Karakteris Tanah Longsor di Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat
Geby Dewinta, Ratna Saraswati, dan Tarsoen WaryonoDepartemen Geografi, FMIPA, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail: geby.dewinta@ui.ac.id
Abstrak
Bencana tanah longsor sering terjadi di Indonesia, khususnya di wilayah – wilayah yang mempunyai lereng tidak stabil. Di Sumatera Barat, khususnya Kota Sawahlunto bencana tanah longsor telah menjadi masalah serius. Penelitian ini bertujuan untuk menginformasikan potensi dan sebaran kejadian tanah longsor, serta karakteristik tanah longsor di Kota Sawahlunto. Metode penelitian yang digunakan ialah metode SINMAP (Stability Index Mapping) untuk menghasilkan wilayah potensi tanah longsor dan metode analisis spasial deskriptif untuk menjelaskan karakteristik tanah longsor. Hasil penelitian menunjukkan luas wilayah potensi longsor mencapai 28,62 Km2, dan longsor yang terjadi secara umum berada pada kelerengan > 15%, jenis tanah glei humus dan
podsolik, dan penggunaan tanah kebun campuran dan pemukiman. Kejadian longsor akan meningkat pada musim penghujan.
Landslide's characteristic in Sawahlunto, West Sumatera
Abstract
Landslides are often occur in Indonesia, especially in the regions that have unstable slopes. In West Sumatra, particularly in Sawahlunto, landslides have become a serious problem. This study aims to inform potential landslide areas and distribution, as well as the characteristics of landslides in Sawahlunto. Landslides potential areas are being generated by using SINMAP (Stability Index Mapping) s and descriptive spatial analysis are used to explain the characteristics of landslides. The results indicates total area of landslides potential is 28.62 km2, and in general, landslides occur on the slope > 15%, in glei humus and podzolic soil, and on mixed gardens
and residential. In the rainy season, the incidence of landslides will increase.
Keywords: Landslides, Sawahlunto, characteristikcs, SINMAP, potential.
Pendahuluan
Bencana tanah longsor merupakan bencana yang setiap tahun kerap terjadi di Indonesia (Ardiansyah, 2011). Longsor dapat terjadi karena ketidakstabilan lahan. Lebih jauh menurut Goenadi, dkk. (2003) dalam Alhasanah (2006), faktor penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, dan kegempaan. Selain faktor alamiah, juga disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng, dan penambangan. Bencana tanah longsor dampaknya bersifat lokal (dibandingkan dengan gempa bumi dan letusan gunung api), sering terjadi dan dapat mematikan manusia karena kejadiannya yang tiba-tiba (Effendi, 2008). Bencana ini merupakan salah satu bencana yang sering terjadi dan penyebarannya relatif merata hampir di
seluruh wilayah Indonesia. Secara umum potensi tanah longsor menduduki 28% kasus bencana yang menimpa wilayah Indonesia.
Sumatera Barat merupakan salah satu daerah rawan tanah longsor di Indonesia. Dari beberapa kabupaten dan kota di Sumatera Barat, Kota Sawahlunto merupakan salah satu daerah yang rawan terhadap kejadian longsor. Dalam beberapa tahun terakhir kejadian tanah longsor di Kota Sawahlunto menjadi masalah yang serius. Pada Januari 2014, terdapat 2 (dua) kejadian longsor di Kota Sawahlunto, pertama tujuh rumah di Desa Lumindai, Kecamatan Barangin, Sawahlunto tertimbun longsoran tebing. Kedua, berselang 3 (tiga) hari dari kejadian longsor di Desa Lumindai, terjadi longsor di di kaki bukit Puncak Polan Tanjung Sari, Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Lembah Segar (BPBD Kota Sawahlunto, 2014). Oleh karena itu, tanah longsor yang terjadi di Kota Sawahlunto menjadi strategis untuk ditelusuri melalui pendekatan geografi agar dapat diketahui penyebab utama longsor dan karakteristik dari tiap kejadian longsor serta sebagai langkah awal pencegahan kejadian longsor nantinya dan merupakan langkah pertama dalam upaya meminimalkan kerugian akibat bencana tanah longsor.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang diungkapkan sebagai pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
