ANALISA BEBAN BIAYA DAN WAKTU
PERAWATAN LUKA KAKI DIABETIK (LKD)
GANGREN UNIT PELAYANAN HOME
CARE: RETROSPECTIVE COHORT STUDY*
1 1
Sukmawati, S.Kep ., Baharia Laitung, S.Kep.,CWCCA .,
1 1
Muhammad Irwan, S.Kep ., Saiful Rassa, S.Kep ., 1,2 Saldy Yusuf, MHS.,ETN .
1
Griya Afiat Makassar, Wound Care and Home Care Clinic, Makassar, Indonesia.
2
Advanced Wound Care Department, ETN Centre Indonesia
ABSTRACT
How to cite:
Sukmawati, Laitung B, Irwan M, Rassa S, Yusuf S. Analisa beban biaya dan waktu perawatan Luka Kaki Diabetes (LKD) gangren unit pelayanan home care: retrospective cohort study. Jurnal luka
Indonesia. 2016, 2(1):65-70 Conflict of interest: Nothing Funding resources: Nothing Corresponding authors: zikra_sukma@yahoo.com Note:
*Part of this articles has been presented in 1st WOC-SM Yogyakarta as poster presentation.
ORIGINAL STUDY
Background: Diabetic foot ulcer (DFU) gangrene is commonly chronic
wound in home care setting, it takes high cost and long term care.
Aim: The aims of this study was to evaluate burden time and cost of DFU
gangrene.
Method: This was a retrospective cohort study conducted from 2011-2014.
Burden cost including material, nursing, and dressing cost. While burden time including duration, frequency, and interval of care. All participants categorized into DFU non gangrene and gangrene. Data analyzed using Chi Square or Fisher exact test using SPSS 16.0 (SPSS, Inc. Chicago, IL).
Results: Forty eight participants included in this study (43 DFU non gangrene
and 5 DFU gangrene) with mean age were (58.8 SD ± 9.7 vs 60 SD ± 11.3 years) respectively. Nursing cost (Rp. 123.412 vs Rp. 218.653) and dressing cost (Rp. 243.844 vs Rp. 711.558) were lower for DFU non gangrene. Wound care shorter for non gangrene (27.3 vs 91.8 days), dressing change less frequently (7.5 vs 21.6 times) and interval dressing change was equal (3.5 vs 3.2 days) respectively.
Conclusion: There are different burden cost and burden time between DFU
non gangrene and DFU gangrene clinically.
iabetes mellitus (DM) telah menjadi persoalan global baik di dunia timur maupun barat. Secara global prevalensi DM menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari sepuluh besar penderita DM di Asia (Chan et al., 2014) dan di dunia (Whiting, Guariguata, Weil, & Shaw, 2011). Pada tahun 2011 diperkirakan ada sekitar 4.7 juta jiwa penderita DM di Indonesia dan diperkirakan terus meningkat hingga 5.9 juta jiwa di tahun 2030 (Whiting et al., 2011).
Telah diketahui bersama bahwa salah satu komplikasi utama DM adalah terjadinya luka kaki diabetik. Sayangnya di Indonesia pencegahan dan perawatan luka kaki diabetik belum menjadi bagian dari program standar di unit pelayanan primer (Widyahening, van der Graaf, Soewondo, Glasziou, & van der Heijden, 2014). Hal ini semakin kompleks mengingat tingginya kasus luka kaki diabetik. Penelitian kami sebelumnya melaporkan bahwa mayoritas luka kronis di home care setting adalah luka kaki diabetik dengan prevalensi 26%, serta tingginya angka drop out sebesar 26.3% (Yusuf, Kasim, Okuwa, & Sugama, 2013) dan 12% di rumah sakit(Yusuf et al., 2016)
Sayangnya belum begitu banyak informasi terkait biaya perawatan DM di Indonesia (Soewondo, Ferrario, & Tahapary, 2013) termasuk biaya perawatan luka kaki diabetik gangren. Oleh karena itu tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi waktu, biaya dan hasil perawatan luka kaki diabetik gangren di unit pelayanan home care.
Penelitian ini menggunakan pendekatan retrospective cohort study dengan mengevaluasi catatan medis Griya Afiat Makassar mulai tahun 2011-2014. Data demografi meliputi; umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan, dan suku. Beban biaya meliputi biaya bahan habis pakai (material cost), jasa perawatan (nursing cost) dan biaya balutan (dressing cost). Seluruh biaya material dan jasa berdasarkan tarif yang berlaku di Griya Afiat Makassar. Adapun beban waktu perawatan meliputi lama perawatan (duration of care), frekuensi perawatan (frequency of care) dan interval perawatan (interval of care). Data dikategorikan ke dalam dua kelompok (LKD non gangren dan gangren), dimana kelompok LKD gangren berdasarkan gambaran klinis dengan kategori Wagner 4 dan 5 (Oyibo et al., 2001).
