BAB II
PENDEKATAN TEORITIS DAN ACUAN PUSTAKA
A. Perkawinan dalam Hukum Islam
Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berati
membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau
bersetubuh. Berasal dari kata an-nikah yang menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan, dan wathi atau bersetubuh.1Sedangkan
menurut Sayid Sabiq, perkawinan merupakan “satu sunatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan maupun tumbuhan”.2Nikah menurut arti asli adalah hubungan seksual, tetapi menurut arti majazi atau arti
hukum adalah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual
sebagai suami istri antara seoarang pria dan wanita.3
Kata nakaha banyak terdapat dalam al-Quran dengan arti nikah atau kawin seperti surat an-Nisa ayat 22 :
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
1
Abdul Rahman Ghozali,Fiqh Munakahat. (Jakarta: Prenada Media Group, 2003). h. 8
2Ibid
., h. 10
3
perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Sedangkan menurut istilah hukum Islam terdapat beberapa definisi,
yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang senang
antara laki-laki dan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya
perempuan dengan laki-laki. Dari pengertian itu kebolehan hukum dalam
hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang semula
dilarang menjadi halal.4Perbedaan pendapat mengenai definisi perkawinan tersebut sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang
sungguh-sungguh melainkan hanya keinginan para perumus untuk memasukan
unsur-unsur sebanyaknya dalam merumuskan pengertian perkawinan di pihak yang
lain.5
Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 Tentang
Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.6Berdasarkan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan adalah akad yang sangat kuad (mistaqan ghalidan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.7Dalam hukum Islam hukum perkawinan ada lima yang semuanya dikembalikan pada calon suami istri, yang adakalanya
hukum menjadi;
4
Ghazali Abd Rahman, Fiqh Munakahat(Jakarta : Kencana 2002),.h.9
5
Soemiyati,Hukum Perkawinan Islam Dan Undang- Uundang Perkawinan. (Yogyakarta:Liberty 2008).,h.88
6Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam( Bandung: Citra Umbara, 2007) .h. 2
7Ibid
1. mubah (jaiz), sebagaimana asal hukumnya;
2. sunnah, bagi orang yang mampu baik secara dhohir maupun batin ( cukup
mental dan ekonomi);
3. wajib, wajib bagimereka yang sudah mampu secara dhohir dan batin serta
dikwatirkan terjerumus dalam perbuatan zina;
4. haram, pernikahan bisa menjadi haram hukumnya bagi mereka yang berniat
untuk menyakiti wanita yang dinikahkan;
5. makruh, pernikahan bisa berubah makruh bagi mereka yang belum mampu
memberi nafkah baik secara dhohir maupun batin;8
B. Syarat dan Rukun Perkawinan Menurut Hukum Islam
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama
yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi
hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama, dalam hal bahwa
keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Sama halnya dengan
perkawinan, sebagai perbuatan hukum, rukun dan syarat perkawinan tidak
boleh ditinggalkan. Perkawinan menjadi tidak sah bila keduanya tidak ada
atau tidak lengkap.
Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, jika salah
satu rukunnya tidak terpenuhi, maka perkawinan tidak akan sah. Rukun
perkawinan diantaranya: calon suami, calon istri, wali dari calon istri, saksi
dua orang saksi dan ijab qabul. Syarat adalah sesuatu yang harus terpenuhi
8
sebelum perkawinan itu dilakukan.Berdasarkan undang-undang Perkawinan,
ada dua macam syarat-syarat perkawinan yaitu syarat materiil adalah syarat
yang melekat pada diri masing-masing pihak disebut juga syarat subjektif,
dan syarat formal yaitu mengenai tata cara atau prosedur melangsungkan
perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang disebut juga syarat
objektif.
Syarat perkawinan (syarat materiil) diatur dalam Pasal 6 sampai
dengan Pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
adalah sebagai berikut;
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
(Pasal 6 ayat (1).
2. Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat (1)) Harus
mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua, kecuali dalam hal-hal
tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau
mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon
kurang dari 19 dan 16 tahun (Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2))
3. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 8 yaitu perkawinan antara dua orang yang;
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri.
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan.
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
f. 9bempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
4. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2)
dan Pasal 4 Undang-undang ini (Pasal 9).
5. Suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain
(Pasal 10).
6. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah
lampau tenggang waktu tunggu. (Pasal 11).
9
1. Syarat calon mempelai pria ;
a. beragama Islam;
b. laki-laki;
c. tidak karena dipaksa d. Tidak beristri empat orang (termasuk isteri yang
dalam iddah raj’i);
d. bukan mahram perempuan calon isteri;
e. tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan calon isterinya;
f. mengetahui bahwa calon istri itu tidak haram baginya;
g. tidak sedang berihrom haji atau umrah;
h. jelas orangnya;
i. dapat memberikan persetujuan;
j. tidak terdapat halangan perkawinan;10 2. Syarat calon mempelai perempuan :
a. beragama Islam;
b. perempuan;
c. telah mendapat izin dari walinya (kecuali wali mujbir);
d. tidak bersuami (tidak dalam iddah);
e. bukan mahram bagi suami;
f. belum pernah dili’an (dituduh berbuat zina) oleh calon suami;
g. jika ia perempuan yang pernah bersuami (janda) harus atas kemauan
sendiri, bukan karena dipaksa;
h. jelas ada orangnya;
10
i. tidak sedang berihrom haji atau umroh;
j. dapat dimintai persetujuan;
k. tidak terdapat halangan perkawinan11
3. Syarat Wali (orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah);
a. dewasa dan berakal sehat
b. laki-laki.
c. muslim
d. merdeka
e. berpikiran baik
f. adil
g. tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.12 4. Syarat-syarat saksi adalah ;
a. dua orang laki-laki;
b. beragama Islam;
c. sudah dewasa;
d. berakal;
e. merdeka;
f. adil;
g. dapat melihat dan mendengar;
h. faham terhadap bahasa yang digunakan dalam aqad nikah;
i. tidak dalam keadaan ihrom atau haji;13
11
S Munir.Fiqh Syari’ah. (Solo : Amanda, 2007),. h. 34
5. Syarat-syarat ijab qabul;
a. adanya pernyataan mengawinkan dari wali ;
b. adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria;
c. memakai kata-kata nikah atau semacamnya;
d. antara ijab qabul bersambungan;
e. antara ijab qabul jelas maksudnya;
f. orang yang terikat dengan ijab tidak sedang melaksanakan haji atau
umrah;
g. majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri oleh minimal 4 orang. calon
mempelai pria atau yang mewakili, wali dari mempelai wanita atau
yang mewakili dan 2 orang saksi;14
Syarat formal adalah syarat yang berhubungan dengan
formalitas-formalitas mengenai pelaksanaan perkawinan. 15 Syarat-syarat formal dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Pasal 3 ayat (1) yang
berbunyi: 16 Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat
perkawinan akan dilangsungkan.
13
S Munir.Fiqh Syari’ah. (Solo : Amanda, 2007),. h. 34
14
Zainudin Ali.Hukum Perdata Islam Di Indonesia( Jakarta: Sinar Grafika, 2006),. h. 21
15
Muhamad,Hukum Perdata...,h. 76.
C. Pencatatan perkawinan
Pencatatan perkawianan adalah suatu pencatatan yang dilakukan
oleh pejabat Negara terhadap peristiwa perkawinan. Alqur’an dan hadist tidak
mengatur secara rinci mengenai pencacatan perkawinan. Pencatatan
perkawinan pada masa dulu belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat
penting sekaligus belum dijadikan sebagai sebuah alat bukti autentik terhadap
sebuah perkawinan. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman, dengan
dinamika yang terus berubah, maka banyak sekali perubahan-perubahan yang
terjadi. Pergeseran kultur lisan pada kultur tulis sebagai ciri masyarakat
modern menuntut dijadikannya akta sebagai surat bukti autentik. Masyarakat
mulai merasakan pentingnya pencatatan perkawinan, sehingga diatur melalui
perundang-undangan baik Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun
melalui Kompilasi Hukum Islam.
Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan:
a) undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 ayat
(2)“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.17
b) Kompilasi Hukum Islam:18 1. Pasal 5 ayat (1) dan (2)
1) agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
17Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
., h. 2
18Ibid
2) pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam
Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
2. Pasal 6 ayat (1) dan (2)
1) untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, seyiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah.
2) perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum .
3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang Undang Perkawinan Pasal 3 ayat (1), (2) dan (3);19
1) setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di
tempat perkawinan akan dilangsungkan
2) pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan.
3) pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2)
disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas
nama Bupati Kepala Daerah.
4) perkembangan pemikiran tentang dasar perintah pencatatan nikah,
setidaknya ada dua alasan, yaituqiyasdanmaslahah mursalah.20
1. Qiyas
Diqiyaskan kepada pencatatan kegiatan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan agar dicacat. Firman Allah QS. al-Baqarah ayat 282:21
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis…”
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus
dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih
utama lagi untuk dicatatkan. Akad nikah bukanlah muamalah biasaakan tetapi
perjanjian yang sangat kuat.
2. Maslahah Mursalah.
Adalah kemaslahatan yang tidak dianjurkan oleh syari’at dan juga tidak dilarang oleh syari’at, semata-mata hadir atas dasar kebutuhan masyarakat. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu
prinsip dalam penetapan hukum Islam. Dalam hal ini, pencatatan perkawinan
20
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan.Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974, Sampai KHI.( Jakarta: Kencana, 2004),. H19-120.
21
dipandang sebagai suatu kemaslahatan yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat misalnya;
D. Tinjauan Kursus Pra Nikah dalam Islam
a) Kursus Pra Nikah BP4 (Badan Pembantu Penasehat Perkawinan Perceraian)
BP4 (Badan Pembantu Penasehat Perkawinan Perceraian)ialah
lembaga yang mengatur tentang bagaimana menciptakan keluarga yang
sakinah, mawaddah, warrahmah. BP4 merupakan badan semi resmi yang
diakui oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Agama No. 30 Tahun
1977, dan berkedudukan di bawah otoritas KUA Kecamatan. Walaupun
berada dibawah naungan KUA, tetapi BP4(Badan Pembantu Penasehat
Perkawinan Perceraian) berbeda dengan KUA dengan melihat dari
tugas-tugas pokok yang ada dalam masing-masing lembaga tersebut. Fungsi dan
Tugas BP4 tetap konsisten melaksanakan Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Perundang lainnya tentang
Perkawinan, oleh karenanya fungsi dan peranan BP4 sangat diperlukan
masyarakat dalam mewujudkan kualitas perkawinan. Dijelaskan pula
bahwa tugas BP4(Badan Pembantu Penasehat Perkawinan Perceraian)
berdasarkan hasil Musyawarah Nasional yang ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 16 Agustus 2004 yang dipimpin oleh ketua sidang H. Imam
Masykoer Alie dan sekretaris sidang Drs. H. Zamhari Hasan, MM adalah
Menyelenggarakan kursus calon pengantin, penataran/pelatihan ,diskusi,
dan keluarga Dari penjelasan diatas dijelaskan bahwa salah satu tugas BP4
ialah menyelenggarakan kursus calon pengantin atau yang biasa kita kenal
sekarang dengan istilah Kursus Pra Nikah. Kursus tersebut bukan hanya
untuk calon pengantin saja melainkan untuk orang yang sudah masuk usia
nikah seperti anak sekolah SMA, Mahasiswa, mereka-mereka ini sudah
perlu untuk diberikan pemahaman tentang keluarga atau rumah tangga,
bagaimana dalam menjalani biduk rumah tangga yang baik sehingga dapat
tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah dikemudian hari.
Pengertian Kursus Pra Nikah tercantum dalam Peraturan Direktur
Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Kursus Pra Nikah pada Bab I Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: “Kursus Pra Nikah adalah Pemberian bekal pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan penumbuhan kesadaran kepada remaja usia nikah tentang kehidupan rumah tangga dan keluarga”.22Jadi Kursus pra nikah ialah bimbingan kepada calon pengantin (calon suami istri) sebagai bekal pengetahuan
untuk mengarungi bahtera rumah tangga yang diberikan oleh petugas BP4
dalam hal pemberian materi sekitar pernikahan, kesehatan keluarga serta
munakahat. Dan diharapkan dengan pemberian materi tersebut dapat
meningkatkan kualitas keluarga atau rumah tangga yang diidam-idamkan
oleh para pasangan calon pengantin, yaitu mencapai keluarga yang
22
sakinah, mawaddah, warrahmah. Pada Bab II Pasal 2 Peraturan Direktur
Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nomor
DJ.II/372 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra
Nikah menjelaskan bahwa tujuan Kursus Pra Nikah adalah untuk
meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang kehidupan rumah
tangga/keluarga dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah,
warrahmah serta mengurangi angka perselisihan, perceraian, dan
kekerasan dalam rumah tangga.2
Berdasarkan apa yang telah di paparkan diatas, dapat dilihat bahwa
tujuan dari Kursus Pra Nikah adalah memberikan pengetahuan,
pemahaman, keterampilan, dan penumbuhan kesadaran tentang kehidupan
rumah tangga dan keluarga bagi para calon pengantin guna meminimalisir
terjadinya perceraian.
