BAB II
LANDASAN TEORI
A. Partisipasi
1. Pengertian Partisipasi
Menurut John F. Echolas (Suryosubroto, 2009: 293) partisipasi
berasal dari bahasa inggris yaitu “ partisipation“ yang berarti pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Pendapat lain tentang partisipasi juga
diungkapkan oleh The Liang Gie (Suryosubroto, 2009: 294), yaitu
partisipasi meliputi satu aktivitas untuk membangkitkan perasaan
diikutsertakan dalam organisasi dan ikut sertanya bawahan dalam suatu
kegiatan organisasi.
Moelyato Tjokroaminoto (Suryosubroto, 2009: 293)
mendefinisikan partisipasi sebagai penyetaraan mental dan emosi
seseorang didalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk
mengembangkan daya pikir dan perasaan mereka bagi tercapainya
tujuan-tujuan, bersama, bertanggung jawab terhadap tujuan tersebut.
Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosi serta fisik anggota
dalam memberikan inisiatif terhadap kegiatan-kegiatan yang dilancarkan
oleh organisasi serta mendukung pencapaian tujuan dan bertanggung
jawab atas keterlibatannya. Partisipasi adalah keterlibatan seseorang baik
Unsur-unsur yang terdapat dalam partisipasi (Suryosubroto, 2009 :
295) adalah :
a. Keterlibatan anggota dalam segala kegiatan yang dilaksanakan oleh
organisasi;
b. Kemauan anggota untuk berinisiatif dan berkreasi dalam
kegiatan-kegiatan yang dilancarkan oleh organisasi.
Sedangkan sifat-sifat partisipasi adalah sebagai berikut :
a. Adanya kesadaran dari para anggota kelompok;
b. Tidak adanya unsur paksaan;
c. Anggota merasa ikut memiliki.
Menurut Soli Abimanyu (Sukidin, 2010: 153) setidaknya ada tiga
faktor penyebab rendahnya partisipasi siswa dalam PMB, yakni : (1) siswa
kurang memiliki kemampuan untuk merumuskan gagasan sendiri, (2)
siswa kurang memiliki keberanian untuk menyampaikan pendapat kepada
orang lain, dan (3) siswa belum terbiasa bersaing menyampaikan pendapat
dengan teman yang lain.
Partisipasi siswa dalam pembelajaran bisa berbentuk partisipasi
kontributif maupun partisipasi inisiatif. Partisipasi kontributif meliputi
keberanian menyampaikan refleksi kepada guru, baik dalam bentuk
menyampaikan pertanyaan, pendapat, usul, sanggahan, atau jawaban,
termasuk partisipasi mengikuti pelajaran dengan baik, mengerjakan tugas
terstruktur di kelas dan dirumah dengan baik, sedangkan partisipasi
mandiri tanpa terstruktur, inisiatif untuk minta ulangan formatif dan sub
sumatif secara lisan, inisiatif mempelajari dan mengerjakan materi
pelajaran yang belum dan akan diajarkan serta inisiatif membuat catatan
ringkas. Jadi, apabila partisipasi kontributif dan partisipasi inisiatif
ditabulasikan maka akan nampak sebagai berikut.
2. Manfaat Partisipasi
Keith Davis (Suryosubroto, 2009: 296) mengemukakan manfaat
prinsipiil dari partisipasi sebagai berikut.
a. Lebih memungkinkan diperolehnya keputusan yang benar.
b. Dapat digunakan kemampuan berpikir kreatif dari para anggotanya.
c. Dapat mengendalikan nilai-nilai martabat manusia, motivasi serta
membangun kepentingan bersama.
d. Lebih mendorong orang untuk bertanggung jawab.
e. Lebih memungkinkan untuk mengikuti perubahan-perubahan.
Dari beberapa manfaat diatas, menunjukkan bahwa partisipasi
merupakan salah satu unsur yang membantu tercapainya suatu tujuan
pembelajaran. Dengan partisipasi akan menjadikan suasana belajar
menjadi lebih hidup dan terjadi timbal balik antara guru dengan siswa dan
juga dapat melatih siswa menjadi bertanggung jawab dan menerima
pendapat orang lain atau saling bertukar ide dan pikiran.
3. Tingkatan Partisipasi
Menurut Pariata Westra (Suryosubroto, 2009: 297) tingkatan
a. Tingkatan pengertian timbale balik artinya mengarahkan anggota agar
mengerti akan fungsinya masing-masing dan sikap yang seharusnya
satu sama lain.
b. Tingkatan pemberian nasihat artinya individu-individu disini saling
membantu untuk pembuatan keputusan terhadap persoalan-persoalan
yang sedang dihadapi sehingga saling tukar-menukar ide-ide mereka
satu per satu.
c. Tingkatan kewenangan artinya menempatkan posisi anggotanya pada
keadaan mereka, sehingga dapat mengambil keputusan pada persoalan
yang mereka hadapi.
