KONFORMITAS PADA REMAJA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Bernadetta Desy Sulistyowati 019114125
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI, JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
◙ Karena itu Aku berkata kepadamu : apa saja yang
kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah
menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu.
(Markus 11: 24)
◙ Mintalah, maka akan diberikan kepadamu;
carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka
pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang
yang meminta, menerima dan setiap orang yang
mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok,
baginya pintu dibukakan.
v
Kupersembahkan skripsi ini kepada :
♥Bunda Maria dan Tuhan Yesus
♥Bapak dan ibuku tercinta,
♥Henricus Wijatmiko, my lovelly husband.
♥My little princess, Armella.
vii
Bernadetta Desy Sulistyowati (2009). Hubungan Antara Harga Diri Dengan Perilaku Konformitas Pada Remaja. Jogjakarta; Fakultas Psikologi; Jurusan Psikologi; Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara harga diri dengan perilaku konformitas pada remaja. Masa remaja merupakan puncak emosionalitas. Pada masa ini juga berkembang sikap conformity, yaitu kecenderungan untuk mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran, atau keinginan orang lain. Remaja yang merasa dirinya diterima oleh sosial akan merasa berharga dan akan menerima diri apa adanya. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan negatif antara harga diri dengan perilaku konformitas pada remaja.
Subyek penelitian ini adalah 56 orang siswa SMAK Sang Timur Yogyakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran skala harga diri dan perilaku konformitas. Koefisien reliabilitas skala harga diri sebesar 0,949 dan perilaku konformitas sebesar 0,926. Analisis data penelitian menggunakan analisis korelasiProduct Moment.
Hasil analisis data penelitian diperoleh koefisien korelasi (r) sebesar -0,415 dan nilai signifikansi sebesar 0,001 (p<0,050). Nilai koefisien korelasi yang bernilai negatif menunjukkan semakin tinggi harga diri yang dimiliki remaja maka semakin rendah tingkat konformitasnya. Harga diri pada subjek penelitian sebagian besar (41,10%) termasuk dalam kategori tinggi. Tingkat konformitas pada subjek penelitian sebagian besar (55,40%) termasuk dalam tingkat yang rendah.
viii
and Conformity Behavior in Adolescent. Yogyakarta; Faculty of Psychology; Psychology Department; Sanata Dharma University.
This research is aimed at defining the relationship between self-esteem and conformity behavior in adolescent. Adolescent is emotionality peak. During this period, conformity behavior also develops. It means adolescent tends to follow other people’s opinions, ideas, values, habits, hobbies, or desires. Adolescent perceiving him/herself as socially received will feel valuable and accept him/herself as is. Proposed hypothesis will be negative relationship between self-esteem and conformity behavior in adolescent.
Subjects of this research are 56 students of SMAK Sang Timur Yogyakarta. Data collection is conducted by scale distribution of self-esteem and conformity behavior. Reliability coefficient of self-esteem scale is 0.949 and conformity behavior scale is 0.926. Data is analyzed using Product Moment correlation analysis.
Results of analysis on research data show correlation coefficient (r) at -0.415 and significant value at 0.001 (p<0.050). Negative value of correlation coefficient show that adolescent’s higher self-esteem will cause lower level of conformity. Self-esteem of most research subjects (41.10%) is categorized high. Level of conformity on most research subjects (55.40%) is included into low level.
x
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
kasih dan karunia-Nya yang telah diberikan, sehingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi yang sederhana ini.
Tujuan penyusunan skripsi ini adalah untuk melengkapi salah satu syarat
guna menyelesaikan pendidikan pada jurusan Psikologi Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa tanpa kasih dan karunia-Nya serta dorongan
baik moril maupun spiritual dari banyak pihak, skripsi ini tidak mungkin dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan selaku Dosen pembimbing yang
telah meluangkan waktu untuk membimbing penyusunan skripsi ini.
2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si. selaku Kaprodi yang selalu
memberikan dorongan dan jalan keluar kepada penulis dalam menghadapi
kendala dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Minta Istono, S.Psi., M.Si. selaku dosen penguji I yang telah
memberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu P. Henrietta PDADS., S.Psi selaku dosen penguji II yang telah memberikan
xi
serta dengan setia menunggu hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan
skripsinya.
6. Suamiku, yang tanpa lelah memberikan bantuan, kasih dan pengertiannya
dalam menyelesaikan skripsi ini. Tanpa kamu mungkin skripsi ini tidak akan
pernah terselesaikan.
7. Little princes Armella, kamulah motivasiku nak.
8. Mas Gandung , mbak Nanik, ,mas Muji, mas Doni, terima kasih atas
bantuannya selama ini.
9. Temen-temenku, Nyit-nyit, Jelly, Rini, Anas, Mira, Silva, yang selalu
kemana-mana bareng pas udah deadline, will miss you all guys.
10. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang
tidak mungkin disebutkan satu-persatu, terima kasih semuanya.
Penulis menyadari bahwa skrisi ini masih terdapat banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna, mengingat masish sangat terbatasnya pengetahuan maupun
wawasan yang penulis miliki. Kritik dan saran yang membangun akan sangat
penulis hargai.
Akhirnya, dengan segala kesederhanaanya, skripsi ini dipersembahkan
kepada pembaca maupun pihak-pihak yang memerlukannya.
Yogyakarta, 23 Oktober 2009
xii
Halaman Judul... i
Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing ... ii
Halaman Pengesahan Penguji ... iii
Halaman Motto... iv
Halaman Persembahan ... v
Halaman Pernyataan Keaslian Karya... vi
Abstrak ... vii
Abstract ... viii
Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah... ix
Kata Pengantar ... x
Daftar Isi... xii
Daftar Tabel ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II DASAR TEORI ... 9
A. Konformitas ... 8
1. Definisi Konformitas ... 9
2. Aspek Konformitas Pada Remaja... 11
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas ... 15
4. Alasan Orang Melakukan Konformitas ... 18
5. Perilaku Konformitas Pada Remaja... 19
B. Harga Diri ... 22
xiii
4. Pengaruh Harga Diri ... 26
C. Remaja ... 27
D. Dinamika Hubungan Antara Harga Diri dengan Konformitas Pada Remaja ... 32
E. Hipotesis... 34
BAB III METODE PENELITIAN... 35
A. Jenis Penelitian ... 35
B. Variabel Penelitian... 35
C. Definisi Operasional ... 35
D. Subjek Penelitian ... 36
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 37
F. Pengujian Instrumen... 38
G. Metode Analisis Data... 42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43
A. Pelaksanaan Penelitian... 43
B. Hasil Penelitian ... 43
1. Deskripsi Data Penelitian... 43
2. Kategorisasi Skor Skala ... 44
3. Uji Asumsi ... 46
4. Uji Hipotesis ... 48
C. Pembahasan... 49
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 53
A. Kesimpulan ... 53
B. Saran... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 55
xiv
Tabel 1 Distribusi Aitem Skala Harga Diri ... 37
Tabel 2 Distribusi Aitem Skala Konfomitas ... 38
Tabel 3 Distribusi Aitem Skala Harga Diri Pada Saat Uji Coba... 40
Tabel 4 Distribusi Aitem Skala Konformitas Pada Saat Uji Coba... 41
Tabel 5 TabelMeandan Standar Deviasi ... 43
Tabel 6 Kategorisasi Skor pada Skala Harga diri... 45
Tabel 7 Kategorisasi Skor pada Skala Konformitas... 46
Tabel 8 Ringkasan Uji Normalitas ... 47
Tabel 9 Hasil Uji Linieritas ... 47
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan masa yang menyenangkan, masa yang paling
berkesan dalam hidup. Kenangan saat remaja merupakan kenangan yang tidak
mudah dilupakan. Fase ini ditandai dengan kebutuhan remaja akan
pertemanan dan keinginan remaja untuk selalu mengikuti trend-trend yang
ada agar tidak dicap kuper (kurang pergaulan). Remaja diidentikkan pula
dengan dunia pertemanan yang terkadang keluar dari batasan norma
pergaulan. Oleh sebab itu pada fase ini sebetulnya remaja masih
membutuhkan bimbingan baik dari lingkungan keluarganya maupun dari
lingkungan sekitarnya.
