• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dalam hidupnya dan setiap manusia tentu menginginkan pemenuhan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dalam hidupnya dan setiap manusia tentu menginginkan pemenuhan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang mempunyai berbagai macam kebutuhan dalam hidupnya dan setiap manusia tentu menginginkan pemenuhan kebutuhannya secara tepat untuk dapat hidup sebagai manusia yang sempurna, baik secara individu maupun sebagai bagian dari masyarakat. Maslow1mengatakan bahwa manusia akan selalu termotivasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan- kebutuhan ini memiliki tingkatan (hirarki), yang terdiri dari lima jenis, yaitu:

a. The physiological needs (kebutuhan fisiologis), jenis kebutuhan ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar semua manusia, seperti:

makan, minum, menghirup udara, istirahat, menghindari rasa sakit, seks, dan lain-lain.

b. The safety needs (kebutuhan rasa aman), jenis kebutuhan ini akan muncul jika kebutuhan fisiologis telah terpenuhi secara layak, dan yang termasuk kebutuhan jenis ini, yaitu: kebutuhan terhadap perlindungan, keamanan, ketertiban, hukum, stabilitas, dan lain-lain. Kebutuhan ini menjadi kebutuhan yang selalu meningkat dan jika tidak terpenuhi, maka akan timbul rasa cemas atau rasa takut yang dapat menghambat pemenuhan kebutuhan lainnya.

1 Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, Harper & Row Publishers, New York, 1970, hal. 35-47.

(2)

2 c. The belongingness and love needs (kebutuhan akan rasa memiliki dan

kasih sayang), jenis kebutuhan ini muncul jika kedua jenis kebutuhan di atas terpenuhi. Kebutuhan ini terlihat ketika seseorang berusaha untuk mencari dan mendapatkan teman, kekasih, keturunan (anak), bahkan keinginan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas tertentu.

d. The esteem needs (kebutuhan akan harga diri), yang dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: lower one, kebutuhan yang berkaitan dengan status, atensi, dan reputasi, serta higher one kebutuhan yang berkaitan dengan kepercayaan diri, kompetensi, prestasi, kemandirian, dan kebebasan.

e. The need for self-actualization (kebutuhan terhadap aktualisasi diri), jenis kebutuhan ini berkaitan erat dengan keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri. Kepribadian dapat mencapai peringkat teratas jika kebutuhan-kebutuhan primer ini banyak mengalami interaksi satu dengan yang lain, dan dengan aktualisasi diri seseorang akan dapat memanfaatkan faktor potensialnya secara sempurna.

Berpedoman pada pendapat Maslow seperti tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan untuk menyalurkan nafsu seksnya merupakan kebutuhan fisiologis (the physiological needs). Penyaluran nafsu seks dilakukan manusia dengan berbagai macam cara, ada

dengan cara yang tidak lazim (misalnya hubungan kelamin sesama jenis) dan ada dengan cara yang lazim (sesuai norma-norma yang berlaku) yang dikenal dengan istilah perkawinan (pernikahan), tetapi perlu pula dimaklumi bahwa perkawinan tidak

(3)

3 hanya untuk menyalurkan kebutuhan seks manusia, karena perkawinan mempunyai makna atau pengertian yang lebih luas lagi. Melalui perkawinan orang akan mendapat keturunan, maka perkawinan termasuk juga dalam kelompok kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang (the belongingness and love needs).

Wirjono Prodjodikoro,2 mengatakan bahwa perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, dan jika dicermati pada dasarnya perkawinan merupakan suatu perjanjian yang mengikat lahir dan bathin dengan dasar iman. Di antara yang berpendapat demikian mengatakan, bahwa kalau dipandang sepintas lalu saja, maka suatu perkawinan merupakan suatu persetujuan belaka dalam masyarakat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, seperti misalnya suatu persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.

Sayuti Thalib3 menganggap bahwa perkawinan sebagai perjanjian suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga, sedangkan R.

Subekti4 mengatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki- laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Perkawinan merupakan penjanjian (akad), tetapi makna penjanjian yang dimaksudkan di sini berbeda dengan perjanjian seperti yang di atur dalam Buku III KUH Perdata.

2 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandunhg,1981, hal. 7-8.

3 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan di Indonesia, UI-Press, Jakarta, Cetakan Kelima, 1986, hal. 47.

4 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 23.

