• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Stres Pengasuhan 2.1.1 Definisi Stres Pengasuhan

Menurut Deater-Deckard (2009) bahwa stress pengasuhan sebagai serangkaian proses yang membawa pada kondisi psikologis yang tidak disukai dan reaksi psikologis orang tua. Stress pengasuhan dapat dipahami sebagai stress atau situasi penuh tekanan yang terjadi pada pelaksanaan tugas perkembangan anak. Menurut TeoriPerent-Child-Relationship (P-C-R), stres pengasuhan bersumber dari tiga komponen, dari ketiga komponen tersebut mengarah keranah orang tua yaitu, P= segala aspek stress pengasuhan yang muncul dari pihak orang tua, C= segala aspek stress pengasuhan yang muncul dari perilaku anak, R= segala stress pengasuhan yang bersumber dari hubungan orang tua-anak (Lestari, 2013).

Stress pengasuhan digambarkan sebagai kecemasan dan ketegangan yang melampaui batas dan secara khusus berhubungan dengan peran orang tua dan interaksi orang tua dengan anak (Ahern, 2014; Mawaddah, dkk, 2012). Model stress pengasuhan juga memberikan perumpamaan bahwa stress mendorong kearah tidak berfungsinya pengasuhan orang tua terhadap anak, pada pokoknya menjelaskan ketidaksesuain respon orang tua dalam menanggapi konflik dengan anak-anak mereka. Patterson, DeBarushe&

Ramsey mendefinisikan stress pengasuhan sebagai stress yang memberikan peranan dalam gangguan praktek pengasuhan dan tidak berfungsinya

(2)

manajemen keluarga. Stres pengasuhan merupakan stress yang dialami oleh orang tua dalam proses pengasuhan yang melibatkan serangkaian cara mengatasi perilaku dan berkomunikasi dengan anak( sosialisasi, pengajaran ), perawatan atau pengasuhan ( mengasuh, melindungi ) mencari penyembuhan bagi anak, serta pengaruh stress tersebut terhadap kehidupan pribadi dan keluarga ( Dabrowska, 2010 ).

Model stres pengasuhan Abidin (Ahern, 2004) memberikan perumpamaanbahwa stres mendorong kearah tidak berfungsinya pengasuhan orangtuaterhadap anak, pada pokoknya menjelaskan ketidaksesuaian respon orangtuadalam menanggapi konflik dengan anak- anak mereka. Model ini tentangpengasuhan orang tua yang dicerminkan dalam aspek-aspeknya meliputi:

1. The Parent Distress

Menunjukkan pengalaman perasaan stres orangtua sebagai sebuah fungsidari faktor pribadi dalam memecahkan personal stres lain yang secara

langsung dihubungkan dengan peran orangtua dalam pengasuhan anak.

Tingkat stres ini berhubungan dengan karakteristik individu yang mengalami gangguan. Indikatornya meliputi Feelings of competence, Sosial isolation, Restriction imposed by parent role, Relationships with spouse, Health of parent, Parent depression.

2. The Difficult Child

Menghadirkan perilaku anak yang sering telibat dalam mempermudah pengasuhan atau malah lebih mempersulit karena orangtua merasa anaknya memiliki banyak karakteristik tingkah laku mengganggu.

(3)

Indikatornya meliputi Child adaptability, Child demands, Child mood, Distractability.

3. The Parent-Child Dysfunctional Interaction

Stres disini menunjukkan interaksi antara orangtua dan anak yang tidak berfungsi dengan baik yang berfokus pada tingkat penguatan dari anak terhadap orangtua serta tingkat harapan orangtua terhadap anak.

Indikatornya meliputi Child reinforced parent, Acceptability of child to parent, Attachment.

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stress Pengasuhan

Faktor – faktor yang mempengaruhi stres pengasuhan Martin dan Colbert (1997) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi stres pengasuhan, diantaranya :

1. Karakteristik orang tua a. Kepribadian

Ketika menjadi orang tua, mereka akan membawa sifat – sifat pribadi dan melakukan pengasuhan sesuai dengan kepribadian mereka.

b. Developmental history

Transmisi antar generasi gaya pengasuhan dapat terjadi baik sebagaiakibat dari belajar langsung, atau karena hubungan awal orang tua mempengaruhi perkembangan social dan emosional orang tua.Umumnya orang tua akan mendidik anaknya seperti cara merekadidik saat kecil.

(4)

c. Belief

Orang tua membawa ide – ide mereka tentang bagaimana anak berkembang, dan belajar dalam proses pengasuhan.

Pengembangan ini mungkin termasuk jadwal, ide tentang kepentingan relative darifaktor keturunan, dan lungkungan, harapan tentang hubungan orangtua – anak, serta pemikiran tentang apakah mereka merupakan orangtua yang baik atau buruk. Kepercayaan ini akan mempengaruhi nilai-nilai orang tua dan perilaku dalam pengasuhan.

d. Pengetahuan

Orang tua memperoleh pengetahuan dari buku, orang dewasa lainnya, majalah, dan sumber lainnya. Dari beberapa penelitian, menunjukkan bahwa orang dewasa dengan pengalaman merawatanak mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi, dan lebih baikdalam pemecahan masalah yang terjadi dalam hubungan orang tua –anak.

2. Karakteristik anak a. Temperamen

Seorang anak yang pendiam dan penurut serta mudah beradaptasi akan mendapat pengasuhan yang berbeda dari anak yang rewel dankaku.

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin akan mempengaruhi proses menjadi orang tua, karena orang tua dan masyarakat memilki harapan yang berbeda untuk anak laki – laki dan perempuan.