Berdasarkan penjelasan mengenai partisipasi belajar di atas maka
dapat dirumuskan indikator partisipasi belajar siswa adalah sebagai
berikut.
a. Memperhatikan penjelasan guru
b. Menyampaikan pertanyaan
c. Menyampaikan pendapat atau sanggahan
d. Menyampaikan jawaban
e. Membuat catatan ringkas
f. Mengerjakan tugas dengan baik
B. Belajar
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu
dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perubahan-perubahan akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Pengertian
belajar dapat didefinisikan sebagai berikut, “Belajar ialah proses usaha
yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah
laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2010:2).”
Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang banyak sekali baik
sifat maupun jenisnya karena semua itu sudah tentu tidak semua
perubahan dalam diri seseorang merupakan perubahan dalam arti belajar.
Jika demikian, ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar
adalah sebagai berikut :
1. Perubahan terjadi secara sadar
Ini berarti bahwa seseorang yang belajar akan menyadari
terjadinya perubahan itu atau sekurang-kurangnya ia merasakan
telah mengalami adanya suatu perubahan dalam dirinya.
2. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional
Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri
seseorang berlangsung secara berkesinmbungan, tidak stasis.
Suatu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan
berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses
3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan itu
senantiasa bertambah dan tertuju untuk memperoleh suatu yang
lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian makin banyak
usaha belajar itu dilakukan, makin banyak dan makin baik
perubahan yang diperoleh. Perubahan yang bersifat aktif artinya
bahwa perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan
karena usaha individu itu sendiri.
4. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara
Perubahan yang bersifat sementara atau temporer terjadi
hanya untuk beberapa saat saja, sepertinya bersin, menangis dan
sebagainya itu tidak dapat digolongkan sebagai perubahan dalam
belajar. Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat
menetap atau permanen. Ini berarti bahwa tingkah laku yang
terjadi setelah belajar akan bersifat menetap.
5. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah
Ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena
ada tujuan yang akan dicapai. Perbuatan belajar terarah kepada
perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari.
6. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
Perubahan yang diperoleh seseorang setelah melalui suatu
proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika
perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap,
ketrampilan, pengetahuan dan sebagainya (Slameto, 2010:3).
Dengan mempelajari uraian-uraian diatas, maka calon
guru/pembimbing seharusnya sudah dapat menyusun sendiri
prinsip-prinsip belajar, yaitu prinsip-prinsip belajar yang dapat dilaksanakan dalam situasi
dan kondisi yang berbeda, dan oleh setiap siswa secara individual. Namun
demikian prinsip-prinsip belajar tersebut diantaranya adalah
a. Berdasarkan prasyarat yang diperlukan untuk belajar
1) Dalam belajar setiap siswa harus diusahakan partisipasi aktif,
meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan
instruksional.
2) Belajar harus menimbulkan motivasi yang kuat pada siswa untuk
mencapai tujuan instruksional.
3) Belajar perlu lingkungan yang menantang dimana anak dapat
mengembangkan kemampuannya bereksplorasi dan belajar dengan
efektif.
4) Belajar perlu ada interaksi siswa dengan lingkungannya.
b. Sesuai hakikat belajar
1) Belajar itu proses kontinyu, maka harus tahap demi tahap menurut
perkembangannya.
2) Belajar adalah proses organisasi, adaptasi, eksplorasi, dan
3) Belajar adalah proses kontinguitas (hubungan antara pengertian
yang satu dengan pengertian yang lain) sehingga mendapatkan
pengertian yang diharapkan. Stimulus yang diberikan menimbulkan
respon yang diharapkan.
c. Sesuai materi/bahan yang harus dipelajari
1) Belajar bersifat keseluruhan dan materi itu harus memiliki struktur,
penyajian yang sederhana, sehingga siswa mudah menangkap
pengertiannya.
2) Belajar harus dapat mengembangkan kemampuan tertentu sesuai
dengan tujuan instruksional yang harus dicapainya.
d. Syarat keberhasilan belajar
1) Belajar memerlukan sarana yang cukup, sehingga siswa dapat
belajar dengan tenang.
2) Repetisi, dalam proses belajar perlu ulangan berkali-kali agar
pengertian/ketrampilan/sikap itu mendalam pada siswa (Slameto,
2010:27).
