• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Bermain 2.1.1 Definisi Bermain

Dunia anak adalah dunia bermain. Melalui kegiatan bermain, anak belajar berbagai hal. Bermain merupakan bagian yang amat penting dalam tumbuh kembang anak untuk menjadi manusia seutuhnya. Bermain bagi anak adalah salah satu hak anak yang paling hakiki. Melalui kegiatan bermain ini, anak bisa mencapai perkembangan fisik, intelektual, emosi, dan sosial (Prasetyono, 2007).

Masa anak-anak sangat identik dengan masa bermain, karena perkembangan anak mulai diasah sesuai kebutuhannya disaat tumbuh kembang. Bermain merupakan suatu aktivitas dimana anak-anak dapat melakukan atau mempraktikan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa (Aziz, 2005).

Aktivitas bermain yang dilakukan anak-anak merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial.

(2)

12

Bermain juga merupakan media yang baik untuk belajar, karena dengan bermain anak-anak akan berkata-kata (berkomunikasi), belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukannya, dan mengenal waktu, jarak, serta suara (Wong, 2000).

Bagi anak-anak, bermain adalah “pekerjaan” mereka. Bermain membantu anak memahami ketegangan dan tekanan, mengembangkan kapasitas mereka, dan menguatkan pertahanan mereka, sehingga bermain tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak baik sehat maupun sakit (Potter & Perry, 2005).

Bermain membantu anak menguasai kecemasan dan konflik sehingga ketegangan mengendur dan anak tersebut dapat menghadapi masalah kehidupan. Permainan memungkinkan anak menyalurkan kelebihan energi fisik dan melepaskan emosi yang tertahan, yang meningkatkan kemampuan si anak untuk menghadapi masalah (Santrock, 2007)

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dunia anak adalah dunia bermain dan bermain adalah hak anak yang paling hakiki. Melalui kegiatan bermain ini, anak bisa mencapai perkembangan fisik, intelektual, emosi dan sosial. Perkembangan secara fisik dapat dilihat saat bermain,

(3)

13

perkembangan intelektual bisa dilihat dari kemampuannya menggunakan atau memanfaatkan lingkungan, perkembangan emosi dapat dilihat ketika anak merasa senang, tidak senang, marah, menang dan kalah dan perkembangan sosial bisa dilihat dari hubungannya dengan teman sebayanya, menolong dan memperhatikan kepentingan orang lain.

2.1.2 Fungsi Bermain

Fungsi utama bermain adalah merangsang perkembangan sensorik-motorik, membantu perkembangan kognitif/intelektual, perkembangan sosial, perkembangan kreativitas, perkembangan kesadaran diri, perkembangan moral, dan bermain sebagai terapi (Soetjiningsih, 1995).

a. Perkembangan Sensorik-Motorik

Pada saat melakukan permainan, aktivitas sensorik-motorik merupakan komponen terbesar yang digunakan anak dan bermain aktif sangat penting untuk perkembangan fungsi otot, sehingga kemampuan penginderaan anak mulai meningkat dengan adanya stimulasi-stimulasi yang diterima anak seperti: stimulasi visual (penglihatan), stimulasi audio (pendengaran), stimulasi taktil (sentuhan) dan stimulasi kinetik.

(4)

14

Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan manipulasi terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitar, terutama mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur dan membedakan objek. Saat bermai, anak akan mencoba melakukan komunikasi dengan bahasa anak, mampu memahami objek permainan seperti dunia tempat tinggal, mampu membedakan khayalan dengan kenyataan dan berbagai manfaat benda yang digunakan dalam permainan, sehingga fungsi bermain pada model demikian akan meningkatkan perkembangan kongnitif selanjutnya.

c. Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial ditandai dengan anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar memberi dan menerima. Bermain dengan orang lain akan membantu anak mengembangkan hubungan sosial, belajar memecahkan masalah dari hubungan tersebut. Contoh pada anak-anak usia todler yang bermain dengan teman sebayanya dan bentuk permainannya adalah bermain peran seperti menjadi guru, menjadi ayah atau ibu, menjadi anak dan lain-lain. Ini merupakan tahap awal bagi anak usia todler dan prasekolah untuk meluaskan aktivitas sosialnya diluar lingkungan keluarga.

(5)

15

d. Perkembangan Kreativitas

Bermain dapat meningkatkan kreativitas yaitu anak mulai menciptakan sesuatu dan mewujudkannya kedalam bentuk objek atau kegiatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar dan mencoba untuk merealisasikan ide-idenya, misalnya dengan membongkar dan memasang satu alat permainan akan merangsang kreativitasnya untuk semakin berkembang.

e. Perkembangan Kesadaran Diri

Anak yang bermain akan mengembangkan kemampuannya dalam mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenali kemampuannya dan membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya dengan mencoba peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap orang lain. f. Perkembangan Moral

Anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungannya, terutama dari orang tua dan guru. Anak yang melakukan aktivitas bermain, akan mendapatkan kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga

(6)

16

dapat diterima di lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan aturan kelompok yang ada dalam lingkungannya.

Bermain juga dapat membantu anak belajar mengenai nilai moral dan etika, belajar membedakan mana yang benar dan mana yang salah serta belajar bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukannya.

Permainan adalah media yang efektif untuk mengembangkan nilai moral dibandingkan dengan memberikan nasihat. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mengawasi anak saat anak melakukan aktivitas bermain dengan mengajarkan nilai moral, seperti baik atau buruk, benar atau salah.

g. Bermain Sebagai Terapi

Bermain mempunyai nilai terapeutik, bermain dapat menjadikan diri anak lebih senang dan nyaman sehingga adanya stres dan ketegangan dapat dihindarkan, mengingat bermain dapat menghibur diri anak terhadap dunianya.