1. Dimana potensi longsor berdasarkan metode SINMAP dan persebaran kejadian tanah longsor di Kota Sawahlunto?
2. Bagaimana karakteristik tanah longsor di Kota Sawahlunto? Tujuan dari penelitian ini ialah:
1. Memberikan informasi potensi longsor berdasarkan metode SINMAP dan kejadian tanah longsor di Kota Sawahlunto.
2. Memberikan penjelasan karakteristik tanah longsor di Kota Sawahlunto
Tinjauan Pustaka
Gerakan tanah adalah suatu konsekuensi fenomena dinamis alam untuk mencapai kondisi baru akibat gangguan keseimbangan lereng yang terjadi (Anwar, 2003). Tanah longsor merupakan merupakan fenomena geologi yang yang meliputi perpindahan massa batuan, yang bisa terjadi dimana saja (Friedman dan Werner, 2010).
Menurut Karnawati (2003) dalam Alhasanah (2006) menjelaskan bahwa terjadinya longsor karena adanya faktor-faktor pengontrol gerakan di antaranya geomorfologi, tanah, geologi, geohidrologi, dan tata guna lahan, serta adanya proses-proses pemicu gerakan seperti :
infiltrasi air ke dalam lereng, getaran, aktivitas manusia/ perubahan dan gangguan lahan. Faktor-faktor pengontrol gerakan tanah saling berinteraksi sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang cenderung atau berpotensi untuk bergerak. Kondisi lereng yang demikian disebut sebagai kondisi rentan untuk bergerak. Gerakan pada lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila ada pemicu gerakan. Pemicu gerakan merupakan proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat mengubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak) menjadi mulai bergerak.
Stability Index Mapping (SINMAP) merupakan sebuah tools yang tersedia untuk software Arc. GIS dan dipergunakan untuk pemodelan stabilitas lereng. SINMAP dikembangkan oleh Goodwin, C.N, Pack, R.T. and Tarboton, D.G. (1998) melalui Terratech Consulting Ltd, Utah State University (Hammond et al, 1992 dalam Montgomery and Dietrich, 1994).
Untuk menjalankan SINMAP, diperlukan beberapa parameter yang berkaitan dengan sifat fisik dan data hidrologi, yaitu Kohesi Tanah (C), Sudut Gesek atau Angle friction (Ø), dan
Ratio of Transmisivity to Effective Recharge (T/R).
Secara matematis, SINMAP memiliki persamaan dalam menetapkan stabilitas lereng atau Stability Index (SI) sebagai berikut;
FS
=
!! !"#! [!!!"#( ! ! ! !"#! !!)!] !"#Ø !"#!Dimana, FS = Safety Factor C = Kohesi (kN/m2) !
= Lereng (%) R = Recharge rate (m/d) T = Transmisivitas (m2/d)
a = Specific Catchment Area (m2/m) r = Rasio kepadatan air dan tanah Ø = Friction Angle ( ̊ )
[Sumber : Pack, Tarboton & Goodwin (1998) dalam Andriono, 2012)]
Nilai a dan ! didapatkan dari topografi wilayah berupa data Digital Elevation Model (DEM), sedangkan nilai dari C, Ø, dan T/R didapatkan dari parameter jenis tanah di wilayah kajian.
Metode Penelitian
Untuk menentukan area potensi tanah longsor digunakan variabel fisik yang terdiri dari kemiringan lereng, jenis tanah, dan curah hujan. Selanjutnya, dibuat validasi model dari area potensi longsor dengan fakta tanah longsor serta penggunaan tanah. Dari hasil validasi model inilah akan diketahui bagaimana karakteristik tanah longsor di Kota Sawahlunto.
