-247-
Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1:25.000
Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6
Stereocompilation of Topographic Features Scale 1:25,000
Using TerraSAR-X and SPOT-6 Image Data
Danang Budi Susetyo1*), M. Fifik Syafiudin1, dan Aji Putra Perdana11Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim – Badan Informasi Geospasial
Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong, Jawa Barat 16911
*)E-mail: [email protected]
ABSTRAK – Informasi geospasial dasar yang disajikan dalam Peta Rupabumi Indonesia (RBI) di antaranya diperoleh
melalui metode kompilasi unsur secara tiga dimensi dari data radar dan citra optis. Data radar utamanya digunakan untuk ekstraksi unsur hipsografi, seperti masspoint, breakline, atau sungai, sedangkan citra optis digunakan untuk membantu ekstraksi unsur planimetris seperti jalan atau bangunan serta interpretasi penutup lahan. Metode digitasi secara tiga dimensi atau stereoplotting (stereokompilasi) dilakukan pada skala menengah (1:50.000 dan 1:25.000). Metode ini membentuk model tiga dimensi menggunakan data Orthorectified Radar Image (ORRI) atau citra optis dengan stereomate yang dibentuk dari data ORRI dan Digital Surface Model (DSM). Model tiga dimensi yang terbentuk selanjutnya digunakan untuk melakukan plotting secara tiga dimensi, sehingga dihasilkan unsur rupabumi yang memiliki nilai ketinggian berdasarkan datum tertentu. Tulisan ini membahas metode stereokompilasi dan ekstraksi informasi rupabumi pada skala 1:25.000 menggunakan data TerraSAR-X dan citra SPOT-6. Data hasil ekstraksi dikelola dengan skema basis data rupabumi di Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, Badan Informasi Geospasial.
Kata kunci: stereokompilasi, stereoplotting, unsur rupabumi, skala 1:25.000, TerraSAR-X, citra SPOT-6
ABSTRACT – Basic geospatial information that is presented in Indonesia Topographic Map can be three-dimensionally extracted from either radar or optical images using stereo-compilation technique. Radar image is mainly used for extracting 3D features (hypsography), such as masspoints, breaklines, or streams, whereas the optical image is used for delineating 2D features (planimetric) such as road or building, and land use / land cover. Three-dimensional digitization method or stereoplotting (stereocompilation) are used to medium scale (e.g., 1:50,000 and 1:25,000). This method generates three dimension model using Orthorectified Radar Image (ORRI) or optical image data with stereomate formed from ORRI and Digital Surface Model (DSM) data. That three dimensional model then used for plotting in three dimensions, so it produces topographic features that have elevation values from specific datum. This paper discusses about stereocompilation and topographic information extraction at scale 1:25,000 using TerraSAR-X and SPOT-6. Data extraction will then be managed with database scheme in Central for Topographic Mapping and Toponym, Geospatial Information Agency.
Keywords: stereocompilation, stereoplotting, topographic features, scale 1:25,000, TerraSAR-X, SPOT-6 image
1. PENDAHULUAN
Peta dasar sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 Undang-undang No. 4 Tahun 2011 terdiri atas garis pantai, hipsografi, perairan, nama rupabumi, batas wilayah, transportasi dan utilitas, bangunan dan fasilitas umum, dan penutup lahan. Selain nama rupabumi dan batas wilayah yang didapatkan saat survei lapangan, untuk pemetaan tiga dimensi fitur-fitur tersebut dihasilkan melalui tahapan stereoplotting. Sumber datanya adalah dapat berupa citra radar maupun optis. Data radar utamanya digunakan untuk ekstraksi unsur hipsografi, seperti masspoint, garis punggung bukit, atau sungai, sedangkan citra optis digunakan untuk membantu ekstraksi unsur planimetris seperti jalan dan bangunan serta interpretasi penutup lahan. Keuntungan menggunakan stereoplotting interaktif adalah diperoleh data 3D dengan akurasi tinggi serta objek-objek yang diinginkan (Pranadita dan Harintaka, 2013).
Proses stereokompilasi diawali dari pembentukan model 3D yang digunakan untuk proses stereoplotting. Data dasar yang digunakan berbeda untuk masing-masing level skala, di mana peta RBI skala besar menggunakan foto udara, sedangkan peta RBI skala menengah menggunakan data radar (Synthetic Aperture
Radar/SAR). Salah satu data radar yang dapat digunakan untuk pemetaan RBI adalah TerraSAR-X, yang
-248-
karena tidak terpengaruh dengan kondisi awan saat akuisisi. Meski demikian, secara visual data radar tidak dapat digunakan untuk interpretasi penutup lahan atau ekstraksi unsur planimetris (seperti jalan dan bangunan) secara mendetail, sehingga perlu digunakan citra optis untuk membantu keperluan tersebut. Peta RBI skala 1:25.000 dapat menggunakan citra SPOT-6 untuk ekstraksi unsur planimetris dan interpretasi penutup lahan.
