur belum dibayar lunas, anak- anak mereka di bawah kekuasaan mertuanya dan masuk ke suku/marga suaminya.

b. Perkawinan Meneruskan

Perkawinan meneruskan adalah perkawinan seseorang dengan saudara perempuan yang sudah meninggal. Dalam perkawinan ini tidak perlu dibayar jujur, karena istri kedua seakan-akan menduduki tempat istri yang pertama. Bentuk perkawinan ini Batak dikenal: mangabia, Jawa: karang wulu, dan Pasemah:

tungkot.

c. Perkawinan Mengganti

Perkawinan pengganti adalah perkawinan seorang janda yang telah ditinggal suaminya dengan saudara laki-laki suaminya sebagai pengganti. Biasanya tidak ada pemberian jujur.

d. Perkawinan Mengambil Anak

29 Djamanat Samosir, Op.cit, hlm. 283-284

(40)

27 Artinya seorang anak laki-laki diambil untuk suami dari seorang gadis, gadis tersebut adalah berhukum patrilineal. Adapun maksud perkawinan mengambil anak adalah supaya menantu laki-laki itu menjadi anaknya sendiri dan anak yang dilahirkan menjadi keturunan dari klan istrinya (mertua).

b. Bentuk Perkawinan Masyarakat Hukum Matrilineal

Bentuk perkawinan pada masyarakat matrilineal dinamakan perkawinan semendo, adalah bentuk perkawinan yang bertujuan mempertahankan garis keturunan pihak ibu. Semendo berarti laki-laki dari luar.

Pada bentuk perkawinan semendo, calon mempelai pria dan kerabatnya tidak memberikan jujur kepada pihak laki-laki. Sejak perkawinan suami dan istri tetap dalam keluarga kerabat masing-masing. Tetapi anak keturunannya masuk keluarga istrinya/kerabat istrinya dan si bapak tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.

Ketentuan-ketentuan pokok pada perkawinan semendo adalah sebagai berikut.

a. Istri tidak lepas dari familinya sendiri dan suami pun juga tidak lepas dari kerabatnya (familinya). Suami diterima sebagai urang semendo;

b. Istri tetap pada lingkungan familinya sendiri; suami tidak harus menetap mengikuti istrinya;

(41)

28 c. Hak dan kekuasaan istri dalam keluarga dan kedudukan sosialnya

lebih tinggi dari suaminya. Suami bukan kepala keluarga;

d. Anak-anak masuk kerabat istri (ibunya); dan

e. Istri menguasai harta kekayaan, tidak ada harta bersama.30

Adapun bentuk-bentuk variasi kawin semen semendo, dikemukakan Ahmad Sanusi31 adalah sebagai berikut:

a. Semenda rajo-rajo yaitu, Suami istri berkedudukan sama (seimbang) baik di pihak istri maupun di pihak suami;

b. Semenda bebas, yaitu suami menetap pada kerabat orang tuanya, ia hanya urang semendo;

c. Semenda menetap, artinya suami mengikuti tempat kediaman istri;

d. Semenda nunggu, artinya suami istri berkediaman di tempat kerabat istri selama menunggu adik istri sampai dapat mandiri;

e. Semenda nangkit, artinya suami mengambil istri untuk dijadikan penerus keturunan pihak suami karena ibunya tidak mempunyai anak perempuan;

f. Semenda anak gadang, artinya suami tidak menetap di tempat istrinya melainkan datang sewaktu-waktu lalu kemudian pergi (sementara);

g. Semenda bertandang, artinya suami tidak bertempat tinggal yang sama;

h. Semenda ambil anak, artinya mengambil anak laki-laki sebagai menantu untuk menjadi ahli waris mertuanya;

i. Semenda beradat, artinya pihak pria membayar uang adat kepada kerabat wanita menurut martabat adatnya; dan

j. Semenda tidak beradat, artinya pihak pria tidak membayar adat karena semua biaya perkawinan ditanggung pihak wanita.

c. Bentuk Perkawinan Masyarakat Hukum Bilateral

Berlainan dengan kedua bentuk perkawinan pada patrilineal dan matrilineal, dalam masyarakat hukum bilateral (parental) bentuk perkawinan

30 Djamanat Samosir, Loc.cit,

31 Ahmad Sanusi, Op.cit, hlm. 143.

(42)

