1 BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Erupsi eksplosif dengan durasi pendek serta menghasilkan volume material sekitar 105 juta m3 terjadi pada tanggal 13 Februari 2014 di Gunungapi Kelud. Abu vulkanik diendapkan di seluruh lereng gunungapi dan menutup sebagian Pulau Jawa (sebelah barat Gunungapi Kelud). Gambar 1.1 memperlihatkan material yang diendapkan pada bagian hulu pascaerupsi eksplosif Gunungapi Kelud 13 Februari 2014 lalu. Material hasil erupsi eksplosif berpotensi terbawa oleh hujan dan menyebabkan terjadinya lahar di sepanjang sungai yang berhulu di Gunungapi Kelud. Biasanya aliran lahar berlangsung selama dua atau tiga kali musim penghujan, tergantung dari volume material letusannya. Lima hari setelah fase eruptif yaitu pada tanggal 18 Februari 2014, lahar pertama terjadi di beberapa sungai diantaranya adalah Kali Mangli (Kediri) dan Kali Konto (Kediri-Malang) (Dibyosaputro dkk., 2014). Sementara itu di Sungai Bladak, Sungai Putih, Sungai Sumberagung, dan Sungai Ngobo belum terjadi aliran lahar (Maritimo dkk., 2014).
Sungai Bladak merupakan salah satu sungai yang berhulu di Gunungapi Kelud, berlokasi di lereng barat, dan hampir selalu terkena dampak aliran lahar akibat erupsi. Berdasarkan rekaman kejadian lahar dalam kurun 100 tahun, menunjukkan bahwa Sungai Bladak terkena aliran lahar pada tahun 1875, 1919, 1951, 1966, dan 1990 (Tabel 1.1). Kejadian lahar di Sungai Bladak ditunjukkan
2
dengan adanya bangunan sebagai mitigasi struktural terhadap lahar seperti sabo dam di alur Sungai Bladak.
Diperlukan serangkaian upaya mitigasi baik struktural maupun non-struktural yang melibatkan masyarakat setempat sebagai upaya untuk mengantisipasi serta mengurangi korban dan kerusakan menjadi sekecil mungkin serta meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan terulangnya bencana. Penelitian ini hanya difokuskan kepada mitigasi non-struktural berdasarkan pemahaman masyarakat terhadap bencana aliran lahar.
Gambar 1.1 Material yang diendapkan pada bagian hulu pada tanggal 18 Februari 2014 (Sumber: USGS, Science for a changing world dalam BPBD Kabupaten Blitar).
3
Tabel 1.1 Sejarah kejadian lahar di Gunungapi Kelud
Tahun
Tipe Lahar
Sungai Jarak (km) Jumlah korban Syn-eruptive Post-eruptive dipicu
oleh hujan
1334 Ya ? ? ? ?
1586 Ya ? ? ? 10,000
1826 Ya ? Semut, Gedog, Lekso, Siwalan, Bedali,
Putih ? Yes
1848 Lahar panas Ya Konto, Putih, Lekso, Siwalan, Brantas 24 – 27 22
1864 Lahar panas Ya 24 – 27 Ya
1875 Tidak ada erupsi Lahar dingin Bladak 27 Ya
1901 Lahar panas Ya Ngobo-Pulo ? Ya
1919 Lahar panas Ya Semua Sungai 27 – 37.5 5,190
1951 Lahar panas Ya Semua Sungai 6.5 – 12 7
1966 Lahar panas Ya
Bladak, Senut, Putih, Ngobo-Pulo, Konto, Mangli, Sumberagung, Konto,
Petungkobong, Gedog
7 – 31 211
1990 Ya Lahar dingin
Konto, Mangli, Abab, Bladak, Gedog, Petungkobong, Sumberagung,
Pulojengglong, Putih, Semut, Itjir, Lekso, Soso
27-37 -
2014 Tidak Ya Mangli, Konto 5 -
Sumber: Thouret et al., 1998.
1.2. Perumusan Masalah
Sungai Bladak berada di lereng bagian barat Gunungapi Kelud. Gambar 1.1 menunjukkan bahwa terdapat endapan material dengan volume yang cukup besar di lereng barat laut, barat, barat daya. Di lereng bagian barat Gunungapi Kelud terdapat sekitar 27,6 juta m3 endapan material (Purnamasari, 2015), sehingga salah satu sungai yang berpotensi menjadi jalur lintasan aliran lahar pasca erupsi Gunungapi Kelud Februari 2014 lalu adalah Sungai Bladak.
