• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. nilai yang tinggi, baik sebagai penyangga kebutuhan, perlindungan ekologi, jasa,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. nilai yang tinggi, baik sebagai penyangga kebutuhan, perlindungan ekologi, jasa,"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat besar pengaruhnya terhadap stabilitas lingkungan dan kebutuhan hidup manusia. Hutan juga memiliki nilai yang tinggi, baik sebagai penyangga kebutuhan, perlindungan ekologi, jasa, serta sebagai pemberdayaan masyarakat. Pada saat ini, masyarakat sangat bergantung terhadap hutan, begitu pula sebaliknya hutan dapat lestari dan rusak dengan adanya pengaruh masyarakat. Maka dari itu diperlukan pemberdayaan masyarakat yang memperhatikan dua aspek tersebut.

Berkaitan dengan sumber daya hutan di Indonesia, dimana masyarakat menjadi elemen integral atau sulit terpisahkan dari sumber daya hutan, kelestarian ekologi dan ekonomi hanya dimungkinkan dicapai bilamana pengelolaan sumber daya juga senantiasa memperhatikan kehidupan masyarakat lokal. Hutan harus mampu memberikan jaminan keberlanjutan fungsi pengusahaan hutan bagi masyarakat setempat yang tergantung pada hutan, baik secara langsung maupun tidak langsung secara lintas generasi.

Berdasarkan hasil tersebut di atas maka dibuat berbagai program pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat, salah satunya adalah Hutan Rakyat (HR). Hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, hutan yang

(2)

2

dimiliki oleh rakyat. Proses terjadinya hutan rakyat bisa dibuat oleh manusia, bisa juga terjadi secara alami, tetapi proses hutan rakyat adakalanya berawal dari upaya untuk merehabilitasi tanah-tanah kritis.

Sertifikasi hutan merupakan suatu instrumen yang ditujukan untuk mendorong terjadinya praktek pengelolaan hutan lestari, yang menyeimbangkan kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial. Tujuan sertifikasi hutan rakyat ini adalah untuk menjaga dan meningkatkan kualitas dan kuantitas dari pengelolaan hutan rakyat yang telah dilakukan oleh masyarakat, sehingga akan terwujud masyarakat sejahtera dengan hutan rakyat yang lestari. Kendala yang di hadapi dalam sertifikasi hutan rakyat antara lain adalah minimnya pengetahuan petani hutan (awareness) akan adanya program sertifikasi hutan, biaya sertifikasi yang mungkin tidak viable untuk hutan rakyat, manajemen dan kelembagaan pengelolaan hutan rakyat, pasar untuk kayu yang telah tersertifikasi, dan jenis program yang ditawarkan oleh lembaga sertifikasi.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang perlu dikemukakan adalah bagaimana aspek sosial ekonomi masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat bersertifikasi dan kendala penerapan sertifikasi hutan rakyat?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

(3)

3

b. Mengetahui kegiatan petani dan pengelolaan hutan rakyat sertifikasi. c. Mengetahui keuntungan dan kerugian petani dalam sertifikasi hutan

rakyat.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai melalui penelitian ini antara lain :

a. Memberikan informasi mengenai ruang lingkup aspek sosial ekonomi pengelolaan hutan rakyat sertifikasi kepada petani.

b. Memberikan masukan kepada unit manajemen dalam pengelolaan hutan rakyat bersertifikasi.

(4)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat

2.1.1 Pengertian Hutan Rakyat

Menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 1999, berdasarkan status kepemilikan lahannya, hutan dibagi menjadi dua yaitu hutan Negara dan hutan Hak. Hutan hak atau yang lebih dikenal dengan istilah hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat. Pengelolaan hutan rakyat dapat dilakukan secara perorangan maupun berkelompok (Awang, et al .2001). Hutan rakyat dapat berupa pekarangan, tegalan ladang dan alas/wana (Awang, dkk . 2001). Departemen Kehutanan (1999) menyebutkan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha dan penutupan tajuknya didominasi tanaman perkayuan dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 pohon.