29 ialah perkawinan bebas/mentas/mandiri. Setelah perkawinan suami dan istri memisahkan diri dari kekuasaan orang tua dan kerabat masing-masing untuk membangun keluarga/rumah tangga sendiri. Akibat hukum dari bentuk perkawinan ini adalah suami dan istri masing-masing mempunyai dua kekeluargaan, yaitu kerabat suami di satu pihak dan kerabat istri di pihak lain.32

Bentuk perkawinan bebas pada masyarakat parental terkandung ketentuan, sebagai berikut.

a. Tempat tinggal suami-istri bebas, tidak terikat dalam lingkungan famili atau suami;

b. Suami-istri bersama-sama mengemudikan keluarga;

c. Anak-anak masuk kepada keturunan kedua suami-istri (orang tua); dan

d. Ada harta kekayaan bersama.33

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menghendaki bentuk perkawinan dalam masyarakat parental, dimana kedudukan dan hak suami istri berimbang atau sama, suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu keluarga/rumah tangga.

Di lingkungan masyarakat parental/bilateral terdapat variasi dari perkawinan bebas, (Djamanat Samosir, 2013:286) sebagai berikut:

32 Soerojo Wignjodipoero, 1983, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, hlm.

130

33 Achmad Sanusi, Op.cit, hlm. 144.

(43)

30 a. Perkawinan karang wulu (Jawa), tungkat (Pasemah), yaitu perkawinan seorang duda dengan seorang perempuan adik dari almarhum istrinya. Tetapi itu bukan keharusan sebagaimana pada masyarakat matrilineal dan patrilineal.

b. Perkawinan manggih kaya atau perkawinan nyalindung kagelung.

Perkawinan manggih kaya artinya perkawinan antara seorang pria kaya dengan perempuan miskin. Perkawinan nyalindung kagelung, artinya perkawinan yang terjadi antara perempuan yang kaya dengan pria miskin.

c. Perkawinan gantung atau kawin ngarah gawe (Jawa Barat), adalah suatu perkawinan antara seorang perempuan di bawah umur (belum dewasa) dengan seorang pria belum dewasa.

Sebelum cukup umur (belum dewasa) mereka belum dapat bercampur dan tenaga menantu laki-laki bagi mertuanya merupakan bantuan tenaga gratis.34

3. Tata Cara Perkawinan Adat

Menurut hukum adat pada umumnya, perkawinan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu perkawinan dengan meminang dan perkawinan dengan tidak meminang.

a. Perkawinan Meminang

Perkawinan meminang biasanya dimulai dari pertemuan perkenalan muda- mudi. Pertemuan perkenalan itu ke kasih cinta dengan pemberian tanda mau.

Dengan adanya pergaulan yang lebih akrab, dilanjutkan dengan pelamaran dari orang tua si pemuda kepada orang tua si pemudi. Apabila lamaran diterima, dapat dilanjutkan dengan bertunangan. Pertunangan adalah hubungan hukum yang dilakukan antara orang tua pihak pria dengan

34 Djamanat Samosir, Op.cit, hlm. 286

(44)

31 orang tua pihak perempuan untuk mengikat tali perkawinan anak-anak mereka dengan jalan peminangan.

Peminangan baru mengikat sejak diterimanya tanda pertunangan atau tanda pengikat, yang dapat berbentuk uang, barang, perhiasan, dan lain-lain. Tanda pengikat itu berfungsi sebagai panjer atau paningset (Jawa), payangsang (Sunda), tanda kongnarit (Aceh), cengcengan (Banyuwagi).

Tanda pengikat itu menjadi milik kerabat si pemudi, tetapi kadang-kadang setelah perkawinan tanda pengikat itu dikembalikan.35

Di samping berfungsi sebagai tanda pengikat, tanda pertunangan kadang-kadang dipakai sebagai tanda larangan, misalnya di Toraja dengan adanya pujumpo, yaitu alat pencegah agar orang lain jangan mengawini pemudi tersebut, di Bali disebut bose panglarang.

Djamanat Samosir36 menjelaskan bahwa latar belakang pertunangan tidak sama di tiap daerah, lazimnya sebagai berikut.

1. Keinginan atas kepastian/jaminan perkawinan yang dikehendaki akan dilangsungkan dalam waktu yang jauh lagi (waktu dekat).

2. Khususnya di daerah-daerah yang pergaulan sangat bebas, sekedar untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak yang telah diikat oleh pertunangan.

3. Memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal, sehingga menjadi pasangan yang harmonis.

Adanya pertunangan memberikan akibat hukum, secara langsung bahwa kedua belah pihak terikat untuk melakukan perkawinan, tidak dengan

35 Djamanat Samosir, Loc.cit.

36 Djamanat Samosir, Ibid, hlm. 290

(45)

32 paksaan, dan timbulnya sikap pergaulan ataupun hubungan khusus antara calon mertua dan calon menantu dan antara besan. Sebaliknya, setelah ada pertunangan hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuannya.

