• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOPESTISIDA SEBAGAI PENGENDALI ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN (OPT) YANG RAMAH LINGKUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BIOPESTISIDA SEBAGAI PENGENDALI ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN (OPT) YANG RAMAH LINGKUNGAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BIOPESTISIDA SEBAGAI PENGENDALI ORGANISME

PENGGANGGU TANAMAN (OPT) YANG RAMAH

LINGKUNGAN

Achmad Djunaedy Dosen Jurusan Agroekoteknologi Fak. Pertanian Unijoyo

Abstract

Pest management has been conducted based on the use of sintethic chemical compounds. As such pratice causes environmental degradation, the concept of pest management is pointed to environmentally sound. The objective of this paper is to discuss the pontency of biopesticide as alternative environmentally-friendly compounds in managing pest. It is concluded that biopesticide could be effective in managing some pests, such as cuterpiller, grasshoper, and thrips. Futhermore, the plant resource for biopesticide is great. Of 37 000 plants identified, only about 1% has been used. Preparation and aplication of this matter in the field are easy.

Key words: biopesticide, environmentally sound/ friendly, pest mangement PENDAHULUAN

Sejauh ini kerugian yang dialami sektor pertanian Indonesia akibat serangan hama dan penyakit mencapai miliaran rupiah dan menurunkan produktivitas pertanian sampai 20 persen. Menghadapi seriusnya kendala tersebut, sebagian besar petani Indonesia menggunakan pestisida kimiawi. Upaya tersebut memberikan hasil yang cepat dan efektif. Kenyataan ini menyebabkan tingkat kepercayaan petani terhadap keampuhan pestisida kimiawi sangat tinggi. Sejalan dengan hal itu, promosi dari perusahan pembuat pestisida yang sangat gencar semakin meningkatkan ketergantungan petani terhadap pestisida kimiawi. Seperti halnya kebutuhan pupuk yang terus meningkat, kebutuhan pestisida juga memperlihatkan pertumbuhan tiap tahun. Rata-rata peningkatan total

konsumsi pestisida per tahun mencapai 6,33 persen, namun pada kenyataannya di lapangan diperkirakan dapat mencapai lebih dari 10 – 20 persen.

Penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan memberi dampak negatif terhadap lingkungan dan manusia. Keseimbangan alam terganggu dan akan mengakibatkan timbulnya hama yang resisten, ancaman bagi predator, parasit, ikan, burung dan satwa lain. Salah satu penyebab terjadinya dampak negatif pestisida terhadap lingkungan adalah adanya residu pestisida di dalam tanah sehingga dapat meracuni organisme nontarget, terbawa sampai ke sumber-sumber air dan meracuni lingkungan sekitar. Bahkan, residu pestisida pada tanaman dapat terbawa sampai pada mata rantai makanan, sehingga dapat meracuni konsumen, baik hewan maupun manusia.

(2)

Bahkan akhir-akhir ini diantisipasi adanya kontaminasi pestisida pada air susu ibu. Keracunan akibat kontak langsung dengan pestisida dapat terjadi pada saat aplikasi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sampai tahun 2000 mencatat sedikitnya terjadi tiga juta kasus keracunan pestisida setiap tahun dengan 220.000 korban jiwa.

Sejumlah dampak negatif penggunaan pestisida seperti telah disebutkan di atas, mendorong dibuat metode lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi penggunaan pestisida dalam usaha pemberantasan hama dan penyakit tanaman. Harga pestisida kimiawi cukup tinggi sehingga membebani biaya produksi pertanian. Dalam hitungan petani, biaya komponen pestisida mencapai 25 – 40 persen dari total biaya produksi pertanian. Tingginya harga pestisida kimiawi tersebut disebabkan bahan aktif pestisida masih diimpor. Depresiasi nilai rupiah terhadap dolar Amerika menyebabkan harga pestisida kimiawi semakin tidak terjangkau oleh petani. Dalam kondisi pertanian Indonesia saat ini dengan harga komponen pestisida yang tinggi, maka dapat diramalkan bahwa usaha tani menjadi tidak menguntungkan karena tidak dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan yang layak. Kondisi tersebut tentu saja amat merugikan pembangunan bidang pertanian Indonesia. Di samping itu kebijakan global dalam pembatasan penggunaan bahan aktif kimiawi pada proses produksi pertanian pada gilirannya