(5)

c. Kemampuan

Kemampuan anak dapat membuat perbedaan dalam bagaimanaorang tua berinteraksi dengan anak – anak. Hal ini terkait dengan kemampuan kognitif, motorik halus dan motorik kasar, emosi, serta kemampuan anak dalam bersosialisasi.

d. Usia

Usia anak merupakan faktor yang penting untuk dipertimbangkan dalam proses pengasuhan karena mempengaruhi tugas membesarkan anak dan harapan orang tua.

Perkembangan fisik, intelektual, dan social anaknya menentukan tingkat kemandirian dan kemampuan untuk berkomunikasi dan sejauh mana anak dipengaruhi oleh orang – orang disektitarnya.

2.1.3 Dampak Negatif

Parenting stress diasosiasikan dengan berbagai dampak negatif, di antaranya mengakibatkanparental depression(Hastings et al., 2006), parenting yang kurang efektif dan meningkatnya masalah perilaku anak (Baker, et al., 2003;Walker, 2000). Orang tua yang mengalami tingkat stres yang tinggi akan lebih mungkin memiliki persepsi yang lebih negatif dari sumber stres mereka, dan tanggapan mereka terhadap hal tersebut (Bigras, LaFreniere, & Dumas, 1996 dalam Montgomery & Whiddon, 2010). Saat mengalami stres, orangtua dapat menjadi kurang efektif dalam menerapkan praktik parenting yangsesuai dengan pengetahuan mereka (Witt, 2005). Hal ini sejalan dengan penelitian Crnic dan Low (2002) yang menunjukkan

(6)

tingginya level parenting stress diasosiasikan dengan praktik parenting yang negatif serta pengawasan dan kontrol yang tidak memadai.

Distres dalam peran orangtua juga memiliki efek jangka pendek dan panjang yang dapat mempangaruhi orangtua maupun anak-anak (Crnic, Pandangan, & Hoffman, 2005 dalam Montgomery & Whiddon, 2010). Ibu dengan tingkat stres yang tinggi menilai peran pengasuhan (caregiving) mereka negatif, memandang tugas pengasuhan lebih sulit dan kompleks, mengalami lebih banyak kesulitan dalam menghadapi perilaku anak selama pengasuhan dan tingginya level masalah perilaku pada anak. Anak-anak dari orangtua yang mengalami stres dalam poses parenting akan menderita secara sosial, emosional, perilaku, dan perkembangan karena stres secara negatif memengaruhi persepsi orangtua terhadap perilaku anak-anak mereka (Plant

& Sanders, 2007).

2.1.4 Relasi orang tua-anak

Peran menjadi Orang tua merupakan salah satu tahapan-tahapan yang dijalani oleh pasangan yang memiliki anak. Menurut John & Belsky (2009)bahwa kajian psikologis keluarga juga memperlihatkan jika perempuan menjalani transisi yang lebih sulit dari pada laki-laki, dalam masalah ini, mengurus anak dan dukungan ekonomi untuk anak keluarga sangat di perlukan dalam proses perkembangan dan pertumbuhan pada anak.

Pada psikologi perkembangan, pandangan tentang relasi orang tua- anak pada umumnya merujuk pada teori kedekatan (attachment theory) yang pertama kali di cetuskan oleh john Bowlby. Bowlby mengidentifikasikan pengaruh perilaku pengasuhan sebagai factor kunci dalam hubungan orang

(7)

tua-anak yang dibangun sejak usia dini. Pada masa awal kehidupannya anak mengembangkan hubungan emosi yang mendalam dengan orang dewasa secara teratur dalam merawatnya. (Lestari, 2016)

2.1.5 Lingkungan Keluarga Kaitannya dengan Perilaku Anak

Lingkungan keluarga merupakan media pertama dan utama yang secara langsung atau tak langsung berpengaruh terhadap perilaku anak.

Menurut Dalyono (2009) menyebutkan bahwa yang mempengaruhi suskses perilaku anak dapat digolongkan menjadi dua faktor yaitu: (1) Faktor internal (yang berasal dari dalam diri anak) yaitu faktor fisik yang meliputi kesehatan, inteligensi, bakat, minat, motivasi, dan cara belajar, (2) Faktor eksternal yang berasal dari luar diri anak) yaitu meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.

Slameto (2003:60) menyatakan bahwa anak akan menerima pengaruh dari keluarga berupa cara orang tua mendidik anak, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga. Faktor-faktor tersebut apabila dapat menjalankan sesuai dengan fungsi dan peranannya masing-masing dengan baik, kemungkinan dapat menciptakan situasi dan kondisi yang dapat mendorong anak untuk lebih giat belajar. Pendapat Slameto (2003:61) sebagai berikut orang tua kurang memperhatikan pendidikan anaknya, mereka acuh tak acuh terhadap belajar anaknya,tidak memperhatikan sama sekali kepentingan-kepentingan dan kebutuhan- kebutuhan anak dalam belajar ,tidak mengatur waktu belajarnya,tidak menyediakan/melengkapi alat belajar,tidak perhatikan apakah anak belajar atau tidak,tidak mau tahu kemajuan belajar anaknya, kesulitan-kelsulitan

(8)

dalam belajar dan lain-lain, dapat menyebabkan anak tidak/kurang berhasil dalam belajarnya.

Menurut Slameto (2003:54) faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku anak dapat dibagi atas dua, yaitu faktor intern atau yang berasal dari dalam diri manusia dan faktor ekstern yang bersumber dari luar diri manusia. Faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri manusia dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni faktor biologis dan faktor psikologis.

