• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontruksi Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kontruksi Hukum"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS ...

“...”

OLEH:

APRIANSRY MAHADI PUTERA 124216040

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS SURABAYA

(2)

1. K o n s t r u k s i h u k u m a d a l a h c a r a k e r j a a t a u p r o s e s b e r p i k i r h a k i m d a l a m menentukan hukum atau menerapkan suatu ketentuan perundang-undangan.K o n s t r u k s i h u k u m t e r d i r i d a r i k o n s t r u k s i a n a l o g i , p e n g h a l u s a n h u k u m d a n argumentum a contrario. Tujuanya adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkrit dapat memenuhituntutan keadilan dan kemanfaatan bagi para pencari keadilan. Bentuk Kontruksi Hukum:

Konstruksi Analogi (argumentum per analogiam)

Proses konstruksi yang dilakukan dengan cara mencari rasio ledis (genus) dari suatu undang-undang dan kemudian menerapkannya kepada hal-hal lain yang sebenarnya tidak diatur oleh undang-undang itu. Dalam analogi, hakim memasukkan suatu perkara ke dalam lingkup pengaturan suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan.

Hal ini dikarenakan adanya kesamaan unsur dengan perkara atau fakta-fakta yang dapat diselesaikan langsung oleh peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Berdasarkan anggapan itulah hakim kemudian memberlakukan peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada perkara yang sedang dihadapinya. Dengan kata lain, penerapan suatu ketentuan hukum bagi keadaan yang pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur dengan ketentuan hukum tadi, tapi penampilan atau bentuk perwujudannya (bentuk hukum) lain.

Penerapan hukum dengan analogi hanya dapat dilakukan dalam kasus-kasus hukum perdata. Hukum pidana tidak mengenal analogi karena hal demikian bertentangan dengan asas pokok hukum pidana yaitu “tiada pidana tanpa ketentuan perundang-undangan yang menetapkannya terlebih dahulu” (nullum crimen sine lege). Karena di dalam pidana jika digunakan konstruksi analogi akan menciptakan delik baru.

Maka dengan konstruksi analogi, seorang ahli hukum memasukkan suatu perkara kedalam lingkup pengaturan suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak dibuat untuk menyelesaian perkara yang bersangkutan.

(3)

Contoh:

a. Penjualan barang yang disewa tidak memutuskan perjanjian sewa menyewa kecuali apabila telah diperjanjikan (Pasal 1576 BW), dalam hal hibah, tukar menukar dan sebagainya tidak tersedia peraturan khusus. Dengan jalan analogi, pengertian “jual” diperluas menjadi “setiap peralihan hak milik”. Maka hibah, tukar menukar, pewarisan dan sebagainya tercakup dalam pengertian “peralihan hak milik”, sehingga Pasal 1576 BW awalnya bersifat khusus dan kemudian dijadikan umum dan dapat diterapkan pada peristiwa-peristiwa peralihan hak milik seperti hibah, tukar menukar, pewarisan dan sebagainya.

b. “Menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik.

c. Ketentuan tentang kedudukan seseorang yang dibawah pengampuan (curatele) diambil pula dari ketentuan mengenai perwalian, seperti yang ditegaskan oleh pasal 452 ayat 3 KUH Perdata, yang berbunyi: “Ketentuan-ketentuan undang-undang mengenai perwalian atas anak-anak belum dewasa, tercantum dalam pasal 331 sampai dengan pasal 334, dalam pasal 362, 367, 369 sampai dengan pasal 388, 391 dan berikutnya dalam bagian ini dan 13 Bab XV berlaku juga terhadap pengampuan”. Dari pengertian masalah pengampuan (curatele) menggunakan undang-undang secara analogi dari ketentuan kedudukan perwalian. Kedudukan dan tugas seorang kurator sama dengan seorang wali, sedangkan kedudukan seorang kurandus sama seperti seorang anak yang belum cukup umur.

Konstruksi Penghalusan Hukum (rechtsverfijning)

Penghalusan hukum adalah memperlakukan hukum sedemikian rupa (secara halus) sehingga seolah-olah tidak ada pihak yang disalahkan.

Penghalusan hukum dengan cara mempersempit berlakunya suatu pasal merupakan kebalikan daripada analogi hukum. Penghalusan hukum bemaksud mengisi kekosongan dalam sistem UU.

(4)

Dalam sistem UU terdapat ruang kosong apabila sistem UU (sistem formal hukum) tidak dapat menyelesaikan masalah secara adil atau sesuai dengan kenyataan sosial (social werkelijkheid). Penghalusan hukum merupakan penyempurnaan sistem hukum oleh hakim.

