• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filsafat Sumber Ilmu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Filsafat Sumber Ilmu"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Sumber Ilmu Menurut Islam dan Sekuler.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih atas semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari

sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Makassar, Oktober 2016 Penyusun

(2)

DAFTAR ISI Kata Pengantar... 1 Daftar Isi... 2 Bab I Pendahuluan... 3 A. Latar Belakang ... 3 B. Rumusan Masalah ... 5 Bab II Pembahasan... 6

A. Pengertian dan Konsep awal ilmu ...6 B. Dasar-dasar ilmu pengetahuan

...9 ... ...

C. Sumber Ilmu dalam perspektif islam ...13

D. Sumber Ilmu dalam Perspektif Sekuler ...24

(3)

... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

Bab III Penutup... 30 Kesimpulan ... 30 Daftar Pustaka... 31

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Cukuplah Darwin yang menganggap dirinya sebagai hasil evolusi dari kera. Karena, apabila manusia merupakan hasil evolusi dari kera, maka tentu kera itu telah habis atau sudah punah karena berevolusi. Kera bukanlah makhluk berpikir seperti halnya manusia. Manusia memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan hewan, memiliki pikiran atau makhluk yang berkesadaran.1

Seringkali terbersit dalam pikiran manusia keinginannya untuk mengetahui sesuatu yang ada di sekitarnya. Keingintahuan ini menjadikan usaha untuk mengenal segala sesuatu yang ada di sekelilingnya, baik berupa makanan, minuman, pakaian dan yang dibutuhkan oleh manusia itu. Selanjutnya, manusia tahu akan manfaat sesuatu, karena manusia selalu ingin tahu akan sesuatu. Patutlah manusia dianggap sebagai mahluk yang haus akan pengetahuan.

Pada tahap pertama manusia memperoleh pengetahuan melalui pengamatan, kemudian membeda-bedakan, diikuti upaya memilih, yang pada akhirnya melakukan percobaan. Akan tetapi, masa percobaan ini masih bersifat trial and error, dimana pengetahuan manusia masih diperoleh dari alam sekitar, terkadang secara kebetulan. Seperti halnya makanan, minuman, dan pakaian semuanya bergantung pada alam.2 Terdapat pula keingintahuan seseorang yang selalu berusaha memuaskan keinginannya lebih detil dan mendalam, tidak hanya memperhatikan kegunannya saja, tetapi

tujuannya adalah tahu yang lebih mendalam, sedapat mungkin tahu benar baik tentang

1Soetriono & Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Andi, 2007), h. 5. 2Sudarsono, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 18.

(5)

penyebabnya, langkah-langkah penyebabnya serta kegunaan lainnya. Inilah yang disebut sebagai ilmu pengetahuan.3 Dengan demikian, meskipun pengetahuan itu telah dimiliki oleh manusia, namun keingin tahuan manusia masih diselimuti dengan

berbagai kenyataan yang dihadapi, sehingga pendalaman dengan berbagai cara ditempuh untuk lebih tahu secara rinci terhadap pengetahuannya.

Manusia senantiasa melakukan inovasi dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya untuk memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidupnya. Dalam proses pengembangan pengetahuan tersebut, manusia melakukan pengamatan dan memikirkan hal-hal yang sifatnya baru. Dari hasil proses berpikir itu, selanjutnya manusia mengembangkan kebudayaan dan memberi makna terhadap kehidupan.

Rangkaian tersebut menunjukkan bahwasanya manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu, bukan saja sekadar untuk mempertahankan hidup sebagai makhluk fisik, lebih dari itu, manusia mengembangkan potensi pengetahuan yang dianugerahkan kepadanya. Dengan pengetahuan yang dimiliki itulah yang

membedakan manusia dengan makhluk lain dan khas di muka bumi ini.4 Keistimewaan yang dimiliki manusia berupa ilmu pengetahuan,

mengantarkannya mencapai tarap kehidupan yang inovatif. Berkat potensi ilmiah yang menjadi ciri khas manusia, sehingga ia senantiasa berpikir untuk menyingkap tabir-tabir misteri dari ke-Mahakuasaan Allah yang tersembunyi di balik ciptaan-Nya. Proses berpikir yang berjalan secara berkesinambungan tersebut mengantar manusia untuk selalu ingin tahu. Hasil dari proses berpikir tersebut selanjutnya melahirkan

pengetahuan.5 Oleh karena itu, perkembangan ilmu merupakan salah satu prestasi besar dari proses berpikir manusia.

3Soetriono & Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, h. 7.

4Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Cet. VIII, Jakarta; Sinar Harapan, 1994), h. 35.

(6)

B. Rumusan Masalah

Ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan demi kesejahteraan manusia. Namun pertanyaan yang sangat penting untuk diketahui, apa saja yang menjadi sumber ilmu pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, makalah ini akan dikembangkan dengan tiga pertanyaan mendasar yakni:

1. Apakah yang menjadi dasar-dasar dari ilmu pengetahuan? 2. Apa saja yang menjadi sumber ilmu dalam perspektif Islam? 3. Apa saja yang menjadi sumber ilmu dalam perspektif sekuler?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, merupakan arah pembahasan dan berusaha untuk dijawab dalam pembahasan selanjutnya.

(7)

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN KONSEP AWAL ILMU

Ilmu atau dalam bahasa Arab disebut dengan ‘ilm yang bermakna

pengetahuan merupakan derivasi dari kata kerja ‘alima yang bermakna mengetahui.7 Secara etimologi, ilmu berasal dari akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari

perkataan ‘ala>mah, yaitu ma’rifah (pengenalan), syu’u>r (kesadaran), tadzakkur (pengingat), fahm dan fiqh (pengertian dan pemahaman), ‘aql (intelektual), dira>yah dan riwa>yah (perkenalan, pengetahuan, narasi), h}ikmah (kearifan), ‘ala>mah (lambang), tanda atau indikasi yang dengan sesuatu atau seseorang dikenal.

Dalam menjelaskan ilmu secara terminologi, al-Attas menggunakan dua definisi; pertama, ilmu sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT, bisa dikatakan bahwa ilmu adalah datangnya (h}us}u>l) makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu; dan kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wus}u>l) pada makna sesuatu atau objek ilmu. Hal ini berimplikasi bahwa ilmu mencakup semua hal. Selanjutnya al-Attas menjelaskan bahwa kedatangan yang dimaksud adalah proses yang di satu pihak memerlukan mental yang aktif dan persiapan spiritual di pihak pencari ilmu, dan di pihak lain keridaan serta kasih saying Allah SWT sebagai Zat yang

memberikan ilmu. Definisi ini mengisyaratkan bahwa pencapaian ilmu dan pemikiran, yang juga disebut proses perjalanan jiwa pada makna, adalah sebuah proses spiritual. Ibnu Khaldun memilah ilmu atas dua macam, yaitu ilmu naqliyah (ilmu yang berdasarkan pada otoritas atau ada yang menyebutnya ilmu-ilmu tradisional) dan ilmu ‘aqliyah (ilmu yang berdasarkan akal atau dalil rasional).6

6 Al-Faruqi, Achmad Reza Hutama. 2015. Konsep Ilmu Dalam Islam. Jurnal Kalimah Vol. 13, No. 2, September 2015.

(8)

Secara terminologi ilmu didefinisikan sebagai usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem tentang kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ihwal yang diselidiki (alam, manusia, dan agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran yang dibantu pengindraan, dimana kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental.7

Definisi ilmu menurut Ashley Montagu sebagaimana dikutip Amsal Bakhtiar, menjelaskan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu system yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.8

Senada yang dikutip oleh Suparlan dari Webster’s Dictionary dijelaskan tentang pengertian ilmu bahwa ilmu itu merupakan 1) pengetahuan yang membedakan dari ketidak tahuan atau kesalahpahaman; pengetahuan yang diperoleh melalui belajar atau praktek, 2) suatu bagian dari pengetahuan yang disusun secara sistematis sebagai salah satu objek studi (ilmu teologi), 3) pengetahuan yang mencakup kebenaran umum atau hukum-hukum operasional yang diperoleh dan diuji melalui metode ilmiah;

pengetahuan yang memperhatikan dunia pisik dan gejala-gejalanya (ilmu pengetahuan alami), dan 4) suatu sistem atau metode atau pegakuan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah.9 Dengan demikian pengertian ini mengisyaratkan bahwa sesuatu akan disebut ilmu apabila diperoleh melalui belajar yang mengandung unsur kesengajaan, direncanakan (terstruktur) secara sistematis, diuji secara ilmiah terhadap suatu obyek. Atau dapat disingkat bahwa ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah yang sistematis.

