• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang-Undang menurut Undang-Undang Dasar 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang-Undang menurut Undang-Undang Dasar 1945"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

menurut Undang-Undang Dasar 1945

Ipana Nurdiani

Prodi PPKn FKIP Universitas Ahmad Dahlan Jl. Pramuka No. 42 Sidikan Umbulharjo Yogyakarta

ABSTRAK

Dewan Perwakilan Daerah lahir lewat amandemen ke-3 UUD 1945. Pembentu-kan DPD dimaksudPembentu-kan untuk memperjuangPembentu-kan kepentingan dan aspirasi masyarakat dan daerah dalam kebijakan nasional, mengikutsertakan daerah dalam setiap keputusan politik nasional, maupun sebagai penyeimbang dalam struktur parlemen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Kewenangan DPD dalam Pembentukan Undang-Undang menurut UUD 1945 dan Kewenangan DPD dalam sistem bikameral di Indonesia.

Objek dalam penelitian ini adalah Kewenangan DPD dalam Pembentukan Un-dang-Undang Menurut UUD 1945 dengan melihat kepada aturan-aturan pelaksanaan tugas DPD yang tertuang dalam UU No 22 Tahun 2003 dan UU No 27 Tahun 2009 me-ngenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dengan menggunakan metode pengumpulan data studi pustaka yang melihat dari berbagai kajian literatur dan situs internet. Kemudian memakai pendekatan secara yuridis, politis dan historis. Dengan menggunakan instru-men penelitian berupa data sekunder yang tediri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Metode analisis data digunakan secara deskripsi kualitatif.

Penelitan ini menyimpulkan bahwa kewenangan DPD dalam hal pembentukan Undang-Undang ataupun Legislasi tetap terbatas tidak seperti halnya DPR. Hal ini dapat terlihat dalam UUD 1945 Pasal 22 D ayat (1), (2) dan (3) maupun dalam UU No 22 Tahun 2003 dan UU No 27 Tahun 2009 mengenai MPR, DPR, DPD dan DPRD. Pasal tersebut menyebutkan Kewenangan DPD sangat terbatas hanya dapat mengajukan dan membahas RUU pada tingkat I bersama DPR dan Presiden dalam hal penyampaian pan-dangan umum atas RUU, serta tanggapan dari masing-masing lembaga. Dan DPD ikut membahas RUU bersama DPR dan Presiden baik RUU yang diajukan oleh DPR atau Presiden pada tingkat I. Ditempatkan pada posisi yang lemah, membuat DPD sebagai lembaga Negara tidak akan mungkin mengemban fungsi dan tugasnya secara berarti. Sehingga perlu adanya amandemen UUD 1945 kelima dibidang legislatif baik DPR, DPD dan Presiden.

Kata Kunci : DPD, legislasi, amandemen, UUD 1945, undang-undang

PENDAHULUAN

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lahir lewat amandemen ke-3 UUD 1945. Berdasarkan pasal 2 ayat (1) sebelum amandemen UUD 1945 anggota MPR ter diri dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPR), Utusan-utusan Golongan (UG) dan Utus an-utusan Daerah (UD). (M. Muhibbudin, dikutip dari

http://word-press.com/menggugat marginalisasi peran DPD). Utusan Golongan (UG) dan Utusan Daerah (UD) dalam perjalanan lembaga perwakilan di Indonesia banyak menga-lami penyimpangan-penyimpangan se-hingga tidak lagi efektif, tidak demokratis dan tidak mencerminkan representatif utu-san golongan dan utuutu-san daerah. Sehing-ga diusulkan oleh daerah-daerah kepada

(2)

Ipana Nurdiani

MPR agar Utusan Golongan dihapuskan dan Utusan Daerah ditingkatkan menjadi suatu institusi yang representatif mencer-minkan keterwakilan daerah. Usulan terse-but diterima oleh MPR dan disidangkan melalui PAH I BP MPR. Akhirnya mela-lui perdebatan panjang antar fraksi-fraksi melalui voting terbuka Utusan Golongan dihapuskan dan Utusan Daerah digantikan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai perwakilan teritorial yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu me-mang diisyaratkan untuk independen (bu-kan partai politik). (Subardjo, 2008: 2)