Setiap daerah memiliki karakteristik tersendiri dalam pengelolaan hutan rakyat, akan tetapi ciri-ciri hutan rakyat secara umum adalah sebagai berikut: (1) Berada di tanah milik; (2) Hutan tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan hutan serta keragaman pola wanatani; (3) Baris pengelolaan berada pada tingkat keluarga, setiap keluarga melakukan pengembangan dan pengaturan secara terpisah; (4) Pemanenan dilakukan berdasarkan tebang butuh; (5) Belum terbentuk organisasi yang profesional dalam pengelolaan hutan rakyat; (6) Belum ada perencanaan hutan rakyat, sehingga

(5)

5

belum ada jaminan dari petani hutan rakyat terhadap kontinuitas pasokan bagi industri; (7) Mekanisme pemasaran kayu rakyat diluar kendali petani hutan rakyat sebagai produsen (Awang, et al. 2001 : Simon, 2010)

2.1.2 Manfaat dan Peranan Hutan Rakyat

Hutan rakyat telah memberikan manfaat ekonomi yang langsung dirasakan oleh penduduk desa pemilik hutan rakyat. Manfaat yang dirasakan adalah kayu yang digunakan untuk bahan bangunan guna memperbaiki kondisi rumah mereka yang dulunya terbuat dari bambu. Selain itu petani dapat memperoleh tambahan pendapatan dari menjual kayu hasil hutan rakyat dalam bentuk berdiri maupun dalam bentuk kayu bakar. Tidak dipungkiri lagi keberhasilan hutan rakyat yang ada sedikit banyak telah membantu mengubah kehidupan masyarakat yang ada. Bahwa dengan adanya hutan rakyat atau wono yang kini berkembang sangat membantu kebutuhan ekonomi masyarakat (Awang, 2001).

2.2 Sertifikasi

2.2.1 Konsep Sertifikasi

Sertifikasi merupakan fenomena baru di sektor kehutanan, meskipun mekanisme serupa telah ada sebelumnya di sektor lain. Program sertifikasi hutan berkembang sekitar dua pulh tahun lalu saat Forest Stewardskip Council (FSC) didirikan pada tahun 1993. Program ini merupakan suatu proses dimana sebuah lembaga sertifikasi menyatakan bahwa suatu pengelolaan hutan telah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh lembaga sertifikasi dan disepakati oleh

(6)

6

perusahaan yang berpartisipasi (Upton dan Bass, 1995). Idealnya, dengan tersertifikasi berarti manajer telah mengelola hutan dengan suatu norma yang tidak menurunkan kualitas dan kuantitas hutan dan generasi mendatang masih dapat menikmati sumber daya alam dengan kualitas dan kuantitas yang sama. Sertifikasi tersebut bertujuan untuk :

a. Memberi pengakuan bagi pengelola hutan bahwa hutan yang dikelola didasarkan pada kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari.

b. Melakukan praktek pengelolaan hutan berdasarkan kaidah kelestarian yang telah diakui secara nasional dan internasional.

2.2.2 Skala Sertifikasi FSC

Skala sertifikasi ditentukan ukuran atau luas wilayah hutan dan intensitas pemanfaatan hutan yang dikelola. Sertifikasi FSC membedakan antara sertifikasi normal dengan SLIMF (Small or Low Intensity Managed Forest) atau hutan yang dikelola dengan intensitas rendah. Menurut standar FSC (FSC-STD-01-003 (V1-0) EN) untuk disebut sebagai SLIMF ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:

a. Luas wilayah hutan yang dikelola tidak lebih dari 100 ha, atau b. Hutan dikelola untuk hasil bukan kayu, atau

c. Hutan dikelola untuk hasil hutan kayu dengan ketentuan tingkat pemanenan kurang dari 20% dari riap rata-rata tahunan pada seluruh hutan produksi yang dikelola dan total pemanenan tidak lebih dari 5.000 mᶾ/tahun.