Menurut Willim Burton (Hamalik, 2011:31) menyimpulkan uraian
yang cukup panjang tentang ciri-ciri belajar sebagai berikut :
a. Proses belajar ialah pengalaman, berbuat, mereaksi, dan melampaui
(under going)
b. Proses itu melalui bermacam-macam ragam pengalaman dan mata
pelajaran-mata pelajaran yang terpusat pada suatu tujuan tertentu.
d. Pengalaman belajar bersumber dari kebutuhan dan tujuan murid sendiri
yang mendorong motivasi yang kontinu.
e. Proses belajar dan hasil belajar disyarati oleh hereditas (penurunan sifat
biologis) dan lingkungan.
f. Proses belajar dan hasil usaha belajar secara materiil dipengaruhi oleh
perbedaan-perbedaan individual dikalangan murid-murid.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan
suatu tindakan dari banyaknya pengalaman yang telah dialami oleh
seorang murid yang akan menghasilkan suatu pelajaran dan akan
memotivasi murid tersebut. Dan lingkungan dimana murid itu berada
akan sangat mempengaruhi hasil yang akan diperoleh oleh murid itu
sendiri.
Faktor-faktor belajar, adalah sebagai berikut:
a. Faktor kegiatan, penggunaan dan ulangan; siswa yang belajar
melakukan banyak kegiatan baik kegiatan neural system, seperti
melihat, mendengar, merasakan, berfikir, kegiatan motoris, dan
sebagainya maupun kegiatan-kegiatan lainnya yang diperlukan untuk
memperoleh pengetahuan, sikap, kebiasaan, dan minat. Apa yang
telah dipelajari perlu digunakan secara praktis dan diadakan ulangan
secara kontinu dibawah kondisi yang serasi, sehingga penguasaan
b. Belajar memerlukan latihan, dengan jalan; relearing, recalling dan
reviewing agar pelajaran yang terlupakan dapat dikuasai kembali dan
pelajaran yang belum dikuasai akan dapat lebih mudah dipahami.
c. Belajar siswa lebih berhasil, belajar akan lebih berhasil jika siswa
merasa berhasil dan mendapatkan kepuasaannya. Belajar hendaknya
dilakukan dalam suasana yang menyenangkan.
d. Siswa yang belajar perlu mengetahui ia berhasil atau gagal dalam
belajarnya. Keberhasilan akan menimbulkan kepuasaan dan
mendorong belajar lebih baik, sedangkan kegagalan akan
menimbulkan frustasi.
e. Faktor asosiasi besar manfaatnya dalam belajar, karena semua
pengalaman belajar antara yang lama dengan yang baru, secara
berurutan diasosiasikan, sehingga menjadi satu kesatuan pengalaman
(Hamalik, 2011:32).
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa faktor
yang mempengaruhi belajar adalah kesiapan dari seorang siswa, dimana
seorang siswa yang telah siap belajar akan lebih mudah dan berhasil. Dan
juga didorong dengan minat dan usaha, karena belajar dengan minat akan
mendorong siswa belajar lebih baik. Belajar dengan baik akan lebih
mendorong siswa untuk mencapai suatu keberhasilan yang akan membuat
siswa tersebut merasakan suatu kepuasan tersendiri. Dimana suasana
belajar yang menyenangkan akan mendorong tercapainya keberhasilan
C. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
Mata pelajaran IPS merupakan salah satu rumpun pelajaran yang
wajib diberikan kepada siswa mulai dari tingkat SD sampai perguruan
tinggi. IPS merupakan mata pelajaran yang mempelajari kehidupan social
didasarkan pada bahan kajian geografi, sejarah, ekonomi, sosiologi
antropologi dan tata negara (Depdikbud, 1993: 1). Menurut S. Nasution
(Daljoeni: 9) menyatakan bahwa IPS merupakan suatu fusi atau paduan
darii sejumlah mata pelajaran sosial. IPS merupakan bagaian kurikulum
sejarah yang berhubungan dengan peranan manusia didalam masyarakat
yang terdiri dari berbagai subyek yaitu ekonomi, sejarah, geografi,
sosiologi, antropologi, pemerintahan dan psikologi sosial (Daljoeni 1997:
9).
Ilmu pengetahuan sosial membahas tentang hubungan antara
manusia dengan lingkungannya. Lingkungan masyarakat di mana anak
didik tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari masyarakat,
dihadapkan pada berbagai permasalahan yang ada da terjadi di lingkungan
sekitarnya. Pendidikan IPS berusaha membantu mahasiswa dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi sehingga akan menjadikannya
semakin mengerti dan memahami lingkungan sosial masyarakat (Kosasih,
1994 dalam Solihatin, E dan Raharjo, 2009: 14).
Adapun menurut Daljoeni (1997: 7) sendiri IPS di definisikan
disebut masyarakat, dengan menggunakan ilmu politik, ekonomi, sejarah,
geografi, sosiologi, antropologi dan sebagainya.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut diatas dapat di
simpulkan, bahwa IPS merupakan perwujudan dari pendekatan
interdisipliner dari ilmu-ilmu sosial dengan mengintregasikan bahan
materi dan konsep-konsep, prinsip-prinsip yang berkenann dengan gejala
sosial.