(4)

4 Perkawinan merupakan perjanjian yang tujuannya adalah untuk mewujudkan kebahagiaan antara kedua belah pihak (pasangan suami dan isteri), tidak dibatasi dalam waktu tertentu dan mempunyai sifat religius (adanya aspek ibadah), bahkan Sidi Gazalba seperti yang dikutip Idris Ramulyo,5 mengatakan bahwa tidak merupakan perkawinan jika ikatan lahir batin tersebut tidak bahagia atau perkawinan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama/kerohanian, dengan demikian perkawinan tidak hanya mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan penting. Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat penting dalam kehidupan manusia dengan berbagai konsekuensi hukumnya. Karena itu hukum mengatur masalah perkawinan ini secara detail. Yang dimaksud dengan perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang harus juga dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lihat Pasal 1 dan Pasal 2 Undang- Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974.6

Selanjutnya Perkawinan merupakan suatu pembentukan keluarga dengan menyatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan diawali suatu ikatan suci, kontrak perkawinan atau ikatan perkawinan. Ikatan ini mensyaratkan komitmen dari

5 Mohd. Idris Ramulyo (1), Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 44.

6 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, hal. 10.

(5)

5 masing-masing pasangan serta perwujutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bersama, seperti yang tercantum dalam pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun. 1974, yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. Peristiwa yang penting dalam realita kehidupan umat manusia yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan perkawinan terbentuk keluarga yang merupakan unit terkecil dari bangunan masyarakat yang juga menentukan ketertiban dalam masyarakat, oleh karena itu sejak awal adanya manusia sudah ditentukan aturan perkawinan tertib, agar tata kehidupan masyarakat dapat dicapai.

Di Indonesia terdapat beberapa peraturan atau pasal yang mengatur tentang batas usia anak yang dapat berdampak terhadap pelaksanaan perkawinan. Salah satu pasal yang mengatur tentang batas usia anak yaitu dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 yang berbunyi: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan sedangkan dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) mengatakan: “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Dari dua ketentuan yang telah disebutkan dapat dilihat adanya masalah hukum yang berakibat terhadap masa depan anak. Masalah tersebut

(6)

6 terdapat dalam penentuan batas usia anak, karena apabila seorang yang sudah berusia 18 tahun akan melangsungkan perkawinan tidak diperbolehkan untuk melangsungkan perkawinan tersebut karena dalam UU Perkawinan mengatakan bahwa orang tersebut belum mencapai usia perkawinan yaitu usia minimal untuk melangsungkan perkawian adalah 19 tahun, akan tetapi dalam UU Perlindungan Anak, seorang yang sudah berusia 18 tahun sudah tidak bisa disebut lagi anak artinya dalam UU Perlindungan Anak, seorang yang sudah berusia 18 tahun sudah termasuk dalam orang yang sudah cakap hukum. Oleh karena itu terdapat suatu masalah hukum dimana dua Undang-undang tersebut saling bertentangan.

Masalah yang selanjutnya terjadi dalam masyarakat Indonesia yaitu adanya kenakalan remaja, seks bebas, dan masalah-masalah lainnya yang muncul dari kurangnya perhatian orang tua dalam mendidik anak mereka. Dengan berkembangnya teknologi informasi yang sangat cepat, hampir setiap anak dapat mengakses situs-situs yang seharusnya belum bisa mereka akses berdasarkan umur anak tersebut yang akhirnya dapat menyebabkan anak terlibat dalam kenakalan remaja, seks bebas dan masalah-masalah lainnya sehingga berdampak terhadap mental, fisik, dan hak-hak anak. Undang-undang No. 16 Tahun 2019 Pasal 7 ayat (1) menetapkan batas usia minimal anak untuk melangsungkan perkawinan yaitu untuk pihak laki-laki dan pihak perempuan berumur 19 tahun. Dalam perkembangan zaman, sering terjadi dimana anak baik laki-laki maupun perempuan yang belum mencapai batas usia minimal perkawinan sudah melangsungkan perkawinan itu sendiri dengan alasan keinginan orang tua, keadaan ekonomi, terlibat dalam masalah seperti yang sudah disebutkan di

(7)

7 atas, serta alasan-alasan lainya. Oleh kerena itu, untuk memberikan suatu kepastian hukum atas masalah yang dihadapi haruslah ada hukum yang sesuai dengan masalah tersebut. Akan tetapi, hukum yang berlaku seringkali ketinggalan dengan zaman yang berkembang dengan cepat, sehingga perlu adanya perubahan terhadap hukum tersebut.

