• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGKAJIAN SISTEM TANAM KENTANG DALAM PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN. Muh.Asaad, dkk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGKAJIAN SISTEM TANAM KENTANG DALAM PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN. Muh.Asaad, dkk"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGKAJIAN SISTEM TANAM KENTANG DALAM PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN

Muh.Asaad, dkk

ABSTRAK

Produktivitas kentang di Sulawesi Selatan baru mencapai 7,02 t/ha. Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti terbatasnya varietas unggul, penggunaan bibit bermutu rendah, pengelolaan tanaman yang belum optimal seperti pemupukan serta serangan hama dan penyakit utama. Tujuan pengkajian ini adalah mendapatkan pola/sistem tanam kentang yang menekan tingkat serangan hama dan penyakit kentang dan meningkatkan pendapatan. Pengkajian dilaksanakan di Desa Loka, Kabupaten Bantaeng mulai bulan Januari sampai bulan Desember 2010 menggunakan rancangan acak kelompok, terdiri dari empat perlakuan (sistem tanam monokultur, kentang + bawang daun, kentang + kubis, dan kentang kacang-kacangan) dengan ulangan tiga kali. Hasil pengkajian menunjukkan pola/sistem tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan kentang, persentase dan intensitas serangan hama penggorok daun dan penyakit busuk daun, serta hasil kentang dan hasil kumulatif. Pada umur 60 HST, tinggi tanaman kentang tertinggi pada sistem tanam kentang+kacang merah dan kentang bawang daun. Intensitas serangan hama penggorok daun terendah pada sistem tanam kentang+bawang daun (1,85%), sementara intensitas serangan patogen busuk daun terendah pada perlakuan sistem monokultur kentang (13,05%). Hasil kentang tertinggi diperoleh pada sistem tanam kentang+kacang merah yaitu 6,04 t/ha, namun hasil kumulatif tertinggi pada perlakuan sistem tanam kentang+kubis sebanyak 11,02 t/ha.

Kata kunci: Kentang, sistem tanam, wawasan lingkungan

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Di Sulawesi Selatan rata-rata konsumsi sayuran dari tahun 2000-2004 mencapai 35,43 kg/kapita/tahun (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sul-Sel, 2005). Angka tersebut masih rendah dari konsumsi riil nasional berdasarkan Susenas 2002 yaitu 37,30 kg/kapita/tahun, bahkan masih jauh dari standar konsumsi harapan sehat yang mencapai 75 kg/kapita/tahun.

Salah satu komoditas unggulan sayuran di Sulsel adalah kentang (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sul-Sel, 2005). Potensi dan luas lahan yang belum dimanfaatkan untuk tanaman kentang di Sulawesi Selatan masih cukup luas yaitu masing-masing 13.400 ha dan 10.700 ha (Tabel 1). Berdasarkan kesesuaian agroekosistemnya, daerah pengembangan kentang di Sulawesi Selatan adalah kabupaten Gowa, Bantaeng, Sinjai, Enrekang dan Tator.

(2)

Tabel 1. Potensi lahan untuk komoditas sayuran di Sulawesi Selatan

Komoditas Potensi (ha) dimafaatkan Sudah (ha) Belum dimanfaatkan (ha) Bawang merah Cabe Kentang Kubis Tomat 16.750 22.460 13.400 3.900 23.400 5.352 6.203 2.700 2.614 5.500 11.398 16.257 10.700 1.286 17.900 Jumlah 79.910 22.369 57.541

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman pangan dan Hortikultura Prov. Sulawesi Selatan (2003).

Produktivitas kentang di Sulawesi Selatan dari tahun 1998-2002 baru mencapai 7,02 t/ha (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sul-Sel, 2003). Sementara potensi hasilnya masing-masing dapat mencapai 30 t/ha (Balihor, 1989). Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti terbatasnya varietas unggul yang berpotensi hasil tinggi, penggunaan bibit yang bermutu jelek (Balithor, 1989) dan ketersediaan benih bermutu yang belum mencukupi kebutuhan, pengelolaan tanaman yang belum optimal seperti pemupukan, serangan hama dan penyakit utama serta tingginya kehilangan hasil pasca panen. Pada tanaman kentang, hama pengorok daun (Liriomyza huidobrensis) dapat menurunkan hasil 20-65% (Lologau, 1998) dan penyakit busuk daun (Phytophthora infestans) yang dapat menurunkan hasil kentang 50-100% (Suhardi, 1983).

