• Tidak ada hasil yang ditemukan

SI DAN I ID DAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SI DAN I ID DAN"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

iv

PERSEMBAHAN

Do the best. Be the best. But don’t think the best.

Skripsi ini kupersembahkan kepada

Kedua orang tuaku dan adikku terkasih,

Masku dan sahabat-sahabatku tersayang,

(6)

P

Saya menyatakan den

memuat karya atau ba

kutipan dan daftar pust

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang say

bagian karya orang lain, kecuali yang telah di

pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 12 Janua

Penulis

Erlina Dwi Prasekti

saya tulis ini tidak

disebutkan dalam

(7)

LEM

meminta ijin dari sa

mencantumkan nama

ARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN A

an di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sa

: Erlina Dwi Prasekti

: 071414052

an ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada

Dharma sebuah karya ilmiah yang berjudul:

KOLINEASI DAN ISOMETRI

BIDANG EUCLID DAN BIDANG POINCA

saya memberikan kepada perpustakaan Uni

yimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,

pangkalan

data,

mendistribusikan

secara

di internet atau media lain demi kepentingan

saya maupun memberikan royalty kepada say

a saya sebagai penulis.

an ini saya buat dengan sebenarnya.

(8)

vii

ABSTRAK

Erlina Dwi Prasekti, 2012. Kolineasi dan Isometri pada Bidang Euclid dan Bidang Poincaré. Skripsi. Program Studi Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penelitian ini membahas mengenai kolineasi dan isometri dengan pendekatan metrik. Setelah membaca penelitian ini diharapkan pembaca akan memperoleh wawasan mengenai isometri dan kolineasi.

Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka dengan buku acuan utama adalah “Geometry: A Metric Approach with Models” karangan Millman & Parker. Kolineasi dan isometri ditulis dengan menambahkan pembuktian lemma dan teorema serta penambahan penjelasan dan contoh.

Hasil dari penelitian ini adalah: (i) Kolineasi merupakan fungsi bijektif yang mempertahankan garis (ii) Isometri adalah fungsi bijektif yang mempertahankan jarak (iii) Dalam geometri netral jika diketahui suatu fungsi merupakan isometri, maka fungsi tersebut pastilah kolineasi (iv) Dalam geometri netral, jika diketahui fungsi isometri maka akan memenuhi sifat mempertahankan keantaraan, dan mempertahankan ukuran sudut.

(9)

viii

ABSTRACT

Erlina Dwi Prasekti, 2012.Collineation and Isometry in Euclidean Plane and Poincaré Plane. Thesis. Mathematics Education Study Program, Mathematics and Science Education Department, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University, Yogyakarta.

This research will be talking about collineation and isometry with metric approach. After you read this research, hoping that the reader will get a new knowledge about isometry and collineation.

This research use study methods with “Geometry: A Metric Approach with Models” of Millman & Parker as a mother book. Collineation and isometry written by added the proof of lemmas and theorems with an explanation and an example.

The product of this research are: (i) Collineation is bijective that preserves lines, (ii) Isometry is bijective that preserves distance, (iii) In a neutral geometry, if a function is an isometry, the function must be collineation, (iv) In a neutral geometry, if a function is an isometry then imply preserves betweenness, and preserves angle measure.

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul

“Kolineasi dan Isometri pada Bidang Euclid dan Bidang Poincaré” ini dapat penulis

selesaikan.

Segala macam hambatan dan rintangan telah banyak penulis alami selama

menyelesaikan skripsi ini. Akan tetapi semua itu telah penulis lalui dengan adanya

dukungan dari banyak pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih kepada beberapa pihak, di antaranya:

1. Bapak Dominikus Arif Budi Prasetyo, S.Si.,M.Si., selaku dosen pembimbing

skripsi yang dengan tekun, memberikan bimbingan dan dorongan selama

proses penyusunan skripsi.

2. Bapak Dr. M. Andy Rudhito selaku kaprodi pendidikan matematika,

Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Th. Sugiarto, MT selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah

memberikan bimbingan akademik selama penulis melaksanakan studi di

Universitas Sanata Dharma.

4. Semua dosen pendidikan matematika yang telah memberikan ilmu selama

penulis kuliah di Universitas Sanata Dharma.

(11)

6. Kedua orang t

9. Semua pihak y

Kritik dan saran

ini.

x

g tuaku, mas Anto, dan dek Wahyu yang sela

mangat.

an pendidikan matematika angkatan 2007, Dhe

Anggun yang selalu memberi semangat.

an kos, Kiki, Agnes, Ayu, Ane, Nency, Rini ya

k yang telah membantu.

ran yang membangun penulis harapkan untuk

Yogyakarta

rta, 12 januari 2012

Penulis

(12)

xi  

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR SIMBOL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Batasan Masalah ... 3

1.4 Tujuan Penulisan ... 4

1.5 Manfaat Penulisan ... 4

1.6 Metode Penulisan ... 4

(13)

xii  

BAB II: LANDASAN TEORI

2.1 Himpunan dan Fungsi ... 6

2.2 Bidang Euclid dan Bidang Poncaré ... 15

2.3 Geometri Abstrak dan Geometri Insidensi ... 20

2.4 Geometri Metrik ... 22

2.5 Keantaraan ... 26

2.6 Segmen Garis dan Sinar Garis ... 29

2.7 Sudut dan Segitiga ... 32

2.8 Aksioma Pembagian Bidang ... 35

2.9 Geometri Pasch ... 37

2.10 Geometri Protraktor ... 41

2.11 Geometri Netral ... 42

2.12 Euclidean Parallel Property ... 46

2.13 Kerangka Berpikir ... 47

BAB III: KOLINEASI DAN ISOMETRI 3.1 Kolineasi dan Isometri ... 48

3.2 Pengaruh Isometri terhadap Ukuran Sudut ... 72

BAB IV: PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 97

4.2 Saran ... 98

(14)

xiii

 

DAFTAR SIMBOL

P, Q, R titik-titik

k, l, m garis-garis

S himpunan titik-titik

L himpunan garis-garis

d(P,Q) jarak antara titik P dan titik Q

dE jarak Euclid

dH jarak Poincaré

int interior

La garis vertikal pada koordinat Kartesius

Lm,b garis nonvertikal pada koordinat kartesius

aL garis tipe I pada bidang Poincaré

cLr garis tipe II pada bidang Poincaré

garis AB

sinar garis AB

segmen garis AB

(15)

xiv

 

∠ABC sudut ABC

ΔABC segitiga ABC

ABCD segiempat ABCD

sejajar

A Geometri Abstrak

E Bidang Euclid

I Geometri Insidensi

C Bidang Kartesius

H Bidang Poincaré

LE Garis-garis pada bidang Euclid LH Garis-garis pada bidang Poincaré

] akhir definisi

฀ akhir pembuktian

(16)

xv

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Koordinat Kartesius 15

Gambar 2.2 Garis Vertikal pada Bidang Euclid 16

Gambar 2.3 Garis Nonvertikal pada Bidang Euclid 16

Gambar 2.4 Garis 2 17

Gambar 2.5 Garis 2 17

Gambar 2.6 Koordinat untuk Bidang Poincaré 18

Gambar 2.7 Garis Tipe I pada Bidang Poincaré 19

Gambar 2.8 Garis Tipe II pada Bidang Poincaré 19

Gambar 2.9 (a)

Ilustrasi sinar garis dan pada bidang Euclid

Ilustrasi sinar garis dan pada bidang Poincaré

30

30

Gambar 2.13 (a) Gambar 2.13 (b)

Sudut pada Bidang Euclid Sudut pada Bidang Poincaré

33

33

Gambar 2.14 (a) Gambar 2.14 (b)

Segitiga pada Bidang Euclid Segitiga pada Bidang Poincaré

34

34

(17)

xvi

 

Gambar 2.15 (b) Titik pada sisi berlawanan dari garis bidang Euclid 36

Gambar 2.16 Ilustrasi definisi 2.9.1 37

Gambar 2.17 (a)

Gambar 2.19 Ilustrasi teorema 2.1.8 40

Gambar 2.20 (a) Gambar 2.20 (b)

Ilustrasi aksioma ii) dari definisi 2.10.1 Ilustrasi aksioma iii) dari definisi 2.10.1

42

42

Gambar 2.21 Ilustrasi ∆ ∆ berdasarkan definisi 2.11.1 43

Gambar 2.22 Ilustrasi ∆ ∆ berdasarkan aksioma SAS 44

Gambar 2.23 Ilustrasi ∆ ∆ berdasarkan aksioma ASA 45

Gambar 2.24 Ilustrasi ∆ ∆ berdasarkan aksioma SSS 46

Gambar 2.25 Ilustrasi definisi 2.11.6 46

Gambar 3.1 (a) Gambar 3.1 (b)