Pengolahan data menggunakan aplikasi SIG dengan software Arc GIS 9.3. Adapun teknik pengolahan data dirinci sebagai berikut:
1. Peta Ketinggian dan Kemiringan Lereng
Peta ketinggian dan kemiringan lereng diolah dari SRTM yang berasal dari data kontur dibagi menjadi beberapa kelas. Peta akan dibuat dengan skala 1 : 50.000.
2. Peta Penggunaan Tanah
Penggunaan Tanah akan dibuat dengan skala 1: 50.000 yang bersumber dari Bappeda Kota Sawahlunto.
3. Peta Jenis Tanah
Peta Jenis Tanah akan dibuat dibuat dengan skala 1: 50.000 yang bersumber dari Bappeda Kota Sawahlunto.
4. Peta Curah Hujan
Peta Curah Hujan digunakan untuk melihat data curah hujan dalam bentuk spasial. Data curah hujan yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah data curah hujan tahunan (tabular) yang akan diolah menjadi data spasial.
5. Peta sebaran lokasi longsor (fakta)
Pengolahan data kejadian longsor didapatkan dari data sekunder BPBD mengenai kejadian-kejadian longsor yang terjadi di Kota Sawahlunto selama tahun 2013.
6. Peta wilayah potensi tanah longsor
Pengolahan peta wilayah potensi tanah longsor menggunakan metode SINMAP yang terdapat pada ekstensi software Arc. GIS ver 9.3, dengan memasukkan data Digital
Elevation Model (DEM). DEM merupakan data ketinggian yang berbasis pixel akan
dikomilasikan dengan nilai-nilai parameter SINMAP yang disebut Stability Index.
Selain itu juga dilakukan survei lapangan, kejadian longsor divalidasi dan didokumentasikan. Wilayah potensi tanah longsor didapatkan dari pengolahan data dengan metode SINMAP.
Output dari metode SINMAP adalah Data Indeks Stabilitas Wilayah (Potential Terrain
Instability) berupa Stability Index (SI). Data ini menunjukkan kecenderungan suatu wilayah memiliki potensi terjadinya tanah longsor.
Tabel 1. Klasifikasi Indeks Stabilitas Wilayah dalam Metode SINMAP
Stability Index Kondisi Deskripsi
SI > 1.5 Stabil Stability Index (SI) dalam kelas-kelas ini tidak mendukung untuk terjadinya tanah longsor 1.5 > SI > 1.25 Stabil menengah
1.25 > SI > 1 Stabil rendah
1 > SI > 0,5 Potensi tanah longsor rendah Stability Index (SI) dalam kelas-kelas ini mendukung dan memiliki kecenderungan berpotensi terjadinya tanah longsor 0.5 > SI > 0 Potensi tanah longsor sedang
SI < 0 Potensi tanah longsor tinggi
Selanjutnya, metode deskriptif spasial digunakan untuk menjelaskan karakteristik tanah longsor.
Hasil dan Pembahasan
Pada pemodelan SINMAP, untuk menganalisis wilayah potensi longsor dihasilkan output
utama yaitu Indeks Stabilitas (Stability Index). Indeks Stabilitas wilayah terbagi menjadi 6 kelas, yaitu Stabil (stable), Stabil menengah (Moderately stable), Stabil Rendah (Quasi stable), Potensi longsor rendah (Lower threshold), Potensi longsor sedang (Upper threshold), dan Potensi longsor tinggi (Defended). Dari 6 kelas tersebut, hanya 3 kelas terakhir yang mengindikasikan bahwa suatu wilayah berpotensi untuk terjadi longsor. Persebaran wilayah potensi longsor dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Potensi Longsor Kota Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat
Secara keseluruhan Kota Sawahlunto didominasi oleh wilayah stabil atau aman dari bahaya longsor. Wilayah potensi longsor tinggi dan potensi longsor sedang tidak terdapat di Kota Sawahlunto, oleh karena itu kondisi yang mengindikasikan kemungkinan akan terjadi longsor terdapat pada potensi longsor rendah dengan luasan 28,62 km2. Wilayah potensi longsor tersebut meliputi 32 desa/kelurahan dari 37 desa/kelurahan di Kota Sawahlunto. Sedangkan, 5 desa/kelurahan lainnya tergolong dalam kondisi stabil.