Pemilihan DPD melalui sistem distrik dilakukan dengan melihat jumlah kursi setiap anggota DPD yang ditetapkan 4 kandidat untuk setiap provinsi dan dipilih langsung oleh masyarakat daerah masing-masing, sehingga jumlah anggota DPD sebanyak 132 orang dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, yang mewakili daerah-nya dan merupakam representasi teritorial atau regional yang berarti independen di-luar dari partai politik. Adanya pembentu-kan DPD sesuai dengan semangat otonomi daerah, yaitu perlu adanya lembaga negara yang dapat menjembatani kepentingan pusat dan daerah, serta memperjuangkan kepentingan aspirasi masyarakat dan dae-rah dalam kebijakan nasional. Dan meng-ikutsertakan daerah dalam setiap keputus-an politik nasional

Lahirnya lembaga ini semula dimak-sudkan dalam rangka mereformasi struk-tur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR dan DPD. Dengan struktur bikameral itu di-harapkan proses legislasi dapat diseleng-garakan ber dasarkan sistem double-check yang me mungkinkan representasi kepen-tingan seluruh rakyat secara relatif dapat

disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas. DPR mencerminkan representasi po-litik, sedangkan DPD mencerminkan re-presentasi teritorial atau regional. DPD mempunyai kewenangan yang terbatas, dapat dilihat dalam pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945. UU No 22 Tahun 2003 tentang Susduk dan UU No 27 Ta-hun 2009 mengenai MPR, DPR, DPD dan DPRD. Bahwa kewenangan DPD sangat terbatas hanya “dapat” mengajukan RUU, ikut membahas RUU dan “dapat” melaku-kan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang yang berkaitan dengan daerah. Pada kenyataanya jika dikaji lebih men-dalam, tampak jelas bahwa kewenangan DPD dalam pembentukan UU sangat mi-nim. DPD hanya meng ajukan rancangan undang-undang kepada DPR, dan hanya ikut membahas rancangan undang-un-dang pada tingkat 1 dalam hal penyam-paian pandangan umum atas RUU, serta tanggapan dari masing-masing lembaga. DPD tidak dapat mengajukan rancangan undang-undang langsung untuk dibahas, tetapi harus melalui DPR sebagai pihak yang memegang kekuasaan pembentuk undang-undang. DPD hanya ikut memba-has rancangan undang-undang, dan tidak menyetujuinya menjadi undang-undang, sebab menyetujui menjadi rancangan un-dang-undang hanyalah DPR dan presiden. Ditempatkan pada posisi yang lemah di dalam Undang-Undang Dasar 1945, UU No 22 Tahun 2003 dan UU No 27 Tahun 2009, membuat DPD sebagai lembaga Ne gara tidak akan mungkin mengemban fungsi dan tugasnya secara berarti, apalagi kewenangan yang dimilikinya, terutama dalam bidang legislasi dan pengawasan di-batasi secara konstitusional, dengan kondi-si seperti itu, maka sulit diharapkan DPD

(3)

Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang-Undang ....

dapat berhasil memperjuangkan aspirasi daerah. Sehingga keadaan tersebut terus menerus menggelinding sampai hari ini de-ngan adanya tuntutan amandemen UUD 1945 kelima. Meskipun kewenangan DPD sangat terbatas diatur dalam pasal 22D ayat (1) dan (2) dalam pembentukan undang-un-dang, sesungguhnya peluang da lam meng-optimalkan peran DPD masih ada.

Perubahan UUD 1945 secara samar-samar mendorong DPR menjadi lembaga negara yang supreme diantara lembaga-lembaga negara yang ada. Kenyataan ini sulit untuk dibantah karena hampir se-mua kekuasaan negara bertumpu ke DPR. Besar kemungkinan, dalam praktik ke-tatanegaraan ke depan akan muncul con-cen tration of power and responsibility upon the DPR, seperti kekuasaan Presiden di bawah UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen. Kalau pada awalnya para-digma dari executive heavy menjadi legis-lative heavy, melihat pergeseran yang ter-jadi, anggapan itu tidak sepenuhnya be nar. Yang terjadi sesungguhnya DPR heavy karena kehadiran DPD sebagai salah satu kamar di legislatif hanya se bagai peleng-kap penderita dalam sistem perwakilan. (Mul yosudarmo, 2004: 331-332)

