• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSPEK PENGEMBANGAN BIOGAS DARI KOTORAN TERNAK MENDUKUNG SISTEM PERTANIAN-BIOINDUSTRI DI PROVINSI JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSPEK PENGEMBANGAN BIOGAS DARI KOTORAN TERNAK MENDUKUNG SISTEM PERTANIAN-BIOINDUSTRI DI PROVINSI JAWA BARAT"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PROSPEK PENGEMBANGAN BIOGAS DARI KOTORAN TERNAK

MENDUKUNG SISTEM PERTANIAN-BIOINDUSTRI

DI PROVINSI JAWA BARAT

Development Prospect of Cattle Waste-based Biogas

Supporting Agriculture-Bioindustry System

in West Java Province

Adang Agustian dan Supena Friyatno

Peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. Jend. A. Yani No. 70, Bogor 16161

E-mail: aagustian08@gmail.com

ABSTRACT

Currently, nearly half of the nation's energy users use fuel oil (BBM). Consumption of renewable energy (EBT) is still relatively small. Biogas is a renewable energy potential to be developed, especially in West Java. This study aimed to analyze potential, problems, and prospect of biogas development from livestock manure in West Java Province. Data collected were primary and secondary data. Descriptive data were analyzed qualitatively. Some information obtained from this study are as follows: (1) potential of cattle waste for biogas in West Java was 52.01 million m3/year or equivalent to 32,246.76 kL/year from cattle population of about 577,899 heads; (2) implementation of biogas development program in West Java during the period of 2006 to 2013 has reached 2,038 digester units; (3) in the development of biogas in West Java, several obstacles encountered were: the availability and continuity of raw materials, the amount of dairy cattle sold, the low milk selling price discouraged cattle breeders to maintain dairy cattle, the initial construction of the cage was not designed to build a biogas digester near the cage, limited land for construction of the digester aroundthe cage, capital constraints of the farmers to make digesters at own costs, and lack of government efforts to develop communal digesters for farmer groups; and (4) prospects for the development of biogas in West Java will depend on several factors such as: management time of the dairy cattles, maintenance intensity, business competition with more profitable businesses, the use of waste for biogas and direct sales for organic fertilizers, and institutional organization of the group of dairy farmers that are receptive to the introduction of biogas processing technology that is integrated with a coaching program or milk marketing cooperative.

Keywords: biogas, dairy cattle manure, digester, West Java

ABSTRAK

Saat ini pengguna energi nasional hampir separuhnya menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Konsumsi energi terbarukan (EBT) masih relatif kecil. Biogas merupakan salah satu EBT yang potensial terus dikembangkan khususnya di Jawa Barat. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis potensi, permasalahan, dan prospek pengembangan biogas dari kotoran ternak di Provinsi Jawa Barat. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Hasil kajian diperoleh informasi: (1) terdapat potensi bahan baku yang menjadi pengembangan biogas di Jawa Barat, yaitu potensi limbah ternak ternak sapi setara 52,01 juta m3/tahun atau setara 32.246,76 kL/tahun dari populasi ternak sapi sekitar 577.899 ekor; (2) implementasi program pengembangan biogas di Jawa Barat selama kurun waktu 2006-2013 telah mencapai 2.038 unit digester; (3) dalam pengembangan biogas di Jawa Barat terdapat beberapa kendala yang dihadapi, yaitu: ketersediaan dan kontinyuitas bahan baku, banyaknya sapi perah dijual peternak, harga jual susu sapi perah yang rendah mendorong peternak kurang bergairah memelihara ternak sapi perah, kemudahan penanganan kotoran ternak di mana setting awal pembangunan kandang tidak dirancang untuk membangun digester biogas di dekat kandang, keterbatasan lahan di sekitar kandang untuk pembangunan digester, keterbatasan modal peternak untuk membuat digester secara mandiri, dan belum adanya upaya pemerintah untuk mengembangankan digester biogas secara komunal pada kelompok peternak; dan (4) prospek pengembangan biogas di Jawa Barat akan sangat tergantung dari beberapa faktor, seperti: masa kelola (pelihara) sapi perah, intensitas pemeliharaan, persaingan usaha dengan usaha lain yang lebih menguntungkan, penggunaan kotoran untuk biogas dan penjualan langsung untuk pupuk organik, dan organisasi kelembagaan

(2)

pada kelompok peternak sapi perah yang mudah menerima introduksi teknologi pengolahan biogas yang diintegrasikan dengan program pembinaan koperasi atau pemasaran susu.

Kata kunci: biogas, kotoran ternak sapi perah, digester, Jawa Barat

PENDAHULUAN

Sesuai Strategi Induk Pembangunan Pertanian (2013-2045), pertanian Indonesia akan menuju pada pertanian bioindustri berkelanjutan (Kementan, 2013). Dengan demikian, konsep yang diusung dalam SIPP 2013-2045 tersebut adalah membangun pertanian-bioindustri berkelanjutan. Konsep dasar dari pertanian berkelanjutan adalah mengintegrasikan aspek lingkungan dengan sosial ekonomi masyarakat pertanian di mana mempertahankan ekosistem alami lahan pertanian yang sehat, melestarikan kualitas lingkungan, dan melestarikan sumber daya alam. Pertanian berkelanjutan harus dapat memenuhi kriteria keuntungan ekonomi, keuntungan sosial, dan konservasi lingkungan secara berkelanjutan. Tujuannya adalah memutus ketergantungan petani terhadap input eksternal dan penguasa pasar yang mendominasi sumber daya pertanian.