Menurut peneliti, IPS merupakan paduan dari sejumlah mata
pelajaran IPS yaitu ekonomi, sejarah, geografi, sosiologi dan antropologi.
IPS membahas tentang hubungan antara manusia dengan lingkungan
masyarakat dimana seseorang itu berada. Sehingga akan lebih mengerti
lingkungan sosial masyarakatnya. Dimana mempelajari IPS bukan sekedar
menghafal tetapi juga suatu pelajaran yang memberikan suatu pemahaman
tentang suatu kehidupan sehingga akan lebih memahami kehidupan
lingkungan masyarakatnya.
Bidang studi IPS merupakan ilmu pengetahuan yang memadukan
sejumlah konsep pilihan dari cabang-cabang ilmu sosial dan ilmu lainnya,
kemudian di olah berdasarkan prinsip pendidikan dengan tingkat
persekolahan. Pelajaran IPS bersumber pada pusat kegiatan hidup manusia
seperti halnya, manusian dengan lingkungannya, manusia dengan
Di sepanjang sejarahnya IPS selama ini memiliki lima tujuan yang
penjelasannya seperti berikut :
1. IPS mempersiapkan siswa untuk studi lanjut dibidang sosial
sciences jika ia nantinya masuk ke perguruan tinggi. Untuk ini
mata pelajaran seperti : sejarah, geografi, ekonomi dan antropologi
haruslah diberikan lepas-lepas, sosiologi sebagai vak tersendiri.
2. IPS yang bertujuan mendidik kewargaan negara yang baik.
Mata-pelajaran yang disajikan oleh guru sekaligus harus ditempatkan
dalam konteks budaya melaui pengolahan secara ilmiah dan
psikologis yang tepat. IPS yang diramukan berupa civics dimasa
lampau, merupakan contohnya.
3. IPS yang hakekatnya adalah salah suatu kompromi antara 1 dan 2
tersebut diatas. Inilah yang kita temukan di dalam definisi IPS
sebagai : suatu penyederhanaan dan penyaringan terhadap
ilmu-ilmu sosial, yang penyajiannya disekolah disesuaikan dengan
kemampuan guru dan daya tangkap siswa.
4. IPS yang mempelajari “closed areas” yaitu masalah-masalah sosial yang pantang untuk dibicarakan di muka umum. Bahannya
menyangkut bermacam-macam pengetahuan dari ekonomi sampai
politik dari yang sosial sampai kultural. Dengan cara ini para siswa
dilatih berfikir demokratis.
5. Menurut pedoman khusus Bidang Studi IPS (Kurikulum SMP
dipilih, disaring dan disinkronkan kembali, maka sasaran seluruh
kegiatan belajar-mengajar IPS mengarahkan kepada dua hal :
a. Pembinaan warga negara Indonesia atas dasar moral
Pancasila/UUD 1945. Nilai-nilai dan sikap hidup yang
dikandung oleh Pancasila/UUD 1945 secara sadar dan intensif
ditanamkan kepada siswa, sehingga terpupuk kemauan dan
tekad untuk hidup secara bertanggung jawab demi keselamatan
diri, bangsa, negara, dan tanah air.
b. Sikap sosial yang rasional dalam kehidupan. Untuk dapat
memahami dan selanjutnya mampu memecahkan masalah
-masalah sosial perlu ada pandangan terbuka dan rasional.
Dengan berani dan sanggup melihat kenyataan yang ada, akan
terlihat segala persoalan dan akan dapat ditemukan jalan
memecahkannya. Termasuk pula kenyataan menurut sejarah
perjuangan bangsa bahwa pancasila adalah falsafah hidup yang
menyelamatkan bangsa dan menjamin kesejahteraan hidup kita
bersama.
Secara sederhana ini berarti mengajar siswa untuk memahami
bahwa masyarakat itu merupakan suatu kesatuan (sistem) yang
permasalahannya bersangkut paut dan pemecahannya memerlukan
pendekatan-pendekatan interdisipliner, yaitu pendekatan yang
komprehensif dari sudut ilmu hokum, ilmu politik, ekonomi, sosiologi,
Bentuknya berupa pengajaran tentang konsep-konsep dan
fakta-fakta menurut IPS yang penting untuk dapat memahami memecahkan
masalah-masalah sosial. Tujuannya sama sekali bukan menjadikan para
siswa ahli-ahli sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, politik,
hokum dan sebagainya melainkan pembentukan sikap hidup seperti yang
dituntut oleh pancasila.
