ANALISA JURNAL:
ANALISA JURNAL:
1.1. Incidence Of Phlebitis In Patients With Peripheral IntravenousIncidence Of Phlebitis In Patients With Peripheral Intravenous Catheters: The Influence Of Some Risk Factors
Catheters: The Influence Of Some Risk Factors 2.
2. Hubungan Lamanya Pemasangan Infus (Intravena) DenganHubungan Lamanya Pemasangan Infus (Intravena) Dengan Kejadian Flebitis Pada Pasiendi Irina F Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kejadian Flebitis Pada Pasiendi Irina F Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
Kandou Manado 3.
3. Hubungan Kepatuhan Perawatan Dalam Menjalankan SopHubungan Kepatuhan Perawatan Dalam Menjalankan Sop Pemasangan Infus Dengan Kejadian Phlebitis
Pemasangan Infus Dengan Kejadian Phlebitis
Disusun Oleh: Disusun Oleh:
Dewi Resti Nazully Qiran Dewi Resti Nazully Qiran
135070201131006 135070201131006 FAKULTAS KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2014 2014
JURNAL I
INCIDENCE OF PHLEBITIS IN PATIENTS WITH PERIPHERAL INTRAVENOUS CATHETERS: THE INFLUENCE OF SOME RISK
FACTORS
Penulis: Anabela Salgueiro-Oliveira
1. Dalam jurnal ini, masalah yang diangkat untuk diteliti sesuai dengan judulnya, yaitu pengaruh beberapa factor risiko pada kejadian phlebitis pada pasien dengan peripheral intravenous catheters (PIVCs).
2. Setelah melakukan penelitian, peneliti menemukan hal-hal berikut: Karakteristik penyisipan kateter, yaitu
a. tingkat keseringan penyisipan PIVCs pada vena ekstrimitas atas sebanyak 93.9%
b. perawat yang menggunakan ukuran kateter 20G (0.8mm) sebayak 57.9%
c. kateter yang terbuat dari polyurethane sebanyak 84.6%, using adhesive tape sebanyak 74.4%
d. setiap pasien yang rata-rata 1,26 kateter simultan dengan rata-rata waktu tinggal 3,88 hari
e. pemindahan dengan alasan flebitis sebanyak43.8%.
Presentase kejadian flebitis yang ditemukan adalah sebanyak 11,09 % dari 1.244 kasus kateter yang diteliti.
Resep antibioterapi yang diberikan,yaitu : a. Larutan isotonic sebanyak 72.2% b. Kalium klorida sebanyak 15,9%
Antibiotherapy diamati pada 35,3% dari keseluruhan pasien. Enam antibiotik diberikan lebih dari 15 kali:
- Meropenem (17,7%)
- Amoksisilin - klavulanat (12,0%) - Azitromisin (10,4%)
- levofloxacin (9,1%) - Sefuroksim (6,6%)
- Piperacillin / tazobactam (5,4%)
Menggunakan antibiotherapy, rata-rata jumlah administrasi intravena adalah 23,89. Pada 63,7% pasien, perfusi dilakukan terus-menerus. Namun, pompa infus hanya digunakan pada 11,8% pasien. Hasil analisa tes Chi-square dan tes-t tentang perbedaan kesempatan
untuk perkembangan flebitis antara faktor-faktor berikut :
a. Pemberian kateter pada ekstrimitas atas memiliki kesempatan flebitis kurang dari 72% dibandingkan denga pemberian kateter pada tungkai bawah.
b. Pemberian resep kalium klorida meningkatkan kemugkinan berkembangnya flebitis hingga 1.95 kali.
c. Pemberian resep intravena antibiotic meningkatkan kemungkinan berkembangnya flebitis hingga 1.92 kali.
d. Jika levofloxacin digunakan, kemungkinan berkembangnya flebitis meningkat 2.3 kali.
e. Jika azitromisin digunakan, kemungkinan perkembangan flebitis akan meningkat 2.5 kali.
Analisa factor risiko flebitis yang multivariasi:
a. Pasien menerima pemberian kalium klorida atau antibiotik b. Pasien dengan kateter pada tungkai atas.