Faktor biologis meliputi usia, kematangan, dan kesehatan, sedangkan yang dapat dikategorikan sebagai faktor psikologis adalah kelelahan, suasana hati, motivasi, minat, dan kebiasaan belajar. Faktor yang bersumber dari luar diri manusia dapat diklasifikasi menjadi dua, yakni faktor manusia (kelaurga, sekolah, masyarakat) dan faktor lingkungan fisik. Keluarga memegang peranan penting dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilaku anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Slameto (2003:60) anak akan menerima pengaruh dari keluarga berupa cara orang tua mendidik anak, relasi anatara anggota keluarga, suasana rumah tangga, dan ekonomi keluarga.

Berdasarkan uraian diatas jadi lingkungan keluarga mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam kehidupan anak-anak dan mempersiapkan anak-anak untuk mencapai masa depan yang baik bagi diri sendiri, lingkungan keluarga serta orang lain. Keluargalah yang mula-mula bertanggung jawab atas perilaku anak. Keluarga dapat dikatakan sebagai peletak dasar bagi pola tingkah laku serta perkembangan pribadi anak-anak serta keluarga juga berperan dalam membimbing mengawasi dan melindungi anak-anaknya juga berusaha untuk menemukan, menganalisis dan

(9)

memecahkan kesulitan yang dihadapi anak dalam hidupnya. Dalam penelitian ini dikaitkan dengan perilaku anak yang mengalami permasalahan atau gangguan makan.

2.1.6 Parenting Stress Index

Instrument yang digunakan untuk mengetahui tingkat stres pengasuhan adalah parenting stress index. Parenting Stress Index (PSI) merupakan alat ukur yang didesain untuk mengetahui level parenting stress yang dialami oleh orang tua yang mempunyai anak berusia satu bulan hingga duabelas tahun (Psychological Assesment Resources ; Healthy Family New York).

Abidin mengembangkan kuesioner yang mengukur stres pengasuhan dengan domain orang tua, domain anak dan domain interaksi orangtua-anak. Domain tersebut dikombinasikan agar menjadi alat ukur yang komprehensif, alat ukur multidimensional yang dapat menggambarkan stres pengasuhan (McKelvey, 2008). PSI telah divalidasi oleh beberapa penelitian yang mencakup berbagai jenis sampel, orang tua dengan level status ekonomi dan pendidikan yang beragam, serta pada orang tua yang mempunyai anak dengan level kemampuan yang berbeda (Ahern, 2004).

Ada dua versi PSI yang telah dikembangkan oleh yaitu PSI-full form dan PSI-short form. PSI full form terdiri dari 120 pertanyaan yang terdiri dari tigabelas subskala. Abidin kemudian mengembangkan PSI menjadi PSI shortform yang terdiri dari 18 pertanyaan dengan tiga subskala, yaitu domain orangtua, domain anak, serta domain hubungan disfungsional orang tua – anak dimana masing – masing subskala terdiri dari duabelas item pertanyaan (Abidin, 1992 dalam Ahern, 2004).

(10)

Domain tersebut adalah :

1. Parent Domain / Parental Distress

Menilai pengalaman orang tua yang dirasakan dalam perannya mengasuh anak. Parental Distressyaitu sense ofcompetence, depression,

a. Depresi, munculnya perasaan depresi pada orang tua.

b. Sense of competence, kurangnya pengetahuan tentang pertumbuhandan perkembangan anak, dan terbatasnya kemampuan orangtua untuk mengatur anaknya.

2. Child Domain / Difficult child

Menilai pengalaman orang tua yang memandang anaknya mempermudah atau mempersulit proses pengasuhan, karena merasa anaknya memiliki karakteristik yang tidak sesuai dengan harapan orang tua. Subskala dalam domain ini adalah adaptability, mampu atau tidaknya anak untuk beradaptasi denganperubahan linkungan baik ligkungan fisik maupun social.

3. Parent – Child Dysfunction Interaction

Menilai interaksi antara orang tua – anak yang tidak berfungsi dengan baik yang berfokus pada tingkat penguatan anak terhadap orang tua dan tingkat harapan orang tua terhadap anak. Subskala dalam domain ini antara lain attachment dan acceptability.

a. Attachment, perasaan kedekatan yang dirasakan orang tua kepadaanaknya

(11)

b. Acceptability, menunjukkan ketidaksesuaian antara karakteristik anakbaik secara fisik, intelektual, maupun emosional dengan harapan orangtua

2.1.7 Strategi Mengatasi Stres

Strategi untuk mengadapi stres dapat di bedakan menjadi 2 yaitu copyng yang memfokuskan pada problem atau emosi, dan strategi coping dengan cara mendekati atau menghindari stres pengasuhan. Strategi dengan memfokuskan pada emosi merupakan strategi koping dengan mengubah pengalaman emosi terhadap stres dan bukan mengubah sumber stres. Cara ini efektif bila dilakukan apabila individu merasa sumber stres berada di luar kendalinya dengan cara mengatur emosi melalui proses berfikir yang kita sadari dan mengontrol sumber stres. Strategi pemechan msalah ini merupakan strategi coping mendekati stres, yang dilakalakukan seseorang dengan merencanakan tindakan sebagai upaya untuk menghilangkan atau meminimalkan dampak dari stres. Misalkan pasangan bekerjasama melakukan pengasuhan untuk mengurangi frekuensi dari perilaku buruk pada anak dan meningkatkan perilaku prososial. Sebaliknya menghindari stres dilakukan dengan menyangkal stres secara kognitif.

Misalkan, orang tua melakukan katarsis atau pelepasan emosi supaya untuk mengurangi stres, perasaan marah, atau perasaan negatif lainnya (Lestari, 2013).

(12)

2.2 Perkembangan Anak Pra-sekolah 2.2.1 Perkembangan kognitif pra-sekolah

Teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa setiap organism hidup dilahirkan dengan dua kecenderungan fundamental, yaitu kecenderungan adaptasi dan organisasi (Monks et al, 2006).

