• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Edible film

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Edible film"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Edible film

Edible film merupakan suatu lapisan tipis yang melapisi bahan pangan yang layak dikonsumsi, dan dapat terdegradasi oleh alam secara biologis. Komponen penyusun edible film dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu: hidrokoloid, lipida, dan komposit (Warkoyo dkk., 2014). Edible film dapat memberi efek pengawetan karena dapat memberi perlindungan terhadap oksigen, mengurangi penguapan air, memperbaiki penampilan produk serta dapat digunakan sebagai pembawa senyawa antioksidan atau antibakteri yang dapat melindungi produk terhadap proses oksidasi lemak serta menghambat pertumbuhan mikroba. (Amaliya dkk., 2014) Edible film dapat juga digunakan sebagai pengemas atau pembungkus makanan. Adapun film yang bisa dimakan dan terdapat beberapa persyaratan yang harus dipertimbangkan.

Beberapa syaratnya yaitu sifat penghalang air yang sesuai, aman untuk konsumsi manusia (bebas dari mikroorganisme patogen dan senyawa berbahaya) sensorial diterima karakteristik, kekuatan mekanik yang baik dan adhesi, mikroba yang wajar, stabilitas biokimia dan fisikokimia, pembawa efektif untuk antioksidan, rasa, warna, murah bahan baku, dan teknologi sederhana untuk produksi (Du dkk., 2011).

Manfaat edible film yaitu untuk menghambat dari atau kedalam produk, migrasi uap air, memperbaiki sifat mekanik makanan, menambah integritas struktur makanan, melindungi senyawa flavor volatil dan sebagai bahan pembawa bahan aditif makanan (Warkoyo dkk., 2014). Edible film adalah lapisan tipis yang terbuat dari bahan yang dapat dimakan, digunakan sebagai pelapis permukaan komponen makanan yang berfungsi untuk menghambat migrasi kelembaban, oksigen, karbondioksida, aroma, lipid (Jacoeb dkk., 2014). Edible film merupakan lapisan tipis bersifat sebagai pengemas primer untuk melapisi makanan (coating) yang berfungsi sebagai penahan transfer massa seperti oksigen, cahaya, uap air dan lemak, serta dapat juga sebagai pembawa bahan tambahan pangan (Mulyadi dkk., 2016). Keuntungan edible film antara lain dapat dikonsumsi langsung bersama produk yang dikemas, tidak mencemari lingkungan, memperbaiki sifat organoleptik produk yang dikemas, serta berfungsi sebagai suplemen penambah nutrisi, sebagai flavor, pewarna, zat antimikroba, dan antioksidan (Nugroho dkk., 2013). Penggunaan edible film dalam perlindungan dan pelestarian makanan baru-

(2)

5

baru ini meningkat karena mereka menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan dengan bahan sintetis, seperti menjadi biodegradable dan ramah lingkungan. Edible coating atau film yang ideal harus memiliki syarat, antar lain tidak merubah warna dan bau dari produk, tidak berpengaruh pada kualitas dari suatu produk, harus melekat dan cocok dengan produk, harus ekonomis dan mudah terurai, serta tidak beracun (Prasad & Batra, 2015). Berikut tabel standar mutu edible film:

Tabel 1. Standar Mutu Edible film

Parameter Standar

Ketebalan < 0,25 mm Kuat tarik Min. 0,392 MPa

Elongasi 10% - 50% (baik) > 50% (sangat baik) laju transmisi uap air < 7 g/m2/24 jam

Sumber : Japan Industrial Standard (1997)

Dalam pembuatan edible film berbasis pati, faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah: suhu, konsentrasi polimer, dan plasticizer (Rosida dkk., 2018).

a. Suhu

Perlakuan suhu diperlukan untuk membentuk edible film yang utuh, Perlakuan panas diperlukan untuk membuat pati tergelatinisasi, sehingga terbentuk pasta pati yang merupakan bentuk awal dari edible film. Kisaran suhu gelatinisasi pati rata-rata 65° C - 70°C. Menurut Tuti, dkk (2008) edible film yang menggunakan suhu terlalu tinggi akan menurunkan nilai ketebalan, kadar air dan kuat tarik. Sedangkan suhu yang terlalu rendah kemungkinan terjadinya interaksi molekuler sangatlah kecil. Sehingga pada saat film dikeringkan akan menjadi retak dan berubah menjadi potongan kecil.

b. Konsentrasi Polimer

Konsentrasi pati sangat berpengaruh, terutama pada sifat fisik edible film yang dihasilkan dan juga menentukan sifat pasta yang dihasilkan. Semakin besar konsentrasi pati maka jumlah polimer penyusun matriks film semakin banyak sehingga dihasilkan film yang tebal. Penelitian terkait yang menunjukan pengaruh konsentrasi polimer dilakukan oleh Amaliya & putri (2014), yang menyatakan bahwa pembuatan edible film dengan menggunakan polisakarida, semakin tinggi konsentrasi polimer penyusunnya pada batas tertentu mampu meningkatkan ketebalan dan stabilitas edible film.