Berdasarkan MUNAS BP4(Badan Pembantu Penasehat
Perkawinan Perceraian) ke XIV/2009 di Jakarta pada 1-3 Juni 2009 yang
dipimpin oleh ketua sidang Bapak H. Moh. Muchtar Ilyas dan sekretaris
sidang Bapak H. Najib Anwar, seperti yang dijelaskan pada pasal 1 bahwa
BP4 adalah(Badan Pembantu Penasehat Perkawinan Perceraian)dan pada
pasal 6 salah satu upaya dan usaha BP4 adalah memberikan bimbingan,
penasehatan dan penerangan mengenai nikah, talak, cerai, rujuk kepada
penasehatan atau bimbingan yang diberikan oleh para penasehat kepada
yang dinasehati.23
Setelah mencapai usia puber, manusia digerakan oleh keinginan
seksualnya untuk mencari pasangan hidup, sebagai tumpuan harapannya.
Itu adalah tanggung jawab pertama yang dihadapi manusia, karena
sebelum puber seseorang tidak harus mempertanggungjawabkan perbuatan
yang dilakukannya walaupun harus diarahkan agar tumbuh dewasa secara
terhormat.24 Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa bimbingan itu merupakan bantuan yang diberikan kepada individu, untuk
mengembangkan kemampuan-kemampuannya dengan baik agar individu
itu dapat memecahkan masalahnya sendiri dan dapat mengadakan
penyesuaian diri dengan baik.25.
Dijelaskan dalam kitab Riyadhu Solikhin dalam bab nasehat yang
artinya: Allah berfirman: sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, dan
Allah berfirman yang dikabarkan dari Nabi Nuh AS: dan saya bernasehat
kepada beliau Nabi Hud AS, dan saya bagi kalian adalah penasehat
terpercaya dan adapun beberapa hadist, maka yang pertama: dari Abi
Ruqoyah Tamim bin Ausindori RA bahwasannya Allah bersabda agama
itu adalah nasehat, kami berkata untuk siapa?, dijawab untuk Allah,
kitabnya, Rosulnya, umat muslim dan paman mereka. Diriwayatkan oleh
23
Departemen Agama R.I, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Proyek Peningkatan Keluarga Sakinah Tahun 2001 Tentang Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, h.72
24
Mahmud Ash-Shabbagh, Keluarga bahagia Dalam islam “Edisi Indonesia”, (Yogyakarta: CV. Pustaka Mantiq, 1993), cet.5, h. 56
25
Muslim, yang kedua dari Jarir ibn Abdillah RA berkata: Rosulullah SAW
menjelaskan kepadaku tentang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
bernasehat bagi setiap muslim. Diriwayatkan Muttafaqun Alaih.26Dari
penjelasan dapat disimpulkan bahwa penasehatan ialah hal yang paling
penting untuk menciptakan kemandirian seseorang, dengan adanya
penasehatan diharapkan orang yang dinasehati atau dibimbing dapat
mengetahui hal yang baik dan buruk serta dapat mengatasi sendiri hal
yang buruk tersebut.
b) Perkawinan dalam Islam
Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah yang bermakna alwathi‟ dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut denganal-dammu wa al-jam‟u, atau„ibarat „an al-wath‟ wa al
-„aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. Beranjak dari
makna etimologis inilihah para ulama fikih mendefinisikan perkawinan
dalam konteks hubungan biologis.27
Menurut Yahya Zakariya Al-Anshary mendefinisikan nikah
menurut istilah syara ialah akad yang mengandung ketentuan hukum
kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata
yang semakna dengannya. Definisi yang dikutip Zakiah Daradjat ialah
26
Syehk Al-Islam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya ibn Sarf Nawawiyah,Riyadhu Sholihin Min Kalami Sayyidi Al-Mursalin, (Syria-Indonesia: Maktaba Salim ibn Sa‟ad ibn
Sya‟ban Wa‟khihi Ahmad). h. 107 27
akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual
dengan lafaz nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya.28
Pengertian-pengertian diatas tampaknya dibuat hanya melihat dari
satu segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang
laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan.
