• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN HAK INISIATIF DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH T E S I S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PELAKSANAAN HAK INISIATIF DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH T E S I S"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

i PELAKSANAAN HAK INISIATIF

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH

(Studi Tentang Hak inisiatif DPRD Kabupaten Lembata-Provinsi NTT Dalam Pembentukan Perda Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan )

T E S I S

Oleh:

JUPRIANS LAMABLAWA

Nomor Mhs : 11912676

BKU : HTN/HAN

Program Studi : Ilmu Hukum

PROGRAM MAGISTER (S2) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2013

(2)
(3)
(4)

iv

M O T T O

...Senyum itu

Inspirasi...

Perjuangan luar biasa...,

akan mengantarkan seseorang

menjadi orang luar biasa...!!!

Dengan kerja keras...

Yakinlah hari esok akan lebih baik

dari hari ini...!!!

(5)

v

PERSEMBAHAN:

Tesis ini penulis persembahkan

dengan tulus, iklas, dengan hati yang suci kepada:

Kedua orang tua penulis,

Ema Etta Raya Atawatun dan Bapa Marsel Lamabelawa

yang selalu mendoakan dan memberikan yang terbaik buat anak-anak Nya.

(Ina, Ama budi mion Goe balas jadi hala).

.

Keluarga besar

Lembata-Ile Ape-Lewo Ulun Tobi Wutung

.

Lewo sorong Go lodo Pana...

Pana Kai Seba Buku Biliken Teratu Pena Matan Pulu Pito... Tanah tapin Balik, Go gawe balik,....

Balik Kaan Gelekat Lewo, Gewayan Tanah... “Kaan soga Lewotanah naranen”.

Ditempat terakhir; for you sedon goen Maria Petronela Tulin Atawolo, S.STP. Yang selalu memberikan motifasi dan Do’a yang tak ternilai harganya.

(6)

vi PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis dengan judul:

PELAKSANAAN HAK INISIATIF

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH

(Studi Tentang Hak inisiatif DPRD Kabupaten Lembata-Provinsi NTT Dalam Pembentukan Perda Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan )

Adalah benar-benar karya dari penulis, kecuali bagian-bagian tertentu yang telah diberi keterangan pengutipan sebagaimana etika akademis yang berlaku. Jika terbukti bahwa karya ini bukan karya penulis sendiri, maka penulis siap untuk menerima sanksi sebagaimana yang telah ditentukan oleh

Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Yogyakarta, Januari 2013 Penulis,

(7)

vii KATA PENGANTAR

Syukur yang tak ternilai harganya, penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Lera Wulan Tanah Ekan, atas segala rahmat, nikmat dan lindungan-Nya sehingga penulisan tesis sebagai tugas akhir dalam rangka menyelesaikan studi Magister Ilmu Hukum di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dapat terselesaikan sebagaimana mestinya. Penulisan tesis ini membahas tentang

Pelaksanaan Hak Inisiatif DPRD Dalam Rangka Otonomi Daerah, (Studi Tentang

Hak Inisiatif DPRD Kabupaten Lembata-Provinsi NTT Dalam Pembentukan Perda Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan ).

Berkenaan dengan tulisan yang amat jauh dari kesempurnaan ini, penulis sangat menyadari bahwa selesainya tesis dan studi ini adalah semata-mata rahmat, karunia dari Tuhan Yang Maha Kuasa, Lera Wulan Tanah Ekan, yang amat penulis syukuri. Penulis merasa berhutang budi dan sudah seharusnya pada kesempatan ini perkenankanlahh penulis menghaturkan banyak ucapan terima kasih kepada semua pihak:

1. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Yang terhormmat Rektor Universitas Islam Indonesia, Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Ibu Dr. Hj. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum, beserta Seluruh pengajar Program Pascasarjana (S2) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta diantaranya: Prof. Bagir Manan, Prof. Mahfud M.D, Prof. Saldi Isra, Prof. Hikmahanto Juwana, Prof. Jawahir, Dr. SF Marbun, Dr. Busro Muquodas, Dr. Suparman Marzuki, Dr. Muzakir, Pak Zairin Harahap, dan masi banyak lagi yang tidak dapat penulis sebutkan dalam ruang yang sangat terbatas ini. Sudah barang tentu penulis telah dibantu dalam mendalami Ilmu Hukun. Pada tempat yang pertama inipula penulis mengucapkan terima kasih kepada staf sekretariat dan staf perpustakaan Pascasarjana Universitas Islam

(8)

viii Indonesia Yogyakarta yang telah banyak membantu penulis dalam hal administrasi, untuk kelancaran studi penulis selama mendalami ilmu hukum di almamater tercinta.

2. Tak ada kata yang patut diucapkan kecuali ucapkan terimakasih yang amat besar penulis sampaikan kepada Bapak Dr. H. Saifudin, S.H., M.Hum, dan Ibu Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing penulis, dimana ditengah ksibukan, beliaw berdua secara tulus dan iklas meluangkan waktu untuk selalu berbagi wawasan, motifasi, bimbingan, dorongan dan saran-saran yang bersifat membangun dengan penuh kesabaran kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas jasa dan kebaikan beliaw berdua.

3. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Lembaga DPRD dan Pemerintah Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur, khususnya Bapak Drs. Petrus Toda Atawolo, MSI. Selaku SEKDA Kabupaten Lembata. Abang Antonius Loli Ruing selaku ketua Balegda Kabupaten Lembata yang telah bersedia diwawancarai penulis, hal ini sangat membantu penulis dalam proses penelitian, pengumpulan bahan hukum yang kemudian digunakan penulis dalam kepentingan penulisan tugas akhir ini.

4. Ucapan terimakasi penulis sampaikan kepada segenap sahabat seperjuangan semasa di bangku kuliah: Aditia Syaprilah, Budi Wandani, Nur Akbar Mamase, Abdul Kadir Bubu, Bayu Purnama, Muhamad Arif Setiawan, Eka Budianta, Riza Multazam, Ardhi Adhi Wibowo, Lutfi Ansori, Muhamad Jufri Salaman, Adiatma Abdullah, Andika Maulana, Budi Wandani, Akhmad Shofwan Annaziri, Indra Waskito Ajie, Nita Widyatuti, Rio Ramabaskara, Muhamad Fajar, Yudi Akhirudin, Oktiva Hadiasih, Neni Suherlis, Hafid Aditiawan, Muhamat Ayub, Muhamad Nassir , dan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu dalam ruang yang terbatas ini, Semoga mimpi besar kita masing-masing dapat tercapai, dan semoga kekompakan kita terus terjaga sampai kapanpun. Amin...

5. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Inisiator Forum Komunikasi Pemuda Mahasiswa Lamaholot Yogyakarta yang selalu memberikan motifasi

(9)

ix ketika penulis mengalami masa-masa sulit dalam proses penulisan tesis: Bung Vinsen Mangu Ike, Bung Ivan Wuran, Bung Videlis Open, Bung Ibnu Khaldum, semoga mimpi mempersatukan Pemuda Mahasiswa Lamaholot di Bumi Mataram Hadiningrat segera tercapai. Untuk adik-adik Ku yang selalu menemani penulis sewaktu menyelesaikan Tesis di Yogyakarta: Vinsen Domaking, Eko Riang Hepat, Pedro Lerek, Agus Kai, Goran Lamataro, Ikram Loli, Abba Kamal, Gaspar Apelabi, dan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu dalam ruang terbatas ini.