Inversi/pembalikan pada lingkaran satuan Pencerminan terhadap sumbu-y

55

Titik A, B, C pada contoh 3.1.9 pada koordinat kartesius Titik , , pada koordinat kartesius

72

72

Gambar 3.5 Ilustrasi pembuktian lemma 3.2.1 74

(18)

xvii

 

Gambar 3.6 (b) ∆ akibat , , terhadap A, B, C 76

Gambar 3.7 (a) Gambar 3.7 (b)

Ilustrasi pembuktian lemma 3.2.2 Ilustrasi pembuktian lemma 3.2.2

77

dengan merupakan garis bagi

dengan garis bagi

80

80

Gambar 3.10 (a) Gambar 3.10 (b)

dengan merupakan garis bagi dengan garis bagi

dengan merupakan garis bagi

dengan garis bagi

Gambar 3.13 Ilustrasi pembuktian teorema 3.2.5 86

Gambar 3.14 Ilustrasi pembuktian teorema 3.2.6 87

Gambar 3.15 (a)

Gambar 3.16 Ilustrasi lemma 3.2.8 89

Gambar 3.17 (a) Gambar 3.17 (b)

Ilustrasi pembuktian teorema 3.2.11 Ilustrasi pembuktian teorema 3.2.11

93

(19)

xviii

 

Gambar 3.18 Ilustrasi teorema 3.2.12 94

(20)

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Geometri merupakan konsep yang mulai dikenal orang sejak tahun

3000 SM. Kata Geometri sendiri berasal dari bahasa Yunani, Geometrein ,

yaitu geo: bumi, dan metrein: mengukur (Byer,2010:1).

Studi tentang geometri diawali dengan dua konsep dasar, yaitu

pengertian tentang titik dan garis. pengertian tersebut kemudian dihubungkan

dengan kumpulan aksioma. Aksioma adalah pernyataan dari sifat yang sangat

diperlukan untuk dipelajari tetapi tidak dibuktikan. Selanjutnya ada yang

disebut sebagai model geometri. Model geometri ditentukan dengan himpunan

elemen-elemen yang disebut titik dan kumpulan himpunan bagian dari

himpunan ini yang disebut garis (Millman & Parker, 1991).

Sejak dimulainya era geometri non-Euclides, yang telah dimulai oleh

Girolomo Saccheri (1667-1733), para matematikawan semakin tertarik untuk

membuktikan kecacatan dalam geometri Euclides. Di antaranya adalah

matematikawan Rusia Nicolai Lobachevsky (1792-1856) dan matematikawan

Hungaria Janos Bolyai (1802-1860) yang menemukan geometri hiperbolik.

Kemudian pada pada tahun 1868, Beltrami membuktikan konsistensi geometri

hiperbolik tersebut. (Byer, 2010).

Seorang matematikawan Jerman, David Hilbert (1862-1943)

(21)

geometri. Tujuan Hilbert adalah memperluas sistem aksioma Euclides kepada

sesuatu yang telah lengkap dan menunjukkan logika formal yang digunakan

Euclides. Sistem geometri Hilbert merupakan geometri Euclides yang

dibangun berdasarkan kerja Moritz Pasch. Kemudian pada tahun 1932,

seorang matematikawan Amerika, George D. Birkhoff (1884-1944)

mempublikasikan aksioma Euclides dengan suatu perbedaan yang penting

dengan Euclides dan Hilbert. Aksioma Birkhoff sendiri hanya terdiri dari 4

pernyataan dan dapat membuktikan postulat kesejajaran Euclides sebagai

teorema dan dapat dibuktikan. Definisi pada sistem Birkhoff ini yaitu titik,

garis, jarak, dan sudut, dengan konsep keantaraan dibuktikan berdasarkan

konsep dasar jarak. Konsep jarak yang digunakan Birkhoff ini yang kemudian

dikenal sebagai pendekatan metrik. (Byer,2010).

Penelitian yang sudah pernah dilakukan di bidang geometri di

Universitas Sanata Dharma antara lain Geometri Hingga (berisi tentang

berbagai geometri hingga), Geometri Metrik (berisi tentang konsep geometri

metrik yang merupakan penggabungan dari bidang Euclid, bidang Poincare,

bidang Taxicab, dengan dengan fungsi jarak), Model-model Geometri Non

Euclides (berisi tentang model-model geometri non Euclides pada bidang

Euclides. Model geometri non Euclides itu adalah geometri hiperbolik dan

geometri eliptik), Geometri Euclides secara Deduktif Aksiomatis (berisi

tentang geometri Euclides sesuai dengan aksioma Hilbert), Geometri Kabur

(berisi tentang geometri kabur yang berisi titik kabur, jarak kabur, garis kabur,

(22)

Transformasi Pada Geometri Euclides (berisi tentang grup transformasi yang

terdiri dari grup dilatasi, grup isometri), dan Konsistensi pada Geometri

Hiperbolik (berisi tentang geometri hiperbolik dan konsistensinya yang

ditunjukkan dengan model konformal dari Poincare). Karena sedikitnya

penelitian di bidang geometri itu, maka penulis tertarik untuk meneliti di

bidang geometri melalui skripsi yang berjudul “KOLINEASI DAN

ISOMETRI PADA BIDANG EUCLID DAN BIDANG POINCARÉ”.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan kolineasi dan isometri?

2. Bagaimana pengaruh isometri terhadap besar sudut?

1.3 BATASAN MASALAH

Pembahasan mengenai kolineasi dan isometri dibatasi pada:

a) Bidang yang digunakan adalah bidang Euclid dan bidang Poincaré.

b) Menggunakan pendekatan metrik. Pendekatan metrik merupakan

pendekatan yang menggunakan konsep jarak yang ditambahkan pada

geometri insidensi.

c) Menggunakan fungsi titik.

d) Garis yang digunakan pada bidang Euclid hanya terbatas pada

(23)

1.4 TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui tentang kolineasi dan isometri.

2. Untuk mengetahui pengaruh isometri terhadap besar sudut.

1.5 MANFAAT PENULISAN

a) Bagi Pembaca

Dapat menambah wawasan pembaca mengenai isometri pada

bidang Euclid dan bidang Poincaré dengan pendekatan metrik.

b) Bagi Penulis

Penulis dapat menambah pengetahuan mengenai isometri pada

bidang Euclid dan bidang Poincaré dengan pendekatan metrik.

c) Bagi Universitas

Dapat menambah koleksi skripsi dalam bidang geometri.

1.6 METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka. Pembahasan tulisan

ini secara keseluruhan diambil dari buku Geometry: A Metric Approach with

Models karangan Richard Millman and Parker.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain:

1) Membaca buku Geometry: A Metric Approach with Models karangan

(24)

2) Menyajikan kembali definisi-definisi pada bab Teori Isometri, subbab

Isometri dan Kolineasi.

3) Memberi contoh dari definisi-definisi.

4) Menyajikan kembali teorema-teorema, lemma-lemma, dan

akibat-akibat.

5) Melengkapi bukti teorema-teorema, lemma-lemma, dan akibat-akibat.

6) Memberi contoh dan penjelasan dari teorema-teorema, lemma-lemma,

serta akibat-akibat.

1.7 SISTEMATIKA PENULISAN

Pada bab pertama berupa pendahuluan. Pendahuluan ini berisi tentang

latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan

manfaat serta metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab dua berisi tentang teori-teori yang digunakan dalam mendefinisikan

isometri dan kolineasi, serta definisi-definisi yang digunakan dalam

membuktikan teorema yang dibahas di bab ketiga.

Bab ketiga membahas tentang kolineasi dan isometri. Terdapat

definisi-definisi dan teorema, serta lemma dan akibat terkait dengan kolineasi dan

isometri. Diberikan juga contoh-contoh terkait dengan teorema atau definisi

menggunakan bidang Euclid maupun bidang Poncaré.

Bab keempat atau bab terakhir berisi tentang kesimpulan dari

pembahasan pada bab tiga serta saran yang diberikan penulis kepada pembaca

(25)

6  

BAB II

LANDASAN TEORI

Konsep dasar dalam geometri adalah gagasan mengenai titik dan gagasan

mengenai garis yang kemudian dihubungkan satu sama lain dengan berbagai

macam aksioma. Sedangkan di sisi lain ada yang disebut sebagai model geometri.

Model geometri merupakan kesatuan matematis yang memenuhi semua aksioma

untuk geometri yang bersangkutan.

2.1 HIMPUNAN DAN FUNGSI

Konsep dasar yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum kita

memulai pembahasan mengani geometri adalah konsep tentang himpunan.

Arti dari himpunan sendiri diberikan oleh definisi himpunan berikut.