(7)

7 2.2.3 Prinsip dan Kriteria FSC

Prinsip dan kriteria ini merupakan paket lengkap yang harus dipandang secara utuh dan tidak ada satu prinsip yang memiliki prioritas lebih tinggi dari prinsip lainnya. FSC mengembangkan 10 prinsipyang terdiri dari 56 kriteria sebagai standar untuk pengelolaan hutan yang baik. Sepuluh prinsip FSC yang harus dipenuhi oleh Pengelola Hutan adalah (Putra, dkk. 2007) :

a. Ketaatan pada hukum dan perjanjian/konvensi internasional yang berlaku; b. Memiliki hak penggunaan dan pengusahaan lahan yang jelas dan pasti

secara jangka panjang serta tanggung jawabnya; c. Mengenali dan menghargai hak-hak masyarakat adat;

d. Memelihara dan meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi pekerja dan masyarakat lokal dan menghargai hak-hak pekerja yang sesuai dengan konvensi ILO;

e. Penggunaan yang adil dan merata dari manfaat yang diperoleh hutan; f. Pengurangan dampak kegiatan logging pada lingkungan hidup serta

pemeliharaan fungsi ekologis dan keutuhan wilayah hutan;

g. Memiliki rencana pengelolaan yang memadai dan selalu diperbaharui; h. Pemantauan dan penilaian kegiatan yang memadai untuk menilai kondisi

hutan, kegiatan pengelolaan dan dampaknya terhadap kondisi lingkungan dan sosial;

i. Pemeliharaan hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi;

j. Hutan tanaman harus memberikan kontribusi dalam mengurangi tekanan dan mempromosikan perbaikan dan konservasi pada hutan alam.

(8)

8 2.3 Sosial Ekonomi

2.3.1 Kondisi Sosial Ekonomi

Jumlah penduduk di Indonesia sebesar 70-80% bertempat tinggal di pedesaan dan sebagian besar masih tergantung pada mata pencaharian bertani. Secara langsung sektor pertanian merupakan sumber penghidupan di pedesaan sehingga masyarakat pedesaan umumnya disebut petani atau kaum tani. Luas lahan yang umumnya sempit, yang masih tradisional serta peralatan yang terbatas menyebabkan pendapatan petani rendah.

Kesenjangan yang terjadi antar lapisan penduduk dalam suatu masyarakat pada hakekatnya bersumber dari problem kemiskinan yang dialami oleh masyarakat yang bersangkutan (Nugroho, 2001). Oleh karena itu setiap upaya mengurangi tingkat kesenjangan masyarakat tidak dapat terlepas dari upaya menanggulangi atau memerangi masalah kemiskinan itu sendiri.secara berkala Biro Pusat Statistik menghitung dua indikator ukuran kemiskinan di Indonesia. Ukuran tersebut adalah indikator tingkat kemiskinan yang menghitung jumlah dan presentase penduduk miskin, dan indikator pembagian pendapatan dalam masyarakat. Data yang digunakan untuk menghitung indikator tersebut didasarkan pada survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

Menurut Conyers (1991:5) kata sosial ekonomi mengundang pengertian sebagai sesuatu yang non moneter sifatnya yang bertalian dengan kualitas kehidupan insani. Sedangkan ekonomi dijelaskan sebagai lawan dari pengertian sosial yaitu dilibatkan kaitannya dengan uang. Dengan demikian kondisi sosial

(9)

9

ekonomi berdasarkan pengertian diatas merupakan suatu kondisi yang terkait secara moneter dan non moneter.

Masyarakat desa sekitar hutan mempunyai ciri antara lain tingkat pendidikan rendah, ketrampilan kerja diluar bidamg pertanian yang terbatas serta kurangnya modal dan teknologi dalam kegiatan pertanian. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan terjadinya kemiskinan.