6. Ditempat berikutnya penulis ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada segenap orang tua Lewulun di kampung halaman penulis yang telah mendoakan, memberikan dorongan, petuah dan motifasi yang tak ternilai harganya selama penulis menyelesaikan penulisan tesis ini. Buat adik-adik Ku tercinta: Nona Tien, Ina Age, Ama Raya, Amriet, Asno kalian berempat motifator abang.

7. Terimakasih buat sahabat-ku Yanno Atawolo dan Martin Atahekur, yang telah membantu penulis dalam mengumpulakan bahan hukum demi kepentingan Tesis ini.

Ditempat terakhir, buat kuda hitam-Ku Astrea Grend ”AB 5827 DU” walau kelihatan reot namun dikau kaya akan nilai histori perjuangan.

Akhirnya, penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada mereka dan teman-teman penulis yang tidak dapat penulis goreskan pada lembaran yang terbatas ini. Mohon maaf juga penulis sampaikan kepada semua pihak jika ada salah dan kilaf baik sengaja maupun tidak sengaja selama penulis menyelesaikan studi di Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritikan serta masukan yang membangun demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat buat kampung halaman penulis Kabupaten Lembata dan perkembangan Ilmu Hukum di Negeri tercinta, Amin...

Yogyakarta, Januari 2013 Penulis

(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN ORISINALITAS ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

ABSTRAK ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Kerangka Teori ... 12

1. Teori Lembaga Perwakilan ... 12

2. Teori Perundang-undangan ... 15

3. Teori Otonomi Daerah ... 21

F. Metode Penelitian ... 25

G. Sistematika Penulisan ... 27

BAB II OTONOMI DAERAH DAN PERANAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM PEMBANGUNAN LEGISLASI DAERAH ... 30

A. Otonomi Daerah ... 30

B. Hubungan Eksekutif dan Legislatif di Daerah ... 38

C. Dewan Perwakil Rakyat Di Daerah Dalam Urusan legislasi Daerah ... 45

(11)

xi BAB III PEMBENTUKAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN DI TINGKAT DAERAH ... 56

A. Proses Pembentukan Peraturan Daerah ... 56

B. Urgensi Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Produk Legislasi Daerah ... 67

C. Kemanfaatan Perda Terhadap Keberlangsungan Pembangunan di Daerah ... 75

BAB IV PELAKSANAAN HAK INISIATIF DPRD DALAM RANGKA OTONBOMI DAERAH (Studi Tentang Hak Inisiatif DPRD Kabupaten Lembata-Provinsi NTT Dalam Pembentukan Perda Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan ) ... 86

A. Deskripsi, Profil dan Susunan Lembaga DPRD Kabupaten Lembata ... 86

B. Hakikat Hak Usul Inisiatif DPRD Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah ... 98

C. Pelaksanan Hak Inisiatif DPRD Kabupaten Lembata Dalam Melahirkan Perda Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan ... 103

D. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Hak Inisiatif DPRD Kabupaten Lembata ... 110

1. Faktor Pendukung ... 107

2. Faktor Penghambat ... 108

E. Upaya Yang Dilakukan DPRD Kabupaten Lembata Guna Mengatasi Faktor-faktor Penghambat Dalam Menggunakan Hak Inisiatif ... 114

BAB V PENUTUP ... 116

A. Simpulan ... 116

B. Saran ... 117 DAFTAR PUSTAKA

(12)

xii DAFTAR TABEL

Tabel 1: Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Kabupaten Lembata Periode 2009-2014, Fraksi Golkar ... 96 Tabel 2: Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Kabupaten Lembata Periode 2009-2014, Fraksi Gabungan Peduli Keadilan ... 97 Tabel 3: Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Kabupaten Lembata Periode 2009-2014, Fraksi Demokrasi

Perjuangan ... 97 Tabel 4: Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Kabupaten Lembata Periode 2009-2014, Fraksi Gabungan

(13)

xiii PELAKSANAAN HAK INISIATIF

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH

(Studi Tentang Hak inisiatif DPRD Kabupaten Lembata-Provinsi NTT Dalam Pembentukan Perda Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan ).

Oleh: Juprians Lamablawa1.

ABSTRAK

Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, DPRD diberikan hak inisiatif untuk melahirkan Perda dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah. Penulis tertarik melakukan penelitian di DPRD kabupaten Lembata terkait Pelaksanaan Hak inisiatif DPRD dalam memproduk hukum di Daerah, dan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah Pertama: Apa hakekat hak inisiatif DPRD dalam penyelenggaraan otonomi daerah?, Kedua: Faktor apa yang mendorong dan menghambat DPRD Kabupaten Lembata menggunakan hak inisiatifnya dalam membentuk Perda Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan?, Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori Lembaga Perwakilan,teori Perundang-undangan dan teori Otonomi Daerah, jenis penelitian yang digunakan penelitian lapangan dan penelitian pustaka,kemudian analisis data yang digunakan adalah dengan metode analisis kualitatif. Dalam penelitian ini diketahui bahwa baru ada satu Perda yang dihasilkan DPRD Kabupaten Lembata melalui usul inisiatif DPRD, yaitu Perda Nomor 3 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, berbagai kendala yang dihadapai DPRD Kabupaten Lembata dalam menghasilkan Perda inisiatif, diantaranya minimnya referensi anggota DPRD terkait persoalan yang dialami masyarakat dikarenakan DPRD lebih sering berkantor ketimbang turun dan melakukan penjaringan aspirasi ditengah-tengah masyarakat, faktor lain adalah sumber daya manusia dan/atau pemahaman legal drafting yang minim oleh sebagian besar anggota DPRD Kabupaten Lembata. Dengan demikian, lembaga DPRD Kabupaten Lembata perlu mengadakan pelatihan legal drafting agar kelak mampu memanfaatkan hak usul inisiatif-Nya dengan seoptimal mungkin, dalam rangka memperjuangkan aspirasi rakyat di darah kabupeten Lembata melalu garis politik. Pendidikan politik, peningkatan kualitas kader ditingkatan PARPOL perlu dioptimalisasikan sebelum kader PARPOL ditugaskan menjadi pejuang aspirasi masyarakat diparlemen.

Kata Kunci : Hak Inisiatif DPRD, Fungsi Legislasi dan Otonomi Daerah.

1 Mahasiswa Program Pascasarjana (S2) Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

(14)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Sudah enam puluh tahun lebih bangsa Indonesia bernegara hukum, tetapi sesudah negara itu berdiri pada tahun 1945, ternyata masibanyak hal

yang perlu diperjelas dan dimantapkan 1 diantaranya hubungan antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Hubungan pusat dan daerah mencakup isu yang sangat luas, biasa terkait dengan isu nasionalisme dan nation building, bisa pula dengan isu demokrasi nasional dan demokrasi lokal, dan karena itu terkait dengan isu negara dan masyarakat. Hubungan pusat daerah merupakan sesuatu yg banyak diperbincangkan, karena masalah tersebut dalam perakteknya sering menimbulkan upaya tarik menarik kepentingan (spanning of interest) antara kedua satuan pemerintahan. Terlebih dalam negara kesatuan, upaya pemerintahan pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan

pemerintahan sangat jelas2.

Desentralisasi dan otonomi daerah adalah dua istilah penting yang selalu diperbincangkan pasca reformasi. Dua bidang tersebut (desentralisasi dan otonomi daerah) merupakan konsep yang berbeda namun saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Pelaksanan desentralisasi dan pemberian otonomi pada daerah dalam konteks Indonesia pasca reformasi

1

Satjipto Rahardjo. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. (cetakan kedua) Genta Publishing. Yogyakarta. 2009. hlm:107.