Keterbatasan kewenangan DPD dalam pembentukan UU menurut UUD 1945 itu menjadi sorotan banyak pihak untuk di-berikan penguatan khususnya dibidang legislasi atau pembuatan UU supaya sesuai dengan ruh sistem bikameral yaitu adanya checks and balances antara dua lembaga perwakilan tersebut (Subardjo, 2008:4), baik dalam UU No 22 Tahun 2003 me-ngenai SusDuk yang sudah direvisi men-jadi UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD kewenangan DPD dalam hal legislasi sangat terbatas. Maka

penulis ingin mengetahui bagaimana “ke-wenangan DPD dalam pembentukan UU menurut UUD 1945 maupun UU No 22 ta hun 2003 dan UU No 27 Tahun 2009” dimana DPD hanya mempunyai kewe-nangan da lam pengajuan, pembahasan RUU mau pun pengawasan dalam hal ter-tentu seba gaimana tertuang dalam pasal 22D ayat (1), (2) dan (3).

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimanakah kewenangan DPD dalam pembentukan UU menurut UUD 1945? (2) Mengapa kewenangan DPD tidak sama dengan DPR dalam sis-tem bikameral Indonesia?

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Un-dang-Un dang menurut UUD 1945 Keterbatasan kewenangan yang dimi-liki oleh DPD di dalam pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945, diuraikan se-bagai berikut: Pertama, pasal 22D ayat (1) DPD dapat mengajukan kepada DPR Ran-cangan Undang-Undang yang berkaitan dengan: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabunga daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekono-mi lainya; serta, yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua, pasal 22D ayat (2) DPD dapat ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabunga daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya; serta, yang berkaitan denga perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta, memberikan pertimbangan

(4)

Ipana Nurdiani

kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pen-dapatan dan belanja Negara, rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pa-jak, pendidikan, dan agama. Ketiga, pasal 22D ayat (3) DPD dapat melakukan peng-awasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentuk-an, pemekarpembentuk-an, dan penggabungan dae-rah, hubungan pusat dan daedae-rah, pengelo-laan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama.

Jika dikaji lebih mendalam, dapat di-jelaskan bahwa kata “dapat” mengajukan pada ayat (1) hanya menempatkan DPD lembaga negara yang membantu DPR dalam menjalankan fungsi legislatifnya. Ke mudian makna kata “ikut” membahas dalam ayat (2) hanya memposisikan DPD lembaga negara yang tidak sepenuhnya menjalankan fungsi pembahasan RUU. Selanjutnya pengertian dapat melakukan pengawasan pada ayat (3) dapat ditaf-sirkan, menempatkan DPD pada posisi yang lemah di dalam mekanisme checks and balances. Kata “dapat” menjelaskan bahwa, DPD tidak harus perlu mengaju-kan RUU kepada DPR, apalagi kalau DPD menganggap itu tidak terlalu penting, atau hanya sebuah rumusan yang tidak meng-ikat DPD untuk mengajukan RUU kepada DPR. Boleh jadi, jika terjadi ketegangan politik antara DPR dan DPD, DPR tidak mengikutsertakan DPD dalam proses pembahasan. Dijelaskan pula bahwa DPD sebagai lembaga baru dalam ketatane-garaan di Indonesia apabila diperhatikan dalam pasal 22 UUD 1945 kewenangan DPD sa ngat terbatas dalam lembaga le-gislasi atau pembentukan undang-undang.

Demikian juga aturan-aturan pelaksanaan tugas DPD yang dituangkan dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang SusDuk MPR, DPR, DPD dan DPRD dapat dilihat posisi politik DPD tidak optimal mengambil pe-ran menentukan dalam mewakili aspirasi daerah. Tidak sebesar dengan legitimasi yang diperoleh dalam pemilu, berbagai peraturan mempertegas kearah lemahnya posisi DPD se perti pasal 42 ayat (1), (2), dan (3) me ngenai tugas dan kewenangan DPD yang hanya dapat mengajukan RUU ke DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pem-bentukan dan pemekaran, penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang terkait dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Itupun DPD hanya di-undang oleh DPR untuk ikut membahas RUU sesuai tertib DPR sebelum DPR membahas RUU dengan pemerintah.

