• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Buku: Metode Diskursus Ucapan untuk Feminis. Oleh Ivanovich Agusta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Deskripsi Buku: Metode Diskursus Ucapan untuk Feminis. Oleh Ivanovich Agusta"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1 Deskripsi Buku:

Judul : Positioning Gender in Discourse: A Feminist Methodology Pengarang : Judith Baxter

Tahun terbit : 2003

Penerbit : Palgrave Macmillan Tempat terbit : Hampshire

Halaman : vi + 215 halaman

Metode Diskursus Ucapan untuk Feminis Oleh Ivanovich Agusta

Pernyataan feminis pada umumnya tentang kelemahan posisi perempuan dibandingkan laki-laki menjadi topik gugatan mutakhir. Istri kepala desa atau mantan migran perempuan yang menjadi tokoh informal, misalnya, dapat memiliki kuasa yang kuat untuk mengarahkan alokasi dana pemberdayaan, mengelola kelompok bisnis, merencanakan kegiatan pembagunan desa, dan sebagainya.

Dalam proses musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) – tahapan perencanaan kegiatan dan pendanaan pembangunan dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga nasional—diwajibkan kehadiran perempuan, golongan miskin atau golongan marjinal lainnya (Agusta, 2009). Di sini konsep perempuan disetarakan dan bisa diganti-ganti dengan dengan konsep golongan miskin atau golongan marjinal. Kenyataannya tubuh perempuan yang hadir dalam musrenbang sekaligus ditandai sebagai kehadiran tubuh golongan miskin dan tubuh golongan marjinal, padahal yang hadir hampir selalu istri kepala desa atau perempuan tokoh informal.

Alih-alih memutuskan peran dominan perempuan (misalnya melalui alokasi waktu dominan) atau menilainya sebagai konflik peran (role conflict), Judith Baxter (2003) senantiasa mempertimbangkan kemajemukan peran perempuan dalam tempat dan waktu yang berbeda. Menjuluki pendekatannya sebagai feminist post-structuralist discourse analysis (FPDA), pendekatan ini

(2)

2 memiliki keunggulan untuk menganalisis transkrip diskursus yang diucapkan – dengan contoh-contoh dari dalam kelas atau ruangan produksi.

Interpretasi data ini diletakkan di antara analisis pembicaraan (conversation analysis/CA) dan analisis dikursus kritis (critical discourse analysis/CDA). Dan, dalam banyak tempat, Baxter memang menempatkan FPDA sebagai pelengkap –alih-alih alternatif atau lawan—dari pendekatan feminis pasca struktural dan diskursus yang telah ada. Justru pada titik inilah muncul berbagai permasalahan.

Pendekatan pascastruktural bisa berlawanan dari feminisme, karena kritiknya juga terarah pada pembentukan ideologi, seperti perempuan sebagai subyek terdominasi (seperti contoh kekuasaan istri kepala desa dan buruh migran di atas). Pendekatan pascastruktural mengedepankan kuasa untuk memaknai benda sehingga pembicaraan selalu berisi kekuasaan memaknai, dan hal ini berbeda dari pendekatan pascamodern yang menghilangkan referensi sehingga seluruh pembicaraan bersifat simulakra (Hoed, 2008)

Masalah positioning FPDA ditangani Baxter pada bagian awal buku ini, dalam bentuk telaah teoretis –FPDA disebutnya highly theorised methodology. Tidak menyetujui tahapan umum dalam feminisme –klasik, modern, pascamodern—ia memandangnya sebagai perspektif yang berbeda namun bisa muncul dalam masa yang bersamaan. Perspektif pascamodern bisa muncul dalam tulisan Simone de Beavoir –yang umumnya dikelompokkan dalam feminisme modern. Kita bisa menyebut sudut pandang Baxter mencirikan pasca-strukturalisme, yang biasa dinamai diskontinuitas –di tempat lain dinamakan paradigma.