(15)

2 harus tetap dilihat dalam kerangka negara kesatuan repubulik Indonesia. Secara struktural bukan berarti daerah sama sekali terlepas dari pemerintah pusat, namun ada pembagian urusan dan kewenangan-kewenangan yang asalnya merupakan kewenangan pemerintah pusat, yang kemudian

dilimpahkan kepada daerah,3 dan disebut dengan otonomi daerah.

Otonomi daerah merupakan hal yang tidak asing lagi, tampaknya selalu menemukan aktualitas relevansinya. Dikatakan tidak asing lagi di kalangan masyarakat kita karena UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberikan landasan yuridis yang jelas tentang otonomi daerah. Seiring dengan ditetapkannya UUD 1945, sejak itu pengaturan tentang pemerintahan daerah dalam perundang-undangan sebagai perjalanan Pasal 18 UUD 1945, yang ramai diperdebatkan. Pasal 18 UUD 1945 tersebut menjadi prioritas di antara upaya penyusunan berbagai Undang-undang sebagai pelaksana UUD 1945. Hal ini tampak dari kehadiran undang-undang Nomor 1

Tahun 1945 yang mengatur tentang otonomi daerah4.

Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh sebelum terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi besar-besaran di tanah air. Namun perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih bersifat setengah-setengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gelombang tuntutan ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerah mengenai

3

R Siti Zuhro, Lilis Mulyani dan Fitria. Kisruh Peraturan Daerah: Mengurai Masalah

dan Solusinya. Ombak. Yogyakarta. 2010. hlm:10.

4Bambang Yudoyono. Otonomi Daerah (Desentralisasi dan pengembangan SDM

(16)

3 pola hubungan antara pusat dan daerah yang dirasakan tidak adil, maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mempercepat pelaksanaan kebijakan otonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan di atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal.

Setelah diberlakukannya otonomi daerah, sesuai dengan amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan agar terjadi keseimbangan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kepentingan dan aspirasi masyarakat tersebut harus dapat ditangkap oleh Pemerintah Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai representasi perwakilan rakyat dalam struktur kelembagan pemerintahan daerah yang menjalankan fungsi pemerintahan.

DPRD pada hakikatnya adalah organ Pemerintahan di tingkat lokal yang mengemban harapan rakyat untuk berperan sebagai representasi dan agen perumusan agenda kepentingan rakyat melalui proses perumusan kebijakan publik dan pengawasn terhadap Pemerintahan Daerah. Pengawasan memiliki arti penting dalam Pemerintahan Daerah, karena akan memberi umpan balik untuk perbaikan pengelolanan pembangunan, sehingga tidak keluar dari jalur dan tujuan yang telah ditetapkan.

Sementara bagi pelaksanaan agar aktivitas pengelolaan dapat mencapai tujuan dan sasaran secara efektif dan efisien. Salah satu fungsi dari badan

(17)

4 legislatif Daerah adalah melakukan kontrol publik terhadap pelaksanan aturan hukum dan undang-undang termasuk produk hukum Daerah (PERDA) serta berbagai kebijakan publik yang diimplementasikan oleh Pemerintah Daerah. Badan legislatif daerah diharapkan dapat menjalankan fungsi serta tugas wewenangnya dengan baik, wajar dan optimal. Legislatif Daerah dituntut

untuk memainkan peran penting dalam menerjemahkan dan

mengartikulasaikan kepentingan masyarakat Daerah. Sebagai legislatif daerah diharapkan tampil sebagai pilar utama masyarakat bagi upaya mendorong dan mengawal pelaksanan Otonomi Daerah sehingga dapat berproses dengan

wajar dan efektif berikut mampu mencapai hasil yang terbaik5. Salah satu

tugas DPRD adalah memperjuangkan peningkatan taraf hidup masyarakat, yang antara lain dapat dilakukan dengan memperjuangkan aspirasinya.

Dalam proses penyerapan aspirasi masyarakat oleh DPRD perlu ada mekanisme yang digunakan untuk menyerap aspirasi yang berasal dari rakyat di daerah. Rakyat merupakan partner Pemerintah dan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, Aspirasi masyarakan adalah hal yang sangat krusial untuk di dengar dan wajib dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah yang dalam hal ini adalah eksekutif dan legislatif sebagai referensi untuk mengeluarkan kebijakan atau pun program kerja yang digulirkan nantinya. DPRD diharapkan selalu turun ke masyarakat untuk

5

Sadu Wasistiono, Yonatan Wiyoso, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakya

(18)

5 mendengarkan, menyerap lalu memperjuangkan aspirasi yang dijaring dalam berbagai kesempatan.

Dalam penyelenggaraan Pemerintahan di daerah, Pemerintah daerah “eksekutif” menjalankan fungsi pemerintahan dan DPRD menjalankan fungsi

legislasi, fungsi penganggaran (budgeting) dan fungsi pengawasan6. Di

Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Optimalisasi peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi masyrakat dan fungsi legislasi di daerah diharapkan dapat dilaksanakan lebih baik dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Pasal 40 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka yang berfungsi sebagai badan eksekutif daerah adalah pemerintah daerah dan yang berfungsi sebagai badan legislatif daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Berdasarkan Pasal 77 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyebutkan bahwa DPRD Kabupaten/ Kota mempunyai

(19)

6 fungsi : Pertama, Fungsi Legislasi. Dua, Fungsi Anggaran.Ketiga, Fungsi Pengawasan.

Fungsi legislasi adalah; legislasi daerah yang merupakan fungsi DPRD Kabupaten/Kota untuk membentuk peraturan daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/ Walikota. Fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam beberapa waktu terakhir, mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan, Sorotan ini muncul karena ketidakmampuan mayoritas anggota dan kekuatan politik yang ada di DPRD menangkap aspirasi yang berkembang ditingkat publik. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, seharusnya suara yang berkembang di tingkat publik menjadi pertimbangan utama bagi DPRD dalam

merumuskan substansi Undang-undang7. atau di tingkat daerah berupa

peraturan daerah (PERDA).

Peraturan Daerah (Perda) bagi Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia, menjadi instrumen yuridis operasional untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah. Dalam kontek otonomi daerah, Perda merupakan instrumen pengendali terhadap pelaksanaan otonomi daerah, hal ini disebabkan karena esensi otonomi daerah itu adalah kemandirian atau keleluasaan (zelfstandingheid), dan bukan suatu bentuk kebebasan sebuah satuan pemerintah yang merdeka (onafhankelijkheid).

Kemandirian itu sendiri mengandung arti bahwa daerah berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga pemerintahannya sendiri. Kewenangan mengatur disini mengandung arti bahwa daerah yang

7 Jimly Asshiddiqie, Otonomi Daerah Dan Parlemen Di Daerah,

www.mahkamahkonstitusi.go.id. Diakses pada 28 Agustus 2008.

(20)

7 bersangkutan berhak membuat produk hukum berupa peraturan perundang-undangan yang antara lain diberi nama Perda.

Berdasarkan pasal 18 ayat (6) UUD 1945 perubahan dinyatakan; Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Perda dan Peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Dari isi pasal tersebut nampak bahwa atribusi kewenangan pembentukan Perda diberikan oleh UUD 1945 kepada Pemerintahan Daerah, yang dalam hal ini menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan undangan dinyatakan; Perda adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Sedangkan dalam pasal 136 ayat (1) Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama DPRD. Persetujuan itu sendiri sesungguhnya mengandung kewenangan yang menentukan (dececive), artinya tanpa persetujuan DPRD maka tidak akan pernah ada Perda.