Pola pembelajaran pendidikan IPS menekankan pada unsur
pendidikan dan pembekalan pada siswa. Penekanan pembelajarannya
bukan sebatas pada upaya mencekoki atau menjelajahi siswa dengan
sejumlah konsep yang bersifat hafalan belaka, melainkan terletak pada
upaya agar mereka mampu menjadikan apa yang telah dipelajarinya
sebagai bekal dalam memahami dan ikut serta dalam melakoni kehidupan
masyarakat lingkungannya, serta sebagai bekal bagi dirinya untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Di sinilah
sebenarnya penekanan misi dari pendidikan IPS. Oleh karena itu
rancangan pembelajaran guru hendaknya diarahkan dan difokuskan sesuai
dengan kondisi dan perkembangan potensi siswa agar pembelajaran yang
dilakukan benar-benar berguna dan bermanfaat bagi siswa (Kosasih, 1994;
Hanid Hasan, 1996 dalam Solihatin, E dan Raharjo, 2009: 14).
Pokok bahasan dalam penelitian ini adalah Perkembangan
Masyarakat Indonesia Pada Masa Kolonial Eropa dan Kegiatan Ekonomi
Mayarakat. Dengan indikator pencapaian kompetensi yang akan
a. Mengidentifikasi cara-cara yang digunakan bangsa Eropa untuk
mencapai tujuannya.
b. Mengidentifikasi reaksi bangsa Indonesia terhadap bangsa Eropa.
c. Mendiskripsikan perkembangan kehidupan masyarakat, kebudayaan,
dan pemerintahan pada masa kolonial Eropa.
d. Mendeskripsikan tentang pola kegiatan ekonomi penduduk.
D. Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Konsep pembelajaran kooperatif (cooperative learning) bukanlah
suatu konsep baru, melainkan telah dikenal sejak zaman Yunani kuno.
Pada awal abad pertama, seorang filosofi berpendapat bahwa agar seorang
belajar harus memiliki pasangan. Cooperative learning berasal dari kata
cooperative yang berarti mengerjakan sesuatu secara bersama-sama
dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau
satu tim.
Menurut Slavin (Isjoni, 2011: 15) mengemukakan, “ in cooperative learning methods, students work together in four member teams to master
material initially presented by the teacher.” Dari uraian tersebut dapat
dikemukakan bahwa cooperative learning adalah suatu model
pembelajaran dimana system belajar dan bekerja dalam
Slavin menyebutkan cooperative learning merupakan model
pembelajaran yang telah dikenal sejak lama, dimana pada saat itu guru
mendorong para siswa untuk melakukan kerja sama dalam
kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman sebaya(peer
teaching). Dalam melakukan proses belajar-mengajar guru tidak lagi
mendominasi seperti lazimnya pada saat ini, sehingga siswa dituntut untuk
berbagi informasi dengan siswa yang lainnya dan saling belajar mengajar
sesama mereka.
Roger, dkk (Huda, 2011: 11) menyatakan cooperative learning is
group learning activity organized is such a way that learning is based on
the socially structured change of information between leaners in group in
which each learner is held accountable for his or her own learning and
motivated to increase the learning of others (pembelajaran kooperatif
merupakan pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip
bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara
sosial diantara kelompok-kelompok pembelajar yang di dalamnya setiap
pembelajar bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong
untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota yang lain).
Model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar
dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang
membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan secara
asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model pembelajaran kooperatif dengan benar
Unsur-unsur dasar dalam cooperative learning menurut Lungdren
(Isjoni, 2011: 13) adalah sebagai berikut :
a. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau
berenang bersama.“
b. Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta
didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri
sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.
c. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan
yang sama.
d. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab diantara para
anggota kelompok.
e. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut
berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.
f. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh
ketrampilan bekerjasama selama belajar.
g. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual
materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Untuk memenuhi unsur-unsur tersebut harus dibutuhkan proses
yang melibatkan niat dan kiat para anggota kelompok, para peserta didik
harus mempunyai niat untuk bekerjasama dengan yang lainnya dalam
kegiatan belajar kelompok yang akan saling menguntungkan. Selain niat,
peserta didik juga harus menguasai kiat-kiat berinteraksi dan bekerja sama
kerjasama antara peserta didik dalam model pembelajaran kooperatif
adalah melaui pengelolaan kelas. Ada tiga hal penting yang perlu
diperhatikan dalam pengelolaan kelas model pembelajaran kooperatif,
yakni pengelompokan semangat kerjasama dan penataan ruang kelas.
Menurut Isjoni, (2011:20) bahwa ciri-ciri pembelajaran
kooperatif adalah :
1. Setiap anggota memiliki peran
2. Terjadi hubungan interaksi langsung diantara siswa
3. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan
juga teman-teman sekelompoknya.
