BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia secara geografis terletak di daerah khatulistiwa dengan
morfologi yang beragam dari daratan sampai pegunungan tinggi. Keragaman
morfologi ini banyak dipengaruhi oleh faktor geologi. Peristiwa tanah
longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau
kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan, dan
sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari keseimbangan
baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan
menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan
geser tanah. Kontribusi pengurangan kuat geser tanah pada lereng alam yang
mengalami longsor disebabkan oleh faktor yang dapat berasal dari alam itu
sendiri, erat kaitannya dengan kondisi geologi antara lain jenis tanah, tekstur
(komposisi) dari pada tanah pembentuk lereng sangat berpengaruh
terjadinya longsoran, misalnya sensivitas sifat-sifat tanah lempung, adanya
lapisan tanah shale, loess, pasir lepas, dan bahan organik (AnsharRante,
2012).
terutama faktor kemiringan lereng, kondisi batuan ataupun tanah penyusun lereng, dan kondisi hidrologi atau tata air pada lereng. Meskipun longsor merupakan gejala fisik alami, namun beberapa hasil aktifitas manusia yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi alam juga dapat menjadi faktor penyebab ketidakstabilan lereng yang dapat mengakibatkan terjadinya longsor, yaitu ketika aktifitas manusia ini beresonansi dengan kerentanan dari kondisi alam yang telah disebutkan di atas. Faktor-faktor aktifitas manusia ini antara lain pola tanam, pemotongan lereng, pencetakan kolam, drainase, konstruksi bangunan, kepadatan penduduk dan usaha mitigasi (Anshar Rante, 2012).
Pemerintah Indonesia dalam rangka penanggulangan bencana baik karena
fenomena alam maupun hasil aktifitas masyarakat di Indonesia telah
menetapkan Undang-Undang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun
2007 yang memuat komponen sebagai berikut: Kegiatan pencegahan
bencana, Kesiapsiagaan, Peringatan dini, mitigasi, tanggap darurat bencana,
rehabilitasi, rekonstruksi. Untuk merealisasikan undang-undang tersebut,
maka diterbitkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman
Pengelolaan Data dan Informasi Bencana di Indonesia yang bertujuan
sebagai panduan dalam pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian,
diseminasi, pelaporan data dan informasi bencana di tingkat nasional,
provinsi dan kabupaten/kota. Penetapan Undang-Undang Penanggulangan
Bencana setidaknya dapat dijadikan acuan dalam penanggulangan bencana
realita bencana di Indonesia mengalami peningkatan per bulannya. Dapat
diihat di penghujung Tahun 2014 tercatat jumlah bencana alam yang terjadi
di Indonesia adalah 257 kejadian. Jumlah ini adalah yang terbanyak
dibandingkan bulan-bulan lainnya di Tahun 2014. Biasanya banjir
mendominasi pada akhir tahun, pada bulan Desember 2014 ini, justru
bencana tanah longsor adalah yang paling banyak terjadi. Tanah longsor
terjadi sebanyak 111 kali, jauh lebih banyak terjadi dibandingkan banjir 86
kejadian. Bencana tanah longsor tersebar di 12 provinsi, dengan frekuensi
berturut-turut terbanyak terjadi di Jawa Tengah, Jawa Barat, Dan Jawa
Timur (190 kejadian, sumber: www.dibi.bnpb.go.id).
Salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki daerah rawan longsor
adalah Kabupaten Banjarnegara, dimana merupakan kawasan pegunungan
mempunyai potensi longsor sangat besar. Menurut kajian Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) 2014, Kawasan pegunungan
daerah Kabupaten Banjarnegara terletak pada geologi yang unik, yang
merupakan bagian dari mandala Pegunungan Serayu Utara yang
topografinya relatif bergelombang yang lereng-lerengnya setengah terjal
hingga terjal, dimana gunung-gunungnya memiliki kemiringan lereng antara
15 hingga 40 % yang beresiko terjadi tanah longsor (Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi, 2014 ).
Kawasan di Kabupaten Banjarnegara yang akhir-akhir ini mendapat
sorotan adalah Kecamatan Karangkobar. Dilihat dari letaknya, Kecamatan
yang terletak di daerah pegunungan yang memiliki resiko rawan tanah
longsor dibandingkan dengan kecamatan lainnya yang terletak di area
pegunungan juga seperti, Kecamatan Batur, Kecamatan Wanayasa,
Kecamatan Kalibening dan Kecamatan Pandanarum yang secara geografis
di areal pegunungan memiliki daerah yang landai. Kecamatan karangkobar
secara pemerintahan terbagi menjadi 13 desa, dimana salah satu desa yang
memiliki hampir semua wilayahnya pegunungan dengan kemiringan lereng
terjal dan beresiko terjadi tanah longsor dibanding dengan desa lainnya
adalah Desa Sampang.