Ketentuan itu tidak berarti bahwa kewenangan membuat Perda ada pada Kepala Daerah, dan DPRD hanya bertugas memberikan persetujuan. DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Dalam Penjelasan Pasal 42 ayat (1) huruf a dinyatakan, yang dimaksud dengan membentuk dalam ketentuan ini adalah termasuk pengajuan

(21)

8 Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Adapun yang dimaksud dengan Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, sedangkan DPRD adalah DPRD Provinsi dan/atau DPRD Kabupaten/Kota. Pengertian bersama-sama antara DPRD dengan Kepala Daerah dalam membuat Perda adalah berkait dengan prakarsanya, yaitu prakarsa dalam membuat Perda dapat berasal dari DPRD maupun dari Pemerintah Daerah.

Disamping itu DPRD juga mempunyai hak untuk mengajukan Raperda atas dasar hak inisiatif seperti yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Perda mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Sehubungan dengan hal itu DPRD dengan persetujuan Kepala Daerah sesuai dengan tingkatannya, berdasarkan atribusi kewenangan dari UUD 1945 berhak membentuk Perda Provinsi/Kabupaten/Kota. Perda tersebut dibentuk untuk melaksanakan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta untuk melaksanakan penugasan dari pemerintah kepada Daerah. Seperti halnya Peraturan Perundang-undangan yang lain, Perda terikat pada norma-norma hukum, baik dari sisi paradigma, substansi, maupun prosedur pembuatannya, ikatan norma-norma tersebut menentukan karakteristik dan keberlakuan Perda yang bersangkutan. Oleh karena itu validitas dan legitimasi Perda harus benar-benar diperhatikan.

(22)

9 Dalam kaitan dengan Pembentukan Perda, Kabupaten Lembata merupakan satu dari dua puluh satu Kabupaten/Kota yang terintegral kedalam provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Lembata terbentuk sejak 12 Oktober Tahun 1999, yang ditandai dengan Undang-undang Nomor. 52 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Lembata. Sebagai daerah otonom, Kabupaten Lembata dituntut untuk mampu mengoptimalisasikan kewenangan yang diberikan pemerintah pusat melalui asas otonomi dan tugas pembantuan dalam usaha-usaha pembangunan di daerah Kabupaten Lembata itu sendiri.

Bersamaan dengan semangat pembangunan yang terkandung didalam asas otonomi, maka Kabupaten Lembata juga membutuhkan peraturan daerah-peraturan daerah yang dapat mengakomodir dan mengikuti kebutuhan daerah dan masyarakatnya. Dalam pembentukan peraturan daerah-peraturan daerah tersebut, DPRD sebagai pelaksana fungsi legislasi harus benar-benar mengoptimalisasikan fungsi legislasi yang telah diamanatkan undang-undang. Dalam melahirkan produk legislasi daerah, DPRD harus cermat dan cerdas untuk membentuk peraturan-peraturan daerah yang

disesuaikan dengan kebutuhan daerah Kabupaten Lembata dan

masyarakatnya.

Sebagai implikasi dari sebuah daerah otonom, Kabupaten Lembata memiliki perangkat daerah yang terdiri dari unsur eksekutif, dan unsur legislatif. Unsur eksekutif sebagai penyelenggara urusan Pemerintahan, dan unsur legislatif sebagai pelaksana urusan legislasi. Kaitannya dengan judul penulisan ini, penulis memperoleh informasi dan bahan hukum bahwa sejak

(23)

10 (Tahun 2009 sampai Tahun 2011), DPRD Kabupaten Lembata Periode 2009-2014, belum memanfaatkan hak inisiatifnya secara optimal, oleh karena baru satu Perda yang dihasilkan berdasarkan hak usul inisiatif DPRD, yaitu Perda Nomor 3 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan.

Mengacu pada latar belakang tersebut di atas, dalam rangka untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan fungsi legislasi khususnya pemanfaatan hak usul inisiatif DPRD dalam melahirkan produk legislasi daerah di Kabupaten Lembata-Provinsi Nusa Tenggara Timur, maka rencana penulisan tesis ini ditulis dengan judul: PELAKSANAAN HAK INISIATIF DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH (Studi Tentang Hak Inisiatif DPRD Kabupaten Lembata-Provinsi NTT Dalam Pembentukan Perda Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan ).

B. Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apa hakekat hak inisiatif DPRD dalam penyelenggaraan otonomi daerah?

2. Faktor apa yang mendorong dan menghambat DPRD Kabupaten Lembata menggunakan hak inisiatifnya dalam membentuk Perda Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan?

(24)

11 C. Tujuan Penelitian.

Penelitian yang dilakukan berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang diuraikan di atas bertujuan:

1. Untuk mengetahui apa hakekat hak inisiatif DPRD Kabupaten Lembata dalam penyelenggaran otonomi daerah.

2. Untuk mengetahui faktor apa yang mendorong DPRD Kabupaten Lembata menggunakan hak inisiatifnya dalam membentuk Perda Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan.

D. Manfaat Penelitian.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Memberikan kontribusi akademis terhadap pembangunan Ilmu Hukum, khususnya Hukum Tata Negara tentang pemanfaatan Hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka Otonomi Daerah.

2. Memberikan kontribusi pemikiran yang dapat menjadi referensi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lembata dalam melakukan pengoptimalisasian pengggunaan hak inisiatif DPRD dalam memperjuangkan aspirasi Rakyat di dearah.

3. Menjadi komparasi dalam penelitian yang berkaitan dengan penggunaan hak inisiatif DPRD.

(25)

12 E. Kerangka Teori.

1. Teori Lembaga Perwakilan.

Dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip kedaulatan rakyat adanya lembaga perwakilan merupakan keharusan. Lembaga perwakilan rakyat boleh terdiri dari satu kamar atau dua kamar

(bicameral). Ada yang disebut parlemen atau legislatif dan namanya pun

mungkin Congres, House of Commons, Diet, Knesset, Bundestag atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Apapun sebutan dan namanya namun yang pokok adalah keberadaan lembaga perwakilan rakyat merupakan hal yang sangat esensial karena lembaga tersebut berfungsi mewakili kepentingan-kepentingan rakyat. Lewat lembaga perwakilan rakyat inilah aspirasi rakyat ditampung yang kemudian tertuang dalam berbagai macam kebijaksanaan umum yang sesuai dengan aspirasi rakyat.

Dalam sistem pemerintahan demokrasi, lembaga perwakilan rakyat merupakan unsur yang paling penting disamping unsur-unsur lainnya seperti, sistem pemerintahan, persamaan didepan hukum,

kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat dan sebagainya8.

Hampr semua Negara modern dewasa ini, secara formal mengaku menganut asas kedaulatan rakyat. Menurut penelitian Amos J. Peaslee tahun 1950, sembilan puluh persen (90 %) Negara di dunia dengan tegas mencantumkan dalam konstitusinya masing-masing bahwa kedaulatan itu berada ditangan rakyat, dan kekuasaan pemerintahan bersumber kepada

8

Dahlan Thaib. DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Liberti (Edisi kedua). Yogyakarta. 2000. hlm:1.

(26)

13

kehendak rakyat9. Setiap sistem demokrasi adalah ide bahwa warga negara

seharusya terlibat dalam hal tertentu didalam bidang pembuatan keputusan-keputusan politik, baik secara langsung maupun melalui pilihan

wakil mereka di lembaga perwakilan10 “parlemen”.