Kecenderungan adaptasi mempunyai dua komponen, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi yaitu kecenderungan organisme untuk mengubah lingkungan guna menyesuaikan dengan dirinya sendiri. Akomodasi yaitu kecenderungan organisme untuk mengubah dirinya guna menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Kecenderungan organisasi, dapat digambarkan sebagai kecenderungan bawaan setiap organisme untuk mengitergrasi proses – proses sendiri menjadi system – system yang koheren ( Monks et al, 2006)

Pada usia anak prasekolah, memasuki stadium perkembangan praoperasional, yang dimulai dengan penguasaan bahasa yang sistematis, permainan simbolis, imitasi serta bayangan dalam mental (Monks et al, 2006). Berpikir pada tahap praoperasional masih sangat egosentris anak belum mampu ( secara persepsual, emosional-motivational, dan konsepsual) untuk mengambil perspekstif orang lain.

Cara berpikir pada tahap ini sangat memusat, bila ia dihadapkan pada situasi multidimensional, maka ia akan memusatkan perhatiannya hanya pada satu dimensi saja dan akhirnya mengabaikan dimensi lainnya (Monks, 2006). Anak prasekolah masih kurang mampu melakukan operasi, istilah piaget untuk tindakan yang terinternalisasi, yang memungkinkan

(13)

anak melakukan secara mental tindakan / hal yang sebelumnya hanya dapat dilakukan secara fisik. (Santrock, 2005).

2.2.2 Perkembangan emosi

Emosi yang umum pada awal masa kanak kanak (Hurlock, 2012)

a. Amarah

Penyebab amarah yang paling umum adalah pertengkaran mengenai permainan, dan tidak tercapainya suatu keinginan.

Anak mengungkapkan rasa marah dengan menangis, berteriak, menggertak, menendang, atau bahkan memukul.Amarah pada anak sering dikaitkan denga temper tantrum. Tantrum dideskripsikan sebagai perilaku marah, menangis, dan melukai fisik. Tantrum merupakan bagian dari perkembangan yang normal dan dialami oleh setiap anak, hanya saja untuk alasan yang berbeda dan pada usia yang berbeda. Umumnya tantrum dimulai saat anak memasuki masa toddler dan akan berakhir pada usia prasekolah.

b. Takut

Pembiasaan, peniruan dan ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan sangat berperan dalam menimbulkan rasa takut. Pada awalnya reaksi anak terhadap rasa takut adalah panic, lalu menjadi lebih khusus seperti menangis, dan bersembungi menghindari situasi yang menakutkan.

(14)

c. Cemburu

Anak mengalami rasa cemburu ketika ia berfikir bahwa perhatian orang tua beralih pada orang lain. Anak pada masa awal kanak – kanak dapat menunjukkan kecemburuannya dengan berpura – pura sakit, atau menjadi nakal. Perilaku – perilaku tersebut bertujuan untuk menarik perhatian.

d. Ingin tahu

Anak memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap hal – hal baru yang dilihatnya, mengenai tubuhnya sendiri dan tubuh orang lain. Reaksi pertama yang dilakukan adalah dengan bentuk penjelajahan sensorimotorik, lalu selanjutnya ia akan bereaksi dengan bertanya.

e. Iri hati

Anak seringkali iri mengenai kemampuan ataupun barang yang dimiliki orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan mengeluhkan barang miliknya sendiri ataupun ungkapan keinginan untuk memiliki barang orang lain.

f. Gembira

Anak – anak mengungkapkan kegembiraannya dengan tersenyum, tertawa, bertepuk tangan, melompat – lompat, atau memeluk benda atau orang lain yang membuatnya bahagia.

(15)

g. Sedih

Anak merasa sedih karena kehilangan sesuatu yang dianggap penting bagi dirinya. Anak mengungkapkan kesedihannya dengan menangis dan kehilangan minat terhadap kegiatan normalnya.

2.3 Pengertian Gangguan Makan Pada Anak 2.3.1 Definisi Gangguan Makan

Gangguan makan hadir ketika seseorang mengalami gangguan parah dalam tingkah laku makan, seperti mengurangi kadar makanan dengan ekstrem atau makan terlalu banyak yang ekstrem, atau perasaan menderita atau keprihatinan tentang berat atau bentuk tubuh yang ekstrem. Seseorang dengan gangguan makan mungkin berawal dari mengkonsumsi makanan yang lebih sedikit atau lebih banyak daripada biasa, tetapi pada tahap tertentu, keinginan untuk makan lebih sedikit atau lebih banyak terus menerus di luar keinginan (American Psychiatric Association (APA), 2005).

2.3.3 Gangguan Makan Sulit Makan Pada Anak

Pada usia 1-2 tahun, kemauan anak untuk mencoba makanan baru yang berbeda mulai menurun. Kondisi ini sering disebut phobia atau ketakutan untuk mencoba hal yang baru di usia awal anak. Meraka hanya menyukai makanan tertentu yang di suka, dia juga makan sedikit tidak seimbang dengan kebutuhan mereka, maka dari itu orang tua harus mempunyai strategi untuk mengatasi kebiasaan tersebut. Anak usia toddler ini mempunyai kebiasaan mengonsumsi snack atau makanan ringan siap saji dan mengandung bahan

(16)

pengawet yang berbahaya bagi pertumbuhan anak. Kebiasaan anak tersebut tidak mudah di kendalikan oleh orang tua, karena jika orang tua melarang kebiasaan tersebut, justru anak akan rewel dan tidak mau makan, akhirnya orang tua lebih mengkhawatirkan anaknya rewel dari pada memberikan variasi makanan untuk meningkatkan nafsu makan pada ananya. Orang tua juga tidak memperhatiakan dampak dari sering mengonsumsi makanan ringan atau snack (Rizki, et al, 2014).