Ada tiga tanggapan ilmuwan Muslim terhadap sains modern. Yang kemudian masing-masing pendapat itu akan menentukan bagaimana pandangan mereka pula

7Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama (Cet. VII; Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1987), h. 50. 8Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h. 15.

9Suparlan Suharsono, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 1997), h. 35.

(9)

terhadap ide Islamisasi ilmu pengetahuan. Ziauddin Sardar mencatat–sebagaimana dikutip M. Damhuri–ada tiga kelompok yang memandang ilmu pengetahuan modern kini.

Pertama, kelompok Muslim apologetik: kelompok ini menganggap ilmu

pengetahuan modern bersifat netral dan universal. Mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil penemuan ilmu pengetahuan dengan mencari padanan ayat-ayatnya yang sesuai dengan teori dalam sains tersebut. Karena hanya sebagai bentuk apologia saja maka pandangan kelompok ini hanya sebagai penyembuh luka bagi umat Islam secara psikologis bahwa, umat Islam tidak ketinggalan zaman.

Kedua, kelompok yang mengakui ilmu pengetahuan Barat, tetapi berusaha

mempelajari sejarah dan filsafat ilmuan agar dapat menyaring elemen-elemen yang “tidak islami”. Dan yang ketiga, kelompok yang percaya dengan adanya ilmu pengetahuan Islam dan berusaha membangun islamisasi di seluruh elemen ilmu pengetahuan tersebut.10

Dalam al-Qur`an, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia dipandang lebih unggul ketimbang makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya. Ini tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan al-Qur`an pada surat al-Baqarah, 31-32:

“Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian

mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”. Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha

Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Yang dimaksud dengan nama-nama pada ayat di atas adalah sifat, ciri dan hukum sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya.9 Manusia menurut al-Qur`an, memiliki potensi untuk menyiduk ilmu dan

10 Khotimah, Khusnul. 2014. Paradigma Dan Konsep Ilmu Pengetahuan Dalam Al-Qur`An. Epistemé, Volume 9, Nomor 1, Juni

(10)

mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu, bertebaran ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut. Berkali-kali pula al-Qur`an menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang yang berpengetahuan. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an:

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mujadalah: 11).

B. DASAR-DASAR ILMU PENGETAHUAN

Ilmu pengetahuan merupakan dua kata yang saling terkait, dalam Kamus

Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa kata ilmu adalah pengetahuan tentang suatu

bidang yang disusun secara sistematis menurut metode-metode tertentu yang dapat dipergunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu.11 Pendapat lain dijelaskan bahwa kata ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu,

‘ilman, yang diartikan sebagai mengerti atau memahami benar-benar.12 Sedangkan, dalam bahasa Inggris kata ilmu dari kata science yang diambil dari bahasa latin yaitu

scientia (pengetahuan) merupakan turunan dari kata scire (mengetahui), dan

mempunyai arti mengetahui (to know), yang juga berarti belajar (to learn).13

Selanjutnya, menurut Jujun S. Suriasumantri bahwa dasar-dasar pengetahuan itu terdiri dari dua hal, yaitu: penalaran dan logika.14

a. Penalaran

H.A. Dardiri yang mengungkapkan bahwa yang dimaksud penalaran adalah rangkaian kegiatan budi manusia untuk tiba pada suatu kesimpulan (pendapat baru) dari satu atau lebih keputusan atau pendapat yang telah diketahui (premis). Keputusan

11Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 574. 12A.W. Munawar, Kamus Al-Munawwar Arab-Indonesia Terlengkap (Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 966.

13The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Cet. V; Yogyakarta: Liberty, 2000), h. 87. 14Burhanuddin Salam, Logika Materil, h. 39.

(11)

atau pendapat yang disebut juga kesimpulan atau konklusi pastilah merupakan akibat lanjut yang runtut dari premis atau pangkal pikir yang bersangkutan.15

Sedangkan kata pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui atau

kepandaian.16 Pengetahuan berasal dari bahasa Inggris yang disebut knowledge, definisi dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief).17

Secara terminologi, pengetahuan diartikan sebagai kenyataan atau keadaan mengetahui sesuatu yang diperoleh secara umum melalui pengalaman atau kebenaran secara umum, atau sejumlah pengetahuan susunan kepercayaan, informasi dan prinsip-prinsip yang diperoleh manusia.18 Terkadang diperoleh pengetahuan berdasarkan informasi secara turun temurun dari orang tua, boleh jadi seperti pesan “paseng” dan begitu halnya dengan agama.

Sedangkan menurut Sidi Gazalba, pengetahuan merupakan hasil pekerjaan dari tahu, yang merupakan hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan merupakan semua milik atau isi pikiran.19 Pendapat ini secara umum menggambarkan apa yang diketahui manusia terhadap apa yang ada dalam pikirannya, namun belum pada tahap penelitian secara ilmiah. Atau lebih jelasnya lagi didukung oleh pendapat yang mengemukakan bahwa pengetahuan adalah pembentukan pemikiran asosiatif yang menghubungkan atau menjalin sebuah pikiran dengan kenyataan atau dengan pikiran lain berdasarkan pengalaman yang berulang-ulang tanpa pemahaman mengenai kausalitas (sebab-akibat) yang hakiki dan universal.20

Terkadang pula pengetahuan manusia diperoleh secara tidak sengaja atau bahasa umumnya keberuntungan. Dimana suatu peristiwa yang tidak disengaja,

terkadang meghasilkan suatu kebenaran yang menambah perbendaharaan pengetehuan manusia, karena sebelumnya kebenaran itu tidak diketahui. Salah satu contoh adalah

15H.A. Dardiri, Humaniora: Filsafat dan Logika (Cet. I; Jakarta, Rajawali, 1986), h. 72. 16Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, h. 1591.

17Sudarsono, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar, h. 15. 18Suparlan Suharsono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, h. 34. 19Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 85.

(12)

peristiwa yang dialami oleh seorang Indian yang menderita penyakit demam malaria dengan suhu panas yang tinggi. Dalam keadaannya yang tidak berdaya itu, ia terjatuh pada aliran sebuah sungai kecil yang airnya berwarna hitam. Secara tidak sengaja ia meminum air sungai itu yang terasa pahit, dan ternyata penyakitnya berangsur-angsur sembuh. Setelah ditelusuri, ternyata penyebab hitamnya air sungai tersebut karena adanya pohon Kina yang tumbang di hulu sungai. Dari kejadian yang tidak disengaja tersebut, diketahuilah bahwa Kina merupakan obat bagi penyakit demam akibat

malaria.21 Manusia pun banyak menggunakan pengetahuan untuk hidupnya sehari-hari, seperti air yang dapat digunakan untuk mandi, mencuci, memasak, tetapi belum pada tahap pemanfaatan air seperti irigasi, pembangkit listrik dan lainnya.