Para pakar tata negara dan ilmu politik yakin bahwa sistem perwakilan merupakan cara terbaik untuk membentuk “Representative

Government”, cara ini menjamin rakrat tetap ikut serta dalam proses

politik tanpa harus terlibat sepenuhnya dalam proses itu. Duduknya seseorang dilembaga perwakilan, melalui pemilihan umum mengakibatkan timbulnya hubungan wakil dengan yang diwakili. Dalam Tulisannya mengenai perwakilan politik di Indonesia, Arbi Sanit mengemukakan bahwa perwakilan diartikan sebagai hubungan antara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakili dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakili.

Ada dua teori klasik tentang hakekat hubungan wakil dengan terwakili yang terkenal, yaitu teori mandat dan teori kebebasan. Dalam teori mandat, wakil dilihat sebagai penerima mandat untuk merealisasikan kekuasaan terwakili dalam proses kehidupan politik. Bagi terwakili teori ini lebih diuntungkan karena wakil dapat dikontrol terus menerus.

9

Jimly Asshiddiqie. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya

di Indonesia. Ichtiar Baru Van Hoeva (Cetakan Pertama). Jakarta. 1994. hlm:11-12.

10

(27)

14 Perbedaan pandangan antara wakil dengan terwakili dapat menurunkan reputasi wakil11.

Dalam teori kebebasan, wakil dapat bertindak tanpa tergantung atau terikat secara ketat dari terwakili. Menurut teori ini siwakil adalah orang-orang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya atau atas nama rakyat. Berlawanan dengan teori mandat, maka logika teori kebebasan, wakil lebih berfokus pada oprasionalisasi tugas wakil itu sendiri. Adanya kemungkina bahwa terwakili merasa tidak terwakili beberapa atau sejumlah masalah karena ketidak fahamnya dengan wakil tidak dapat dielak dalam teori ini. Akan tetapi tidak berarti bahwa tidak ada hak terwakili untuk mengontrol tindakan wakilnya yang tidak berfungsi. Hanya saja kontrol itu tidak berlangsung secara tertulis. Dalam hal ini terwakili masi dapat menghukum wakilnya dalam pemilu berikutnya dengan jalan tidak

memilihnya lagi12.

Seperti telah dikemukakan diatas, perwakilan adalah suatu konsep yang menunjukan adanya hubungan antara wakil dengan pihak yang diwakili (terwakil), dalam hal mana wakil mempunyai sejumlah wewenang yang diperoleh melalui kesepakatan dengan pihak yang

diwakilnya13. Dimasa modern ini, badan perwakilan rakyat ditugaskan

sebagai lembaga pembuatan hukum. Karena itu, dikatakan fungsi utama parlemen dewasa ini adalah melaksanakan pembuatan hukum dalam arti

11 Ibid. hlm: 2- 3. 12 Ibid. hlm:4.

(28)

15 sempit atau pembuatan undang-undang (legislatif of law making

function)14, yang ditingkat Daerah Provinsi disebut dengan Perda

Provinsi, dan ditingkat Kabupaten/Kota dikenal dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

2. Teori Perundang-undangan.

Pemahaman terhadap teori perundang-undangan pada dasar-nya meliputi empat substansi utama, yaitu: pengertian perundang-undangan, fungsi perundang-perundang-undangan, materi perundang-perundang-undangan, dan politik perundang-undangan. Bagir Manan yang mengutip pendapat P.J.P Tak tentang “wet in materiele zin, melukiskan pengertian perundang-undangan dalam arti material yang esensinya antara lain sebagai berikut: Peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis. Karena merupakan keputusan tertulis, maka peraturan perundang-undangan

sebagai kaidah hukum lazim disebut dengan hukum tertulis

(geschrevenrecht, written Law), peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan, organisasi) yang mempunyai wewenang membuat peraturan yang berlaku atau mengikat umum (algemeen), dan peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan harus selalu mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukkan bahwa Peraturan perundang-undangan tidak berlaku

terhadap peristiwa konkret atau individu tertentu15.

14

Paimin Napitupulu. Peran dan Pertanggungjawaban DPR. Alumni.Bandung. 2005.hlm: 35.

15Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: Makalah,

(29)

16 Konsep perundang-undangan juga dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi, yang mengikuti pendapat I.C. Van der Vlies tentang

wet yang formal (het formele wetsbegrib) dan wet yang material (het

materiele wetsbegrib). Pendapat ini didasarkan pada apa tugas pokok dari

pembentuk wet (de wetgever). Berdasarkan pemikiran tersebut, maka yang disebut dengan wet yang formal adalah wet yang dibentuk berdasarkan ketentuan atribusi dari konstitusi. Sementara itu, wet yang materiil adalah suatu peraturan yang mengandung isi atau materi tertentu yang

pembentukannya tunduk pada prosedur yang tertentu pula16.

Undang-undang adalah dasar dan batas bagi kegiatan pemerintahan, yang menjamin tuntutan-tuntutan negara bedasar atas hukum, yang menghendaki dapat diperkirakannya akibat suatu aturan hukum, dan adanya kepastian dalam hukum. Menurut pendapat Peter Badura, Dalam pengertian teknis ketatanegaraan Indonesia, Undang-undang ialah produk yang dibentuk bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Peresiden, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara (Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 hasil perubahan pertama).

Secara etimologis, perundang-undangan, merupakan

terjemahan “wetgeving”, “gesetzgebung”, yang mengandung dua arti. Pertama, berarti proses pembentukan peraturan-peraturan negara sejenis

16

Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I, Perlita IV, Jakarta: Disertasi Universitas

(30)

17 yang tertinggi sampai yang terendah, yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi kekuasaan perundang-undangan. Kedua, berarti keseluruhan produk peraturan-peraturan negara tersebut.

Peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum dibuat dengan maksud untuk dipatuhi oleh masyarakat atau hukum dilahirkan sesuai fungsinya menciptakan keamanan, kedamaian, ketertiban ditengah-tengah masyarakat. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa untuk dapat mewujudkan fungsi dari perundang-undanagn maka ada tiga (3) kriteria

yang harus dipenuhi17:

1. Bila hukum hanya berlaku secara yuridis maka kemungkinan besar kaidahnya hanya merupakan kaidah yang mati (dode regel).

2. Jika hukum hanya berlaku secara sosiologis maka mungkin hukum berlaku hanya sebagai aturan pemaksa.

3. Jika hukum hanya berlaku secara filosofis maka mungkin hukum itu hanya akan menjadi hukum yang dicita-citakan.

Peraturan perundang-undangan dilihat dari peristilahan merupakan terjemahan dari wettelijke regeling. Kata wet pada umumnya diterjemahkan dangan undang-undang dan bukan dengan undang. Sehubungan dengan kata dasar undang-undang, maka terjemahan

wettelijke regeling ialah peratura perundang-undangan. Pembentukan

peraturan perundang-undangan pada hakikatnya ialah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum dalam arti

17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

(31)

18 yang luas. Peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis. Karena merupakan keputusan tertulis, maka peraturan perundang-undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut hukum tertulis (geschrevenrecht, written Law), peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan, organ) yang mempunyai wewenang membuat “peraturan” yang berlaku atau mengikat umum (algemeen), dan peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan harus selalu mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukan bahwa Peraturan perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa konkret atau individu tertentu.

