BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan karya imanjinatif yang bermediumkan bahasa dan mengandung nilai estetika (keindahan). Karya sastra merupakan seni yang dihasilkan oleh pengarang sebagai salah satu anggota masyarakat tertentu. Karya sastra bukan hanya bersifat menyenangkan tetapi juga berguna, hal ini selaras dengan istilah dulce et utile. Wellek dan Austin Warren (1995: 3&109) menyatakan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sastra menyajikan “kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. Kehidupan dalam karya sastra merupakan
kehidupan imajinatif atau tiruan dari kehidupan yang sebenarnya. Sastra merupakan mimesis dari kehidupan masyarakat dengan segala pola pikirnya, tradisinya, aktivitasnya maupun perilakunya. Sastra tidaklah lahir dalam situasi kekosongan budaya.
maupun bangsa. Kebudayaan merupakan identitas atau jati diri kelompok masyarakat tertentu yang menghasilkannya.
Kebudayaan akan mengalami perubahan-perubahan. Hal ini, dikarenakan kebudayaan bersifat dinamis. Joyomartono (1991: 79) menguraikan bahwa perubahan kebudayaan dapat disebabkan oleh faktor-faktor dari dalam masyarakat sendiri atau dan oleh faktor-faktor dari luar masyarakat. Faktor dari dalam masyarakat itu yaitu adanya penemuan baru, penciptaan baru, dan penggantian sementara (discovery, invention, dan tentation). Ada pula faktor dari luar masyarakat dapat berupa perubahan dalam jumlah dan struktur penduduk, perubahan lingkungn fisik geografi, dan terjadinya kontak dengan masyarakat lain yang memiliki kebudayaan berbeda. Diantara faktor-faktor tersebut, faktor kontak dengan masyarakat lain yang memiliki kebudayaan berbeda berpengaruh lebih besar pada perubahan kebudayaan suatu masyarakat.
mengenalkan budaya. Hal ini disebabkan karena karya sastra merupakan dunia rekaan/tiruan yang di dalamnya menceritakan masyarakat dengan berbagai macam budaya ide, aktivitas dan hasil karya. Contoh karya sastra yang mengandung perwujudan budaya yaitu: Pertama, novel Nyai Kedasih karya Imperial Jathee. Novel Nyai Kedasih merupakan kasrya sastra yang mengandung wujud budaya Jawa. Hal itu dapat dilihat dengan penggambaran tokoh Nyai Kedasih dalam hal berpakaian. Nyai Kedasih biasa menggunakan pakaian kebaya dan jarit. Selain itu juga terdapat perwujudan budaya aktivitas berkaitan dengan sistem mata pencaharian, yaitu berupa pekerjaan Nyai Kedasih sebagai penjual batik Jawa, baik batik Pekalongan, Solo maupun Jogja. Novel tersebut juga menggambarkan perwujudan budaya fisik berupa sistem teknologi berupa delman.
Kedua, selain novel Nyai Kedasih juga terdapat karya sastra berupa buku kumpulan cerpen karya Gusrianto, dkk yang berjudul Lelaki yang Dibeli. Kumpulan cerpen tersebut juga sarat dengan perwujudan budaya, salah satunya yaitu budaya Minangkabau Sumatra Barat yang dapat ditemukan dalam cerpen berjudul Lelaki yang Dibeli karya Gusrianto. Melalui penggambaran wujud budaya yang berkaitan dengan dalam karya sastra, diharapkan masyarakat akan tetap mengingat dan mengenal budayanya.
menggambarkan wujud kebudayaan ide, aktivitas dan hasil karya khas masyarakat Jawa. Selain itu, jelas sekali terlihat dalam kumpulan cerpennya tersebut Kuntowijoyo seringkali menggunakan istilah-istilah Jawa dalam penceritaannya. Isi yang terkandung di dalamnya syarat dengan fenomena budaya Jawa.