Masa remaja merupakan masa topan badai (strum und drag) yang
mencerminkan kebudayaan modern yang penuh gejolak akibat pertentangan
nilai-nilai. Pada masa ini terdapat kegoncangan pada individu remaja terutama
dalam melepaskan nilai-nilai yang lama dan memperoleh nilai-nilai yang baru
untuk mencapai kedewasaan. Nilai-nilai lama berasal dari lingkungan keluarga
dimana remaja dibesarkan. Nilai-nilai lama tersebut akan berubah seiring
dengan terjadinya proses sosialisasi remaja di luar lingkungan keluarganya
kemudian terbentukah nilai-nilai baru. Nilai-nilai baru diperoleh setelah
remaja menyaring semua nilai-nilai yang diperolehnya. Pada masa ini
lebih sering untuk menghabiskan waktunya dengan teman-temannya karena
menurut mereka teman akan memenuhi kebutuhannya (Hurlock, 1995).
Dalam perkembangan sosialnya remaja cenderung memisahkan diri
dari orangtuanya dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya
(Monks, dkk, 1996). Teman menjadi figur contoh yang penting bagi remaja.
Keinginan remaja untuk selalu berada dalam kelompoknya tersebut akan
mengakibatkan remaja bersikap konform terhadap kelompoknya, Palmer
(Mappiare, 1983). Hal itu menyebabkan terjadinya konformitas pada remaja.
Konformitas kadangkala berdampak negatif jika remaja tidak pandai
memilih teman bergaul. Kasus-kasus yang banyak dijumpai menunjukkan
kenakalan remaja seperti tawuran, corat-coret dinding, merokok dan
minum-minuman keras. Kasus lain yang sempat menjadi headline sejumlah media
adalah munculnya geng sekolah yang menamai dirinya Geng Nero (neko-neko
dikeroyok) yang anggotanya semuanya masih duduk di kelas 1 SMA Pati,
Jawa Tengah. Fenomena Geng Nero lebih banyak diberitakan di media
sebagai bentuk kekerasan diantara remaja putri. Anak diluar geng ini kerapkali
mendapat ujian atau hukuman hanya karena persoalan sepele, ada sedikit
kesalahan, atau ingin menjadi anggota geng ini.
Fenomena geng pada remaja pria ternyata juga tak kalah
menghebohkan masyarakat. Salah satunya adalah fenomena geng motor.
Kehadiran geng bukan sekadar ajang berkumpul dengan remaja pria lain,
tetapi juga sebagai aktualisasi sisi maskulin pria. Fenomena merebaknya geng
juga menyangkut aspek internalisasi nilai peran jender yang berlangsung
dalam domain keluarga dan sekolah. Berdasarkan pengamatan sejumlah media
yang mengungkapkan profil-profil anggota geng motor dari kota-kota di
Indonesia terungkap bahwa sebagian besar dari geng-geng tersebut terlibat
dengan kegiatan kriminal baik itu perampokan, curanmor, hingga
tindakan-tindakan yang berujung fatal semisal pengeroyokan hingga pembunuhan.
Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan
emosi yang tinggi. Mencapai kematangan emosional merupakan tugas
perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya sangat
dipengaruhi oleh kondisi sosio-emosional lingkungannya, terutama
lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. Pada masa ini, juga
berkembang sikap conformity, yaitu kecenderungan untuk menyerah atau
mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran, atau keinginan orang
lain. Peer group, pembentukan kelompok, membuat kelompok-kelompok
yang sama dengan karakteristik dirinya, ingin menonjolkan kelompok mereka,
merupakan masa perkembangan di usia-usia ini. Keinginan untuk bisa sama
dengan yang lain, untuk bisa diterima oleh suatu kelompok cukup tinggi. Hal
ini membuat seseorang akan bersedia melakukan apapun, selama ia bisa
diterima oleh kelompok tersebut karena rasa ingin diakui cukup tinggi pada
masa-masa ini. Bagi sebagian orang, mereka yang akan dikucilkan oleh
kelompok merupakan hal yang dapat menyebabkan stress, frustasi, dan rasa
Konformitas merupakan hasil interaksi yang terjadi di saat seseorang
menampilkan perilaku tertentu karena setiap orang menampikan perilaku
tersebut (Sears, 1993). Konformitas dapat pula diartikan sebagai penyesuaian
diri dengan masyarakat dengan cara mengindahkan norma dan nilai
masyarakat (Soekanto, 2000). Menurut Mappiare (1983) salah satu sifat
remaja yang kondusif untuk terjadi konformitas adalah kebutuhan berteman
yang kuat. Remaja melakukan penyesuaian untuk mendapat persetujuan atau
penerimaan, agar disukai dan terhindar dari penolakan teman sebayanya.
Konformitas menurut Rakhmat (2003) adalah produk interaksi antara
faktor-faktor situasional dan faktor personal. Faktor-faktor situasional yang
menentukan konformitas meliputi kejelasan situasi, konteks situasi cara
menyampaikan penilaian, karakteristik sumber pengaruh ukuran kelompok,
dan kesepakatan kelompok, sedangkan personal yang erat kaitannya dengan
konformitas meliputi usia, jenis kelamin, stabilitas emosional,
otoritarianisme, kecerdasan, motivasi, dan harga diri. Terkait dengan harga
diri, Sears (1994) berpendapat bahwa kepercayaan diri yang lemah
mempengaruhi tingkat konformitas. Faktor yang sangat mempengaruhi rasa
percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut
pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi. Semakin
lemah kepercayaan seseorang akan penilaiannya sendiri, semakin tinggi
tingkat konformitasnya. Sebaliknya, jika dia merasa yakin akan
kemampuannya sendiri akan penilaian terhadap sesuatu hal, semakin turun
Harga diri merupakan penilaian diri yang dibuat oleh seseorang
terhadap dirinya yang sifatnya relatif tetap, yang diperoleh dari interaksinya
dengan lingkungan dan dari penerimaan, penghargaan dan perlakuan orang
terhadap dirinya (Coopersmith, 1967). Menurut Branden (1987), harga diri
terdiri dari dua komponen yaitu perasaan akan kompetensi pribadi dan
perasaan akan harga diri pribadi. Jadi, harga diri merupakan gabungan dari
rasa percaya diri (self confidence) dan harga diri (self respect). Masa yang
paling penting dan menentukan perkembangan harga diri seseorang adalah
pada masa remaja. Pada masa inilah terutama seseorang akan mengenali dan
mengembangkan seluruh aspek dalam dirinya.
Harga diri terbentuk oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal
yang mempengaruhi harga diri meliputi aspek psikologis individu yang
menyangkut keberhasilan atau kegagalan yang dialami dan mekanisme
pertahanan diri yang berkembang berdasarkan pengalaman-pengalaman yang
telah dilalui individu terhadap kekuatan, kompetisi, nilai-nilai dan kebaikan.
Faktor eksternal yang mempengarhi harga diri meliputi aspek lingkungan
baik keluarga sebagai tempat sosialisasi pertama anak maupun lingkungan
sosial yaitu interaksi individu dengan lingkungan sosialnya.
Selain faktor internal dan eksternal, perbedaan jenis kelamin juga
berpengaruh pada tingkat harga diri seseorang. Penelitian Kimmel (dalam
Koentjoro, 1989) menyatakan bahwa wanita mempunyai tingkat harga diri
diri dan kepercayaan diri yang lebih rendah dibandingkan pria. Hal ini
tingkat harga diri pria sedikit lebih tinggi dari pada wanita. Hal ini dapat
terjadi karena streoripe gender yang melekat pada perbedaan jenis kelamin,
sehingga ada perbedaan perlakuan yang diterima sejak kecil dan berpengaruh
pada pembentukan harga diri seseorang.
Penelitian mengenai konformitas telah banyak dilakukan oleh
penelitian sebelumnya, diantaranya oleh Lokiteswara (2006). Lokiteswara
(2006) meneliti tentang Studi Hubungan Konformitas Kelompok Dengan
Gaya Hidup Clubbing Pada Remaja yang menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang sangat signifikan antara konformitas kelompok dengan gaya
hidup clubbing pada remaja. Penelitian yang sejenis juga dilakukan oleh
Rochadi (2004) yang meneliti hubungan konformitas dengan perilaku
merokok pada remaja Sekolah SMU Negeri di 5 Wilayah DKI Jakarta. Hasil
penelitian Rochadi (2004) menyimpulkan bahwa ada 6 tipe perilaku merokok
remaja yaitu tipe sosialisasi, tipe eksistensi, tipe santai, tipe konpensasi, dan
tipe kebutuhan. Bentuk konformitas perokok tipe sosialisasi, tipe eksistensi,
tipe santai adalah bentuk konformitas kerelaan sedangkan tipe kebutuhan
bentuk konformitas penerimaan.