Selanjutnya Jujun S. Suriasumantri berpendapat bahwa yang disebut penalaran adalah cara berpikir atau kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Binatang mampu berpikir namun tidak mampu berpikir nalar. Instink binatang jauh lebih peka dari instink seorang insinyur geologi. Binatang misalnyanya, sebelum terjadinya letusan gunung merapi, sudah jauh-jauh berlindung ke tempat yang aman. Namun binatang tak mampu menalar tentang gejala tersebut; mengapa gunung meletus, faktor apa yang menyebabkannya, apa yang dapat dilakukan untuk mencegah semua itu terjadi.22

Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu: 1) Adanya suatu pola berpikir secara luas dapat disebut logika. Dalam hal ini dapat

dikatakan bahwa kegiatan penalaran merupakaan suatu proses logis (berpikir menurut pola tertentu).

2) Sifat analitik dari proses berpikir. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan adalah logika penalaran yang bersangkutan. Disamping itu, kegiatan berpikir ada juga yang tidak berdasarkan penalaran, misalnya intuisi. Berpikir intuitif ini memegang peranan penting dalam masyarakat yang berpikir non analitik

21Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Cet. IX; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001), h. 13-14.

(13)

yang kemudian sering bergelut dengan perasaan. Maka dapat dikatakan bahwa cara berpikir masyarakat dapat dikatagorikan kepada cara berpikir analitik yang berupa penalaran dan cara berpikir non analitik yang berupa intuisi dan perasaan.

Disamping itu masih terdapat bentuk lain dari usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan, yakni wahyu.23

b. Logika

Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan, agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu memiliki dasar kebenaran maka proses berpikir dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulaan baru dianggap sahih (valid) jika proses penarikan kesimpulaan tersebut dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, dimana logika secara umum dapat didefinisikan sebagai “pengakajian untuk berpikir secara sahih”. Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan namun untuk tujuan studi yang

memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, jika seseorang akan melakukan penelaahan yang seksama hanya terdapat dua jenis cara penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan deduktif.24

Induksi dikatakan bertolak dari pernyataan-pernyataan yang khusus dan dengan melalui generalisasi yang semakin lama semakin jauh, pada akhirnya mencoba

menghasilkan suatu teori. Deduksi justru sebaliknya, yaitu berupa penjabaran proposisi-proposisi khusus dari proposisi umum atau universal.25

Jadi logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan sebaliknya logika deduktif, yaitu yang menolong seseorang menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual.

C. SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM

23Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, h. 42. 24Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, h. 46.

(14)

Dalam Islam, pengertian ilmu sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Zakariyah adalah segala yang menunjukkan kepada bekas atau yang memiliki keistimewaan.26 Sedangkan pengertian ilmu secara istilah menurut al-Raghib al-Ashfahani adalah sebagaimana yang dirumuskannya dalam Mufradat Alfazh al-Qur’an, yakni: Ilmu adalah mengetahui esensi dari sesuatu yang dari segi obyeknya terdiri atas dua, yakni;

pertama, mengetahui zat sesuatu; kedua, menetapkan sesuatu berdasarkan ada atau

tidak adanya sesuatu yang lain.27J ika pengertian ilmu ditelusuri lebih lanjut melalui ayat-ayat Alquran, di sana disebutkan term ilmu atau al-‘ilm sebanyak 105 kali. Bahkan, angka sebanyak ini semakin bertambah jumlahnya menjadi 744 kali bila disertakan derivasinya.28

Sedangkan terminologi ilmu dalam Alquran (tanpa derivasi) yang disebutkan sebanyak 150 kali tersebut, mengandung empat pengertian,29 yakni;

1. Pengetahuan yang dinisbatkan kepada Allah. jenis ini hanya

dapat diketahui oleh Allah sendiri. Keberadaan pengetahuan ini disebut dalam QS. Hud/11: 14, yakni;

ننووممللِسومم موتمنوأن لوهنفن ونهم للإلِ هنلنإلِ لن نوأنون لللِا ملِلوعلِبلِ لنزلِنوأم ا مننلأن اومملنعوا فن موكملن اوبميبجلِتنسوين مولن نوإلِفن Terjemahnya:

Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka (katakanlah olehmu): “Ketahuilah, sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?”

2. Pengetahuan yang diwahyukan Allah kepada para nabi dan

utusan-Nya. Pengetahuan seperti ini bersifat khusus dan dalam eksistensinya

26Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, juz IV (Cet. II; Mesir: Mushthafa al-Bab al-Halabi wa Awladuh, 1971), h. 109.

27Al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfazh al-Qur’an (Cet. I; Damsyiq: Dar al-Qalam, 1992), h. 580. 28Muhammad Fu’ad ‘Abd. Baqy, Mu’jam Mufahras li Alfazh Qur’an Karim (Bairut: Dar al-Fikr, 1992), h. 596-610.

29H. Abd. Muin Salim, “Alquran sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan” dalam Jurnal Mitra, Volume I No. 1/2004 (Makassar: Kopertais Wil. VIII, 2004), h. 18-19.

(15)

tertuang ke dalam kitab suci dan ajaran para rasul-Nya. Misalnya QS. al-Baqarah/2: 145, yakni;

ننيبملِللِا ظللا ننملِلن اذذإلِ كننلإلِ ملِلوعلِلوا ننملِ كنءنا جن ا من دلِعوبن نوملِ موهمءناونهوأن تنعوبنتلا نلِئلِلنون... Terjemahnya:

… dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.

3. Pengetahuan yang disandarkan kepada malaikat yang diberikan

Allah yang hakikatnya hanya Allah sendiri yang tahu. Hal ini disebutkan dalam QS. al-Baqarah/2: 32, yakni;

مميبكلِحنلوا مميبللِعنلوا تننوأن كننلإلِ ا ننتنموللعن ا من للإلِ ا ننلن منلوعلِ لن كنننا حنبوسم اولما قن Terjemahnya:

Mereka menjawab: Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

4. Pengetahuan yang dimiliki manusia seperti yang terkandung

dalam QS. al-Qashash/28: 78, yakni;

...ي.دلِنوعلِ مملوعلِ ى لنعن همتميبتلِوأم ا مننلإلِ لنا قن Terjemahnya:

Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”.

Pengertian-pengertian ilmu yang terinterpretasi dari ayat-ayat tersebut, memberikan indikasi bahwa ilmu atau pengetahuan dalam jiwa manusia tidaklah bersamaan dengan keberadaan manusia itu sendiri. Manusia dilahirkan tanpa

mempunyai pengetahuan sedikit pun dan pada tahap selanjutnya manusia memperoleh pengetahuan melalui ta’lim dari Allah. Dengan demikian, tidaklah berarti bahwa pengajaran Allah tentang ilmu kepada manusia terjadi secara otomatis, justru Alquran

(16)

mengisyaratkan beberapa cara bagaimana manusia menemukan ilmu atau pengetahuan tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ilmu dalam Alquran lazimnya digunakan dalam dua batasan pengertian, yakni ilmu yang dinisbatkan kepada Allah dan ilmu yang nisbatkan kepada manusia.