Data nominal dan ordinal disajikan dalam format frekuensi (n) dan persentase (%), adapun data numerik disajikan dalam format mean dan standard deviasi (SD). Analisa ditujukan untuk mengevaluasi beban biaya dan beban waktu perawatan antara LKD non gangren dan gangren. Analisa Chi
square atau Fisher exact test. Confidence interval 95% dengan p < 0.05. Seluruh
data dianalisa menggunakan SPSS 16.0 (SPSS, Inc. Chicago, IL).
Dari 61 kasus luka diabetes, 13 kasus dieksklusi (bukan LKD), tersisa 48 kasus. Dari 48 kasus ada 43 pasien dengan LKD non gangren (89.5%) dan 5 pasien dengan LKD gangren (10.4%) (Gambar 1). Data demografi antara LKD non gangren dan gangren; rata-rata usia (58.8 SD ± 9.7 tahun vs 60 SD ± 11.3 tahun), wanita 28 (58.3 %), umumnya ibu rumah tangga 21 (43.8 %) dan mayoritas dari suku Bugis 23 (47.9 %). Tidak ada perbedaan signifikan diantara kedua group (Tabel 1).
LATAR
BELAKANG
METODE
HASIL
Demografi
D
Biaya
Tabel 1.
Distribusi data demografi berdasarkan kelompok gangren dan non gangren.
Secara umum total biaya perawatan lebih rendah pada LKD non gangren ( Rp. 386.790 vs Rp. 950.211), biaya bahan habis pakai relatif sama diantara kedua kelompok (Rp.19.534 vs Rp.20.000). Adapun jasa perawatan relatif lebih rendah pada non gangren (Rp.123.412 vs Rp. 218.653), begitu juga dengan biaya balutan (Rp. 243.844 vs Rp. 711.558) meskipun demikian tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua kelompok (p >.05) (Tabel 2). Analisa lanjutan terkait proporsi biaya menunjukkan bawa 4.6% biaya untuk bahan habis pakai, 29.9% untuk jasa perawatan, dan 65.5% untuk biaya balutan (Gambar 2).
Gambar. 1
Proporsi biaya bahan, jasa perawatan dan balutan.
Tabel 2
Proporsi biaya perawatan berdasarkan biaya bahan, jasa perawatan dan
Beban Waktu
Beban Biaya
DISKUSI
Demografi
Tabel 3. Deskripsi proses perawatan berdasarkan durasi, frekuensi daninterval perawatan
Durasi perawatan lebih singkat pada non gangren (27.3 SD ± 41.8 vs 91.8 SD ± 94.1 hari), frekuensi perawatan lebih cepat (7.5 SD ± 10.6 vs 21.6 SD ± 19.4 kali). adapun interval pergantian balutan relatif sama (3.5 SD ± 2.2 vs 3.2 SD ± 1.4 hari) namun tidak ada perbedaan signifikan diantara kedua kelompok (p > .05) (Tabel 3).
DISKUSI
LKD tetap menjadi persoalan utama di unit pelayanan home care. Penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan demografis diantara kelompok gangren dan non gangren. Sejalan dengan penelitian sebelumnya, pengaruh faktor demografis terhadap perkembangan LKD masih simpang siur (Monteiro-Soares, Boyko, Ribeiro, Ribeiro, & Dinis-Ribeiro, 2012). Menariknya rata-rata usia pasien pada fase lanjut usia, hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri karena secara fisiologis proses penyembuhan semakin sulit (Sgonc & Gruber, 2013).
Salah satu temuan menarik dari penelitian ini, bahwa total biaya perawatan LKD gangren lebih besar tiga kali lipat dibandingkan non gangren. Penelitian sebelumnya juga melaporkan beban biaya berbanding lurus dengan derajat keparahan LKD (Ali et al., 2008). Proporsi beban biaya perawatan sebagian besar untuk alokasi balutan. Disisi lain pasien relatif mengalami kesulitan ekonomi dimana sebagian besar pasien 29 (60.4%) tidak memiliki pendapatan rutin (ibu rumah tangga dan pensiunan). Meskipun tidak ada perbedaan signifikan secara statistik, namun ada perbedaan yang bermakna pada alokasi biaya perawatan dan balutan. Biaya perawatan lebih tinggi 1.9 kali lipat dan biaya balutan 2.9 kali lipat pada LKD gangren menjadikan total biaya perawatan 2.4 kali lebih besar pada LKD gangren.