Konsep tersebut di atas merupakan sebuah tahapan dalam menata ulang struktur dan sistem pertanian di Indonesia di mana membangun sistem ekonomi pertanian yang sinergis antara produksi dan distribusi dalam kerangka pembaruan pertanian. Pertanian berkelanjutan juga merupakan tulang punggung bagi terwujudnya kedaulatan pangan.

Sejumlah pemahaman terus dikembangkan secara konvergen terkait dengan pertanian bioindustri. Pertama, bahwa bioindustri adalah suatu proses yang merubah bahan organik menjadi produk pangan hewani (food) berkualitas, dengan memanfaatkan kemampuan organisme/mahluk hidup tertentu, dalam waktu yang relatif singkat dan seefisien mungkin. Kedua, pertanian bioindustri adalah menyangkut lahan bukan hanya sumber daya alam tetapi juga industri yang memanfaatkan seluruh sumber daya hayati termasuk biomassa dan/atau limbah organik pertanian, bagi kesejahteraan masyarakat dalam suatu ekosistem secara harmonis dan seluruh faktor produksi untuk menghasilkan pangan guna mewujudkan ketahanan pangan serta produk lain dengan menerapkan konsep biorefinery. Ketiga, konsep biodustri tidak hanya fokus pada pemanfaatan biomassa untuk multiguna (pangan, energi, pakan, pupuk, dll.), tetapi juga lebih mengedepankan pemanfaatan dan rekayasa genetik terhadap keberlimpahan sumber daya genetik/plasma nutfah nasional.

Menurut Hendriadi dan Hendayana (2014), pertanian bioindustri adalah sistem pertanian yang pada prinsipnya mengelola dan/atau memanfaatkan secara optimal seluruh sumber daya hayati termasuk biomassa dan/atau limbah organik pertanian, bagi kesejahteraan masyarakat dalam suatu ekosistem secara harmonis. Kata kunci sistem pertanian bioindustri ini terletak pada seluruh sumber daya hayati, biomassa, dan limbah pertanian (termasuk ternak); ilmu pengetahuan dan teknologi; dan bioproses, pemanfaatan, dan rekayasa genetik.

Sementara itu, pengolahan kotoran sapi yang merupakan limbah dari usaha ternak dapat menjadi energi alternatif biogas yang ramah lingkungan merupakan cara yang sangat menguntungkan, karena mampu memanfaatkan alam tanpa merusaknya sehingga siklus ekologi tetap terjaga. Manfaat lain mengolah kotoran sapi menjadi energi alternatif biogas adalah dihasilkannya pupuk organik untuk tanaman, sehingga keuntungan yang dapat diperoleh adalah: (1) meningkatnya pendapatan dengan pengurangan biaya kebutuhan pupuk dan pestisida; (2) menghemat energi, pengurangan biaya energi untuk memasak dan pengurangan konsumsi energi tak terbarukan yaitu BBM; (3) mampu melakukan pertanian yang berkelanjutan, penggunaan pupuk dan pestisida organik mampu menjaga kemampuan tanah dan keseimbangan ekosistem untuk menjamin kegiatan pertanian berkelanjutan (Putro, 2007).

Biogas diproduksi oleh bakteri dari bahan organik di dalam kondisi tanpa oksigen (anaerobic process). Proses ini berlangsung selama pengolahan atau fermentasi. Gas yang dihasilkan sebagian besar terdiri atas CH4 dan CO2. Jika kandungan gas CH4 lebih dari 50%, maka campuran gas ini

(3)

lebih 60%. Temperatur ideal proses fermentasi untuk pembentukan biogas adalah sekitar 30 oC (Sasse, 1992; Junaedi, 2002).

Di dalam pengembangannya, pertanian bioindustri tidak terlepas dari konsep pertanian berkelanjutan. Permasalahan dalam pengembangan bioindustri saat ini antara lain adalah masih tergantungnya input eksternal usaha tani dan belum memanfaatkan limbah pertanian secara optimal. Secara khusus dalam hal pengembangan dan pemanfaatan limbah dari ternak yaitu kotoran ternak saat ini juga masih terbatas hanya untuk humus atau penyubur tanaman. Oleh karena itu, tujuan pengembangan bioindustri adalah untuk memutus ketergantungan petani terhadap input eksternal dan penguasa pasar yang mendominasi sumber daya pertanian serta dapat memanfaatkan limbah pertanian untuk kegiatan pertanian dan usaha lainnya secara optimal.