Selanjutnya, kajian Islam tentang ilmu dalam arti pengetahuan juga identik dengan term al-ma’rifah dan al-hikmah.Menurut H. Abd. Muin Salim, term ma’rifah dalam ayat di atas berkonotasi “persepsi yang dimiliki seseorang”.30 Sekaitan dengan ini, al-Ashfahani menyatakan bahwa ma’rifah adalah pengetahuan terhadap sesuatu dengan cara berfikir dan merenung.31Sedangkan Ibn Katsir dalam tafsirnya

menjelaskan bahwa pengertian kata ma’rifah bukan saja dalam pengertian persepsi dan bukan pula ilmu yang diperoleh melalui kegiatan berfikir dan merenung, tetapi ia adalah pengetahuan yang diperoleh melalui panca indra berupa penglihatan.32

Masih terkait dengan pengertian ilmu, oleh Dawam Rahardjo dalam

Ensiklopedi Alquran menyatakan bahwa dalam tradisi Islam, tidak saja dikenal apa

yang disebut “ilmu” (al-‘ilm), yang tidak hanya bersifat positivis, tetapi juga dikenal dengan dengan al-hikmah, pengetahuan yang tinggi, pengetahuan tentang kearifan (wisdom), dan al-ma’rifah, pengalaman tentang realitas sejati.33

Dapatlah dirumuskan bahwa terminologi ilmu dalam Islam dapat disinonimkan dengan ma’rifah dan al-hikmah, namun dalam hal-hal tertentu dapat saja dibedakan pengertiannya, jika dikembalikan kepada makna aslinya. Dalam hal ini, pengertian ilmu secara umum adalah “pengetahuan”, sementara ma’rifah adalah “persepsi” dan

al-hikmah adalah “kebijaksanaan”.

Dengan merujuk pada term-term al-‘ilm beserta derivasinya di dalam Alquran, para mufassir kemudian berbeda-beda dalam mengklasifikasikan ilmu. Ada yang berpendapat bahwa ilmu terdiri atas dua, yakni ilmu nazari dan ilmu ‘amali. Yang pertama, yaitu ilmu yang sudah cukup dengan mengetahuinya tanpa harus

30H. Abd. Muin Salim, H. Abd. Muin Salim, “Alquran sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan”, h. 14. 31al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 560.

32Abu al-Fida Ismail bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, juz II (Indonesia: Toha Putra, t.th.), h. 483. 33Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Alquran (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 57.

(17)

mengamalkannya, seperti mengetahui adanya makhluk hidup di dalam sebuah genangan air. Yang kedua, yaitu ilmu yang tidak cukup hanya dengan mengetahuinya saja, tetapi harus dengan diamalkan; seperti ilmu tentang ibadah kepada Allah.

Ada pula yang membagi ilmu tersebut menjadi “aqli” dan “sam’i”. Yang pertama, yaitu ilmu yang diperoleh melalui penelitian; seperti ilmu tentang adanya hubungan saling mempengaruhi antara dua hal. Yang kedua, yaitu ilmu yang diperoleh melalui pendengaran tanpa penelitian; seperti mengetahui hasil pertambahan angka 1 dan 2 menjadi 3 (1+2=3).

Dalam dunia pendidikan, ada yang disebut dengan “ilmu Islam” dan “ilmu Barat”, “ilmu agama” dan “ilmu umum”. Demikianlah seterusnya, sehingga tidak ditemukan kata sepakat mengenai pembagian atau klasifikasi ilmu dalam berbagai perspektif.

Dengan merujuk pada terminologi “ilmu” yang diartikan dengan“pengetahuan yang diperoleh manusia”, oleh H. Abd. Muin Salim mengklasifikasinya atas tiga jenis, yakni; ilmu kasbiyun, ilmu wahabiyun dan ilmu syu’uriyun.34 Menurutnya, ilmu dalam kategori pertama disebut dengan pengetahuan olahan, yang kedua disebut dengan pengetahuan limpahan, dan yang ketiga adalah pengetahuan rasa.

Terlepas dari pengklasifikasian ilmu sebagaimana yang disebutkan, maka ilmu dalam Alquran pada dasarnya terklasifikasi atas dua jenis. Pertama, ilmu yang

diperoleh melalui proses belajar (al-ilm kasbiy). Kedua, ilmu yang merupakan

anugerah Allah (tanpa proses belajar) yang sering disebut dengan istilah ilmu ladunniy. 1) Ilmu Kasbiy

Ilmu kasbiy, yakni pengetahuan yang diperoleh manusia bersumber dari dari luar dirinya melalui pengalaman hidup ataupun dengan usaha yang disengaja. Macam yang pertama misalnya adalah pengetahuan lingkungan hidup yang merupakan bagian dari kehidupan manusia seperti matahari yang terbit di Timur dan terbenam di Barat. Bentuk yang lebih kompleks adalah pengetahuan atau budaya yang diwarisi secara

34H. Abd. Muin Salim, Beberapa Aspek Metodologi Tafsir Alquran (Ujungpandang: LSKI, 1991), h. 24.

(18)

tidak disadari. Sedang macam kedua misalnya adalah pengetahuan yang diperoleh berdasarkan usaha-usaha belajar, mendengar keterangan atau membaca dari tulisan-tulisan yanng ada, dan dalam bentuk kompleks adalah yang diperoleh dengan penelitian.35

Paradigma ilmu kasbiy ini adalah firman Allah dalam QS. al-Alaq (96) 1-5, yakni; )قنلنخن ي.ذلِللا كنببرن ملِسوا بلِ أورنقوا 1 )قملنعن نوملِ ننا سننولولِا قنلنخن( 2 ممرنكولونا كنببرنون أورنقوا( ) 3 )ملِلنقنلوا بلِ منللعن ي.ذلِللا( 4 )مولنعوين مولن ا من ننا سننولولِا منللعن( 5 ( Terjemahnya:

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah

menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Ayat tersebut mengandung pesan ontologis tentang sumber ilmu pengetahuan. Pada ayat tersebut Allah memerintahkan Nabi saw agar membaca. Sedangkan yang dibaca itu obyeknya bermacam-macam. Yaitu ada yang berupa ayat-ayat yang tertulis (ayah qur’aniyah), dan dapat pula ayat-ayat Allah yang tidak tertulis (ayah

al-kawniyah). Membaca ayat-ayat qur’aniyah, dapat menghasilkan ilmu agama seperti

fikih, tauhid, akhlak dan semacamnya. Sedangkan membaca ayat-ayat kawniyah dapat menghasilkan sains seperti fisika, biologi, kimia, astronomi dan semacamnya.

Dapatlah dirumuskan bahwa ilmu kasbiy tersebut sumber dari ayat-ayat

qur’aniyah dan kawniyah, dan untuk memperolehnya maka manusia dituntut untuk

senantiasa membaca. Timbul pertanyaan, mengapa kata iqra’ atau perintah membaca dalam sederetan ayat di atas, terulang dua kali yakni pada ayat 1 dan 3. Jawabannya antara lain bahwa, perintah pertama dimaksudkan sebagai perintah mencari ilmu, sedang yang kedua perintah untuk mengajarkan ilmu kepada orang lain. Ini

mengindikasikan bahwa ilmu kasbiy harus dituntut dengan usaha yang maksimal dan memfungsikan segala potensi yang ada pada diri manusia. Setelah ilmu tersebut

(19)

diperoleh, maka amanat selanjutnya adalah mengajarkan ilmu tersebut, dengan cara tetap memfungsikan segala potensi tersebut.