nanti akan sangat membebani dunia pertanian di Indonesia. Tingginya tingkat ketergantungan pertanian Indonesia terhadap pestisida kimia akan membawa dampak negatif pada upaya ekspansi komoditas pertanian ke pasar bebas, yang seringkali menghendaki produk bermutu dengan tingkat penggunaan pestisida yang rendah. Dengan demikian secara berangsur-angsur harus segera diupayakan pengurangan penggunaan pestisida kimiawi dan mulai beralih kepada jenis-jenis pestisida hayati (biopestisida) yang aman bagi lingkungan.

Tujuan

Tujuan penulisan ini untuk mengetahui potensi biopestisida sebagai alternalif pengendalian organisme pengganggu tanaman yang ramah lingkungan.

PENDEKATAN MASALAH DAN PEMBAHASAN

Pengertian dan Penggolongan Biopestisida Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan menjadi dua yakni pestisida nabati dan pestisida hayati. Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik dari daun, buah, biji atau akar yang senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu. Pestisida nabati pada umumnya digunakan untuk mengendalikan hama (bersifat insektisidal) maupun penyakit

(3)

(bersifat bakterisidal). Biopestisida yang terbuat dari bahan-bahan alam tidak meracuni tanaman dan mencemari lingkungan. Pemakaian ekstrak bahan alami secara terus-menerus juga diyakini tak menimbulkan resisten pada hama, seperti yang biasa terjadi pada pestisida sintetis. Beberapa jenis tanaman yang mampu mengendalikan hama seperti famili Meliaceae (nimba, Aglaia), famili Anonaceae (biji srikaya, biji sirsak, biji buah nona).

Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik berupa jamur, bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba lainnya (penyebab penyakit tanaman) atau menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat racun baik bagi serangga (hama) maupun nematoda (penyebab penyakit tanaman). Formulasi Beuveria bassiana (isolat Segunung) mampu mengendalikan hama kumbang moncong yang merupakan hama utama anggrek dan serta mengendalikan kumbang mawar serta kutu daun pada tanaman krisan.

Dari kelompok bakteri yang telah banyak diteliti dan digunakan sebagai agen hayati (pestisida hayati) adalah genus Bacillus (B. polimyxa, B. subtilis dan B. thuringiensis), Pseudomonas (P. Fluorescens-Pf), kelompok cendawan (Trichoderma harzianum dan

Gliocladium sp). Formulasi pestisida hayati

yang telah dihasilkan BALITHI diantaranya Bio-PF mengandung Pf untuk mengendalikan penyakit layu bakteri dan cendawan, rebah

kecambah dan bercak daun yang disebabkan oleh Fusarium sp., Phytium sp., Vericillium

albo-atrum, Alternaria spp. dan Rhizoctonia solani. Bio-GL mengandung Gliocladium spp.

untuk mengendalikan penyakit tular tanah yang disebabkan oleh Phomosis seclerotiodes,

Phytium spp, Rhizoctonia solani, Sclerotinia sclerotiorum. Glicompost berbentuk kompos

yang berbahan aktif Gliocladium spp., untuk mengendalikan patogen tular tanah serta penyakit layu Fusarium, Phomosis seclerotiodes, Phytium spp, Rhizoctonia solani

dan Sclerotinia sclerotiorum pada tanaman hortikultura. Prima-BAPF mengandung Bacillus sp dan Pf, untuk mengendalikan penyakit akar bengkak, rebah kecambah, layu Fusarium, layu bakteri, busuk daun Rhizoctonia dan karat.

Lebih lanjut Sastroutomo, (1992) mengemukakan bahwa biopestisida yang ada dapat dibedakan dalam 1) Herbisida biologi (Bioherbisida), 2) Fungisida biologi (Biofungisida) dan 3) Insektisida biologi (Bioinsektisida).