Selain disebabkan oleh pengelolaan tanaman yang belum optimal dan serangan hama dan penyakit utama, rendahnya produktivitas kentang akhir-akhir ini juga disebabkan oleh tingkat produktivitas lahan yang semakin rendah sebagai akibat dari degradasi lahan terutama pada areal pertanian lahan berlereng (miring). Oleh karena itu diperlukan upaya peningkatan produktivitas lahan melalui upaya konservasi tanah/lahan.

Produktivitas kentang dapat ditingkatkan namun memerlukan input yang tinggi. Cara ini, selain tidak ekonomis, juga tidak memenuhi kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Dengan pertimbangan tersebut, peningkatan produksi

(3)

kentang dapat dilakukan melalui penerapan komponen dan paket teknologi produksi yang efisien dan berwawasan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penggunaan varietas yang unggul, dan dengan teknologi budidaya yang tepat, produktivitas sayuran dapat ditingkatkan (Duriat, 1996).

2. Dasar Pertimbangan

Tanaman kentang mempunyai banyak jenis hama dan penyakit. Pada tanaman kentang dan sayuran pada umumnya, penggunaan pestisida paling banyak digunakan dan berlebihan untuk pengendalian tanpa memperhatikan dampak negatifnya karena hasilnya cepat kelihatan dan pestisida mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau. Kondisi yang demikian pada akhirnya dapat menyebabkan banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Beberapa dampak negatif yang ditumbulkan oleh penggunaan pestisida yang tidak tepat adalah (a) resistensi hama sasaran, (b) timbulnya resurjensi dan ledakan hama sekunder, (c) matinya musuh alami, (d) timbulnya residu di dalam tanaman, (e) pencemaran lingkungan, dan (f) terganggunya kesehatan manusia (Oka, 1995). Oleh karena itu, untuk menekan resiko dampak negatif tersebut pada tanaman sayuran sekecil mungkin maka menjadi keharusan penggunaan pestisida secara tepat yang meliputi tepat jenis dan dosis serta tepat cara dan waktu aplikasi.

Cara pengendalian lainnya yang dapat mengurangi dampak negatif pestisida adalah pengendalian hama terpadu. Pada tanaman kentang di kabupaten Gowa, pengendalian terpadu L. huidobrensis dan P. operculella

dengan pemupukan berimbang, pemasangan bendera kuning dan aplikasi insektisida berdasarkan ambang kendali dapat menekan intensitas serangan dan menghemat insektisida 61,40% (Lologau dkk., 2002). Sementara penyakit busuk daun (P. infestans) dapat dikendalikan dengan ekstrak pinang atau dicampur dengan fungisida oksadisil 10% dan propineb 56% (Puslitbang Hortikultura, 1994). Komponen teknologi PHT pada tanaman kentang meliputi (1) Budidaya tanaman sehat terdiri dari penggunaan bibit kentang sehat; penanaman tanaman penolak di pinggiran untuk mengurangi serangan hama seperti tanaman kubis, petsai, tagetes dan pembuatan guludan setinggi 40 cm; pemupukan berimbang (pupuk kandang sapi 30 t/ha, urea 200 kg/ha, ZA 400 kg/ha, SP-36 250/ha dan KCl 300 kg/ha serta penggunaan mulsa plastik hitam

(4)

perak, (2) Pengendalian hayati terdiri dari pelepasan parasitoid Hemiptarsenus varicornis untuk mengendalikan Liriomyza huidobrensis dan pelepasan kumbang

Coccinella spp. dan Aphidius sp. Untuk mengendalikan kutu daun persik, (3) Penggunaan perangkap OPT terdiri dari feromon sex PTM1+PTM2 sebanyak 40 buah/ha untuk mengendalikan Phthorimaea operculella dan bendera kuning berperekat untuk mengendalikan L. huidobrebsis, (4) Pengamatan mingguan pada 10 tanaman setiap 0,2 ha atau 50 tanaman/ha, dan (5) Pengendalian secara kimiawi menggunakan pestisida selektif bila populasi hama/penyakit mencapai ambang kendali (Balai Penelitian Sayuran, 2008).