Conversation analysis (CA) yang biasa menggunakan konstruktivisme telah memberikan alat analisis etnometodologis yang memadai terhadap wicara atau percakapan. FPDA mengambil kemampuan untuk menginterpretasi, yang lazim muncul dalam CA. Namun berbeda dari konstruktivisme yang bisa bersifat esensialis –penguji kebenaran interpretasi peneliti ialah fakta berupa interpretasi responden—FPDA sepenuhnya antiesensialis. Konstruksi makna atas gender selalu bergerak, licin, tidak tetap, melainkan selalu berada dalam proses negosiasi.

(3)

3 Critical discourse analysis (CDA) telah memadukan teori kritis yang bersifat marxian dengan analisis dikursus. Seringkali praktik CDA juga menggunakan cara pandang hegemonis dari Gramsci. FPDA menggunakan pandangan marxisme kultural dari CDA, namun menolak kelemahan pihak yang terhegemoni. Meminjam konsep kekuasaan dari Foucault –kekuasaan tidak selalu menekan namun juga bersifat produktif, kekuasaan juga menyebar ke seluruh pihak—maka melalui negosiasi identitas gender sedang berlangsung "negosiasi kekuasaan" secara terus menerus.

Upaya pencarian posisi tampaknya masih dibutuhkan dalam dunia akademis, sekalipun hal itu terlalu sulit digunakan dalam paradigma pascamodern atau pascamodernitas yang terlalu beragam. Merumuskan dua kutub atas kontruktivisme yang terindikasi dalam CA, dan kutub marxian yang terindikasi dalam CDA, mengingatkan pada pemilahan serupa oleh Jorgensen dan Phillips (2007). FPDA atau diskursus berbasis karya Foucault sama-sama diletakkan di tengah-tengah dari dua kutub tersebut.

Pandangan kontinuitas kedua kutub seharusnya bertentangan dari pandangan diskontinuitas yang lazim dipegang golongan pascastruktural. Bisa dipandang kontinuitas, jika digolongkan dalam diskursus atau paradigma yang sama. Namun yang terakhir inipun sulit diterima, karena CA maupun CDA (misalnya Leeuwen, 2009) berisikan beragam sudut pandang, termasuk keragaman sudut pandang atas diskursus. Sebagai perbandingan, Bourdieu (2010) membahas gender tanpa melihat kutub konstruktivis/CA dan kritis/CDA, namun sepenuhnya menggunakan diskursus ala Foucault –hasilnya bersifat sosiologis simbolik.

Untuk kepentingan ilmiah, Baxter mendefinisikan FPDA sebagai pendekatan feminis untuk menganalisis cara pembicara menegosiasikan identitas, hubungan dan posisi mereka dalam dunianya, menurut cara diskursus yang terjalin. Dua dimensi FPDA ialah pascastruktural dan feminis. FPDA menggarisbawahi diskursus kunci perihal gender, yang senantiasa dinegosiasikan dan dibentuk dalam konteks yang spesifik dan terlokasisasi. FPDA menggali alasan jalannya kompetisi antar pembicara yang secara relatif lebih berkuasa, kurang berkuasa, atau tidak berkuasa. Pendekatan ini mengedepankan kekuatan

(4)

4 dalam interaksi yang melibatkan perempuan, dan pada saat yang sama efek reaksioner dari kelembagaan diskursus hubungan gender.

Dalam dimensi pasca struktural, meminjam pandangan Foucault (2002) maka diskursus didefinisikan sebagai praktik yang secara sistematis membentuk obyek yang dibicarakan. Wicara atau percakapan rutin antar pihak yang berinteraksi membentuk jaringan sosial, serta diskursus yang melembaga. Tindakan diskursif merupakan peranti untuk mengorganisasikan kekuasaan antar pembicara. Peneliti menggali cara diskursus yang berbeda bekerja secara intertekstual untuk menyusun posisi pembicara dalam rentang antara memiliki kekuasaan atau tidak memilikinya, kadang-kadang bergeser dari satu posisi ke posisi lain dalam momentum yang berbeda. Makna "posisi yang berkuasa" haruslah menjadi interpretasi yang terbuka terus menerus dalam diskursus. Dengan membuka keterbukaan interpretasi tersebut, FPDA melakuka advokasi untuk mengetengahkan keragaman perspektif tentang gender serta menandingkan masing-masing perspektif tersebut.