(3)

6 c. Plasticizer

Plasticizer adalah bahan organik dengan bobot molekul rendah yang ditambahkan dengan maksud memperlemah kekakuan film. Plasticizer dapat menurunkan kekuatan inter dan intra molekular dan meningkatkan mobilitas dan fleksibilitas film (Coniwati dkk.,2014). Plasticizer memiliki titik didih yang tinggi dan jika ditambahkan ke dalam suatu materi dapat mengubah sifat fisik maupun sifat mekanik materi tersebut. Bahan ini larut dalam tiap-tiap rantai polimer sehingga akan mempermudah gerakan molekul polimer dan bekerja menurunkan suhu transisi, suhu kristalisasi, atau suhu pelelehan dari suatu polimer. Plasticizer dapat ditambahkan pada pembuatan edible film, untuk mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas, dan ketahanan film terutama jika disimpan pada suhu rendah.

2.2 Pati Jagung

Pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang terdapat pada tanaman.

Merupakan polimer dari satuan α-D-glukosa (anhidroglukosa) (Masrukan, 2020).

Pati yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pati komersil yang didapat dari toko dan sudah berbentuk bubuk ber merk “Maizenaku”. Pati terdiri dari dua satuan polimer utama yakni amilosa dan amilopektin. Molekul dari amilosa adalah polimer dari unit – unit glukosa dengan bentuk ikatan α-1,4-glikosidik, terbentuk rantai lurus, tidak bercabang atau mempunyai struktur heliks yang terdiri dari 200 – 2000 satuan anhidroglukosa sedangkan amilopektin merupakan polimer unit – unit glukosa dengan ikatan α-1,6-glikosidik pada percabangan, terdiri dari 10.000 – 100.000 satuan anhidroglukosa (Adebowale dan Lewal, 2003). Biji jagung mengandung pati 54,1-71,7%, karbohidrat yang terdapat pada jagung sebagian besar merupakan komponen pati, sedangakan komponen lainnya adalah pentose, dekstrin, sukrosa, dan gula pereduksi (Richana dan Suarni, 2007).

a) Amilosa

Amilosa memiliki struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-glikosidik, seperti terdapat pada Gambar 1. Panjang rantai lurus tersebut berkisar antara 200 – 2000 unit D-glukosa. Molekul amilosa tidak semua memiliki ukuran yang sama, tergantung pada sumber pati dan tingkat kematanganya. Berat molekul amilosa dapat dipengaruhi oleh panjang rantai polimer, sedangkan panjang rantai polimer

(4)

7

sendiri dipengaruhi oleh sumber pati (Putri and Zubaidah, 2017). Amilosa berperan dalam memberikan sifat keras dan amilopektin menyebabkan sifat lengket.

Dibandingkan amilopektin, amilosa lebih berperan penting dalam pembentukan edible film. Amilosa diperlukan untuk pembentukan film dan pembentukan gel yang kuat (Mustapa dkk.,2017) Berikut struktur rantai molekul amilosa dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Rantai Molekul Amilosa ( www.chemspider.com ) b) Amilopektin

Amilopektin adalah polimer dari D-glukosa yang mempunyai rantai lurus dan percabangan. Struktur kimia amilopektin umumnya sama seperti amilosa dan terdiri atas rantai pendek α-1,6-D-glukosidik dimana setiap cabang mengundang 20 – 25 unit glukosa (Putri and Zubaidah, 2017). Menurut Guilbert & Biquet (1990) dalam Yulianti & Ginting (2012), Amilopektin memiliki peran dalam menstabilkan film dan memberi sifat lengket. Untuk mengetahui struktur kimia molekul amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur Kimia Molekul Amilopektin ( www.chemspider.com )

(5)

