• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi Kapasitas Kelembagaan Program Sister Village sebagai Bentuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Skripsi Kapasitas Kelembagaan Program Sister Village sebagai Bentuk"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Skripsi “Kapasitas Kelembagaan Program Sister Village sebagai Bentuk Pengurangan Risiko Bencana” ini berusaha menguraikan bagaimana kondisi kapasitas kelembagaan dari Program Sister Village sebagai salah satu bentuk upaya mitigasi bencana yang terintegrasi dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Fokus penelitian ini adalah mencoba mengkaji kondisi kelembagaan dan kapasitas yang dimiliki oleh komunitas masyarakat lokal yang tergabung dalam sebuah payung besar berwujud sistem Sister Village sebagai upaya Pengurangan Risiko Bencana. Program Sister Village sendiri di Indonesia merupakan salah satu pionir program pengurangan risiko bencana yang mewujudkan inisiasi local wisdom masyarakat yang rentan terpapar risiko bencana. Penelitian ini menjadi penting karena akan menjelaskan kapasitas kelembagaan dalam isu manajemen bencana berbasis partisipasi masyarakat secara komprehensif, mulai dari level individu, level entitas, hingga level sistemnya.

Indonesia merupakan negara yang memiliki ancaman bencana alam yang sangat bervariasi, hal ini dikarenakan Indonesia terletak diantara empat lempeng tektonik (Eurasia, Pasifik, Filipina dan Indo-Australia). Sebagian besar masyarakat Indonesia sendiri dikategorikan berisiko dari ancaman karena kurangnya kesadaran dan kapasitas untuk menghadapi bencana. Di sisi lain,

(2)

2 kapasitas pemerintah untuk melindungi masyarakat dari bencana alam sangat terbatas. Masyarakat tidak bisa hanya bergantung kepada tindakan pemerintah untuk melindungi kehidupan mereka, masyarakat harus sadar bahwa ada kebutuhan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan mereka dalam rangka untuk meminimalisir risiko ancaman dari bencana alam.

Salah satu ancaman bencana di Indonesia adalah erupsi gunung berapi, dimana salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Gunung Merapi terkenal hingga mancanegara dengan karakteristik erupsinya yang sangat masif dan dahsyat. Secara ilmiah, Gunung Merapi yang memiliki ketinggian kurang lebih 2900 meter diatas permukaan laut ini memiliki siklus erupsi 5 tahunan. Erupsi terakhir Gunung Merapi terjadi pada tanggal 26 Oktober hingga 5 November 2010. Empat Kabupaten secara langsung terdampak erupsi Gunung Merapi yang menyebabkan kerusakan dan kerugian yang cukup besar, yakni Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah, serta Kabupaten Sleman di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 tersebut merupakan erupsi terbesar yang terjadi di Gunung tersebut dalam jangka waktu 100 tahun terakhir (Jousset dkk, 2013). Sejak terjadinya erupsi pada tanggal 26 Oktober 2010, menurut data Pusat Pengendalian dan Operasi (Pusdalops) Badan Nasional Penanggulangan Bencana jumlah korban tewas akibat erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 berjumlah 388 orang. Aliran awan panas yang dimuntahkan lava atau

(3)

3 material Merapi pada hari Jum’at malam tanggal 5 November 2010 dengan kecepatan mencapai 100 km per jam, dan panas mencapai kisaran 450-600 derajat celcius, membakar pepohonan dan rumah-rumah sehingga dilakukan evakuasi penduduk secara besar-besaran. Adapun secara rinci besaran kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 dapat dijelaskan melalui tabel 1.1 berikut:

Tabel 1.1 Kerusakan dan Kerugian yang Ditimbulkan oleh Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010

No. Sektor Kerusakan (Rp. Juta)

Kerugian (Rp. Juta)

Total Kerusakan dan Kerugian (Rp. Juta) 1 Pemukiman 599.307,54 27.343,60 606.651,14 2 Infrastruktur 581.534,13 125.937,97 707.472,10 3 Ekonomi 403.065,92 1.289.445,25 1.692.511,17 4 Sosial 89.427,93 33.044,27 122.472,20 5 Lintas Sektor 12.030,00 396.728,00 408.758,00 Total 1.685.365,52 1.872.499,09 3.557.864,61