Lebih lanjut pasal 43 ayat (1), (2), (3), (4). Anggota DPD hanya ikut membahas bersama DPR dan pemerintah pada awal pembicaraan tingkat I sesuai tata tertib DPR. Pembahasan itu hanya berupa pe-nyampaian pendapat DPD serta tanggapan terhadap pandangan umum dan penda-pat masing-masing lembaga yang nanti-nya akan menjadi bahan masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah. Begitu pula dalam pasal 44 ayat (1), (2), dan (3). DPD hanya mem-berikan pertimbangan kepada DPR atas RUU, APBN, dan RUU tentang Pajak, pendidikan dan agama secara tertulis untuk menjadi masukan pembahasan lebih lanjut diantara DPR dan Pemerintah. Sedangkan Menurut UU No 27 tahun 2009 mengenai MPR, DPR, DPD dan DPRD yang meng-gantikan UU SuDuk No. 22 Tahun 2003.

(5)

Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang-Undang ....

Kewenangan DPD dalam hal pembentuk-an UU atau legislasi, tidak menunjukkpembentuk-an kewenangan yang signifi kan karena pada pasal 223 ayat (1) Huruf a, b, c, d, dan pasal 224 ayat (1) Huruf a, b, c. DPD hanya da-pat mengajukan RUU yang berakitan de-ngan otonomi daerah, hubude-ngan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sum-ber daya alam dan sumsum-ber daya ekonomi, serta yang berakitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dan ikut membahas RUU pada tingkat 1 bersama DPR dan Presiden dalam hal penyampaian pandangan umum atas RUU, serta tang-gapan dari masing-masing lembaga. Serta ikut membahas RUU bersama DPR dan Presiden baik RUU yang diajukan oleh DPR atau Presiden pada tingkat 1. Sedang-kan pasal 251 ayat (1), (2) dan (3), pasal 252 ayat (1), (2) dan pasal 253 ayat (1), (2), menjelaskan tentang tata cara anggota DPD dalam pengajuan dan pembahasan RUU pada sidang paripurna DPD. Dimana DPD dapat mengajukan RUU berdasarkan program legislasi nasional dengan disertai penjelasan akademik yang diusulkan oleh panitia perancang undang-undang atau panitia dan disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR dengan surat peng-antar dari pimpinan DPD. Dan ikut serta membahas RUU bersama DPR dan Pre-siden pada tingkat I. Pasal 254 menjelas-kan bahwa DPD mempunyai kewenangan dalam pembentukan Undang-undang un-tuk ikut membahas RUU bersama DPR dan Presiden pada pembicaraan tingkat I seperti tertuang dalam pasal 150 ayat (1), (2) huruf b dan e dan ayat (4) huruf b. Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan pengantar musyawarah, pem-bahasan daftar inventarisasi masalah dan

penyampaian pendapat mini.

Meskipun kewenangan DPD sangat ter-batas diatur dalam pasal 22D ayat (1) dan (2) dalam pembentukan undang-undang, sesungguhnya peluang dalam mengoptimal-kan peran DPD masih ada. Banyak persoal-an ypersoal-ang bergejolak di daerah membutuhkpersoal-an pendampingan DPD. Peran DPD tidak ha-nya mengajukan RUU tetapi juga ikut dalam pembahasan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah dan lain-lain. Untuk itu, DPD perlu memperkuat basis pengetahuan dan keterampilan baik dalam komunikasi politik maupun legislasi, serta memperluas jaringan kerjasama dengan berbagai pihak, misalnya lembaga tinggi negara lainnya, perguruan tinggi, LSM, tokoh-tokoh agama, tokoh adat dan kelompok masyarakat, ke-lompok usaha dan lain-lain. Kalau simpati rakyat sudah diraih DPD melalui kinerjanya yang optimal setidaknya akan mendapat dukungan dari rakyat dan mewakili daerah dengan terus berjuang sampai memperoleh hasil ditingkat pusat.

2. Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah tidak sama dengan DPR dalam Sistem Bikameral di Indo-nesia

Perumusan pada pasal 22D ayat (1) UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR pada waktu melakukan amandemen ketiga UUD 1945, secara sengaja menempatkan DPD sebagai lembaga negara yang tidak memiliki peran yang signifi kan. Dapat dimengerti, karena belum terbentuknya DPD sebagai lembaga negara yang baru dan anggota-anggotanya belum dipilih melalui pemilihan umum, sehingga lahir-lah rumus an seperti itu. Dan, dapat terjadi karena unsur anggota MPR yang bersal dari DPR berusaha untuk selalu

(6)

mem-Ipana Nurdiani

perkuat posisi politik dan kekuasaan DPR melebihi lembaga-lembaga negara yang lain, khususnya DPD. Dengan kata lain, karena MPR yang merumuskan pasal 2 ayat (1) UUD 1945 adalah MPR yang ter-diri dari atas semua anggota DPR, ditam-bah dengan anggota utusan daerah dan utusan golongan, membuat para anggota tidak memahami secara mendalam me-ngenai eksistensi, fungsi dan kewenangan DPD sebagai lembaga negara yang baru, maka rumusan fungsi legislasi DPR diru-muskan sebagaimana mestinya. Seolah-olah dengan rumusan seperti itu, posisi DPD berada dibawah DPR, atau menjadi “anak cabang” kekuasaan legislatif yang dipegang oleh DPR. Dengan posisi yang lemah dalam struktur kekuasaan negara, khususnya kekuasaan legislatif, maka DPD tidak memiliki kekuasaan rill dan kuat dalam mekanisme checks and balances di Indonesia, sebab kekuasaan legislatif tetap berada di tangan DPR, dan DPR tetap seba-gai sebuah kekuatan yang dominan dalam struktur pemerintahan negara.

Setelah ditetapkan Pasal 2 ayat (1) tentang keanggotaan MPR terdiri dari ang-gota DPR dan DPD. Selanjutnya MPR membahas tentang kewenangan DPD. Fraksi-fraksi di MPR lewat perdebatan seru, ada yang pro dan ada yang kontra, seperti FPDIP menolak DPD diberi status sebagai lembaga legislatif, FPG meminta kedua-duanya mempunyai fungsi legislasi dan pengawasan yang sama. FPPP mem-berikan jalan tengah diberi kewenangan terbatas di bidang legislasi. Akhirnya melalui kompromi yang cukup sulit untuk menemukan kesepakatan di antara para fraksi perwakilan partai politik, maka Frak-si-fraksi sepakat DPD diberi kewenangan terbatas dalam bidang legislasi. Bila

dili-hat, sekilas nampak MPR seperti layaknya kongres di Amerika Serikat yang meng-anut sistem dua kamar (bikameral), tetapi apabila dicermati lebih teliti maka nampak sekali perbedaannya, karena kongres di Amerika Serikat yang terdiri dari Senat dan House of Representatives sebagai lem-baga legislatif dan memiliki kedudukan setara, sementara MPR yang terdiri dari DPD dan DPR bukanlah lembaga legislatif yang tidak memiliki kedudukan setara, ka-rena MPR terdiri dari DPD dan DPR bu-kanlah lembaga yang sama-sama memiliki kedudukan sebagai lembaga legislatif dan kedudukannya tidak setara sama sekali. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie tidak tepat kalau MPR menganut sistem bikameral karena sistem bikameral biasanya adalah apabila kedua kamar mempunyai kedudukan sebagai lembaga legislatif. DPR dan DPD mencer-minkan sistem bikameral yang tidak sem-purna atau sistem bikameral sederhana atau lunak (soft bikameral). Bahkan me-nurut Jimly Asshiddiqie keberadaan MPR, DPR, DPD dikatakan unikameral yang tidak murni.

Menurut Giovanni Satori, Indonesia menganut sistem soft bikameral. Dengan alasan bahwa kedua kamar yang ada yai-tu DPR dan DPD tidak mempunyai we-wenang yang seimbang. DPD tidak mem-punyai fungsi legislasi layaknya DPR. Fungsi budgetingnya pun terbatas. DPD tidak bisa menjadi lembaga pengontrol bagi DPR. DPD hanya memberikan per-timbangan bagi RAPBN dan RUU yang terkait dengan pajak, pendidikan, dan aga-ma. Jika dilihat dari pendapat para pakar diatas, pembentukan DPD sebenarnya tak lepas dari proses perubahan sistem keta-tanegaraan Indonesia kearah yang lebih