Curah hujan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap aliran lahar. Adanya hujan dalam jumlah yang cukup banyak dan tercurah ke dalam alur atau lembah sangat berperan dalam mengkontribusikan kemungkinan akan terjadinya aliran lahar. Hujan pada suatu daerah pengaliran sungai mempunyai distribusi yang sangat bervariasi menurut ruang dan waktunya, misalnya saja penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2011) di lereng Gunung Merapi dengan menggunakan 9 (sembilan) stasiun hujan. Musim penghujan terjadi pada bulan November-April
4
sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei-Oktober. Pola hujan di sembilan stasiun tersebut masing-masing memiliki satu puncak musim penghujan dengan hujan maksimum umumnya terjadi di bulan Februari dan satu puncak musim kemarau dengan hujan minimum terjadi di bulan Agustus/September. Pada bulan Oktober-Desember (awal musim hujan) curah hujan umumnya mengalami trend meningkat. Pada Januari-Maret (puncak musim hujan) curah hujan umumnya mengalami trend menurun. Secara klimatologis keberadaan Gunungapi Merapi dan Gunungapi Kelud termasuk wilayah iklim muson tropis yang dicirikan oleh curah hujan dengan intensitas yang tinggi pada musim hujan kemudian berganti dengan bulan-bulan kering di musim kemarau. Diperlukan analisis kecendrungan pola hujan di sekitar Sungai Bladak untuk mewaspadai waktu-waktu dimana curah hujan memiliki nilai yang cukup tinggi.
Dalam penelitian Legiarto (2008) disebutkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa Belanting memperkirakan datangnya bencana aliran lahar dengan melihat gejala alam, yaitu curah hujan yang tinggi di bagian hulu sungai. Cara ini memang murah dan dapat cepat dilihat, tetapi tidak akurat atau memiliki keterbatasan dikarenakan masyarakat di bagian hilir terkadang tidak mengetahui hujan lebat di bagian hulu. Penelitian yang dilakukan oleh Legiarto (2008) selaras dengan hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di Sungai Konto pada bulan November 2014. Masyarakat di bagian hulu Sungai Konto memperkirakan datangnya aliran lahar dengan melihat hujan dengan durasi dan intensitas yang tinggi di hulu sungai, sedangkan masyarakat di bagian tengah dan hilir sungai bahkan tidak
5
mengetahui penyebab aliran lahar. Komunikasi dan informasi antara masyarakat di bagian hulu dan hilir menjadi hal yang sangat penting.
Media penyebaran informasi yang efektif dan mencakup seluruh kawasan rawan bencana penting untuk dikaji di Sungai Bladak. Keanekaragaman karakter dan media informasi akan mempengaruhi keinginan kesiapsiagaan (Perry dan Lindell (2008, Sagala, 2013). Tingkat kesiapsiagaan dari seseorang dapat dibentuk dengan seberapa sering orang tersebut menerima informasi pencegahan dan kesiapsiagaan. Penelitian yang dilakukan oleh Budiani dan Nugraha (2013) memaparkan bahwa di lereng Merapi pada saat terjadi bencana, sumber informasi bagi para penduduk berasal dari kepala dusun, teriakan tetangga, sirine, handie talkie (HT), televisi dan dari telepon. Dari ketujuh sumber informasi tersebut belum bisa menyentuh semua penduduk di daerah bencana. Hanya sumber informasi dari kepala dusun dan teriakan tetangga mampu mencapai angka 100%. Selebihnya, sarana informasi tersebut tidak mampu mencapai 100%.
Hasil pengamatan lapangan pada Desember 2014, Februari serta Juni 2015 menunjukkan bahwa belum terjadi aliran lahar di Sungai Bladak. Aktifitas penambangan pasir terlihat sangat intensif seolah-olah Sungai Bladak aman dari ancaman bencana aliran lahar. Lahar menyebabkan daerah menjadi subur dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi sehingga mendorong masyarakat untuk tetap tinggal menetap (Kumalawati, 2014). Informasi akan ancaman aliran lahar yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Blitar hanya sebatas spanduk-spanduk yang dipasang di bagian hulu Sungai Bladak.