Hasil diskusi dan pengkajian literatur menentukan beberapa faktor risiko yang mempengaruhi perkembangan flebitis, yaitu :
Usia, pasien yang berusia 60 ke atas lebih berisiko flebitis
Region anatomi yag digunakan untuk kateterisasi, hindari daerah-daerah fleksi atau mobilitas tinggi karena dapat mengakibatkan pengembangan flebitis traumatis.
Bahan kateter, tingkat infeksi kateter Teflon dan polyurethane lebih rendah (lebih resisten terhadap kepatuhan bakteri) daripada kateter polivinil atau polyethylene.
Jumlah kateter simultan, hindari penyisipan kateter berulang-ulang atau dalam jumlah lebih dari satu.
Waktu tinggal kateter, tidak perlu mengganti kateter lebih dari setiap 72-96 jam untuk mengurangi risiko infeksi dan flebitis.
Obat intravena, obat dengan pH rendah dan osmolaritas larutan tinggi, seperti larutan hipertonik, berhubungan dengan risiko tinggi terhadap flebitis.
Setting tempat penyisipan kateter, studi terbaru membuktika bahwa pemasangan kateter di unit rawat inap lebih beresiko flebitis daripada pemasangan kateter di ruang gawat darurat dan ruang operasi.
Ada pula hal-hal yang perlu diingat antara lain:
Ukuran kateter, sebaiknya meggunakan ukuran kecil untuk mencegah kerusakan vena.
Jenis kelamin laki-laki menunjukkan risiko flebitis yang lebih besar daripada perempuan.
3. Masukan untuk jurnal:
Sebaiknya judul pada “some risk factor” dibuat lebih spesifik lagi,agar pembahasan lebih terfokus, lebih mendalam, dan tidak meluas. Yaitu dengan menyebutkan faktor risiko yang mana yang akan diulas secara mendalam di dalam jurnal. Misalnya, “The Influence Of IV medication”
4. Aplikasi hasil penelitian pada setting pelayanan asuhan keperawatan di Indonesia:
Bersikap tanggap terhadap respon-respon yang ditunjukkan pasien terhadap berbagai intervensi yang diberikan.
Meningkatkan koordinasi dengan tenaga medis lain untuk mempertimbangkan dengan matang jenis-jenis obat atau antibiotic, atau resep obat yang akan diberikan kepada pasien.
Melakukan penyisipan kateter dengan benar-benar memperhatikan dan mengikuti standar operasional prosedur yang ada.
Memperhatikan tempat-tempat pemasangan kateter dengan menghindari daerah-daerah fleksi atau daerah dengan mobilitas tinggi. Menghindari pemasangan kateter berulang-ulang ataupun pergantian
Mecegah terjadinya flebitis terhadap pasien denngan menjaga kebersihan lingkugan sekitar tempat penyisipan kateter, melindungi dengan cara dibalut, dan selalu membersihkan region sekitar kateter, agar tetap steril dari mikroba-mikroba yang dapat menginfeksi bahkan melalui kateter itu sendiri.
Segera mengambil tindakan perawatan dan pengobatan jika terlihat tanda-tanda flebitis pada pasien.
JURNAL II
HUBUNGAN LAMANYA PEMASANGAN INFUS (INTRAVENA) DENGAN KEJADIAN FLEBITIS PADA PASIENDI IRINA F BLU RSUP Prof. Dr. R. D.
KANDOU MANADO
Penulis: Christian M. Komaling, Lucky Kumaat, Franly Onibala
1. Jurnal ini membahas tentang hubungan lamanya pemasangan infus
(intravena) dengan kejadian flebitis pada pasien di IRINA F BLU. RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
2. Setelah dilakukan penelitian dan pengkajian literatur, maka didapatkan
hasil berikut:
Dari 58 responden, terdapat 36 responden laki-laki (62.1%) dan memiliki umur pada rentang61-70 tahun ada 21 responden (36.2%). Dari pengkajian literature didapatkan bahwa faktor umur mempunyai
hubungan dengan kejadian flebitis karena umur semakin bertambah kemampuan sel dan jaringan yang dipengaruhi usia organ untuk regenerasi sel akan semakin menurun, serta jenis kelamin juga memiliki hubungan dengan flebitis yang mana terjadi lebih banyak pada wanita karena dipengaruhi kekuatan otot, kelenturan dan
kekenyalan kulit, serta jaringan adiposa subcutis yang berkurang.