2.3.2 Parameter Kondisi Sosial Ekonomi

Salah satu faktor yang penting untuk membangun masyarakat yang sejahtera adalah sebuah teori sosial ekonomi yang baik. Sepanjang sejarah, manusia terus mencari jawaban bagaimana sumberdaya di bumi ini yang dapat dipergunakan dan dibagikan dengan baik. Untuk itu ada beberapa parameter yang digunakan untuk menentukan bagaimana kondisi sosial ekonomi yang baik, dan parameter tersebut dapat dilihat dari penghasilan setiap bulannya, jumlah tanggungan keluarga, tingkat pendidikan, dan status sosial didalam masyarakat seperti, asosiasi dalam kelompok masyarakat, dan persepsi masyarakat atas keluarga (Demarest et all, 1993).

(10)

10 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei dengan metode pengambilan sampel purposive sampling karena populasi tidak seragam. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan kuisioner yang telah dipersiapkan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2014 di Kabupaten Kulonprogo. Koperasi petani hutan rakyat yang dipilih sebagai studi kasus adalah Koperasi Wana Lestari Menoreh yang sudah menerapkan sertifikasi FSC.

3.3 Jenis dan Metode Pengambilan Data

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini secara garis besar dikelompokkan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung di lapangan melalui wawancara kepada petani hutan rakyat bersertifikasi dan non sertifikasi. Jumlah responden berjumlah 45 orang terdiri dari 30 anggota petani sertifikasi dan 15 anggota petani non sertifikasi. Populasi dari penelitian ini adalah anggota Koperasi Wana Lestari Menoreh yang melakukan penjualan kayi pada tahun 2013.

(11)

11

Data-data yang ditanyakan kepada responden adalah sebagai berikut : a. Identitas responden.

b. Kepemilikan lahan.

c. Kepemilikan hutan rakyat. d. Pengelolaan hutan rakyat. e. Penjualan kayu di tahun 2013.

f. Penjualan tanaman perkebunan dan pertanian dari hutan rakyat di tahun 2013.

g. Sumber pendapatan pada tahun 2013. h. Mekanisme penjualan kayu.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen yang terkait sertifikasi hutan rakyat yang tersedia di Koperasi Wana Lestari Menoreh yang digunakan untuk menunjang data primer, yaitu :

a. Daftar nama penjual kayu di tahun 2013. b. Profil Koperasi Wana Lestari Menoreh. c. Gambaran Umum Kabupaten Kulon Progo.

3.4 Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis deskriptif kualitatif, yaitu metode analisis yang digunakan untuk memberikan gambaran secara detail tentang latar belakang, karakter yang khas dari kasus, maupun status dari individu yang kemudian dari sifat yang khusus tersebut dijadikan suatu hal yang umum.

(12)

12

Analisis data diperoleh dari wawancara dengan responden. Data wawancara menjadi sumber data utama yang akan dianalisis untuk menjawab masalah penelitian. Penelitian ini menggunakan analisis presentase dari seluruh aspek kegiatan yang ditanyakan kepada responden. Data yang diperoleh dari kuisioner disajikan dalam bentuk tabulasi.

(13)

13 BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1. Kondisi Umum Kabupaten Kulonprogo 4.1.1. Kondisi Geografis

Kabupaten Kulon Progo, salah satu kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terletak di bagian paling barat DIY. Secara geografis terletak antara 7°38'42" - 7°59'3" Lintang Selatan dan 110°1'37" - 110°16'26" Bujur Timur. Secara geografis Kabupaten Kulonprogo berbatasan dengan;

a. Samudera Hindia di sebelah selatan.

b. Kabupaten Sleman dan Bantul di sebelah timur.

c. Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah di sebelah utara d. Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah di sebelah barat.

Kabupaten Kulon Progo dengan luas wilayah 586,28 km2 secara administratif terdiri dari 12 kecamatan, 88 desa dan 930 dusun. Secara fisiografis Kulon Progo terdiri dari dataran pantai di bagian selatan, di bagian tengah dan timur berupa topografi bergelombang sampai berbukit, dan di bagian barat serta utara berupa perbukitan-pegunungan. Rangkaian perbukitan-pegunungan di bagian barat dan utara Kulon Progo ini dikenal sebagai perbukitan Menoreh (www.bpkp.go.id).