Definisi 2.1.1 (Devlin,2003:57)

Sebuah himpunan S adalah suatu kumpulan objek yang dapat

didefinisikan secara benar. ]

Jika A merupakan sebuah himpunan, maka objek-objek pada A disebut

sebagai anggota himpunan A atau elemen A. Misalkan x adalah anggota A,

maka bisa kita tuliskan .

Berikut ini merupakan contoh dari himpunan dan anggota himpunan.

Contoh 2.1.1

himpunan semua bilangan real

, menyatakan bahwa x merupakan bilangan real. •

Di antara himpunan-himpunan sendiri terdapat relasi. Berikut

(26)

Definisi 2.1.2 (Millman & Parker,1991:4)

Himpunan T adalah himpunan bagian dari S (ditulis ) jika setiap

elemen T juga merupakan elemen S.

Himpunan T sama dengan himpunan S (ditulis ) jika setiap elemen

T di dalam S dan setiap elemen S di dalam T. (Atau jika dan hanya

jika dan ). ]

Definisi 2.1.3 (Millman & Parker,1991:4)

Himpunan kosong adalah himpunan yang tidak memiliki anggota, dan

dinotasikan dengan . Catatan: ∅⊂ S untuk setiap himpunan S. ]

Definisi 2.1.2 dan definisi 2.1.3 menyatakan jika terdapat dua

himpunan maka:

a) Himpunan bagian, berarti setiap anggota himpunan pertama

merupakan anggota himpunan yang kedua, tetapi tidak sebaliknya.

b) Sama dengan, artinya untuk setiap anggota himpunan pertama

merupakan anggota himpunan himpunan yang pertama dan setiap

anggota himpunan kedua merupakan anggota himpunan yang pertama.

c) Himpunan kosong, artinya himpunan yang tidak memiliki anggota.

Sebagai contoh himpunan kosong misalnya himpunan bilangan prima

yang kurang dari dua.

Dari definisi 2.1.2 di atas diketahui juga bahwa jika T himpunan

bagian dari S dan T serta S merupakan himpunan berhingga, maka elemen

T jumlahnya kurang dari atau sama dengan elemen S.

(27)

Contoh 2.1.2

C = himpunan semua bilangan cacah antara 0 dan 5

A = himpunan semua bilangan asli yang kurang dari 5

B = himpunan semua bilangan bulat

Jika ditulis dengan cara mendaftar anggota himpunan, dapat ditulis

sebagai:

C = {1,2,3,4}

A = {1,2,3,4}

B = {…,-4,-3,-2,-1,0,1,2,3,…}

Dapat diketahui bahwa:

dan serta .

Artinya, C adalah himpunan bagian dari B, karena anggota dari C, yaitu

1,2,3,4 juga merupakan anggota dari B, atau 1,2,3,4∈B.

Himpunan A merupakan himpunan bagian dari B karena anggota A yaitu

1,2,3,4 juga merupakan anggota B, atau 1,2,3,4∈B.

Himpunan C sama dengan A karena 1,2,3,4∈C dan 1,2,3,4∈A. •

Selanjutnya akan diberikan definisi operasi dua himpunan.

Definisi 2.1.4 (Millman & Parker,1991:4)

Gabungan dari dua himpunan A dan B adalah himpunan

| .

Irisan dari dua himpunan A dan B adalah himpunan

(28)

Selisih dua himpunan A dan B dalah himpunan

| . ]

Definisi 2.1.4 mengatakan bahwa jika diketahui dua himpunan maka:

a) Gabungan dua himpunan, merupakan himpunan hasil dari

penggabungan elemen-elemen kedua himpunan.

b) Irisan dua himpunan adalah, himpunan dari elemen kedua himpunan

yang merupakan anggota himpunan pertama sekaligus anggota

himpunan kedua.

c) Selisih dua himpunan, dalam hal ini selisih himpunan pertama dan

himpunan kedua, yaitu himpunan dari elemen-elemen himpunan

pertama yang tidak merupakan elemen himpunan kedua.

Untuk lebih memahami definisi 2.1.4, perhatikan contoh 2.1.3 beikut.

Contoh 2.1.3

Diketahui A = {3,5,7} dan B = {1,2,3}

1,2,3,5,7 ; 3 ; 5,7

Gabungan himpunan A dan B adalah 1,2,3,5,7 karena 1,2,3,5,7

merupakan anggota A atau anggota B.

Irisan himpunan A dan B adalah 3 karena 3 dan 3 .

Selisih himpunan A dan B adalah 5 dan 7 karena 5,7 dan 5,7

Setelah pembahasan mengenai himpunan, selanjutnya akan dibahas

mengenai fungsi.

Antara dua himpunan terdapat suatu relasi khusus yang memasangkan

tiap-tiap elemen himpunan pertama tepat satu ke elemen-elemen himpunan

(29)

Definisi 2.1.5 (Giaquinta&Modica,2003:30)

Misalkan A, B adalah dua himpunan. Fungsi atau peta atau transformasi

: adalah relasi atau aturan yang memasangkan masing-masing

ke tepat satu titik pada B. ]

Diberikan : , untuk setiap kita memiliki cara untuk

memasangkan . Kita katakan bahwa adalah variabel terikat

dan adalah variabel bebas, dan kita tulis sebagai .

Untuk mendefinisikan suatu fungsi, terdapat tiga hal pokok, yaitu

domain A, codomain B, dan aturan yang memasangkan titik-titik

pada A ke titik-titik pada B.

Berikut diberikan definisi mengenai bayangan fungsi.

Definisi 2.1.6 (Millman & Parker,1991:10)

Jika : adalah fungsi, maka bayangan f adalah

| ]

Fungsi sendiri dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu fungsi

surjektif, injektif, dan bijektif. Pengertian masing-masing fungsi tersebut

dapat dilihat dari definisi berikut.

Definisi 2.1.7 (Millman & Parker,1991:10)

Fungsi : disebut surjektif jika untuk setiap ada

dengan . ]

Definisi 2.1.7 mengatakan bahwa suatu fungsi dikatakan surjektif bila

setiap anggota codomain dari fungsi f pastilah memiliki kawan pada

(30)

Untuk lebih memahami definisi 2.1.7, perhatikan contoh 2.1.4 berikut.

Contoh 2.1.4

Terdapat fungsi : yang dinyatakan oleh merupakan

fungsi surjektif.

Bukti: Untuk menunjukkan bahwa f surjektif harus ditunjukkan bahwa

untuk setiap Range ada sebuah Domain dengan

. Oleh karena itu, kita harus menunjukkan bahwa persamaan

2‐1

memiliki penyelesaian untuk setiap nilai t . Karena untuk setiap bilangan

real memiliki akar kuadrat, kita dapatkan persamaan . Karena

kodomainnya merupakan bidlangan real positif, maka hanya digunakan

√ . Maka, .

Karena terdapat satu nilai Domain untuk setiap ,

maka akibatnya, f surjektif. •

Berikut diberikan definisi fungsi injektif.

Definisi 2.1.8 (Devlin,2003:32)

Fungsi : disebut injektif jika , , , sehingga

kita juga mendapatkan . Pernyataan tersebut ekuivalen dengan,

fungsi : injektif jika untuk setiap dua titik yang berbeda , ,

kita peroleh . ]

Definisi 2.1.7 menyatakan bahwa fungsi dikatakan injektif:

a) Jika dua anggota range fungsi bernilai sama, maka keduanya berasal

(31)

b) Jika dua anggota domain berbeda maka akan ada dua anggota range

yang berbeda yang merupakan hasil dari domain tersebut.

Untuk lebih memahami definisi 2.1.8, perhatikan contoh 2.1.5 berikut.

Contoh 2.1.5

Fungsi : 0 oleh 3 merupakan fungsi injektif.

Bukti:

Kita asumsikan sehingga 3 3 .

Kita selesaikan persamaan 3 3

1 2

1 2

2 2

Karena diketahui dan diperoleh , akibatnya f

injektif. •

Suatu fungsi dapat bersifat injektif atau surjektif. Namun, dapat pula

memiliki sifat keduanya, atau injektif dan surjektif sekaligus. Fungsi yang

seperti itu disebut bijektif. Berikut diberikan definisi fungsi bijektif.

Definisi 2.1.9 (Millman & Parker,1991:12)

Fungsi : disebut bijektif jika adalah injektif dan surjektif

sekaligus. ]

Definisi 2.1.9 menyatakan bahwa suatu fungsi dikatakan bijektif

apabila fungsi tersebut injektif dan juga surjektif. Untuk lebih memahami

(32)

Contoh 2.1.6

Suatu fungsi : oleh 7 12 merupakan fungsi bijektif.

Bukti:

Untuk menunjukkan bahwa h bijektif, kita harus menunjukkan bahwa h

injektif dan h surjektif.

• Untuk menunjukkan bahwa h surjektif kita harus menunjukkan bahwa

untuk setiap Range ada sebuah Domain dengan

. Oleh karena itu, kita harus menunjukkan bahwa persamaan

7 12 memiliki penyelesaian untuk setiap harga t.