Sumber: diolah dari data BNPB per Februari 2011 dalam GEMA BNPB Maret 2011

Dari data yang ditampilkan dalam tabel 1.1 tentang kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi tersebut dapat dicermati bahwa jumlah kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi tahun 2010 sangat besar, yakni secara agregat sekitar Rp. 3,56 Triliun, sedangkan jumlah total nilai kerusakan mencapai 47% (Rp. 1,69 Triliun) dan jumlah nilai total kerugian sebesar 53% (Rp. 1,87 Triliun). Akibat erupsi Gunung Merapi tahun 2010, sektor perumahan mengalami kerusakan yang paling besar yakni sebesar 36% (Rp. 599 Milyar). Sedangkan nilai kerusakan yang dialami sektor infrastrukur sebesar 35% (Rp. 582 Milyar). Selanjutnya adalah sektor ekonomi sebesar 24% (Rp. 403 Milyar). Kemudian, untuk kerugian terbesar

(4)

4 dialami sektor ekonomi, yaitu 69% (Rp. 1,29 Triliun). Lalu, lintas sektor mengalami kerugian sebesar 7% (Rp. 126 Milyar). Sedangkan sektor perumahan diperkirakan nilai kerugiannya sebesar Rp. 27,3 Milyar. Data sekunder lainnya yang terkait menyebutkan bahwa kerusakan terbesar dialami oleh Kabupaten Sleman di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni sebanyak 2.339 unit rumah rusak berat di Kecamatan Cangkringan dan Ngemplak. Sedangkan di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 274 unit rumah rusak berat mencakup Kabupaten Magelang (di Kecamatan Srumbung dan Sawangan), Kabupaten Boyolali (di Kecamatan Selo) dan Kabupaten Klaten (di Kecamatan Kemalang).

Selain kerugian materi, erupsi Gunung Merapi juga menyebabkan banyak korban jiwa berjatuhan. Gunung Merapi yang merupakan salah satu gunung berapi teraktif di dunia memiliki sejarah erupsi yang sangat panjang. Gunung Merapi merupakan gunung api bertipe strato dengan semburan awan panas bergulung-gulung menuruni lereng yang oleh masyarakat sekitar merapi disebut dengan wedhus gembel. Semburan awan panas ini adalah sebagai ancaman terbesar bagi warga masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah yang termasuk ke dalam KRB III Gunung Merapi. Jumlah korban erupsi Gunung Merapi 100 tahun terakhir melalui catatan BPBD Kabupaten Magelang adalah sebagai berikut:

Tabel 1.2 Jumlah Korban Erupsi Gunung Merapi dan Banjir Lahar Dingin dalam Kurun Waktu 100 Tahun Terakhir

No. Tahun Awan Panas Lahar Dingin

1 1902-1904 16 - 2 1920 - 35 3 1930-1931 1369 - 4 1954 64 - 5 1961 6 - 6 1969 1 3

(5)

5 7 1974 - 9 8 1976 - 29 9 1994 65 - 10 2006 2 - 11 2010 386 2 Jumlah 1909 78

Sumber: Materi Paparan BPBD Kabupaten Magelang, 2014

Dari data pada tabel 1.2 tentang jumlah korban erupsi Gunung Merapi dan banjir lahar dingin dalam kurun waktu 100 tahun terakhir diatas dapat dicermati bahwa dari 11 kali erupsi Gunung Merapi di antara tahun 1900 hingga erupsi Gunung Merapi yang terkini pada tahun 2010 tidak ada pola penurunan jumlah korban yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat faktor lain selain kondisi alam yang berada diluar kuasa manusia, dimana sistem mitigasi bencana yang dilakukan oleh masyarakat sekitar Gunung Merapi masih belum efektif. Terlepas dari faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi jumlah angka tersebut, kepentingan kita bersama untuk saat ini dan masa depan adalah meminimalisir korban erupsi Gunung Merapi hingga tingkat seminimal mungkin. Upaya meminimalisir korban erupsi Gunung Merapi tersebut secara konkrit diwujudkan dalam bentuk mitigasi bencana yang melibatkan partisipasi langsung dari masyarakat dengan arahan dari BPBD sebagai fasilitator.