(14)

14 4.1.2. Topografi dan Kondisi Tanah

Kabupaten Kulonprogo terletak 20 km sebelah barat dari pusat kota Yogyakarta. Seperti gambaran umum di Kabupaten Kulonprogo merupakan kabupaten dengan topografi yang berbukit-bukit dan jalannya yang terjal, licin, dan naik turun. Sebagian daerahnya berupa sawah tadah hujan dan berupa hutan jati. Kabupaten Kulonprogo terletak di ketinggian antara 500-1000 mdpl dan rata-rata di daerah tersebut merupakan tanah berbatu. Curah hujan rata-rata-rata-rata per tahunnya 2150mm, dengan rata-rata hari hujan sebanyak 106 hari per tahun atau 9 hari per bulan. Suhu terrendahnya lebih kurang 24,2 °C (Juli) dan tertinggi 25,4 °C (April), dengan kelembaban terendah 78,6% (Agustus), serta tertinggi 85,9% (Januari), (www.bpkp.go.id).

4.1.3 Kondisi Hutan Rakyat di Kabupaten Kulon Progo

Kabupaten Kulonprogo terkenal dengan hutan rakyatnya. Hutan rakyat di Kabupaten Kulonprogo tersebar diberbagai kecamatan diantaranya.

Tabel 4.1 Sebaran hutan rakyat di Kabupaten Kulon Progo

No Kecamatan Luas (ha)

1 Temon 779,25 2 Wates 183,00 3 Panjatan 651,00 4 Galur 275,00 5 Lendah 556,00 6 Sentolo 937,00 7 Pengasih 1.349,00 8 Kokap 4.070,00 9 Nanggulan 410,00 10 Girimulyo 5.490,42 11 Samigaluh 6.615,00 12 Kalibawang 1.765,00 Jumlah 17.510,75

(15)

15

Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulonprogo,2013

4.1.4 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat di Kabupaten Kulonprogo pada umumnya sebagai petani yang masih sederhana dan masih bergantung terhadap lahan. Walaupun dibeberapa tempat sudah mengenal teknologi untuk bercocok tanam namun dengan kondisi lahan yang terjal tidak semua teknologi bisa diterapkan.

Untuk lahan milik saat ini masyarakat banyak menanam kayu khususnya seperti jati, sono keling, mahoni, akasia karena dinilai dapat mendatangkan untung dengan harga kayu yang semakin lama semakin tinggi.

4.2. Profil Koperasi Wana Lestari Menoreh 4.2.1. Sejarah

Program Comlog (Community Logging) di mulai dengan pertemuan pengurus Yayasan Bina Insan Mandiri (Yabima), perkumpulan Telapak Bogor dan pengurus CU (Credit Union) Karisma di secretariat CU Karisma dengan kesepakatan saling pengertian akan melakukan kegiatan community logging di Kulon Progo. Pertemuan kedua di PPSJ Pengasih pada kegiatan penguatan kelembagaan kelompok tani GNRHL. Hasil yang di capai dalam pertemuan ini adalah :

a. Program comlog dipahami sebagai program gerakan masyarakat sebagai lanjutan program GNRHL di Kulon Progo dan menunjuk Yabima sebagai lembaga pendamping local dan untuk menindak lanjuti program tersebut.

(16)

16

b. Tindak lanjut pengurus Yabima mengutus tiga orang staf ke perkumpulan telapak Bogor.

Pada tanggal 1-6 April 2007 diadakan pelatihan fasilitator di Boro, Kalibawang, dengan hasil :

a. Simulasi tentang materi pelatihan.

b. Penetapan lokasi sosialisasi di Kecamatan Kalibawang dan Samigaluh yang terdiri dari 11 desa, sosialisasi di lakukan selama 8 bulan di dusun-dusun di sebelas desa tersebut.