Berdasarkan data kejadian longsor dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Sawahlunto tahun 2013, lokasi kejadian tanah longsor di Kota Sawahlunto tersebar di 41 titik di 20 desa. Titik kejadian longsor di Kota Sawahlunto disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Kejadian Longsor Kota Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat
Validasi model longsor dilakukan sebagai suatu pembuktian. Validasi di lakukan pada wilayah potensi longsor dan wilayah tidak tidak berpotensi longsor. Validasi model longsor dari wilayah potensi longsor, fakta tanah longsor dan penggunaan tanah dilakukan pada 2 titik longsor. Lokasi kejadian longsor yang divalidasi di wilayah potensi longsor serta penampang melintangnya dapat dilihat pada Gambar 3. Adapun karakteristik longsor yang divalidasi disajikan pada Tabel 2, dan dokumentasi longsor pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Gambar 3. Validasi Kejadian di Wilayah Potensi Longsor Kota Sawahlunto Tabel 2. Karakteristik Longsor di Wilayah Potensi Longsor
Longsor Kemiringan Lereng Jenis Tanah CH Tahunan (mm) Penggunaan Tanah Longsor 1 >40% Glei Humus 2100-2150 Kebun Campuran Longsor 2 25% - 40% Podsolik 2100-2150 Kebun Campuran
Gambar 4. Longsor 1 di Wilayah Potensi Longsor
Gambar 5. Longsor 2 di Wilayah Potensi Longsor
Berdasarkan Tabel 2, Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan bahwa 2 titik longsor yang terjadi di wilayah potensi longsor berada pada kemiringan lereng lebih dari 15%. Adapun 2 titik longsor tersebut berada pada jenis tanah glei humus dan podsolik. Jenis tanah glei humus dan podsolik memiliki tektur liat, permeabilitas rendah, dan kepekaan erosi yang besar.
Kedua titik longsor yang diamati memiliki curah hujan tahunan berkisar antara 2100 – 2150 mm. Kondisi curah hujan Kota Sawahlunto terbilang rendah dibandingkan wilayah lain di Provinsi Sumatera Barat, namun curah hujan tersebut tampaknya juga merupakan salah satu faktor pemicu kejadian longsor di kedua titik longsor. Hal tersebut dapat dipahami karena besaran curah hujan yang kurang dari 2000 mm/tahun juga bisa mengakibatkan tanah longsor. Hal tersebut biasanya disebabkan kejenuhan tanah akibat turunnya hujan dalam rentang waktu yang panjang pada suatu waktu, yang umumnya terjadi pada musim penghujan.
Selain itu, berdasarkan hasil penulusuran di lapangan, longsoran terjadi pada penggunaan tanah kebun campuran, terutama yang berada di dekat sarana jalan. Kondisi tersebut menjadi rawan akibat jenis tanaman kebun campuran yang bertajuk kecil dan sangat jarang (kurang rapat), mengakibatkan meningkatnya tingkat erosivitas.
Selanjutnya, validasi model longsor dari wilayah tidak berpotensi longsor, fakta tanah longsor dan penggunaan tanah juga dilakukan pada 2 titik longsor. Lokasi kejadian longsor yang divalidasi di wilayah tidak potensi longsor dapat dilihat pada Gambar 6. Adapun karakteristik, dan dokumentasi longsor yang divalidasi disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 7 dan Gambar 8.
Gambar 6. Validasi Kejadian di Wilayah Tidak Berpotensi Longsor Kota Sawahlunto Tabel 3. Karakteristik Longsor di Wilayah Tidak Berpotensi Longsor
Longsor Kemiringan Lereng Jenis Tanah CH Tahunan (mm) Penggunaan Tanah Longsor 1 15% - 25% Glei Humus 2100-2150 Pemukiman
Longsor 2 15% - 25% Podsolik 2100-2150 Pemukiman
Gambar 7. Longsor 1 di Wilayah Tidak Berpotensi Longsor
Gambar 8. Longsor 1 di Wilayah Tidak Berpotensi Longsor
Berdasarkan Tabel 5.12, Gambar 5.3 dan Gambar 5.4 menunjukkan bahwa 2 titik longsor yang terjadi di wilayah tidak berpotensi longsor berada pada kemiringan lereng lebih dari 15%.