4. Guru membantu mengembangkan ketrampilan-ketrampilan
interpersonal kelompok
5. Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
Pada dasarnya model pembelajaran cooperative learning
dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran
penting, sebagai berikut.
1. Hasil belajar akademik
Dalam cooperative learning meskipun mencakup beragam tujuan
sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting
lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam
membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model
ini telah menunjukkan, model struktur penghargaan kooperatif telah dapat
yang berhubungan dengan hasil belajar, cooperative learning dapat
member keuntungan, baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok
atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
2. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran cooperative learning adalah
penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras,
budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidak mampuannya. Pembelajaran
kooperatif member peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan
kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas
akademik dan melaui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling
menghargai satu sama lain.
3. Pengembangan katrampilan sosial
Tujuan penting ketiga cooperative learning adalah mengajarkan
kepada siswa ketrampilan bekerjasama dan kolaborasi. Ketrampilan-
ketrampilan sosial penting dimiliki siswa, sebab saat ini banyak anak muda
masih kurang dalam ketrampilan sosial.
Selanjutnya Jarolimek dan Parker (Isjoni, 2011: 24) mengatakan
keunggulan yang diperoleh dalam pembelajaran kooperatif adalah : 1)
saling ketergantungan yang positif, 2) adanya pengakuan dalam merespon
perbedaan individu, 3) siswa dilibatkan dalam perencanaan dan
pengelolaan kelas, 4) suasana kelas yang rileks dan menyenangkan, 5)
guru, dan 6) memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan
pengalaman emosi yang menyanangkan.
Kelemahan model pembelajaran cooperative learning bersumber
pada dua faktor, yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar
(ekstern). Faktor dari dalam, yaitu : 1) guru harus mempersiapkan
pembelajaran secara matang, disamping itu memerlukan lebih banyak
tenaga, pemikiran dan waktu, 2) agar proses pembelajaran berjalan dengan
lancer maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup
memadahi, 3) selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada
kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga
banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah dibutuhkan, dan 4) saat
diskusi kelas, terkadang didominasi seseorang, hal ini mangakibatkan
siswa yang lain menjadi pasif.
E. Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together(NHT)
Pada dasarnya, NHT merupakan varian dari diskusi kelompok.
Teknik pelaksanaannya hampir sama dengan diskusi kelompok. Pertama
-tama, guru meminta siswa untuk duduk berkelompok-kelompok.
Masing-masing anggota diberi nomor. Setelah selesai, guru memanggil nomor
untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Guru tidak memberitahukan
nomor berapa yang akan berpresentasi selanjutnya. Begitu seterusnya
memastikan semua siswa benar-benar terlibat dalam diskusi tersebut
(Huda, 2011: 130).
Numbered Heads Together (NHT) atau penomoran berpikir
bersama adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang
untuk memengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap
struktur kelas tradisional. Numbered Heads Together (NHT) pertama kali
dikembangkan oleh Spencer Kagen (1993) untuk melibatkan lebih banyak
siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dalam
mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. (diambil
dari http://yusiriza.wordpress.com/2011/07/20/model- pembelajaran -
kooperatif- tipe – numbered heads together – html/, tanggal 8 februari 2012 )
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together
Numbered Head Together (NHT) merupakan suatu pendekatan yang
dikembangkan oleh Kagen (1993) untuk melibatkan banyak siswa dalam
memperoleh materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek
pemahaman mereka terhadap isi pelajaran (Ibrahim, 2000). Numbered
Heads Together (NHT) adalah suatu model pembelajaran yang lebih
mengedepankan kepada aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan
melaporkan informasi dari berbagai sumber yang akhirnya dipresentasikan
di depan kelas. (diambil dari
Struktur yang dikembangkan oleh Kagen ini menghendaki siswa
belajar saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh
penghargaan kooperatif dari pada penghargaan individual. Ada struktur
yang memiliki tujuan umum untuk meningkatkan penguasaan isi akademik
dan ada pula struktur yang tujuannnya untuk mengajarkan keterampilan
sosial. Model NHT adalah bagian dari model pembelajaran kooperatif
struktural, yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang
untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur Kagan menghendaki
agar para siswa bekerja saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil
secara kooperatif.
Struktur tersebut dikembangkan sebagai bahan alternatif dari
sruktur kelas tradisional seperti mangacungkan tangan terlebih dahulu
untuk kemudian ditunjuk oleh guru untuk menjawab pertanyaan yang telah
dilontarkan. Suasana seperti ini menimbulkan kegaduhan dalam kelas,
karena para siswa saling berebut dalam mendapatkan kesempatan untuk
menjawab pertanyaan peneliti.