Padahal setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan akibat ataupun
pengaruhnya. 29kaitan ini, Muhammad Abu Zahrah memberikan definisi yang lebih luas, yang juga dikutip oleh Zakian Daradjat ialah akad yang
memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga
(suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan
member batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi
masing-masing.30
Akad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status
kepemilikan bagi kedua belah pihak (suami istri), dimana status
kepemilikan akibat aqad tersebut bagi si lelaki (suami) berhak
memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkait dengan itu secara
sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh lainnya yang dalam term fikih
disebut“Milku al-Intifa”, yaitu hak memiliki penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda (istri) yang digunakan untuk dirinya sendiri.
Bagi perempuan (istri) sebagaimana si suami ia pun berhak
memperoleh kenikmatan biologis yang sama, akan tetapi tidak bersifat
28
Abd. Rahman Ghazaly,Fiqh Munakahat,(Bogor: Kencana, 2003), cet 1, h.8
29Ibid,
h. 8
30Ibid,
khusus untuk dirinya sendiri, dalam hal ini si istri boleh menikmati secara
biologis atas diri sang suami bersama perempuan lainnya (istri suami yang
lain). Sehingga kepemilikan disini merupakan hak berserikat antara para
istri. Jelasnya, poliandri haram hukumnya dan sebaliknya poligami
dibolehkan secara syari‟. 31Selayaknya seorang mukmin mencari calon istri yang ditentukan dengan Islam, sehingga akan mendapatkan rumah
tangga yang damai, sakinah, penuh ridha Allah.32Didalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan
didefinisikan sebagai:
“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pencantuman Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila
pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai disini tegas
dinyatakan bahwa perkawinan mempunyaihubungan yang erat sekali
dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai
unsur lahir/jasmani tetapi juga unsur batin/rohani.33Seperti dinyatakan Abdur-Rahman Al-Juzairi, kata nikah (kawin) dapat didekati dari tiga
aspek pengertian (makna), yakni makna lughawi (etimologis), makna
31
Ahmad Sudirman Abbas,Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Madzhab,
(Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 1
32
Syeikh Muhammad Shalih Al-Munajjid,40 Kiat Islami Membina Rumah Tangga
Ideal “Edisi Indonesia”,(Yogyakarta: Pustaka Mantiq, 1994), cet.1, h. 22
33
ushuli (syari) dan makna fiqhi (hukum). Terutama dari sudut pandang maknalughawidan maknafiqhi(hukum).34Islam menghendaki dicapainya suatu makna yang mulia dari suatu perkawinan atau kehidupan rumah
tangga. Disini lembaga perkawinan harus dipandang sebagai sesuatu yang
bernilai luhur dan harus dicari makna dan esensinya, seperti halnya
ketenangan dan ketentraman hidup. Kecuali itu, harus pula diingat
kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan, seperti kesetiaan dan kasih
sayang.35
Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang bersifat umum
dan berlaku bagi semua makhluk termasuk didalamnya hewan dan
tumbuh-tumbuhan serta keberadaan malam berganti siang. Allah
berfirman:
49. dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S: Adz-Dzariyaat: 49).