Potensi-potensi pada diri manusia yang harus digunakan untuk menuntut ilmu tersebut adalah al-sama’(pendengaran),36 al-bashar (penglihatan)37dan al-fu’ad (hati).38 Ketiga potensi ini disebutkan dalam beberapa ayat secara bersamaan, misalnya dalam QS. al-Nahl/16: 78. ممكملن لنعنجنون ا ئذيبوشن ننومملنعوتن لن موكمتلِا هنملأم نلِوطمبم نوملِ موكمجنرنخوأن للماون عنموسللا اون رنا صنبولون و ةندنئلِفولونان ننورمكمشوتن موكمللعنلن

Ketiga potensi yang disebutkan dalam ayat tersebut, merupakan alat potensial untuk memperoleh pengetahuan. Karena itu, Allah telah memberikan pendengaran, penglihatan dan hati kepada manusia agar digunakan untuk merenung, memikirkan, dan memerhatikan apa-apa yang ada di luar dirinya. Kata al-sam’u di dalam Alquran selalu digunakan dalam bentuk tunggal dan selalu mendahului kata abshar dan

al-af’idah. Sebab didahulukannya al-sam’u (pendengaran), mengisyaratkan bahwa

potensi pendengaran lebih berfungsi ketimbang penglihatan dan hati dalam proses pencarian ilmu. Namun demikian, ketika ketiga potensi ini tidak saling menopang maka tidak akan membuahkan ilmu yang sempurna. Dikatakan demikian, karena ketiga potensi tersebut sangat terkait.

Kaitan antara ketiga potensi tersebut adalah bahwa pendengaran bertugas memelihara ilmu pengetahuan yang telah ditemukan oleh orang lain, penglihatan bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan menambahkan hasil penelitian dengan mengadakan pengkajian terhadapnya. Hati bertugas membersihkan ilmu pengetahuan dari segala sifat yang jelek, lalu mengambil beberapa kesimpulan.

2) Ilmu Ladunny

Ilmu ladunny adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses belajar. Paradigma ilmu ladunny ini adalah firman Allah dalam QS. al-Kahfi/18: 65.

ا مذلوعلِ ا نلدملن نوملِ هما ننموللعنون ا نندلِنوعلِ نوملِ ةذمنحورن هما ننيبوتناءن ا نندلِا بنعلِ نوملِ ادذبوعن ادنجنونفن

36Kata al-sama’ dalam Alquran terulang sebanyak 185 kali. Muhammad Fu’ad Abd. al-Baqy, al-Mu’jam

al-Mufahras..., h. 278.

37Kata al-bashar dalam Alquran terulang sebanyak 148 kali. Lihat al-Mu’jam al-Mufahras..., h. 252-253. 38Kata al-fu’ad dalam Alquran terulang sebanyak 16 kali. Lihat al-Mu’jam al-Mufahras..., h. 145.

(20)

Terjemahnya:

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Dengan demikian, ilmu ladunny ini adalah pengetahuan limpahan, misalnya ilham atau berupa wahyu. Karena itu tepat juga bila dikatakan bahwa ia sama dengan ilmu wahabiy sebagaiamana yang dikonsepsikan olehH. Abd. Muin Salim yaitu pengetahuan yang diperoleh manusia bersumber dari luar dirinya sebagai pemberian Tuhan kepadanya baik untuk kepentingannya sendiri maupun untuk kepentingan kemanusiaan dan juga lingkungannya.39

Kalau kembali dicermati QS. al-Alaq (96) yang telah dikutip terdahulu, di sana memang dijelaskan bahwa di samping ilmu kasbiy ada juga ilmu ladunny. Allah “mengajar dengan qalam”, yakni mengajar manusia melalui upaya mereka adalah tergolong sebagai ilmu kasbiy. Sedangkan Allah “mengajar apa yang mereka tidak diketahui”, tanpa usaha mereka, tetapi langsung sebagai curahan rahmat-Nya, inilah yang disebut dengan ilmu ladunny. Perlu ditegaskan bahwa manusia dalam

memperoleh ilmu ladunnymemiliki syarat-syarat tertentu, misalnya yang bersangkutan adalah seorang nabi atau rasul-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Jin/72: 60-61, yakni; )ادذحنأن هلِبلِيبوغن ى لنعن رمهلِظويم لنفن بلِيبوغنلوا ممللِا عن 26 )ادذصنرن هلِفلِلوخن نوملِون هلِيودنين نلِيبوبن نوملِ كملمسوين همنلإلِفن لموسمرن نوملِ ى ضنتنروا نلِمن للإلِ( 27 ( Terjemahnya:

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak

memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.

39H. Abd. Muin Salim, Beberapa Aspek Metodologi…, h. 24. H. Abd. Muin Salim, “Alquran sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan”, h. 16.

(21)

Tidak ditemukan adanya ayat secara tegas yang melegalisasi bahwa selain nabi/rasul akan memperoleh ilmu ladunny. Akan tetapi dengan memahami tafsiran firman Allah dalam QS. Fathir/35: 28, yakni; ءما منلنعملوا هلِدلِا بنعلِ نوملِ للن ا ى شنخوين ا مننلإلِdan hadis Nabi saw yang menyatakan bahwa “ulama adalah pewaris nabi”, praktis bahwa ilmu

ladunny dapat saja diperoleh oleh siapa selain nabi dengan syarat dia adalah ulama

yang bernotabene sebagai “pewaris nabi”. Pada sisi lain, potensi af’idah” atau “al-fu’ad” yang dinaugerahkan Allah kepada manusia itu, jika senantiasa dipelihara dengan baik, dalam artian manusia mensucikan jiwanya dan menjernikan kalbunya, praktis bahwa ilmu ladunny tersebut akan dicapainya. Jadi, ilmu tidak selamanya diperoleh melaui proses belajar-mengajar, tetapi ia adalah ilham yang dinampakkan Allah ke dalam hati orang-orang yang dikehendakinya.

Mengenai sumber-sumber pengetahuan yang merupakan bahasan pertama dalam epistemologi, para filosof Islam menganggap bahwa realitas tidak hanya terbatas pada realitas yang bersifat fisik melainkan juga mengakuirealitas yang bersifat non fisik. Oleh karena itu dalam epistemologi Islam kita mengenal realitas non fisik baik berupa realitas imajinal (mental) maupun realitas metafisika murni yang dibahas oleh para pemikir.40

Menurut Jalaluddin Rakhmat, secara epistemologis, Alquran memperkenalkan empat sumber pengetahuan manusia yaitu;

1) Alquran dan sunah 2) Alam semesta 3) Diri manusia 4) Sejarah41

Antara kesemua sumber pengetahuan tersebut, tidak mungkin ada konstradiksi, sebab kalau dibahas lebih mendalam mengenai sumber-sumber ilmu, maka akan sampai kepada satu titik temu yaitu bahwa kesemuanya itu berasal dari satu sumber,

40Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 2002), h. 58. 41Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif (Cet. XII; Bandung: Mizan, 2004), h. 203-205. Murtadha Muthahhari, Man and Universe diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Manusia dan Alam Semesta (Cet. II; Jakarta: Lentera Basritama, 2002), h. 47-48.

(22)

yaitu Tuhan. Mengenai alat pencapaian pengetahuan secara umum para pemikir Islam sepakat bahwa ada tiga alat epistemologi yang dimiliki oleh manusia dalam mencapai pengetahuan. Yaitu Indra, Akal dan Hati. Ketiga alat epistemologi ini kemudian menghasilkan tiga metode dalam pencapaian pengetahuan yaitu:

1) Observasi sebagaimana yang dikenal dalam epistemologi Barat atau disebut juga metode bayani yang menggunakan indra sebagaipirantinya.