Dalam mengajukan pertanyaan kepada siswa di kelas VII.B, guru
menggunakan struktur empat tahap sebagai sintaks NHT :
1. Tahap 1 : Penomoran
Dalam fase ini guru membagi siswa kedalam kelompok 3-5
orang dan kepada setiapanggota kepada setiap kelompok diberi
memiliki nomor yang berbeda sesuai dengan jumlah kelompok dari
masing-masing kelompok.
2. Tahap 2 : Mengajukan pertanyaan
Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa.
Pertanyaan dapat bervariasi. Pertanyaan dapat amat spesifik dan
dalam bentuk kalimat Tanya.
3. Tahap 3 : Berfikir bersama
Siswa mengajukan pendapatnya terhadap jawaban
pertanyaan itu dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya
mengetahui jawaban tim.
4. Tahap 4 : Menjawab
Guru memanggil satu nomor tertentu, kemudian siswa yang
nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk
menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas. (diambil dari
http://www.tuanguru.net/2011/12/penerapan-model-pembelajaran-kooperatif.html, tanggal 12 februari 2012).
Dalam pelaksanaannya, langkah-langkah tersebut dapat
dikembangkan sebagai berikut:
a. Pendahuluan
Langkah ke-1 ; Penomoran
1) Kegiatan ini diawali dengan membagi siswa kedalam kelompok
yang beranggotakan 3 sampai 5 siswa, kemudian setiap siswa
2) Menginformasikan materi pelajaran yang akan dibahas serta
mengaitkan dengan materi pelajaran sebelumnya.
3) Mengkomunikasikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai
secara rinci dan menjelaskan model pembelajaran NHT yang akan
diterapkan.
4) Memotivasi siswa agar timbul rasa ingin tahu tentang
konsep-konsep materi pelajaran yang akan dibahas.
b. Kegiatan Inti
1) Langkah 2 : Mengajukan Pertanyaan
a) Menjelaskan materi pelajaran secara singkat
b) Mengajukan pertanyaan untuk seluruh kelompok.
2) Langkah 3 : Berfikir Bersama
a) Seluruh siswa didalam kelompoknya masing-masing
memikirkan jawaban pertanyaan yang diajukan guru.
b) Menyatukan pendapat jawaban (bisa dalam bentuk LKS)
dibawah bimbingan guru dan memastikan bahwa anggota
kelompoknya sudah mengetahui jawabannya.
3) Langkah 4 : Menjawab Pertanyaan
a) Guru memanggil salah satu nomor dari salah satu kelompok
secara acak.
b) Siswa yang dipanggil nomornya dalam kelompok yang
c) Siswa yang dipanggil nomornya mencoba menjawab
pertanyaan untuk seluruh kelas dan ditanggapi oleh kelompok
lain.
d) Jika jawaban dari hasil diskusi kelas sudah dianggap betul,
siswa diberi kesempatan untuk mencatat jawaban tersebut,
namun apabila jawaban masih salah maka guru memberikan
penjelasan tentang jawaban yang betul.
e) Guru memberikan pujian kepada siswa atau kelompok yang
menjawab betul.
c. Penutup
1) Guru memberikan umpan balik
2) Guru membimbing siswa menyimpulkan materi pelajaran
3) Siswa diberi tugas pekerjaan rumah atau mengerjakan kuis secara
individual (Taniredja, T dkk, 2008: 156 ).
Kelebihan Pembelajaran Numbered Head Together (NHT) di
antaranya.
1.Terjadi interaksi antar siswa melalui diskusi/siswa secara bersama dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
2. Siswa pandai maupun siswa lemah sama-sama memperoleh manfaat
melalui aktifitas belajar kooperatif.
3. Dengan bekerja secara kooperatif ini, kemungkinan konstruksi
pengetahuan akan menjadi lebih besar/kemungkinan untuk siswa dapat
4. Dapat member kesempatan kepada siswa untuk menggunakan
ketrampilan bertanya, berdiskusi dan mengembangkan bakat
kepemimpinan.
Kelemahan Pembelajaran Numbered Head Together (NHT)
diantaranya.
1. Siswa yang pandai akan cenderung mendominasi sehingga dapat
menimbulkan sikap minder dan pasif dari siswa yang lemah.
2. Proses diskusi dapat berjalan lancar jika ada siswa yang sekedar
menyalin pekerjaan siswa yang pandai tanpa memiliki pemahaman
yang memadahi.