Tulisan ini membahas metode stereokompilasi unsur rupabumi skala 1:25.000 menggunakan data TerraSAR-X dan citra SPOT-6. Pembahasan lebih spesifik kepada konsep data radar untuk ekstraksi unsur rupabumi, mulai dari akuisisi data, pembentukan model 3D, hingga teknis penarikan unsur pada tahap
stereoplotting berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Pemetaan Rupabumi Skala 1:25.000 Tahapan
Stereokompilasi Tahun 2016.
2. METODE
1. Akuisisi data radar
Tahap ini menjelaskan bagaimana data radar diakuisisi sehingga siap digunakan untuk pemetaan. Akuisisi tidak dilakukan langsung oleh BIG, sehingga penjelasan mengenai tahap ini sifatnya hanya sebatas konsep.
2. Pembentukan model 3D
Tahap ini menjelaskan konsep pembentukan model 3D menggunakan data radar untuk pada akhirnya digunakan dalam proses stereokompilasi.
3. Stereokompilasi
Stereokompilasi dijelaskan dengan mengacu pada skema basisdata rupabumi tahun 2016. Pedoman yang digunakan adalah Petunjuk Pelaksanaan Pemetaan Rupabumi Skala 1:25.000 Tahapan Stereokompilasi Tahun 2016.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Akuisisi data radar
Prinsip dasar akuisisi data radar adalah transmisi gelombang elektromagnetik secara side-looking dari wahana (satelit/pesawat) untuk kemudian dipantulkan oleh objek dan diterima oleh receiver sehingga didapatkan informasi mengenai posisi, daya pantulan objek, atau informasi lainnya (Hupton, 2009). Data tersebut kemudian diproses hingga didapatkan citra 2D dengan resolusi dan akurasi tinggi.
Gambar 1. Geometri SAR (Hupton, 2009)
Satelit TerraSAR-X pertama kali diluncurkan pada tanggal 15 Juni 2007 di Baikonur, Kazakhstan menggunakan wahana peluncur Dnepr-1 milik Rusia/Ukraina sebagai misi lanjutan dari radar X-SAR dan
Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) yang dilakukan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan Italian Space Agency (ASI) pada tahun 1994 dan 2000. Tujuan utamanya adalah
untuk menyediakan data X-band SAR untuk kepentingan ilmiah (seperti hidrologi, klimatologi, oseanografi, monitoring lingkungan, monitoring bencana, hingga kartografi) dan mendirikan pasar Earth Observation (EO) komersial di Eropa (Werninghaus & Buckreuss, 2012).
TerraSAR-X dapat dioperasikan dalam mode spotlight, stripmap, dan scanSAR. Ketiga mode tersebut berpengaruh terhadap cakupan area dan resolusi spasial dari data yang dihasilkan. Airbus Defence and Space(2014) menjelaskan ketiga mode tersebut sebagai berikut:
-249-
Mode spotlight dapat dibagi menjadi tiga tipe: SpotLight (SL), High Resolution SpotLight (HS), dan
Staring SpotLight (ST). SpotLight memiliki cakupan area 10 km x 10 km (lebar x panjang), High Resolution SpotLight 5-10 km x 5 km (lebar x panjang), sedangkan Staring SpotLight tergantung
pada incident angle, di mana makin besar incident angle makin proporsional geometri cakupan area yang didapatkan (misalnya dengan incident angle 20° cakupan areanya/lebar x panjang adalah 7,5 km x 2,5 km, sedangkan jika incident angle-nya 60° maka cakupan areanya menjadi 4 km x 3,7 km). Secara resolusi spasial ketiga tipe tersebut juga memberikan hasil yang berbeda, dimana Staring
SpotLight menghasilkan resolusi 0,25 m, High Resolution SpotLight 1 m, dan SpotLight 2 m.
- Stripmap
Resolusi spasial yang didapatkan menggunakan model stripmap adalah 3 m, dengan cakupan area mencapai 30 km x 50 km (lebar x panjang). Mode ini digunakan oleh ERS-1 dan beberapa satelit radar lainnya.