Untuk merubah suatu peraturan atau pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 harus dilakukan dengan mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Dalam Putusan Nomor: 22/PUU-XV/2017 yang penulis teliti, pemohon yang mengajukan permohonan pengujian undang-undang terdiri dari Endang Wasrinah, seorang ibu rumah tangga (sebagai pemohon I). Selanjutnya atas nama Maryanti, seorang ibu rumah tangga (sebagai pemohon II). Kemudian seorang ibu rumah tangga bernama Rasminah (sebagai pemohon III). Para pemohon kemudian memberikan kuasa kepada para kuasa hukum tertanggal 14 dan 23 Maret 2017. Para kuasa hukum mengajukan permohonannya bertanggal 20 April 2017 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan MK. Alasan para pemohon dalam permohonannya adalah, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” telah melanggar prinsip “segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum”, sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Ketentuan a quo menimbulkan pembedaan kedudukan hukum dan diskriminasi terhadap anak perempuan dalam hak kesehatan. Ketentuan a quo menimbulkan pembedaan kedudukan hukum dan diskriminasi terhadap anak perempuan dalam hak pendidikan.

Ketentuan a quo menimbulkan pembedaan kedudukan hukum dan diskriminasi terhadap anak perempuan dalam resiko eksploitasi anak.

(8)

8 Alasan pemohon yang menyatakan penentuan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan merupakan kebijakan hukum yang diskriminatif. Seharusnya para pemohon tersebut dapat membangun pemahaman yang benar tentang maksud pengaturan batas usia minimal perkawinan, sebagaimana yang tertuang dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yakni, untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturuannya. Kesehatan yang dimaksud tentu mencakup kesehatan lahir dan batin. Dengan menggali kembali hal-hal yang lebih mendalam terkait makna frasa “umur 16 tahun” Majelis Hakim tentu akan memperoleh pandangan yang lebih komprehensif. Dari tahap itulah Majelis Hakim akan bisa menilai apakah frasa tersebut dalam konteks kekinian masih relevan atau tidak, dan harus dipertahankan maknanya ataukah justru harus dibatalkan.

Sebenarnya jika dipahami secara utuh, UU No. 1 Tahun 1974 telah mengatur batasan umur menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah 21 tahun. Bila terjadi perkawinan dibawah umur tersebut, UU No. 1 Tahun 1974 juga memberi peluang dengan menentukan batasan umur minimal kepada laki-laki dan perempuan yang hendak menikah yaitu 19 dan 16 tahun yang sekarang sudah berubah rumusannya dalam UU No. 16 Tahun 2019 menjadi usia minimal laki-laki dan perempuan yang hendak melangsungkan perkawinan yaitu 19 tahun, dengan syarat harus mendapatkan izin untuk melangsungkan perkawinan. Kemudian batas usia minimal tersebut tidak berlaku secara mutlak. Jika dengan alasan tertentu hendak melangsungkan perkawinan di usia yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1), hal itu diperbolehkan dengan catatan harus memenuhi prosedur yakni permintaan dispensasi untuk melangsungkan

(9)

9 perkawinan ke pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974. UU No. 1 Tahun 1974 tidak hanya sekedar memberi pilihan-pilihan hukum terkait dengan batas umur perkawinan, tetapi juga disertai dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi setiap warga negara yang hendak melangsungkan perkawinan.

Dari sini dapat dikatakan, UU No. 1 Tahun 1974 telah mengakomodir berbagai hal terkait perkawinan secara jelas. Hal ini tentu dapat dipahami, karena inilah undang- undang pertama yang mengatur masalah perkawinan secara nasional sehingga menjadi tolak ukur hukum keluarga bagi masyarakat Indonesia. Demikian, UU No. 1 Tahun 1974 adalah peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, maka jika menggunakan pendekatan asas-asas hukum, berlaku satu asas yang disebut lex spesialis derogat legis generalis. Artinya aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang

umum.

Di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Perkawinan, mensyaratkan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Dalam perkembangannya ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tersebut telah dilakukan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis Hakim MK setelah menerima, memeriksa, dan kemudian memutuskan melalui Putusan Nomor: 22/PUU-XV/2017. Salah satu amar putusannya adalah menyatakan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” UU No.

1 Tahun 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) bertentangan dengan Undang-

(10)

10 undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sebelum Putusan Nomor: 22/PUU-XV/2017, MK juga telah memutuskan permohonan para pemohon mengenai permohonan judical review yang sama. Yaitu Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 terhadap UUD 1945. Menurut Putusan MK Nomor: 30-74/PUU-XII/2014 yang menolak permohonan para pemohon seluruhnya.