Selain penggunaan pestisida yang selektif dan cara pengendalian lainnya, pengendalian hama dan penyakit kentang yang berwawasan lingkungan dapat dilakukan melalui sistem tumpangsari dengan tanaman semusimnya lainnya. Keuntungan pengendalian dengan sistem/pola tanam adalah mengurangi penggunaan pestisida kimiawi, mengurangi resioko kegagalan panen dan meningkatkan pendapatan. Beberapa tanaman semusim dapat berfungsi sebagai tanaman penolak dan tanaman perangkap hama dan penyakit tertentu, termasuk vektor penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman bawang daun, kubis, petsai dan tagetes sebagai tanaman penolak yang dapat mengurangi tingkat serangan hama pada pertanaman kentang (Balitsa, 2008). Selanjutnya Tanaman kacang-kacangan/ buncis di pertanaman kentang dapat mengurangi tingkat serangan hama penggorok daun. Hasil penelitian di luar negeri (Filipina dan Australia) menunjukkan bahwa tanaman kubis dan brassicae lainnya melepaskan senyawa glucosinolate (isothiocyanate) yangg dapat menekan penyakit layu bakteri dan nematoda (Justo, 2008).

Usahatani sayuran khususnya kentang, merupakan usahatani dataran tinggi yang didefinisikan sebagai lahan yang terletak diatas atau pada ketinggian 700 m dari permukaan laut. Pada umumnya lahan didataran tinggi mempunyai tingkat kesuburan tanah yang tinggi, namun luasnya terbatas dibanding dengan lahan di dataran rendah dan berada pada topografi yang berlereng sampai berbukit sehingga rawan terjadi erosi dan longsor. Disisi lain, lahan tersebut juga tempat tumbuh yang ideal untuk berbagai komoditas bernilai ekonomi tinggi lainnya sehingga memungkinkan terjadinya penggunaan lahan yang sama.

Dengan terbatasnya lahan di dataran tinggi memungkinkan dikembangkan usahatani terpadu atau terintegrasi antara sayuran dengan

(5)

komoditas lainnya dalam bentuk pertanaman lorong dan tumpangsari. Hasil penelitian Armiati dkk. (2001 menunjukkan bahwa pola tanam kentang – petsai + bawang daun – kentang memberikan pendapatan tertinggi yaitu Rp. 31.857.400/ha/tahun, kemudian pola tanam kentang – kubis + bawang daun – kentang dengan pendapatan sejumlah Rp. 31.478.050/ha/tahun. Hasil penelitian sebelumnya juga dilaporkan bahwa tumpangsari kentang dengan kacang kapri dalam barisan meningkatkan produktivitas hingga 90-93% (Sahat dan Asandhi, 1994). Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa pada lahan kering dengan kemiringan 15-30%, budidaya lorong dengan Flemingia sp. sebagai tanaman pagar, pisang dengan rumput yang tumbuh alami sebagai tanaman pagar dengan palawija sebagai tanaman utama meningkatkan akumulasi unsur hara N,P,K,Ca dan Mg dibanding cara petani tanpa budidaya lorong dan efektif dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan (Santoso, 2001).

Teknologi pengendalian hama dan penyakit melalui sistem tanam tumpangsari dengan tanaman semusim lainnya diharapkan menjadi pilihan teknologi yang paling tepat dalam merakit inovasi teknologi sebagai komponen utama dalam pengembangan usahatani kentang yang berkesinambungan dan ramah lingkungan di Sulawesi Selatan.