- ScanSAR
Sama seperti spotlight, mode scanSAR juga dapat dibagi menjadi beberapa tipe: ScanSAR (SC) dan
Wide ScanSAR (WS). ScanSAR memiliki cakupan area 100 km, dengan resolusi spasial mencapai
18,5 m. Wide ScanSAR memiliki cakupan area 270 km dengan resolusi spasial 40 m.
Gambar 2. Mode akuisisi TerraSAR-X (Airbus Defence and Space, 2014)
Konsep pembentukan DEM menggunakan data SAR adalah menggunakan dua image pada cakupan area yang sama namun diakuisisi dengan sudut perekaman yang berbeda. Secara umum, pembentukan DEM menggunakan data SAR harus melalui beberapa proses, yaitu registrasi image, filtering dan kalkulasi interferogram, phase unwrapping, dan transformasi phase-to-height (Crosetto, 2002).
Gambar 3. Pembentukan DEM menggunakan data SAR (INTERMAP, 2009)
Pembentukan DSM TerraSAR-X dapat dilakukan menggunakan dua metode, yaitu interferometry dan radargrammetry. Interferometry menggunakan perbedaan fase dari dua image dengan geometri yang sama, dengan repeat pass selama 11 hari atau single pass secara simultan, sedangkan radargrammetry
-250-
menggunakan dua image dengan perbedaan geometri akuisisi atau merupakan rekonstruksi 3D (Meyer, 2011). SAR interferometry lebih akurat dibandingkan radargrammetry, namun radargrammetry mengatasi kelemahan dari interferometry terkait diskoneksi temporal akibat dari repeat pass selama 11 hari (Kiefl, Koppe, & Hennig, 2010). Terkait data untuk pemetaan RBI, DSM yang digunakan terdiri dari dua metode tersebut.
Gambar 4. Metode pembentukan DSM pada TerraSAR-X: (a) Radargrammetry, (b) Interferometry (Meyer, 2011).
3.2 Pembentukan model 3D
Data ORRI dan DSM tersebut kemudian dibentuk stereomate yang akan digunakan sebagai pasangan
image dari ORRI untuk membentuk model 3D. Prinsipnya berkebalikan dengan metode fotogrammetri. Jika
dalam fotogrammetri diukur paralaks antara dua foto yang kemudian dikonversi menjadi informasi ketinggian, maka pembentukan model 3D dari data radar adalah dengan mendapatkan paralaks dari ketinggian pada DSM untuk ditambahkan ke ORRI untuk menghasilkan stereomate. Stereomate tersebut akan menjadi pasangan dari citra ORRI yang diolah pada workstation stereo fotogrammetri untuk membentuk model 3D (Mulyana, 2007).
Gambar 5. (a) Data ORRI, (b) Data DSM
Selain membentuk model 3D antara ORRI dan stereomate, dibentuk pula model 3D antara citra SPOT-6 dengan stereomate. Model 3D tersebut digunakan untuk melakukan plotting unsur-unsur planimetris serta penutup lahan, sehingga secara teknis model dari radar dan citra digunakan secara bergantian untuk saling melengkapi. Ketelitian geometrik di sini harus diperhatikan, karena dapat berpengaruh terhadap ketelitian topografi yang dihasilkan dari model 3D yang bersumber dari citra optis, sehingga citra SPOT-6 harus terlebih dahulu diregistrasikan ke ORRI. Metodenya dapat berupa image to image dengan mengacu pada titik-titik ikat yang terlihat jelas di kedua citra (misal persimpangan jalan atau pojok bangunan) dan terdistribusi merata dalam 1 Nomor Lembar Peta (NLP) citra.
-251-
3.3 Streokompilasi
Setelah model 3D terbentuk, stereoplotting dilakukan pada unsur alam terlebih dahulu seperti perairan, garis punggung bukit (breakline), dan masspoint, kemudian dilanjutkan pada unsur buatan seperti jaringan transportasi dan bangunan. Terakhir, unsur penutup lahan juga dilakukan stereoplotting dengan referensi citra optis (Aprilana, 2010).
Proses stereokompilasi mengacu pada fitur-fitur yang perlu diekstrak berdasarkan skema basisdata rupabumi. Fitur-fitur tersebut tertuang dalam Daftar Kode Unsur Rupabumi yang dikeluarkan oleh Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim BIG. Tahap stereokompilasi dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Perairan
Plotting unsur perairan diawali dari segmen terluar dari pulau yang dipetakan, yaitu garis pantai. Seperti
halnya sungai, garis pantai juga mengacu pada data ORRI, yang berarti garis pantai yang di-plotting tersebut adalah muka laut berdasarkan kenampakan di citra. Garis pantai tersebut merupakan muka laut sesaat karena bersumber dari citra, bukan muka laut rata-rata yang bersumber dari pengukuran pasang surut air laut.