8

Sifat pati jagung seperti halnya yang terdapat pada pati lainnya dimana dalam bentuk alaminya memiliki kestabilan tekstur yang baik dalam sistem pangan, tetapi lemah terhadap proses yang melibatkan pengadukan dan proses yang memakai suhu tinggi atau melibatkan panas. Pati jagung memiliki kadar amilosa tinggi sekitar 25% sehingga mengembangkan potensi kapasitas pembentukan film dan menghasilkan film yang lebih kuat dari pati yang mengandung lebih sedikit amilosa. Selain itu memiliki keterbatasan untuk mengalami retrogradasi dan susah untuk membentuk gel yang kaku kecuali pada konsentrasi yang tinggi (Sandhu &

Singh, 2007). Pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang dimana kandungan kimianya masih lengkap, sedangkan pada pati jagung sudah dipisahkan serta sebagian hilang pada proses pencucian (Richana dan Suarni, 2007). Komposisi kimia pati jagung dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.Komposisi Kimia Pati Jagung dan Tepung Jagung

Parameter Satuan Pati jagung Tepung Jagung

Kadar air % 10,21 10,9

Kadar Protein % 0,56 5,8

Kadar Abu % 0,05 0,4

Kadar Lemak % 0,68 0,9

Karbohidrat % 88,5 82,0

Kandungan Pati % 98,01 68,2

PH (5% suspensi) - 5,18 -

Residu SO2 ppm 9,21 -

Lolos ayakan 100 mesh % 99,81 -

Viskositas cps 900 -

Serat % 7,8

Kandungan Amilosa % 27 -

Kandungan Amilopektin % 73 -

Sumber : Richana dan Suarni, (2007) 2.3 Kulit Pisang Kepok

Pisang kepok (Musa paradisiaca Linn) merupakan jenis pisang olahan yang paling sering diolah terutama dalam olahan pisang goreng dalam berbagai variasi, sangat cocok diolah menjadi keripik, buah dalam sirup, aneka olahan tradisional, dan tepung. Menurut hasil penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, tanaman pisang ini mengandung berbagai macam senyawa seperti air, gula pereduksi, sukrosa, pati, protein kasar, pektin, protopektin, lemak kasar, serat kasar dan abu. Sedangkan didalam kulit pisang mengandung senyawa pektin

(6)

9

yang cukup besar (Satria dan Ahda, 2008). Kata pisang berasal dari bahasa Arab yaitu maus. Linneus kemudian memasukkan pisang (maus-bahasa Arab) ke dalam keluarga Musaceae, sekaligus sebagai penghormatan kepada Antonius Musa, seorang dokter pribadi Kaisar Romawi, Octaviani Agustinus. Antonius Musa yang menganjurkan untuk makan buah pisang. Sebab itu, nama ilmiah pisang dalam bahasa latin disebut Musa paradisiaca. Taksonomi tanaman pisang adalah :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Famili : Musaceae

Genus : Musa

Spesies : Musa paradisiaca L.

Kulit pisang adalah limbah hasil industri pengolahan pisang untuk berbagai jenis makanan yang tidak bernilai ekonomi dan ramah lingkungan, sehingga penting untuk dicarikan solusi pemanfaatannya). Selain itu, pisang adalah buah- buahan tropis yang paling banyak dihasilkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia (Megawati & Machsunah., 2016). Produksinya menduduki peringkat pertama hasil pertanian di Indonesia. Bobot kulit pisang mencapai 40% dari buahnya. Dengan demikian kulit pisang menghasilkan limbah dengan volume yang besar. Salah satunya adalah jenis pisang kepok (Tarigan dkk., 2012). Oleh karenanya, kulit pisang merupakan alternatif yang menjanjikan untuk diambil pektinnya dan diolah menjadi edible film. Kandungan pektin pada kulit pisang yang memiliki jumlah berbeda-beda hal tersebut dipengaruhi oleh varietas pisangnya.

Kandungan pektin pada kulit pisang berkisar antara 1,92 -3,25 % dari berat kering, pektin befungsi sebagai perekat dinding sel satu dengan yang lainnya memiliki sifat mudah larut dalam air (Hutagalung, 2013). Kandungan zat gizi dalam kulit pisang disajikan pada Tabel 3.

(7)

10

Tabel 3. Komposisi zat gizi dalam kulit pisang per 100 gram bahan

Zat Gizi Kadar

Air (g) 68,90

Karbohidrat (g) 18,50

Lemak (g) 2,11

Protein (g) 0,32

Kalsium (mg 715

Fosfor(mg) 117

Sumber : Balai penelitian dan pengembangan Industri, Jatim Surabaya (1982).