Peraturan perundang-undangan adalah keputusan tertulis Negara atau pemerintah yang berisi petunjuk atau pola tingkahlaku yang bersifat dan mengikat secara umum, maksudnya tidak mengidentifikasi individu-individu tertentu, sehingga berlaku bagi setiap subjek hukum yang memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan mengenai

pola tingkah laku tersebut18. Ada pendapat lain yang mengartikan

perutaran perundang-undang adalah setiap keputusan yang tertulis oleh pejabat yang berwenang dalam kekuasaan legislatif berdasarkan wewenang atribusi atau delegasi maupun wewenang eksekutif semata-mata berdasarkan wewenang delegasi yang materi muatannya berisi aturan

18

Yuliandri. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perndang-undangan Yang Baik

(Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan). Rajawali Pers. Jakarta. 2009. hlm:25-26.

18 Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-undangan (Dasar-dasar dan

(32)

19

tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum19. Soehino dalam

Mahendra Putra Kurnia mengemukakan bahwa: yang dimaksud dengan

istilah perudang-undangan adalah sebagai berikut20:

1. Pertama, proses atau cara pembentukan peraturan perundangan negara, dari jenis dan tingkat tertinggi yaitu undang-undang, sampai yang terendah, yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi dari kekuasaan perundang-undangan.

2. Kedua, berarti keseluruhan produk perundang-undangan tersebut. Pada kenyataannya, terdapat juga peraturan perundang-undangan seperti undang-undang yang berlaku untuk kelompok orang-orang tertentu, objek tertentu, daerah dan waktu tertentu. Dengan demikian mengikat secara umum pada saat ini sekedar menunjukan tidak menentukan secara konkrit (nyata) identitas individu atau obyeknya. Menurut S. J. Fockema Andrea dalam bukunya ”Rechtsgeleerd

handwoordanboek,” perundang-undangan atau legislation/ wetgeving/

gezetgebung mempunyai dua pengertian yang berbeda,

yaitu:”Perundang-undangan merupkan proses pembentukan/ proses membentuk peraturan-peraturan Negara baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah; perundang-undangan adalah segala peraturan-peraturan Negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik ditingkat pusat

maupun ditingkat daerah” 21

. Bagir Manan mengemukakan bahwa Peraturan daerah dan Keputusan kepala daerah yang bersifat mengatur

19 Hamsazah Halim dan Kemal Redindo Syuhrul Putera. Cara Praktis menysun dan

Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Disertai Manual) Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris. Kencana. Jakarta. 2009. hlm: 57.

20 Mahandra Putra Kurnia, dkk. Pedoman naskah akademik parda pasitipatif, Kreasi

Total Media. Yogyakarta. hlm: 7.

(33)

20 adalah peraturan perundang-undangan tingkat daerah, meskipun nama ”peraturan daerah” dan ”keputusan kepala daerah” tidak tercantum dalam UUD 1945, tetapi nama-nama tersebut adalah salah satu perwujudan sistem desentralisasi yang dianut UUD 1945. Pasal 18 UUD 1945 menghendaki ada kesatuan-kesatuan pemerintah teritorial lebih rendah dari pemerintah pusat yang mandiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahannya sendiri. Kewenangan mengatur mengandung isi bahwa daerah-daerah yang bersangkutan berhak membuat keputusan hukum antara lain berupa peraturan perundang-undangan yang kemudian

diberi nama ” Peraturan daerah” dan”Keputusan Kepala Daerah”22

. Peraturan perundang-undangan adalah hukum positif tertulis yang dibuat, ditetapkan atau dibentuk pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang menurut atau berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-undangan tertentu dalam bentuk tertulis yang berisi aturan tingkah laku yang berlaku

atau mengikat secara umum23.

Pendapat lain pula dikemukakan T. Koopmans bahwa tujuan pembentukan undang-undang bukan lagi menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, melainkan menciptakan modifikasi atau perubahan dalam

kehidupan masyarakat24. Dari sekian penjelasan diatas dengan jelas kita

telah mengetahui bahwa undang-undang adalah alat terpenting dalam

22 Bagir Manan dan Kuntana Magnar. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia

(Edisi Revisi).Alumni. Bandung. 1997.hlm:112-113.

23 Bagir Manan. Hukum Positif Indonesia (suatu kajian teoritik), Kreasi Total Media,

Yogyakarta. 2009 hlm: 7

(34)

21 mengatur konsep berbangsa dan bernegara. Bagir Manan mengatakan bahwa:

a. Tidak ada lapangan kehidupan dan kegiatan kenegaraan, pemerintahan, masyarakat, dan individu yang tidak dapat diatur oleh undang-undang, kecuali menyangkut materi muatan yang seharusnya diatur oleh UUD atau sesuatu yang oleh undang-undang didelegasikan pengaturannya dalam bentuk peraturan lainnya secara khusus.

b. Sungguhpun demikian, tidak berarti undang-undang tidak dapat mengatur materi muatan yang diatur oleh UUD, sebab menurut praktiknya banyak undang-undang organik yang ternyata mengatur

substansi yang seharusnya diatur oleh Undang-Undang Dasar25.

4. Teori Otonomi Daerah.

Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan desentralisasi. Istilah otonomi berasal dari dua penggalan kata dari bahasa Yunani, yakni

autos yang berarti sendidri dan nomos yang berati undang-undang. Otonomi

bermakna membuat Undang-undang sendiri (Zelfwet geving), namun dalam perkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung arti Zelfwet

geving (membuat perda-perda), juga utamanya mencakup Zelfbestuur

(pemerintahan sendiri). C.W. Van der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai eigen huishouding (Menjalankan rumah tangganya sendiri). Di dalam otonomi, hubungan antara pusat dan daerah, antara lain bertalian

(35)

22 dengan cara menentukan urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara

menentukan urusan rumah tangga daerah26.

Otonomi adalah tatanan yang berangkutan dengan cara membagi-bagi wewenang, tugas dan tanggungjawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut yaitu, daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.

Ni‟matul Huda mengemukakan bahwa: Otonomi darah jika dilihat dari sudut wilayahnya, maka penyelenggaraannntya ditentukan dalam batas-batas wilayah yang ditentukan pemerintah pusat. Dilihat dari substansi (materi) penyelenggaraan otonomi daerah, hal dimaksud ditentukan oleh

sistem rumah tangga (huishuoding) otonomi daerah27.

Dikalangan para sarjana, istilah yang diberikan terhadap pembagian urusan antara pemerintah pusat dan daerah dalam konteks otonomi ternyata tidak sama. R. Tresna menyebut dengan istilah “kewenangan mengatur rumah tangga”. Bagir Manan menyebut dengan istilah “sistem rumah tangga daerah”. Jhosep Riwu Kaho menyebut dengan istilah “sistem”. Mahfud M.D, memakai istilah “asas otonomi”. Meski istilah yang dipergunakan berbeda-beda, mereka berpijak pada pengertian yang sama bahwa ajaran-ajaran (formal, materil, dan riil) menyangkut tatanan yang berkaitan dengan cara pembagian wewenang, tugas, dan

26 Ni`matul Huda. Op.cit.hlm: 81.

27 Ni‟matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan

(36)

23 tanggungjawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah.