Melalui kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi kita dapat mengenal salah satu wujud kebudayaan Jawa berupa sistem religi dan upacara
keagamaan yang terdapat di Jawa. Kebudayan ide bersifat abstrak ada di dalam
pikiran atau bisa disebut sebagai konsep maupun gagasan ketika seseorang hendak
melakukan aktivitas maupun menghasilkan suatu karya. Konsep atau gagasan tersebut
digunakan oleh masyarakat Jawa sebagai pedoman hidup. Melalui gagasan yang
terdapat dalam cerpen tersebut, pembaca atau masyarakat pada umumnya akan memperoleh pengetahuan tentang hal tersebut. Salah satu contoh wujud kebudayaan
ide tersebut, yaitu tentang kepercayaan masyarakat Jawa terhadap makhluk halus atau
makhluk gaib. Salah satu makhluk gaib tersebut dinamakan dengan danyang. Kuntowijoyo hendak mengenalkan bahwa masyarakat Jawa sangat kental dengan
dunia mistik atau gaib yaitu dengan mempercayai makhluk-makhluk halus yang
berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Kepercayaaan tersebut terlihat dalam
kutipan berikut :
“Ada dua pantangan yang tak boleh dilanggar di dusun pinggir hutan itu. … Pantangan pertama ialah orang tak boleh kawin dengan orang dari dusun di dekatnya, …. Kedua, orang tidak boleh mendirikan suaru di dusun itu” (Rumah yang Terbakar, 2013: 56).
Kutipan tersebut mengandung gagasan yang berkaitan dengan kepercayaan
terhadap keberadaan makhluk halus. Ide/gagasan tersebut memberitahukan bahwa
masyarakat Jawa sangat percaya akan keberadaan dan kekuatan makhluk halus, yang
salah satunya disebut dengan danyang. Danyang merupakan makhluk halus yang dianggap oleh masyarakat Jawa sebagai penunggu dusun atau makhluk halus yang
berasal dari roh nenek moyang pendiri dusun. Makhluk halus tersebut dipercayai
masyarakat Jawa sebagai golongan makhluk halus yang baik, dengan prasyarat
masyarakat desa atau dusun tidak melakukan pelanggaran terhadap
larangan/pantangan yang sudah ada. Jika masyarakat desa melanggar pantangan
tersebut maka danyang akan marah. Maka akibatnya bukan hanya orang yang melanggar pantangan tersebut yang terkena musibah/malapetaka, tetapi seluruh
masyarakat desa akan terkena akibatnya. Jadi hal ini bisa dikatakan bahwa masyarakat
Jawa memiliki kepercayaan, bahwa mahluk halus atau mahluk gaib bisa
mendatangkan kebaikan maupun keburukan dalam kehidupan mereka. Ketika
menjalankan kehidupannya mereka harus mengikuti aturan atau norma-norma yang
telah disepakati.
Kuntowijoyo melalui cerpennya juga menyampaikan wujud kebudayaan
aktivitas yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa. Salah satu contohnya yaitu
akitivitas masyarakat Jawa yang berasal dari gagasan tentang kepercayaan terhadap
makhluk gaib. Masyarakat Jawa memiliki gagasan bahwa makhluk gaib mampu
mendatangkan kebaikan dan keburukan di kehidupan mereka. Wujud aktivitas yang
berkaitan dengan gagasan tentang makhluk gaib dapat dilihat dalam kutipan cerpen
“Menuruti anjuran penasihatnya, ia pergi dengan rombongan ke kuburan kakeknya tiap malam, dan merenovasi kuburan itu. Ia juga menyuruh orang untuk membakar kemenyan dan menabur bunga. Dan setelah kemenyan dan bunga menggunung lagi, ia mengundang tukang foto dan kameramen. Ia sudah bertekad: berapapa pun habisnya, akan ia bayar. Tujuannya satu: menjadi lurah desa” (Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi, 2013: 129).
Kutipan tersebut menunjukkan aktivitas masyarakat Jawa berupa membakar kemenyan dan menabur bunga. Kemenyan dan bunga merupakan alat-alat upacara ritual yang ditujukan untuk makhluk halus penuggu kuburan. Sebagaimana diketahui, masyarakat Jawa sangat kental dengan keyakinannya terhadap kekuatan roh leluhur. Seseorang harus melakukan aktivitas membakar kemenyan dan menabur bunga dengan tujuan untuk mendapatkan bantuan dan restu dari roh leluhur ketika memiliki suatu keinginan. Salah satu keinginan yang digambarkan oleh tokoh dalam kutipan teks di atas yaitu ingin menjadi lurah desa. Kemenyan dan bunga dianggap sebagai makanan mahluk halus. Kemenyan biasa digunakan sebagai campuran dupa dalam menyediakan sesajen. Kemenyan berupa keping-keping putih atau keputihan, yang bersifat keras tetapi rapuh. Selain kemenyan, kembang juga merupakan hal yang harus di sediakan dalam sesaji/sesajen.
Kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi juga mengandung wujud kebudayaan fisik atau hasil karya. Salah satunya yaitu wujud kebudayaan fisik tersebut berupa minuman. Masing-masing daerah memiliki minuman khas. Wujud hasil karya tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut :
“Suatu malam ada penjual ronde lewat. Beberapa gadis duduk-duduk di depan rumah bertingkat mengundang penjual. Mereka memborong ronde. Wedang ronde yang panas itu dilahap” (Jl. Kembang Setaman, Jl. Kembang Boreh, Jl. Kembang Desa, Jl. Kembang Api, 2013: 121).
Kutipan tersebut menunjukkan wujud kebudayaan fisik atau hasil karya
tersebut contohnya yaitu wedang ronde. Wedang berasal dari bahasa Jawa yang berarti
minuman. Wedang ronde biasa disingkat dengan sebutan ronde saja. Ronde
merupakan minuman panas yang cocok disajikan dicuaca dingin atau musim
penghujan. Ronde adalah adonan khusus yang terdiri dari campuran tepung beras dan
gula merah berbentuk bulatan-bulatan dan dibagian dalamnya berisi kacang yang
dihancurkan. Adonan ronde ini dicelupkan ke dalam air jahe yang masih panas.
Seperti sudah disinggung di awal, bahwa karya sastra selain menyenangkan
juga berguna. Salah satu manfaatnya yaitu mengenalkan budaya lokal sebagai salah
satu wujud kebudayaan Indonesia. Hubungan karya sastra dengan pengarang, latar
belakang kreativitas, unsur-unsur yang terkandung dalam karya, dan sebagainya
adalah pembicaraan mengenai kebudayaan. Kebudayaan di dalam cerpen dikonstruksi
oleh kebudayaan yang terdapat diluar teks. Pengarang sebagai subjek kreator
memindah kebudayaan yang terdapat di luar teks ke dalam kebudayaan dalam bentuk
literer (karya sastra).
Ratna (2011: 170-171) menguraikan bahwa berbagai peristiwa, baik alamiah
maupun artifisial, berbagai bentuk aktivitas kultural, baik jasmaniah maupaun
rohaniah yang semula merupakan masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat
sehari-hari dipindahkan ke dunia fiksi. Perubahan dari fakta ke fiksi, dari unsur-unsur
antropologis ke literer dengan sendirinya merupakan masalah pokok antropologi.
Kebudayaan masyarakat di kehidupan nyata melatarbelakangi lahirnya wujud
kebudayaan di dalam teks cerpen. Hal inilah yang dimaksud, bahwa karya sastra
tidaklah lahir dalam situasi kekosongan budaya. Oleh sebab itu, wujud kebudayaan
kebudayaan dalam masyarakat di kehidupaan. Wujud kebudayaan dalam masyarakat
di kehidupan nyata menjadi konstruksi atau latar belakang wujud kebudayaan dalam
teks cerpen. Untuk menganalisis wujud kebudayaan Jawa dalam kumpulan teks sastra,
sekaligus menelusuri latar belakang wujud kebudayaan tersebut, maka pendekatan
yang tepat digunakan yaitu pendekatan antropologi sastra.
Berdasarkan hal yang sudah dipaparkan tersebut, peneliti berasumsi bahwa
penelitian tentang kebudayaan penting untuk dilakukan. Penelitian tentang
kebudayaan Jawa dalan dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon
Politisi karya Kuntowijoyo perlu ditindak lanjuti. Analisis dilakukan dengan objek yang dikaji yaitu wujud kebudayaan Jawa. Wujud kebudayaan Jawa tersebut
dilanjutkan ditelusuri konstruksinya melalui pendekatan Antropologi Sastra. Dengan
demikian penelitian ini berjudul Wujud kebudayaan Jawa dalam Kumpulan
Cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi Karya Kuntowijoyo-Tinjauan
Antropologi Sastra.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalahnya
yaitu:
1. Bagaimanakah wujud kebudayaan Jawa dalam kumpulan cerpen Pelajaran
Pertama bagi Calon Politisi Karya Kuntowijoyo?
2. Bagaimanakah konstruksi wujud kebudayaan Jawa dalam kumpulan cerpen
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang sudah disebutkan, maka tujuan penelitian ini yaitu :
1. Mendeskripsikan wujud kebudayaan Jawa dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi karya Kuntowijoyo.
2. Mendeskripsikan konstruksi wujud kebudayaan Jawa dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi karya Kuntowijoyo.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi perkembangan ilmu sastra, terutama yang berkaitan dengan kebudayaan, khususnya wujud budaya Jawa dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi karya Kuntowijoyo.
b. Bagi masyarakat pada umumnya, diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan yang berkaitan dengan ragam kebudayaan Jawa.
2. Manfaat Praktis