Pada saat dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami perasaan yang sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih dan nyeri. Anak yang melakukan kegiatan bermain akan terlepas dari ketegangan dan stres yang dialaminya akibat dari efek dirawat di rumah sakit.

(7)

17

Bermain dirumah sakit membuat normal sesuatu yang asing dan kadang kondisi lingkungan yang tidak ramah dan memberi jalan untuk menurunkan tekanan.

Bermain membantu untuk memahami ketegangan dan tekanan, mengembangkan kapasitas mereka, dan menguatkan pertahanan mereka.

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Bermain

Ada lima faktor yang mempengaruhi aktivitas bermain pada anak (Supartini, 2004). Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tahap Perkembangan Anak

Aktivitas bermain yang tepat dilakukan anak yaitu sesuai dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangannya. Tentunya permainan anak usia bayi tidak lagi efektif untuk pertumbuhan dan perkembangan anak usia prasekolah, demikian juga sebaliknya, karena pada dasarnya permainan adalah alat stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak.

2. Status Kesehatan Anak

Aktivitas bermain memerlukan energi. Namun bukan berarti anak tidak perlu bermain pada saat sedang sakit. Kebutuhan bermain pada anak sama halnya dengan

(8)

18

kebutuhan bekerja pada orang dewasa, yang penting pada saat kondisi anak sedang menurun atau anak sedang terkena sakit, bahkan dirawat di rumah sakit, orang tua dan perawat harus jeli memilihkan permainan yang dapat dilakukan anak sesuai dengan prinsip bermain pada anak yang sedang dirawat di rumah sakit.

3. Jenis Kelamin Anak

Dalam melakukan aktivitas bermain tidak membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, semua alat permainan dapat digunakan oleh anak laki-laki atau anak perempuan untuk mengembangkan daya pikir, imajinasi, kreativitas, dan kemampuan sosial anak.

Ada pendapat lain yang menyakini bahwa permainan adalah salah satu alat untuk membantu anak mengenal identitas diri sehingga sebagian alat permainan anak perempuan tidak dianjurkan untuk digunakan oleh anak laki-laki. Hal ini dilatar belakangi oleh adanya alasan tuntutan perilaku yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan hal ini dipelajari melalui media permainan.

4. Lingkungan yang Mendukung

Fasilitas bermain lebih diutamakan yang dapat menstimulasi imajinasi dan kreativitas anak. Keyakinan keluarga tentang moral dan budaya juga mempengaruhi

(9)

19

bagaimana anak dididik melalui permainan, sementara lingkungan fisik sekitar rumah lebih banyak mempengaruhi ruang gerak anak untuk melakukan aktivitas fisik dan motorik.

5. Alat dan Jenis Permainan yang Cocok

Alat dan jenis permainan dipilih yang sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak. Label yang tertera pada mainan harus dibaca terlebih dahulu sebelum membelinya, apakah mainan tersebut aman dan sesuai dengan usia anak. Alat permainan yang harus didorong, ditarik dan dimanipulasi akan mengajarkan anak untuk mengembangkan kemampuan koordinasi gerak.

2.1.4 Klasifikasi Bermain

Sifat bermain pada anak yang kita tahu ada dua yaitu bersifat aktif dan bersifat pasif. Sifat demikian akan memberikan jenis permainan yang berbeda, dikatakan bermain aktif jika anak berperan aktif dalam permainan, selalu memberikan rangsangan dan melaksanakannya, sedangkan bermain pasif adalah anak memberikan respon secara pasif terhadap permainan dan orang atau lingkungan yang memberikan respon secara aktif. Melihat sifat tersebut, kita dapat mengenal macam-macam dari permainan.

(10)

20

Ada beberapa jenis permainan, ditinjau dari isi permainan dan karakter sosialnya. Berdasarkan isi permainan ada Social

affective play, sense pleasure play, skill play, games, unoccupied behavior dan dramatic play. Ditinjau dari karakter

permainan, terdapat jenis social onlooker play, solitary play dan

parallel play (Aziz, 2005). a. Berdasarkan Isi Permainan

1) Social Affective Play (Bermain Afektif Sosial)

Bermain ini menunjukkan adanya perasaan senang dalam berhubungan dengan orang lain. Sifat dari bermain ini adalah orang lain yang berperan aktif dan anak hanya berespon terhadap stimulasi sehingga akan memberikan kesenangan dan kepuasan bagi anak. Permainan yang biasa dilakukan adalah “ciluk ba”, berbicara dan memberi tangan untuk digenggam oleh bayi sambil tersenyum/tertawa. Bayi akan mencoba berespon terhadap tingkah laku orang tuanya dengan tersenyum, tertawa atau mengecoh.

2) Sense of Pleasure Play (Bermain Bersenang-Senang) Bermain ini hanya memberikan kesenangan pada anak melalui objek yang ada, sehingga anak merasa senang dan bergembira tanpa adanya kehadiran orang lain.

(11)

21

Sifat bermain ini adalah bergantung pada stimulasi yang diberikan pada anak, mengingat sifat dari bermain ini hanya memberikan kesenangan pada anak tanpa mempedulikan aspek kehadiran orang lain, misalnya dengan menggunakan pasir, anak akan membuat gunung-gunung atau benda apa saja yang dapat dibentuknya dengan pasir.

3) Skill Play (Bermain Keterampilan)

Permainan ini akan meningkatkan keterampilan anak khususnya motorik kasar dan halus, misalnya bayi akan terampil memegang benda-benda kecil, memindahkan benda dari satu tempat ketempat lain, dan anak akan terampil naik sepeda.

Keterampilan tersebut diperoleh dari pengulangan kegiatan permainan yang dilakukan. Semakin sering melakukan latihan, anak akan semakin terampil. Sifat permainan ini adalah bersifat aktif dimana anak selalu ingin mencoba kemampuan dalam keterampilan tertentu seperti bermain dalam bongkar pasang gambar.