Namun, demikian meskipun sudah bertunangan masih dimungkinkan dilakukan pembatalan, sebagai berikut:

a. Kalau pembatalan itu dikehendaki kedua belah pihak yang baru timbul setelah pertunangan berjalan beberapa waktu lamanya.

b. Kalau salah satu pihak tidak menepati janji atau ingkar janji; Kalau yang menerima tanda itu ingkar janji maka tanda itu harus dikembalikan sejumlah atau berlipat dari yang diterima. Kalau pihak laki-laki yang memutuskan, maka tanda tersebut tidak perlu dikembalikan. Jikalau pembatalan itu merupakan kehendak kedua belah pihak tanda pertunangan lazimnya saling mengembalikan.37 Cara pelamaran di berbagai daerah tidak sama, namun pelamaran biasanya dilakukan oleh keluarga pihak laki-laki. Biasanya cara melamarnya dilakukan terlebih dahulu pihak yang melamar mengirim utusan atau perantara. Setelah penjajakan, barulah dilakukan pelamaran secara resmi oleh keluarga pihak laki-laki dengan membawa tanda pengikat.

Kemudian, melalui juru bicaranya masing-masing kedua belah pihak mencapai kesepakatan tentang hal-hal, sebagai berikut.

1. Besarnya uang jujur atau mas kawin.

37 Soerojo Wigjodipoero, Op.cit, hlm. 126

(46)

33 2. Besarnya uang permintaan (biaya perkawinan dan lain-

lain) dari pihak wanita.

3. Bentuk perkawinan dan kedudukan suami-istri setelah perkawinan.

4. Perjanjian-perjanjian perkawinan, selain taklik talak. Acara dan upacara perkawinan.

5. Waktu dan tempat upacara, dan lain-lain.38 b. Perkawinan Tidak Meminang

Setelah peminangan atau pelamaran, terdapat cara-cara perkawinan lain, yaitu kawin lari. Kawin lari sudah merupakan cara yang umum di lingkungan masyarakat hukum adat patrilineal dan matrilineal. Perkawinan ini dilakukan untuk menghindari berbagai kewajiban yang menyertai perkawinan dengan lamaran dan pertunangan, seperti memberi paningset (hadiah) atau terutama menghindari diri dari rintangan yang datang dari pihak orang tua dan sanak saudara pihak perempuan.39

Kawin lari dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu kawin lari bersama dan bawa lari. Kawin lari bersama adalah tindakan kawin lari untuk melaksanakan perkawinan yang disetujui si gadis, di Batak: mangalua, Sumatra Selatan:

belarian, Lampung: sebambungan/metudau/ nakat/cakatlakel, Bali:

ngerorod/mangkat, Bugis: silariang, Ambon: lari bini. Di Lampung kawin lari

38 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 194

39 Djamanat Samosir, Op.cit, hlm. 291

(47)

34 bersama biasanya dilakukan setidak-tidaknya si perempuan meninggalkan rumahnya dengan "tanda kepergiannya" berupa surat atau sejumlah uang.40

Maksud tanda kepergian ini bahwa laki-laki yang melarikan anak gadisnya itu mempunyai itikad baik. Sehingga keluarga si perempuan tidak gelisah, mencari-cari, dan sebagainya. Kemudian, pihak laki-laki akan mengirim utusan untuk menyampaikan permintaan maaf dan sekaligus permohonan penyelesaian yang baik kepada pihak si perempuan.

Kawin bawa lari adalah perbuatan melarikan gadis dengan akal tipu atau dengan paksaan/membawa lari gadis. Biasanya laki-laki yang melarikan harus membayar denda kepada orang-orang yang tersinggung.

E. Perkawinan Dalam Hukum Adat Toraja

Perkawinan yang dinamakan Rampanan Kapa’ di Tana Toraja suatu masalah adat yang paling dimuliakan dan dihormati di Tana Toraja, karena dianggap sebagai pangkal dari terbentuknya atau tersusunnya adat dan kebudayaan manusia seperti pada suku-suku bangsa lain di indonesia.

“Perkawinan masyarakat toraja dikenal adanya tingkatan kasta yang dinamakan Tana’. Kata Tana’ (Kasta) di Tana Toraja sangat mempengaruhi pertumbuhan masyarakat dan adat kebudayaan Tana Toraja.”