Sifat daripada Penghalusan hukum adalah tidak mencari kesalahan daripada pihak dan apabila satu pihak disalahkan maka akan timbul ketegangan. Perbuatan menghaluskan hukum ketika hakim terpaksa mengeluarkan perkara yang bersangkutan dari lingkungan ketentuan dan selanjutnya diselesaikan menurut peraturan tersendiri.

Seorang ahli hukum beranggapan bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara, peraturan perundang-undangan yang ada dan yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan perkara, ternyata tidak dapat digunakan.

Penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum tertulis sebagaimana adanya akan mengakibatkan ketidakadilan yang sangat sehingga ketentuan hukum tertulis itu sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak dicapai keadilan. Jenis konstruksi ini sebenarnya merupakan bentuk kebalikan dari konstruksi analogi, sebab bila di satu pihak analogi memperluas lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan, maka di lain pihak Penghalusan Hukum justru mempersempit lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan (bersifat restriktif).

Contoh:

a. Contoh: Asas itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) BW, yang menyebutkan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Norma ini sangat luas dan umum sifatnya, sehingga perlu dilakukan penyempitan hukum dengan disesuaikan dengan peristiwa konkret yang bersangkutan. HR dalam putusannya tanggal 9 February 1923 mempersempit “itikad baik” dengan rumusan “menurut syarat-syarat kelayakan dan kepatutan”. b. Masalah perbuatan melanggar hukum pasal 1365 Perdata,

adalah pihak yang salah wajib memberi ganti rugi kepada yang menderita kerugian. Cthnya: Disuatu jalan terjadi tabrakan antara A dan B. Kedua kendaraan sama-sama berkecepatan

(5)

tinggi dan sama-sama rusak. Apabila A menuntut ganti rugi terhadap B, maka B juga dapat menuntut ganti rugi terhadap A. Dengan demikian kedua-duanya salah, sama-sama saling memberi ganti rugi sehingga terjadi suatu kompensasi.

Argumentum a Contrario

Dalam keadaan ini, hakim akan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang ada seperti pada kegiatan analogi, yaitu menerapkan suatu peraturan pada perkara yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk diselesaikan oleh peraturan itu. Perbedaannya adalah dalam analogi hakim akan menghasilkan suatu kesimpulan yang positif, dalam arti bahwa ia menerapkan suatu aturan pada masalah yang sedang dihadapinya. Sedangkan pada konstruksi Argumentum a Contrario hakim sampai pada kesimpulan yang negatif, artinya ia justru tidak mungkin menerapkan aturan tertentu dalam perkara yang sedang dihadapinya.

Contoh:

a. Bagi seorang duda yang hendak kawin lagi tidak tersedia peraturan yang khusus. Peraturan yang tersedia bagi peristiwa yang tidak sama tetapi mirip ialah bagi janda (Pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975). Bagi janda yang hendak kawin lagi harus menunggu masa iddah. Maka tersebut diberlakukan bagi duda secara a contrario, sehingga duda bila hendak kawin tidak perlu menunggu.

b. Dalam pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang perempuan tidak dibenarkan menikah lagi sebelum lewat suatu jangka waktu tertentu yaitu 300 hari sejak perceraian dengan suaminya. Berdasar Argumentus a contrario (kebalikannya) maka ketentuan tersebut tidak berlaku bagi lelaki/pria. Menurut Azas hukum Perdata (Eropa) seorang perempuan harus menunggu sampai waktu 300 hari lewat sedangkan menurut Hukum Islam dikenal masa iddah yaitu 100 hari atau 4 x masa suci karena dikhawatirkan dalam tenggang waktu tersebut masih terdapat benih dari suami terdahulu. Apabila ia menikah

(6)

sebelum lewat masa iddah menimbulkan ketidak jelasan status anak yang dilahirkan dari suami berikutnya.

2. Penafsiran hukum bisa berubah menjadi konstruksi hukum, hal ini dikarenakan:

Apabila didalam proses penafsiran hukum tidak ditemukan atau diperoleh jalan keluar atau hasil untuk mengambil keputusan akhir atau menyelesaikan sebuah perkara maka tindakan yang diambil adalah melakukan konstruksi hukum. Jadi penafsiran hukum terlebih dahulu dilakukan dan apabila setelah digali dengan melihat hukum adat, kebiasaan, hukum agama atau yang lainnya juga tidak menemukan aturan atau hukum yang mengatur perkara tersebut kemudian baru dilakukan konstriksi hukum yang dikeluarkan oleh hakim sesuai nuraninya sendiri asal tidak melanggar HAM, UU, dan UUD 1945.