Secara empiris, pertanian berkelanjutan ini dicirikan oleh keberlanjutan produksi yang merupakan fungsi dari faktor produksi atau saprodi pertanian (benih, pupuk, pestisida, dan lain sebagainya). Semua komponen atau unsur-unsur itu dinamikanya tidak terlepas dari sistem politik, ekonomi dan sosial, yang berlandaskan pengetahuan dan keyakinan petani sehingga merefleksikan pertanian berkelanjutan. Konsep dasar pertanian berkelanjutan ini mengintegrasikan aspek lingkungan dengan sosial ekonomi masyarakat pertanian yang bertujuan mempertahankan ekosistem alami lahan pertanian yang sehat, melestarikan kualitas lingkungan, dan sumber daya alam. Pertanian berkelanjutan dalam hal ini harus memenuhi kriteria keuntungan ekonomi, keuntungan sosial, dan konservasi lingkungan secara berkelanjutan pula.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis potensi pengembangan biogas dari kotoran ternak sapi, menganalisis permasalahan pengembangan biogas dari kotoran ternak sapi, dan menganalisis prospek pengembangan biogas dari kotoran ternak di Provinsi Jawa Barat dalam kerangka sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan.

METODE PENELITIAN

Tinjauan Teoritis

Secara nasional meningkatnya konsumsi bahan minyak (BBM) dan befluktuasi harga minyak dunia membuat pemerintah semakin kuat mendorong kebijakan mandatori penggunaan bahan bakar nabati (BBN). Kebijakan ini adalah salah satu langkah yang termaktub dalam Paket Kebijakan Stabilisasi dan Pertumbuhan Ekonomi sejak September 2013. Dengan kebijakan tersebut, impor solar menurun dalam jangka waktu enam bulan sejak kebijakan itu mulai berjalan serta terdapat penghematan devisa negara senilai US$ 592 juta karena penurunan impor solar tersebut.

Energi mengalami masalah besar yang sampai saat ini belum teratasi, yang berdampak terhadap lajunya pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran bangsa. Saat ini pengguna energi nasional hampir separuhnya menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Bauran energi nasional yaitu: BBM 49,7%, gas 20,1%, batubara 24,5% dan energi baru dan terbarukan (EBT) 5,7%. Menurut ESDM Jawa Barat (2013) bahwa konsumsi energi Jawa Barat eksisting adalah sebesar 104.8 juta SBM (setara barrel minyak). Konsumsi energi terbarukan hanya 5% atau 5,24 juta SBM, terdiri dari berbagai jenis EBT (panas bumi, limbah, biogas, bietanol, dll). Pada tahun 2025 Pengembangan EBT di Jawa Barat diproyeksikan sebesar 27% (Dinas ESDM Jawa Barat, 2013).

Menurut MABI Jawa Barat (2012), terdapat beberapa permasalahan terkait BBM yang dihadapi. Pertama, terjadinya krisis BBM di mana produksi BBM menurun, sementara permintaannya terus meningkat. Bila tidak ditemukan cadangan minyak baru 15 tahun ke depan BBM nasional akan habis. Demikian pula halnya bahwa ke depan ketersediaan BBM akan semakin langka dan harganya pasti mahal. Oleh karena itu, perlu segera dikembangkan energi lain yang secara langsung menggantikan BBM yaitu bahan bakar nabati (bioenergi). Indonesia memiliki banyak kekayaan hayati sehingga berpotensi untuk menjadi “lumbung bioenergi”. Kedua, subsidi BBM semakin membengkak, di mana subsidi BBM tahun 2012 mencapai 274 triliun dan tahun 2013 dapat mencapai lebih dari 300 triliun. Alangkah baiknya dana tersebut dipakai untuk memperbaiki transportasi umum, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan mengurangi kemiskinan. Negara yang tidak melaksanakan subsidi BBM

(4)

seperti Brasil dan Vietnam, industri bioenerginya berkembang pesat. Contohnya, Brasil sebagai penghasil bioetanol terbesar di dunia. Ketiga, polusi BBM memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global suhu bumi makin panas, es di Antartika mencair, dan permukaan laut naik. Penyebab utama pemanasan global adalah polusi energi fosil dan rusaknya hutan sebagai paru–paru dunia. Keempat, impor BBM yang semakin besar mengakibatkan defisit neraca perdagangan berdampak terhadap nilai tukar rupiah. Hal ini menyebabkan naiknya harga produk impor dan inflasi. Demikian pula dengan lingkungan hidup, terjadi krisis air dan menurunnya kualitas tanah. Lahan kritis di Jawa Barat seluas 590 ribu ha, di mana sesuai program Pemda Jawa Barat diharapkan terdapat sekitar 45% daerah menjadi kawasan lindung.

Perkembangan EBT di Jawa Barat telah mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Fokus pengembangan EBT adalah untuk: (1) mendukung percepatan infrastruktur listrik misalnya pengembangan energi hidro/mikrohidro, dan (2) mendorong pemenuhan energi rumah tangga dengan fokus pada pengembangan biogas dari limbah ternak (Dinas ESDM Jawa Barat, 2013). Perkembangan EBT di Jawa Barat terus meningkat dengan sumber pendanaan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kabupaten/kota, LSM, dan swasta sebagai bagian dari corporate social responsibility (CSR).

Bioenergi khususnya yang berbahan baku dari sektor pertanian, merupakan produk EBT. Bioenergi yang dihasilkan antara lain biogas. Khusus untuk biogas, data tahun 2011 menunjukkan bahwa terdapat potensi bahan baku yang menjadi pengembangannya, yaitu: (1) potensi limbah

ternak sapi setara ± 300.000/m3/hari gas metana 70%, dari populasi ternak sapi sekitar 300.000 ekor,

(2) potensi limbah organik/sampah cukup tinggi sekitar 20.000 m3/hari (pada cekungan Bandung)

(Dinas ESDM Jawa Barat, 2013).