Tingkat kematangan buah pisang mempengaruhi jumlah pektin yang terdapat pada kulit buah pisang. Hal ini dikarenakan pektin berpengaruh terhadap perubahan tekstur dari setiap buah. Pektin adalah salah satu karbohidrat kompleks alami yang ada pada dinding sel semua tumbuhan dengan jumlah yang bervariasi, pektin memiliki fungsi mengatur aliran air antara sel dan memberikan kekakuan pada sel. Pektin dalam buah terkandung dalam bentuk zat pektin yang mudah terhidrolisa. Zat pektin ada pada bagian dalam middle lamella dari sel-sel buah.

Kekerasan buah disebabkan oleh kandungan pektin yang tidak larut air. Selama proses pematangan buah, pektin dalam buah akan terhidrolisis menjadi komponen- komponen yang larut sehingga pektin akan menurun kadarnya dan komponen yang larut dalam air akan meningkat (Chasparinda dkk., 2014). Tingkat kematangan buah yang akan digunakan pada penelitian telah melalui proses sortir yang berkisar antara nomor 6 dan 7. Adapun tingkat kematangan pada buah pisang dapat terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 .Tingkat Kematangan Buah Pisang (Indarto & Murianto, 2017) 2.4 Pektin Kulit Pisang

Pektin merupakan polisakarida kompleks yang memiliki sifat asam yang terdapat dalam jumlah bervariasi, terdistribusi secara luas pada jaringan tanaman.

(8)

11

Pada umumnya pektin terdapat di dalam dinding sel primer khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Pektin memiliki berfungsi sebagai bahan perekat antara dinding sel yang satu dengan yang lainnya. Substansi pektin tersusun dari asam poligalakturonat, dimana gugus karboksil dari unit asam poligalakturonat dapat teresterifikasi sebagian dengan metanol (Hanum dkk., 2012). Pektin berwujud bubuk berwarna putih hingga coklat terang. Pektin banyak dimanfaatkan pada industri pangan sebagai bahan perekat dan stabilizer (dengan tujuan agar tidak terbentuk endapan pada suatu larutan).

Salah satu bahan dasar pembuatan edible film adalah pektin (Megawati &

Ulinuha,2014). Pektin merupakan senyawa polisakarida kompleks dengan komponen utama asam D-galakturonat (Megawati & Machsunah,2016).

Kenyataannya, pektin memiliki sifat gel yang baik sehingga dapat digunakan untuk membuat kemasan yang dapat dimakan. Pektin dapat diperoleh dari kulit buah- buahan seperti kulit pisang, kakao, markisa, jeruk bali, buah naga, dan lain-lain.

Kulit pisang adalah limbah hasil industri pengolahan pisang untuk berbagai jenis makanan yang tidak bernilai ekonomi dan ramah lingkungan, sehingga penting untuk dicarikan solusi pemanfaatannya). Bobot kulit pisang mencapai 40% dari buahnya. Dengan demikian kulit pisang menghasilkan limbah dengan volume yang besar. Salah satunya adalah jenis pisang kepok (Tarigan dkk., 2012). Oleh karenanya, kulit pisang merupakan alternatif yang menjanjikan untuk diambil pektinnya dan diolah menjadi edible film. Gambar struktur pektin dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Struktur kimia Pektin ( www.chemspider.com )

Senyawa penyusun pektin meliputi senyawa pektat, asam pektinat dan protopektin.

Asam pektat, adalah pektin yang tidak mengandung gugus metil ester, biasanya terdapat pada sayuran dan buah yang busuk atau yang terlalu matang. Asam

(9)

12

pektinat (pektin) adalah asam poligalakturonat yang bersifat koloidal yaitu asam yang mengandung gugus metil ester dapat terikat dengan air membentuk jelly dan gula dalam suasana asam. Protopektin adalah komponen yang tidak larut dalam air dapat dihidrolisis dan terdespersi menjadi pektin dan pektinat. Pektin terdapat pada tumbuhan seperti buah-buahan dan kadar pektin yang terdapat pada setiap bahan bebeda (Subagyo & Zubaidi, 2010).

Pada sel-sel tertentu seperti buah atau kulit buah, cenderung mempunyai kandungan pektin yang sangat banyak. Pektinlah senyawa yang mengakibatkan suasana ‘lengket’ apabila seseorang mengupas buah atau kulit buah (Chahyaditha

& Eki,2011). Asam galakturonat memiliki gugus karboksil yang dapat saling berikatan dengan ion Mg2+ atau Ca2+ sehingga berkas-berkas polimer ‘berlekat-

\an’ satu sama lain. Inilah yang menyebabkan rasa lengket pada kulit. Tanpa kehadiran kedua ion ini, pektin laru dalam air. Garam-garam Mg – pektin atau Ca–

pektin dapat membentuk gel, karena ikatan tersebut berstruktur amorphous (tak berbentuk pasti) yang dapat mengembang jika molekul air ‘terjerat’ di antara ruang- ruang ikatan tersebut (Krisnayanti & Syamsudin, 2013)

2.5 Plasticizer (Gliserol)

Gliserol merupakan komponen bukan plastik yang memiliki berfungsi sebagai plasticizer, penstabil pangan, pewarna, penyerap UV dan lain-lain. Gliserol adalah alkohol terhidrik. Nama lain gliserol adalah gliserin atau 1,2,3-propanetriol.