2) Deduksi logis atau demonstratif (burhani) dengan menggunakan akal. 3) Intuitif atau irfani dengan menggunakan hati.42

Observasi ditujukan untuk melakukan pengkajian terhadap objek-objek yang bersifat indrawi dan menghasilkan pengetahuan sains, dalam istilah Muhammad Baqir Shadr metode ini juga disebut dengan teori disposesi.43 Sedangkan metode

demonstrative ditujukan untuk memahami realitas-realitas imajinal manusia dan melahirkan ilmu-ilmu murni berupa logika, filsafat dan matematika. Selanjutnya metode intuitif digunakan untuk memahami secara langsung realitas metafisis yang bersifat hudhuri dalam jiwa manusia. Dan menghasilkan pengetahuan mistik.44

Berbicara mengenai titik tekan penggunaan metode demonstratif dan intuitif dalam proses pencapaian pengetahuan manusia para filosof Muslim kemudian berbeda pendapat. Dalam sejarah filsafat Islam secara umum filsafat Islam terbagi ketiga aliran besar yaitu:

1) Paripatetik atau masysya’iyah

Secara harfiah paripatetik atau masysya’iyah berarti jalan modar-mandir. Penggunaan istilah ini disebutkan merujuk pada Plato yang mengajarkan filsafat kepada murid-muridnya dengan berjalan-jalan. Penamaan aliran ini sangat jelas terpengaruh oleh pemikiran Yunani yang dibangun oleh Aristoteles dan Plato.

Meskipun banyak melakukan revisi terhadap pemikiran Yunani aliran ini dibangun atas

42Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam, h. 63.

43Muhammad Baqir Shadr, Falsafatuna, diterjemahkan oleh M. Nur Mufid Ali (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1994), h. 36-37.

(23)

dasar Aristotellanisme danNeo Platonis.45Aliran paripatetik dinisbatkan kepada tokoh-tokoh filosof Islam generasi awal diantaranya al-Farabi dan Ibnu Sina. Aliran ini sangat menekankan metode diskursif-demonstratif dengan menekankan pada aspek

rasionalitas manusia.46

2) Iluminasi atau hikmah isyraqiyah

Aliran iluminasi menurut berbagai sumber didasarkan pada ajaran Plato. Aliran ini dinisbatkan kepada seorang filosof – sufi Islam yaitu Syiihabuddin Suhrawardi al-Maqtul. Secara epistemologi aliran ini sangat menekankan perolehan kebenaran lewat pengalaman intuitif dan kemudian mengelaborasi dan memverifikasinya secara logis.47

Mengenai proses mendapatkan pengetahuan, yang dalam bahasa iluminasi disebut juga dengan pencerahan (isyraq) menurut Syuhrawardi ada empat tahapan yang dilalui yaitu:

a) Tahap pertama adalah pembebasandiri dari kecenderungan-kecendrungan duniawi untuk menerima pengalaman Ilahi.

b) Tahap iluminasi, yaitu tahapan dimana manusia mendapatkan penglihatan akan sinar ketuhanan serta mendapatkan apa yang disebutkan dengan cahaya ilham. c) Tahap diskursif, dimana pengetahuan yang didapatkan dengan pencerahan

kemudian dikonstuksi lewat premis-premis yang didasarkan pada logika diskursif.

d) Tahap keempat ialah tahapan pembahasan dan penulisan.48 3) Teosofi transendental atau hikmah muta’alliyan

Teosofi transendental merupakan aliran filsafat Islam yang didirikan oleh Mulla Shadra dalam merumuskan alirannya berusaha memadukan konsep-konsep pemikiran Islam yang telah dibangun sebelumnya, yaitu pemikiran kalam, paripatetik, ilmunisasi dan sufisme.49

45Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam (Cet. I; Bandung: Arasy, 2005), h. 85. 46Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam, h. 103.

47Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam, h. 138. 48Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam, h. 138-139. 49Kosmic, Manual Training Filsafat, h. 233.

(24)

Secara epistemologi teosofi transendental menekankan tiga prinsip utama dalam perolehan ilmu pengetahuanyaitu, intuisi intelektual atau isyraq, pembuktian

rasional secara Deduktif-silogistik, dan syariat.50 Dalam hal ini nash Alquran, dan hadis. Sehingga filsafat hikmah atau teosofi transendental adalah kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan spritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk argumentasi yang rasional dan didasarkan pada nash-nash Islam.51

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sumber ilmu dalam Islam antara lain:

1) Panca indra; yang kemudian menjadi ilmu nazhari.

2) Pengalaman; yang kemudian menjadi ilmu hudhuri(pengalaman umum),ilmu

ladunni (pengalaman ruhani/intuitif, dan mistik), dan ilmu burhani (pengalaman

demonstratif, kesadaran kritis, analitis, dan rasionalitas).

3) Teks/nash Alquran dan hadis; yang kemudian menjadi ilmu bayani.

4) Supra-spritual atau meta-mistisis; diperoleh melalui mujahadah dan riyadah secara presentasional yang kemudian menjadi ilmu irfani.Dalam ilmu tasawuf, ilmu ini dikonsepsi dalam bentukzuhud, thariqat, mahabbah, suluk, hulul, dan wihdatul

wujud.Istilah-istilah tersebut juga ditemukan dalam ilmu isyraqi atao teori kasyf

(illuminasi), yakni pengetahuan yang bersumber dari pancaran nur ilahi.

D. SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF SEKULER

“Sekular” berarti bersifat duniawi atau kebendaan,52 kemudian sekularisasi berati hal-hal yang membawa kearah kehidupan duniawi sehingga norma-norma yang ada tidak didasari pada ajaran agama.53 Di dalam Encyclopedia Americana disebutkan: "Secularism is an ethical system founded on the principles of natural morality and

independent of revealed religion or supernaturalism”.54 (Sekularisme adalah suatu

50Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam, h. 171. 51Kosmic, Manual Training Filsafat, h. 234.

52Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 894. John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Cet. XXII; Jakarta: Gramedia, 1996), h. 509. Selanjutnya dapat pula berarti kondisi dunia pada waktu, periode atau zaman tertentu. Imam Munawir, Posisi Islam di Tengah Pertarungan Ideologi dan Keyakinan (Cet.I; Surabaya: Bina Ilmu, 1986), h. 51.

53Imam Munawir, Posisi Islam di Tengah Pertarungan Ideologi dan Keyakinan, h. 51.

(25)

sistim etis (peradaban) yang didasarkan pada prinsip-prinsip moralitas yang alami dan terlepas dari agama (yang diwahyukan) atau hal-hal yang gaib).

Paham sekularis menyimpulkan adanya beberapa sumber ilmu yang terkait dengan aliran-aliran yang mengusungnya. Beberapa sumber ilmu tersebut antara lain: 1) Pengalaman dan indra lahiriah; selanjutnya melahirkan paham dan aliran

empirisme. Dalam paham ini, semua pengetahuan dapat dilacak sampai pada pengalaman indrawi, dan yang tidak demikian dianggap bukan pengetahuan ilmiah.55 Aliran ini beranggapan bahwa seluruh ide datang dari pengalaman (experience) dan tidak ada proporsi tentang suatu benda dalam kenyataan yang dapat diketahui sebagai kebenaran yang independen dari pengalaman. Empirisme adalah sebuah paham yang menganggap bahwa pengetahuan manusia didapatkan lewat pengalaman yang kongkrit, bukan penalaran rasional yang abstrak. Gejala alamiah bersifat kongkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indra manusia. Paham kelompok ini, pada perkembangan selanjutnya akan melahirkan ideologi baru pada apa yang sering disebut sebagai paham naturalism yang menganggap bahwa hanya alam otentik yang dapat dipercaya.56

Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkrit dan dapat dinyatakan lewat tanggapan panca indra manusia. Gejala tersebut jika ditelaah lebih mendalam memiliki beberapa sifat tertentu, umpamanya

memiliki keteraturan (ketertiban) mengenai suatu kejadian tertentu. Suatu benda padat misalnya kalau dipanaskan akan mengembang, langit mendung diikuti dengan hujan dan demikian seterusnya. Pengamatan akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu.