Biogas adalah gas mudah terbakar (flammable) yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara). Komposisi

biogas yang dihasilkan dari fermentasi tersebut terbesar adalah gas metana (CH4) sekitar 54-70%

serta gas karbondioksida (CO2) sekitar 27-45%. Gas metana (CH4) yang merupakan komponen

utama biogas merupakan bahan bakar yang berguna karena mempunyai nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu sekitar 4.800 sampai 6.700 kkal/m³, sedangkan gas metana murni mengandung energi 8.900 kkal/m³. Karena nilai kalor yang cukup tinggi itulah biogas dapat dipergunakan untuk keperluan penerangan, memasak, menggerakkan mesin, dan sebagainya (Rahayu et al., 2009).

Sistem produksi biogas juga mempunyai beberapa keuntungan seperti: (1) mengurangi pengaruh gas rumah kaca, (2) mengurangi polusi bau yang tidak sedap, (3) sebagai pupuk, dan (4) produksi daya dan panas. Pada umumnya semua jenis bahan organik bisa diproses untuk menghasilkan biogas, namun hanya bahan organik (padat, cair) homogen seperti kotoran dan urine (air kencing) hewan ternak yang cocok untuk sistem biogas sederhana (Rahayu et al., 2009). Biogas dapat dipergunakan dengan cara yang sama seperti gas-gas yang mudah terbakar lainnya.

Pembakaran biogas dilakukan melalui proses pencampuran dengan sebagian oksigen (O2). Limbah

biogas, yaitu kotoran ternak yang telah hilang gasnya (slurry) merupakan pupuk organik yang sangat kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tanaman.

Lokasi dan Sampel Penelitian

Kajian ini dilakukan di Kabupaten Garut dan Bandung Provinsi Jawa Barat. Kedua kabupaten tersebut di Jawa Barat merupakan wilayah yang dominan terdapatnya pengembangan digester biogas dari kotoran ternak sapi (terutama sapi perah). Hal ini mengingat di Kabupaten Garut dan Bandung merupakan daerah potensial populasi ternak sapi perah. Sampel kajian dari penelitian ini berjumlah 30 peternak sapi perah yang sekaligus telah memanfaatkan kotoran ternaknya menjadi biogas.

Metode Analisis

Data yang diperoleh mencakup data-data kuantitatif dan kualitatif. Data-data kuantitatif disajikan dalam bentuk tabel-tabel analisis dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif.

(5)

Data-data kualitatif dari hasil penelitian disajikan sebagai bahan pembahasan dan mendukung Data-data kuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Pengembangan Biogas

Provinsi Jawa Barat selama ini sudah menjadi provinsi terdepan dalam pengembangan energi terbarukan. Untuk energi biogas tersebut, Provinsi Jawa Barat memiliki potensi energi biogas yang cukup besar karena memiliki populasi ternak sapi yang dapat mencapai satu juta ekor di berbagai tempat. Potensi energi biogas akan mampu menjadi sumber energi alternatif sebagai pengganti BBM. Potensi energi biogas akan mampu menjadi sumber energi alternatif sebagai pengganti BBM yang selama ini digunakan masyarakat.

Berdasarkan data Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2013), total populasi ternak besar (sapi perah, sapi potong dan kerbau) di Jawa Barat tahun 2013 mencapai 577.899 ekor. Berdasarkan perhitungan Dinas ESDM Jawa Tengah (2013), bahwa setiap satu ekor ternak besar dapat menghasilkan kotoran 25-30 kg/hari, atau rata-rata sekitar 9 ton/tahun. Hasil perhitungan seperti disajikan pada Tabel 1, diketahui bahwa potensi kotoran ternak dari populasi ternak besar yang ada sekitar 5,20 juta ton/tahun atau sekitar 52,01 juta m3 /tahun, atau setara kebutuhan minyak sekitar 32.246,76 kL/tahun. Oleh karena itu, jika potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara baik maka kebutuhan BBM nasional dan khususnya di Jawa Barat akan dapat tersubstitusi oleh biogas yang dihasilkan dari kotoran ternak, misalnya untuk memasak, menggerakkan generator, dan penerangan. Tabel 1. Potensi biogas yang bersumber dari kotoran ternak besar (sapi perah/potong dan kerbau)

di Provinsi Jawa Barat, 2013

No. Kab/kota Ternak besar

(ekor)

Potensi biogas

ton/thn m3/tahun Setara minyak tanah (L/thn)

1. Kab. Bandung 64.815 583.335 5.833.350 3.616.677

2. Kab. Garut 46.646 419.814 4.198.140 2.602.847

Jawa Barat 577.899 5.201.091 52.010.910 32.246.764

Sumber: Dinas Peternakan Jawa Barat (2013), diolah

Secara khusus, sumber utama dalam pengembangan biogas di lokasi penelitian adalah kotoran ternak ruminansia besar, khususnya sapi perah. Populasi ternak sapi perah di Jawa Barat selama kurun waktu 2008-2012 meningkat sebesar 5,73%/tahun, yaitu dari 111.250 ekor (tahun 2008) menjadi 136.054 ekor (tahun 2012). Sentra populasi sapi perah di Jawa Barat antara lain di Kabupaten Bandung dan Garut. Populasi sapi perah di Kabupaten Bandung meningkat sebesar 5,91%/tahun, yaitu dari 27.017 ekor (2008) menjadi 31.937 ekor (2012), sedangkan di Kabupaten Garut peningkatannya sebesar 9,14%/tahun, yaitu dari 16.197 ekor (2008) menjadi 22.191 ekor (2012) (Tabel 2).