Penelitian mengenai hubungan harga diri dengan konformitas juga
pernah dilakukan oleh Amilia (2005) yang meneliti hubungan antara harga
diri dengan konformitas dalam partisipasi kegiatan ekstrakurikuler pada siswa
SMU. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada
kelompok, sedangkan penelitian sebelumnya meneliti konformitas dalam
partisipasi kegiatan ekstrakurikuler.
Berdasarkan uraian tersebut, penting untuk dikaji lebih jauh tentang
konektivitas harga diri terhadap konformitas pada remaja dengan subjek yang
variatif. Pada penelitian ini peneliti memfokuskan permasalahan pada
hubungan antara harga diri dengan konformitas pada remaja dengan
memfokuskan aspek konformitas pada kelompok secara umum. Peneliti
mencoba untuk mengetahui apakah ada hubungan antara harga diri dengan
konformitas pada remaja guna mendukung hasil penelitian-penelitian
sebelumnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut, ada permasalahan
yang dapat dirumuskan yaitu: Apakah ada hubungan antara harga diri dengan
konformitas pada remaja?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi tambahan terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan khususnya Psikologi Sosial yang berkenaan
dengan konformitas.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Remaja
Diharapkan hasil penelitian ini dijadikan tolak ukur bagi remaja bahwa
konformitas sering terjadi dalam kehidupan mereka dan dapat
menimbulkan dampak positif maupun negatif.
b. Bagi Penulis
Merupakan kesempatan bagi penulis untuk mengkaji secara lebih
mendalam tentang psikologi remaja dan psikologi sosial khususnya
9
DASAR TEORI
A. Konformitas
1. Definisi Konformitas
Sugiyarta (2002) menerangkan bahwa konformitas merupakan hasil
interaksi sosial dan proses sosial dalam kehidupan manusia bermasyarakat
akan memunculkan perilaku-perilaku kesepakatan (konformitas) sebagai
bentuk aturan bermain bersama. Penyesuaian-penyesuaian perilaku yang
disepakati bersama sebagai pedoman dalam kehidupan. Hal ini
menyangkut perilaku kepatuhan. Individu melakukan konformitas dalam
rangka mencari equillibrium dalam kehidupan bermasyarakat.
Lebih lanjut Rakhmat (2003) menjelaskan bahwa bila sejumlah
orang dalam kelompok mengatakan atau melakukan sesuatu, ada
kecenderungan para anggota untuk mengatakan dan melakukan hal yang
sama. Konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju
norma kelompok sebagai akibat dari tekanan kelompok. Konformitas
adalah produk interaksi antara faktor-faktor situasional dan faktor
personal.
Menurut Santrock (1998) konformitas mempengaruhi berbagai aspek
dalam kehidupan remaja seperti pilihan terhadap aktivitas sekolah ataupun
sosial yang akan diikuti dan nilai-nilai yang dianut. Konformitas pada
teman-teman atau kelompoknya. Apabila seorang remaja mempunyai
konformitas yang tinggi terhadap kelompoknya maka ia akan cenderung
melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan kelompoknya dan
begitupun sebaliknya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masa
remaja merupakan masa dimana seseorang mempunyai gejolak yang
meningkat untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi di dalam
kehidupan seseorang.
Konformitas berarti penyesuaian diri dengan masyarakat dengan cara
mengindahkan norma dan nilai masyarakat (Soekanto, 2000). John M
Shepard seperti dikutip oleh Sunarto (2004) mendefinisikan konformitas
sebagai tipe interaksi sosial dimana individu berperilaku sesuai harapan
kelompok. Konformitas tidak hanya bertindak atau bertingkah laku seperti
yang orang lain lakukan, tetapi juga terpengaruh bagaimana orang lain
bertindak (Kiesler & Kiesler, 1969).
Laki-laki cenderung berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan
dari laki-laki dan perempuan berperilaku seperti harapan orang dari
perempuan. Berperilaku sebagai laki-laki atau perempuan lebih
disebabkan karena identitas diri sebagai laki-laki atau perempuan yang
diberikan kepada kita melalui sosialisasi. Bayi laki-laki dan bayi
perempuan diperlakukan berbeda, diberikan pakaian berbeda,diberi
mainan berbeda (Henslin,1997). Konformitas berarti keselarasan,
harapan-harapan masyarakatnya, sejalan dengan kecenderungan manusia
dalam kehidupan berkelompok membentuk norma sosial.
Dari uraian mengenai berbagai pengertian konformitas di atas, dapat
disimpulkan bahwa konformitas adalah suatu bentuk sikap penyesuaian
diri seseorang dalam masyarakat/kelompok karena dia terdorong untuk
mengikuti kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang sudah ada atau perilaku yang
diubah untuk menyesuaikan diri dengan harapan kelompok.
2. Aspek Konformitas Pada Remaja
Konformitas sebuah kelompok acuan dapat mudah terlihat dengan
adanya ciri-ciri yang khas. Sears (1991) mengemukakan secara eksplisit
bahwa konformitas remaja ditandai dengan adanya tiga hal sebagai
berikut:
a. Kekompakan
Kekuatan yang dimiliki kelompok acuan menyebabkan remaja
tertarik dan ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan
remaja dengan kelompok acuan disebabkan perasaan suka antara
anggota kelompok serta harapan memperoleh manfaat dari
keanggotaannya.
Semakin besar rasa suka anggota yang satu terhadap anggota yang
lain, dan semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari
keanggotaan kelompok serta semakin besar kesetiaan mereka, maka
1) Penyesuaian diri, kekompakan yang tinggi menimbulkan tingkat
konformitas yang semakin tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa
bila orang merasa dekat dengan anggota kelompok lain, akan
semakin menyenangkan bagi mereka untuk mengakui kita, dan
semakin menyakitkan bila mereka mencela kita. kemungkinan
untuk menyesuaikan diri akan semakin besar bila kita mempunyai
keinginan yang kuat untuk menjadi anggota sebuah kelompok
tertentu.
2) Perhatian terhadap kelompok, peningkatan koformitas terjadi
karena anggotanya enggan disebut sebagai orang yang
menyimpang. Seperti yang telah kita ketahui, penyimpangan
menimbulkan resiko ditolak. Orang yang terlalu sering
menyimpang pada saat-saat yang penting diperlukan, tidak
menyenangkan, dan bahkan bisa dikeluarkan dari kelompok.
Semakin tinggi perhatian seseorang dalam kelompok semakin
serius tingkat rasa takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil
kemungkinan untuk tidak meyetujui kelompok.
b. Kesepakatan
Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan
kuat sehingga remaja harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya
dengan pendapat kelompok.
1) Kepercayaan, penurunan melakukan konformitas yang drastis
Tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi
perbedaan pendapat, meskipun orang yang berbeda pendapat itu
sebenarnya kurang ahli bila dibandingkan anggota lain yang
membentuk mayoritas. Bila seseorang sudah tidak mempunyai
kepercayaan terhadap pendapat kelompok, maka hal ini dapat
mengurangi ketergantungan individu terhadap kelompok sebagai
sebuah kesepakatan.
2) Persamaan pendapat, Bila dalam suatu kelompok terdapat satu
orang saja tidak sependapat dengan anggota kelompok yang lain
maka konformitas akan turun. Kehadiran orang yang tidak
sependapat tersebut menunjukkan terjadinya perbedaan yang dapat
berakibat pada berkurangnya kesepakatan kelompok. Jadi dengan
persamaan pendapat antar anggota kelompok maka konformitas
akan semakin tinggi.
3) Penyimpangan terhadap pendapat kelompok, bila orang mempunyai
pendapat yang berbeda dengan orang lain dia akan dikucilkan dan
dipandang sebagai orang yang menyimpang, baik dalam
pandangannya sendiri maupun dalam pandangan orang lain. Bila
orang lain juga mempunyai pendapat yang berbeda, dia tidak akan
dianggap menyimpang dan tidak akan dikucilkan. Jadi kesimpulan
bahwa orang yang menyimpang akan menyebabkan penurunan
kesepakatan merupakan aspek penting dalam melakukan
c. Ketaatan
Tekanan atau tuntutan kelompok acuan pada remaja
membuatnya rela melakukan tindakan walaupun remaja tidak
menginginkannya. Bila ketaatannya tinggi maka konformitasnya akan
tinggi juga.
1) Tekanan karena ganjaran, ancaman, atau hukuman. Salah satu cara
untuk menimbulkan ketaatan adalah dengan meningkatkan tekanan
terhadap individu untuk menampilkan perilaku yang diinginkan
melalui ganjaran, ancaman, atau hukuman karena akan
menimbulkan ketaatan yang semakin besar. Semua itu merupakan
insentif pokok untuk mengubah perilaku seseorang.