4) Games atau Permainan

Games atau permainan adalah jenis permainan

yang menggunakan alat tertentu yang menggunakan perhitungan atau skor. Permainan ini bisa dilakukan oleh

(12)

22

anak sendiri atau dengan teman sebayanya. Banyak sekali jenis permainan ini mulai dari yang tradisional maupun yang modern misalnya ular tangga, congklak,

puzzle dan lain-lain.

5) Dramatic Play (Bermain Dramatik)

Dramatic play dapat dilakukan anak dengan

mencoba melakukan berpura-pura dalam berperilaku seperti anak memperankan sebagai seorang dewasa, seorang ibu dan guru dalam kehidupan sehari-hari.

Sifat dari permainan Dramatic play ini adalah anak dituntut aktif dalam memerankan sesuatu. Permainan dramatik ini dapat dilakukan apabila anak sudah mampu berkomunikasi dan mengenal kehidupan sosial. Permainan ini penting untuk proses identifikasi terhadap peran orang tertentu.

6) Unoccupied Behavior

Unoccupied behavior bukanlah permainan yang

umumnya kita pahami. Pada saat tertentu, anak sering terlihat mondar-mandir, tersenyum, tertawa, memainkan kursi, meja atau apa saja yang ada disekelilingnya, Jadi sebenarnya anak tidak memainkan alat permainan tertentu.

(13)

23

Situasi dan objek disekelilingnya yang digunakan sebagai alat permainan. Anak tampak senang, gembira, dan asyik dengan situasi serta lingkungan tersebut.

b. Berdasarkan Karakter Sosial

Berdasarkan karakter sosialnya, ada lima jenis permainan, yaitu onlooker play, solitary play, parallel play,

associative play dan cooperative play.

1) Onlooker play (Bermain Onlooker)

Jenis permainan ini adalah dengan melihat apa yang dilakukan oleh anak lain yang sedang bermain tetapi tidak berusaha untuk bermain. Anak tersebut bersifat pasif, tetapi ada proses pengamatan terhadap permainan yang sedang dilakukan temannya.

2) Solitary Play (Bermain Soliter/Mandiri)

Solitary play merupakan jenis permainan yang

dilakukan secara mandiri dan berpusat pada permainannya sendiri tanpa mempedulikan orang lain.

Pada permainan ini anak tampak berada dalam kelompok permainannya, tetapi anak bermain sendiri dengan alat permainan yang dimilikinya, dan alat permainan tersebut berbeda dengan alat permainan

(14)

24

yang digunakan temannya, tidak ada kerja sama ataupun komunikasi dengan teman sepermainannya. 3) Parallel Play (Bermain Pararel)

Pada permainan ini, anak dapat menggunakan alat permainan yang sama, tetapi antara satu anak dengan anak lain tidak terjadi kontak satu sama lain sehingga tidak ada sosialisasi satu sama lain. Sifat dari permainan ini adalah anak aktif secara mandiri tetapi masih dalam satu kelompok.

4) Associative Play (Bermain Asosiatif)

Associative play melibatkan interaksi sosial dengan

sedikit atau tanpa pengaturan. Tipe permainan ini adalah anak-anak kelihatan lebih tertarik pada satu sama lain dibanding pada permainan yang mereka mainkan.

Bermain ini akan menumbuhkan kreativitas anak karena stimulasi dari anak lain ada, akan tetapi belum dilatih dalam mengikuti paraturan dalam kelompok. Contohnya bermain boneka-bonekaan, hujan-hujanan, dan bermain masak-masakan.

5) Cooperative Play (Bermain Kooperatif)

Cooperative play merupakan bermain secara

bersama dengan adanya aturan yang jelas sehingga adanya perasaan dalam kebersamaan sehingga

(15)

25

berbentuk hubungan pemimpin dan pengikut. Sifat dari bermain ini adalah aktif, anak akan selalu menumbuhkan kreativitasnya dan melatih anak pada peraturan kelompok sehingga anak dituntut selalu mengikuti peraturan. Contonhnya pada permainan sepak bola, ada anak yang memimpin permainan, aturan main harus dijalankan oleh anak dan mereka harus dapat mencapai tujuan bersama, yaitu memenangkan permainan dengan memasukkan bola ke gawang lawan mainnya.

2.1.5 Tahapan Perkembangan Bermain

Tahapan perkembangan bermain terdiri dari tahap eksplorasi, tahap permainan, tahap bermain dan tahap melamun (Hurlock, 1999).

1. Tahap Eksplorasi

Hingga bayi berusia sekitar 3 bulan, permainan mereka terutama terdiri atas melihat orang dan benda serta melakukan usaha acak untuk menggapai benda yang diacungkan dihadapannya.

Bayi dapat mengendalikan tangan sehingga cukup memungkinkan bagi mereka untuk mengambil, memegang, dan mempelajari benda kecil, setelah mereka

(16)

26

dapat merangkak atau berjalan, mulai memperhatikan apa saja yang berada dalam jarak jangkauannya.

2. Tahap Permainan

Bermain barang mainan dimulai pada tahun pertama dan mencapai puncaknya pada usia antara 5 dan 6 tahun. Anak semula hanya mengeksplorasi mainannya.

Usia antara 2 dan 3 tahun, mereka membayangkan bahwa mainannya mempunyai sifat hidup dapat bergerak, berbicara dan merasakan, dengan semakin berkembangnya kecerdasan anak, mereka tidak lagi menganggap benda mati sebagai sesuatu yang hidup dan hal ini mengurangi minatnya pada barang mainan.

Faktor lain yang mendorong penyusutan minat dengan barang mainan ini adalah bahwa permainan ini sifatnya menyendiri sedangkan mereka menginginkan teman. Tahapan usia masuk sekolah, kebanyakan anak menganggap bermain barang mainan sebagai “permainan bayi”.