2.4. Konsep Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder 2.4.1 Definisi Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder

Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder merupakan jenis gangguan makan yang berupa memilih makanan sampai menimbulkan kesulitan untuk mendapatkan nutrisi atau kalori yang di butuhkan oleh tubuh di jelaskan dalam DSM-5, terjadi pada anak-anak, remaja dan orang dewasa (Norris L, at el, 2016). Menurut National Eating Disorders Association (2013) Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder merupakan gangguan makan atau gangguan mod pada anak kedua paling umum yang terjadi pada anak usia dini sampai anak usia dini samapi remaja, pada gangguan ini akan terjadi gangguan kejiwaan dan kecemasan. Tetapi gangguan ini memiliki tingkat lebih tinggi mengarah ke kecemasan pada anak.

DSM-5 didefinidikan dari Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder merupakan gangguan makan terus-menerus yang dialami anak usia dini mengarah ke konsekuensi klinis, seperti kekurangan gizi yang signifikan, berat badan dan pertumbuhan menurun. Mengalami gangguan psikologi, seperti tidak mau makan di deket orang lain (Kenny L, 2013).

(17)

2.4.2 Gejala Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder

Gejala Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder menurutNational Eating Disorders Association (2013) sebagai berikut :

1. Kurangnya minat makan pada anak atau anoreksia

2. Ketakutan dalam hal makanan baru atau berfikir negatif tentang makanan baru, misalnya takut muntah, alergi, tersedak.

3. Mengalami penurunan berat badan, kegagalan memiliki pertumbuhan yang di harapkan.

4. Kekurangan gizi

5. Ketergantungan pada suplemen atau sonde 6. Gangguan fungsi psikososial pada anak

7. Ketidak teraturan dalam hal makan, kekurangan sumber daya yang tersedia.

2.4.3 Konsekuensi Kesehatan

Konsekuensi kesehatan menurut National Eating Disorders Association (2013) sebagai berikut:

1. Adanya peningkatan resiko kegagalan untuk berkembang pada anak karena kurangnya asupan nutrisi tidak adekuat. (Tidak masuk di standar pertumbuhan anak).

2. Pertumbuhan anak terhambat akibanya penurunan berat badan, dan pengaruh ke tinggi badan pada anak.

3. Penurunan kepadatan tulang pada anak 4. Penurunan perkembangan otak pada anak.

(18)

2.4.4 Karakteristik Anak Dengan Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder

Pasien dengan Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder ini 30 % terjadi pada laki-laki dan cenderung lebih mudah atau paling sering terjadi pada anak-anak usia dini. Penyakit ini berawal dari kebiasaan awal sering rewel dalam hal makan saat masih usia dini dan akan di bawa sampai remaja, pada dasarnya anak yang mengalami gangguan ini memiliki peraan yang minder atau tidak percaya diri (Fisher, et al, 2013). Tingkat prevalensi pada Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder ini juga berkisaran dari 25% sampai 35% pada anak dengan tingkat perkembangan intelektual dan adaktif yang normal, untuk 40% dan 60% anak-anak dengan cacat perkembangan (McCormick & Markowitz, pada tahun 2013; American Psychiatric Association, 2013).

Status gizi menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) dalam profil kesehatan tahun 2013 didapatkan dari riset kesehatan Dasar (Riskesdas) terdapat 19,6% anak dengan gizi buruk dan 13,9% gizi kurang). Pada tahun 2013 terdapat 12,1% anak wasting (Kurus) yang terdiri dari 6,8% anak kurus dan 5,3% sangat kurus. Secara nasional prevalensi kurus pada anak masih 12,1 % artinya masalah kurus atau kurang gizi di indonesia masih menjadi masalah yang sangat serius (Bellafilly, et al, 2016).

(19)

2.4.5 Tanda-Tanda Informasi Pada Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder

Tanda peringatan pada kasus Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorde menurut American Psychiatric Association(2013):

1. Membatasi atau mengurangi asupan nutrisi yang di sertai dengan sikosomatik

2. Kuangnya minat makan atau nafsu makan pada anak, dan biasanya anak rewel

3. Ketidakmauan atau keengganan makan di depan orang lain atau teman mereka sendiri

4. Selalu mengalami pilih-pilih makan yang belum berubah pada masa kanak- kananya

5. Mengalami keterbatasan dalam hal makan yang di alami anak.

2.4.6 Secara Klinis Dalam Hal Membatasi Makan Pada Anak

Presentasi ini akan di klarifikasi pada Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder (Kenny, 2013) antara lain :

1. Kurangnya asupan dari terbatasnya berbagai makanan yang dimakan atau asupan kalori yang dibatasi tidak menyebabkan/mempengaruhi penurunan berat badan atau gangguan pertumbuhan yang signifikan. Individu dengan masalah ini mungkin menghindari makanan berdasarkan qualities- sensorik tertentu seperti tekstur, warna, rasa, atau suhu. Contoh biasa seperti anak yang hanya suka makan makanan yang ia tidak harus dikunyah, dan yang memiliki masalah mengkonsumsi berbagai makanan yang cukup, kesulitan besar untuk mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan normal.

(20)

2. Mengurangi asupan makan karena gangguan emosional yang berhubungan dengan makan, tanpa memperhatikan bentuk tubuh atau berat badan. Ini timbul jika ada masalah yang signifikan dalam hubungan antara anak dan pengasuh sehingga makan menjadi penuh dengan kecemasan dan interaksi yang kurang menyenangkan terhadap anak, sehingga asupan makanan seringkali berulang dan seringkali terganggu.

3. Keengganan tentang asupan makanan berikut merupakan peristiwa buruk yang terkait dengan asupan makan. Seseorang yang secara signifikan membatasi asupan makan karena keengganan untuk menelan setelah mendapatkan pengalaman buruk seperti tersedak oleh makanan, tersedak atau muntah dapat didiagnosis dengan ARFID.