Mitigasi bencana diharapkan sebagai sebuah mekanisme agar masyarakat dapat berfokus kepada penghindaran bencana baik manusia mapun harta benda, terlebih lagi yakni menghindari daerah yang secara vulkanologi termasuk ke dalam wilayah berbahaya. Adapun kegiatan mitigasi bencana meliputi upaya-upaya peraturan dan pengaturan, pemberian sanksi dan penghargaan untuk mendorong perilaku yang tepat serta upaya-upaya penyuluhan serta penyediaan

(6)

6 informasi untuk memberikan kesadaran dan pengertian kepada manusia terhadap usaha untuk mengurangi dampak dari suatu bencana. Mitigasi bencana dapat diklasifikasikan menjadi mitigasi bencana struktral dan non-struktural. Adapun kegiatan mitigasi bencana struktural dapat berupa membuat cekdam, bendungan, tanggul sungai, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan mitigasi bencana non-struktural dapat berupa membuat peraturan tata ruang, pelatihan, dan lain-lain. (Nurjanah, dkk., 2012)

Pasca erupsi Gunung Merapi 2010, Pemerintah Pusat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah menyusun Rencana Aksi Nasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah 2011-2013. Dokumen tersebut memuat kebijakan relokasi bagi masyarakat lereng Gunung Merapi yang didasarkan pada Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi 2010 yang dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM). Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi merupakan petunjuk tingkat kerawanan bencana suatu kawasan apabila terjadi erupsi Gunung Merapi yang juga mencakup arah jalur evakuasi, lokasi pengungsian dan pos penanggulangan bencana. Pembagian Kawasan Rawan Bencana tersebut terbagi menjadi tiga tingkatan (KRB III,II, dan I) yang didasarkan oleh geomorfologi, geologi, sejarah kegiatan, distribusi produk erupsi terdahulu, penelitian dan studi lapangan.

Berdasar ketentuan tersebut, masyarakat yang menetap di kawasan yang ditetapkan seabgai Kawasan Rawan Bencana III diharuskan untuk melakukan

(7)

7 relokasi ke tempat yang telah dirujuk oleh pemerintah. Langkah tersebut ditempuh guna meminimalisir penempatan manusia ataupun harta benda lain di daerah paling rawan terkena dampak erupsi. Namun, hingga tahun 2013, terjadi gelombang resistensi yang sangat tinggi dari masyarakat di berbagai kawasan yang menolak relokasi. Maka dari itu, perlu adanya tindakan mitigasi bencana di masa mendatang untuk mengurangi dampak akibat bencana erupsi Gunung Merapi yang dianggap lebih manusiawi dan tidak mencerabut manusia dari lingkungan sekitar. Pembelajaran dari konflik kepentingan dalam sistem mitigasi bencana tersebut adalah perlu dilakukan penanganan manajemen bencana berbasis partisipasi masyarakat secara terintegrasi, diharapkan hal tersebut akan membangun upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang memiliki tingkat penerimaan yang tinggi apabila dipadukan dengan langkah-langkah yang efisien dan efektif.

Warga sekitar lereng Gunung Merapi semenjak dahulu sudah memiliki mekanisme mitigasi bencana mandiri yang berkembang secara komunal dengan basis kekerabatan. Basis kekerabatan juga menjadi faktor yang mempengaruhi bagaimana warga memilih kemana dan kepada siapa mereka menetap sementara (mengungsi) apabila terjadi erupsi Gunung Merapi. Sedangkan, faktor kepemimpinan informal seperti Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi juga menjadi pertimbangan lain bagi warga sekitar untuk memutuskan mengungsi atau tidak mengungsi. Fenomena tersebut bisa saja terjadi karena biasanya ada sabda dari juru kunci tersebut yang kemudian seringkali dijadikan

(8)

8 tolak ukur situasi vulkanologis dan tingkat risiko yang ditimbulkan dari Gunung Merapi oleh warga sekitar.

BPBD Kabupaten Magelang menyusun program yang kemudian dikenal dengan Sister Village, dimana program ini diinisiasi oleh Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Magelang. Program mitigasi ini berangkat dari kesadaran-kesadaran warga lokal masyarakat lereng Gunung Merapi yang memiliki kedekatan secara batin dengan alam sekitarnya. Bentuk adaptasi dan mitigasi mandiri masyarakat di sekitar lereng Merapi tersebut kemudian dipadukan dengan berbagai disiplin ilmu modern terkhusus ilmu manajemen bencana kegunungapian dengan tujuan meningkatkan efektifitas mekanisme mitigasi bencana masyarakat.