Tabel 2. Perkembangan populasi sapi perah di Jawa Barat dan di lokasi kajian Kabupaten Garut dan Bandung, 2008-2012 (ekor)

Tahun Jawa Barat Kabupaten Garut Kabupaten Bandung

2008 2009 2010 2011 2012 Tren (%/tahun) 111.250 117.839 120.475 139.970 136.054 5,73 16.197 16.637 17.302 21.858 22.191 9,14 27.017 28.123 29.702 36.403 31.937 5,91 Sumber: Dinas Peternakan Jawa Barat (2013)

(6)

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diketahui bahwa rata-rata satu ekor ternak sapi perah dapat menghasilkan kotoran sebanyak 25 kg/hari; maka diperoleh potensi kotoran ternak dalam setahun untuk Jawa Barat sebanyak 1,22 juta ton, di Kabupaten Garut sebanyak 199,72 ribu ton, dan di Kabupaten Bandung sebanyak 287,43 ribu ton.

Program BIRU adalah program nasional dari Direktorat Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (DJEBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, yang diimplementasikan oleh Hivos, bekerja sama dengan SNV (Organisasi Pembangunan Belanda). Pada tahap pertama (2009-2012) program ini didanai oleh Kedutaan Besar Belanda di Indonesia. Biogas skala rumah tangga memberikan solusi yang berkelanjutan untuk setiap rumah tangga yang memiliki ternak untuk mengurangi ketergantungan pada kayu bakar dan bahan bakar fosil yang mahal. Digester biogas mengubah kotoran ternak menjadi biogas yang dapat digunakan untuk memasak dan penerangan. Ampas biogas yang tersisa dari proses ini juga merupakan pupuk organik yang sangat baik untuk meningkatkan hasil dan kualitas panen. Kerja sama dengan sektor swasta merupakan salah satu faktor kunci di balik keberhasilan program BIRU. Di Indonesia, koperasi peternak sapi perah memainkan peran penting dalam program biogas skala rumah tangga. Mereka mampu menjangkau petani-petani, dan banyak dari mereka yang memiliki akses ke badan penyalur kredit untuk mendukung petani melalui kredit biogas.

Implementasi Program BIRU (Biogas Rumah) di Provinsi Jawa Barat merupakan program pengembangan sektor biogas yang diluncurkan pada tahun 2009. Program ini menargetkan 8.000 digester biogas terbangun hingga tahun 2012. Implementasi program ini dilakukan oleh Humanistic Institute for Development Cooperation (HIVOS) dengan dukungan dari Synovus Financial Corporation (SNV). Keduanya merupakan lembaga nonpemerintah dari Belanda yang telah berpengalaman mengembangkan biogas.

Sampai dengan tahun 2009, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melalui APBD Kegiatan Pengembangan Bioenergi Bersumber dari Limbah Ternak, telah menginstalasi sebanyak 1.335 unit reaktor biogas individual dan 50 biogas komunal yang tersebar di 8 kabupaten. Dengan adanya Program BIRU ini diharapkan dapat lebih mendukung pengembangan energi biogas secara optimal. Implementasi Program BIRU di Jawa Barat akan difokuskan pada tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Sumedang dengan target 300-350 digester biogas terbangun sampai dengan tahun 2012. Sampai tahun 2010 konstruksi digester biogas yang telah terbangun baru mencapai 15 digester biogas di Jawa Barat. Oleh karena itu, dengan kerja sama dan dukungan dari masyarakat serta kemitraan dengan CSR dari perusahaan swasta, program ini akan terus diakselerasi sehingga bisa mencapai target yang diharapkan.

Berdasarkan data Dinas ESDM Jawa Barat (2013), implementasi program pengembangan biogas di Jawa Barat selama kurun waktu 2006-2013 telah dilaksanakan di 12 kabupaten dengan jumlah mencapai 2.038 unit digester. Program pengembangan terbesar terdapat di Kabupaten Bandung (684 unit), kemudian disusul di Kabupaten Sumedang (384 unit), Kabupaten Bandung Barat (252 unit), Kabupaten Tasikmalaya (240 unit), dan Garut (70 unit) (Tabel 3).