2.4.7 Keterbatasan Kriteria Dahulu Pada Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder

Menurut Kenny(2013), Kriteria diagnostik dari pemberian makan pada Anak Usia Dini memiliki keterbatasan yang jelas, yang ditangani dan dimodifikasi dalam definisi DSM-5 dari ARFID. Salah satu keterbatasan diagnosis yang lebih lama adalah penekanan pada penurunan berat badan atau kegagalan untuk menambah berat badan yang diperlukan dalam penentu klinis penyakit ini. Ada kemungkinan bahwa seorang anak mungkin memiliki gangguan makan adalah menghindari makanan, namun masih berhasil mendapatkan atau mempertahankan berat badan yang sehat (mungkin karena ketergantungan suatu pada suplemen gizi), sehingga dia tidak termasuk dari mendapatkan diagnosis gangguan makan.

(21)

Individu dengan gangguan makan yang dapat mengganggu fungsi psikososial mungkin memiliki klinis kondisi yang signifikan, manfaat dari identifikasi dan pengobatan tepat, namun fokus pada penurunan berat badan dalam definisi DSM-IV mungkin telah mempengaruhi seperti pasien menerima perhatian klinis. Keterbatasan lain dengan definisi DSM-IV gangguan makan dalam masa adalah kriteria yang onset harus terjadi sebelum usia 6 tahun, paling sering selama beberapa pertama tahun, berpotensi sebagai hasil dari interaksi negatif dengan pengasuh. Namun, hal ini jelas tidak selalu terjadi. Dokter melihat remaja yang lebih tua dan bahkan orang dewasa dengan gangguan dimakan yang berdampak baik gizi atau fungsi sosial dengan cara yang negatif. dan penting untuk mengevaluasi, mendiagnosa, dan mungkin memberikan treatment kepada orang-orang ini. (Kreipe & Palomaki, 2012 dalam Kenny, 2013).

Definisi gangguan makan pada bayi termasuk di kriteria gangguan yang tidak biasa karena beberapa kondisi medis umum lainnya. Namun, membedakan kondisi medis dari gangguan makan bisa sulit, karena itu adalah umum bagi seorang individu dengan gangguan menyusui memiliki masalah medis yang berdampingan. Diagnosis direvisi pada DSM-5 telah diperluas termasuk untuk penghindaran makanan klinis signifikan atau pembatasan makanan, dengan atau tanpa medis terkait kondisi. Jika gangguan makan itu sendiri menyebabkan perubahan yang signifikan dalam nutrisi,berat badan, atau fungsi sosial dalam individu, diagnosis ARFID harus diberikan.

(22)

2.4.8 Alasan untuk Perubahan Di DSM-5

Pada DSM-IV, gangguan pemberian makan pada Bayi atau Anak Usia Dini adalah diagnosis yang jarang diberikan dan jarang dipelajari. Bahkan, pencarian PubMed baru-baru ini menggunakan istilah diagnostik mengidentifikasikan ada di publikasi dalam 10 tahun terakhir. Untuk memenuhi kriteria untuk kondisi DSM-IV, seorang individu harus di bawah 6 tahun pada saat observasi penyakit, dan harus terus-menerus mengalami kegagalan untuk makan secara cukup, untuk mendapatkan atau mempertahankan berat badan yang sehat selama minimal 1 bulan, jika tidak ada masalah pencernaan lainnya atau gangguan mental bisa lebih baik, untuk gangguan makan diamati (Diagnostik dan Statistik Manual Gangguan Mental 4th, 2000, dalam Kenny L, 2013). Di DSM-IV, hubungan yang sulit antara orangtua-anak adalah ditekankan sebagai faktor potensial dalam perkembangan gangguan makan saat ini.

Orang tua yang memberi makanan atau menanggapi penolakan untuk makan tidak tepat dapat menyebabkan bayi merasa kegelisahan tentang makan. Selain itu, DSM-IV menunjukkan bahwa bayi dengan gangguan makan lebih mungkin untuk tidak terprediksi, mengganggu, dan perangsangan berlebih, ibu yang juga lebih cenderung memiliki penyakit mental seperti depresi atau gangguan makan dibandingkan dengan bayi tanpa gangguan makan. Untuk alasan ini, beberapa orang percaya gangguan makan dalam masa harus "relasional," dan harus fokus pada pengaruh faktor orangtua dan lingkungan seperti yang dituangkan dalam definisi dari DSM- IV(Bryant-Waugh et al., 2010 dalam Kenny, 2013). Sedikit yang diketahui

(23)

tentang utilitas klinis gangguan pemberian makan pada Bayi atau Anak Usia Dini dan itu bukan diagnosis umum, kriteria yang dievaluasi kembali untuk DSM-5. Keterbatasan Kriteria terdahulu, Kriteria diagnostik dari gangguan pemberian makan pada Anak Usia Dini.

2.4.9 Rangkaian Kemajuan Dan Publikasi klinik pada ARFID

Sementara beberapa data pada ARFID telah dipublikasikan, tampak bahwa biasanya disajikan pada masa anak-anak, tetapi bisa juga hadir atau bertahan sampai dewasa. Misalnya, keengganan untuk makana setelah peristiwa buruk seperti tersedak dapat terjadi pada semua usia, sementara menghindari karakteristik sensorik makanan biasanya dimulai pada anak usia dini. Ketika menyajikan makan pada anak, terkait mungkin termasuk cepat marah, mengantuk, dan kesusahan, dan orang tua mungkin memiliki waktu yang sulit dengan anak mereka dalam memberi makan (Zero, 2005 dalam Kenny, 2013). Pada anak yang lebih tua atau remaja, gangguan makan mungkin terkait dengan kesulitan emosional. Di masa lalu, presentasi serupa gangguan makan yang terkait dengan kesulitan emosional (seperti mood rendah atau kecemasan umum) yang disebut "gangguan emosional menghindari makanan," atau FAED (Higgs, Goodyer & Birch, 1989; Bryant- Waugh, 2010 dalam Kenny , 2013).