Setelah garis pantai selesai di-plotting, selanjutnya dapat dilakukan plotting unsur sungai. Plotting sungai diawali dari segmen sungai yang bermuara ke pantai. Plotting sungai dilakukan dari hulu ke muara, agar tidak terjadi kesalahan posisi saat membentuk titik gasetir hulu dan muara sungai. Hasil akhir basisdata perairan (setelah ditambahkan dengan hasil survei lapangan) adalah sungai yang dapat diidentifikasi orde sungainya, sehingga sejak stereoplotting sudah dapat dilakukan pemilihan level sungai untuk mengidentifikasi hirarki dari segmen sungai pada sebuah jaringan (Sen dan Gokgoz, 2012). Hal tersebut juga untuk mengantisipasi sungai yang menggantung jika data tersebut dilakukan generalisasi (Susetyo, Nuraeni, dan Perdana, 2016).
Terkait geometri, yang perlu diperhatikan adalah lebar dari sebuah segmen sungai. Lebar sungai minimal yang ditetapkan untuk di-plotting menjadi sungai dua garis adalah 0,5 mm atau 12,5 m pada skala 1:25.000. Angka 0,5 mm merujuk pada ketelitian horizontal terendah yang dapat ditoleransi berdasarkan Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial No. 15 Tahun 2014 tentang Ketelitian Peta Dasar. Sungai dengan lebar lebih dari 12,5 m di-plotting sebagai sungai dua garis, dengan garis tepi sungai dan garis tengah sungai disimpan dalam kode unsur yang berbeda. Sungai dua garis lebih diprioritaskan untuk
di-plotting setelah garis pantai. Setelah sungai dua garis selesai di-di-plotting, selanjutnya adalah sungai satu
garis (sungai dengan lebar kurang dari 12,5 m), alur sungai, kanal, dan terakhir saluran irigasi/drainase. Ketinggian unsur perairan yang di-plotting mengacu pada nilai muka air unsur tersebut. Misalkan, ketika melakukan plotting pada sungai dua garis, maka ketinggian garis tepi sungai adalah ketinggian muka air pada perbatasan sungai dan daratan. Hal itu menyebabkan nilai elevasi vertex di kanan dan kiri sungai seharusnya relatif sama. Begitu pula pada danau atau rawa, karena nilai elevasi muka air sama, maka nilai elevasi vertex di garis pembentuk danau atau rawa juga harus sama.
b. Hipsografi
Plotting unsur hipsografi dimulai dari breakline. Breakline digunakan sebagai batas saat terjadi
perubahan ketinggian yang ekstrem, seperti garis tepi galian/timbunan, garis lembah, garis patahan tebing, dan garis punggung bukit. Plotting unsur breakline utamanya dilakukan pada daerah bergunung atau berbukit untuk menampilkan relief topografi pada daerah tersebut, meskipun tidak menutup kemungkinan breakline diperlukan pada daerah yang datar.
Setelah breakline selesai di-plotting, selanjutnya dilakukan plotting terhadap unsur masspoint. Masspoint adalah titik-titik DEM yang menggambarkan topografi secara umum, sehingga plotting masspoint akan sangat menentukan kualitas DTM yang dihasilkan. Plotting masspoint dilakukan secara random,dengan kerapatan bergantung pada detail objeknya. Jika topografi objek yang di-plotting bergunung atau berbukit, maka masspoint di-plotting secara rapat (hingga kerapatan 10 m), sedangkan jika topografinya datar, maka masspoint di-plotting dapat secara jarang (hingga kerapatan 100 m).
Plotting masspoint harus memperhatikan garis-garis yang membatasinya, yaitu sungai dan breakline. Masspoint tidak boleh terlalu dekat dengan sungai dan breakline agar DTM yang dihasilkan menjadi
logis. Masspoint juga tidak boleh berada di dalam perairan. Selain itu, nilai elevasi juga harus diperhatikan, dimana masspoint tidak boleh lebih rendah daripada sungai dan tidak boleh lebih tinggi daripada breakline.