2) Harapan orang lain, seseorang akan rela memenuhi permintaan
orang lain hanya karena orang lain tersebut mengharapkannya. Dan
ini akan mudah dilihat bila permintaan diajukan secara langsung.
Harapan-harapan orang lain dapat menimbulkan ketaatan, bahkan
meskipun harapan itu bersifat implisit. Salah satu cara untuk
memaksimalkan ketaatan adalah dengan menempatkan individu
dalam situasi yang terkendali, dimana segala sesuatunya diatur
sedemikian rupa sehingga ketidaktaatan merupakan hal yang hampir
tidak mungkin timbul.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menggunakan aspek-aspek
kekompakan, kesepakatan dan ketaatan karena definisinya lebih mendekati
pada definisi konformitas pada remaja.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas
Faktor-faktor yang menentukan sejauh mana seseorang mengikuti
tekanan konformitas menurut Sears, dkk (1994) adalah sebagai berikut:
a. Kurangnya Informasi
Orang lain merupakan sumber informasi yang penting. Seringkali
mereka mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui; dengan melakukan
apa yang mereka lakukan, kita akan memeperoleh manfaat dari
pengetahuan mereka.
b. Kepercayaan terhadap kelompok
Dalam situasi konformitas, individu mempunyai suatu pandangan dan
kemudian menyadari bahwa kelompoknya menganut pandangan yang
bertentangan. Individu ingin memberikan informasi yang tepat. Oleh
karena itu, semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok
sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula
kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok.
c. Kepercayaan diri yang lemah
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan
tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada
kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi. Semakin
tinggi tingkat konformitasnya. Sebaliknya, jika dia merasa yakin akan
kemampuannya sendiri akan penilaian terhadap sesuatu hal, semakin
turun tingkat konformitasnya.
d. Rasa takut terhadap celaan sosial
Celaan sosial memberikan efek yang signifikan terhadap sikap
individu karena pada dasarnya setiap manusia cenderung
mengusahakan pesetujuan dan menghindari celaan kelompok dalam
setiap tindakannya. Tetapi, sejumlah faktor akan menentukan
bagaimana pengaruh persetujuan dan celaan ibi terhadap tingkat
konformitas individu.
e. Rasa takut terhadap penyimpangan
Rasa takut dipandang sebagai orang yang menyimpang merupakan
faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial. Kita tidak mau dilihat
sebagai orang yang lain dari yang lain, kita tidak ingin tampak seperti
orang lain. Kita ingin agar kelompok tempat kita berada menyukai
kita, memperlakukan kita dengan baik dan bersedia menerima kita.
f. Kekompakan kelompok
Konformitas juga dipengaruhi oleh eratnya hubungan antara individu
dengan kelompoknya. Kekompakan yang tinggi menimbulkan
konformitas yang semakin tinggi.
g. Kesepakatan kelompok
Orang yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat
Namun, bila kelompok tidak bersatu akan tampak adanya penurunan
tingkat konformitas.
h. Ukuran kelompok
Konformitas akan meningkat bila ukuran mayoritas yang sependapat
juga meningkat, setidak-tidaknya sampai tingkat tertentu. Namun,
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wilder (1977) disimpulkan
bahwa pengaruh ukuran kelompok terhadap tingkat konformitas tidak
terlalu besar, melainkan jumlah pendapat lepas (independent opinion)
dari kelompok yang berbeda atau dari individu merupakan pengaruh
utama.
i. Keterikatan pada penilaian bebas
Orang yang secara terbuka dan bersungguh-sungguh terikat suatu
penilaian bebas akan lebih enggan menyesuaikan diri terhadap
penilaian kelompok yang berlainan. Atau dengan kata lain keterikatan
sebagai kekuatan total yang membuat seseorang mengalami kesulitan
untuk melepaskan suatu pendapat.
j. keterikatan terhadap Non-Konformitas
Orang yang, karena satu dan lain hal, tidak menyesuaikan diri pada
percobaan-percobaan awal cenderung terikat pada perilaku
konformitas ini. Orang yang sejak awal menyesuaikan diri akan tetap
terikat pada perilaku itu.
Rakhmat (2003) menjelaskan bahwa konformitas adalah perubahan
tekanan kelompok. Konformitas adalah produk interaksi antara
faktor-faktor situasional dan faktor-faktor personal. Faktor-faktor-faktor situasional yang
menentukan konformitas adalah: kejelasan situasi, konteks situasi cara
menyampaikan penilaian, karakteristik sumber pengaruh ukuran
kelompok, dan kesepakatan kelompok. Selain faktor situasional tersebut,
ada beberapa faktor personal yang erat kaitannya dengan konformitas.
Faktor tersebut adalah: usia, jenis kelamin, stabilitas emosional,
otoritarianisme, kecerdasan motivasi, dan harga diri.
Dengan demikian menurut Rakhmat (2003) salah satu faktor yang
mempengaruhi koformitas adalah harga diri. Semakin lemah kepercayaan
seseorang akan penilaiannya sendiri, semakin tinggi tingkat
konformitasnya. Sebaliknya, jika dia merasa yakin akan kemampuannya
sendiri akan penilaian terhadap sesuatu hal, semakin turun tingkat
konformitasnya.
4. Alasan Orang Melakukan Konformitas
Terdapat dua alasan orang melakukan konformitas menurut Baron
& Byrne (2005), yaitu:
a. Normative influence, yaitu orang berkonformitas yang didasarkan pada
kehendak atau keinginan seseorang untuk memenuhi harapan-harapan
orang lain. Hal ini sering dilakukan agar yang melakukan tersebut bisa
Normative influence ini didasarkan pada keinginan untuk
disukai dan tidak ditolak oleh kelompok. Pengaruh secara normatif ini
membuat kita melakukan perubahan tingkah laku untuk memenuhi
harapan orang lan ataupun kelompok. Konformitas yang kita lakukan
adalah berdasarkan norma sosial yang telah disepakati oleh kelompok.
b. Informational influence, yaitu konformitas merupakan hasil dari
adanya bukti tentang realita yang diberikan orang lain. Kecenderungan
seseorang untuk lebih berkonformitas ketika merespon kemauan
publik yang merefleksikan normative influence. Sedangkan
kecenderungan untuk lebih berkonformitas pada pengambilan
keputusan tugas merefleksikaninformational influence.
Informational influence ini didasarkan pada keinginan untuk
merasa benar, sehingga seseorang lebih merujuk informasi dari orang
lain ataupun pendapat kelompok sebagai referensi atau sebagai
panduan opini dan tindakannya. Rujukan atas informasi orang lain
inilah yang menjadi sumber kuat atas kecenderungan untuk melakukan
konformitas. Ketergantungan ini juga membuat seseorang tidak dapat
memutuskan ataupun menilai tentang diri sendiri, karena di dasarkan
pada informasi orang lain.
5. Perilaku Konformitas pada Remaja
Mengapa seseorang masuk dalam kelompok dapat disebabkan
manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, tetapi juga sekaligus
makhluk individu. Sebagai makhluk sosial, manusia akan berhubungan
dengan manusia lain, sehingga mereka secara alami akan membentuk
suatu kelompok. Alasan atau motivasi seseorang masuk dalam suatu
kelompok dapat bervariasi. Oleh karena itu, dalam masyarakat kita dapat
menjumpai adanya berbagai macam kelompok yang berbeda satu dan
lainnya. Dengan tujuan yang berbeda, mereka masuk dalam kelompok
yang berbeda atau dengan minat yang berbeda, mereka masuk dalam
kelompok yang berbeda pula.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas, pada dasarnya seseorang
masuk dalam kelompok dengan tujuan memperoleh keuntungan, baik yang
bersifat psikologis maupun nonpsikologis. Menurut reinforcement theory,
seseorang berharap akan mendapatkan reward sebagai reinforcement
dalam interaksi pada kelompok. Artinya, keuntungan akan diperoleh di
dalam kelompok yang bersangkutan. Namun demikian, ada kemungkinan
bahwa seseorang masuk dalam kelompok dengan harapan memperoleh
keuntungan yang berada di luar kelompok. Dalam hal ini, kelompok
digunakan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan dengan tujuan yang
terletak di luar kelompok. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan
bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang yang masuk dalam
kelompok dapat terletak di dalam maupun di luar kelompok yang
Salah satu bentuk perilaku kelompok pada anak sekolah misalnya
kelompok geng sekolah. Fenomena geng di Sekolah Menengah Atas dan
geng motor merupakan salah satu bentuk perilaku konformitas pada
remaja. Masa remaja merupakan masa sensitif. Pada masa ini, remaja
mengalami kebingungan dalam mencari identitas. Menurut Erikson,
tahapan remaja usia 12-20 tahun sedang berada pada tahap pencarian
identitas vs kebingungan peran (ego identity vs role confusion) (Santrock,
2002).
Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan
emosi yang tinggi. Mencapai kematangan emosional merupakan tugas
perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya sangat
dipengaruhi oleh kondisi sosio-emosional lingkungannya, terutama
lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. Dalam menghadapi
ketidanyamanan emosional tersebut, tidak sedikit remaja yang
mereaksinya secara defensif, sebagai upaya untuk melindungi kelemahan
dirinya. Reaksi yang diberikan biasanya tampail dalam tingkah laku
maladjustment, seperti: (1) agresif: melawan, keras kepala, bertengkar,
berkelahi dan senang mengganggu; dan (2) melarikan diri dari kenyataan:
melamun, pendiam, senang menyendiri, dan meminum minuman keras
atau obat-obatan terlarang (Santrock, 2002).
Pada masa ini, juga berkembang sikap conformity, yaitu
kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai,
pembentukan kelompok, membuat kelompok-kelompok yang sama
dengan karakteristik dirinya, ingin menonjolkan kelompok mereka,
merupakan masa perkembangan di usia-usia ini. Keinginan untuk bisa
sama dengan yang lain, untuk bisa diterima oleh suatu kelompok cukup
tinggi, maka seseorang akan bersedia melakukan apapun, selama ia bisa
diterima oleh kelompok tersebut. Pada masa-masa ini rasa ingin diakui
cukup tinggi. Bagi sebagian orang, mereka yang akan dikucilkan oleh
kelompok merupakan hal yang dapat menyebabkan stress, frustasi, dan
rasa sedih (Santrock, 2002).
B. Harga Diri
1. Pengertian Harga Diri
Harga diri menurut Coopersmith (1967) adalah suatu pendapat
pribadi yang pantas, yang diekspresikan dalam sikap-sikap individu yang
berpatokan pada dirinya sendiri. Brandshaw (1981) mengatakan bahwa
harga diri merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri.
Penilaian adalah perbandingan antra dirinya sendiri dengan suatu
kelompok acuan, baik dalam kelompok dimana indivvidu menjadi anggota
mapuan suatu kelompok dimana individu ingin menjadi anggota. Harga
diri mempunyai pengaruh yang besar terhadap tingkah laku.
Brigham (1991), mengemukakan bahwa harga diri merupakan
bagian dari konsep diri dan setiap orang selalu berusaha untuk
sebagai faktor yang dominan. Watson dkk (2002), menyatakan bahwa
harga diri merupakan suatu keadaan atau sifat kepribadian berdasar atas
evaluasi diri meliputi unsur kognitif, yaitu berkisar tentang pengetahuan
terhadap diri sendiri dan afektif, misalnya sejauhmana individu menyukai
diri sendiri. Secara fundamental harga diri didasarkan pada proses afektif,
terutama perasaan positif (feel good) atau negatif (feel bad) terhadap diri
sendiri.
Baron dan Byrne (1997) berpendapat bahwa harga diri adalah
evaluasi diri yang dibuat oleh individu, yang dinyatakan dalam sikap
positif atau negatif terhadap dirinya sendiri. Hal ini merupakan
pengalaman yang sifatnya subjektif yang diperoleh dari perlakuan verbal
dan tingkah laku orang lain. Karena bersifat subjektif maka setiap individu
akan berbeda dalam menilai dan memilih aspek yang paling penting dalam
kehidupannya. Meskipun bersifat subjektif tetapi harga diri dapat dilihat
dari kombinasi jumlah global dan intensitas dari evaluasi yang dibuat oleh
individu. Evaluasi diri ini dibuat dan dipertahankan individu dalam jangka
waktu tertentu serta dipengaruhi oleh kejadian sehari-hari (Trzesniewski
dkk, 2003).
Menurut Branden (1987), harga diri terdiri dari dua komponen yaitu
perasaan akan kompetensi pribadi dan perasaan akan harga diri pribadi.
Dengan kata lain self esteem adalah gabungan dari rasa percaya diri (self
confidence) dan harga diri (self respect). Seseorang akan menyukai dan
Penilaian terhadap diri sendiri akan mempengaruhi proses berfikir,
perasaan, keinginan, nilai ataupun tujuan hidupnya. Keadaan ini akan
membawa seseorang menuju kearah keberhasilan atau kegagalan dalam
hidup.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa harga
diri merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri yang
dipengaruhi penghargaan dan penerimaan orang lain terhadap dirinya
dimana proses tersebut diperoleh dari interaksi dengan lingkungannya dan
akan dimanifestasikan ke dalam perilakunya.
2. Aspek-aspek Harga Diri
Ada empat aspek menurut Coopersmith (1967) yang menjadi sumber
dari pembentukan harga diri seseorang, yaitu:
a. Keberartian (significant)
Keberartian individu nampak dari adanya penerimaan, penghargaan,
perhatian dan kasih saying dari orang lain. Penerimaan dan perhatian
biasanya ditunjukkan dengan adanya penerimaan dan lingkungannya,
ketenaran dan dukungan keluarga. Semakin banyak ekspresi kasih
saying yang diterima individu, individu akan semakin berarti. Apabila
individu tidak atau jarang memperoleh stimulus positif dari orang lain,
maka kemungkinan besar individu akan merasa ditolak dan kemudian
b. Kekuatan (power)
Kemampuan untuk mempengaruhi dan mengontrol diri sendiri serta
orang lain. Pada situasi tertentu kebutuhan ini ditunjukkan dengan
adanya penghargaan, penghormatan dari orang lain. Pengaruh dan
wibawa juga merupakan hal-hal yang menunjukkan adanya aspek ini
pada seorang individu. Dari pihak individu, seseorang yang
mempunyai kemampuan ini biasanya akan menujukkan sifat-sifat
asertif danexplanatory actionyang tinggi.
c. Kompetensi(competence)
Merupakan performance atau penampilan yang prima dalam upaya
meraih kesuksesan dan keberhasilan. Dalam hal ini penampilan yang
prima ditunjukkan dengan adanya skill atau kemampuan yang merata
untuk semua usia. Dengan adanya kemampuan yang cukup, individu
akan merasa yakin untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Individu
dengan kompetensi yang bagus akan merasa mampu mengatasi
masalah yang dihadapinya serta mampu menghadapi lingkungannya.
d. Kebajikan(virtue)
Adanya kesesuaian diri dengan moral dan standar etik yang berlaku di
lingkungan. Kesesuaian diri dengan moral dan standar etik diadaptasi
individu dari nilai-nilai yang tanamkan oleh para orang tua.
Permasalahan nilai ini pada dasarnya berkisar pada persoalan benar
dan salah. Bahasan tentang kebajikan juga tidak akan lepas dari segala
masyarakat, juga hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai
kemanusiaan, serta ketaatan dalam beragama.
3. Pengaruh Harga Diri
Harga diri yang dimilki individu tidak akan sama persis dalam
suatu waktu. Umumnya harga diri dipengaruhi oleh suasana hati individu.
Pada saat individu menjalani hari yang baik dan merasa diri yang positif,
maka harga diri akan cenderung meningkat. Sedangkan pada saat individu
mengalami hari yang buruj dan merasa diri negatif, maka harga diri yang
dimiliki pun dapat menurun. Rentang perubahan harga diri ini tidak terjadi
dalam waktu yang singkat karena dipengaruhi situasi dan kondisi yang
terjadi pada saat itu.
Kebutuhan akan harga diri pada remaja sangat menonjol. Sebagai
salah satu aspek kepribadian, harga diri sangat dibutuhkan oleh individu
dalam melakukan interaksi sosial dengan orang lain dan menghadapi
kehidupannya. Sebagaimana diungkapkan oleh Branden (1981), harga diri
merupakan kebutuhan manusia yang mendasar yang dapat mempengaruhi
proses berpikir, tingkat emosi, dan keputusan yang akan diambil. Harga
diri merupakan kunci penting dalam pembentukan perilaku. Seorang
remaja yang menilai dirinya positif akan menghargai dirinya secara lebih
baik dan percaya pada kemampuan yang ada dalam dirinya.
Remaja yang mempunyai harga diri yang tinggi akan menunjukkan
serta menghargai dirinya sendiri. Umumnya mereka lebih berhasil baik
dalam akademis maupun kehidupan sosialnya. Sebaliknya remaja yang
memiliki harga diri rendah akan bersikap pasif, kurang yakin akan
kemampuan dirinya, pesimis, rendah diri (infrior), pemalu dan kurang
berani berinteraksi sosial. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukan
Hurlock (1995) bahwa individu hanya akan berbahagia dan memiliki
kemampuan penyesuaian yang baik bila ia dapat menerima dan berdamai
dengan dirinya sendiri.