6
Penambang pasir serta masyarakat yang jumlahnya cukup banyak di sekitar Sungai Bladak merupakan salah satu elemen yang perlu dilindungi untuk meminimalisir kerugian berupa kehilangan nyawa, serta harta benda. Sungai Bladak melalui 26 (dua puluh enam) desa, 19 (sembilan belas) desa di Kabupaten Blitar, 4 (empat) desa di Kabupaten Kediri dan 3 desa di Tulungagung berpotensi dilalui oleh aliran lahar (Tabel 1.2).
Tabel 1.2 Desa-desa yang dilalui Sungai Bladak
No Desa Kecamatan Kabupaten
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Sumbersari Penataran Candirejo Kedawung Bacem Ringianyar Jaten Karangbendo Sumbersari Kebonduren Jati Ponggok Karanggondang Kebonagung Salam Dadap Langu Tawangrejo Ringianom Rejosari Maesan Nyawangan Rejomulyo Sentonorejo Banjarsari Pojok Pulurejo Nglegok Nglegok Ponggok Nglegok Ponggok Ponggok Wonodadi Ponggok Udan Awu Ponggok Udan Awu Ponggok Udan Awu Wonodadi Wonodadi Ponggok Wonodadi Udan Awu Wonodadi Mojo Kraas Kraas Kraas Ngantru Ngantru Ngantru Blitar Blitar Blitar Blitar Blitar Blitar Blitar Blitar Blitar Blitar Blitar Blitar Blitar Blitar Blitar Blitar Blitar Blitar Blitar Kediri Kediri Kediri Kediri Tulungagung Tulungagung Tulungagung Sumber: Maritimo dkk., 2014.
Penelitian yang dilakukan Legiarto (2008) menunjukkan bahwa dari 80 orang yang menjadi responden, 52,5% tidak mengetahui bahaya, gejala dan penyebab aliran lahar di Sungai Belanting. Sosialisasi penanggulangan bencana yang berkaitan dengan penyebab, gejala dan risiko bencana aliran lahar hampir tidak pernah dilakukan. Masyarakat yang pernah mendapat penyuluhanpun menyatakan sosialisasi
7
dilakukan hanya pada saat di pengungsian setelah kejadian aliran lahar dan bertempat di lokasi pengungsian. Program penyuluhan di Sungai Belanting tidak berkelanjutan, hanya kegiatan pada saat evakuasi pada situasi darurat, sehingga kurang mengenai sasaran. Tidak adanya penyuluhan yang sistematis oleh Pemda menyebabkan masyarakat Desa Belanting tidak memiliki cara yang baku untuk mengetahui fenomena bencana aliran lahar.
Masyarakat di sekitar sungai-sungai yang berhulu di Gunungapi Kelud belum sepenuhnya memahami tentang bahaya yang diakibatkan oleh bencana aliran lahar, misalnya saja Sungai Konto, salah satu sungai yang telah dilalui aliran lahar Gunungapi Kelud pascaerupsi 13 Februari 2014. Hasil pengamatan dan wawancara di sekitar alur Sungai Konto menunjukkan bahwa sebagian masyarakat yang tersebar di bagian hulu, tengah dan hilir belum semuanya memahami tentang penyebab, gejala, bahaya yang ditimbulkan, serta upaya penyelamatan diri berkaitan dengan aliran lahar.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1. kapankah Sungai Bladak memiliki kecendrungan mengalirkan lahar berbasis pada curah hujan bulanan, musiman dan tahunan?
2. apakah masyarakat di sekitar aliran Sungai Bladak sudah memiliki kondisi kesiapsiagaan yang memadai terhadap ancaman aliran lahar?
3. apa saja kebijakan dan program yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Blitar (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Badan Penanggulangan
8
Bencana Daerah dan Dinas Sosial) dalam upaya mitigasi non-struktural bencana aliran lahar Gunungapi Kelud di Sungai Bladak?
4. apa saja upaya-upaya mitigasi non-struktural yang diperlukan untuk menanggulangi ancaman bencana aliran lahar di Sungai Bladak?
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah disampaikan tersebut maka penelitian berjudul “MITIGASI NON-STRUKTURAL BENCANA ALIRAN LAHAR GUNUNGAPI KELUD DI SUNGAI BLADAK”.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. mengkaji potensi hujan yang menyebabkan aliran lahar di Sungai Bladak ditinjau
dari curah hujan bulanan, musiman dan tahunan sebagai masukan untuk kalender mitigasi.
2. menganalisis kondisi kesiapsiagaan masyarakat terhadap ancaman bencana aliran lahar Sungai Bladak.