Disamping itu dapat dilihat adanya karakteristik yang lain yakni adanya kesamaan dan pengulangan, misalnya bermacam-macam logam kalau dipanaskan akan

55Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Suatu Tinjauan Ontologis, Irma Fatimah (ed.) (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), 1992), h. 55.

56Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy (USA: The Ronald Press Company, 1987), h. 115.

Burhanuddin Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan (Cet. I; Jakarta: 1997), h. 99. Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Metode Dalajm Mencari Pengetahuan, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.)

(26)

memanjang. Hal ini akan memungkinkan untuk melakukan suatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi.

2) Penalaran; selanjutnya melahirkan paham dan aliran rasionalisme. Penganut rasionalisme berpendapat bahwa sumber satu-satunya dari pengetahuan manusia adalah rasionya (akal budinya). Pelopornya ialah Rene Descartes. Aliran ini sangat mendewakan akal budi manusia yang melahirkan paham intelektualisme dalam dunia pendidikan.57 Rasio mampu mengetahui kebenaran alam semesta, yang tidak mungkin dapat diketahui melalui observasi. Menurut Rasionalisme, pengalaman tidak mungkin dapat menguji kebenaran “hukum sebab akibat”, sebab peristiwa yang banyak tak terhingga itu tidak mungkin dapat diobservasi. Pengalaman hanya sampai menggambarkan tidak dapat dibuktikan.58

3) Sikap kritis; selanjutnya melahirkan paham dan aliran kritisisme. Paham yang dibawa oleh Immanuel Kant ini berpandangan bahwa pemutlakan rasio

(rasionalisme) sama tidak benarnya dengan pemutlakan indra (empirisme).59 Menurut Kant, memang benar bahwa manusia punya pengalaman indrawi, tetapi sama benarnya juga bahwa manusia mempunyai pengetahuan yang

menghubungkan hal-hal, yang untuk mencapainya, manusia harus keluar menembus pengalaman.60

4) Intuisi ;Intuisi mendapati ilmu pengetahuan tidak melalui proses penalaran tertentu. Ia secara tiba-tiba menemukan jawaban dari permasalahan yang dihadapinya. Maslow menyebut intuisi sebagai peeak experience (pengalaman puncak), sementara Nietzsche menyebut intuisi sebagai sumber ilmu yang paling tinggi.61 Namun, menurut Nietzsche sifat intuisi sangat personal dan tidak dapat diramalkan sehingga pengalaman seseorang tidak dapat ditransformasi kepada

57Burhanuddin Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, h. 101. 58Burhanuddin Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, h. 101.

59Fuad Rumi, Fuad Rumi, Filsafat Ilmu dan Metode Ilmiah (Dalam Pandangan Sekuler dan Islami) (Makassar: Universitas Muslim Indonesia, 1998), h. 59.

60Fuad Rumi, Filsafat Ilmu dan Metode Ilmiah, h. 59.

61Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu…, h. 42. M. Solly Lubis, Filsafat dan Penelitian (Cet. I; Bandung: Mandar Maju, 1994), h. 14.

(27)

manusia lainnya. Dengan demikian, intuisi tidak dapat diandalkan. Ia hanya dapat dijadikan hipotesis yang membutuhkan analisis lanjutan.

Secara etimologis istilah intuisi berarti langsung melihat. Pengertian secara umum ialah suatu metode yang tidak berdasarkan penalaran maupun pengalaman dan pengamatan indra. Kaum intuisionisme berpendapat bahwa manusia

mempunyai kemampuaan khusus, yaitu cara khusus untuk mengetahui yang tidak terikat kepada indra maupun penalaran.62 Kalau pengetahuan yang diperoleh secara rasional dan empiris merupakan produk dari suatu rangkaian penalaran, maka intuisi merupakan pengetahun yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada sesuatu tersebut, tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku, jawaban dari permasalahan yang sedang

dipikirkan muncul dibenak manusia sebagai suatu keyakinan yang benar walaupun manusia tidak dapat menjelaskan bagaimana caranya untuk sampai kepada jawaban tersebut menurut ukuran rasio.

5. Wahyu

Berbeda dengan intuisi, wahyu adalah pengetahuan yang didapati manusia melalui “pemberian” Tuhan secara langsung kepada hamba-Nya yang terpililih yang disebut Nabi dan Rasul. Agama menjadi kata kunci wahyu. Ia memberi tahu mengenai kehidupan manusia saat ini dan proses eskatologis yang akan diarungi manusia setelah kehidupannya di dunia. Agama menerangkan kepada manusia tentang sejumlah pengetahuan baik yang terjangkau maupun yang tidak terjangkau. Agama bahkan dapat menjadi sumber pengetahuan sekaligus menjadi sumber keyakinan. Agama bisa menjadi informasi dan sekaligus sebagai konfirmasi terhadap ilmu pengetahuan.

C.A. Qadir berpendapat bahwa adanya pengakuan kaum filosof Barat-modern terhadap eksistensi intuisi dan wahyu sebenarnya bukan terjadi di akhir-akhir abad ke 20, setelah produk rasional dan empiris melahirkan sekularisme yang mekanistik mengenai realitas, dan ketika sama sekali tidak ada tempat bagi ruh atau

62Burhanuddin Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, h. 103. M. Solly Lubis, Filsafat dan

(28)

nilai dalam pengetahuan manusia. Realitas direduksi menjadi proses, waktu menjadi kuantitas dan sejarah menjadi suatu proses yang entelekhi tran senden. Pengetahuan yang dihasilkan dunia Barat kontemporer menjadi salah satu tantangan tersendiri yang berat karena tercerabut dari akar dan kehilangan tujuan yang hakiki.63

Jika sekiranya sumber ilmu dalam pandangan sekuler melepas aspek intuitif dan wahyu, dan hanya mengandalkan ilmu yang bersumber pada kemampuan indrawi, rasionalitas, dan sikap kritis semata, maka karakteristik pandangan ontologis pada filsafat science modern (sekuler) berimplikasi pada beberapa hal berikut:

1. Memandang obyek materi ilmu tidak dalam kerangka pandangan adanya Pencipta yang memandang segala sesuatu selain Pencipta adalah ciptaan.

2. Memandang sesuatu sebagai obyek materi ilmu sejauh ia berada dalam jangkauan indra dan/atau rasio manusia untuk bisa memahaminya, dan pemahaman atasnya merupakan fungsi dari indra dan/atau rasio itu.

3. Memandang keberadaan obyek materi ilmu hanya dalam kerangka ruang dan waktu dunia belaka.

4. Memandang obyek materi ilmu diatur oleh hukum-hukum keberadaan itu.64 Dengan demikian, tampak jelas adanya perbedaan mendasar antara sumber ilmu dalam perspektif Islam dibandingkan dengan perspektif sekuler. Perbedaan tersebut didasari oleh penolakan sebagian tokoh fisafat modern terhadap ilmu yang bersumber dari intuisi dan wahyu, meskipun kemudian hal itu dapat diterima oleh sebagian dari mereka setelah abad ke-20. Penolakan ini cukup beralasan oleh karena intuisi dan wahyu dinilai sangat personal atau tidak menjadi sumber ilmu yang dapat dimiliki oleh manusia secara umum.