7 12 . Untuk setiap bilangan real t , pastilah ada s

yang memenuhi persamaan itu, sehingga.

7 12 7 712 12

Karena setiap Range berkawan dengan tepat satu

Domain , jadi dapat disimpulkan bahwa h surjektif.

• Kita asumsikan sehingga 7 12 7 12.

Kemudian kita selesaikan persamaan tersebut.

7 12 7 12

7 12 12

7

Dari kita peroleh , akibatnya h injektif.

• Karena h surjektif dan h injektif sekaligus, maka h bijektif. •

(33)

Definisi 2.1.10 (Millman & Parker,1991:12)

Jika : , : , dan , maka komposisi dan

adalah fungsi : yang diberikan oleh . ]

Untuk memahami tentang komposisi fungsi, perhatikan contoh 2.1.7

berikut.

Contoh 2.1.7

Suatu fungsi : dan : oleh 5 dan .

Maka 5 5 25 .

Sehingga komposisi fungsi dan adalah 25 . •

Setelah memahami tentang komposisi fungsi, berikut diberikan

definisi mengenai invers fungsi.

Definisi 2.1.11 (Millman & Parker,1991:13)

Jika : adalah fungsi bijektif, maka invers f adalah fungsi :

yang didefinisikan oleh , di mana s adalah anggota tertentu

dalam S dengan . ]

Fungsi g dalam definisi 2.1.11 biasanya dinotasikan dengan f -1(notasi

invers fungsi f).

Untuk lebih memahami mengenai invers fungsi, perhatikan contoh

2.1.8 berikut ini.

Contoh 2.1.8

Diketahui fungsi : oleh 2 5. Invers dari adalah

(34)

Misalkan diambil 1 1 3 . 3 3 6 5

1 . Secara umum . . •

Definisi 2.1.11, juga mengartikan bahwa jika suatu fungsi memiliki

invers maka fungsi tersebut merupakan fungsi bijektif. Fungsi pada contoh

2.1.8 merupakan fungsi bijektif, karena memiliki invers.

2.2 BIDANG EUCLID DAN BIDANG POINCARE

Bidang Euclid atau yang biasa dikenal dengan bidang kartesius

merupakan bidang dengan koordinat x-aksis dan y-aksis. Bidang kartesius

dapat digambarkan sebagai berikut. (Byer,2010:159).

Gambar 2.1 Koordinat Kartesius

Gambar 2.1 menggambarkan mengenai koordinat kartesius.

Koordinat kartesius ini terdiri salib sumbu yaitu sumbu-x dan sumbu-y

yang berpotongan di titik O(0,0).

Terdapat empat kuadran, yaitu kuadran I, kuadran II, kuadran III, dan

kuadran IV. Kuadran I merupakan daerah yang dibatasi oleh sumbu x

positif dan y positif sehingga koordinat di kuadran I ditulis sebagai A(x,y). x

y

(x,y) (-x,y)

(-x,-y) (x,-y)

(35)

kuadran II merupakan daerah yang dibatasi oleh sumbu x negatif dan y

positif. kuadran III merupakan daerah yang dibatasi oleh sumbu x negatif

dan sumbu y negatif. Di kuaran IV yang dibatasi oleh sumbu y negatif dan

sumbu x positif.

Misalkan S = = , | , . Didefiniskan himpunan garis-garis

lurus sebagai berikut:

La = , | , dengan a adalah bilangan real tertentu.

Lm,b = , | , dengan m dan b adalah bilangan

real tertentu.

Himpunan semua garis pada bidang Euclid dinotasikan dengan LE.

Berikut diberikan ilustrasi garis-garis pada bidang Euclid.

Gambar 2.2 Garis vertikal Gambar 2.3 Garis non-vertikal

Model C = { , LE} disebut Bidang Kartesius. Notasi La dan Lm,b menunjukkan garis pada bidang Kartesius.

Untuk lebih memahami tentang garis-garis pada bidang Euclid,

perhatikan contoh berikut ini.

b

y = mx + b

Lm,b

(36)

Contoh 2.2.1

Titik A(2,5), B(2,-3), dan C(-2,-1) merupakan titik-titik pada bidang

Euclid. Persamaan garis yang melalui A dan B adalah 2. Garis yang

melalui A dan B ini ditunjukkan oleh gambar 2.3.

Persamaan garis yang melalui B dan C adalah 2 (gambar 2.4).

Gambar 2.4 Garis 2 Gambar 2.5 Garis 2

Gambar 2.4 menunjukkan bahwa 2 melalui A(2,5) dan B(2,-3).

Gambar 2.5 menunjukkan 2 melalui B(2,-3), C(-2,-1). •

Selain bidang kartesius, ada pula model lain yang juga digunakan

disini, yaitu bidang Poincaré. Bidang Poincaré merupakan bidang yang

dibatasi oleh sumbu x dan sumbu y positif. Bidang Poincaré ini

digambarkan oleh gambar 2.6 berikut.

(37)

Gambar 2.6 Koordinat untuk bidang Poincaré

Gambar 2.6 menunjukkan koordinat Poincaré yang dibatasi oleh sumbu x

dan sumbu y positif. terlihat bahwa sumbu x merupakan garis putus-putus,

yang menandakan bahwa koordinat dengan 0 tidak digunakan.

Misalkan S = = , | 0 . Ada dua tipe garis pada bidang

Poincaré, yaitu:

9 Garis tipe I : aL = , |

9 Garis tipe II: cLr = , | , dimana c dan

r adalah bilangan real tertentu dengan 0. Dengan,

2

dan

Himpunan semua garis pada bidang Poincaré dinotasikan dengan LH. y

(38)

Berikut merupakan ilustrasi dari garis-garis pada bidang Poincaré.

Gambar 2.7 Garis tipe I Gambar 2.8 Garis tipe II

Gambar 2.7 merupakan gambar garis tegak pada bidang Poincaré dengan

persamaan . Sedangkan gambar 2.8 merupakan gambar garis

melengkung dengan persamaan . Dalam bidang

Poincaré hanya memiliki dua jenis garis tersebut.

Selanjutnya model H = { , LH} disebut Bidang Poincaré. Notasi aL dan

cLr menunjukkan garis-garis pada H .

Untuk lebih memahami mengenai garis-garis pada bidang Poincaré,

perhatikan contoh 2.2.2 berikut ini.

Contoh 2.2.2

Misalkan titik A(2,4), B(2,1), dan C(4,3) merupakan titik-titik pada bidang

Poincaré. Terdapat garis yang melalui A dan B serta melalui B dan C.

Persamaan garis yang melalui A dan B adalah 2. Atau bisa ditulis 2L

(gambar 2.8 (a)).

aL

c

cLr

(39)

Persamaan garis yang melalui B dan C adalah:

Gambar 2.9 (a) menunjukkan ilustrasi garis 2L yang melalui titik A(2,4)

dan B(2,1) sedangkan (b) mengilustrasikan garis 5L√10 yang melalui titik

B(2,1), dan C(4,3) pada bidang Poincare.

Bidang Euclid dan bidang Poincaré ini yang akan dipakai dalam

pembahasan di dalam skripsi ini.

2.3 GEOMETRI ABSTRAK DAN GEOMETRI INSIDENSI

Geometri abstrak merupakan dasar dari model-model geometri lain

yang akan dibahas. Definisi dari geometri abstrak didasarkan pada titik

(40)

Definisi 2.3.1 (Millman & Parker,1991:17)

Geometri abstrak A terdiri dari himpunan S, yang anggota-anggotanya

disebut titik, himpunan L yang anggota-anggotanya berasal dari

himpunan bagian tak kosong dari S, yang disebut garis, sehingga:

i. Untuk setiap dua titik A, B ∈ S terdapat sebuah garis l ∈ L

dengan A l dan B l.

ii. Setiap garis mempunyai sekurang-kurangnya dua titik. ]

Selanjutnya, Geometri Abstrak dinotasikan dengan {S , L }.

Dari Definisi 2.2.1 dapat diketahui bahwa aksioma pertama dari

geometri abstrak mengatakan bahwa setiap sepasang titik terletak pada

sebuah garis. Tetapi harus diingat bahwa kata garis yang dimaksud disini

bukan hanya garis lurus. Garis disini adalah anggota dari himpunan L .

Sedangkan aksioma kedua merupakan kebalikan dari aksioma kedua.

Aksioma kedua ini mengatakan bahwa sebuah garis terbentuk oleh

miniman dua titik.

Setelah kita membahas mengenai Geometri Abstrak, selanjutnya kita

akan membahas mengenai Geometri Insidensi.