Desa sampang merupakan desa di kecamatan karang kobar dengan
wilayah yang hampir 80% merupakan wilayah pegunungan yang terjal,
dimana penduduknya mayoritas sebagai petani yang memanfaatkan lahan
pegunungan. Perumahan penduduk pun dapat dilihat secara jelas dari
kejauhan dari desa lainnya, dimana penduduk sebagian besar menempati
daerah-daerah pegunungan yang terbilang hampir memiliki kemiringan
diatas 60%, yang sangat beresiko terjadinya tanah longsor. Hal ini terbukti
dengan kejadian tanah longsor pada tanggal 12 Desember 2014 di Dusun
Jemblung yang merupakan dusun di Desa Sampang yang mengubur hampir
semua rumah penduduk beserta penduduknya. Adapun total jumlah korban
menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo
Nugroho adalah sebagai berikut: 95 tewas dan 13 orang dinyatakan hilang,
dari 35 KK, 32 KK tertimbun, 3 KK rumahnya rusak berat (Pusat Data
Kejadian tanah longsor di Dusun Jemblung tentunya dapat memberikan
suatu pengalaman yang berharga masyarakat dusun lainnya di Desa
Sampang. Namun ironisnya setelah kejadian tanah longsor tersebut, hasil
penemuan Peneliti di lapangan melihat langsung dari pola kehidupan
masyarakat di Desa Sampang terutama yang bermukim di daerah yang
memiliki daerah terjal masih belum berubah, seperti dalam bertani,
penebangan pohon, pembangunan rumah yang tidak memikirkan resiko
tanah longsor, bahkan di Dusun Jemblung pun sebagian besar
masyarakatnya yang masih hidup ingin kembali ke daerah tersebut meskipun
Pemerintah Kabupaten Banjarenegara menutup lokasi tersebut sebagai
kawasan perumahan.
Hal ini tentunya merupakan tantangan bagi Pemerintah Desa Sampang
sebagai perwakilan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara yang bekerja sama
dengan Badan Penanggulangan Bencana Pemerintah Banjarnegara dalam
upaya melakukan penanggulangan bencana (disaster management), yang
meliputi upaya terencana dan terorganisasi yang diwujudkan dalam
rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk meniadakan (meminimalisasikan)
sebagian atau seluruh bahaya atau kerugian dari akibat bencana, serta
menghindari resiko bencana yang mungkin akan terjadi, agar akibat yang
ditimbulkan dapat dikurangi, atau diperkecil, bahkan kalau mungkin
Secara realita memang tidak mudah dilakukan karena penanggulangan
bencana melibatkan semua pihak baik pemerintah setempat maupun warga
masyarakatnya. Hal ini sesuai pendapat Susanto (2006), yang menyatakan
bahwa tak gampang untuk menerapkan berbagai kebijakan dalam suasana
bencana. Karenanya dalam masa-masa normal perlu terus dilakukan
kesiapan yang meliputi pencegahan, mitigasi termasuk langkah-langkah
kesiapsiagaan. Juga harus terus dilakukan penyuluhan dan sosialisasi secara
luas agar masyarakat memiliki kemampuan dan mau berperan aktif
mencegah dan menyiapkan langkah-langkah antisipasi meskipun dengan
skala kecil.
Dalam penelitian ini, Peneliti mengambil lokasi Desa Sampang karena
berdasarkan hasil wawancara dengan warga masyarakat di Desa Sampang,
warga masyarakat belum mengetahui tentang pendidikan mitigasi bencana
tanah longsor. Selain itu, berdasarkan hasil temuan peneliti masih ditemukan
pola kehidupan masyarakat di Desa Sampang terutama yang bermukim di
daerah yang memiliki daerah terjal masih belum berubah, seperti dalam
bertani, penebangan pohon, pembangunan rumah yang tidak memikirkan
resiko tanah longsor, bahkan di Dusun Jemblung pun sebagian besar
masyarakatnya yang masih hidup ingin kembali ke daerah tersebut meskipun
Pemerintah Kabupaten Banjarenegara menutup lokasi tersebut sebagai
kawasan perumahan. Oleh karena itu, Peneliti mencoba bekerja sama
dengan pemerintah setempat dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
mistigasi bencana longsor diharapkan adanya pengaruh yang signifikan ke
arah yang positif dalam upaya penanggulangan bencana tanah longsor.
Dalam konteks ini yang dilakukan adalah edukasi tentang mitigasi
bencana, dimana merupakan salah satu kegiatan mengurangi resiko bencana
dengan memberdayakan masyarakat untuk mengenali tipologi lereng yang
rawan longsor tanah, gejala awal lereng akan bergerak, serta upaya
antisipasi dini yang harus dilakukan. Sistem peringatan dini yang efektif
sebaiknya dibuat berdasarkan prediksi, bilamana dan dimana longsor akan
terjadi juga tindakan-tindakan yang harus dilakukan pada saat bencana
datang (Sutikno, dkk., 2003).