Menurut R. Tresna, dan Mahfud M.D, terdapat beberapa sistem/asas rumah tangga daerah, yaitu sistem rumah tangga formal, sistem rumah tangga materiil dan sistem rumah tangga nyata atau riil. Namun, selain ketiga sistem rumah tangga daerah sebagaimana disebutkan Tresna, Mahfud M.D tersebut, Menurut Jhosep Riwu Kaho masi ada sistem rumah tangga sisa (residu) dan sistem rumah tangga nyata, dinamis dan

bertanggungjawab 28 . Menurut Bagir Manan Otonomi mengandung

pengertian kemandirian (“Zelfstandingheid”) untuk mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan yang diserahkan atau diberikan sebagai urusan pemerintahan yang diserahkan atau dibiarkan sebagai urusan

rumah tangga satuan pemerintahan lebih rendah yang bersangkutan29.

Otonomi daerah merupakan wujud kehidupan demokrasi dalam konteks penyelenggaraan Negara kesatuan (eenheid staat). Otonomi daerah merupakan wadah kehidupan demokrasi. Rakyat melalui para wakil mereka (DPRD), turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan otonomi daerah yang dibangun dalam sistem pemerintahan desentralisasi.

Rakyat mengatur rumah tangga mereka sendiri dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah.

Suatu Negara kesatuan baru merupakan wujud pemerintahan demokrasi tatkala otonomi daerah dijalankan secara efektif guna

28

ibid..hlm:84-85.

(37)

24 pemberdayaan kemaslahatan rakyat, mencakupi kewenangan zelfwetgeving (Perda-perda) yang mengakomodir kepentingan rakyat banyak dan penyelenggaraan pemerintahan (Zelfbestuur) yang diemban secara demokratis. Porsi otonom daerah tidak cukup dalam wujud otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab, tetapi harus diwujudkan dalam format

otonomi yang seluas-luasnya30.

Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari keberadaan Pasal 18 UUD RI 1945. Pasal tersebut yang menjadi dasar penyelenggaraan otonomi dipahami sebagai normatifikasi gagasan-gagasan yang mendorong pemakaian otonomi sebagai bentuk dan cara menyelenggarakan pemerintahan daerah. Otonomi yang dijalankan tetap harus memperhatikan

hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa31.

Sejalan dengan hal tersebut diats dalam Rozali Abdullah, Soepomo mengatakan bahwa: otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut riwayat, adat dan sifat-sifat sendiri-sendiri dalam kadar negara kesatuan. Tiap daerah mempunyai historis dan sifat khusus yang berlainan dari riwayat dan sifat daerah lain. Oleh karena itu, pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud akan

mengeneralisir seluruh daerah menurut satu model 32 , hal ini dapat

menciptakan gejolak yang negatif ditingkat daerah.

30 Ibid. hlm: 91.

31 Bagir Manan . Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan

Undang-Undang Pelaksananya),Unsika, Kerawang. 1993. hlm:9

32 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Alternatif,

(38)

25 F. Metode Penelitian.

1. Pendekatan Penelitian.

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif, dimana penelitian ini menitikberatkan pada aspek-aspek yuridis normatif yang berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia kemudian dijadikan tolak ukur dalam memecahkan realitas hukum yang ditemukan dalam penelitian hukum yang dilakukan.

2. Jenis penelitian.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian lapangan dan penelitian pustaka, Artinya; penulis melakukan pencarian atau penggalian bahan hukum melalui wawancara langsung dengan subyek penelitian, kemudian ditambah atau didukung dengan literatur-lateratur yang terkait dengan masalah yang diteliti.

3. Lokasi Penelitian dan Subyek penelitian.

Lokasi penelitian yang akan menjadi obyek penelitian penulisan ini adalah: Kabupaten Lembata-Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sedangkan responden yang akan diwawancarai adalah: Ketua Badan Legislasi Daerah (BALEGDA) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lembata. 4. Sumber Bahan Hukum.

Sumber bahan hukum yang digunakan adalah :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan di lapangan.

(39)

26 b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang diperoleh dengan mempelajari berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Bahan hukum ini dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: a). Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat, terdiri dari: (a). Undang-undang Dasar 1945. (b). Undang-undang Nomor 27 Tahun 2008 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. (c). undang Nomor 32 tahun 2004-jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah., Tata Tertib DPRD Kabupaten Lembata. b). Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan kejelasan atas bahan hukum primer terdiri dari buku-buku, laporan penelitian, jurnal ilmiah dan tulisan-tulisan lain. c). Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan kejelasan atas bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, kamus umum Bahasa Indonesia, kamus Bahasa Inggris.

5. Teknik dan alat pengumpulan bahan hukum.

Teknik pengumpulan bahan hukum yaitu dengan menggali bahan hukum dari sumber bahan hukum, yang dikelompokan ke dalam dua kelompok sumber bahan hukum yaitu :

a. Studi kepustakaan, yaitu mempelajari literatur, peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

(40)

27 b. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab secara langsung kepada subyek penelitian berdasarkan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.

6. Analisis dan pengolahan bahan hukum.

Analisis bahan hukum yang dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu mengambil bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti sehingga dapat diuraikan secara deskriptif, kualitatif dan komperhensif, yaitu menggambarkan reaitas yang terjadi dan masih ada kaitannya dengan aspek-aspek hukum yang berlaku.

Pada penelitian hukum empiris, penggolahan bahan hukum hakikatnya kegiatan untuk melakukan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan

analisis dan konstruksi33.

G. Sistemmatika Penulisan.

Sistemmatika penulisan hasil penelitian ini akan disusun sebagai berikut: Dalam Bab I ”Pendahuluuan” akan diuraikan latar belakang permasalahan yang mendorong penulis memilih judul “Pelaksanaan Hak Inisiatif DPRD dalam Rangka Otonomi Daerah, Studi di DPRD Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009-2011”. Selanjutnya disampaikan kerangka pemikiran teoritis yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menemukan jawaban yang disampaikan

33Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu

(41)

28 dalam rumusan masalah. Dalam Bab ini disampaikan juga metode penelitian yang akan digunakan dalam sistemmatika penulisan.

Dalam Bab II Tinjauan umum tentang Otonomi daerah dan peranan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam pembangunan legislasi daerah, dalam Bab inipun diuraikan juga pelaksanaan otonomi daerah dan bagaimana hubungan kemitraan antara eksekutif dan legislasi di daerah serta peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam urusan legislasi di daerah. Dalam Bab III digambarkan hal ideal yang seharusnya dilakukan dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di tingkat daerah dari proses pembentukan peraturan daerah, Urgensi partisipasi masyarakat dalam pembentukan produk legislasi daerah sehingga Perda yang dihasilkan benar-benar aspiratif, serta seberapa besar kemanfaatan Perda terhadap keberlangsungan Pembangunan di Daerah.

Selanjutnya dalam Bab IV mengurai tentang “Pelaksanaan Hak Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Rangka Otonomi Daerah, Studi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lembata-Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009-2011”.

Bab ini akan menyajikan bahan hukum hasil penelitian tentang Deskripsi, Profil, susunan lembaga DPRD Kabupaten Lembata, Hakikat Hak usul inisiatif DPRD dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pelaksanaan Hak inisiatif DPRD Kabupaten Lembata dalam melahirkan Perda Penyelenggaraan Hutan kemasyarakataan, Faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan Hak inisiatif DPRD Kabupaten Lembata dan

(42)

29 upaya yang telah dilakukan DPRD Kabupaten Lembata dalam mengatasi faktor penghambat terkait penggunaan Hak inisiatif DPRD Kabupaten Lembata.

Didalam Bab V “Penutup” akan dikemukakan simpulan dan saran yang membangun, tentunya berdasarkan pada hasil analisis penelitian yang telah dilakukan.