3. melakukan kajian kebijakan dan program yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Blitar dan lembaga pemerintah dalam upaya mitigasi non-struktural bencana aliran lahar di Sungai Bladak.
4. menyusun arahan dan prioritas penanganan bencana aliran lahar secara non-struktural.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini diantaranya adalah: a. Manfaat Teoritis
9
Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang manajemen bencana, khususnya tentang mitigasi dan kesiapsiagaan. Penelitian ini dapat dijadikan salah satu referensi untuk memperoleh informasi gambaran nyata kondisi masyarakat di sekitar Sungai Bladak dalam menghadapi ancaman bencana aliran lahar.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan oleh pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Blitar dalam menyusun program sistem mitigasi bencana aliran lahar secara non-struktural di masa mendatang sehingga dapat diambil langkah-langkah yang efektif dan efisien.
1.5 Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang mitigasi non-struktural bencana aliran lahar telah banyak dilakukan hanya saja belum ada yang melakukan di sungai-sungai yang berhulu di Gunungapi Kelud. Penelitian Saleh (2009), analisis mitigasi non-struktural dilakukan dengan mengkaji kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah setempat saja. Penelitian mitigasi non-struktural bencana aliran lahar di Sungai Bladak, menganalisis kebijakan yang disusun oleh Pemerintah Kabupaten Blitar, program mitigasi bencana di Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagan Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Kabupaten Blitar serta kondisi masyarakat yang sesungguhnya di sekitar Sungai Bladak.
Penelitian Pratiwi (2011), mengkaji variabilitas curah hujan khususnya trend curah hujan kumulatif di lereng Gunungapi Merapi ditinjau dari curah hujan bulanan,
10
musiman, tahunan, harian dan jam-jaman. Penelitian Pratiwi (2011) menggunakan metode analisis regresi linier dengan Mann-Kendall, namun belum memasukkan unsur manajemen. Penelitian mitigasi non-struktural bencana aliran lahar di Sungai Bladak mengkaji variabilitias curah hujan khususnya trend curah hujan kumulatif di alur Sungai Bladak ditinjau dari curah hujan bulanan, musiman, dan tahunan untuk mengetahui waktu kecendrungan Sungai Bladak mengalirkan lahar.
Beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan topik penelitian mitigasi non-struktural disajikan pada Tabel 1.3.
11 Tabel 1.3 Perbandingan penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang
No Nama peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil Penelitian
1. Saleh, M.
(2009)
Sistem mitigasi bencana sekunder Gunungapi Gamalama di Sungai Tubo (Tugurara) Kota Ternate
Tesis
1. Mengetahui apakah sistim mitigasi
fisik (struktural) yang ada di sungai Tubo dapat mengurangi risiko yang mungkin ditimbul dari ancaman aliran lahar/debris
2. Memprediksi besarnya jumlah
volume aliran sedimen yang terjadi dan membandingkan volume tersebut dengan produksi penambangan bahan galian C (pasir)
3. Mengkaji kebijakan yang telah
dilakukan oleh Pemerintah Kota Ternate dalam upaya mitigasi non-fisik bencana gunungapi.
Metode Analisis imbangan sedimen berdasarkan volume sedimen yang masuk dengan curah hujan harian rencana (R24) kala ulang 25 tahun
1. Sistem sabo yang diterapkan di Sungai Tubo
belum cukup efektif dalam mengendalikan aliran sedimen/debris karena produksi sedimen yang masuk. Tingkat keberhasilan sistem pengendalian sedimen di Sungai Tubo sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek yaitu aspek sistem pengelolaan imbangan sedimen dan aspek penambangan pasir.
2. Upaya mitigasi bencana aliran sedimen belum
cukup optimal disebabkan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan belum dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan, serta belum memiliki dokumen RAD-PRB sebagai dasar dalam penanggulangan bencana.
2. Legiarto, A.
(2008)
Mitigasi Bencana Aliran Debris Sungai Belanting secara non Struktural Desa Belanting Kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat
Tesis
Mengetahui kondisi tingkat pemahaman masyarakat terhadap ancaman bencana aliran debris Sungai Belanting sebagai dasar untuk menentukan pola
penanganan bencana aliran debris secara non-struktural. Survey lapangan dan wawancara dengan teknik stratified random sampling dengan jumlah responden 80 orang
1. Sebanyak 52,5% responden belum paham
terhadap ancaman bencana dan dari wawancara diketahui bahwa Pemuka Agama mempunyai tingkat sosial yang sangat tinggi.