63C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor, 1991), h. 3-4. 64Fuad Rumi, Filsafat Ilmu dan Metode Ilmiah, h. 40-41.

(29)

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan ulasan pada pembahasan, dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif Islam maupun sekuler, terdapat kesamaan dalam hal menjadikan kekuatan panca indra, pengalaman, dan rasionalitas sebagai sumber utama dalam memperoleh ilmu. Hal ini menegaskan kembali bahwa dua kutub besar tersebut sama-sama sepakat tentang adanya potensi akal manusia yang tidak dapat diabaikan keluasan dan

cakupannya untuk menjangkau berbagai dimensi ilmu dan pengetahuan, sekaligus menjadi pembeda antara manusia dengan binatang. Dengan potensi akal, manusia dapat membangun kebudayaan dan peradabannya di muka bumi.

Perbedaan tentang sumber ilmu antara perspektif Islam dan sekuler nanti mulai timbul ketika filosof Islam menghadirkan sumber ilmu lain di luar indra, pengalaman, dan nalar manusia, yakni adanya ilmu yang bersumber dari intuisi, wahyu, dan supra rasional atau meta-mistisis. Sumber-sumber lain tersebut sesungguhnya meniscayakan hadirnya kesadaran terhadap keterbatasan indra, akal, dan pengalaman manusia.Pada sisi lain, perbedaan tersebut juga dilatari oleh hadirnya pengakuan transendental yang secara imaniah terhadap banyaknya fakta-fakta kenabian yang selalu melibatkan mukjizat di dalamnya yang tidak pernah terbantahkan hingga saat ini.

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Endang Saifuddin.Ilmu, Filsafat dan Agama. Cet. VII; Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1987.

Al-Ashfahani, Al-Raghib.Mufradat Alfazh al-Qur’an. Cet. I; Damsyiq: Dar al-Qalam, 1992.

Al-Faruqi, Achmad Reza Hutama. 2015. Konsep Ilmu Dalam Islam. Jurnal Kalimah Vol. 13, No. 2, September 2015.

Asy’arie, Musa.Filsafat Islam: Suatu Tinjauan Ontologis, Irma Fatimah. (ed.) Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), 1992.

Al-Baqy, Muhammad Fu’ad ‘Abd. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim. Bairut: Dar al-Fikr, 1992.

Bakhtiar, Amsal.Filsafat Ilmu, Edisi Revisi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007. Baqir,Haidar.Buku Saku Filsafat Islam. Cet. I; Bandung: Arasy, 2005.

Berlin dkk. Pengantar Filsafat Ilmu. Cet. IV; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997. Dardiri, H.A. Humaniora:Filsafat dan Logika. Cet. I; Jakarta, Rajawali, 1986. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. I;

Jakarta: Balai Pustaka, 1999.

Departemen Pendidikan Nasional.Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

Echols, John M. dan Hasan Shadily.Kamus Inggris-Indonesia. Cet. XXII; Jakarta: Gramedia, 1996.

(31)

Honer, Stanley M. dan Thomas C. Hunt, Metode Dalajm Mencari Pengetahuan, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.) Ilmu dalam Perspektif. Cet. X; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.

Incorporated,Grollier.The Encyclopedia Americana, jilid 24. Danburry: Connecticut, 1992.

Kartanegara, Mulyadi.Panorama Filsafat Islam. Cet. I; Bandung: Mizan, 2002.

Katsir, Abu al-Fida Ismail.Tafsir al-Qur’an al-Azhim, juz II. Indonesia: Toha Putra, t.th. Kattsoff,Louis O. Element of Philosophy. USA: The Ronald Press Company, 1987. Khotimah, Khusnul. 2014. Paradigma Dan Konsep Ilmu Pengetahuan Dalam

Al-Qur`An. Epistemé, Volume 9, Nomor 1, Juni 2014. Kosmic.Manual Training Filsafat. Jakarta: Kosmic, 2002.

Lubis, M. Solly.Filsafat dan Penelitian. Cet. I; Bandung: Mandar Maju, 1994.

Munawar, A.W. Kamus Al-Munawwar Arab-Indonesia Terlengkap. Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Munawir, Imam.Posisi Islam di Tengah Pertarungan Ideologi dan Keyakinan. Cet.I; Surabaya: Bina Ilmu, 1986.

Muthahhari, Murtadha.Man and Universe diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul

Manusia dan Alam Semesta. Cet. II; Jakarta: Lentera Basritama, 2002.

Nawawi, Hadari.Metode Penelitian Bidang Sosial. Cet. IX; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001.

Qadir,C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor, 1991. Rahardjo, Dawam.Ensiklopedi Alquran. Jakarta: Paramadina, 1996.

(32)

Rumi,Fuad.Filsafat Ilmu dan Metode Ilmiah(Dalam Pandangan Sekuler dan Islami). Makassar: Universitas Muslim Indonesia, 1998.

Sabri Muhammad, Muhammad Saleh Tadjuddin, Wahyuddin Halim. 2009, Filsafat Ilmu, Makassar, Uin Alauddin Makassar.

Salam, Burhanuddin.Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Cet. I; Jakarta: 1997. Salam, Burhanuddin.Logika Materil. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Salim, H. Abd. Muin . “Alquran sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan”dalam Jurnal Mitra, Volume I No. 1/2004. Makassar: Kopertais Wil. VIII, 2004.

__________.Beberapa Aspek Metodologi Tafsir Alquran. Ujungpandang: LSKI, 1991. Shadr, Muhammad Baqir.Falsafatuna, diterjemahkan oleh M. Nur Mufid Ali. Cet. IV;

Bandung: Mizan, 1994.

Soetriono & Rita Hanafie.Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi, 2007.

Sudarsono.Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

Suharsono, Suparlan.Filsafat Ilmu Pengetahuan. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 1997.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Cet. VIII, Jakarta; Sinar Harapan, 1994.

Zakariya, Abu Husain Ahmad bin Faris,Mu’jam Maqayis al-Lugah, juz IV. Cet. II; Mesir: Mushthafa al-Bab al-Halabi wa Awladuh, 1971.

Referensi

Dokumen terkait

Potensi bahaya yang terdapat pada kegiatan mata pelajaran perawatan dan perbaikan motor bensin dan diesel memiliki beberapa potensi bahaya yaitu: potensi bahaya kebakaran, potensi

Tabel 4.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi

setidak-tidaknya pada waktu tertentu yang masih termasuk dalam Bulan Mei sampai dengan September 2015,bertempat di Jalan Hertasning VII Makassar (Dikantor

Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan variabel independen Prinsip transparansi, prinsip akuntabilitas, prinsip pertanggungjawaban, prinsip profesional dan

(elaborasi); 8)Guru menjelaskan aturan permainan bahwa setiap kelompok akan dibagikan satu buah media scramble dan akan diberikan waktu 10 menit untuk mengerjakan

Menurut PP no 8 tahun 2001 yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari UU no 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman tentang Pupuk Budi Daya Tanaman, definisi

LAUT NATUNA NATUNA UTARA LAUT BARAT SUMATERA LAUT SULAWESI LAUT BANDA LAUT JAWA LAUT ARU LAUT FLORES LAUT MALUKU LAUT HALMAHERA LAUT SERAM. LAUT

Penelitian ini menunjukkan bahwa modifikasi serum lipemik buatan menyebabkan hasil pemeriksaan kadar glukosa tinggi palsu sehingga penggunaan metode flokulasi dengan