Definisi 2.3.2 (Millman & Parker,1991:22)

Sebuah Geometri Abstrak {S , L } adalah Geometri Insidensi jika:

(i) Setiap dua titik yang berbeda dalam S , terletak pada sebuah garis

(41)

(ii)Terdapat tiga titik A, B, C ∈ S yang tidak semuanya terletak pada

sebuah garis yang sama. ]

Selanjutnya Geometri Insidensi dinotasikan dengan {S , L }.

Aksioma pertama pada Definisi 2.3.2 merupakan aksioma yang sama

yang membentuk Definisi 2.3.1. Aksioma kedua dari geometri insidensi

mengatakan tentang jika terdapat tiga titik maka ketiga titik tersebut tidak

segaris.

2.4 GEOMETRI METRIK

Di dalam geometri metrik, konsep jarak merupakan konsep yang

natural. Secara intuitif, jarak merupakan sebuah fungsi yang dapat

dinotasikan sebagai , .

Secara formal, definisi fungsi jarak disajikan sebagai berikut.

Definisi 2.4.1 (Millman & Parker,1991:28)

Fungsi jarak pada sebuah himpunan S adalah fungsi d : S × S

untuk semua P, Q ∈S berlaku:

(i) , 0

(ii) , 0 jika dan hanya jika

(iii) , , ]

Fungsi jarak ini yang kemudian akan menjadi dasar untuk

mendefinisikan Geometri metrik. Sebelum kita membahas mengenai

definisi geometri metrik, sebaiknya kita ketahui lebih dahulu mengenai

(42)

Definisi 2.4.2 (Fitting,1996:139)

Jarak antara titik , dan , diberikan oleh:

atau

`]

Selanjutnya, jarak pada bidang Euclid (Jarak Euclid) dilambangkan

dengan sehingga , ,

Selanjutnya juga akan didefinisikan jarak pada bidang Poincaré.

Definisi 2.4.3 (Millman & Parker,1991:28)

Jika , dan , adalah titik-titik pada bidang Poincaré

H , maka jarak Poincaré (dH) diberikan oleh

,

, jika

, jika P dan Q berada pada

]

Dari definisi 2.4.2 dan definisi 2.4.3 diketahui bahwa baik bidang

Euclid maupun bidang Poincaré pastilah memiliki fungsi jarak, artinya

setiap sepasang titik pastilah memiliki jarak.

(43)

Contoh 2.4.1

Misalkan titik P(2,5) dan Q(3,7) merupakan titik-titik pada bidang

Kartesius. Jarak kartesius antara P dan Q yaitu:

,

, 2 3 5 7

, √5

Jadi, jarak titik P dan Q pada bidang Euclid adalah , √5 satuan

jarak. •

Contoh 2.4.2 berikut merupakan contoh jarak Poincarépada definisi 2.4.3

Contoh 2.4.2

Misalkan titik-titik P(2,1) dan Q(4,3) merupakan titik-titik pada bidang

Poincaré. P dan Q berada pada cLr , dengan c = 5 dan r = √10 . Maka jarak

titik P dan titik Q adalah ,

,

2 5 √10 4 4 5 √10

3

9 3√10 4 4√10

9 3√10 4 4√10

Jadi, jarak titik P dengan titik Q pada bidang Poincaré adalah ,

9 3 10

(44)

Selanjutnya diberikan definisi mengenai sistem koordinat yang akan

berkaitan dengan pendefinisian mengenai geometri metrik.

Definisi 2.4.4 (Millman & Parker,1991:30)

Misalkan l adalah sebuah garis pada Geometri Insidensi {S , L }.

Asumsikan bahwa ada fungsi jarak d pada S . Fungsi : adalah

ruler/sistem koordinat untuk l,jika memenuhi:

i) f adalah fungsi bijektif

ii) untuk setiap pasangan titik P dan Q pada l berlaku

| | , (4-1)

Persamaan (4-1) disebut Persamaan Sistem Koordinat dan disebut

koordinat P dengan fungsi koordinat f. ]

Definisi 2.4.4 mengatakan bahwa suatu fungsi f merupakan ruler

apabila f bijektif dan terdapat fungsi jarak | | , .

Dari definisi 2.3.2 , definisi 2.4.1, dan definisi 2.4.4, dapat diperoleh

sistem geometri yang baru, yaitu geometri metrik. Berikut diberikan

definisi mengenai definisi geometri metrik.

Definisi 2.4.5 (Millman & Parker,1991:30)

Geometri Insidensi {S , L } bersama dengan fungsi jarak d memenuhi

Postulat Sistem Koordinat jika setiap garis l ∈ S memiliki sistem

koordinat. Dalam kasus ini kita katakan M = {S , L , d} adalah

(45)

Dari definisi 2.4.5, dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu sistem

geometri disebut geometri metrik jika memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Merupakan geometri insidensi;

2) Terdapat fungsi jarak d; dan

3) Memenuhi postulat sistem koordinat/ruler

2.5 KEANTARAAN

Konsep tentang sebuah titik yang berada di antara dua titik lainnya

merupakan konsep yang sangatlah penting. Tanpa mengetahui definisi

tentang keantaraan akan tidak mungkin untuk menghasilkan bukti. Disini

konsep mengenai fungsi jarak diperlukan untuk mendefinisikan

keantaraan.

Selanjutnya keantaraan akan membantu kita untuk mendefinisikan

bentuk-bentuk dasar seperti segmen, sinar, sudut, dan segitiga.

Definisi 2.5.1 (Millman & Parker,1991:47)

Titik B berada di antara A dan C jika A, B, C adalah jarak titik-titik yang

segaris pada geometri metrik {S , L , d} dan jika

, , , (5-1)

]

Definisi 2.5.1 mengatakan bahwa jika ada tiga titik, yaitu A, B, dan C

maka titik B dikatakan berada di antara A dan C bila memenuhi syarat:

1) Titik A, B, dan C terletak pada haris yang sama/segaris, dan

2) Jumlahan antara jarak A dan B dengan jarak B dan C sama dengan

jarak A dan C atau bisa ditulis , , , .

(46)

(i) A – B – C berarti B berada di antara A dan C

(ii) AB menyatakan jarak ,

Sehingga berdasarkan notasi di atas, persamaan (5-1) menjadi

, sehingga untuk setiap titik-titik segaris berlaku:

jika dan hanya jika

Untuk memahami tentang keantaraan, contoh 2.5.1 akan memperjelas

tentang keantaraan.

Contoh 2.5.1

Misalkan titik-titik A(1,0) , B(1,4) , C(1,8) merupakan titik-titik pada

bidang Euclid dengan .

Jarak Euclid ditentukan oleh , .

, 1 1 0 4 √16 4

, 1 1 0 8 √64 8

, 1 1 4 8 √16 4

4 4 8. Dari perhitungan diketahui bahwa 8. Karena 8 8, maka . Sehingga dapat disimpulkan bahwa

A – B – C. •

Berikut diberikan teorema tentang keantaraan. Bahwa jika terdapat 3

titik, misalnya titik A, B, dan C dan jika B terletak diantara A dan C maka

(47)

Teorema 2.5.1 (Millman & Parker,1991:51)

Titik-titik A, B, C adalah titik-titik yang segaris pada geometri metrik {S ,

L , d}. Jika maka .

Bukti:

Misalkan A, B, C adalah titik-titik tertentu dan segaris. Karena ,

maka berarti . Berdasarkan definisi 2.4.1 maka PQ = QP

untuk semua P dan Q. Sehingga kita dapatkan: . Karena

sifat komutatif dalam penjumlahan maka , sehingga

. Berdasarkan definisi 2.5.1 kita

peroleh . ฀

Teorema 2.5.1 menyatakan bahwa bila B berada di antara A dan C

berarti juga bahwa B juga berada di antara C dan A. Artinya letak tidak

mempengaruhi, yang terpenting adalah jaraknya tetap.

(a) (b)

Gambar 2.10 Ilustrasi Pembuktian teorema 2.5.1

Gambar 2.10 (a) merupakan ilustrasi sedangkan gambar 2.10

(b) merupakan ilustrasi . Dari gambar 2.10 (a) dan (b) terlihat

bahwa B tetap terletak di antara A dan C meskipun letak A dan C berubah,

tapi jarak A dan C ke B tetap sama.

A B C

C B

(48)

2.6 SEGMEN GARIS DAN SINAR GARIS

Notasi garis merupakan bagian penting dalam geometri. Pada bagian

ini kita akan membahas mengenai bagian dari garis, yaitu segmen garis

dan sinar garis. Bagian ini penting untuk pembahasan selanjutnya

mengenai sudut dan segitiga.

Definisi 2.6.1 (Millman & Parker,1991:52)

Jika A dan B adalah titik-titik tertentu dalam geometri metrik {S , L , d},

maka segmen garis dari A ke B adalah himpunan

| ]

Definisi 2.6.1 berbicara tentang segmen garis. segmen garis

merupakan ruas garis yang ditarik dari satu titik ke titik tertentu yang lain.