Penafsiran hukum dapat berubah menjadi rekonstruksi hukum dilakukan oleh hakim dengan metode argumentum peranalogian (suatu peristiwa yang belum diatur hukumnya dengan mencari persamaan peritiwa yang sejenis namun telah memiliki ketentuan pereturan atau hukum). Metode argumentuma contrario, yaitu menetapkan ketentuan bagi suatu peristiwa tentunya yang tidak diatur oleh hukum, dengan mendasarkan perbedaan peristiwa tersebut dengan peristiwa lainnya.

Apabila peraturan perundang – undangan tidak jelas atau tidak lengkap. Hakim berhak melakukan penafsiran hukum melalui penemuan hukum yang digali dari hukum adat, kebiasaan, hukum agama, dan sebagainya. Oleh karena itu harus diketemukan hukum dengan jelas, penafsiran atau melengkapi perundang – undangan. Kapasitas hakim tidak hanya bercermin pada civil law system yang berdasarkan pada peraturan perundang – undangan. Akan tetapi karena ketentuan UU tidak memuat, jadi hukum dengan mengakomodis common law system melalui kreativitas hakim dalam merekonstruksi hukum. Jadi berdasarkan ketentuan pokok kekuasaan kehakiman manjelaskan bahwa pengadilan tidak boleh menolak sebuah perkara yang diajukan untuk memeriksa dan mengadili dengan dalih bahwa hukum tidak/kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa atau mengadilinya. Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang – undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasarkan inisyatifnya sendiri

(7)

untuk menyelesaikan perkara. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum. Sekalipun peraturan perundang – undangan tidak dapt membantunya, tindakan hakim inilah yang dinamakan dengan penemuan hukum. Undang – undang tentang kekuasaan kehakiman (UU 48/2009) pada pasal 14 ayat 1 menjelaskan bahwa hakim sebagai organisasi pengadilan dianggap memahami hukum. Apabila terjadi konflik antar peraturan sehingga tumpang tindih, conflict of norm hakim juga wajib melakukan penafsiran gramatikal, teleologis/sosiologis, sistematis, hirtoris, futuristic, komparatif, restriktif dan ekstensif dengan merekonstruksi hukum yang baru melalui penambahan/pengurangan atau pergantian ketentuan hukum tersebut menyesuaikan dengan tingkat keberterimaan masyarakat. 3. Perbedaan penafsiran hukum dan konstruksi hukum adalah bila dilihat dari

definisinya penafsiran hukum merupakan sebuah bentuk penemuan hukum, jadi sebenarnya hukum itu sudah ada hanya saja perlu digali lagi, mencari sumber lain yang dipakai dasar untuk memutus sebuah kasus, sumber lainnya adalah dari masyarakat berupa nilai – nilai kehidupan ataupun norma dan kebiasaan hal inilah yang disebut dengan penafsiran.

Siapa yang menggali ialah hakim yang memiliki kewenangan dan hak untuk memutuskan dan menyelesaikan sebuah perkara. Alasan kenapa proses penafsiran hukum tersebut dilakukan karena didalam undang – undang/peraturan perundang - undangan tersebut terkandung makna yang ambigu, multi tafsir, samar – samar kurang jelas, tidak ada dalam yuris prudensi maupun doktrin (pendapat para ahli), Adanya kewajiban bagi hakim untuk memutus suatu perkara yang diajukan, dan Hakim tidak boleh menolah suatu perkara (UU/48/2009 pasal 10) karena hakim dianggap tahu walaupun sebenarnya tidak tahu. Sedangkan konstruksi hukum adalah sebuah proses atau langkah penemuan atau penciptaan hukum, hukum itu tidah ada/ada kekosongan hukum yang disebut dengan wet vacuum. Lembaga yang memiliki kewenangan dalam hal ini adalah Hakim, Pembentuk hukum seperti DPR dengan Presiden dan Peneliti.

Perbedaan yang kedua adalah Konstruksi hukum itu diambil apabila di dalam proses penafsiran hukum tidak diperoleh jalan keluar/hasil yang dapat menyelesaikan sebuah kasus. Dalam pengambilan keputusannnya penafsiran hukum lebih menekankan bahwa hakim harus memutuskan sebuah kasus

(8)

berdasarkan nilai – nilai/ norma/ kebiasaan yang ada didalam masyarakat. Sedangkan di konstruksi hukum hakim diperkenankan memutuskan sebuah kasus berdasarkan hati nurani individunya sendiri.