Program ini sejatinya merupakan penghayatan terhadap kearifan lokal masyarakat setempat terkait sistem mitigasi bencana konvensional dalam menghadapi erupsi Gunung Merapi. Semenjak zaman dahulu, masyarakat di sekitar lereng Gunung Merapi sudah mengenal konsep pengungsian door-to-door. Konsep pengungsian tersebut berbeda dari konsep pengungsian modern yang diinisiasi oleh Pemerintah selama beberapa tahun terakhir ketika terjadi bencana erupsi Gunung Merapi. Mekanisme pengungsian yang dimiliki oleh masyarakat setempat semenjak dahulu kala adalah para pengungsi tidak berkumpul pada sebuah titik kumpul yang ditentukan, namun masyarakat setempat dengan pengetahuannya sekedar mencari suaka sementara dengan mengunjungi kerabat yang tempat kediamannya dianggap lebih aman dari jangkauan bencana erupsi Merapi dibandingkan dengan tempat tinggalnya. Konsep pengungsian yang

(9)

9 berasal dari kearifan lokal tersebut sangat berbeda dengan mekanisme pengungsian modern yang menempatkan pengungsi pada sebuah bangunan publik dan dikumpulkan menjadi beberapa titik pengungsian dalam suatu kawasan yang telah dipersiapkan.

Konsep mitigasi bencana bottom up inilah yang kemudian diinisiasi dan dikonstruksikan oleh BPBD Kabupaten Magelang untuk menjadikan sebuah konsep mitigasi bencana baru yang lebih manusiawi, lebih demokratis dan lebih dipilih masyarakat, konsep ini merupakan konsep yang murni diinisiasi dari masyarakat dan melibatkan peran aktif masyarakat serta dianggap sangat berguna untuk masyarakat. Masyarakat sendiri diharapkan lebih menerima konsep ini sebagai sistem mitigasi bencana karena melibatkan partisipasi langsung warga setempat, sementara BPBD dan pihak terkait lain bertindak sebagai pendukung atau fasilitator. Konsep ini lebih relevan dengan kondisi masyarakat setempat dan kemudian diterjemahkan dengan memasangkan satu desa yang tergolong ke dalam kawasan rawan bencana erupsi Gunung Merapi dengan satu desa lainnya yang secara geografis lebih aman dari kemungkinan jangkauan bencana erupsi Gunung Merapi. Kerjasama antara dua desa ini acapkali ditandai dengan penandatanganan MoU antara kedua desa sebagai pihak yang terlibat dalam mekanisme Sister Village ini. Pemerintah Desa merupakan aktor yang sangat penting, yakni sebagai lembaga lokal yang berwenang berfungsi menjadi katalisator pengembangan sistem mitigasi bencana terintegrasi antara kedua desa yang dilakukan secara kolektif komunal. Berdasarkan data BPBD Kabupaten Magelang, terdapat 19 Desa KRB III, yang tersebar di tiga Kecamatan yaitu

(10)

10 Kecamatan Sawangan (3 Desa), Kecamatan Srumbung (8 Desa) dan Kecamatan Dukun (8 Desa). 19 Desa tersebut, nantinya berpasangan dengan Desa di Kecamatan Muntilan, Srumbung, Mungkid, Pakis, Candimulyo, dan Mertoyudan (BPBD Kabupaten Magelang, 2014).

Keberadaan Program Sister Village sangat diapresiasi dan dianggap sebagai inovasi baru mekanisme mitigasi bencana yang berbasis partisipasi masyarakat. Sister Village juga akan semakin efektif dan efisien apabila dipadupadankan dengan Sistem Informasi Desa (SID). Beberapa manfaat yang bisa didapatkan langsung oleh desa dengan penerapan SID adalah meliputi dukungan olah data untuk pelayanan publik, perencanaan pembangunan, dan pemetaan situasi untuk pengambilan keputusan setiap saat. Fungsi olah data dan informasi dalam SID ini tidak hanya membantu desa dalam memetakan situasi dan pengambilan keputusan di situasi normal, tetapi juga di situasi darurat. Pemanfaatan SID untuk desa-desa di kawasan rawan bencana Merapi, mau tidak mau akan memiliki arah pada ranah ini berkesesuaian dengan karakteristik desa secara khusus. Walaupun bukan merupakan tujuan utama dari pemanfaatan SID, tetapi upaya untuk membangun kemanfaatan SID ketika desa menghadapi situasi darurat sangat penting untuk disiapkan. Fungsi SID yang menunjang Program Sister Village ini berguna bagi jaringan antar-desa yang saling terkoneksi satu sama lain dalam mengelola upaya mitigasi bencana. SID juga menjadi tautan yang terkait antara satu desa dengan desa yang lain dalam sebuah bingkai sistem informasi supradesa, misalnya Kecamatan. Dalam level ini, SID berperan menginventarisasi aset desa dan berguna pada fase recovery pasca-bencana dalam