Dalam hal ini Putusan MK yang menguji perkara permohonan pengujian undang- undang yang sama tetapi berbeda putusannya. Jadi, antara Putusan MK No. 30- 74/PUU-XII/ 2014 dengan Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 menunujukkan perbedaan. Putusan MK yang pertama “menyatakan menolak permohonan para pemohon”. Putusan MK yang kedua “menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon”.

Frasa yang semula dinyatakan konstitusional dalam Putusan MK Nomor: 30- 74/PUU-XII/2014 justru menjadi inkonstitusional pada Putusan MK Nomor: 22/PUU- XV/2017. Yang pasti, langkah Majelis Hakim tersebut dianggap sebagai pintu masuk untuk menaikkan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan. Dengan demikian pertimbangan Majelis Hakim mencuri perhatian terkait dengan putusannya Nomor:

22/PUU-XV/2017. Putusan ini mengundang tanya, karena putusan MK berubah dengan putusan sebelumnya. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang implikasi yang muncul akibat putusan tersebut. Hal ini berbeda dengan Nomor: 30-74/PUU- XII/2014. Dalam pertimbangan Putusan MK Nomor: 34-74/PUU-XII/2014, kemungkinan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan 18 tahun di masa depan

(11)

11 bukanlah yang ideal. Hakim berpendapat bahwa di sejumlah negara batas usia minimal perkawinan bagi perempuan itu beragam, mulai usia 17 tahun, 19 tahun, dan 20 tahun, dan di Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara lain karena memiliki karakteristik sosial budaya yang berbeda. Dalam Putusan Nomor: 30-74/PUU-XII/2014, argumentasi Hakim juga menggunakan pendekatan normatif dengan merujuk pada tujuan perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974, bahkan juga menggunakan sudut pandang agama khususnya Islam.7

Hakim menegaskan, Islam tidak mengenal umur minimal demi untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar, apalagi perkembangan dewasa ini, bagi manusia zaman sekarang, kemungkinan kemudharatannya jauh lebih cepat merebak karena dipengaruhi oleh berbagai macam keadaan seperti makanan, lingkungan, pergaulan, teknologi, keterbukaan informasi, dan lain sebagainya, sehingga mempercepat laju dorongan birahi. Dorongan birahi itu semestinya dapat disalurkan melalui perkawinan yang sah sebagaimana ajaran agama sehingga tidak melahirkan anak di luar perkawinan atau anak haram atau anak ranjang.8 Dinamika pengaturan batas usia minimal perkawinan dalam undang-undang yang kemudian berujung pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 22/PUU- XV/2017, telah menyebabkan pembaharuan hukum perkawinan di Indonesia.

Secara yuridis normatif Putusan MK bersifat final dan mengikat, dalam arti memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum lain seperti banding dan

7 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 30-74/PUU-XII/2014, hal. 227.

8 Ibid., hal. 229.

(12)

12 kasasi. Dalam Putusan Nomor: 22/PUU-XV/2017, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) juga diwajibkan untuk merevisi norma yang telah dibatalkan sampai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Jika tidak, usia 18 tahun dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak secara otomatis akan menjadi rujukan norma tentang batas usia minimal perkawinan bagi perempuan. Akhirnya sekarang ini legislasi hukum perkawinan oleh DPR RI menghasilkan perubahan ketentuan batas usia minimal perkawinan. Yaitu, Undang- undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Adapun perubahan itu terletak pada: Pasal 7 ayat (1) “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun”.

Sebelumnya ketentuan batas usia minimal perkawinan terdapat perbedaan antara laki- laki yaitu 19 tahun dan perempuan 16 tahun, kemudian menjadi disamakan 19 tahun.

Tentu ini akan berdampak pada aturan lainnya seperti Peraturan Pemerintah.

Ketentuan batas usia minimal perkawinan dalam UU No. 16 Tahun 2019, merupakan syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika hendak melangsungkan perkawinan. Dapat dijelaskan bahwa perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal, bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia. Maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dalam tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. UU No. 1 Tahun 1974 menganut prinsip, bahwa calon suami

(13)

13 istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami istri yang masih dibawah umur. Disamping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa perkawinan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Adapun ketentuan mengenai pencegahan perkawinan dalam Pasal 13 UU No. 1 Tahun 1974 “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Pada prakteknya pegawai pencatat perkawinan akan meneliti izin tertulis atau izin pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.9 Berdasarkan Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1974, pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah perkawinan apabila ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) tidak dipenuhi. Kemudian Pasal 20 UU No. 1 Tahun 1974, mengatur pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan Pasal 7 ayat (1), meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Berkaitan dengan hal di atas, usia perkawinan tidak serta merta dihubungkan dengan soal usia kedewasaan. Usia dalam perkawinan memang bisa menjadi salah