C. Remaja
Monks (2006) mendefinisikan remaja sebagai masa peralihan dari masa
pubertas ke masa adolesen. Cirinya remaja adalah pertumbuhan fisik sudah
mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya.
Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja pria.
Pada masa ini individu mulai merasa stabil. Mulai mengenal dirinya, mulai
memahami arah hidup dan menyadari tujuan hidupnya. Mempunyai pendirian
tertentu berdasarkan satu pola hidup yang jelas.
Secara psikologis, remaja adalah suatu usia di mana seseorang
berpaling ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa
bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa
sama, atau paling tidak sejajar dengan yang lainnya. Fase remaja merupakan
fase perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial, baik dilihat
mencari jati dirinya. Setelah sekian lama mereka selalu dikekang oleh otoriter
orangtua, secara perlahan mereka akan menuntut keinginan mereka sendiri
agar mandiri (Hurlock, 1995).
Remaja merupakan salah satu tahap perkembangan yang merupakan
tahap peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Dimasa ini remaja
memiliki beberapa tugas perkembangan yang salah satu diantaranya adalah
pencapaian kematangan emosional yang didalamnya terkandung aspek
asertivitas (Hurlock, 1995).
Harapan masyarakat terhadap remaja dapat dipenuhi melalui suatu
proses bersinambung dalam menjalankan tugas-tugas perkembangan. Sebagai
hasil dari kerja timbalbalik yang majemuk antara pertumbuhan dari dalam dan
perangsangan dari lingkungan akan bermunculan serangkaian perilaku baru
menuju tercapainya masa dewasa.
Beberapa tugas perkembangan bagi remaja menurut Gunarsa (2003)
adalah sebagai berikut:
a. Menerima keadaan fisiknya
Pada masa ini remaja mengalami berbagai macam perubahan fisik.
Perubahan fisik berhubung dengan pertumbuhannya dan kematangan
seksual. Pertumbuhan fisik menghasilkan panjang lengan dan tungkai
maupun tinggi badan yang tidak selalu sesuai dengan harapan remaja
maupun lingkungan. Penampilan yang tidak sesuai dengan penampilan
yang diidamkannya dapat merintangi usaha memperluas ruang gerak
b. Memperoleh kebebasan emosional
Remaja harus memperoleh latihan dalam mengambil keputusan
secara bertahap untuk mengambil keputusan dengan bijaksana. Remaja
perlu meregangkan ikatan emosional dengan orang tua supaya memilih
sendiri dan mengambil keputusan sendiri. Remaja acapkali meninggalkan
rumah dan menggabungkan diri dengan teman sebaya yang mungkin juga
senasib dalam usaha pemaksaan pembebasan emosional secara ekstrim.
Orangtua lain di luar lingkungan keluarga mungkin dapat membantu
dalam melakukan pilihan dan mengambil tindakan yang bijaksana.
Sebaliknya remaja yang meninggalkan rumah dan keluarga dan tidak
memperoleh penampungan yang menunjang perkembangannya, mudah
terkena pengaruh kurang baik yang menjerumuskannya. Remaja yang
mempunyai bekal ”kebebasan emosional” berlandaskan kemampuan
membedakan mana yang baik, mana yang tidak baik, apa yang patut
dipilih, apa yang hatus dihindari, tujuan mana yang harus dikejar dan
tindakan atau keputusan mana sebaiknya diambil, remaja dapat bergaul
dan menjalankan tugas perkembangannya selanjutnya.
c. Mampu bergaul
Remaja harus belajar dengan teman sebaya dan tidak sebaya, sejenis
maupun tidak sejenis untuk mempersiapkan diri di masa depan. Remaja
sering menghadapi berbagai macam keadaan, mengalami pengaruh
lingkungan baik yang mengarahkan maupun yang
d. Menemukan model untuk identifikasi
Remaja pada masa ini sedang merenggangkan diri dari ikatan
emosional dengan orangtuanya. Mereka sedang membongkar landasan
hidup, yang sudah diletakkan orangtuanya sepanjang masa anak. Menurut
Erikson dalam Gunarsa (2003) pada masa ini remaja harus menemukan
identitas diri. Ia harus memiliki gaya hidup sendiri, yang bisa dikenal dan
ajek walaupun mengalami berbagai macam perubahan. Dengan demikian
gaya hidup yang khas baginya akan jelas terlihat dari terbentuknya
”identitas diri” dalam menduduki tempatnya di masyarakat.
e. Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri
Pada masa ini terlihat juga perubahan dalam cara berpikir remaja
yang menunjukkan bertambahnya minat terhadap peristiwa yang tidak
langsung dan hal-hal yang tidak konkrit. Pikirannya menjangkau jauh ke
masa depan, mengenai pilihan bidang pekerjaan, pilihan calon istri
ataupun calon suami dan bentuk kehidupan masyarakat lainnya.
Untuk mencegahnya timbulnya perilaku yang sangat menghambat
perkembangan remaja, maka remaja perlu melakukan refleksi diri untuk
mengetahui kemampuan, sejauh mana jangkauan kesanggupannya
mencapai kesempatan yang diperolehnya secara nyata.
f. Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma
Remaja sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan luar dan dalam.
Lingkungan luar dan pengaruhnya kadang-kadang perlu dihambat dan
negatif. Demikian pula lingkungan dalam diri yang mempengaruhi
munculnya perilaku yang tidak bisa ditoleransikan oleh umum, oleh
masyarakat harus dikendalikan dan dicegah pemunculannya.
Konopka (dalam Gunarsa, 2003) menyatakan bahwa masa remaja
merupakan fase yang paling penting dalam pembentukan nilai.
Pembentukan nilai merupakan suatu proses emosional dan intelektual yang
sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial.
g. Meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian kekanak-kanakan.
Seorang anak masih bersifat egosentris. Segala hal dipandang dari
sudut pandangnya sendiri, terpusat pada keinginan dan kebutuhan sendiri.
Reaksi dan tingkahlakunya sangat dipengaruhi oleh emosi dan
kebutuhannya, sehingga sulit menangguhkan terpenuhinya suatu
kebutuhan tertentu. Sebaiknya seorang remaja diharapkan bisa
meninggalkan kecenderungan, keinginan untuk menang sendiri. Sepanjang
masa peralihan ini, remaja harus belajar melihat dari sudut pandang orang
lain. Belajar mengingkari kesenangan diri sendiri, menangguhkan hal-hal
yang menyenangkan dan mendahulukan pelaksanaan tugas dan kewajiban.
Remaja harus belajar menyesuaikan diri dalam hubungan sosial
yang lebih luas dan tugas perkembangan yang lebih majemuk. Tugas
perkembangan dan kesulitan yang dialami remaja perlu dukungan penuh
dari orang tua. Bimbingan dan uluran tangan dari orang tua yang sering
D. Dinamika Hubungan antara Harga Diri dengan Konformitas pada Remaja
Dalam tahap perkembangan remaja, pengaruh kuat teman sebaya atau
sesama remaja merupakan hal penting yang terjadi dalam masa-masa remaja.
Di antara para remaja, terdapat jalinan ikat perasaan yang kuat. Dalam
kelompok teman sebaya inilah remaja menerapkan prinsip-prinsip hidup
bersama dan bekerjasama. Melalui kelompok inilah terbentuk norma, nilai dan
simbol yang dianut oleh para anggotanya. Berdasarkan hal inilah tingkah-laku,
minat bahkan sikap dan pikiran banyak dipengaruhi oleh teman-teman dalam
kelompok mereka. Remaja yang mempunyai konformitas yang tinggi terhadap
kelompoknya maka cenderung melakukan hal yang sama dengan yang
dilakukan kelompoknya dan begitupun sebaliknya. Konformitas yang
dilakukan oleh para remaja ini terjadi karena remaja itu sendiri merasa takut
atau menghindari dikucilkan dari kelompok (Mappiare, 1982).
Salah satu bentuk perilaku kelompok pada anak sekolah adalah
kelompok geng sekolah. Fenomena geng di Sekolah Menengah Atas dan geng
motor merupakan salah satu bentuk perilaku konformitas pada remaja. Masa
remaja merupakan masa sensitif. Pada masa ini, remaja mengalami
kebingungan dalam mencari identitas. Pada masa ini, juga berkembang sikap
conformity, yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini,
pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran, atau keinginan orang lain.Peer group,
pembentukan kelompok, membuat kelompok-kelompok yang sama dengan
perkembangan di usia-usia ini. Keinginan untuk bisa sama dengan yang lain,
untuk bisa diterima oleh suatu kelompok cukup tinggi, maka seseorang akan
bersedia melakukan apapun, selama ia bisa diterima oleh kelompok tersebut
(Santrock, 2002).