(7)

Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang-Undang ....

modern. Dalam sistem ketatanegaraan saat ini, tidak ada lagi lembaga tertinggi negara seperti MPR di masa lalu. Semua lembaga tinggi negara ada dalam keadaan setara, sehingga dapat melakukan fungsi checks and balances. Namun masalahnya, kenyataan yang ada sekarang kewenangan yang dimiliki DPD jauh berbeda dengan yang dimiliki DPR. Karena itu, meka-nisme checks and balances juga tidak dapat berjalan dengan semestinya, meng-ingat kewenangan DPD yang seolah hanya menjadi subordinat DPR. Sehingga DPD merupakan sistem bikameral yang telah diadaptasi dengan kondisi Indonesia (bi-kameral “ala” Indonesia). Meskipun harus mengadopsi suatu sistem menjadi “ala” Indonesia, namun prinsip-prinsip univer-sal seperti sistem penyelenggaraan negara yang sistemik, efektif, efi sien dan berke-adilan tidak boleh diabaikan. DPD harus memiliki peran sesuai konsep awalnya sebagai lembaga legislasi negara yang sederajat dengan DPR. DPD harus memi-liki fungsi yang membuatnya dapat secara efektif menjadi pengimbang DPR dalam keseluruhan proses parlementer mencakup pembuatan undang-undang, pengawasan terhadap pemerintah, atau persetujuan terhadap pengangkatan pejabat publik tertentu. Dengan fungsi yang utuh seperti ini, peran itu dapat berjalan efektif karena wewenang yang diberikan kepada DPD hanya sebatas pemberi pertimbangan ke-pada DPR. Ketidakkonsistenan mengenai kewenangan DPD dalam legislasi kembali terlihat pada Program Legislasi Nasional, (Prolegnas). Berkaitan dengan pengajuan RUU, DPD berwenang mengajukan RUU.

Kewenangan yang tidak sama antara DPD dan DPR dalam parlemen, karena konstitusi hanya menempatkan DPD

se-batas pemberi rekomendasi kepada DPR. Tak heran, jika DPD dikatakan hanya menjadi staf ahli DPR. Karena itu diper-lukan penguatan peran pada beberapa ke-wenangan tertentu dari DPD. Dalam hal legislasi atau pembuatan undang-undang misalnya, perlu diatur ketentuan agar DPD memiliki kewenangan setara dengan DPR, dalam membuat undang-undang, khususnya terkait otonomi daerah. Dalam konstitusi saat ini hanya diatur DPD dapat mengajukan RUU atau ikut membahas RUU dalam pembahasan undang-undang bersama DPR.

Dengan terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD, sulit dibantah bahwa keberadaan lembaga negara ini lebih me-rupakan sub-ordinasi dari DPR. Keter-batasan itu memberikan makna, gagasan menciptakan dua kamar dengan kekuatan berimbang untuk mengakomodasi kepen-tingan daerah dalam menciptakan keadi-lan disrtibusi kekuasaan gagal karena per-ubahan UUD 1945 yang bias kepentingan DPR. Kegagalan ini akan berdampak pada melemahnya artikulasi politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di ting-kat nasional. Dengan demikian sulit mem-bantah sinyalemen bahwa keberadaan DPD hanya sebagai pelengkap dalam sis-tem perwakilan. Padahal, dalam sissis-tem bikameral, semestinya masing-masing kamar diberikan kewenangan yang relatif berimbang dalam rangka menciptakan me-kanisme checks and balances.

Dengan tidak samanya kewenangan DPD dan DPR dalam sistem bicameral, maka perlu adanya peningkatan fungsi kewenangan DPD setidaknya karena tiga alasan, yaitu: (1) pembenahan sistem ketatanegaraan, (2) akomodasi terhadap aspirasi daerah, (3) menghidupkan

(8)

mekan-Ipana Nurdiani

isme checks and balances. Karena saat ini DPR terkesan gamang dalam mengakui eksistensi DPD dalam pengajuan undang-undang misalnya, DPD tidak diberi per-lakuan khusus, namun tetap harus mela-lui prosedur prioritas Proglam Legislasi Nasional (Prolegnas). Hal ini menjadikan kedudukan DPD tidak ada bedanya de-ngan lembaga swadaya masyarakat yang juga melalui prosedur yang sama ketika mengajukan RUU.