Tujuan

Mendapatkan pola/sistem tanam kentang yang menekan tingkat serangan hama dan penyakit kentang dan meningkatkan pendapatan

Perkiraan Keluaran

Satu paket teknologi pola/sistem tanam kentang yang menekan tingkat serangan hama dan penyakit kentang dan meningkatkan pendapatan

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan di Desa Loka, Kabupaten Bantaeng mulai bulan Januari sampai bulan Desember 2010. Kajian menggunakan rancangan acak

(6)

kelompok, terdiri dari empat perlakuan (sistem tanam monokultur, kentang + bawang daun, kentang + kubis, dan kentang kacang-kacangan) dengan ulangan tiga kali. Pengelolaan tanaman pada perlakuan sistem tanam monokultura kentang dan tanaman tumpangsarinya ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengelolaan Tanaman pada Kentang dan Tanaman Tumpangsarinya

No Kegiatan Kentang monokultur Bawang daun Kubis Kacang-Kacangan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Benih Jarak tanam Pemupukan Pengendalian OPT Pengairan Panen G4 70 x 30 cm Anjuran setempat PHT Cara petani Anjuran Lokal 30 x 25 cm Anjuran setempat PHT Cara petani Anjuran Green coronet 60 x 50 cm Anjuran setempat PHT Cara petani Anjuran Lokal 40 x 30cm Anjuran setempat PHT Cara petani Anjuran

Catatan: Rekomendasi pupuk menurut Balitsa adalah pupuk kandang sapi 30 t/ha, urea 200 kg/ha, ZA 400 kg/ha, SP-36 250/ha dan KCl 300 kg/ha Data yang dikumpulkan antara lain pertumbuhan dan hasil kentang/ tanaman lain, intensitas serangan hama dan penyakit , hasil kentang/tanaman lain dan analisis usahatani. Data pertumbuhan tanaman, hasil dan intensitas seranga hama dan penyakit dianalisis dengan uji T, sementara data penggunaan input dan penerimaan (output) dianalisis dengan R/C ratio.

HASIL DAN PEBAHASAN

1. Pertumbuhan Vegetatif Tanaman

Pertumbuhan tanaman yang meliputi tinggi tanaman dan lebar kanopi pada berbagai perlakuan sistem tanam kentang (Tabel 3 dan 4)

Tabel 3. Tinggi tanaman pada berbagai perlakuan

Perlakuan Tinggi Tanaman (cm)

30 HST 45 HST 60 HST

Monokultur Kentang 13,95 a 29,22 a 46,73 ab

Kentang+Kubis 15,25 a 31,58 a 43,73 a

(7)

Kentang + Kacang Merah 15,62 a 32,90 a 50,05 b

KK (%) 5,71 5,97 5,35

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (0,05)

HST= hari setelah tanam

Sistem tanam kentang berpengaruh langsung terhadap tinggi tanaman kentang pada umur 30, 45 dan 60 HST. Tinggi tanaman pada umur 30 dan 45 HST tidak berbeda nyata pada berbagai sistem tanaman kentang, namun berbeda nyata pada umur kentang 60 HST. Tinggi tanaman tertinggi pada umur 30 HST diperoleh pada perlakuan kentang+kacang merah dan terendah pada sistem monokultur. Sementara pada umur 45 HST, tinggi tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan kentang+kacang merah namun tidak berbeda nyata dengan tinggi tanaman perlakuan lainnya. Selanjutnya pada umur 60 HST, tinggi tanaman kentang tertinggi diperoleh pada perlakuan sistem tanam kentang+kacang merah dan kentang+bawang daun yang berbeda nyata dengan tinggi tanaman pada perlakuan sistem tanam kentang+kubis, namun keduanya tidak berbeda nyata dengan tinggi tanaman kentang monokultur.