(43)

30 BAB II

OTONOMI DAERAH DAN PERANAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM PEMBANGUNAN LEGISLASI DAERAH.

A. Otonomi Daerah.

Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan desentralisasi34.

Didalam otonomi hubungan kewenangan antara pusat dan daerah, antaralain bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Otonomi daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggungjawab mengatur dan mengurus urusan pemerinthan antara pusat dan daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut, yaitu daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daera masing-masing.

Dewasa ini, situasi di Indonesia telah mengalami perubahan dramatis. Era reformasi membawa masyarakat semakin demokratis dan egaliter Sistem politik yang sentralistik menuju model pemerintahan yang desentralistik tidak dapat dihindarkan. Tidak ada yang dapat menafikan kenyataan yang kita hadapi sekarang bahwa agenda otonomi daerah merupakan sebuah agenda nasional yang sangat penting dan telah menjadi

34 Ni`matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah. FH UII Press.

(44)

31 agenda publik yang utama di tengah menghadapi persoalan bangsa yang

semakin kompleks ini35.

Otonomi Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia karena sejak berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia sudah dikenal adanya otonomi daerah yang dipayungi oleh Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945. Sedangkan inti dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya.

Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institusional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan organisasi pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal pengalihan kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Namun, esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa kita dewasa ini.

Negara kesatuan merupakan landasan batas garis dari isi pengertian otonomi. Berdasarkan landasan batas tersebut dikembangkanlah berbagai peraturan yang mengatur mekanisme yang akan menjalankan keseimbangan

antara tuntutan kesatuan dan tuntutan otonomi36. Pada tingkat suprastruktur

35

Ryaas Rasyid, H Syaukani dan Afan Gaffar. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. P ustaka Pelajar. Jogjakarta. 2002. hlm: 209.

36 Ni`matul Huda. Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan

(45)

32 kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal. Keduanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum.

Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya. Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.

Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan alam demokrasi, maka praktek-praktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami dalam sistem lama yang tersentralistik, akan tetap muncul

dalam hubungan antara pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya37.

Bahkan kehawatiran bahwa sistem otonomi pemerintahan daerah itu justru

37

Saldi Isra . Disampaikan dalam “Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan Budget

Bagi Anggota DPRD se-Propinsi (baru) Banten” yang diselenggarakan oleh Institute for the Advancement of Strategies and Sciences (IASS), di Anyer, Banten, 2 Oktober 2000.

(46)

33 dapat menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para pejabat daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalam waktu singkat tiba-tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar yang dalam waktu singkat belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya. Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa “power tends to corrupt and absolute

power corrupts absolutely”, timbul kehawatiran bahwa iklim penindasan

dan praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi serta praktek-praktek pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernah terjadi ditingkat pusat justru ikut beralih ke dalam praktek pemerintahan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, otonomi daerah-daerah haruslah dipahami esensinya juga mencakup pengertian otonomi masyarakat di daerah-daerah dalam berhadapan dengan pemerintahan di daerah. Kepentingan dan aspirasi masyarakat harus dapat ditangkap oleh Pemerintah Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai representasi perwakilan rakyat dalam struktur kelembagaan pemerintahan daerah yang menjalankan fungsi pemerintahan. Pemerintah daerah menjalankan fungsi pemerintahan dan DPRD menjalankan fungsi legislasi, fungsi anggaran (budgeting) dan fungsi pengawasan.

Pelaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah membawa perubahan politik ditingkat lokal (daerah). Salah satunya adalah menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika dimasa sebelumnya DPRD hanya sebagai stempel karet dan kedudukannya

(47)

34 dibawah eksekutif, setelah otonomi daerah, peran legislatif menjadi lebih

lebesar, atau sejajar dengan kedudukan kepala daerah38sebagai dua unsur

penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak dari pada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta

membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata39.

Pemberlakuan otonomi daerah beserta akibatnya memang amat perlu dicermati. Tidak saja memindahkan potensi korupsi dari Jakarta ke daerah, otonomi daerah juga memunculkan raja-raja kecil yang mempersubur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di samping itu, dengan adanya otonomi daerah, arogansi DPRD semakin tidak terkendali karena mereka merupakan representasi elit lokal yang berpengaruh. Karena perannya itu, ditengah suasana demokrasi yang belum terbangun ditingkat lokal, DPRD akan menjadi kekuatan politik baru yang sangat rentan terhadap korupsi, kolusi

38 Budi Agustono, “Otonomi Daerah dan Dinamika Politik Lokal: Studi Kasus di

Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara” dalam Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal, editor Jamil Gunawan, (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm: 164.

39 Kendra Clegg, “Dari Nasionalisasi ke Lokalisasi: Otonomi Daerah di Lombok” dalam

Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal, editor Jamil Gunawan, (Jakarta: LP3ES, 2005),

(48)

35

dan nepotisme ,40 oleh sebab itu rakyat secara ketat perlu mengawasi prilaku

wakilnya diparlemen agar tidak terjadi hal-hal yang dikhawatirkan diatas. Seperti kita ketahui kebijakan otonomi daerah dilegalkan dengan undang-undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah telah menjadi tonggak baru dalam tradisi pemerintahan di negeri ini. Pelaksananan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan pusat dan daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintaha pusat dan daerah,

yang dikenal deengan era otonomi daerah41.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, telah memisahkan lembaga eksekutif dengan legislatif, yaitu Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah lainnya yang kemudian disebut Pemerintah Daerah dan lembaga legislatif daerah yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sebelumnya DPRD ditempatkan sebagai bagian dari Pemerintah Daerah, sekarang DPRD adalah sebagai mitra kerja dan tidak berada di bawah dominasi Kepala Daerah (Gubernur / Bupati/Wali Kota).

Pemerintah pusat tidak hanya memberi kewenangan dalam masalah administrasi pemerintahan, tetapi juga desentralisasi kekuasaan dan

40

Ibid hlm: 198

41 Anang Sya`roni, Optimalisasi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Guna Mendukung

Pelaksanaan Otonomi Daerah, Dalam Jurnal Konstitusi, PKHK-FH Universitas Janabadra

Gambar

Tabel 1  Fraksi Partai Golkar.

Referensi

Dokumen terkait

Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan (game teori), desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekusaan pada satu pihak saja yang pada

pengkhususan yang berguna bagi kepentingan tertentu. 5) Dengan adanya desentralisasi teritorial, daerah otonom dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan

Kinerja Badan Legislasi keanggotaan periode 2014-2019, sampai saat ini masih dinilai belum maksimal dapat dilihat dari hasil akhir yang dihasilkan oleh Badan Legislasi

Ketentuan pasal 45 ayat (1) huruf c dan ketentuan pasal 63 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Tertib

Fokus Penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pembuatan Perda berdasarkan Hak Inisiatif DPRD di Kabupaten Paluta dengan

Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lamongan.. RENSTRA Sekretariat DPRD Tahun 2016-2021 2 merupakan dokumen turunan dalam rangka pencapaian RPJMD8. Kabupaten

Rapat Paripurna adalah rapat anggota DPRD yang dipimpin oleh Ketua atau Wakil Ketua dan merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan wewenang dan tugas DPRD antara lain

Penulis melihat ditetapkannya Peraturan Bupati Indragiri Hilir Nomor 50 Tahun 2020 tersebut, adanya kekosongan hukum berupa Peraturan Daerah Kabupaten Indragiri Hilir yang merupakan