B. Perumusan Masalah
Bencana tanah longsor merupakan bencana yang kadang tak dapat
diprediksi seperti yang terjadi di Dusun Jemblung, Desa Sampang,
Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara tentunya memberikan suatu
pelajaran yang berharga bagi masyarakat dusun lainnya di Desa Sampang
yang memiliki area yang lebih terjal dalam mencegah atau bahkan
menghilangkan terjadi bencana tanah longsor melalui mitigasi bencana
tanah longsor. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “ Adakah pengaruh pendidikan
mitigasi bencana tanah longsor dengan pengetahuan masyarakat di desa
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Mengetahui Pengaruh antara Pendidikan Mitigasi Bencana Tanah
Longsor dengan Pengetahuan Masyarakat di Desa Sampang, Kecamatan
Karangkobar.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui pengetahuan mitigasi bencana tanah longsor
sebelum dan sesudah di Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar.
b. Mengetahui pengaruh pendidikan mistigasi bencana tanah longsor
terhadap pengetahuan masyarakat Desa Sampang.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti
a. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang pentingnya
penanggulangan dan pencegahan bencana alam.
b. Meningkatkan ketrampilan peneliti dalam hal meneliti dan
penulisan ilmiah.
2. Bagi peneliti lain
Sebagai bahan penelitian lebih lanjut tentang permasalahan bencana
alam dan penanggulangan serta pencegahannya.
3. Bagi institusi
Sebagai bahan informasi bagi institusi terkait dalam rangka
pencegahan dan penanggulangan apabila terjadi bencana alam.
Memberikan pengetahuan bagi responden untuk mempersiapkan diri
dalam pencegahan dan penanggulangan bencana tanah longsor
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang peneliti lakukan, terdapat
beberapa penelitian relevan dengan penelitian ini yaitu.
1. Irfan (2012) dengan judul “Pengaruh penyuluhan tentang
kesiapsiagaan bencana banjir terhadap pengetahuan dan sikap kepala
keluarga di Desa Romang Tangaya, Kelurahan Tamangapa Kecamatan
Manggala,Kota Makasar”. Desain penelitian ini adalah dengan
experiment dimana teknik yang digunakan adalah one group pre
test-post test design, dengan jumlah sample sebanyak 246 orang.
Analisis yang digunakan adalahanalisis univariat, analisis bivariat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap responden sebelum
penyuluhan dalam sebagian besar dikategorikan kurang (54,1%)
sedangkan setelah penyuluhan kesehatan mayoritas sudah memiliki
sikap yang baik (83,8%) dengan tingkat kemaknaan nilai p<0,05
yaitu p=0,000, artinya secara statistik terlihat ada pengaruh
penyuluhan tentang kesiapsiaagaan banjir terhadap sikap kepala
keluarga dalam menghadapi banjir di desa Romang Tangaya.
Selain itu, secara statistik setelah diberikan penyuluhan kepala
keluarga lebih siap (83,8%) dibandingkan sebelum diberikan
penyuluhan yakni mayoritas kepala keluarga menyatakan tidak siap
Perbedaaan dengan penelitian ini terletak pada fokus, waktu dan
tempat penelitian. Penelitian ini mengangkat tentang “Pengaruh
edukasi mitigasi bencana tanah longsor dengan pengetahuan
masyarakat di Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara.
2. Firmansyah (2014) dengan judul “Hubungan pengetahuan dengan
perilaku kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana banjir dan longsor
pada remaja usia 15-18 tahun di SMA Al-Hasan Kemiri Kecamatan
Panti Kabupaten Jember”. Jenis desain penelitian yang digunakan
adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Sample
dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Al-Hasan Kemiri
Kecamatan Panti Kabupaten sebanyak 125 responden. Analisis data
yang digunakan adalah correlation pearson product moment dengan
dengan derajat kepercayaan 95% (α=0,05). Hasil penelitian
menunjukan nilai rata-rata perilaku kesiapsiagaan siswa adalah 56,15,
dimana menurut pembagian kategori termasuk perilaku
kesiapsiagaan hampir siap. Perilaku kesiapsiagaan siswa dari 125
responden yaitu perilaku kesiapsiagaan belum siap sebanyak 12 siswa
(9,6%), kurang siap sejumlah 46 siswa (36,8%), hampir siap sejumlah
38 siswa (30,4%), siap sejumlah 28 siswa (22,4% dan sangat siap
sejumlah 1 siswa (0,8%), Nilai P value yang didapat dari hasil uji
statistik adalah 0,000< α menunjukkan ada hubungan pengetahuan
dengan perilaku kesiapsiagaan terhadap bencana banjir dan longsor
Panti Kabupaten Jember. Nilai r=0,531 menunjukkan hubungan
yang kuat dan berpola positif artinya semakin bertambah pengetahuan
semakin tinggi perilaku kesiapsiagaannya.
Perbedaaan dengan penelitian ini terletak pada fokus, subyek, waktu
dan tempat penelitian. Penelitian ini mengangkat tentang “Pengaruh
edukasi mitigasi bencana tanah longsor dengan pengetahuan
masyarakat di Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar,
Banjarnegara”, menggunakan analisis analisis univariat, analisis