Sifat fisik gliserol tidak berwarna, tidak berbau, rasanya manis, berbentuk liquid sirup, meleleh pada suhu 17,8°C, mendidih pada suhu 290°C dan larut dalam air dan etanol. Gliserol bersifat higroskopis, seperti menyerap air dari udara, sifat ini yang membuat gliserol digunakan pelembab pada kosmetik. Gliserol terdapat dalam bentuk ester (gliserida) pada semua hewan, lemak nabati dan minyak.

Gliserol termasuk jenis plasticizer yang bersifat hidrofilik, menambah sifat polar dan mudah larut dalam air (Huri & Nisa, 2014). Struktur kimia Gliserol ditampilkan pada gambar 5.

(10)

13

Gambar 5. Struktur Kimia Gliserol ( www.chemspider.com )

Fungsi dari gliserol adalah menyerap air, agen pembentuk kristal dan plasticizer. Plasticizer merupakan substansi dengan berat molekul rendah dapat masuk ke dalam matriks polimer protein dan polisakarida sehingga meningkatkan fleksibilitas film dan kemampuan pembentukan film (Illing and Satriawan, 2018).

Molekul plastizicer akan mengganggu kekompakan pati, menurunkan interaksi intermolekuler dan meningkatkan mobilitas polimer. Selanjutnya mengakibatkan peningkatan elongasi dan penurunan kuat tarik seiring dengan peningkatan konsentrasi gliserol. Penurunan interaksi intermolekuler dan peningkatan mobilitas molekul akan memfasilitasi migrasi molekul uap air. Gliserol lebih cocok digunakan sebagai plasticizer karena berbentuk cair. Bentuk cair gliserol lebih menguntungkan karena mudah tercampur dalam larutan film dan terlarut dalam air.

Sorbitol sulit bercampur dan mudah mengkristal pada suhu ruang, hal tersebut tidak disukai konsumen (Hidayati dkk., 2015). Penelitian edible film pati dengan penambahan Gliserol sudah pernah dilakukan oleh Zahrah dkk (2020) dengan perlakuan terbaik gliserol 2% menghasilkan nilai yang baik dan memenuhi standard JIS 1997.

(11)

14

Gambar

Tabel 1. Standar Mutu Edible film
Gambar 1. Struktur Rantai Molekul Amilosa ( www.chemspider.com ) b)  Amilopektin
Tabel 2. Komposisi Kimia Pati Jagung dan Tepung Jagung
Tabel 3. Komposisi zat gizi dalam kulit pisang per 100 gram bahan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menganalis pengaruh variabel ketimpangan gender pada pendidikan dan tenaga kerja serta variabel makro lain pada pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi

Penelitian ini melakukan studi lieratur untuk mendapatkan informasi tentang permasalahan yang ada selanjutnya ekperimen untuk memprediksi cusromer churn dalam bidang

7 adalah penyebaran informasi dan pengetahuan tentang konsep budidaya padi dengan vermicompost (kascing) dan budidaya cacing tanah sebagai bahan pasokan pupuk

Electrowinning adalah proses elektrokimia yaitu proses pengendapan logam pada kutub katoda menggunakan arus listrik yang mengalir dalam larutan elektrolit hasil

Sedangkan rata-rata hasil uji indeks keseragaman (E) sebesar 0,035 yang mendekati nilai 0, yang berarti komunitas plankton di perairan tambak tersebut tidak menyebar secara

Dari penelitian yang dilakukan pada lansia di Puskesmas Towuntu Timur, di dapatkan bahwa ada hubungan antara nyeri gout arthritis dengan kemandirian lansia, didapatkan

“…ketika kami menemukan sarana distribusi melakukan pelanggaran dilapangan seperti obat tradisional tanpa izin edar, mengandung bahan kimia obat dan menjual obat

Penggunaan inokulan penambat nitrogen dan pelarut fosfat baik sebagai inokulan tunggal maupun campuran, umumnya dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil panen