Insektisida biologi (Bioinsektisida) berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida. Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada serangga tidak dapat menimbulkan gangguan terhadap hewan-hewan lainnya maupun tumbuhan. Jenis mikroba yang akan digunakan sebagai insektisida harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak pada

(4)

jenis-jenis lainnya. Pada saat ini hanya beberapa insektisida biologi yang sudah digunakan dan diperdagangkan secara luas. Mikroba patogen yang telah sukses dan berpotensi sebagai insektisida biologi salah satunya adalah

Bacillus thuringiensis (Khetan, 2001). Bacillus thuringiensis var. kurstaki telah diproduksi

sebagai insektisida biologi dan diperdagangkan dalam berbagai nama seperti Dipel, Sok-Bt, Thuricide, Certan dan Bactospeine. Bacillus

thuringiensis var. Israelensis diperdagangkan

dengan nama Bactimos, BMC, Teknar dan Vektobak. Jenis insektisida ini efektif untuk membasmi larva nyamuk dan lalat (Sastroutomo, 1992). Jenis insektisida biologi yang lainnya adalah yang berasal dari protozoa, Nosema locustae, yang telah dikembangkan untuk membasmi belalang dan jengkerik. Nama dagangnya ialah NOLOC, Hopper Stopper. Cacing yang pertama kali didaftarkan sebagai insektisida ialah

Neoplectana carpocapsae, yang

diperdagangkan dengan nama Spear, Saf-T-Shield.

Herbisida biologi (Bioherbisida), adalah pengendalian gulma dengan menggunakan penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus. Bioherbisida yang pertama kali digunakan ialah DeVine yang berasal dari Phytophthora palmivora yang digunakan untuk mengendalikan Morrenia

odorata, gulma pada tanaman jeruk.

Bioherbisida yang kedua dengan menggunakan

Colletotrichum gloeosporioides yang

diperdagangkan dengan nama Collego dan digunakan pada tanaman padi dan kedelai di Amerika (Sastroutomo, 1992).

Fungisida biologi (Biofungisida), menyediakan alternatif yang dipakai untuk mengendalikan penyakit jamur. Beberapa biofungisida yang telah digunakan adalah spora Trichoderma sp. digunakan untuk mengendalikan penyakit akar putih pada tanaman karet dan layu fusarium pada cabai.Merek dagangnya ialah Saco P dan Biotri P (Novizan, 2002). Biofungisida lainnya menurut Novizan (2002), yaitu

Gliocladium spesies G. roseum dan G. virens.

Produk komersialnya sudah dapat dijumpai di Indonesia dengan merek dagang Ganodium P yang direkomendasikan untuk mengendalikan busuk akar pada cabai akibat serangan jamur

Sclerotium Rolfsii. Bacillus subtilis yang

merupakan bakteri saprofit mampu mengendalikan serangan jamur Fusarium sp. pada tanaman tomat. Bakteri ini telah diproduksi secara masal dengan merek dagang Emva dan Harmoni BS (Novizan, 2002).

Prospek Biopestisida

Bertolak dari keadaan dunia pertanian Indonesia seperti tersebut di atas maka usaha untuk memproduksi biopestisida di dalam negeri amat memungkinkan. Faktor yang mendukung di antaranya adalah bahwa Indonesia cukup kaya dengan berbagai jenis jasad renik yang spesifik di daerah tropis dan lebih sesuai untuk iklim Indonesia, karena

(5)

pada umumnya biopestisida dieksplorasi dari berbagai jenis mikroorganisme, yang merupakan musuh alami, sehingga dari ketersediaan bahan baku sangatlah berlimpah. Alam Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati merupakan sumber daya alam yang potensial untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat. Jenis jamur

Trichoderma harzianum dapat dijadikan

produk biofungisida yang efektif untuk mengendalikan jamur penyakit tanaman hortikultura, sayuran maupun tanaman perkebunan dan kehutanan. Jamur