9 Pasal 6 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

(14)

14 satu penentu kedewasaan seseorang. Namun tidak selalu menjadi ukuran yang tepat, karena kedewasaan sendiri merupakan suatu keadaan dimana seseorang telah mencapai tingkat kematangan dalam berfikir dan bertindak. Sedangkan tingkat kematangan itu hadir pada masing-masing orang secara berbeda-beda, bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa mungkin saja sampai dengan akhir hayatnya manusia tidak pernah mengalami kedewasaan, karena kedewasaan tidak selalu berbanding lurus dengan usia.10

Dispensasi nikah bisa diartikan sebagai pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan bagi laki-laki dan perempuan yang belum memenuhi persyaratan untuk menikah yaitu berupa pemberian izin oleh Pengadilan Agama11 kepada calon mempelai yang belum cukup umur sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang untuk melangsungkan perkawinan.12 Dispensasi nikah bisa juga diartikan sebagai suatu kelonggaran hukum yang diberikan kepada calon mempelai yang tidak memenuhi syarat sah perkawinan secara hukum positif13 sehingga undang-undang memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk memberikan dispensasi nikah dengan pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada undang-undang dan hukum Islam.14

10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hal. 59.

11 Munadiroh, Kajian Hukum Terhadap Permohonan Dispensasi Kawin Pada Perempuan Di Bawah Umur Di Pengadilan Agama Semarang (Studi Kesehatan Reproduksi), Jurnal Idea Hukum, Vol 2. No. 1, edisi Maret 2016.

12 Marilang, Dispensasi Kawin Anak Di Bawah Umur, Jurmal AL Daulah Vol. 7, No.1, Juni 2018.

13 Muhammad Kunardi dan HM Mawardi Muzamil, Implikasi Dispensasi Perkawinan Terhadap Eksistensi Rumah Tangga Di Pengadilan Agama Semarang, Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol. 1 No. 2, Mei-Agustus 2014.

14 Ibid.

(15)

15 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang perkawinan tersebut memberikan peluang untuk terjadinya perkawinan di bawah umur, sebagaimana yang tercantum dalam:

Pasal 7 Ayat (2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

Pasal 7 ayat (2) ini mengatur bahwa dalam hal penyimpangan terhadap Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dapat meminta dispensasi kawin ke Pengadilan Agama setempat. Dispensasi kawin merupakan dispensasi yang diberikan pengadilan agama kepada mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan apabila kedua mempelai pria dan wanita belum mencapai 19 (sembilan belas) tahun.

Dari ketentuan di atas penulis dapat menyertakan bukti (penemuan hukum) bahwa rumusan Pasal itu benar-benar diterapkan oleh Hakim melalui Putusan atau Penetapan Pengadilan yg memberi dispensasi kawin bagi anak di bawah umur yaitu dalam Penetapan Nomor. 14/Pdt.P/2020/PA.AGM dimana hakim menetapkan antara lain:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;

2. Memberikan dispensasi kepada Pemohon (Sudarno bin Warsak) untuk menikahkan anaknya bernama Lidiya Sela Alfiyonita binti Sudarno dengan seorang laki-laki bernama Abdul Aziz Ashidiqi bin Sutiar;

(16)

16 3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp

296.000,00,- ( dua ratus sembilan puluh enam rupiah);

Yang dalam Penetapan tersebut anak dari Pemohon yang bernama Lidiya Sela Alfiyonita binti Sudarno merupakan seorang perempuan berusia 18 tahun 6 bulan, yang dalam Undang-undang Perkawian belum mencapai batas usia minimal perkawinan yaitu harus berumur 19 (Sembilan belas) tahun, sehingga Pemohon mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama Arga Makmur untuk memberikan dispensasi kawin kepada anaknya tersebut untuk melangsungkan perkawinan.

Selanjutnya, jika kedua calon suami-isteri tersebut sama beragama Islam, maka keduanya dapat mengajukan permohonan bahkan boleh sekaligus hanya dalam surat permohonan, untuk mendapatkan dispensasi kawin ke pengadilan agama. Jika calon suami-isteri misalnya non-Islam dan calon suami Islam, maka calon isteri mengajukan permohnannya ke Pengadilan Negeri, sedangkan calon suami ke Pengadilan Agama, tidak peduli agama apapun orang tua mereka.