Contoh:

Kasus yang pernah terjadi misalnya ketika Hakim Bismar Siregar menganalogikan “kemaluan wanita” sebagai suatu “barang”, sehingga seorang pria yang ingkar janji menikahi pasangannya dapat dianggap telah menipu “barang” milik orang lain (Pasal 378 KUHP). Kemudian dalam kasus pengajuan Peninjauan Kembali, Jaksa Penuntut Umum menganggap dirinya berwenang meskipun KUHAP tidak mengatur masalah itu, perbedaan interpretasi dalam menentukan delik pornografi atau pada kasus yang terjadi beberapa waktu lalu di Yogyakarta ketika termohon pra peradilan dalam eksepsinya mendalilkan bahwa pelecehan seksual tidak diatur dalam perundang-undangan (KUHP).

Dalam konteks hukum, perbedaan tafsir terhadap peraturan perundang-udangan sebenarnya merupakan hal lazim terjadi, karena para juris dan penegak hukum mempunyai pandangan dan sikap yang berbeda terhadap permasalahan-permasalahan yang diatur dalam peraturan perundang-udangan. Meskipun demikian, terhadap kasus-kasus seperti itu, perlu kiranya mendapat perhatian dan kajian yang serius di masa mendatang, supaya tidak berdampak merugikan kepentingan pencari keadilan (justiciabel) dan masyarakat pada umumnya.

Dalam praktek harus diakui, seringkali dijumpai suatu permasalahan yang tidak diatur dalam perundang-undangan (rechts vacuum) ataupun kalau sudah diatur tetapi ketentuan perundang-undangan tersebut tidak mengatur secara jelas dan lengkap serta tidak memiliki relevansi dengan rasa keadilan dan perkembangan hukum masyarakat. Bahkan seperti dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa tidak ada hukum atau Undang-Undang yang lengkap selengkap-lengkapnyanya atau jelas dengan sejelas-jelasnya. Karena fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan mengatur seluruh kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia itu tidak terhitung jumlah dan jenisnya, dan terus menerus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu kalau Undang-Undangnya tidak jelas atau

(9)

tidak lengkap harus dijelaskan atau dilengkapi dengan menemukan hukumnya.

Interpretasi atau penafsiran hukum ini hanyalah merupakan salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding). Selain itu masih ada beberapa metode penemuan hukum yang dapat digunakan oleh Hakim. Manakala hukumnya tidak jelas, maka digunakan metode interpretasi (penafsiran), sedangkan apabila aturan hukumnya tidak lengkap atau tidak ada digunakan metode argumentasi (argumentum per analogian, argumentum a contrario, rechtvervijning, fiksi hukum) dan metode eksposisi (konstruksi hukum) untuk membentuk pengertian-pengertian hukum baru. Masing-masing metode ini masih dapat diuraikan dan dirinci lebih lanjut. Adapun sumber utama penemuan hukum secara hierarkhi dimulai dari peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan baru kemudian doctrine (pendapat ahli hukum).

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu dalam penelitian ini juga akan di uraikan terkait analisi dari filsafat nilai terhadap proses Mangulosi dalam upacara pernikahan adat Batak Toba sehingga dapat

Sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah diuraikan di awal terjawab bahwa hasil dari analisis secara parsial dengan menggunakan metode EUCS menunjukan variabel Content

ّ‫ُهنّ َرا ُ ُج ۡو ُهنّ ۡوتُفَاّ لَـكُمّۡ ا َ ۡرض َۡعنَّ فَا ِۡن‬ “Kemudian jika mereka menyusukan anak-anak mu untukmu maka berikanlah

Kemampuan penghambatan pertumbuhan isolat bakteri oleh ekstrak ganggo tersebut berkaitan dengan komponen kimia yang kemungkinan bersifat sebagai antibakteri.. Komponen

University ” sudah selayaknya memiliki TV kampus yang dapat dijadikan sebagai bukti dari keseriusan dan eksistensi UIN SUSKA Riau untuk mewujudkan visi tersebut.. Suska TV

Bahwa agar lebih menjamin persamaan hak warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan, memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap setiap

Meski judul dari berita lebih fokus pada pernyataan beliau yang menyebut Fikih produk perang Salib, sebenarnya yang menjadi pokok tujuan beliau dalam penyampaianya – jika

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada bakteri Staphylococcus aureus tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap zona hambat yang dihasilkan pada masing-masing