Metarrhizium anisopliae dan Beauveria bassiana, B. brongniartii, Verticillium lecanii, Paecilomyces sp., Entomophhthora sp., dan

jamur entomopatogen lainnya dapat dijadikan produk-produk bioinsektisida. Produk bioinsektisida dengan bahan aktif jamur-jamur di atas umumnya disebut sebagai produk mikoinsektisida, yang efektif terhadap hama serangga tanaman padi, sayuran, hortikultura, dan perkebunan. Bakteri Bacillus thuringiensis telah dikenal mampu mengendalikan hama serangga pada sayuran, dalam produk yang dikenal petani sebagai racun B.t. Sementara untuk bioherbisida dapat diproduksi dengan bahan aktif berupa spora jamur Fusarium sp. avirulen. Teknologi pembuatan pestisida tidak terlalu sulit untuk diadopsi, dan dapat dikembangkan di dalam negeri. Dari ragam teknologi yang sifatnya sederhana dan murah sampai dengan yang agak canggih dan mahal. Langkah penting berikut adalah usaha untuk

memproduksi biopestisida dengan harga relatif murah. Salah satu pemecahan masalah tersebut yaitu dengan memformulasikan kembali bahan baku kualitas analitik yang digunakan di luar negeri serta menggantinya dengan bahan baku lokal, yang harganya relatif lebih murah dan mudah didapatkan.

Menindaklanjuti dasar pemikiran tersebut, maka perlu dilakukan modifikasi terutama untuk substitusi bahan baku lokal, agar dapat diproduksi di dalam negeri dengan biaya produksi yang tidak terlalu mahal dan harga jual yang terjangkau oleh petani. Dari hasil kajian diketahui bahwa komponen bahan baku impor tersebut dapat digantikan dengan jenis bahan yang terdapat di dalam negeri. Contoh, untuk bahan produksi dapat digunakan limbah hasil pertanian seperti onggok tapioka, jerami, limbah jagung, sekam, molase, bagase, dan sebagainya. Banyak jenis sumber daya alam kita (mineral) yang dapat digunakan sebagai bahan untuk formulasi biopestisida, seperti tanah gambut, tanah lempung, dan pasir diatomae. Sejalan dengan pola pikir awal terhadap adaptasi teknologi produksi biopestisida, maka produksi dilakukan dengan menggunakan bahan baku lokal, dalam rangka menekan biaya produksi, tanpa mengurangi kualitas dan efektivitas fungsi dari produk tersebut.

Biaya produksi biopestisida yang murah, sudah barang tentu akan menjadikan harga jualnya pun cukup terjangkau oleh petani. Ongkos produksi pertanian dari kebutuhan pestisida

(6)

yang sebelumnya mencapai 25 – 40 persen dengan menggunakan pestisida kimiawi, kini dapat ditekan menjadi hanya sekitar 8 – 10 persen. Dampak penggunaan biopestisida terhadap kualitas produk secara signifikan dapat meningkatkan nilai jual (ekonomi) produk baik di pasar lokal, regional maupun internasional. Sehingga margin keuntungan petani kita dapat ditingkatkan, dan sudah barang tentu dengan demikian kesejahteraan petani beserta keluarganya dapat meningkat.

Arinafril (2002), mengemukakan bahwa terdapat 37.000 spesies flora Indonesia yang telah diidentifikasi, dan baru sekitar satu persen yang dimanfaatkan untuk biopestisida. Berlandaskan hal itu, pria yang menjadi pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri), Sumatera Selatan, ini giat menggali kegunaan tanaman bagi pemberantasan hama. Sejak 1997 Arinafril membuat ekstrak tanaman untuk biopestisida. Biopestisida yang dia ciptakan memiliki kegunaan mematikan, menghalau, serta menghambat perkembangan ulat dan serangga yang menjadi hama pada tanaman dan tempat penyimpanan makanan. Selain itu, juga menghambat penetasan telur pada keong mas yang kerap menjadi hama padi. Sebagian tanaman yang diolah menjadi biopestisida merupakan tanaman yang banyak ditemukan dan dipelihara masyarakat.

Ekstrak jahe dan temu putih telah dibuktikan khasiat untuk menghambat serangan ulat kubis (Plutella xylostella Linn).