(11)

11 hubungannya dengan pihak-pihak eksternal seperti Pemerintah Daerah dan LSM ketika ada penyaluran bantuan dan penyaluran bantuan pengganti bagi warga masyarakat yang terdampak bencana. Pada saat ini, BPBD Kabupaten Magelang dengan dukungan Program Merapi Recovery Response (MRR) UNDP, berinisiatif mengembangkan program ini yang akan memanfaatkan salah satu fungsi Sistem Informasi Desa (SID) yang dikembangkan oleh COMBINE Resource Institution sebagai platform membangun jejaring desa tangguh di kawasan Merapi (BPBD Kabupaten Magelang, 2014).

Beberapa hal yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lereng Merapi mengenai kontribusi SID dalam Program Sister Village adalah: Kesiapsiagaan (Pengelolaan data dan informasi desa pada situasi normal); Sistem Peringatan Dini; Evakuasi dari desa KRB III ke desa penyangga; Pendirian Kantor Desa darurat; pengelolaan data dan informasi desa pada situasi darurat; Proses evakuasi kembali ke Desa asal; dan, tahapan Pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Di dalam SID sendiri, Masyarakat Desa yang menjadi subyek akan selalu terkoneksi dengan setidaknya tiga unsur penyangga, yakni Lembaga Kemasyarakatan, Media Komunitas dan Pemerintahan Desa.

Ada tiga pihak yang memiliki potensi sebagai pendorong terbangunnya komunitas tangguh di tingkat desa, yakni:

1. Pemerintah Desa, sebagai pihak yang memiliki kewajiban mengelola pembangunan di tingkat desa. Pemerintah adalah pihak yang memiliki data-data vital yang berguna untuk pengambilan keputusan.

(12)

12 2. Lembaga Masyarakat, yang menjadi ujung tombak kegiatan-kegiatan pembangunan masyarakat. Lembaga ini bermacam-macam, seperti PKK, kelompok tani, hingga tim siaga desa atau organisasi pengurangan risiko bencana (OPRB). Lembaga masyarakat memiliki kekuatan dalam ranah aksi yang langsung di lapangan bersama warga.

3. Media Komunitas, yang berperan menjadi jembatan informasi anatar para pihak di tingkat desa. Media komunitas ini bisa beragam wujudnya, sesuai situasi di desa setempat. Media tersebut bisa seperti radio siaran komunitas, jaringan radio komunikasi HT, forum-forum pertemuan warga, dan sebagainya.

Ketiga pihak potensial di atas bisa dihubungkan fungsi-fungsinya dalam membangun komunitas tangguh dalam sebuah payung manajemen informasi. COMBINE Resource Institution (CRI) mendorong inisiatif ini di bawah payung penerapan Sistem Informasi Desa (SID). SID yang berawal dari gagasan sejumlah orang staf pemerintah desa dan masyarakat desa di lereng Merapi yang kemudian diterjemahkan oleh CRI menjadi sebuah platform teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung proses pembangunan di tingkat desa dan kawasan. Platform ini mulai diterapkan di sejumlah desa di Merapi sejak tahun 2009 (BPBD Kabupaten Magelang, 2014).

Program Sister Village menjadi menarik untuk dibahas lebih lanjut karena Program ini melingkupi 3 pihak yang hubungannya dilembagakan untuk saling membantu proses tercapainya tujuan bersama yakni efektifitas mitigasi bencana yang berfokus kepada kemandirian masyarakat. Program Sister Village ini juga

(13)

13 memiliki upaya integrasi dengan penerapan SID yang juga memiliki unsur public engagement, dalam hal ini secara khusus didorong oleh peran aktif komunitas masyarakat di Desa Ngargomulyo dan Desa Tamanagung. Penelitian ini akan dilaksanakan dengan mengambil lokus penelitian di Desa Ngargomulyo Kecamatan Dukun dan Desa Tamanagung Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang. Lokus tersebut dipilih karena kedua desa tersebut telah menerapkan banyak langkah strategis terkait pengembangan Program Sister Village berbasis SID sehingga memperbesar kemungkinan ketersediaan data yang akan diakses dan diolah lebih lanjut.