Tabel 4. Lebar kanopi tanaman pada berbagai perlakuan

Perlakuan Lebar Kanopi (cm)

30 HST 45 HST 60 HST

Monokultur Kentang 25,24 a 36,70 a 47,74 a

Kentang+Kubis 25,67 a 38,22 a 47,80 a

Kentang+ Bawang Daun 25,79 a 38,63 a 48,32 a

Kentang + Kacang Merah 26,64 a 38,04 a 47,98 a

KK (%) 13,65 4,60 6,48

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (0,05)

(8)

Pada Tabel 4 terlihat bahwa lebar kanopi tanaman kentang tidak berbeda nyata pada berbagai perlakuan sistem tanam kentang pada umur tanaman 30, 45 dan 60 HST. Namun berdasarkan rata-rata lebar kanopi, pada umur 30 HST lebar kanopi tertinggi pada perlakuan sistem tanam kentang+kacang merah. Sementara pada umur 45 dan 60 HST, lebar kanopi tertinggi masing-masing diperoleh pada perlakuan sistem tanaman kentang+bawang daun.

Persentase dan Intensitas Serangan Hama dan Penyakit Utama

Persentase serangan dan intensitas serangan hama penggorok daun dan penyakit busuk daun pada berbagai perlakuan sistem tanam kentang (Tabel 5 dan Tabel 6)

Tabel 5. Persentase dan intensitas serangan hama penggorok daun pada berbagai perlakuan (%) 45 HST

Perlakuan Hama Penggorok Daun

Persentase

serangan (%) serangan (%) Intensitas

Monokultur Kentang 25,00 b 2,41 b

Kentang+Kubis 20,00 ab 2,22 ab

Kentang+ Bawang Daun 16,67 a 1,85 a

Kentang + Kacang Merah 20,00 ab 2,22 ab

KK (%) 10,42 10,38

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (0,05)

HST= hari setelah tanam

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa sistem tanam berpengaruh terhadap persentase dan intensitas serangan hama penggorok daun pada umur 45 HST. Persentase dan intensitas serangan terendah diperoleh pada perlakuan sistem tanam kentang+bawang daun yang berbeda nyata dengan persentase dan intensitas serangan pada perlakuan monokultur kentang, namun tidak berbeda dengan persentase dan intensitas serangan pada perlakuan sistem tanam kentang+kubis dan kentang+kacang merah. Hal ini dapat disebabkan oleh hama mengalami kesulitan untuk membedakan atau menentukan tanaman inang

(9)

utamanya pada sistem tanam tumpangsari. Sebagai contoh tumpang sari antara cabai merah dan kubis dan tumpang sari cabai merah dan tomat dapat menekan populasi Bemisia tabaci masing-amsing sebesar 60,72 dan 25,24% dibandingkan dengan sistem tanam monokultur (Setiawati dkk., 2008). Beberapa tanaman semusim dapat berfungsi sebagai tanaman penolak dan tanaman perangkap hama dan penyakit tertentu, termasuk vektor penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman bawang daun, kubis, petsai dan tagetes sebagai tanaman penolak yang dapat mengurangi tingkat serangan hama pada pertanaman kentang. Selanjutnya tanaman kacang-kacangan/buncis di pertanaman kentang dapat mengurangi tingkat serangan hama penggorok daun (Balitsa, 2008).

Tabel 6. Persentase dan intensitas serangan penyakit busuk daun pada berbagai perlakuan (%)

Perlakuan serangan (%) Persentase Intensitas serangan (%) 45 HST 60 HST 45 HST 60 HST

Monokultur Kentang 28,33 a 53,33 a 4,72 a 13,05 a

Kentang+Kubis 50,00 a 68,33 b 8,33 a 18,61 ab

Kentang+ Bawang Daun 38,33 a 75,00 b 6,39 a 19,17 b Kentang + Kacang Merah 35,00 a 73,33 b 5,83 a 17,78 ab

KK (%) 40,46 6,42 40,47 17,53

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (0,05)

HST= hari setelah tanam

Sistem tanam kentang berpengaruh nyata terhadap persentase dan intensitas serangan penyakit busuk daun kentang 45 dan 60 HST (Tabel 6). Persentase serangan patogen busuk daun tidak berbeda nyata pada semua perlakuan system tanam pada umur 40 HST, namun persentase serangan berbeda nyata pada umur 60 HST. Persentase serangan patogen busuk daun pada umur 60 HST tertinggi pada perlakuan sistem tanam kentang+bawang daun (75,00%) yang berbeda nyata dengan persentase serangan pada sistem

(10)

monokultur kentang (53,33%), namun tidak berbeda nyata dengan persentase serangan pada perlakuan sistem tanam kentang+kacang merah dan kentang+kubis.