Pada tanggal 12-19 Juni 2008 di adakan pertemuan dan diskusi para kader dusun dan memutuskan terbentuk Lembaga Kelestarian dengan nama “Wana Lestari Menoreh” bentuk lembaga adalah Koperasi. Pertemuan selanjutanya tanggal 3-12 Juli 2008 dengan agenda menyusun draf AD/ART Koperasi Wana Lestari Menoreh serta membentuk pengurus dan perwakilan kader dari 11 desa. Pembentukan AD / ART dilakukan secara swadaya oleh para kader. Pada 2 Agustus terbentuklah koperasi Wana Lestari Menoreh dengan badan pendiri terdiri 20 orang.

4.2.2. Visi dan Misi

Adapun Visi dari Koperasi Wana Lestari Menoreh yaitu Membangun Kulon Progo secara bersama untuk mewujutkan lingkungan alam sekitar yang lestari dan berkelanjutan untuk meningkatkatkan pendapatan masyarakat secara adil.

Sedangkan Misi dari Koperasi Wana Lestari Menoreh ialah untuk menciptakan lapangan pekerjaan serta memberdayakan masyarakat untuk

(17)

17

meningkatkan pendapatan dengan budi daya kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan dan perikanan

4.2.3. Kegiatan Bisnis Koperasi Wana Lestari Menoreh

Koperasi Wana Lestari Menoreh telah melakukan beberapa usaha untuk menunjang keberhasilan dari koperasi tersebut. Usaha yang dilakukan diantaranya:

a) Jual beli kayu dari anggota dengan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan sesuai standar FSC (Forest Stewardship Council ).

b) Membeli dan memasarkan produk sumber daya alam lainya milik anggota dengan jalan memperluas jaringan pasar.

c) Usaha pembibitan baik tanaman hutan, perkebunan, pertanian , peternakan, dan perikanan.

d) Usaha produksi kompos dengan merek dagang Pupuk Kompos Lestari. e) Usaha furniture di komunitas anggota.

4.2.4. Kegiatan Non Bisnis Koperasi Wana Lestari Menoreh

Di dalam Koperasi Wana Lestari Menoreh terdapat beberapa kegiatan yang sudah terlaksanakan dan yang baru akan dilaksanakan. Kegiatan yang sudah dilaksanakan meliputi:

a. Penyelesaian badan hukum koperasi. b. Mengadakan lokakarya, dan

(18)

18

c. Pembentukan pengurus unit disebelas desa se-Kecamatan Kalibawang dan Samigaluh.

Sedangkan untuk kegiatan yang baru akan dilaksanakan diantaranya adalah:

a. Membentuk Forum Komunikasi Antar Pihak (FKAP). b. Menyiapkan sertifikasi hutan rakyat, serta

Gambar

Tabel 4.1 Sebaran hutan rakyat di Kabupaten Kulon Progo

Referensi

Dokumen terkait

kesesuaian tindakan aktor yang terlibat. • Yang menunjukkan bahwa lebih berpengaruh dibandingkan variabel lainnya, yang mana menunjukkan besarnya kekuatan masyarakat dalam

Panjang lapisan batubara secara horizontal diukur pada kombinasi kedua sayatan tersebut dengan sekala 1 : 1500 dengan menggunakan benang dan mistar, Kemudian

Kesepakatan bersama yang dibuat antara PT Pelindo II Cabang Cirebon dengan perusahaan Bongkar Muat batu Bara atau pelaku usaha lainnya akan penulis dalami dari

pelanggaran prinsip kehati-hatian saat kondisi perekonomian normal, tidak mengalami krisis finansial/ekonomi dan dilakukan bukan di wilayah Indonesia. Keunikan

Jadi, pada penelitian ini akan dilakukan perancangan chassis mobil minimalis roda tiga yang sesuai dengan kriteria penggunaan chassis pada umumnya yang memiliki

Dalam bab III ini dibahas tentang instalasi reaktor nuklir Fukushima, bencana gampa dan tsunami yang terjadi tanggal 11 Maret 2011, kebocoran reactor nuklir Fukushima, penyebaran

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segalaa anugerah-Nya sehinga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul PEMBERDAYAAN KARYAWAN DAN

Hasil penelitian klien III (SBN) klien kurang bertanggung jawab dan kurang perhatian dari orangtua yang menyebabkan ia berani dengan orang tua. Penerapan