Sebuah segmen garis pastilah mempunya titik-titik ujung darimana

segmen itu terbentuk. Selain itu, karena segmen terbentuk dari dua titik

yang berbeda, pastilah ia memiliki jarak. Jarak inilah yang kemudian akan

disebut sebagai panjang segmen.

Berikut diberikan definisi titik ujung dan panjang segmen.

Definisi 2.6.2 (Millman & Parker,1991:54)

Titik ujung dari segmen garis adalah A dan B. Panjang segmen garis

adalah , . ]

Dari definisi 2.6.1 dan 2.6.2 dapat disimpulkan bahwa memiliki

titik A dan titik B sebagai titik-titik ujung dan memiliki panjang.

Gambar 2.11 Segmen garis A

(49)

Gambar 2.11 menunjukkan dengan titik-titik ujungnya adalah titik A

dan titik B dengan panjang segmen , .

Selain segmen garis, bagian dari garis yang lain adalah sinar garis.

Berikut diberikan definisi tentang sinar garis.

Definisi 2.6.3 (Millman & Parker,1991:54)

Jika A dan B adalah titik-titik tertentu dalam geometri metrik {S , L , d},

maka sinar dari A menuju B adalah himpunan

| ]

Sinar garis hanya memiliki satu titik ujung, dan ujung yang lain adalah

di jauh tak hingga. Sehingga dikatakan bahwa sinar garis memiliki ujung

tapi tidak memiliki pangkal.

Berikut diberikan ilustrasi sinar garis pada bidang Euclid dan bidang

Poincaré, untuk lebih memudahkan dalam memahami tentang sinar garis.

(a) (b)

Gambar 2.12 Sinar Garis

Gambar 2.12 (a) merupakan ilustrasi dari sinar garis dan pada

bidang Euclid. Gambar 2.12 (b) merupakan ilustrasi dari sinar garis A

D

C B

D

C B

(50)

dan pada bidang Poincare. memiliki ujung di A tetapi tidak

memiliki pangkal.

Salah satu topik dalam geometri adalah kongruensi. Pembahasan

mengenai kongruensi sering dikaitkan dalam pembahasan mengenai

segitiga. Berikut diberikan definisi mengenai kongruensi.

Definisi 2.6.4 (Millman & Parker,1991:56)

Dua segmen garis dan dalam geometri metrik dikatakan kongruen

(ditulis ) jika panjang keduanya sama; atau dapat ditulis:

jika ]

Definisi 2.6.4 mengatakan bahwa jika dua segmen garis memiliki

panjang yang sama, maka kedua segmen garis tersebut kongruen. Untuk

lebih memahami definisi 2.6.4, perhatikan contoh berikut.

Contoh 2.6.1

Misalkan A(0,2), B(0,1) , P(0,4), Q(7,3), dapat ditentukan satu nilai

sehingga .

Bukti:

¾ Dalam bidang Kartesius

jika (2-1)

0 7 4 3 √49 1 √50

Karena maka kita misalkan 0,

Sehingga, 2

(51)

2 √50

2 50

2 √50

Sehingga koordinat titik C adalah (0, 2 √50)

¾ Dalam bidang Poincaré

jika

Pertama-tama harus dicari jarak P ke Q pada bidang Poincaré.

Titik P dan Q terletak pada 3L5 sehingga,

, ln 6.

Karena C = (0,y) dan A = (0,2), maka C berada pada garis tipe I

sehingga , ln .

Karena maka sehingga ln ln 6.

Akibatnya, 6 atau .

Menghasilkan 12 atau .

Karena maka kita ambil nilai sehingga 0, . •

2.7 SUDUT DAN SEGITIGA

Pada bagian ini kita akan membahas sudut dan segitiga dalam ranah

geometri metrik. Definisi mengenai sudut dan segitiga menggunakan

konsep keantaraan. Sudut memuat dua sinar garis yang tidak segaris tetapi

memiliki satu titik yang sama.

(52)

Definisi 2.7.1 (Millman & Parker,1991:59)

Jika A, B, dan C adalah titik-titik yang tidak segaris dalam geometri

metrik maka sudut merupakan himpunan

]

Definisi 2.7.1 mengatakan bahwa sudut dibentuk dari tiga titik yang

tidak segaris, dimana setiap dua titik akan membentuk satu sinar garis,

sehingga terdapat satu titik yang sama yang membentuk kedua sinar garis

itu.

Sudut pada bidang Euclid dan bidang Poincaré diilustrasikan oleh gambar

2.1.2 berikut ini.

(a) (b)

Gambar 2.13 Sudut

Gambar 2.13 (a) merupakan ilustrasi sudut pada bidang Euclid,

sedangkan (b) merupakan ilustrasi sudut pada bidang Poincaré. Dapat

dilihat bahwa baik itu pada bidang Euclid maupun bidang Poincaré,

dibentuk oleh sinar garis dan sinar garis dimana tidak segaris

dengan dan memiliki satu titik yang sama yaitu titik B. B

A

C

B

A

(53)

Setelah pembahasan mengenai sudut, selanjutnya kita akan membahas

mengenai segitiga. Berikut diberikan definisi segitiga. Definisi tentang

segitiga berikut menggunakan konsep tentang segmen garis.

Definisi 2.7.2 (Millman & Parker,1991:61)

Jika , , adalah titik-titik yang tidak segaris dalam geometri metrik

maka segitiga ABC adalah himpunan

]

Definisi 2.7.2 mengatakan bahwa segitiga dibentuk dari tiga sinar

garis dimana setiap dua sinar garis memiliki satu titik yang sama

sedemikian hingga ketiga titik tidak segaris. Segitiga pada bidang Euclid

dan bidang Poincaré ditunjukkan pada gambar 2.13 berikut.

(a) (b)

Gambar 2.14 Segitiga

Gambar 2.14 (a) menunjukkan segitiga pada bidang Euclid dan

gambar 2.14 (b) menunjukkan ilustrasi segitiga pada bidang Poincaré.

Perhatikan kedua gambar. dibentuk oleh tiga segmen garis yaitu,

(54)

memiliki satu titik yang sama, yaitu titik B. Sehingga didapat tiga titik

yang berbeda, yaitu titik A, B, dan C yang tidak segaris.

2.8 AKSIOMA PEMBAGIAN BIDANG

Aksioma Pembagian Bidang (Plane Separation Axiom/PAS)

merupakan ide yang sangat intuitif dimana setiap garis memiliki dua sisi

yang dibatasi oleh sebuah garis. Berikut ini akan dibahas mengenai PAS.

Definisi 2.8.1 (Millman & Parker,1991:63)

Misalkan {S , L , d} adalah geometri metrik dan misalkan S1S . S1

disebut konveks jika untuk setiap dua titik P, Q ∈ S 1, segmen garis

adalah himpunan bagian dari S1. ]

Definisi tersebut mengungkapkan bahwa segmen garis di antara setiap

dua titik dalam S 1 juga pada S 1, tidak hanya sebagian. Untuk

menunjukkan bahwa sebuah himpunan merupakan konveks kita harus

menunjukkan bahwa untuk setiap bagian titik-titik dalam himpunan S ,

segmen yang mengikutinya juga dalam himpunan S . Untuk menunjukkan

sebuah himpunan bukan konveks, kita cukup membuktikan bahawa bagian

titik-titik bersama dengan segmen yang dihasilkan tidak seluruhnya

termuat dalam himpunan S .

Berikut ini diberikan definisi PSA yang memenuhi definisi konveks.

Definisi 2.8.2 (Millman & Parker,1991:64)

Geometri metrik {S , L , d} memenuhi aksioma pembagian bidang

(plane separation axiom/PSA) jika untuk setiap l ∈ L terdapat dua

(55)

(i) S – l = H1 H2

(ii) H1 dan H2 berbeda dan masing-masing merupakan konveks

(iii)Jika A H1 dan B H2 maka ]

Definisi 2.8.2 mengartikan bahwa garis l memiliki dua sisi (H1 dan

H2) dimana keduanya merupakan konveks.

Definisi 2.8.3 (Millman & Parker,1991:66)

Misalkan {S , L , d} merupakan geometri metrik yang memenuhi PSA,

misalkan l ∈L , dan misalkan H1 dan H2 adalah setengah bidang yang ditentukan oleh l. Dua titik A dan B berada pada sisi yang sama dari l jika

keduanya termasuk dalam H1 atau keduanya termasuk dalam H2. A dan B

berada pada sisi yang berlawanan terhadap l jika salah satunya termasuk

dalam H1 dan sisi yang lain termasuk dalam H2. Jika A H1, kita katakan

bahwa H1 adalah sisi l yang memuat A. ]

(a) (b)

Gambar 2.15 Ilustrasi definisi 2.8.3 A

B

A B

l

(56)

Gambar 2.15 (a) menunjukkan dua titik pada sisi yang sama dari garis

tipe II pada bidang Poincaré , sedangkan gambar 2.15 (b) menunjukkan

dua titik pada sisi berlawanan pada garis pada bidang Euclid.