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa intensitas serangan patogen busuk daun tidak berbeda nyata pada semua perlakuan sistem tanam pada umur 40 HST, namun intensitas serangan berbeda nyata pada umur 60 HST. Intensitas serangan patogen busuk daun pada umur 60 HST tertinggi pada perlakuan sistem tanam kentang+bawang daun (19,17%) yang berbeda nyata dengan intensitas serangan pada sistem monokultur kentang (13,05%), namun tidak berbeda nyata dengan persentase serangan pada perlakuan sistem tanam kentang+kubis dan kentang+kacang merah.

Hasil Kentang dan Kumulatif Kentang dan Sayuran tumpangsari

Tabel 7. Hasil kentang dan kumulatif kentang dan sayuran tumangsari

Perlakuan Hasil Kentang

(t/ha) Hasil Kumulatif (t/ha)

Monokultur Kentang 5,67 b 5,67

Kentang+Kubis 5,86 b 11,02

Kentang+ Bawang Daun 4,13 a 7,92

Kentang + Kacang Merah 6,04 b 6,81

KK (%) 9,91 -

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (0,05)

Hasil kentang memperlihatkan perbedaan yang nyata pada berbagai perlakuan sistem tanam kentang (Tabel 7). Hasil atau produktivitas kentang yang ditanam dengan sistem kentang+kacang merah lebih tinggi dan berbeda nyata dengan hasil kentang pada sistem kentang+bawang daun. Namun hasil kentang tersebut tidak berbeda nyata dengan hasil pada sistem monokultur dan sistem kentang+kubis.

(11)

Walaupun demikian, hasil kumulatif pada sistem tumpangsari lebih tinggi dibanding hasil pada sistem monokultur. Hasil kumulatif tertinggi diperoleh pada sistem kentang+kubis, kemudian disusul hasil kumulatif pada sistem kentang+bawang daun dan kentang+kacang merah. Dari berbagai hasil penelitian diketahui bahwa produksi kumulatif system tumpangsari lebih tinggi daripada system tanam tunggal, terutama bila spesies tanaman yang digunakan mempunyai sifat morfologis dan fisiologi yang saling sesuai dan melengkapi (Cox dan Atkins, 1979 dalam Setiawati, 2008). Selanjutnya dilaporkan bahwa pendapatan kotor per hektar dalam sistem tumpangsari rata-rata 60% lebih tinggi daripada bertanam secara monokultur. Selain itu, sistem tumpangsari dapat mengurangi resiko kegagalan panen, meningkatkan efisiensi pengolahan lahan dan penggunaan unsur hara, air, cahaya serta menekan populasi gulma.

KESIMPULAN

Dari hasil pengkajian ini dapat disimpulkan bahwa

Pola/sistem tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan kentang, persentase dan intensitas serangan hama penggorok daun dan penyakit busuk daun, serta hasil kentang dan hasil kumulatif sayuran.

Tinggi tanaman kentang tertinggi diperoleh pada sistem tanam kentang+kacang merah dan kentang bawang daun.

Intensitas serangan hama penggorok daun terendah pada sistem tanam kentang+bawang daun, sementara intensitas serangan patogen busuk daun terendah pada perlakuan sistem monokultur kentang.

Hasil kentang tertinggi diperoleh pada sistem tanam kentang+kacang merah yaitu 6,04 t/ha, namun hasil kumulatif tertinggi pada perlakuan sistem tanam kentang+kubis sebanyak 11,02 t/ha.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian Hortikultura. 1989. Penelitian dan Pengembangan Sayuran dan Tanaman Hias dalam Repelita IV untuk Mencapai Sistem Pertanian Tangguh. Puslitbang Hortikultura, Badan Litbang Pertanian.

Balai Penelitian Sayuran. 2008. Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada Tanaman Kentang. Puslitbang Hortikultura, Balitsa Lembang.