Masa yang paling penting dan menentukan perkembangan harga diri
seseorang adalah pada masa remaja. Pada masa inilah terutama seseorang akan
mengenali dan mengembangkan seluruh aspek dalam dirinya. Semakin baik
kemampuan remaja dalam menilai dirinya dengan berpatokan pada dirinya
sendiri, maka akan semakin kecil remaja tersebut mudah terpengaruh oleh
pengaruh negatif teman sebayanya.
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan
tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada
kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi. Semakin lemah
kepercayaan seseorang akan penilaiannya sendiri, semakin tinggi tingkat
konformitasnya. Sebaliknya, jika dia merasa yakin akan kemampuannya
sendiri akan penilaian terhadap sesuatu hal, maka semakin turun tingkat
konformitasnya.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi harga diri
remaja, maka akan semakin rendah perilaku konformitas remaja. Sebaliknya
semakin rendah harga diri remaja, maka akan semakin tinggi konformitas pada
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan diatas, maka peneliti
mengajukan hipotesis sebagai berikut: ”Ada hubungan negatif antara harga
35
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang mencoba mencari
hubungan antar dua variabel, sehingga jenis penelitian ini adalah kolerasi dua
variabel.
B. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel
tergantung.
Variabel bebas : Harga diri.
Variabel tergantung : Konformitas.
C. Definisi Operasional
1. Konformitas
Konformitas adalah suatu bentuk sikap penyesuaian diri seseorang
dalam kelompok dengan cara mengikuti harapan maupun aturan yang
sudah ditetapkan oleh kelompok. Tingkat konformitas ini akan diukur
dengan skala konformitas yang meliputi aspek kekompakan, aspek
kesepakatan, dan aspek ketaatan.
Skor yang akan didapat dari skala konformitas dengan aspek-aspek
di atas dapat menunjukkan tingginya konformitas pada remaja tersebut.
semakin konform, dan sebaliknya semakin rendah skor konformitas yang
didapat, berarti remaja tersebut semakin tidak konform.
2. Harga Diri
Harga diri adalah penilaian terhadap diri sendiri yang diterima
berdasarkan penerimaan dan penghargaan orang lain terhadap dirinya dan
mempengaruhi perilakunya. Aspek-aspek harga diri meliputi aspek
keberartian hidup (significant), aspek kekuatan (power) atau kemampuan
untuk mengontrol dan mempengaruhi orang lain, aspek kebijakan (virtue)
atau kesesuaian diri dengan nilai moral dan standar etik yang berlaku di
lingkungan dan aspek penampilan atau performansi diri dalam upaya
mencapai kesuksesan (competence).
Skala harga diri akan mengungkapkan tinggi rendahnya harga diri
remaja. Semakin tinggi skor yang didapat dari skala harga diri tersebut
menunjukkan semakin tinggi harga dirinya, dan sebaliknya, semakin
rendah skor yang didapatkan maka semakin rendah harga dirinya.
D. Subjek Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di SMAK Sang Timur Yogyakarta.
Subyek penelitian adalah semua siswa yang duduk di kelas XI. Jumlah subyek
yang akan dilibatkan dalam penelitian ini adalah 56 orang, yang terdiri dari 31
orang siswa putra dan 25 orang siswa putri. Peneliti memfokuskan subjek
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan skala
yang terdiri dari dua skala, yaitu skala Harga Diri, dan skala Konformitas.
Skala harga diri akan berusaha mengungkap tingkat harga diri siswa.
Pernyataan-pernyataan yang diberikan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
favorabledanunfavorable. Secara jelas distribusi aitem skala Harga Diri dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Distribusi Aitem Skala Harga Diri
No. Aspek Favorable Unfavorable Total
1 Keberartian 3, 4, 10, 17, 18, 41 23, 25, 29, 33, 44, 47 12 2 Kekuatan 1, 26, 27, 28, 31, 36 2, 7, 13, 22, 37, 38 12
3 Kebajikan 5, 9, 11, 14, 19, 34 32, 39, 42, 43, 46, 48 12 4 Kompetensi 6, 8, 12, 20, 21, 24 15, 16, 30, 35, 40, 45 12
J u m l a h 24 24 48
Skala yang digunakan adalah model skala likert dengan dua jenis
pernyataan, favorabel dan unfavorabel dan pilihan jawaban Sangat Setuju
(SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak setuju (STS).
Skala Konformitas akan mengungkap seberapa konform sikap seorang
remaja. Skala Konformitas juga terdiri dari dua kelompok pernyataan, dan
untuk kelompok pernyataan favorable akan menyangkut aspek-aspek yang
menunjukkan sikap konform, sedangkan kelompok pernyataan unfavorable
akan menyangkut aspek-aspek yang menunjukkan sikap tidak konform. Secara
Tabel 2
Distribusi Aitem Skala Konformitas
No Aspek Favorable Unfavorable Total
1 Kekompakan 1, 3, 9, 15, 19, 25, 33
8, 12, 16, 18,
24, 30, 40 14
2 Kesepakatan 5, 13, 17, 29, 35, 37, 41
Skala yang digunakan adalah model skala likert dengan dua jenis
pernyataan, favorabel dan unfavorabel dan pilihan jawaban Sangat Setuju
(SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak setuju (STS).
F. Pengujian Instrumen
Pengujian instrumen menyangkut aspek validitas dan reliabilitas yang
dilakukan sebelum alat ukur diberikan pada subjek yang sesunguhnya. Uji
coba alat ukur dilakukan untuk melihat validitas aitem alat ukur dan
reliabilitas alat ukur yang kemudian akan digunakan sebagai alat ukur dalam
penelitian. Peneliti melakukan uji coba alat ukur penelitian yaitu skala harga
diri dan skala konformitas. Peneliti menyebarkan skala kepada 56 orang
responden siswa kelas XI SMAK Sang Timur Yogyakarta.
1. Validitas Instrumen
Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat
ukur dapat melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2000). Dalam penelitian ini
isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes
dengan analisis rasionalprofesional judgment(Azwar, 2000).
Validitas isi dipakai untuk mengetahui sejauh mana aitem-aitem tes
mewakili komponen-komponen dalam keseluruhan kawasan isi objek yang
hendak diukur (aspek representatif) dan sejauh mana aitem-aitem tes
mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur (aspek relevansi). Tipe
validitas isi ada dua yaitu validitas muka dan validitas logik. Validitas
muka adalah validitas yang didasarkan pada penilaian terhadap format
penampilan tes. Validitas muka terpenuhi jika penampilan tes meyakinkan
dan memberi kesan mampu mengungkapkan aspek yang hendak diukur.
Validitas logik menunjuk pada sejauh mana isi tes mewakili ciri-ciri
atribut yang hendak diukur sebagaimana telah ditetapkan dalam kawasan
ukurnya (Azwar, 2000).
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi
(content validity), dimana setelah instrumen disusun berdasarkan
teori-teori tentang aspek-aspek yang akan diukur, maka selanjutnya instrumen
tersebut dikonsultasikan dengan ahli, dalam hal ini peneliti akan
mengkonsultasikan dengan Dosen Pembimbing. Setelah itu diteruskan
dengan uji coba instrumen.