3. Tahap Bermain

Tahapan usia masuk sekolah, jenis permainan mereka sangat beragam, semula mereka meneruskan bermain dengan barang mainan, terutama bila sendirian,

(17)

27

selain itu mereka merasa tertarik dengan permainan, olah raga, hobi dan bentuk permainan matang lainnya.

4. Tahap Melamun

Mendekati masa puber, mereka mulai kehilangan minat dalam permainan yang sebelumnya disenangi dan banyak menghabiskan waktunya dengan melamun.

Melamun yang merupakan ciri khas anak remaja adalah saat berkorban, saat mereka menganggap dirinya tidak diperlukan dengan baik dan tidak dimengerti oleh siapapun.

2.1.6 Permainan Untuk Anak Usia Prasekolah

Usia anak prasekolah dapat dikatakan sebagai masa bermain, karena setiap waktunya diisi dengan kegiatan bermain. Kegiatan bermain yang dimaksud disini adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan kebebasan batin untuk memperoleh kesenangan.

Terdapat beberapa macam permainan anak usia prasekolah menurut Yusuf (2002:172) yaitu sebagai berikut:

a. Permainan fungsi (permainan gerak) seperti meloncat-loncat, naik turun tangga, berlari-larian, bermain tali, dan bermain bola.

(18)

28

b. Permainan fiksi, seperti menjadikan kursi seperti kuda, main sekolah-sekolahan, dagang-dagangan, perang-perangan, dokter-dokteran, robot-robotan, tembak-tembakan dan masak-masakan.

c. Permainan reseptif atau apresiatif, seperti mendengarkan cerita atau dongeng, melihat gambar, membaca buku cerita, melihat orang melukis, menceritakan kisahnya. d. Permainan membentuk (konstruksi), seperti membuat kue

dari tanah liat, membuat gunung pasir, membuat kapal-kapalan dari kertas, membuat gerobak dari kulit jeruk, membentuk bangunan rumah-rumahan dari potongan kayu-kayu, puzzle.

e. Permainan prestasi seperti sepak bola, bola voli, tenis meja dan bola basket.

2.1.7 Bermain Untuk Anak yang Dirawat Di Rumah Sakit

Tujuan utama asuhan keperawatan bagi anak yang dirawat di rumah sakit adalah meminimalkan munculnya masalah pada perkembangan anak. Perawat yang memberi kesempatan pada anak untuk berpatisipasi dalam aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan tingkat perkembangan akan lebih menormalkan lingkungan anak.

(19)

29

Anak-anak perlu bermain untuk mengeluarkan rasa takut dan cemas yang mereka alami sebagai alat koping dalam menghadapi stres akibat sakit dan dirawat di rumah sakit. a. Manfaat Bermain di Rumah Sakit

Adapun manfaat bermain di rumah sakit menurut Wong (2009: 804) yaitu sebagai berikut:

1. Memberikan pengalihan dan menyebabkan relaksasi 2. Membantu anak merasa lebih aman di lingkungan yang

asing

3. Membantu mengurangi stres akibat perpisahan dan perasaan rindu rumah

4. Alat untuk melepaskan ketegangan dan ungkapan perasaan

5. Meningkatkan interaksi dan perkembangan sikap yang positif terhadap orang lain

6. Sebagai alat ekspresi ide-ide dan minat

7. Sebagai alat untuk mencapai tujuan terapeutik

8. Menempatkan anak pada peran aktif dan memberi kesempatan pada anak untuk menentukan pilihan dan merasa mengendalikan.

b. Terapi bermain yang dilaksanakan di rumah sakit tetap harus memperhatikan kondisi kesehatan anak (Supartini, 2004).

(20)

30

Beberapa prinsip permainan pada anak dirumah sakit yaitu sebagai berikut:

1. Permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang sedang dijalankan pada anak. Apabila anak harus tirah baring, harus dipilih permainan yang dapat dilakukan di tempat tidur, dan anak tidak boleh diajak bermain dengan kelompoknya di tempat bermain khusus yang ada di ruang rawat.

2. Permainan yang tidak membutuhkan banyak energi, singkat dan sederhana. Pilih jenis permainan yang tidak melelahkan anak, menggunakan alat permainan yang ada pada anak atau yang tersedia di ruangan. Walaupun akan membuat suatu alat permainan, pilih yang sederhana supaya tidak melelahkan anak.

3. Permainan harus mempertimbangkan keamanan anak. Pilih alat permainan yang aman untuk anak, tidak tajam, tidak merangsang anak untuk berlari-lari dan bergerak secara berlebihan

4. Melibatkan orang tua saat anak bermain merupakan satu hal yang harus diingat. Orang tua mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya stimulasi tumbuh-kembang pada anak walaupun sedang dirawat di rumah sakit, termasuk dalam aktivitas bermain

(21)

31

anaknya. Perawat hanya bertindak sebagai fasilitator sehingga apabila permainan diinisiasi oleh perawat, orang tua harus terlibat secara aktif dan mendampingi anak.

Peneliti melihat bahwa macam permainan anak yang dapat dilakukan anak di rumah sakit menurut Yusuf adalah permainan fiksi seperti dokter-dokteran, robot-robotan, tembak-tembakan. Permainan reseptif atau apresiatif seperti mendengarkan cerita atau dongeng, melihat gambar, melihat orang melukis dan permainan membentuk (konstruksi) seperti

puzzle. Bentuk permainan ini dapat dilakukan oleh anak-anak

yang sakit karena sesuai dengan keterbatasan fisiknya.

2.2 Kecemasan

2.2.1 Definisi Kecemasan

Kecemasan atau ansietas adalah reaksi yang normal terhadap stres dan ancaman bahaya. Ansietas merupakan reaksi emosional terhadap persepsi adanya bahaya, baik yang nyata maupun yang hanya dibayangkan. Ansietas dan ketakutan sering digunakan dengan arti yang sama; tetapi, ketakutan biasanya merujuk akan adanya ancaman yang spesifik; sedangkan ansietas merujuk akan adanya ancaman yang tidak spesifik (Brunner & Suddarth, 2002).