3. Pengelompokan siswa memerlukan pengaturan tempat duduk yang
berbeda-beda serta membutuhkan waktu khusus. (diambil dari
http://blog.tp.ac.id/model-pembelajaran-kooperatif-tipe-numbered-heads-together-nht#ixzz1nC4B1Bw2, tanggal 22 Februari 2012)
F. Hasil Penelitian Yang Relevan
Sri Sugesty dalam dalam penelitiannya tentang “Upaya
meningkatkan pemahaman konsep dan partisipasi siswa kelas VII melalui
metode kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) di SMP N 2
MOGA “ menyimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran tipe
Numbered Head Together (NHT) dapat meningkatkan pemahaman konsep
dan partisipasi siswa. aktivitas siswa pada siklus 1 rata-rata partisipasi
40,39 termasuk kriteria baik dan pada siklus II rata-rata partisipasi siswa
2,62 termasuk kriteria baik dan dari angket partisipasi siswa 52,58
termasuk kriteria baik. Nilai rata-rata kempuan pemahaman konsep siswa
meningkat dari siklus I ke siklus II yaitu siklus I sebesar 59,25 termasuk
kriteria cukup dan dan pada siklus II naik menjadi 70,46 dengan kriteria
baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata kemampuan
pemahaman konsep siswa meningkat.
Penelitian yag dilakukan oleh Taufik Akbar “ Peningkatan Peran Aktif Siswa Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered
Head Together (NHT) Pada Siswa Kelas VI Di MI Muhammadiyah Pingit,
Banjarnegara Tahun Pelajaran 2007/2008 “ menyimpulkan bahwa
penggunaan model kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dapat
meningkatkan peran aktif siswa dan prestasi belajar siswa. Pada siklus I
skor rata-rata peran peran aktif siswa 2,94 dengan kriteria kurang baik
meningkat menajdi 4,59 dengan kriteria baik pada siklus II. Pada
pelaksanaan tes siklus I diperoleh rata-rata kelas 64,78 dengan criteria baik
dan dengan tingkat ketuntasan belajar 63,15 kemudian meningkat menjadi
rata-rata 70,78 dengan kriteria baik dan dengan timgkat ketuntasan belajar
sebesar 89,47 pada siklus II.
Hasil penelitian di atas dapat memberikan gambaran bahwa melalui
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT)
dapat membantu meningkatkan partisipasi belajar siswa pada mata
penggunaan model pembelajaran tipe NHT untuk meningkatkan
pemahaman materi dan partisipasi pada mata pelajaran IPS kelas VII di
SMP N 2 MOGA sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Taufik Akbar
menekankan pada penggunaan model pembelajaran tipe NHT untuk
meningkatkan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran IPS kelas VI di
MI Muhammadiyah Pingit. Berbeda dengan kedua penelitian tersebut,
penelitian ini menekankan pada penggunaan model pembelajaran tipe
NHT untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa pada mata pelajaran
IPS kelas VII B di SMP N I Kembaran.
G. Kerangka Pikir
Untuk meningkatkan partisipasi siwa terhadap pembelajaran IPS,
guru harus mampu menciptakan suasana belajar yang optimal dengan
menerapkan berbagai model pembelajaran.
Dalam pembelajaran IPS, salah satu hal yang harus diperhatikan
adalah pemilihan model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang
diajarkan, karena melihat kondisi siswa yang mempunyai karakteristik
yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya dalam menerima
materi pelajaran yang diajarkan oleh guru di kelas. Ada siswa yang
mempunyai daya tangkap yang cepat tetapi ada pula siswa yang
mempunyai daya tangkap yang sedang atau bahkan lama.
Salah satu indikasi proses pembelajaran berlangsung dengan efektif dan
tingkat keterlibatan siswa yang tinggi. Untuk membangkitkan partisipasi atau
keikutsertaan siswa dalam proses pembelajaran guru harus memilih dan
menerapkan strategi yang baik. Salah satu strategi yang dapat meningkatkan
partisipasi siswa yaitu strategi pembelajaran kooperatif tipe NHT, yaitu
membagi siswa dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 3-5 orang siswa
dan setiap kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang beragam, ada
yang pintar, ada yang sedang dan ada pula yang tingkat kemampuannya
kurang. Kemudian setiap anggota kelompok diberi tanggung jawab untuk
memecahkan masalah atau soal dalam kelompoknya dan diberikan kebebasan
untuk mengeluarkan pendapatnya tanpa ada rasa takut salah. Oleh karena itu,
tidak akan nampak lagi mana siswa yang unggul dan mana siswa yang kurang
karena semuanya berbaur dalam satu kelompok dan sama-sama bertanggung
jawab terhadap kelompok tersebut. Dengan demikian, untuk meningkatkan
partisipasi belajar siswa dalam proses pembelajaran IPS dapat meningkat.
Gambar 1. Skema kerangka berfikir penelitian
H. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka peneliti mengajukan
hipotesis sebagai berikut : Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe
Numbered Head Together (NHT) dapat Meningkatkan Partisipasi Belajar