Dalam rangka meningkatkan peran DPD, ada sejumlah langkah yang dapat di-lakukan, yaitu: (1) mendorong terjadinya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, walaupun diakui hal yang sulit, (2) pem-buktian kinerja dari para anggota DPD

Kejadian yang menimpa DPD di atas karena negara kita sistem politiknya ber-ada dalam fase transisi. Dimana tatanan orde baru ditinggalkan sedangkan kelem-bagaan demokrasi masih dalam tahap awal perlu penyempurnaan. Pembubaran DPD bukan jawaban, karena Indonesia memer-lukan hadirnya DPD sebagai wakil daerah di tingkat pusat. Oleh karena itu kemam-puan masa depan DPD akan sangat diten-tukan oleh kemampuan DPD menguatkan lagi legitimasi kelembagaannya.

KESIMPULAN

1. Kewenangan DPD dalam pembentu-kan undang-undang terdapat dalam UUD 1945 terdapat dalam pasal 22D ayat (1), (2) dan (3), maupun UU No 22 Tahun 2003 tentang SusDuk pada pasal 42, 43, 44 yang sudah direvisi menjadi UU No 27 tahun 2009 me-ngenai MPR, DPR, DPD dan DPRD yang tercantum dalam pasal 223, 224, 251, 252, 253, dan 254. DPD

mem-punyai kewenangan yang terbatas ka-rena, hanya dapat mengajukan RUU dan ikut membahas RUU pada awal pembicaraan tingkat I bersama DPR dan presiden dalam hal penyampa-ian pandangan umum atas RUU, serta tanggapan dari masing-masing lem-baga yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi, serta yang berakitan de-ngan perimbade-ngan keuade-ngan pusat dan daerah. Dan mempunyai kewenangan memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja ne-gara dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Serta kewenangan pengawasan (mengawasi pelaksanaan UU). Tetapi dalam pelak-sanaannya kewenangan tersebut, DPD hanya dijadikan sebagai subordinat fungsi, peran dan kewenangan DPR (DPD di bawah DPR).

2. DPD tidak diberikan kewenangan yang sama dengan DPR dalam UUD 1945 karena kekuatan politik yang ada di MPR tidak sepakat untuk memberi kewenangan yang sama dibidang le-gislasi sesuai tujuan awal dibentuknya DPD dan usulan Tim Ahli yang men-dampingi PAH I BP MPR. Akhirnya melalui sidang PAH I BP MPR diper-oleh kompromi politik diantara fraksi-fraksi di MPR sepakat DPD diberi ke-wenangan terbatas dibidang legislasi seperti yang tertuang dalam perubah-an UUD 1945. Dengperubah-an tidak samperubah-anya kewenangan DPD dan DPR dalam sistem bikameral. Maka perlu adanya

(9)

Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang-Undang ....

peningkatan fungsi kewenangan DPD setidaknya ada tiga alasan, yaitu: (1) Pembenahan sistem ketatanegaraan, (2) Akomodasi terhadap aspirasi da-erah, (3) Menghidupkan mekanisme checks and balances. Dalam rangka meningkatkan peran DPD, ada sejum-lah langkah yang dapat dilakukan, yaitu: (1) Mendorong terjadinya aman-demen UUD 1945, walaupun diakui hal yang sulit, (2) Pembuktian kinerja dari para anggota DPD. Kewenangan DPD yang terbatas itulah sampai saat ini masih menjadi sorotan, perdebatan, diantara para politisi, praktisi maupun akademisi sehingga muncullah tuntut-an amtuntut-andemen seri kedua atau amtuntut-an- aman-demen yang kelima terhadap perubah-an UUD 1945 untuk menata ulperubah-ang kewenangan legislasi DPD dan lemba-ga nelemba-gara yang terkait seperti Presiden, MPR dan DPR.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini. 2002. Prosedur Pe-nelitian: Suatu Pendekatan Prak-tek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Asshidiqie, Jimly. 1994. Gagasan

Kedau-latan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Ja-karta: Ichtiar Baru-van Hoeve. Asshidiqie, Jimly. 2006. Perkembangan

dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Konsti-tusi Press.