(22)

32

Kecemasan merupakan suatu respon emosi atau perasaan yang timbul dari penyebab yang tidak pasti dan tidak spesifik yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman dan merasa terancam. Kecemasan terjadi sebagai akibat dari adanya ancaman terhadap diri, harga diri atau identitas seseorang, selain itu kecemasan bisa berhubungan dengan ketakutan akan hukuman, penolakan, kurang kasih sayang, rusaknya hubungan atau kehilangan fungsi tubuh (Stuart, G.W & Sundeen, S.J, 1995).

Kecemasan juga berkaitan dengan tingkat perkembangan, jenis kelamin, sosial budaya dan pengalaman. Manifestasi yang khas pada ansietas tergantung pada masing-masing individu dan dapat meliputi menarik diri, membisu, hiperaktif, mengumpat, berbicara atau bercanda secara berlebihan, menyerang dengan kata-kata atau secara fisik, berkhayal, mengeluh dan menangis (Stuart dan Sundeen, 2007) Riwayat kecemasan yang berkembang secara normal pada awalnya nampak pada usia 7-8 bulan, ketika bayi mulai membandingkan dengan pengasuh primernya, pada diri mereka sering berkembang rasa waswas dan perubahan suasana hati yang sebelumnya tidak ada apabila bersama orang asing.

Anak prasekolah secara khas mengembangkan ketakutan spesifik akibat gelap, binatang, situasi khayalan. Anak

(23)

33

usia sekolah berhenti mengkhayalkan ketakutan secara perlahan dan menggantinya dengan takut bahaya badaniah dan juga dengan kekuatiran lain yang secara potensial nyata (Nelson, 2000).

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan atau ansietas adalah suatu respon emosional terhadap persepsi adanya bahaya yang tidak spesifik atau tidak pasti sehingga menimbulkan perasaan terancam dan tidak nyaman.

2.2.2 Kecemasan Ketika Proses Perawatan Di Rumah Sakit Dirawat di rumah sakit atau perawatan di rumah sakit merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, untuk menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah.

Penyakit dan dirawat di rumah sakit sering kali menjadi krisis pertama yang harus dihadapi anak, untuk anak-anak penyakit dan dirawat di rumah sakit merupakan pengalaman yang penuh tekanan.

Anak-anak, terutama selama tahun-tahun awal, sangat rentang terhadap krisis penyakit dan dirawat di rumah sakit karena stres akibat perubahan dari keadaan sehat biasa dan

(24)

34

rutinitas lingkungan, dan anak memiliki jumlah mekanisme koping yang terbatas untuk menyelesaikan stressor (kejadian-kejadian yang menimbulkan stres).

Stressor utama dari dirawat di rumah sakit antara lain adalah perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh dan nyeri. Reaksi anak terhadap krisis tersebut dipengaruhi oleh usia perkembangan mereka, pengalaman mereka sebelumnya dengan penyakit, perpisahan atau dirawat di rumah sakit, keterampilan koping yang mereka miliki dan dapatkan, keparahan diagnosis dan sistem pendukung yang ada.

Perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh dan nyeri bisa membuat anak menjadi cemas. Rasa cemas yang ditunjukkan setiap anak berbeda-beda sesuai usianya, namun yang menjadi pokok pembahasan dalam skripsi ini yaitu pada anak usia 3-6 tahun yang masuk dalam usia prasekolah.

Berikut ini adalah kecemasan ketika proses dirawat di rumah sakit pada anak usia 3-6 tahun menurut (Wong, 2009 : 754)

1. Cemas Akibat Perpisahan

Kecemasan akibat perpisahan merupakan stres terbesar yang timbul selama perawatan di rumah sakit selama masa bayi dan masa kanak-kanak awal atau prasekolah. Respon terhadap stresor ini selama masa bayi

(25)

35

dan kanak-kanak awal atau prasekolah ditunjukan melalui 3 fase yaitu fase protes, fase putus asa dan fase pelepasan (Wong, 2009).

a. Fase Protes

Selama fase protes, anak-anak bereaksi secara agresif terhadap perpisahan dengan orang tua yang mereka tunjukkan dengan cara mereka menangis dan berteriak memanggil orang tua mereka, menolak perhatian dari orang lain dan kedukaan mereka tidak dapat ditenangkan.

Perilaku lain yang diobservasi selama masa todler sampai prasekolah yaitu: menyerang orang asing secara verbal (mis, “pergi”), menyerang orang asing secara fisik (mis: menendang, menggigit, memukul, mencubit), mencoba kabur untuk mencari orang tua, mencoba menahan orang tua secara fisik agar tetap tinggal bila ada perawat yang akan melakukan tindakan berupa infus, suntik.

Perilaku-perilaku tersebut dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari. Protes seperti menangis dapat terus berlangsung, hanya berhenti bila lelah. Pendekatan orang asing dapat mencetuskan peningkatan stres.

(26)

36

b. Fase Putus Asa

Perilaku yang diobservasi pada usia prasekolah pada fase putus asa yaitu yaitu: anak menjadi tidak aktif, anak menarik diri dari orang lain, anak terlihat depresi atau sedih, anak menjadi tidak tertarik dengan lingkunga, misalnya hanya ingin tidur terus, tidak komunikatif, mundur keperilaku awal (mis: mengisap ibu jari, mengompol, menggunakan dot, menggunakan botol). Lamanya perilaku tersebut berlangsung bervariasi dan kondisi fisik anak dapat memburuk karena menolak untuk makan, minum atau bergerak.

c. Fase Pelepasan

Fase pelepasan disebut juga penyangkalan. Pada tahap ini, secara superficial tampak bahwa anak akhirnya menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Anak tersebut menjadi tertarik terhadap lingkungan sekitar, bermain dengan orang lain, dan tampak membentuk hubungan baru, akan tetapi perilaku ini merupakan hasil dari kepasrahan dan bukan merupakan tanda-tanda kesenangan.