Dari 58 responden, terdapat lebih banyak responden yang terpasang infus kurang dari 3 hari (sebanyak 37 orang atau 63.8%) daripada responden yang terpasang infus lebih dari 3 hari (sebanyak 21 orang
atau 36.2%). Dan dari 58 responden tersebut, terdapat lebih banyak responden yang tidak mengalami flebitis (sebanyak 38 orang atau 65.5%) daripada responden yang mengalami flebitis (sebanyak 20 orang atau 34.5%).
Sehingga peneliti menyimpulkan bahwa ada hubungan antara lamanya pemasangan infuse dengan kejadian flebitis di IRINA F BLU. RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, yaitu semakin lama infus terpasang maka akan semakin beresiko pada flebitis.
3. Masukan terhadap jurnal:
Di dalam jurnal ini hanya membuktikan ada atau tidaknya hubungan lamanya pemasangan infus dengan kejadian flebitis. Masukan dari saya adalah akan lebih baik jika di dalam jurnal ini juga dibahas tentang apa dan bagaimana hubungan antara lamanya pemasanga infus dengan kejadian flebitis.
4. Aplikasi hasil penelitian pada setting pelayanan asuhan keperawatan di
Indonesia:
Perawat harus benar-benar memperhatikan lama pemasangan infuse pada pasiennya. Apabila telah lebih dari batas yang dianjurkan (pada umumnya 3 hari), maka infus harus diganti dengan yang baru untuk menghindari infeksi bakteri yang mungkin terjadi pada jarum infus yang telah digunakan terlalu lama. Dengan demikian dapat membantu dalam mengontrol terjadinya flebitis.
JURNAL III
HUBUNGAN KEPATUHAN PERAWATAN DALAM MENJALANKAN SOP PEMASANGAN INFUS DENGAN KEJADIAN PHLEBITIS
Penulis: Dinna Triwidyawati, Sri Puguh Kristyawati, S. Eko Ch. Purnomo
1. Jurnal ini membahas tentang hubungan tingkat kepatuhan perawat dalam menjalankan SOP pemasangan infus dengan kejadian flebitis di ruang rawat inap RSUD Tugurejo Semarang.
2. Analisis hasil penelitian dalam jurnal:
Yang pertama dilakukan adalah uji univariat, sehingga diketahui bahwa :
- Jumlah perawat di RSUD Tugorejo Semarang yang berusia 21-40
tahun adalah sebanyak 74.3% dari 74 orang perawat, semakin tinggi usianya maka pemikirannya semakin matang dalam memeberi pelayanan kesehatan dan lebih mematuhi SOP.
- Jumlah perawat yang lama bekerjanya hanya 1-5 tahun ada 61
(82.4%) orang, semakin lama usia kerjanya maka pengalamannya akan semakin banyak. Dengan pengalaman tersebut perawat aka menjadi lebih peka dalam melakukan pelayanan kesehatan.
- Jumlah perawat perempuan adalah 56 (75.7%), pada umumnya
perawat perempuan lebih teliti, lebih patuh, dan lebih peduli daripada perawat laki-laki.
- Jumlah perawat dengan pendidikan D3 Keperawatan sebanyak 50
(67.7%), ternyata jejang pendidikan ini tidak dapat dikaitkan dengan tingkat kepatuhan perawat, karena dari penilitian yang telah dilakukan masih ada perawat dengan pendidikan S1 yang tidak mematuhi SOP.
- Jumlah perawat yang patuh sebayak 52(70.3%)
- Responden yang mengalami flebitis sebanyak 19 (25.7%), dimana
hal ini dapat disebabkan oleh faktor kimia,mekanik, dan bakteri.
- Sebagian besar skala flebitis di RSUD Tugurejo Semarang adalah
skala 2 sebanyak 8 orang (42.1%), yang ditandai dengan adanya gejala nyeri, bengkak, dan eritema pada daerah penusukan.