40 Djamanat, Samosir, Op,cit, hlm. 293

(48)

35 Menurut L.T. Tangdilintin, ada empat macam tingkatan Tana’ (Kasta) di Tana Toraja yaitu :

a. Tana‟ Bulaan (Bangsawan Tinggi) b. Tana‟ Bassi ( bangsawan menengah) c. Tana‟ Karurung (orang yang merdeka) d. Tana‟ Kua-Kua (hamba)

Perkawinan masyarakat Toraja dipengaruhi oleh strata sosial (Tana‟) masyarakatnya. Menurut kepercayaan dan wibawa masyarakat Toraja dalam suatu perkawinan harus mempunyai kasta yang sama atau lebih darinya. Sungguh menjadi suatu kebanggaan bagi seseorang yang berkasta rendah dalam hal ini Kaunan (hamba) apabila mendapat pasangan yang mempunyai kasta tinggi, yaitu seorang puang (bangsawan). Maka sebaliknya bagi kaum keturunan bangsawan yang kawin dengan kaum keturunan hamba akan dikucilkan dalam keluarga bahkan tidak dianggap lagi sebagai anggota keluarga. Namun ada pengecualian bagi laki-laki keturunan bangsawan yang menikah dengan hambanya ia tetap memperoleh haknya sebagai seorang bangsawan dan kedudukannya dalam keluarga tetap.

41

F. Pembagian Kasta (Tana’) Dalam Hukum Adat Tana Toraja

41 L.T. Tangdilintin, 1974, Sejarah Kebudayaan Toraja, Yayasan Lepongan Bulan, Toraja, Hlm.164

(49)

36 Masyarakat Toraja sejak dari dahulu mengenal beberapa tingkatan masyarakat yang dinamakan Kasta (Tana’), seperti halnya pada suku-suku bangsa lain di Indonesia yang sangat mempengaruhi pertumbuhan masyarakat dan kebudayaan Toraja karena sehubungan dengan lahirnya sendi-sendi kehidupan dan aturan Aluk Todolo, dan Tana’ tersebut dikenal dalam 4 (empat) susunan atau tingkatan masing-masing :

1. Tana’ Bulaan, adalah lapisan masyarakat atas atau bangsawan tinggi sebagai pewaris sekurang aluk, yaitu dipercayakan untuk membuat aturan hidup dan memimpin agama, dengan jabatan puang, maqdika, dan sokkong bayu (siambeq)

2. Tana’ Bassi, adalah lapisan bangsawan menengah sebagai pewaris yang dapat menerima maluangan batang (pembantu pemerintah adat) yang di tugaskan mengatur masalah kepemimpinan dan pendidikan.

3. Tana’ Karurung, adalah lapisan masyarakat kebanyakan yang merdeka, tidak pernah diperintah langsung.

Golongan ini sebagai pewaris yang menerima Pande, yakni keterampilan pertukangan, dan menjadi Pembina aluk todolo untuk urusan aluk petuon, aluk tanaman Toindoq padang (pemimpin upacaea pemujaan kesuburan)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan maka perlu dilakukan perancangan ulang tata letak fasilitas produksi menggunakan metode SLP dengan bantuan

Manfaat yang akan diberikan melalui penelitian ini adalah (1) Bagi perusahaan, diharapkan dapat memberikan manfaat kepada perusahaan sebagai acuan untuk mempertahankan posisinya di

Dalam dimensi globalisasi di bidang ekonomi, terdapat dua jenis sistem kelembagaan yang menghambat pertumbuhan berbasis inovasi dengan membuat penghalang insentif..

“kendala sepertinya tidak ada mas, hanya saja kadang ketika nasabah punya sampah yang banyak lebih memilih menjual ke tukang rosok dari pada ke bank sampah jati asri,

Mereka memiliki kemampuan menerima informasi kebersihan gigi dan mulut yang sama dengan anak normal namun terhambat dalam pemahaman dan pengembangan konsep karena mereka tidak

Kerentanan merupakan upaya mengidentifikasi dampak akibat dari bencana seperti jatuhnya korban jiwa, kerugian ekonomi, kerusakan sarana prasarana, analisis kerentanan

Dalam konsep membangun rumah tangga, pertimbangan tentang unsur kafaah atau keseimbangan antara calon suami dan istri merupakan hal yang harus diperhatikan. Seorang yang

ruang sisi datar yang dibuat adalah desain didaktis yang mempertimbangkan level.. berpikir geometri dari level 0 sampai