Tabel 3. Hasil pengembangan biogas di Provinsi Jawa Barat, 2006-2013

No. Lokasi kabupaten Jumlah (Unit)

1. Kabupaten Sumedang 384 2. Kabupaten Kuningan 10 3. Kabupaten Tasikmalaya 240 4. Kabupaten Garut 70 5. Kabupaten Bandung 684 6. Kabupaten Ciamis 177 7. Kabupaten Majalengka 102 8. Kabupaten Bogor 100

9. Kabupaten Bandung Barat 252

10. Kabupaten Cirebon 4

11. Kabupaten Sukabumi 14

12. Kabupaten Subang 15

Total se-Jawa Barat 2.038

(7)

Di antara berbagai jenis konstruksi digester biogas yang telah diperkenalkan di Jawa Barat, digester jenis fix dome menjadi model yang optimal karena memiliki daya tahan hingga 15-20 tahun dan dapat menghasilkan biogas dalam jangka waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan digester plastik dan fiberglass. Pemilik digester (peternak sapi perah) menyatakan sangat senang dengan adanya digester di rumahnya. Sejak menggunakan biogas, warga lebih menghemat biaya penggunaan elpiji tiga kg yang per tabungnya seharga Rp15.000 dan per bulannya membutuhkan tak kurang dari empat tabung. Pemilik digester menyatakan bahwa sudah merasakan manfaat penggunaan biogas. Manfaat pertama yang didapatkan dalam penggunaannya adalah hemat dan tidak perlu membeli gas tabung elpiji lagi. Manfaat kedua adalah dapat memanfaatkan yang sudah ada yaitu kotoran sapi, yang sebelumnya hanya dipakai untuk pupuk. Manfaat ketiga, api yang dihasilkan dari biogas lebih bagus, sehingga proses memasak menjadi lebih cepat dan aman.

Sistem produksi biogas dibedakan menurut cara pengisian bahan bakunya, yaitu: (1) pengisian curah dan (2) pengisian kontinyu. Sistem pengisian curah (SPC) adalah cara penggantian bahan yang dilakukan dengan mengeluarkan sisa bahan yang sudah dicerna dari tangki pencerna setelah produksi biogas berhenti, dan selanjutnya dilakukan pengisian bahan baku yang baru. Sistem ini terdiri dari dua komponen, yaitu tangki pencerna dan tangki pengumpul gas. Untuk memperoleh biogas yang banyak, sistem ini perlu dibuat dalam jumlah yang banyak agar kecukupan dan kontinyuitas hasil biogas tercapai. Sementara, sistem pengisian kontinyu (SPK) adalah bahwa pengisian bahan baku ke dalam tangki pencerna dilakukan secara kontinyu (setiap hari) tiga hingga empat minggu sejak pengisian awal, tanpa harus mengeluarkan bahan yang sudah dicerna. Bahan baku segar yang diisikan setiap hari akan mendorong bahan isian yang sudah dicerna keluar dari tangki pencerna melalui pipa pengeluaran. Keluaran biasanya dimanfaatkan sebagai pupuk kompos bagi tanaman, sedang cairannya sebagai pupuk bagi pertumbuhan algae pada kolam ikan. Dengan SPK, biogas dapat diproduksi setiap hari setelah tenggang 3-4 minggu sejak pengisian awal. Penambahan biogas ditunjukkan dengan semakin terdorongnya tangki penyimpan ke atas (untuk tipe floating dome). Sementara, untuk digester tipe fixed dome pernambahan biogas ditunjukkan oleh peningkatan tekanan pada manometer. Sampai pada tinggi tertentu yang dianggap cukup, biogas dapat dipakai seperlunya secara efisien.

Gambar 1. Contoh digester biogas sistem floating dome (India)

Lubang

pengisian

Pengeluaran

gas

Lubang geser

penutup dilapisi

tanah lempung

gas

Penutup

Mudah dilepas

Lubang

pengeluaran

1.000

max

Gas

(8)

Gambar 2. Contoh lainnya digester biogas sistem floating dome (Cina)

Kendala Pengembangan Biogas di Jawa Barat

Beberapa kendala dalam pengembangan energi terbarukan, khususnya biogas yang bersumber dari kotoran ternak sapi perah di Jawa Barat adalah: (1) ketersediaan dan kontinyuitas bahan baku (karena fluktuasinya kepemilikan ternak), terlebih pada saat harga daging sapi naik sehingga banyak sapi termasuk sapi perah dijual peternak; (2) harga jual susu sapi perah yang rendah juga akan mendorong peternak kurang bergairah memelihara ternak sapi perah, dan mereka bisa menjual ternaknya; (3) kemudahan penanganan kotoran ternak, di mana setting awal pembangunan kandang tidak dirancang untuk membangun digester biogas di dekat kandang; (4) keterbatasan lahan di sekitar kandang untuk pembangunan digester; (5) keterbatasan modal peternak untuk membuat digester secara mandiri; dan (6) belum adanya upaya pemerintah untuk mengembangkan digester biogas secara komunal (kelompok peternak) yang dapat menampung kotoran ternak dalam skala besar. Selain permasalahan di atas, juga terdapat beberapa faktor eksternal yang diduga berpengaruh terhadap pengembangan biogas, seperti pengembangan teknologi, subsidi, isu-isu lingkungan, dan perundang-undangan yang memainkan peranan dalam pengembangan energi terbarukan.

Kendala-kendala yang dihadapi oleh petani atau kelompok yang memanfaatkan kotoran ternak menjadi biogas (pembuatan biogas) antara lain: (1) biogas belum dapat didistribusikan ke tempat yang lebih jauh karena kapasitas terbatas dan belum ada teknologi untuk mendistribusikan secara aman dan murah, (2) kapasitas terbatas, (3) safety kurang untuk bak digester dan penampung gas yang berupa kantung plastik yang berisiko terhadap benda tajam dan percikan api, dan (4) masih mahalnya digester biogas untuk rumah tangga peternak dengan skala usaha ternak sekitar tiga ekor.