Budiardjo, Miriam.1997. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pus taka Utama.

Gaffar, Janedri M. dkk. 2003. Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR dengan

UNDP.

Huda, Ni’matul. 2007. Lembaga Negara dalam Transisi Demokrasi. Yog-yakarta: UII Press.

Manan, Bagir. 2004. Perkembangan UUD 1945.Yogyakarta: UII Press. Manan, Bagir. 2005. DPR, DPD dan MPR

dalam UUD 1945 Baru.Yogyakar-ta: UUI Press.

Mulyosudarmo, Soewoto. 2004. Pemba-haruan Ketatanegaraan mela-lui Perubahan Konstitusi. Jawa Timur: Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan In Trans Noer, Deliar. 1990. Pengantar Ke Arah Pe-mikiran Politik. Jakarta: Rajawali. Pieris, John dan Aryanthi Baramuli Putri.

2006. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Jakarta: Pe-langi Cendekia.

Piliang, Indra J. dan Bivitri Susanti. 2006. Untuk Apa DPD RI. Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI.

Priyatmoko. (2001). “Bikameralisme dan Perubahan Konstitusi” Kumpulan Makalah Hasil Seminar. Jakarta: Forum Rektor Indonesia dan Na-tional Democratic Institute.

Priyatmoko. (2003). “Hubungan Kerja dan Mekanisme Kerja DPD dengan DPR dan Lembaga Negara Lain-nya”. Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion kerjasa-ma dengan Setjen MPR RI dengan UNDP-UNIBRAW di Unibraw Malang, 26 Maret 2003.

Purnomowati, Reni Dwi. 2005. Imple-mentasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia. Jakarta: Ra-jawali.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. 2000. Semua Harus Terwakili. Jakarta: PSHK.

(10)

Ipana Nurdiani

Sargent, Lyman Tower. 1986. Ideologi Politik Kontemporer. Jakarta: PT. Bina Aksara

Sorensen, George. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta: Pus-taka Pelajar

Strong, CF. 2004. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern. Bandung: Nuansa dan Nusamedia.

Subardjo. 2008. Dewan Perwakilan Dae-rah (DPD) menurut Undang-Un-dang Dasar 1945 dan Penerapan Sistem Bikameral dalam Lembaga Perwakilan Indonesia. Yogyakar-ta: Disertasi tidak diterbitkan. Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang RI No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang RI No 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Undang-Undang RI No 27 Tahun 2009

Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Wahidin, Samsul. 2007. Kekuasaan Nega-ra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wheare, KC. 2005. Konstitusi-Konstitusi Modern. Surabaya: Pustaka Eu-reka.

Yamin, Muhammad. 1953. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indone-sia. Jakarta: Djambatan.

Referensi

Dokumen terkait

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada mengkaji dan membandingkan probabilistic neural network dengan metode regresi logistik dalam menganalisis masalah klasifikasi berat bayi

Sebaliknya, hubungan antara nilai tukar dollar terhadap rupiah bisa saja berpengaruh positif bila investor berasal dari luar negeri dan menggunakan mata uang asing

“Langkah-langkah yang dilakukan oleh agen dan perusahaan dalam menangani pendaftaran peserta baru adalah sesuai prosedur dan SOP yang diberlakukan yaitu peserta

mana pada waktu-waktu tertentu tidak ada larangan bagi negara untuk melakukan intervensi demi melindungi dan menjamin kemaslahatan umat, dengan mengambil berbagai langkah

Dilihat dari orang yang membuat keputusan,euthanasia dibagi menjadi: 1 Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit dan Involuntary

Kepemimpinan beliau telah mewujudkan administrasi sekolah yang baik dalam pengelolaan siswa baru, penempatan siswa, mutasi dan promosi guru, pengelolaan siswa,

Noviand Collection lebih sering menerapkan metode B2C (Bussines To Customer) atau kostumer datang ke toko dan melakukan transaksi di toko. Di masa pandemi seperti

Data Kelahiran hidup di Kabupaten Karimun pada tahun 2014 tercatat sebanyak 4.890 kelahiran dan terdapat 45 kasus lahir mati yang terdiri dari 22 bayi laki-laki dan 23