1.2Rumusan Masalah

Fenomena terkait penerapan Sister Village berbasis Sistem Informasi Desa yang melibatkan banyak unsur dan aktor pendukung dari bermacam latar belakang ini merupakan suatu fenomena yang kompleks. Di satu sisi, Program Sister Village merupakan kebijakan yang bersumber dari kegiatan-kegiatan fasilitasi Pemerintah Daerah (dalam hal ini adalah BPBD Kabupaten Magelang). Sedangkan di sisi lain, penerapan Program Sister Village yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Desa merupakan inisiasi Bottom-Up dari kebutuhan dan kesadaran masyarakat yang turut serta diakselerasi oleh komunitas dan lembaga non-pemerintah (dalam hal ini adalah COMBINE Resource Institution). Oleh karena itu, penelitian ini berusaha menemukan pembuktian dan eksplorasi atas pertanyaan penelitian: Bagaimana kapasitas kelembagaan Program Sister Village sebagai bentuk Pengurangan Risiko Bencana di Desa Ngargomulyo

(14)

14 Kecamatan Dukun dan Desa Tamanagung Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengidentifikasi bagaimana kapasitas kelembagaan Program Sister Village sebagai bentuk Pengurangan Risiko Bencana di Desa Ngargomulyo Kecamatan Dukun dan Desa Tamanagung Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat dari dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat dirasakan oleh berbagai pihak, diantaranya adalah:

1. Bagi Masyarakat Desa Ngargomulyo Kecamatan Dukun dan Desa Tamanagung Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang:

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sarana dokumentasi serta review akademis mengenai penerapan Program Sister Village berbasis Sistem Informasi Desa. Program Sister Village dalam konteks penelitian ini secara khusus yakni adalah yang mencakup masyarakat Desa Ngargomulyo Kecamatan Dukun dan Desa Tamanagung Kecamatan Muntilan, dimana kedua desa ini merupakan pihak yang ditunjuk sebagai Desa Percontohan oleh BPBD Kabupaten Magelang dalam hal penerapan Program Sister Village berbasis Sistem Informasi Desa.

2. Bagi Stakeholders, Aktor Partisipan serta Pihak-Pihak Terkait:

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber referensi bagi Masyarakat, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa serta seluruh

(15)

15 Komunitas dan Lembaga Non Pemerintah yang terkait dalam pengembangan dan perbaikan penerapan Program Sister Village berbasis Sistem Informasi Desa.

3. Bagi Masyarakat Umum:

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber referensi dalam upaya mitigasi bencana sebagai best practice sistem mitigasi bencana mandiri masyarakat. Sehingga, masyarakat umum juga memiliki pengetahuan baik secara teoretis maupun praktis dalam upaya mitigasi bencana sehingga menjadi masyarakat yang tanggap dan tangguh bencana. 4. Bagi Civitas Akademika:

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber referensi dalam penelitian berikutnya. Selain itu, secara khusus, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih dalam pengembangan khazanah ilmu Manajemen Bencana pada khususnya dan ilmu Manajemen dan Kebijakan Publik pada umumnya baik secara teoretis maupun pada level praktis.

Gambar

Tabel 1.1 Kerusakan dan Kerugian yang Ditimbulkan oleh Erupsi Gunung Merapi pada  tahun 2010
Tabel 1.2 Jumlah Korban Erupsi Gunung Merapi dan Banjir Lahar Dingin dalam Kurun  Waktu 100 Tahun Terakhir

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil observasi masyarakat keturunan Arab di Jakarta tidak hanya penggunaan tata rias wajah gaya Arab tetapi juga tata rias wajah dari berbagai suku

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) merupakan sebuah peraturan desa tentang rencana keuangan desa selama satu tahun yang disusun oleh Sekretaris Desa,

tertinggi diperoleh pada sampel B. KOH yang diberikan sangat berpengaruh terhadap kualitas karbon aktif di mana semakin tinggi maka daya serap dan luas permukaan karbon

Attinja atau bernasar merupakan ritual yang dilakukan seseorang ketika memiliki keinginan atau cita-cita yang jika terkabul maka ia akan memberi sesajen kepada Erebambang,

Masalah umum dalam penelitian ini adalah: Apakah dengan model pembelajaran Kooperatif Teknik Group Investigation dapat meningkatkan Aktivitas belajar IPS Ekonomi

Dengan menggunakan program komputer kita juga dapat menentukan banyaknya faktor umum berdasarkan pada banyaknya nilai eigen dari matriks korelasi R atau dari matriks varians

Selain pencapaian yang positif pada aspek finansial, pada tahun 2015 pencapaian ini juga disertai dengan indikator positif pada rasio penting lainnya seperti ROA