Anak memisahkan diri dari orang tua sebagai upaya menghilangkan nyeri emosional karena

(27)

37

menginginkan kehadiran orang tua dan mengatasinya dengan membentuk hubungan yang dangkal dengan orang lain, menjadi makin berpusat dengan diri sendiri.

Tahap ini merupakan tahap yang paling serius karena pemutar balikkan reaksi yang merugikan cenderung terjadi setelah sikap memisahkan diri tersebut dilakukan.

Perkembangan ketahap pelepasan jarang terjadi. Perilaku yang diobservasi pada fase pelepasan yaitu: menunjukkan peningkatan minat terhadap lingkungan sekitar, berinteraksi dengan orang asing atau pemberi asuhan yang dikenalnya, membentuk hubungan baru namun dangkal, tampak bahagia.

2. Kehilangan Kendali

Satu faktor yang mempengaruhi jumlah stres akibat dirawat di rumah sakit adalah jumlah kendali yang orang tersebut rasakan. Wong (2009:773) mengatakan bahwa perasaan kehilangan kendali terjadi akibat perpisahan, restriksi fisik, perubahan rutinitas, pemaksaan ketergantungan dan pemikiran magis. Kurangnya kendali

(28)

38

akan meningkatkan persepsi ancaman dan dapat mempengaruhi keterampilan koping anak-anak.

Kehilangan kendali dalam konteks kekuasaan diri mereka merupakan faktor yang mempengaruhi secara krisis persepsi dan reaksi mereka terhadap perpisahan, nyeri, sakit dan dirawat di rumah sakit.

Egosentris dan pemikiran magis anak prasekolah membatasi kemampuan mereka untuk memahami berbagai peristiwa karena mereka memandang semua pengalaman dari sudut pandang mereka sendiri (egosentrik). Tanpa persiapan yang adekuat terhadap lingkungan yang tidak dikenal atau pengalaman, penjelasan fantasi anak prasekolah untuk peristiwa-peristiwa semacam itu biasanya lebih berlebihan, aneh dan lebih menakutkan dari kejadian sebenarnya.

Respon terhadap pemikiran semacam itu membuat anak biasanya merasa malu, bersalah dan takut. Anak prasekolah juga menyimpulkan dari sesuatu yang khusus ke sesuatu yang khusus lagi, bukan dari spesifik ke umum atau sebaliknya, misalnya jika konsep anak prasekolah tentang perawat adalah mereka yang menyebabkan nyeri, maka anak sekolah akan berpikir bahwa setiap perawat

(29)

39

atau setiap orang yang memakai seragam yang sama juga akan menyebabkan nyeri.

3. Cedera Tubuh dan Nyeri

Takut akan cedera tubuh dan nyeri sering terjadi diantara anak-anak. Konsekuensi rasa takut ini dapat sangat mendalam.

Konflik psikososial anak pada kelompok usia prasekolah membuatnya sangat rentan terhadap ancaman cedera tubuh. Prosedur intrusif baik yang menimbulkan nyeri maupun yang tidak, merupakan ancaman bagi anak prasekolah yang konsep integritas tubuhnya belum berkembang baik.

Anak prasekolah dapat bereaksi terhadap injeksi sama kuatirnya dengan nyeri pada saat jarum dicabut, mereka takut intrusif atau pungsi vena atau pungsi lumbal pada tubuh tidak akan menutup kembali dan “isi tubuh” mereka akan bocor keluar.

Reaksi terhadap nyeri cenderung sama dengan yang terlihat pada masa todler, meskipun beberapa perbedaan menjadi jelas, misalnya, respon anak prasekolah terhadap intervensi persiapan dalam hal

(30)

40

penjelasan dan distraksi lebih baik bila dibandingkan dengan respon anak yang lebih kecil.

Agresi fisik dan verbal lebih spesifik dan mengarah pada tujuan bukan menunjukkan resistensi tubuh total, anak prasekolah malah akan mendorong orang yang akan melakukan prosedur agar menjauh, mencoba mengamankan peralatan, atau berusaha mengunci diri di tempat yang aman. Anak prasekolah juga bisa menyerang atau melarikan diri. Ekspresi verbal mereka bisa ditunjukkan dengan mengatakan pada perawat secara verbal “pergi dari sini” atau “saya benci kamu”.

Respon anak prasekolah saat mengalami cedera tubuh dan nyeri yaitu: menangis keras, berteriak, ekspresi verbal seperti “aduh”, “auw”, “sakit”, memukul-mukulkan lengan dan kaki, berusaha mendorong stimulus menjauh sebelum nyeri terjadi, tidak kooperatif, memerlukan restrein fisik, meminta agar prosedur dihentikan, bergelayut pada orang tua atau orang bermakna lainnya, meminta dukungan emosional seperti pelukan, dapat menjadi gelisah dan peka terhadap nyeri yang berkelanjutan.

(31)

41

2.2.3 Teori Kecemasan

Ada beberapa teori yang menjelaskan predisposisi dari cemas dalam Hilgard’s introduction to psychology (Atkinson, 1996), antara lain:

1. Teori Psikoanalitik

Teori ini berasumsi penyebab utama dari kecemasan adalah konflik internal dan faktor lain yang tidak diketahui. Freud membedakannya antara kecemasan objektif dengan kecemasan neurotik. Pada kecemasan objektif, respon yang timbul terjadi akibat seseorang berada dalam situasi yang mengancam sedangkan pada kecemasan neurotik, respon yang terjadi bukan karena seseorang berada dalam situasi mengancam yang nyata. Hal ini terjadi lebih karena adanya konflik individu antara id dan superego, karena konflik antara id dan superego merupakan hal yang tidak nyata, maka seseorang cenderung tidak mengetahui mengapa mereka merasakan ketakutan.