Prospek Pengembangan Biogas di Jawa Barat

Wilayah Provinsi Jawa Barat sangat potensial untuk pengembangan digester yang menghasilkan energi biogas. Selain di Bandung, lokasi yang sangat potensial untuk pengembangan biogas juga terdapat di Jawa Barat bagian selatan, yaitu di Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan Sukabumi, serta untuk Jawa Barat bagian tengah terdapat di Kabupaten Bogor, Cianjur, Sumedang, Kuningan. Adapun secara garis besar rata-rata spesifikasi digester biogas di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 4.

Jika dikaitkan dengan sistem pertanian terintegrasi, jelas bahwa dalam proses pengolahan kotoran ternak menjadi biogas buangan kotoran ternak dari saluran pembuangan berupa slurry telah siap digunakan untuk pupuk tanaman. Di lokasi penelitian Jawa Barat, penggunaan slurry telah dilakukan untuk pupuk sayuran kentang dan kubis serta sayuran lainnya di dataran tinggi.

Lubang pengadukan Pipa pemasukan Dinding pemisah Lubang pengeluaran Pengeluaran gas Penampung gas

(9)

Tabel 4. Spesifikasi rata-rata digester biogas di wilayah Provinsi Jawa Barat

No. Spesifikasi Keterangan

1. Tipe digester 1. Tipe plastik (Kabupaten Bandung, Garut)

2. Tipe fixed dome (Kabupaten Bogor, Cianjur)

2. Kapasitas 1. Untuk 1-2 sapi potong (Bandung)

2. Untuk 6-12 sapi potong/sapi perah (Bogor)

3. Kepemilikan 1. Milik sendiri (peternak) (Bandung)

2. Bantuan Dinas Peternakan Kabupaten Bogor

4. Kegunaan 1. Untuk memasak (rumah tangga) (Bandung)

2. Untuk memasak dan penerangan (Bogor)

5. Waktu pembangunan digester 1. Tahun 2005 (Bandung) 2. Tahun 2000 (Bogor) 6. Sumber biomassa

Kotoran sapi potong dan sapi perah

Produksi biogas dari kotoran sapi telah dapat memenuhi kebutuhan energi untuk memasak satu keluarga selama rata-rata 4-7 jam/hari. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan energi memasak rumah tangga dapat dipenuhi dari kotoran tiga ekor sapi. Selain biogas, pengolahan kotoran sapi juga menghasilkan pupuk padat dan pupuk cair. Pupuk dari kotoran sapi yang telah diambil biogasnya memiliki kadar pencemar BOD dan COD yang berkurang sampai 90%. Dengan kondisi ini pupuk dari kotoran sapi sudah tidak berbau. Dengan demikian, permasalahan yang dihadapi peternak sapi mengenai tumpukan kotoran sapi yang menimbulkan bau tidak enak dan mengganggu kehidupan penduduk di sekitar kandang dapat diatasi. Jenis konstruksi unit pengolah (digester) biogas yang dapat dibangun di daerah tropis dapat dibagi menjadi tiga model, yaitu: (1) digester permanen (fixed dome digester), (2) digester dengan tampungan gas mengapung (floating dome digester), dan (3) digester dengan tutup plastik.

Tabel 5. Respon rumah tangga peternak pengolah dan sekaligus pemakai (konsumen) biogas yang dihasilkannya di Provinsi Jawa Barat, 2013 (skala usaha ternak tiga ekor)

No. Uraian Respon

1. Terkait penghematan BBM 1. Mampu mensubtitusi kebutuhan gas RT sebanyak 3-4 tabung per bulan (Rp15.000/tabung): Rp45.000-Rp60.000/bulan 2. Penggunaan biogas lebih leluasa, bisa digunakan nonstop

8-10 jam/hari. 2. Manfaat kotoran ternak sisa biogas

bagi tanaman (usaha tani)

1. Sisa kotoran ternak dari biogas (slurry) siap digunakan untuk pupuk tanaman

3. Keamanan biogas vs LPG 1. Lebih aman dibanding LPG karena bertekanan rendah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Untuk pengembangan biogas, terdapat potensi bahan baku yang menjadi pengembangannya di

Jawa Barat, yaitu potensi limbah ternak ternak sapi setara 52,01 juta m3/tahun atau setara 32.246,76

kL/tahun dari populasi ternak sapi sekitar 577.899 ekor. Sistem produksi biogas juga mempunyai beberapa keuntungan seperti: (1) mengurangi pengaruh gas rumah kaca, (2) mengurangi polusi bau yang tidak sedap, (3) sebagai pupuk, dan (4) produksi daya dan panas.

Implementasi program pengembangan biogas di Jawa Barat selama kurun waktu 2006-2013 telah dilaksanakan di 12 kabupaten dengan jumlah mencapai 2.038 unit digester. Program

(10)

pengembangan terbesar terdapat di Kabupaten Bandung (684 unit), kemudian disusul di Kabupaten Sumedang (384 unit), Kabupaten Bandung Barat (252 unit), Kabupaten Tasikmalaya (240 unit), dan Garut (70 unit).