2. Seleksi Item
a. Skala Harga Diri
Hasil uji validitas aitem skala harga diri diperoleh koefisien
enam aitem butir yang gugur pada skala harga diri dari 48 butir aitem
yang diujicobakan yaitu aitem nomor 7, 10, 19, 21, 30, dan 32. Jumlah
butir yang valid dari skala harga diri adalah sebanyak 42 aitem, agar
semua aspek mempunyai jumlah aitem yang sama maka aitem nomor
27 dan 33 dikeluarkan dari analisis. Distribusi aitem skala harga diri
pada saat uji coba disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3
Distribusi Aitem Skala Harga Diri Pada Saat Uji Coba
No. Aspek Favorable Unfavorable Total
Valid 1 Keberartian 3, 4,10*, 17, 18, 41 23, 25, 29,(33), 44, 47 10 2 Kekuatan 1, 26,(27), 28, 31, 36 2,7*, 13, 22, 37, 38 10 3 Kebajikan 5, 9, 11, 14,19*, 34 32*, 39, 42, 43, 46, 48 10 4 Kompetensi 6, 8, 12, 20,21, 24 15, 16,30*, 35, 40, 45 10
Jumlah Valid 20 20 40
Keterangan Tanda:
* = Nomor aitem yang gugur pada saat uji coba ( ) = Nomor aitem yang dikeluarkan
b. Skala Konformitas
Hasil uji validitas untuk skala konformitas diperoleh koefisien
korelasi dengan nilai antara -0,195 sampai dengan 0,726. Terdapat
lima aitem butir yang gugur pada skala konformitas dari 42 butir aitem
yang diujicobakan yaitu nomor 17, 24, 31, 33, dan 36. Jumlah butir
valid untuk skala konformitas sebanyak 37 aitem, agar semua aspek
mempunyai jumlah aitem yang sama maka aitem nomor 34
dikeluarkan dari analisis. Distribusi aitem skala konformitas pada saat
Tabel 4
Distribusi Aitem Skala Konformitas Pada Saat Uji Coba
No Aspek Favorable Unfavorable Total
Valid 1 Kekompakan 1, 3, 9, 15, 19,
25,33*
8, 12, 16, 18,
24*, 30, 40 12
2 Kesepakatan 5, 13,17*, 29, 35, 37, 41
Jumlah Valid 18 18 36
Keterangan Tanda:
* = Nomor aitem yang gugur pada saat uji coba ( ) = Nomor aitem yang dikeluarkan
3. Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas adalah konsistensi dari sebuah alat ukur yang
menghasilkan pengukuran yang sama pada waktu yang berbeda terhadap
subjek yang dikenai alat ukur tersebut. Reliabilitas juga dapat diartikan
sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2000). Suatu
alat ukur disebut mempunyai reliabilitas tinggi atau dapat dipercaya, jika
alat ukur itu mantap, stabil, dapat diandalkan (dependentability) dan dapat
diprediksi (predictability). Artinya, jika alat ukur tersebut digunakan
berkali-kali akan memberikan hasil yang serupa (Azwar, 2000).
Reliabilitas alat ukur diketahui dengan menggunakan formula Alpha
(Cronbach’s) dengan bantuan perangkat lunak komputer SPSS 13.0 for
Windows.
Hasil uji reliabilitas skala harga diri diperoleh nilai koefisien Alpha
Cronbach's sebesar 0,949. Hasil uji reliabilitas skala konformitas diperoleh
G. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
dengan metode kuantitatif yang dilakukan dengan penghitungan statistik. Hal
ini dilakukan karena dapat mewujudkan kesimpulan penelitian dengan
memperhitungkan faktor kesalahan generalisasi (Hadi, 1997).
1. Uji Asumsi
Sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji
asumsi. Uji asumsi yang dilakukan adalah uji linieritas. Uji linieritas
digunakan untuk menguji apakah hubungan antar variabel bebas dengan
variabel terikat mempunyai hubungan yang linier atau tidak.
2. Uji Normalitas
Uji normalitas yang dimaksud untuk mengetahui data variabel penelitian
berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas menggunakan teknik
analisis Kolmogorov-Smirnov.
Pengujian hipotesis dianalisis menggunakan korelasi Product Moment
(Pearson Correlations). Analisis dilakukan dengan menggunakan perangkat
43
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 12-25 Mei 2009 di SMAK Sang
Timur Yogyakarta. Peneliti menyerahkan alat pengumpul data berupa skala
kepada seorang guru yang telah ditunjuk oleh kepala sekolah untuk diisi oleh
siswa. Subyek penelitian adalah siswa yang duduk di kelas XI. Jumlah subyek
yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah 56 orang, yang terdiri dari 31
orang siswa putra dan 25 orang siswa putri. Peneliti memfokuskan subjek
penelitian pada remaja pada rentang usia 15 sampai 18 tahun. Skala yang
disebarkan telah memenuhi syarat, yakni semua aitem pada setiap skala diisi
sehingga dapat digunakan dalam analisis data.
B. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Data Penelitian
Deskripsi data penelitian yang menggambarkan tanggapan
responden terhadap variabel penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5
TabelMeandan Standar Deviasi
Skala Min Max Mean
Teoritis
Harga Diri 85 156 100 113,35 20 16,31
Selanjutnya dilakukan perbandingan antara mean empiris dengan
mean teoritis pada skala harga diri dan konformitas untuk mengetahui
tanggapan subjek penelitian terhadap variabel penelitian. Mean teoritis
adalah rata-rata skor ideal hasil penelitian, sedangkan mean empiris
merupakan hasil rata-rata skor data penelitian. Hasil analisis terhadap
variabel harga diri diperoleh nilai mean teoritis sebesar 100,00 dan nilai
mean empiris sebesar 113,35. Hasil ini menunjukkan bahwa rata-rata
responden penelitian mempunyai harga diri yang tinggi. Hasil analisis dari
skala konformitas diperoleh nilai mean teoritis sebesar 90,00 dan nilai
meanempiris sebesar 80,607. Hasil ini juga menunjukkan bahwa rata-rata
responden penelitian mempunyai tingkat konformitas yang rendah.
2. Kategorisasi Skor Skala
Data hasil penelitian dapat kategorisasi dalam lima kelompok
kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah.
Pengkategorian tersebut didasarkan pada nilai rerata dan simpangan baku
pada masing-masing variabel penelitian. Kategorisasi tersebut disajikan
berikut ini:
a. Kategorisasi Harga Diri
Skala harga diri terdiri dari 40 aitem yang masing-masing
mempunyai skor 1, 2, 3 dan 4. Rentang minimum dan maksimum untuk
skala harga diri adalah sebesar 40 dan 160 dan diperoleh luas jarak
sebarannya adalah 120 (160 – 40). Perhitungan standar deviasi (SD), pada
di sebelah kiri dan 3 bagian lainnya di sebelah kanan, maka nilai SD
sebesar 20 diperoleh dari (120:6), dan nilaimeanteoritis sebesar 100 (skor
tengah dari skor tertinggi dan skor terendah, (160+40)/2). Kategorisasi
untuk skala harga diri disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6
Kategorisasi Skor pada Skala Harga diri
Kategori Interval Skor Frekuensi Persen
Sangat Tinggi 131 – 160 9 16,10
Tinggi 111 – 130 23 41,10
Sedang 91 – 110 20 35,70
Rendah 71 – 90 4 7,10
Sangat Rendah 40 – 70 0 0
Total 56 100
Hasil kategorisasi skala harga diri menunjukkan sebanyak 16,10%
subyek termasuk dalam ketegori sangat tinggi, sebanyak 41,10% subyek
termasuk dalam kategori tinggi, sebanyak 35,70% dalam kategori sedang,
dan sebanyak 7,1% dalam kategori rendah. Dengan demikian berdasarkan
kategorisasi skala harga diri dapat disimpulkan bahwa paling banyak
responden mempunyai tingkat harga diri dalam kategori tinggi. Tidak ada
responden yang mempunyai tingkat harga diri yang sangat rendah.
b. Kategorisasi Konformitas
Skala konformitas terdiri dari 36 aitem yang masing-masing
Rentang minimum dan maksimum untuk skala harga diri adalah sebesar
36 dan 144 dan diperoleh luas jarak sebarannya adalah 108 (144 – 36).
Perhitungan standar deviasi (SD), pada data yang berdistribusi normal
lainnya di sebelah kanan, maka nilai SD sebesar 18 diperoleh dari (108:6),
dan nilai mean teoritis sebesar 90,00 (skor tengah dari skor tertinggi dan
skor terendah, (144+36)/2). Kategorisasi untuk skala konformitas disajikan
pada Tabel 7.
Tabel 7
Kategorisasi Skor pada Skala Konformitas
Kategori Interval Skor Frekuensi Persen
Sangat Tinggi 118 – 144 1 1,80
Tinggi 100 – 117 9 16,10
Sedang 82 – 99 10 17,90
Rendah 64 – 81 31 55,40
Sangat Rendah 36 – 63 5 8,90
Total 56 100
Hasil kategorisasi skala konformitas menunjukkan sebanyak 1,80%
subyek termasuk dalam kategori sangat tinggi, sebanyak 16,10% dalam
kategori tinggi, sebanyak 17,90% dalam kategori sedang, sebanyak
55,40% dalam kategori rendah, dan 8,90% dalam kategori sangat rendah.
Dengan demikian berdasarkan kategorisasi skala konformitas dapat
disimpulkan bahwa paling banyak responden mempunyai konformitas
yang rendah.
3. Uji Asumsi
Analisis data dilakukan dengan menggunakan korelasi product
moment dari Pearson. Sebelum melakukan analisis data untuk mencari