2. Teori Perilaku

Menurut teori ini kecemasan lebih dipicu oleh kejadian eksternal yang spesifik dari pada konflik internal. Kecemasan dirasakan bila seseorang tidak dapat berhadapan dengan banyak situasi dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini menimbulkan cemas sepanjang waktu.

(32)

42

3. Teori Kognitif

Teori ini berfokus pada bagaimana seseorang berpikir tentang kecemasan pada situasi tertentu dan potensi bahaya yang mungkin dihadapi. Seseorang yang cemas biasanya cenderung membuat penilaian yang tidak realistis.

4. Teori Biologi

Kecemasan dapat ditemui dalam satu keluarga. Lima belas persen orang tua dan saudara kandung yang mengalami kecemasan akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain.

2.3 Anak Usia Prasekolah

2.3.1 Definisi Anak Usia Prasekolah

Menurut Yusuf (2002:162) anak usia prasekolah merupakan fase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buang air (toilet

training), dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya

(mencelakakan dirinya). Menurut Wong (2009:493) periode prasekolah yaitu anak usia 3-6 tahun.

Pada pertumbuhan masa prasekolah, perkembangan psikososial pada anak sudah menunjukkan adanya rasa inisiatif, konsep diri yang positif serta mampu mengidentifikasi dirinya. Perkembangan adaptasi sosial dapat bermain dengan

(33)

43

permainan sederhana, menangis jika dimarahi, membuat permintaan sederhana dengan gaya tubuh, menunjukkan peningkatan kecemasan terhadap perpisahan, mengenali anggota keluarga (Aziz, 2005).

2.3.2 Teori-Teori Perkembangan Anak

Teori perkembangan manusia bermacam-macam. Beberapa teori melihat perkembangan sebagai proses yang berlangsung terus, berpindah dari hal-hal yang sederhana kearah yang lebih kompleks, teori lain melihat bahwa proses tersebut tidak berlangsung terus, dengan pilihan periode hubungan keseimbangan dan ketidakseimbangan.

Berikut teori perkembangan menurut Freud, Erikson (1963), Piaget (1952), Kohlberg (1968).

1. Perkembangan Kognitif (Piaget 1952)

Piaget melihat perkembangan pikiran sebagai kejadian melalui adaptasi terhadap lingkungan. Anak menyesuaikan (mengisi) informasi yang baru kedalam struktur pemikiran yang sudah ada (skema) dan mengakomodasi (mengubah) skema tersebut untuk menerima informasi yang baru. Usaha untuk keseimbangan (ekuilibrasi) terjadi melalui dua proses ini. Piaget juga menyatukan prinsip epigenetic kedalam teorinya. Prinsip ini menyebutkan bahwa perkembangan bergantung pada program

(34)

44

genetik seseorang dan bahwa setiap aspek atau bagian memiliki waktunya sendiri untuk berpengaruh.

Sesuai dengan tahap perkembangan anak menurut Piaget, anak usia 3-6 tahun masuk dalam tahap praoperasional (2-7 Tahun) yaitu anak mengembangkan sistem perwakilan menggunakan simbol seperti kata untuk mewakili manusia, tempat dan benda. Konsep praoperasional dibatasi oleh kemampuan berfokus hanya pada satu aspek pada satu waktu, dan pemikiran sering terlihat tidak logis karena alasan anak dari satu hal yang spesifik ke yang lainnya.

Prekonseptual (2-4 tahun) anak sangat egosentris.

Batasan persepsi dan pemikiran transduktif mulai; anak menjadi animistik dan tahap Intuitif (4-7 tahun) yaitu anak mulai membentuk sesuatu tetapi tidak dapat menjelaskan hal tersebut secara rasional. Anak tidak mampu untuk menyadari bagian dari sesuatu secara keseluruhan.

2. Perkembangan Psikosexual Anak (Freud)

Pada perkembangan psikososial anak pertama kali dikemukakan oleh Sigmund Freud yang merupakan proses dalam perkembangan anak dengan pertambahan pematangan fungsi struktur serta kejiwaan yang dapat menimbulkan dorongan untuk mencari rangsangan dan kesenangan secara umum untuk menjadikan diri anak menjadi orang dewasa.

(35)

45

Tahapan perkembangan Freud, anak usia 3-5 tahun atau prasekolah masuk dalam tahap oedipal/phalik yaitu perkembangan anak dengan kepuasan pada anak terletak pada rangsangan autoerotic yaitu meraba-raba, merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, suka pada lain jenis. Anak laki-laki cenderung suka pada ibunya dari pada ayahnya demikian sebaliknya anak perempuan senang pada ayahnya. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki.

3. Perkembangan Psikososial Anak (Erikson 1963)

Merupakan perkembangan anak yang ditinjau dari aspek psikososial. Perkembangan ini dikemukakan oleh Erikson bahwa anak dalam perkembangannya selalu dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Teori ini menunjukkan pentingnya hereditas dan lingkungan yang memiliki dasar epigenetik, perkembangan ditentukan oleh prinsip genetik dan berlangsung terus-menerus sepanjang tahapan usia.

Menurut Erikson, setiap tahap memiliki krisis personal yang melibatkan konflik utama yang kritis pada saat itu. Perkembangan ego sangat dipengaruhi oleh pengaruh sosial dan kultural, dan kesuksesan hasil dari setiap krisis melibatkan perkembangan dari kebaikan yang khusus. Kesuksesan

(36)

46

penguasaan terhadap setiap konflik dibangun pada keberhasilan penyelesaian pusat konflik sebelumnya.