Untuk pengembangan biogas di Jawa Barat, terdapat beberapa kendala yang dihadapi, yaitu: ketersediaan dan kontinyuitas bahan baku, banyaknya sapi perah yang dijual peternak, harga jual susu sapi perah yang rendah mendorong peternak kurang bergairah memelihara ternak sapi perah, kemudahan penanganan kotoran ternak di mana setting awal pembangunan kandang tidak dirancang untuk membangun digester biogas di dekat kandang, keterbatasan lahan di sekitar kandang untuk pembangunan digester, keterbatasan modal peternak untuk membuat digester secara mandiri, dan belum adanya upaya pemerintah untuk mengembangankan digester biogas secara komunal pada kelompok peternak

Prospek pengembangan biogas di Jawa Barat akan sangat tergantung dari beberapa faktor seperti masa kelola (pelihara) sapi perah, intensitas pemeliharaan, persaingan usaha dengan usaha lain yang lebih menguntungkan, penggunaan kotoran untuk biogas dan penjualan langsung untuk pupuk organik, dan organisasi kelembagaan pada kelompok peternak sapi perah yang mudah menerima introduksi teknologi pengolahan biogas yang diintegrasikan dengan program pembinaan koperasi atau pemasaran susu.

Adapun faktor lainnya yang mempengaruhi pengembangan biogas di Jawa Tengah adalah skala pemilikan ternak sebagai sumber kotoran ternak, kemampuan modal peternak, lahan usaha ternak dan tempat untuk digester, dan kemauan peternak untuk tetap menjalankan digester agar tetap memproses biogas.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas ESDM Jawa Barat. 2013. Profil Data dan Statistik ESDM Jawa Barat. Bandung.

Dinas ESDM Jawa Barat. 2012. Pengembangan kemiri sunan sebagai salah satu alternatif bioenergi di Jawa Barat. Makalah Dialog Publik di Harian Pikiran Rakyat. Bandung.

Dinas ESDM Jawa Barat. 2013. Laporan Dinas ESDM Jawa Barat. Bandung. Dinas Peternakan Jawa Barat. 2013. Statistik Peternakan Jawa Barat. Bandung.

Hendriadi dan R. Hendayana. 2014. Perspektif pengembangan kawasan pertanian bioindustri berbasis sumber daya lokal. Makalah Seminar Nasional Pendekatan Analisis Sistem Mendukung Pertanian Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Junaedi, M. 2002. Pemanfaatan Energi Biogas di Perusahaan Susu Umbul Katon Surakarta, Laporan Program Vucer 2002. Dikti-UMS. Surakarta.

Kementerian Pertanian. 2013. Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013-2045. Kementan. Jakarta. Kementerian ESDM. 2009. Indonesia Energy Outlook. Kementerian ESDM. Jakarta.

Masyarakat Bioindustri Indonesia Jawa Barat. 2012. Leaflet Bioindustri. Bandung.

Masyarakat Bioenergi Indonesia (MABI) Jawa Barat. 2012. Kemiri Sunan Tanaman Konservasi Penghasil Bioenergi. MABI Jawa Barat. Bandung.

Putro, S. 2007. Penerapan instalasi sederhana pengolahan kotoran sapi menjadi energi biogas di Desa Sugihan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo. Warta 10(2):178–188.

Rahayu, S.D. Purwaningsih dan Pujianto. 2009. Pemanfaatan kotoran ternak sapi sebagai sumber energi alternatif ramah lingkungan beserta aspek sosio kulturalnya. Jurnal Inotek 13(2):150-160.

Sasse, L. 1992., Pengembangan Energi Alternatif Biogas dan Pertanian Terpadu di Boyolali Jawa Tengah, Borda-LPTP, Surakarta.

Gambar

Gambar 1. Contoh digester biogas sistem floating dome (India) Lubang pengisian Pengeluaran gas Lubang geser penutup dilapisi tanah lempung gas Penutup  Mudah dilepas Lubang  pengeluaran  1.000 Gas max
Gambar 2. Contoh lainnya digester biogas sistem floating dome (Cina)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini menentukan perbandingan eceng gondok dan limbah kotoran sapi dalam menghasilkan biogas yang optimal dan mengkaji potensi eceng gondok

Potensi ternak sapi di Kabupaten Asahan khususnya didaerah kajian sangat tinggi untuk pengembangannya kedepan karena didukung oleh sumberdaya lahan dan pakan

Penelitian sistem usaha sapi perah dilakukan pada 2 (dua) kelompok ternak sapi perah di luar Jawa yakni mewakili lokasi dataran rendah (di Nagari Kayu Tanam,

Pada akhir penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan alat biogas skala kecil (rumah tangga) yang effisien, praktis, ramah lingkungan dan aman dengan bahan baku kotoran sapi.

Limbah ternak sebagai hasil akhir dari usaha peternakan memiliki potensi untuk dikelola menjadi pupuk organik seperti kompos yang dapat dimanfaatkan untuk

Dari hasil kuisioner setelah dilakukan penyuluhan, sebanyak 100% responden sudah mengetahui bahwa limbah kotoran hewan ternak dapat dimanfaatkan menjadi biogas dan juga sudah

Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi seberapa besar potensi biogas dari limbah hewan (sapi), terdiri dari limbah darah, rumen dan kotoran yang dapat digunakan untuk kebutuhan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar potensi biogas dan energi listrik yang di hasilkan dari kotoran ternak sapi di Kawasan Desa Pulau Semambu yang di dapat dari