2.9 GEOMETRI PASCH

Geometri Pasch dikemukakan oleh Morris Pash. Geometri Pasch

merupakan geometri metrik yang memenuhi postulat Pasch dan aksioma

pembagian bidang.

Definisi 2.9.1 (Millman & Parker,1991:75)

Geometri Metrik memenuhi Postulat Pasch (PP) jika untuk sembarang

garis l, sembarang , dan sembarang titik D ∈ l sedemikian hingga

, maka atau . ]

Untuk lebih memudahkan memahami definisi 2.9.1, perhatikan

gambar berikut yang merupakan ilustrasi definisi 2.9.1.

Gambar 2.16 Ilustrasi definisi 2.9.1

Gambar 2.1.6 merupakan dimana terdapat titik D yang terletak

diantara A dan B. D merupakan titik potong garis l dengan segmen .

Jika garis l diperpanjang sampai tak hingga, maka l akan memotong di

satu titik tertentu.

C

l

B D

(57)

Berikut ini diberikan definisi geometri Pasch. Geometri metrik yang

memenuhi aksioma pembagian bidang merupakan geometri Pasch.

Definisi 2.9.2 (Millman & Parker,1991:76)

Geometri Pasch adalah geometri metrik yang memenuhi PSA. ]

Berikut akan disajikan definisi mengenai interior dari sinar dan

segmen garis.

Definisi 2.9.3 (Millman & Parker,1991:82)

Interior dari sinar garis dalam geometri metrik adalah himpunan

Interior dari segmen garis dalam geometri metrik adalah himpunan

, ]

Untuk lebih memahami definisi 2.9.3, perhatikan gambar berikut.

(a) (b)

Gambar 2.1.7 Ilustrasi Definisi 2.9.3

Gambar 2.1.7 merupakan ilustrasi dari definisi 2.9.3. Gambar 2.1.7 (a)

merupakan ilustrasi interior sinar . Interior dari adalah tanpa

titik A. gambar 2.1.7 (b) merupakan ilustrasi segmen . Interior

adalah tanpa titik-titik A dan B. Artinya titik-titik ujung dari segmen

garis bukan merupakan anggota interior segmen garis. A

A

(58)

Setelah pembahasan mengenai interior sinar garis dan segmen garis,

berikut ini akan dibahas mengenai interior sudut. Untuk memahami

definisi interior sudut, ingat kembali definisi mengenai aksioma

pembagian bidang. Berikut definisi interior sudut.

Definisi 2.9.4 (Millman & Parker,1991:83)

Dalam geometri Pasch, interior dari (ditulis int( )), adalah

perpotongan sisi yang memuat C dengan sisi yang memuat A. ]

Definisi 2.9.4 akan mengatakan tentang interior sebuah sudut. Interior

sudut merupakan sudatu daerah yang dibatasi oleh dua sinar garis yang

membentuk sudut tersebut. Untuk memahami definisi 2.9.4, perlu diingat

kembali tentang aksioma pembagian bidang/PSA. Misalkan terdapat

, maka akan terdapat dua garis yang terkait, yaitu dan .

Misalkan D terdapat pada interior maka D, C terletak pada sisi yang

terhadap dan D, A terlatak pada sisi yang sama terhadap .

Untuk lebih memahami definisi 2.9.4, perhatikan gambar 2.1.7

berikut.

Gambar 2.18 Ilustrasi definisi 2.9.4 pada bidang E

Gambar 2.1.8 menunjukkan interior . Interior merupakan

daerah yang dibatasi oleh dan . A

B

(59)

Berikut ini diberikan teorema tentang interior sudut.

Teorema 2.9.1 (Teorema Crossbar) (Millman & Parker,1991:84)

Dalam geometri Pasch, jika P int( ) maka berpotongan

dengan di titik F dengan A – F – C.

Bukti:

Misalkan E merupakan sebuah titik sedemikian hingga E – B – C (lihat

gambar 2.16). P dan C berada pada sisi yang sama dari . C dan E pada

sisi yang berlawanan dari . . Misalkan Q adalah sebuah

titik sedemikian hingga P – B – Q. maka Q dan A berada pada sisi yang

berlawanan dari sehingga . Mengakibatkan

. Menggunakan Postulat Pasch terhadap kita lihat

bahwa . Karena A, B, C tidak segaris, untuk

F tertentu. dan . Sehingga F ∈ int( ). Akhirnya, P, A, dan

F semuanya pada sisi yang sama dari sehingga memenuhi

. Akibatnya memotong pada titik tertentu F dengan

A – F – P. ฀ 

Untuk lebih memahami teorema 2.1.8, perhatikan ilustrasi berikut.

Gambar 2.19 Ilustrasi Teorema 2.1.8 A

B

C P

(60)

Gambar 2.1.9 merupakan ilustrasi teorema 2.1.8. P ∈ int( ). BP

berpotongan dengan AC di titik F sedemikian hingga A – F – C.

2.10 GEOMETRI PROTRAKTOR

Geometri protraktor merupakan sistem geometri yang merupakan

geometri Pasch dengan menambahkan satu bagian, yaitu ukuran sudut.

Sebelum dibahas mengenai definisi geometri protraktor, akan diberikan

dulu mengenai ukuran sudut, yang merupakan salah satu bagian penting

untuk dapat mendefinisikan geometri protraktor. Berikut ini diberikan

definisi ukuran sudut.

Definisi 2.10.1 (Millman & Parker,1991:90)

Misalkan ro adalah bilangan real positif. Dalam geometri Pasch, ukuran

sudut (protractor) didasarkan pada ro adalah fungsi m dari himpunan

sudut-sudut dalam A kepada himpunan bilangan real sedemikian hingga:

i) Jika ∈A maka 0

ii) Jika terletak pada sisi dari setengah bidang H1 dan jika θ adalah

bilangan real dengan 0 , maka ada sinar garis tunggal

dengan dan

iii) Jika maka ]

Aksioma pertama dari definisi 2.10.1 mengatakan bahwa ukuran sudut

dari suatu sudut terukur. Karena batas bawahnya nol, dan batas atasnya

adalah bilangan real positif, maka ukuran sudut adalah bilangan real yang

(61)

Ilustrasi untuk aksioma ii) dan iii) dapat dilihat pada gambar 2.20 berikut.

(a) (b)

Gambar 2.20 Ilustrasi aksioma ii) dan iii) dari Definisi 2.10.1 Jika 180, m disebut ukuran derajat. Jika , m disebut ukuran

radian.

Selanjutnya akan dibahas mengenai geometri protraktor yang

didefinisikan berdasarkan geometri Pasch dengan melibatkan ukuran

sudut.

Definisi 2.10.2 (Millman & Parker,1991:91)

Geometri Protraktor {S , L , d , m} merupakan geometri Pasch dengan

sebuah ukuran sudut m. ]

Selanjutnya geometri protraktor disebut dengan:

a) Pada bidang Euclid (E ) = { , LE , dE , mE} b) Pada bidang Poincaré (H ) = { , LH , dH , mH}

2.11 GEOMETRI NETRAL

Di dalam metematika, terdapat gagasan mengenai ekuivalensi. Dalam

geometri, gagasan yang sesuai dengan ekuivalensi adalah kongruensi.

(62)

Definisi 2.11.1 (Millman & Parker,1991:125)

Misalkan dan adalah dua segitiga pada Geometri

Protraktor dan misalkan : , , , , adalah fungsi bijektif di

antara titik-titik sudut segitiga tersebut. f kongruen jika:

, ,

dan

, , ]

Dua segitiga dan dikatakan kongruen jika ketiga sisi

yang bersesuaian dari kedua segitiga tersebut sama dan ketiga sudut yang

saling bersesuaian juga sama.

Untuk lebih memahami definisi 2.11.1, perhatikan ilustrasi berikut.

(63)

Selanjutnya, dalam geometri protraktor terdapat tiga aksioma

mengenai dua segitiga yang kongruen. berikut diberikan definisi mengenai

ketiga aksioma tersebut.

Definisi 2.11.2 (Millman & Parker,1991:127)

Geometri protraktor memenuhi Aksioma Sisi-Sudut-Sisi

(Side-Angle-side/SAS) jika dan adalah dua segitiga dengan ,

, , maka ∆ ∆ . ]

Berikut ini diberikan ilustrasi tentang aksioma SAS.

Gambar 2.22 ∆ ∆

Dari gambar 2.22, dan adalah dua segitiga dengan

, , . Sehingga .

Berikut ini diberikan definisi geometri netral dimana geometri netral

merupakan geometri protraktor dengan satu syarat tertentu.