2. Strategi mitigasi non-struktural dilakukan dengan sosialisasi yang dilaksanakan
bersamaan dengan kegiatan pengajian sehingga lebih efektif dan efisien
3. Wimbardana, R., Sagala, S. A. H. (2013) Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Bahaya lahar Dingin Gunung Merapi Jurnal Bumi Lestari, Volume 13 No.2, Agustus 2013, halaman 394-406
Mengetahui kesiapsiagaan masyarakat terhadap bahaya lahar dingin Gunung Merapi di Sungai Kali Putih
Survey lapangan
dan penyebaran kuesioner kepada masyarakat
Informasi pemetaan KRB Gunung Merapi belum mencapai kepada masyarakat dengan baik. Selain itu minimnya edukasi masyarakat tentang lahar dingin. Strategi mitigasi yang dapat dilakukan dalam mengurangi risiko bencana lahar dingin di masa depan, yaitu membangun kapasitas
kesiapsiagaan, baik pada tingkat rumah tangga dan komunitas di KRB lahar dingin Gunung Merapi.
12
(2011) Hujan di Kawasan
Lereng Gunung Merapi Tesis
trend curah hujan kumulatif di kawasan lereng Gunungapi Merapi ditinjau dari curah hujan bulanan, musiman dan tahunan,
2. Mengetahui variabilitas khususnya
trend curah hujan maksimum di kawasan lereng Gunungapi Merapi ditinjau dari hujan harian dan jam-jaman (durasi pendek)
analisis dengan regresi linier dan Uji Mann-Kendall
memperlihatkan trend yang cukup signifikan. Musim hujan terjadi pada bulan November sampai April sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei sampai Oktober. Curah hujan pada awal musim hujan cenderung meningkat, sedangkan curah hujan pada puncak musim hujan dan musim kemarau cenderung menurun.
5. Rusdimi, A.
(2015)
Retarding Basin Modeling For Lahar Hazard Management
Tesis
1. Mensimulasikan curah
hujan-limpasan di DAS Bladak menggunakan model hidrologi
2. Mengevaluasi penerapan retarding
basin dengan 1D rainfall-runoff
menggunakan model LISEM
Menggunakan model hidrologi untuk mensimulasikan respon curah hujan terhadap limpasan dengan input data meliputi topografi, tutupan lahan, karakteristik infiltrasi tanah dan curah hujan.
Model hidrologi mampu memberikan gambaran tentang implementasi retarding basin di DAS Bladak dengan mengurangi debit puncak selama kejadian hujan. Sekitar 10,45 km2 lahan pertanian merupakan daerah rawan lahar. Kegiatan pertanian berkembang sangat intensif. Kolaborasi antara pemerintah yang berwenang serta masyarakat setempat sangat diperlukan untuk mengurangi risiko akibat banjir lahar. Penerapan retarding
basin dan rencana penggunaan lahan yang tepat
oleh pihak terkait dapat digunakan sebagai upaya mitigasi terhadap lahar dan banjir bandang di DAS Bladak.
6. Vera Arida
(2015)
Mitigasi Non-struktural Bencana Aliran Lahar Gunungapi Kelud di Sungai Bladak Tesis
1. Mengetahui variabilitas curah hujan
bulanan, musiman dan tahunan di sekitar alur Sungai Bladak
2. mengetahui kebijakan dan program
yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan BPBD Kab Blitar
3. mengetahui kondisi tingkat
pemahaman masyarakat terhadap ancaman bencana aliran lahar Sungai Bladak.
4. menyusun arahan dan prioritas
penanganan bencana aliran lahar
Survey lapangan, kuisioner dengan teknik random sampling, wawancara dengan teknik purposive sampling
1. Curah hujan pada awal musim hujan (OND) dan pada bulan-bulan musim peralihan trend meningkat, sehingga kegiatan mitigasi non-struktural mulai dilaksanakan pada bulan-bulan ini.
2. Masyarakat di sekitar Sungai Bladak dinilai cukup siap menghadapi bencana aliran lahar.
3. Peraturan perundangan yang menjadi dasar mitigasi bencana di Kabupaten Blitar berimplikasi terhadap kegiatan mitigasi bencana di Kabupaten Blitar
4. arahan dan prioritas mitigasi non-struktural bencana aliran lahar di Sungai Bladak yaitu sosialisasi dan simulasi, pemberdayaan tokoh masyarakat, pemetaan partisipatif, dan pembentukan kelompok sadar bencana.