Unsur hipsografi, baik masspoint maupun breakline di-plotting di atas tanah (bare earth). Jika plotting dilakukan di atas wilayah yang tertutup vegetasi atau bangunan, maka ketinggian tanah mengacu pada area terbuka di sekitarnya, untuk kemudian diturunkan terhadap permukaan vegetasi atau bangunan di wilayah tersebut.
-252-
c. Transportasi dan utilitas
Prinsip plotting unsur jalan hampir sama dengan plotting unsur sungai. Plotting unsur jalan dimulai dari kelas jalan yang diidentifikasi sebagai kelas jalan yang tertinggi, sehingga jalan yang di-plotting terlebih dahulu adalah jalan arteri, kemudian jalan kolektor, jalan lokal, jalan lain, dan terakhir jalan setapak. Aturan secara geometri juga sama antara jalan dengan sungai, yaitu jalan dengan lebar lebih dari 12,5 m di-plotting sebagai jalan dua garis, dengan garis tepi jalan di-plotting terlebih dahulu, baru kemudian
centerline jalan.
Selain jalan, unsur-unsur transportasi lain seperti landas pacu, air strip, dermaga, atau jembatan juga
di-plotting berdasarkan kenampakan pada model. Aturan geometrinya sama seperti jalan, dengan mengacu
pada angka 0,5 mm. Jika geometri unsur-unsur tersebut segmennya lebih dari 12,5 m x 12,5 m maka
di-plotting sebagai garis, sedangkan jika kurang dari 12,5 m x 12,5 m maka di-di-plotting sebagai titik.
Unsur utilitas yang terlihat di model juga harus dilakukan plotting. Unsur utilitas tersebut adalah unsur yang membentuk jaringan instalasi, seperti jaringan kabel transmisi listrik, tiang listrik, jaringan kabel telepon, menara telepon, atau saluran air hujan. Unsur utilitas yang berupa bangunan tempat jaringan utilitas tersebut dikelola, seperti kantor PLN, kantor PAM, atau kantor POS dan objek-objek yang tidak terlihat di atas tanah seperti jaringan kabel transmisi listrik bawah tanahdan jaringan kabel telepon bawah tanah ditambahkan dari hasil survei lapangan.
d. Bangunan dan fasilitas umum
Unsur bangunan dan fasilitas umum juga menggunakan acuan 12,5 m x 12,5 m untuk menentukan geometri unsur tersebut menjadi garis atau titik. Bangunan dengan geometri lebih dari 12,5 m x 12,5 m di-plotting menggunakan garis tepi bangunan, sedangkan bangunan yang geometrinya kurang dari luasan tersebut kode unsurnya menyesuaikan fungsi bangunan tersebut yang didapatkan dari hasil survei lapangan.
Selain di-plotting secara individual, bangunan dan fasilitas umum pada peta RBI skala 1:25.000 juga dapat di-plotting sebagai blok permukiman.Sesuai dengan SNI 7645:2010 tentang Klasifikasi Penutup Lahan, permukiman didefinisikan sebagai areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan. Sekumpulan objek bangunan yang terkumpul menjadi satu dan memiliki pola tertentu dapat di-plotting sebagai permukiman.
e. Vegetasi dan lahan terbuka
Poligon penutup lahan dalam basisdata RBI dihasilkan dari garis penutup lahan, perairan, dan transportasi. Garis penutup lahan di-plotting menggunakan garis batas area vegetasi dan lahan terbuka, yaitu garis untuk membatasi kenampakan penutup lahan berbeda yang tidak dibatasi oleh fitur sungai maupun jalan.
Gambar 6. Contoh hasil stereokompilasi berdasarkan kenampakan di citra
Hasil stereoplotting berbentuk titik dan garis. Unsur garis dari masing-masing unsur selanjutnya dibentuk poligon. Poligon perairan dibentuk dari garis perairan, poligon transportasi dibentuk dari garis transportasi, poligon bangunan dibentuk dari garis bangunan, dan poligon penutup lahan dibentuk dari garis penutup lahan, sungai, dan jalan. Sebelum dibentuk poligon, terlebih dahulu harus dibuat titik label yang merepresentasikan masing-masing penutup lahan. Titik label tersebut nantinya digunakan untuk mengisi
-253-
atribut pada poligon yang terbentuk, sekaligus dapat digunakan sebagai petunjuk dalam peta manuskrip yang dibawa saat survei lapangan.