Daun kubis yang diberi ekstrak itu akan menjadi toksin atau racun yang mematikan ulat. Ia juga membuat ekstrak tanaman dari temu putih, biji nimba, daun kenanga, biji selasih, serta daun avokad yang masing-masing berfungsi mencegah serangan kutu pada tempat penyimpanan beras dan kacang-kacangan. Beberapa jenis kacang-kacangan, seperti kacang hijau, kedelai, kacang merah, dan kacang tanah, yang dilumuri ekstrak tersebut akan awet disimpan sampai enam bulan. Khasiat serupa ditemukan pada tanaman bawang putih, bunga kemuning, kulit jeruk, lengkuas, kunyit, temu hitam, cabai merah, tembakau, dan kulit duku. Cairan ekstrak bunga kemuning bahkan efektif mematikan kumbang kacang hanya dengan kadar 1,12 persen.

Beberapa ekstrak yang dihasilkan juga memiliki kegunaan lebih. Ekstrak bunga kenanga, lengkuas, jahe, kunyit, umbi bawang putih, dan daun nimba tidak menghambat perkecambahan benih kacang hijau sehingga aman untuk ditanam meskipun disimpan dalam waktu lama. Pembuatan ekstrak tanaman dilakukan secara sederhana, meliputi metode tepung, rendam, pasta, dan campuran air. Pada ekstraksi jahe yang menggunakan metode tepung, rimpang jahe dibersihkan, dikupas, dan dihaluskan menjadi tepung. Kemudian, serbuk jahe dicampur dengan beras atau kacang guna mempertahankan masa penyimpanan makanan tersebut. Jahe juga bisa diolah melalui metode pasta. Jahe yang sudah dihaluskan dicampur

(7)

air agar membentuk adonan, lalu dimasukkan ke kantong dan diperas. Ke dalam cairan perasan dicelupkan beras dan kacang-kacangan.

Pada tahun 1998 ia membuktikan, campuran ekstrak serai wangi, biji nimba, dan lengkuas yang disemprotkan pada belalang kembara (Locusta migratoria) muda akan mematikan hama itu hanya dalam waktu sekitar 30 menit. Cairan ekstrak dari tiga tanaman tersebut meracuni jaringan sel serangga yang ganas menyerang hamparan padi dan perkebunan di Nusa Tenggara Timur pada tahun 1998.

Arinafril (1999), kembali membuat cairan ekstrak biji nimba yang memiliki daya untuk mematikan 70 persen telur keong mas yang banyak terdapat di daun padi dan tunggul-tunggul sawah. Ekstrak yang disemprot ke kumpulan telur keong mas merusak sel-sel telur dan memutus perkembangbiakkan hewan yang kerap merusak tanaman padi itu.

Pada tahun 2001 ia diminta membantu pencegahan hama kutu daun pada tanaman kacang pea, sejenis kacang kapri yang tumbuh di Jerman. Untuk keperluan itu, ia memanfaatkan cairan ekstrak lengkuas. "Ekstrak lengkuas bersifat sistemik, diserap akar tanaman, dan dibawa ke jaringan daun. Ekstrak racun yang terkandung dalam daun akan mencegah serangan kutu daun.

Organisme Pengganggu Tanaman, Komposisi Biopestisida dan Cara Pengendaliannya.

Jenis OPT yang dapat dikendalikan dengan biopestisida antara lain : (1) Hama secara umum; (2) Hama Trips pada cabai; (3) Hama belalang dan ulat; (4) Hama wereng coklat dan penggerek batang (5) Hama dan penyakit pada tanaman bawang merah; dan (6) Hama tikus. Sedang jenis tanaman biofarmaka antara lain tergantung dari jenis OPT-nya. Ada pun cara mengendalikannya sebagai berikut :

Hama Secara Umum

Daun mimba (Azadirachta indica) 8 kg, lengkuas 6 kg, serai 6 kg, diterjen/sabun colek 20 kg dan air 80 liter. Bagian tanaman ini ditumbuk halus kemudian dicampur diterjen/sabun colek. Setelah itu masukkan 20 liter air dan diaduk sampai rata. Adonan ini diamkan selama 24 jam kemudian disaring dengan kain halus dan hasil saringannya diencerkan dengan 60 liter air. Larutan ini sudah dapat digunakan untuk mengendalikan hama seluas ± satu hektar lahan tanaman.