Terhadap persoalan seputar hukum nikah, ulama fiqih (fuqaha) berbeda
pendapat dalam menentukan kedudukan hukumnya. Secara umum ada pendapat
tentang hukum nikah seperti sunnah menurut kelompok Jumhur dan wajib
menurut kelompok Zahiriyah. Kelompok pengikut madzhab Malik yang
belakangan merinci kedudukan hukum nikah berdasarkan kondisi, yaitu: hukum
34
Muhammad Amin Suma,Hukum keluarga Islam di Dunia Islam,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 41
35
wajib untuk sebagian orang dan sunnah untuk sebagian lainnya dan dapat juga
berhukum mubah bahkan haram, tergantung pada keadaan masing-masing sesuai
kemampuan menghindarkan diri dari perbuatan tercela. 36Dalam kehidupan berumah tangga, setiap suami isti mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut:
1) Pengertian Hak
Yang dimaksud dengan hak adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu atau
untuk menuntut sesuatu. Misalnya ia hendak mempertahankan haknya. Maka
berdasarkan ini dapat juga dikatakan hak itu adalah sesuatu yang harus
diterima. Jadi yang dimaksud hak disini adalah sesuatu yang merupakan
milik atau dapat dimiliki oleh suani atau istri yang diperolehnya dari hasil
perkawinan. Hak ini hanya dapat dipenuhi dengan menunaikan atau
membayarkannya atau dapat juga lepas seandainya yang berhak rela apabila
haknya tidak dipenuhi oleh pihak lain.
2) Pengertian Kewajiban
Kewajiban berasal dari kata wajib ditambah awalan ke dan akhiran an
yang berarti sesuatu yang wajib diamalkan atau dilakukan. Misalnya jangan
melalaikan kewajibanmu. Bicara tentang kewajiban, semua manusia yang
hidup didunia ini tidak terlepas dari padanya, dan setiap kewajiban itu
menimbulkan tanggung jawab. Yang dimaksud disini adalah hal-hal yang
wajib dilaksanakan dan yang merupakan tanggung jawab suami dan
istri.37Perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang
36
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Madzhab,(Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 7
37
pria dengan seorang wanita (suami dan istri) yang mengandung nilai ibadah
kepada Allah SWT di satu pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek
keperdataan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan istri.
Oleh karena itu, antara hak dan kewajiban merupakan hubungan timbal balik
antara suami dengan istrinya. Hal itu diatur oleh Pasal 30 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) dan
Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya
disebut KHI). Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan menyatakan:Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Selain itu , Pasal 77 ayat (1) KHI berbunyi: “Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.
1. Kewajiban Suami
Kewajiban suami yang mempunyai seorang istri diatur oleh Pasal 80 dan
81 KHI yang diungkapkan sebagai berikut. Pasal 80 KHI
a. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan
tetapi hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan
oleh suami istri bersama.
b. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
c. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan
memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.
d. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
1. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri.
2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan
bagi istri dan anak.
3. Biaya pendidikan bagi anak.
e. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4)
huruf a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari
istrinya.
f. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
g. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri
nusyuz.
Pasal 81 KHI
1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya
atau bekas istri yang masih dalam iddah.
2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama
dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya
4) Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta
kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
5) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuan
serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik
berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang
lainnya.
2. Kewajiban Istri
Selain kewajiban suami yang merupakan hak istri, maka hak suami pun
ada yang merupakan kewajiban istri. Hal itu diatur dalam Pasal 34
UndangUndangPerkawinan secara umum dan secara rinci (khusus) diatur
dalam Pasal 83 dan 84 Kompilas Hukum Islam.
Pasal 83 Kompilas Hukum Islam mengenai kewajiban utama bagi istri;
1) Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir batin kepada
suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga
sehari-hari dengan baiknnya.38 Pasal 83 Kompilas Hukum Islam.
1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajibankewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1)
kecuali dengan alasan yang sah.
38
2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk
kepentingan anaknya.
3) Kewajiban suami tersebut pada ayat 2 diatas berlaku kembali sesudah
istri tidaknusyuz.
4) Ketentuan tentang ada atau tidaknya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.39
Kalau kita kembali kepada pokok syari‟at untuk menafsirkan makna
kewajiban didalam kehidupan suami-istri, yang terlihat oleh kita adalah
kewajiban seorang suami memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya,
yang tidak mampu mencari rizki. Jadi, talak itu ialah menghilangkan ikatan
perkawinan sehingga setelah hilangnnya ikatan perkawinan itu istri tidak
halal lagi bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba‟in, sedangkan arti
mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi
suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak
suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi
hilang hak talak itu, yang terjadi dalam talak raj‟i. 40Mengikuti ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 maka penggunaan hak
talaq oleh suami hanya diperkenankan apabila mempunyai alasan sebagai berikut. Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan;
39
1) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2) salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain diluar kemampuannya;
3) salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
5) salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
6) antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan
persengketaan dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga;41
41