Setelah itu dilakukan uji bivariat, yang memperoleh hasil:
- Pada pasien yang ditangani oleh perawat yang mematuhi SOP
(sebanyak 52 orang), sebanyak 47 pasien (90.4%) tidak terjadi flebitis, dan pada 5 pasien (9.6%) terjadi flebitis. Kepatuhan ini menjadi sangat berpegaruh karena dalam SOP terdapat teknik aseptik yang berfugsi untuk mencegah transmisi mikroorganisme pada daerah penusukan sehingga tidak mengakibatkan flebitis.
Namun masih ada pasien yang mengalami flebitis ketika SOP telah dipatuhi. Hal ini dapat diakibatkan oleh jenis caira intravena yang diinsersikan, lokasi pemasangan infus, dan ukuran kateter.
- Pada pasien yang ditangani oleh perawat yang tidak patuh
(sebanyak 22 orang), sebanyak 14 pasien (63.6%) mengalami flebitis, dan sebanyak 8 pasien (36.4%) tidak mengalami flebitis. Hal ini sudah sangat jelas karena ketidakpatuhan. Namun, masih ada yang tidak mengalami flebitis. Hal ini dikarenakan perawat yang tidak mematuhi SOP hanya melewatkan bagian-bagian yang bukan merupakan teknik aseptik, misalnya tidak melakukan prosedur seperti melakukan perkenalan diri dan menutup tirai.
Sehingga tidak berpegaruh terhadap kejadian flebitis.
- Jadi, yang penting untuk dipatuhi dalam SOP pemasangan infus
adalah pada teknik aseptiknya. Namun, akan lebih baik jika semu komponen SOP dipatuhi sepenuhnya.
3. Masukan untuk jurnal:
Ada baiknya jika peneliti lebih memperjelas penyebab terjadinya flebitis pada pasien yang ditangani oleh perawat yang tidak mematuhi SOP. Ditakutkan jika pasien yang mengalami flebitis tersebut justru faktor lain seperti jenis cairan, lokasi pemasangan infus, atau ukuran kateter. Seperti yang dikatakan dapat terjadi pada pasie yang ditangani oleh perawat yang telah mematuhi SOP namun masih mengalami flebitis.
4. Aplikasi hasil penelitian pada setting pelayanan asuhan keperawatan:
Dengan adanya pengetahuan tentang hubungan kepatuhan terhadap SOP dengan kejadian flebitis ini, perawat dapat meningkatkan kepatuhannya terhadap SOP yang ada. Hal ini dapat dilakukan dengan mempelajari SOP yang ada dan berlatih sebanyak-banyaknya agar untuk memperoleh pengalaman sehingga dapat menguasai teknik-teknik keperawatan dan memberikan asuhan keperawatan dengan semaksimal mungkin.
KESIMPULAN
Dalam melakukan pemasangan infus, perawat harus mempertimbangkan resiko terjadinya flebitis. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mematuhi SOP pemasangan infuse secara keseluruhan, mempertimbangkan fakto-faktor resiko
yang ada dan dapat mengancan keselamatan pasien, serta harus memiliki skill yang baik dalam melakukan pemasangan infus. Dari semua itu yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa perawat harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat memberikan pelayanan asuhan keperawatan agar dapat mempertimbangkan berbagai resiko ancaman terhadap pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Komaling, Christian M., et al. 2014. Hubungan Lamanya Pemasangan Infus (Intravena) Dengan Kejadian Flebitis Pada Pasiendi Irina F Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/4051/3567. Diakses pada tanggal 14 Maret 2014 pukul 09.37.
Salgueiro-Oliveira, Anabela. 2014. Incidence Of Phlebitis In Patients With Peripheral Intravenous Catheters: The Influence Of Some Risk
Factors. http://search.proquest.com. Diakses pada tanggal 14 Maret pukul 10.16.
Triwidyawati, Dina, dkk. 2013. Hubungan Kepatuhan Perawat Dalam Menjalankan Sop Pemasangan Infus Dengan Kejadian Phlebitis.
http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/ejournal/index.php/ilmukeperawatan/article/v iew/114/140. Diakses pada taggal 16 Maret 2014 pukul 18.56.