Adanya pengaturan ini, secara otomatis dapat memberikan peluang bagi masyarakat untuk dapat melangsungkan perkawinan dibawah umur. Permasalahan ini terjadi karena berbagai latar belakang yang menyebabkan terjadinya perkawinan tersebut. Ada kalangan yang memang mengharapkan atau menginginkan untuk melakukan perkawinan di usia muda dan ada yang melakukan perkawinan itu harus dilakukan sebelum seseorang mencapai umur yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan undang-undang Nomor. 16 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 1 Tahun 1947 Tentang Perkawinan dengan pertimbangan apabila

(17)

17 perkawinan tersebut tidak dilakukan, maka akan menimbulkan akibat yang negative atau merugikan baik kedua belah pihak atau bagi orang lain yang bersangkutan dalam hal untuk menjaga nama baik. Memang perkawinan itu harus segera dilaksanakan dengan berbagai alasan seperti mempelai wanita telah hamil duluan, atau pria dan wanita telah sering bersama-sama (berpacaran). Oleh sebab itu, apabila perkawinan tidak segera dilaksanakan maka kedua belah pihak tidak bisa memperoleh keturunan dari perkawinan tersebut, sehingga dalam pelaksanaannya perlu mendapatkan dukungan atau dispensasi dari berbagai pihak termasuk pengadilan agama.

Selanjutnya, jika calon suami-isteri misalnya non-Islam dan calon suami Islam, maka calon isteri mengajukan permohnannya ke Pengadilan Negeri, sedangkan calon suami ke Pengadilan Agama, tidak peduli agama apapun orang tua mereka.

Uraian-uraian diatas menarik perhatian penulis untuk diteliti lebih lanjut.

Untuk itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitan dengan judul:

“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DARI PERKAWINAN DIBAWAH UMUR DALAM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2O19 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN”.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dari Perkawinan Dibawah Umur Dalam Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 Dan Undang-

(18)

18 Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dari Perkawinan Dibawah Umur Dalam Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 22/PUU- XV/2017 Dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2o19 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Mengembangkan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Perkawinan pada khususnya.

2. Manfaat Praktis

Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang batas usia minimal perkawinan di Indonesia sehingga bermanfaat di masa yang akan datang.

1.5 METODE PENELITIAN

Penelitian Hukum Normatif didalam literatur hukum, maka sumber data dalam penelitian hukum normatif disebut dengan bahan hukum. Bahan huku merupakan bahan yang dapat dipergunakan dengan tujuan untuk menganalisis hukum yang berlaku. Bahan hukum yang dipergunakan untuk dianalisis dalam penelitian hukum normatif terdiri atas:

(19)

19 a. Bahan hukum primer, menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan bahan hukum yang bersifat otoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri atas perundang-undangan catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

Adapun bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah:

i. Undang-Undang Dasar 1945;

ii. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

iii. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak;

iv. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No.

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan; dan

v. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 22/PUU-XV/2017.

b. Bahan hukum sekunder, berupa semua apa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.15

c. Bahan hukum tersier,16 yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus-kamus hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya.17

15 peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 141.

16 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 13

17 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998, hal. 117.

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum mencari perhitungan tentang ada tidaknya hubungan penerapan metode guided note taking terhadap prestasi belajar siswa kelas VII Smp Islam Duduksampeyan, terlebih

Dari hasil diskusi kelompok terarah (FGD) dan Angket menunjukkan bahwa hampir semua pendidik TK sudah memberikan contoh-contoh pembelajaran keterampilan sosial dalam kegiatan

Pihak pertama berjanji akan mewujudkan target kinerja yang seharusnya sesuai lampiran perjanjian ini, dalam rangka mencapai target kinerja jangka menengah seperti

[r]

“Meskipun  selama  ini  saya  aktif  memanfaatkan  internet  dan  blog,  akan  tetapi  terkadang  saya  masih  merasa  kesulitan  dalam  hal  pengelolaan, 

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana menghitung Pajak Masukan dan Pajak Keluaran untuk mengetahui jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang kurang bayar atau lebih

Sistem transportasi laut perikanan tangkap tidak lepas dari pengkajian dan keterkaitan dari tiga kawasan dan wilayah, yaitu: Hinterland, Port, dan Fishing ground yang

Eksplan yang digunakan pada media perlakuan PEG berupa stek satu mata tunas dengan ukuran 0.5 cm yang diperoleh dari planlet tanaman kentang hasil subkultur.. Eksplan