4. KESIMPULAN
Pemetaan rupabumi skala 1:25.000 diawali dari akuisisi data radar, pembentukan model 3D, dan stereokompilasi. Prinsip dasar akuisisi data radar adalah transmisi gelombang elektromagnetik secara
side-looking dari wahana (satelit/pesawat) untuk kemudian dipantulkan oleh objek dan diterima oleh receiver
sehingga didapatkan informasi mengenai posisi, daya pantulan objek, atau informasi lainnya (Hupton, 2009). Data tersebut kemudian diproses hingga didapatkan citra 2D dengan resolusi dan akurasi tinggi.
Data radar dalam bentuk ORRI dan DSM tersebut kemudian dibentuk model 3D. Prinsipnya adalah membentuk stereomate yang akan digunakan sebagai pasangan image dari ORRI. Model 3D tersebut kemudian digunakan untuk melakukan stereoplotting, dengan dilakukan pada unsur alam terlebih dahulu seperti perairan, garis punggung bukit (breakline), dan masspoint, kemudian dilanjutkan pada unsur buatan seperti jaringan transportasi dan bangunan. Terakhir, unsur penutup lahan juga dilakukan stereoplotting dengan referensi citra optis (Aprilana, 2010).
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, Badan Informasi Geospasial, khususnya kepada Kepala Bidang dan Tim RBI Skala Kecil dan Menengah (SKM) yang telah membantu penulis dalam mendapatkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penyusunan makalah ini, baik ide, data, dokumen, dan pembelajaran yang membuat penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi dan dokumentasi ilmiah dari kegiatan yang sudah dilaksanakan di PPRT untuk digunakan dalam melakukan pengembangan metode ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Airbus Defence and Space. (2014). TerraSAR-X Image Product Guide: Basic and Enhanced Radar Satellite Imagery. Aprilana. (2010). Proses Stereoplotting Data IFSAR untuk Memutakhirkan Peta RBI Skala 1 : 25.000 Daerah
Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Rekayasa, XIV(4):202–215.
Badan Informasi Geospasial. (2014). Peraturan Kepala BIG No. 15 Tahun 2014 Tentang Ketelitian Peta Dasar. Cibinong.
Badan Informasi Geospasial. (2016). Petunjuk Pelaksanaan Pemetaan Rupabumi Skala 1:25.000 Tahapan Stereokompilasi. Cibinong. Diunduh dari http://tx.technion.ac.il/~dalyot/docs/Intro-DTM.pdf
Badan Standardisasi Nasional. (2010). SNI 7645:2010 tentang Klasifikasi Penutup Lahan. Jakarta.
Crosetto, M. (2002). Calibration and Validation of SAR Interferometry for DEM Generation. ISPRS Journal of
Photogrammetry and Remote Sensing, (DECEMBER 2002). http://doi.org/10.1016/S0924-2716(02)00107-7
Hupton, J.R. (2009). Three-Dimensional Target Modeling with Synthetic Aperture Radar. California Polytechnic State University.
INTERMAP. (2009). Interferometric Synthetic Aperture Radar. Venezia.
Kiefl, N., Koppe, W., dan Hennig, S.D. (2010). Terrasar-X Stereo Digital Elevation Models for Complex Terrain
Conditions in Alpine Regions and Its Suitability for Orthorectification Purposes of Optical and Sar Imagery. In ISPRS TC VII Symposium (Vol. XXXVIII, pp. 333–336). Vienna, Austria.
Meyer, N. (2011). DEM products from TerraSAR-X & TanDEM-X.
Mulyana, A.K. (2007). Analisis Tekstur Citra IFSAR untuk Ekstraksi Fitur Rupabumi. In Ekstraksi Unsur Rupabumi
dan Studi Deformasi dari Citra Radar dan ASTER (pp. 1–12). Cibinong: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional (BAKOSURTANAL).
Pranadita, S., dan Harintaka. (2013). Pembuatan Model Elevasi Digital dari Stereoplotting Interaktif Foto Udara Format Sedang dengan Kamera Digicam. Jurnal Ilmiah Geomatika, 19(2):101–105.
Republik Indonesia. (2011). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial. Jakarta.
Sen, A., dan Gokgoz, T. (2012). Clustering Approaches for Hydrographic Generalization. In GIS Ostrava. Ostrava. Susetyo, D.B., Nuraeni, D., dan Perdana, A.P. (2016). Aturan Topologi untuk Unsur Perairan dalam Skema Basis data
Spasial Rupabumi Indonesia. In SEMINAR NASIONAL II Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Werninghaus, R., dan Buckreuss, S. (2012). The TerraSAR-X Mission and System Design. IEEE Transactions on
Geoscience and Remote Sensing, 60(5):1–4.