Perjalanan penyakit bagi individu yang mengembangkan ARFID adalah, pada saat ini, relatif tidak dikenal. Penghindaran karena karakteristik sensorik makanan mungkin kekal dan bertahan sampai dewasa. Sementara itu dibayangkan bahwa individu dengan ARFID dapat terus mengembangkan

(24)

gangguan makan lain seperti Anorexia Nervosa, tidak ada studi prospektif yang tersedia. Pada anak-anak dan orang dewasa, ARFID dapat berhubungan dengan fungsi sosial yang terganggu dan dapat mempengaruhi fungsi sebuah keluarga, terutama jika ada stres berat di sekitarnya saat waktu makan

2.5 Perbedaan Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder

2.5.1 Perbedaan Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder dan penyakit lainya

Menurut Kenny (2013) Kehadiran gangguan psikologis lainnya mungkin faktor risiko untuk ARFID, seperti gangguan kecemasan, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan perhatian defisit, dan spektrum gangguan autisme Jika seorang individu menyajikan dengan salah satu dari penyakit ini dan masalah makan, diagnosis ARFID harus diberikan hanya ketika gangguan menyusui itu sendiri yang menyebabkan gangguan klinis yang signifikan, yang memerlukan intervensi di luar biasanya itu diperlukan untuk kondisi lainnya.

Demikian pula, orang dengan riwayat kondisi gastrointestinal seperti gastroesophageal reflux mungkin mengembangkan masalah gangguan makan, tetapi diagnosis ARFID harus ditugaskan hanya ketika gangguan makan yang memerlukan pengobatan signifikan di luar itu diperlukan untuk masalah pencernaan.

(25)

2.5.2 Penyebab Avoidant/Restrective Food Itake Disorder

Menurut Zero (2005) penyebab Avoidant/Restrective Food Itake Disorder yaitu : a. Dia walidengan kebiasaan anak yang sejak dini sering rewel saat makan,

sulit makan, makan tidak teratur, malas makan dan terbiasa makan sambil nonton tv

b. Hilangnya nafsu makan

c. Keengganan anak untuk makan setelah terjadi peristiwa buruk seperti tersedak

d. Pilih-pilih makanan ( Picky eater ) e. Gangguan proses makan di mulut

f. Pengaruh psikologis pada anak yang menyebabkan kebiasaan sejak dini di bawa sampai remaja sehingga anak memiliki tubuh yang kurus

Sedangkan menurut Krlie,et al. dan Zickgraf, et al.(2016) penyebab Avoidant/Restrective Food ItakeDisorder yaitu :

a. Perilaku ibu dalam pemberian makan secara di paksa

b. Memarahin anak saat makan juga dapat membuat anak malas makan c. Pilih-pilih makanan (Picky Eater) dikaitkan dengan keadaan keluarga.

d. Masalah saat diberi makan

2.5.3 Dampak Avoidant/Restrictrive Food Intake Disorder.

Konsekuensi kesehatan menurut Natoinal Eating Disorder Association (2013) sebagai berikut :

a. Adanya peningkatan resiko kegagalan untuk berkembang pada anak karena kurangnya asupan nutrisi tidak adekuat.

(26)

b. Pertumbuhan anak terhambat akibatnya berat badan menurun, dan pengaruh ketinggi badan pada anak

c. Kekurangan gizi

d. Penurunankepada berat badan pada anak e. Penurunan perkembangan otak pada anak

2.5.4 Penanganan ARFID

Dalam buku nutrisi anak (2013). Seiring bertambahnya usia, sebagian besar anak akan mulai menyadari pentingnya variasi dan nutrisi menu makanan mereka sehari-hari. Sambil menanti saat tersebut tiba, selain bersabar, Anda bisa mencoba 10 cara berikut untuk mengatasi anak-anak yang suka pilih-pilih makanan.

1. Hargai keinginan anak untuk makan (atau tidak makan)

Jangan paksa anakuntuk makan kalau mereka tidak lapar. Ada orangtua yang suka memaksa anaknya untuk makan sesuatu atau mencuci piringnya sendiri. Hal ini cuma bisa menciptakan suasana tegang dan memicu adu mulut saat sedang makan di meja makan keluarga. Paksaan yang Anda lakukan terus menerus justru membuat anak mengaitkan kegiatan makan dengan kecemasan dan frustrasi.

Anak juga cenderung lebih mengabaikan rasa kenyang dan laparnya sendiri.Sajikan makanan dengan porsi kecil untuk menghindari anak kekenyangan. Berilah mereka kesempatan untuk menambah porsi mereka sendiri.

(27)

2. Taati jadwal makan rutin

Buatlah jadwal makan rutin yang teratur,misalnya sajikan makanan berat dan camilan di waktu yang sama setiap hari. Bila Anda membiarkan anak minum jus, susu, atau makan camilan sepanjang hari, ini bisa menurunkan nafsu makan saat waktu makan tiba.

3. Bersabar dengan menu baru

Bila Anda menyajikan seporsi menu makanan baru di meja makan, biasanya anak-anak akan menyentuh atau mencium makanan terlebih dulu. Setelah mencicipi, mereka mungkin menaruh kembali makanan tersebut ke atas piring. Biasanya untuk hal tersebut, anak-anak butuhproses, sebelum akhirnya terbiasa dan mau dengan menu makanan baru.Anda perlu mendorong anak agar lebih memerhatikan warna, bentuk, aroma, dan tekstur makanan daripada cuma rasa makanan itu sendiri. Akan lebih baik jika Anda menyajikan menu baru bersama dengan menu makanan favorit anak Anda.