Adapun kondisi jenis tanah pada 2 titik longsor tersebut berada pada jenis tanah glei humus dan podsolik. Jenis tanah glei humus dan podsolik memiliki tektur liat, permeabilitas rendah, dan kepekaan erosi yang besar, sehingga kemungkinan untuk terjadinya longsor sangat besar. Kedua titik longsor yang diamati berada pada wilayah dengan curah hujan tahunan berkisar antara 2100 – 2150 mm. Selain itu, berdasarkan hasil penulusuran di lapangan, longsoran terjadi pada penggunaan tanah pemukiman dan berada di dekat sarana jalan. Pembangunan infrastruktur berupa jalan dan rumah (pemukiman) yang memotong/memapas lereng, serta kondisi penutupan lahan yang tidak mendukung stabilnya agregat tanah terutama terjadi saat hujan lebat yang relatif lama. Kondisi tersebut menjadi rawan akibat penggunaan tanah pemukiman dan jalan memiliki distribusi limpasan tinggi dan menurunkan stabilitas lereng, walaupun kejadian longsor tidak terjadi pada lereng yang curam.
Berdasarkan uraian di atas dimana kejadian longsor pada wilayah potensi dan di wilayah tidak berpotensi atau disebut stabil, memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Berdasarkan kemiringan lereng, longsor umumnya terjadi pada kemiringan lereng lebih dari 15%.
2) Berdasarkan jenis tanah, longsor di Kota Sawahlunto terindikasi terjadi pada jenis tanah glei humus dan podsolik. Jenis tanah glei humus dan podsolik memiliki tektur liat, permeabilitas rendah, dan kepekaan erosi yang besar
3) Kejadian longsor di Kota Sawahlunto umumnya terjadi pada musim penghujan, dengan curah hujan >100 mm.
4) Kejadian longsor di sawahlunto terindikasi pada lahan yang tidak memiliki tutupan yang berupa hutan dan umumnya merupakan kebun campuran dengan vegetasi bertajuk kecil dan jarang dan atau pada penggunaan tanah pemukiman yang memiliki distribusi air limpasan cukup tinggi.
Kesimpulan
Wilayah potensi longsor di Kota Sawahlunto memiliki luasan 28,62 km2 berada pada kemiringan lereng lebih dari 25%, dan sebagian besar berada pada jenis tanah glei humus dan podsolik.
Karakteristik longsor yang terjadi di Kota Sawahlunto secara umum berada pada kemiringan lereng lebih dari 15%, dengan jenis tanah glei humus dan podsolik, dan penggunaan tanah berupa kebun campuran dan pemukiman. Selain itu, kejadian longsor akan meningkat pada musim penghujan dengan curah hujan bulanan > 100 mm.
.
Daftar Referensi
Andriono, B. (2012). Wilayah Rentan Tanah Longsor di Sepanjang Alur Ci Tarik DA
Ci Tarik Kabupaten Sukabumi [Skripsi]. Depok: Departemen Geografi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Alhasanah, F. (2006). Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor Serta
Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Bogor: Program Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Anwar, H. (2003). Pengantar Bencana Gerakan Tanah. Bandung: Pusat Penelitian Geoteknologi, LIPI.
Friedman, Hugh P., Werner, Ernest D. (2010). Landslides: Causes, Types and Effects.
New York: Nova Science Publishers, Inc.
Karnawati, D. (2003). Manajemen Bencana Gerakan Tanah. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gajah Mada.
Montgomery, D.R. and W.E. Dietrich. (1994). A Physically Based Model for Topographic Control on Shallow Landsliding. Water Resources Research 30 , 1153-1171.