Hama Trips pada Cabai

Daun sirsak (Annona muricata) 50– 100 lembar setelah ditumbuk halus kemudian dicampur dengan 15 gr detergen/sabun colek. Masukkan air 5 liter dan diaduk sampai rata. Setelah didiamkan selama 24 jam kemudian disaring dengan kain halus. Apabila larutan akan digunakan, setiap satu liter larutan

(8)

diencerkan dengan 10-15 liter air kemudian disemprotkan ke seluruh bagian tanaman cabai yang terserang hama Trips.

Hama Belalang dan Ulat

Daun sirsak (Annona muricata) 50 lembar dan daun tembakau (Nicotiana

tabacum) satu genggam ditumbuk halus.

Setelah itu, tambahkan 20 gram diterjen/sabun colek dan 20 liter air kemudian diaduk sampai rata. Setelah adonan ini didiamkan/diendapkan selama 24 jam kemudian disaring dengan kain halus. Jika larutan tersebut akan digunakan, encerkan dulu dengan 50-60 liter air lalu semprotkan pada tanaman yang terserang hama belalang dan ulat.

PENUTUP A. Kesimpulan

1. Biopestisida cukup efektif sebagai pengendali hama ulat, belalang dan thrips.

2. Sumber bahan baku biopestida cukup banyak yaitu terdapat 37.000 spesies flora Indonesia yang telah diidentifikasi, dan baru sekitar satu persen yang dimanfaatkan.

3. Pembuatan biopestisida dan aplikasinya di lapang cukup mudah dilakukan.

B. Saran

Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman disarankan memakai biopestisida selain mudah didapatkan bahan bakunya juga tidak membawa dampak negatif bagi lingkungan sekitar.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2008. Biopestisida Dari

Tanaman Biofarmaka http://www. sinartani.com/mimbarpenyuluh/biop estisida-tanaman-biofarmaka-1225683995. htm

Arinafril, 1999, , Ekstrak Tanaman untuk

Atasi Hama. Laboratorium

Toksikologi Pestisida. Universitas Sriwijaya. Palembang. Indonesia.

Khetan, S.K. 2001.

Microbial Pest

Control.

http://www.cplbookshop.

com/

contents/C155.htm

Novizan, 2002. Membuat & Memanfaatkan

Pestisida Ramah Lingkungan. Agro

Media Pustaka

Pratomo, Dj. 2008. Biopestisida Sebagai

Pengendali Hama dan Penyakit Tanaman Hias. Laboratorium Biokontrol, Balai Penelitian Tanaman Hias.Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian

Sastroutomo, S. S. 1992. Pestisida. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 186 hal. Wahyudi, P. 2001 Biopestisida Alternatif

Pestisida Masa Depan. Pusat

Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bioindustri, BPPT.

Referensi

Dokumen terkait

Penumpukan pada metode 1 dan 3 dilakukan dengan cetakan dan disusun secara berlapis. Lapisan paling atas dan paling bawah sedapat mungkin adalah sabut

Pada gambar rancangan diagram control di atas,masih ada kekurangan, dimana katika system bekerja dengan menggunakan sumber dari PLN, K1 akan mengaktifkan beberapa

(Suatu hal yang dapat diterapkan secara umum untuk semua persaingan tidak jujur atau curang dalam perdagangan dan bisnis, tetapi terutama diterapkan pada praktik berusaha

Selain pemberdayaan ekonomi mustahiq yang dipaparkan di atas, ada hal lain yang juga sangat penting yaitu mencari tahu akar permasalahan keluarga mustahiq tersebut, sebagaimana

Perubahan sosial ekonomi masyarakat Nagari Talang Kubu Kecamatan Ranah Ampek Hulu Tapan tahun 1995 – 2014 mengalami perubahan yang berarti, hal ini dapat dilihat

(7) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), atas penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu di tempat lain dalam Daerah Pabean oleh pengusaha

Penulisan ini berangkat dari 3 lokasi pene- litian, di samping masih banyak problem yang belum dibahas, seperti: pendekatan kuantitatif, mixing method , dan kajian