Definisi 2.11.3 (Millman & Parker,1991:127)

Geometri netral adalah geometri protraktor yang memenuhi SAS. ]

Definisi 2.11.3 menyatakan bahwa geometri netral merupakan

geometri protraktor dengan syarat memenuhi definisi 2.11.2.

Aksioma SAS menyatakan bahwa sebuah segitiga dikatakan kongruen

bila tiga bagian yang saling berkorespondensi antara kedua segitiga

(64)

terukur, tiga sudut dan tiga sisi, sehingga ada kemungkinan lain yang

mungkin perbandingan yang lain.

Definisi 2.11.4 (Millman & Parker,1991:131)

Geometri protraktor memenuhi aksioma Sudut-Sisi-Sudut

(Angle-Side-Angle/ASA) jika ada dan adalah dua segitiga dengan

, , , maka ∆ ∆ . ]

Definisi 2.11.4 biasa diingat sebagai: Jika dua sudut dan sisi yang

diapitnya dalam sebuah segitiga itu kongruen dengan dua sudut dan satu

sudut dari segitiga yang lain, maka dua segitiga itu kongruen.

Gambar 2.23 ∆ ∆

Dari gambar 2.23, ada dan adalah dua segitiga dengan

, , . Sehingga .

Selain aksioma SAS dan ASA terdapat aksioma lain yang dapat

digunakan untuk membuktikan bahwa dua segitiga kongruen. aksioma

tersebut adalah aksioma sisi-sisi-sisi/SSS. Berikut diberikan definisi

mengenai aksioma SSS.

Definisi 2.11.5 (Millman & Parker,1991:132)

Geometri protraktor memenuhi aksioma Sisi-Sisi-Sisi

(65)

Definisi 2.11.5 menyatakan bahwa: Jika tiga sisi dari sebuah segitiga

kongruen dengan ketiga sisi dari segitiga yang lain, maka kedua segitiga

itu kongruen.

Gambar 2.24 ∆ ∆

Dari gambar 2.24, dan adalah dua segitiga dengan

, , . Sehingga .

2.12 EUCLIDEAN PARALLEL PROPERTY

Euclidean Parallel Property (EPP) merupakan postulat tentang

kesejajaran yang dikemukakan oleh Euclides. Postulat ini menyatakan

bahawa melalui satu titik terdapat satu garis yang sejajar terhadap suatu

garis tertentu.

Definisi 2.12.1 (Millman & Parker,1991:176)

Geometri insidensi memenuhi Euclidean Parallel Property (EPP) jika

untuk setiap garis l dan untuk setiap titik P, ada garis tertentu yang

melalui P yang sejajar l. ]

Gambar 2.25 Ilustrasi definisi 2.11.6 A

B

C

D

E

F

P

l

(66)

2.13 KERANGKA BERPIKIR

Selama ini sudah mempelajari tentang isometri terkait dengan

geometri transformasi pada Geometri Euclides. Berdasarkan teori pada

bagian 2.1 sampai 2.12, akan ditemukan bahwa sifat isometri pada

geometri Euclides juga berlaku untuk geometri lainnya terutama pada

geometri netral, karena geometri Euclides sendiri adalah geometri netral.

(67)

48  

BAB III

TEORI ISOMETRI

3.1 KOLINEASI DAN ISOMETRI

Ada dua konsep dasar dalam geometri metrik, yaitu garis dan jarak.

Selain itu ada pula dua jenis fungsi yang penting. Satu fungsi (kolineasi) yang

memasangkan garis ke garis, dan fungsi yang lain (isometri) mempertahankan

jarak.

Pertama-tama akan dibahas mengenai kolineasi. Kolineasi adalah fungsi

yang mempertahankan garis. Berikut diberikan definisi mengenai kolineasi.

Definisi 3.1.1 (Millman & Parker,1991:285)

Jika I = {S , L } dan I ‘ = {S ‘ , L ‘} merupakan geometri insidensi, maka

ϕ: S → S ’ mempertahankan garis jika untuk setiap garis l anggota S ,

ϕ(l) adalah sebuah garis S ‘ ; dengan kata lain φ L ‘ jika L .

ϕ adalah sebuah kolineasi jika ϕ adalah fungsi bijektif yang

mempertahankan garis. ]

Dari definisi 3.1.1, diketahui bahwa:

a. Fungsi ϕ dalam geometri insidensi dikatakan mempertahankan garis jika l

adalah garis dalam geometri insidensi dipetakan oleh ϕ akan didapatkan

ϕ( l ) yang juga merupakan garis dalam geometri insidensi.

b. Syarat fungsi ϕ dapat disebut kolineasi yaitu:

(68)

(ii) ϕ adalah fungsi yang mempertahankan garis.

Untuk lebih memahami definisi 3.1.1, perhatikan dua contoh berikut..

Contoh 3.1.1

Misalkan I = I = { ,L E}. Fungsi : dimana ,

2 , 5 adalah sebuah kolineasi.

Bukti:

Diketahui: , 2 , 5 (3-1)

Pertama-tama harus ditunjukkan bahwa ϕ bijektif. Untuk membuktikan

bahwa ϕ bijektif, maka harus dibuktikan bahwa ϕ memiliki invers.

Invers diberikan oleh

,

,

.

Karena ϕ memiliki invers, maka dapat dikatakan bahwa ϕ bijektif.

Selanjutnya harus dibuktikan bahwa ϕ mempertahankan garis.

i) Jika , berarti , sehingga persamaan (3-1) menjadi:

2 , 5 | (3-2)

Misalkan 2 (3-3)

5 (3-4)

(69)

Substitusikan persamaan (3-5) ke persamaan (3-4) sehingga

persamaan (3-2) menjadi:

, | 3 5 (3-6)

Persamaan (3-6) merupakan persamaan garis dengan m = 1 dan

3 5. Sehingga dapat ditulis sebagai:

,

ii) Jika , berarti ( )

Maka persamaan (3-1) menjadi:

2 , 5 |

2 , 1 5 |

9 Jika 2, maka .

9 Jika 2, maka , dimana dan 5 .

Dari i) dan ii) terlihat bahwa garis yang dikenai fungsi ϕ tetaplah sebuah garis 

mengakibatkan ϕ mempertahankan garis.

Karena ϕ bijektif dan ϕ mempertahankan garis, maka ϕ adalah kolineasi. •

Contoh 3.1.2

Misalkan I = I ={ ,L E}. Fungsi : dimana ,

(70)

Bukti:

Diketahui: fungsi , , (3-7)

Berdasarkan definisi 3.1.1, maka pertama-tama harus dibuktikan bahwa ϕ

bijektif.

Untuk membuktikan ϕ bijektif, berdasarkan definisi 2.1.9, harus dibuktikan

bahwa ϕ memiliki invers. Invers ϕ diberikan oleh.

, 2 , 2

Karena ϕ memiliki invers, maka berarti ϕ bijektif.

Selanjutnya harus dibuktikan bahwa ϕ mempertahankan garis.

i) Jika , berarti , maka persamaan (3-7) menjadi:

, |

, | 2

,

ii) Jika , , berarti , maka persamaan (3-7) menjadi:

, |

1 , 1 |

™ Untuk 1, maka

™ Untuk 1, maka , dimana dan .

Gambar

Gambar 3.19 Ilustrasi teorema 3.2.12
Gambar 2.1 Koordinat Kartesius
Gambar 2.4 Garis� � 2
Gambar 2.6 Koordinat untuk bidang Poincaré
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Pola spasial kolom adalah pola spasial bangunan Jawa, yang terdiri dari Soko Guru dan soko tambahan sebagai pendukung di keliling struktur utama.. pada semua kolom terdapat ornamen

NAMA PEKERJAAN : PEMBANGUNAN RUANG BERSALIN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SABU LOKASI : RUMAH SAKIT UMUM DAERAH. TAHUN ANGGARAN

Oleh karena itu, diperlukan penentuan alternatif strategi dalam pengembangan usaha dengan menggunakan analisis SWOT, dimana didalam analisis SWOT tersebut dapat

Untuk itu, layanan kesehatan primer sebagai titik kontak pertama sebagian besar penduduk dengan sistem kese- hatan secara umum harus diperkuat, ditransfor- masi – tidak

Dari hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa dari variasi water heater tunggal laju aliran kalor tertinggi yang didapatkan yaitu sebesar 7,17 kW pada debit aliran air

18. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah;.. Peraturan Menteri Negara Perencanaan

Oleh sebab itu kurkumin dapat digunakan sebagai terapi sehingga dapat menurunkan aktivitas radikal bebas di dalam tubuh yang ditandai dengan penurunan

Sedangkan, secara khusus, tujuan yang ingin dicapai dari studi ini adalah: (a) mengetahui dan menganalisis sektor- sektor basis di Kota Jayapura, (b)