Meski tidak signifikan secara statistik, tapi secara klinis durasi perawatan lebih lama pada penderita gangren. Faktor lain adalah tingginya mortalitas LKD gangren sehingga rasio komparasi LKD non gangren dan gangren berbeda. Secara umum proses penyembuhan luka kaki diabetik membutuhkan perawatan jangka panjang. Sebuah studi menyimpulkan bahwa rasio pengecilan luka kaki diabetik hanya sebesar 0.0065 mm per hari (Zimny, Schatz, & Pfohl, 2002). Selain itu etiologi luka kaki diabetik juga menentukan lamanya
KESIMPULAN
REFERENSI
sedangkan neuro-ischemic 133 hari serta 233 hari untuk ischemic murni (Yotsu et al., 2014). Sebuah penelitian mengkonfirmasikan bahwa luka superficial memiliki peluang kesembuhan 7.3 kali dibandingkan dengan luka pada jaringan yang lebih dalam (Bakheit et al., 2012).
Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Pertama ketidakseimbangan jumlah sampel diantara kedua kelompok, kedua lokasi penelitian hanya pada satu tempat. Oleh karena itu penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan proporsional akan memberi informasi lebih detail terkait biaya perawatan luka kaki diabetik di Indonesia.
Secara klinis ada perbedaan beban biaya perawatan dan beban waktu perawatan LKD gangren dan non gangren.
Ali, S. M., Fareed, a, Humail, S. M., Basit, a, Ahmedani, M. Y., Fawwad, a, & Miyan, Z. (2008). The personal cost of diabetic foot disease in the developing world--a study from Pakistan. Diabetic Medicine : A Journal of
the British Diabetic Association, 25(10), 1231–3.
doi:10.1111/j.1464-5491.2008.02529.x
Bakheit, H. E., Mohamed, M. F., Mahadi, S. E. I., Widatalla, A. B. H., Shawer, M. a, Khamis, A. H., & Ahmed, M. E. (2012). Diabetic heel ulcer in the Sudan: determinants of outcome. The Journal of Foot and Ankle Surgery : Official
Publication of the American College of Foot and Ankle Surgeons, 51(2),
152–5. doi:10.1053/j.jfas.2011.10.032
Chan, J. C. N., Malik, V., Jia, W., Kadowaki, T., Yajnik, C. S., Yoon, K. H., & Hu, F. B. (2014). Diabetes in Asia. JAMA, 301(20), 2129–2140.
Monteiro-Soares, M., Boyko, E. J., Ribeiro, J., Ribeiro, I., & Dinis-Ribeiro, M. (2012). Predictive factors for diabetic foot ulceration : a systematic review.
Diabetes/metabolism Research and Reviews, 28(January), 574–600.
doi:10.1002/dmrr
Oyibo, S. O., Jude, edward B., Tarawneh, I., Nguyen, H. C., Harkless, L. B., & Boulton, An. J. (2001). A Comparison of Two Diabetic Foot Ulcer Classification System. The Wagner and the University of Texas wound classification systems. Diabetes Care, 24(1), 84–88.
Sgonc, R., & Gruber, J. (2013). Age-related aspects of cutaneous wound healing: A mini-review. Gerontology, 59(2), 159–164. doi:10.1159/000342344 Soewondo, P., Ferrario, A., & Tahapary, D. L. (2013). Challenges in diabetes
management in Indonesia: a literature review. Globalization and Health, 9, 63. doi:10.1186/1744-8603-9-63
Whiting, D. R., Guariguata, L., Weil, C., & Shaw, J. (2011). IDF diabetes atlas: global estimates of the prevalence of diabetes for 2011 and 2030. Diabetes
R e s e a r c h a n d C l i n i c a l P r a c t i c e , 9 4 ( 3 ) , 3 1 1 – 2 1 .
doi:10.1016/j.diabres.2011.10.029
Widyahening, I. S., van der Graaf, Y., Soewondo, P., Glasziou, P., & van der
KETERBATASAN
PENELITIAN
primary care physicians. BMC Family Practice, 15(1), 1–8. doi:10.1186/1471-2296-15-72
Yotsu, R. R., Pham, N. M., Oe, M., Nagase, T., Sanada, H., Hara, H., … Tamaki, T. (2014). Comparison of characteristics and healing course of diabetic foot ulcers by etiological classification: neuropathic, ischemic, and neuro-ischemic type. Journal of Diabetes and Its Complications, 28(4), 528–35. doi:10.1016/j.jdiacomp.2014.03.013
Yusuf, S., Kasim, S., Okuwa, M., & Sugama, J. (2013). Development of an enterostomal therapy nurse outpatient wound clinic in Indonesia : a retrospective descriptive study. Wound Practice and Research, 21(1), 41–47.
Yusuf, S., Okuwa, M., Irwan, M., Rassa, S., Laitung, B., Thalib, A., … Sugama, J. (2016). Prevalence and Risk Factor of Diabetic Foot Ulcers in a Regional Hospital , Eastern Indonesia. Open Journal of Nursing, 6(January), 1–10. Zimny, S., Schatz, H., & Pfohl, M. (2002). Determinants and estimation of
healing times in diabetic foot ulcers. Journal of Diabetes and Its
C o m p l i c a t i o n s , 1 6 ( 5 ) , 3 2 7 – 3 2 . R e t r i e v e d f r o m