Sesuai dengan tahap perkembangan Erikson anak usia 3-6 tahun atau prasekolah masuk dalam tahap inisiatif vs rasa bersalah, yaitu anak mengembangkan inisiatif pada saat merencanakan dan mencoba hal-hal baru. Perilaku anak ditandai dengan sesuatu yang kuat, imajinatif, dan intrusif. Terjadi perkembangan perasaan bersalah dan identifikasi dengan orang tua yang sama jenis kelamin. Pembatasan dari orang tua bisa mencegah anak dari perkembangan inisiatif, rasa bersalah mungkin muncul pada saat melakukan aktivitas yang berlawanan dengan orang tua. Anak harus belajar untuk memulai aktivitas tanpa merusak hak-hak orang lain.

4. Perkembangan Kognitif Anak ( Kohlberg 1968)

Mengemukakan bahwa perkembangan kognitif mendasari kemajuan moral seseorang dari tingkat ke tingkat. Tahap ini terjadi dalam urutan yang sama, berdasarkan kultur. Individu berbeda dalam seberapa cepat dan seberapa jauh mereka maju melaui tahapan ini.

Sesuai dengan tahap perkembangan menurut Kohlberg anak usia prasekolah masuk dalam tingkat premoral (lahir sampai 9 tahun) yaitu terdapat sedikit kewaspadaan mengenai apa yang dimaksud dengan perilaku moral yang bisa diterima secara sosial.

(37)

47

kontrol didapatkan dari luar. Anak menyerah pada kekuatan dan kepemilikan. Anak usia prasekolah juga masuk dalam orientasi hukum dan kepatuhan yaitu peraturan dari orang lain diikuti untuk menghindari hukuman. Anak menggabungkan label dari baik dan buruk dan benar dan salah dalam perilaku dalam bentuk konsekuensi dari tindakan-tindakan.

2.4 Hubungan Bermain dengan Kecemasan Anak Usia 3-6 tahun yang Dirawat Di Rumah Sakit

Bermain adalah salah satu aspek penting dari kehidupan anak dan salah satu alat yang efektif untuk penatalaksanaan stres, karena sakit dan dirawat di rumah sakit menimbulkan krisis dalam kehidupan anak, dan karena situasi tersebut sering disertai stres berlebihan, maka anak-anak perlu bermain untuk mengeluarkan rasa takut dan cemas yang mereka alami sebagai alat koping dalam menghadapi stres tersebut.

Penelitian ini fokus pada frekuensi bermain pada anak, dengan bentuk permainan yang anak-anak gunakan saat dirawat di rumah sakit sesuai dengan studi pendahuluan yaitu bermain robot-robotan, boneka, kapal-kapalan, membaca buku cerita.

Penelitian yang dilakukan oleh Suryanti Marasaoly (2009) tentang pengaruh terapi bermain puzzle terhadap dampak hospitalisasi pada anak usia prasekolah di ruang Anggrek 1 Rumah

(38)

48

Sakit Popus R.S Sukanto yang dipublikasi melalui www.garuda.dikti.go.id mendapatkan hasil penelitian yaitu ada pengaruh yang bermakna antara intervensi terapi bermain puzzle dengan dampak hospitalisasi.

Jurnal keperawatan oleh Alfiyanti D. (2007) tantang pengaruh terapi bermain terhadap tingkat kecemasan anak usia prasekolah selama tindakan keperawatan di ruang Lukman Rumah Sakit Roemani Semarang, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara tingkat kecemasan anak usia prasekolah selama tindakan keperawatan sebelum dan sesudah dilakukan terapi bermain.

2.5 Kerangka Konseptual

Variabel Independen Variabel Dependen Frekuensi bermain

Anak usia prasekolah 3-6 tahun  Waktu bermain

 Lamanya dirawat  Usia anak

 Jenis kelamin

Kecemasan yang timbul akibat dirawat di rumah sakit

Jenis dan berat ringannya penyakit anak, pengalaman

sakit sebelumnya, sifat anak, alat permainan yang

(39)

49

Keterangan:

: diteliti : tidak diteliti

2.6 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian. Hipotesis sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji (Noor, 2011).

 Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara frekuensi bermain terhadap kecemasan pada anak usia 3-6 tahun yang dirawat di Ruang Dahlia Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang, berarti sebenarnya r = 0

 Ha : Ada hubungan yang signifikan antara frekuensi bermain terhadap kecemasan pada anak usia 3-6 tahun yang dirawat di Ruang Dahlia Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang, jadi memang ≠ 0.

Referensi

Dokumen terkait

Karena itulah penulis berusaha untuk menjabarkan macam-macam makna ~te-iru dan menganalisis pemahaman mahasiswa terhadap aspek hyougen ~te-iru menggunakan

Hasil tersebut konsisten dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ardhini (2011) dan Losa (2012) yang menunjukkan bahwa secara statistik adanya rasio

Perhitungan indeks RCA bertujuan untuk menjelaskan kekuatan dayasaing komoditas nenas dan pisang Indonesia secara relatif terhadap produk sejenis dari negara lain (dunia) yang juga

bahwa untuk mengoptimalkan pengembangan kemampuan pemecahan masalah pada matematika perlu dilakukan perbaikan bahan ajar.Paparan tersebut menunjukkan bahwa bahan ajar

Penyediaan Layanan Kesehatan untuk UKM dan UKP Rujukan tingkat Daerah

Menyusun daftar pertanyaan atas hal-hal yang belum dapat dipahami dari kegiatan mengmati dan membaca yang akan diajukan kepada guru berkaitan dengan materi Peran jamur dalam

Melakukan klasifikasi perusahaan yang terprediksi finansial distress dengan metode analisis diskriminan menggunakan variabelprediktor asli dan variabel prediktor yang

Ini disebabkan bahwa proses interaksi sosial sebagai unit analisa psikologi sosial dipengaruhi oleh proses proses psikologis di dalam diri manusia termasuk memahami motif