(12)

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Prov. Sulawesi Selatan. 2003. Potensi Hortikultura Sulawesi Selatan. Diperta Prov. Sulawesi Selatan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Prov. Sulawesi Selatan. 2005.

Kebijaksanaan Pembangunan Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan pada Sosialisasi GAP dan SPO Tanaman Buah, Makassar 15-16 Juni 2005.

Duriat, A.S. 1996. Hasil-hasil Penelitian Unggulan Tanaman Sayuran. Disampaikan pada Rapat Teknis Puslitbang Hortikultura, Bogor, Oktober 1996.

Hartus, Tony. 2001. Usaha Pembibitan Kentang Bebas Virus. Penebar Swadaya, Jakarta.

Justo, V.P. 2008. Biofumigation for Soil-Borne Disease Management in Potatoes. Paper presented at the Workshop on Opportunities and Challenges for Promotion and Sustainable Production of the Potato Crops. Dalat-Vietnam, 25-28 November 2008. 9 p.

Lologau, B.A. 1998. Serangan lalat Pengorok Daun, Liriomyza huidobrensis

(Blanchard) (Diptera: Agromyzidae) pada Pertanaman Kentang dan Upaya Pengendaliannya. Tesis Program Pascasarjana, IPB. 63 hal.

Made Oka A., I. Manwan, S. Saenong, M.N. Noor dan Y. Makmun. 1994. PenelitianPengembangan: Prosedur Pelaksanaan dan Evaluasi Hasil Penelitian. Disampaikan pada Pelatihan Peningkatan Manajemen Suberdaya Manusia di BLPP Wonocatur, Yogyakarta

Puslitbang Hortikultura. 1994. Hasil Penelitian Hortikultura Pelita V. Badan Litbang Pertanian.

Setiawati, W., B.K. Udiarto dan T.A. Soetiarso. 2008. Pengaruh Varietas dan Sistem Tanam Cabai Merah terhadap Penekanan Populasi Hama Kutu Kebul. Jurnal Hortikultura. Vol. 18 (1): 55-61

Suhardi. 1983. Dinamika Populasi Busuk Daun, Phytophthora infestans pada Kentang di Kebun Percobaan Segunung. Bul. Penel. Horti. 10 (1): 36-44

Gambar

Tabel 1. Potensi lahan untuk komoditas sayuran di Sulawesi Selatan
Tabel 2. Pengelolaan Tanaman pada Kentang dan Tanaman Tumpangsarinya
Tabel  5.  Persentase  dan  intensitas  serangan  hama  penggorok  daun  pada  berbagai perlakuan (%) 45 HST
Tabel 6. Persentase dan intensitas serangan penyakit busuk daun pada berbagai  perlakuan (%)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil observasi yang dilaksanakan di SD Inpres Bontomanai ditemukan permasalahan terkait dengan konsentrasi belajar dan hasil belajar siswa.. dalam proses pembelajaran

Kadar karbohidrat, protein dan lemak yang didapatkan dari biji nangka dengan menggunakan variasi waktu perebusan yang berbeda-beda ( 0 menit, 15 menit, 30 menit, dan 45 menit

Hasil analisis korelasi parsial korelasi parsial antara kepemimpinan transformasional (X2) terhadap produktivitas kerja (Y) r hitung 0,797 dengan nilai r tabel untuk

Menafsirkan ayat-ayat Al- Qur‘an para sahabat pertama-tama menelitinya dalam Al- Qur‘an sendiri, karena ayat -ayat Al- Qur‘an satu sama lain saling menafsirkan;

Ini berkemungkinan pengendali makanan kurang mendapat pendedahan berkaitan kepentingan amalan kebersihan diri dan kesannya terhadap penyakit bawaan makanan atau keselamatan

Tujuan dari penelitian untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Desa (PADesa), Dana Desa (DD), Alokasi Dana Desa (ADD), Bagi Hasil Pajak dan Retribusi (BHPR),

[r]

Lehtipuuhakkeella sato aleni aluksi enemmän kuin havupuuhakkeella, nousi kuudentena vuonna korkeimmilleen, mutta ei koko kauden keski- satoa kuitenkaan nostanut...