4. Buatlah kegiatan makan jadi menyenangkan

Sajikan brokoli dan sayuran lainnya dengan saus atau bumbu favorit.

Agar lebih menarik, potong makanan menjadi berbagai bentuk menggunakan cetakan kue. Tawarkan juga menu sarapan untuk disajikan sebagai makan malam.Selain itu, Anda bisa mencoba untuk menyajikan berbagai makanan dengan warna cerah.

5. Ajak anak berpartisipasi menyiapkan makanan

Libatkan anak Anda dalam kegiatan yang berhubungan dengan urusan makan keluarga, misalnya ajak mereka berbelanja ke pasar atau ke supermarket. Mintalah bantuan anak untuk memilih buah-buahan,

(28)

sayuran, dan makanan sehat lainnya waktu berbelanja bersama.

Hindari membeli sesuatuyang menurut Anda tidak baik untuk dikonsumsi anak. Ketika sampai di rumah, lakukan hal yang sama dengan melibatkan anak untuk mencuci sayuran, mengaduk adonan, atau mengatur meja makan.

6. Berilah contoh yang baik

Anak cenderung mengikuti apa yang dilakukan orangtuanya, termasuk untuk urusan makan. ApabilaAnda makan berbagai makanan sehat, kesempatan anak mengikuti kebiasaan tersebut akan lebih tinggi.

7. Gunakan kreativitas

Tambahkan brokoli cincang atau paprika hijau dalam saus spaghetti, atau taburkan irisan buah di atas semangkuk sereal, atau campurkan zucchini dan wortel parut ke dalam bubur dan sup. Ada baiknya hal ini dilakukan agar anakAnda suka dengan berbagai makanan sehat yang mengandung nutrisi yang baik, meskipun anak Anda sebenarnya tidak menyukai makanan tertentu, seperti sayur.

8. Minimalkan hal yang mengganggu waktu makan

Matikan TV dan alat elektronik lainnya saat sedang makan. Hal ini akan membantu anak lebih fokus pada makanan. Perlu diingat bahwa iklan TV mungkin juga mendorong keinginan anak untuk mengkonsumsi makanan manis atau makanan yang kurang bergizi.

9. Jangan menawarkan makanan penutup sebagai hadiah

Karena diiming-imingi hadiah berupa makanan penutup yang anis, anak akan berasumsi bahwa makanan penutup adalah makanan terbaik. Hal ini tentunya hanya akan meningkatkan keinginan anak

(29)

untuk mengonsumsi makanan manis.Sebaiknya, pilih satu atau dua hari saja dalam seminggu di mana anak akan mendapatkan makanan penutup. Di samping itu, mungkin Anda bisa mencoba untuk menjelaskan kembali kepada anak Anda kalau makanan penutup itu bisa dalam bentuk buah, yogurt, atau makanan sehat lainnya.

10. Jangan terburu-buru mengganti menu makanan

Masih banyak orangtua yang menyiapkan makanan terpisah untuk anaknya setelah anak menolak untuk makan menu makanan yang ada.

Hal ini justru menyebabkan anak semakin pilih-pilih makanan.Sebaiknya, dorong anak untuk tetap tinggal di kursi makan ketika jam makan, walaupun dia tidak makan. Tetap sajikan pilihan menu makanan yang sehat sampai mereka terbiasa dan mulai menyukainya.

2.5.5 Kesimpulan Perawat

Menurut (Kenny, 2013), Pola istimewa dari asupan makan yang biasa terjadi selama masa kanak-kanak, tetapi tidak memiliki signifikan klinis dan mengirimkan tanpa intervensi. Misalnya, anak-anak biasanya menolak untuk makan Kubis Brussel, dan ini bukan merupakan gangguan makan. Namun, penciptaan kategori lebih diagnostik inklusif untuk ARFID harus bermanfaat dalam memungkinkan lebih label spesifikasi diagnostik untuk diberikan kepada gejala klinis yang signifikan yang bisa dinyatakan tidak teridentifikasi atau tidak terobati. Selain itu, sejak literatur sistematis belum ada, definisi ARFID di DSM-5 diharapkan akan memfasilitasi penelitian untuk menentukan kejadian, prevalensi, dan hasil gangguan makan ini.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa mendasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Pasal 13 Peraturan Daerah

(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau

Hasil penelitian ini adalah berdasarkan hasil wawancara dan perhitungan perputaran piutang menunjukkan bahwa rata-rata pelanggan di wilayah Bali, Jawa Timur, Jawa

Data Hasil Identifikasi Ngengat (Lepidoptera) di Jalur Blok Raflesia- Tandon, Taman Nasional Meru Betiri Resort Sukamade, Kabupaten Banyuwangi... Surat Ijin Masuk Kawasan

Dari telaah pustaka tentang sistem kontrol, sales training, kinerja tenaga penjualan dan efektivitas penjualan yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian tersebut

Berdasarkan pengalaman, penerapan strategi pemasaran dalam dunia sosial terbukti dapat memberdayakan organisasi dalam memperoleh dukungan untuk melanjutkan hidupnya, antara lain

Hal tersebut menunjukkan bahwa penyeoran pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 atas penggunaan jasa konstruksi yang dilakukan PT Semen Bosowa Maros telah sesuai dengan

Aktor kabuki memiliki ciri khas khusus yang membedakan dirinya dengan aktor lain pada saat memainkan sebuah peran di atas panggung yaitu Kata (型) yang merupakan gaya berakting