Dimensi feminis mengajak peneliti untuk memusatkan perhatian pada kategori sosial gender. Kategori ini secara khusus dimaknai sebagai hubungan kekuasaan yang muncul melalui interaksi wicara. Memang pendekatan ini melanjutkan pandangan pemosisian perempuan di bawah lelaki, serta pelembagaan perempuan sebagai pelayan sementara lelaki pendominasi. Akan tetapi, FPDA menantang pandangan simplistik tentang kelemahan perempuan, sebaliknya kedua jenis kelamin mengadopsi posisi-posisi yang beragam atau majemuk, bahkan kadang-kadang saling bersaing. FPDA menekankan konteks tertentu di mana perempuan dominan, dan pada konteks tertentu lainnya perempuan terdominasi.

Selama ini pendekatan pascastruktural dikritik atas kelemahannya untuk menghubungkan prinsip-prinsip abstraknya dengan kegiatan praktis untuk menganalisis interaksi wicara. Menggunakan pemikiran Barthes, dalam FPDA Baxter memecahkannya dengan membedakan level analisis denotatif dan konotatif.

Level denotatif memiliki akar pada CA atau konstruktivisme. Level ini memusatkan deskripsi linguistik yang detil pada interaksi wicara.

(5)

5 Level konotatif yang berakar pada CDA atau teori kritis justru secara tradisional menolak detil deskripsi wicara tersebut –meskipun perkembangan mutakhir tidak sepenuhnya menolak detil wicara. CDA lebih menekankan pada kekuasaan diskursif dalam membentuk oposisi biner dari subyek, yang dominan atau yang terdominasi.

FPDA lebih tertarik pada diskursus dan kekuasaan, sehingga membuka konteks untuk hubungan antar beragam suara berikut kompleksitas dan kontradiksinya. Pendekatan ini sekaligus membatasi peluang pembentukan wicara tunggal dari peneliti, melainkan memasukkan beragam suara dan partisipan dalam penelitiannya. Idealnya, tulisan FPDA merupakan kolase dari suara-suara yang merepresentasikan perspektif dan minat yang berbeda-beda di antara subyek wicara.

Dalam salah satu kajian atas ruang kelas, diketahui tiga diskursus dari wicara mahasiswa dan dosen. Pertama, persetujuan (approval), baik yang berasal dari kelompok mahasiswa, maupun atas seleksi dosen untuk berbicara di ruangan. Kedua, pembedaan gender (gender differentiation), di mana dosen dan mahasiswa memiliki perhatian jenis kelamin yang berbeda dalam topik yang berbeda pula. Ketiga, model wicara kolaboratif (a model of collaborative talk), seperti ketrampilan untuk mendengarkan dengan tekun, mendukung kelompok, membagi ide.

FPDA memberikan manfaat dengan cara mengkombinasikan studi denotatif yang mendalam dengan analisis konotatif yang meluas berbasis analisis kekuasaan. Manfaat lainnya ialah mendeteksi kompleksitas dan cairnya identitas pembicara melalui persaingan dan interaksi diskursif. FPDA menantang kekuasaan pemberi makna tunggal, dengan mengedepankan keragaman suara dalam penelitian. Dengan cara demikian FPDA membuka alternatif paradigma penelitian yang partisipatif, baik untuk mengisi analisisnya, maupun berpartisipasi dalam menyimpulkan hasilnya.

Pencarian landasan pada Barthes (2004) di atas mungkin bisa membuka ruang kritik bagi FPDA. Tulisan Barthes lebih mudah dibaca dalam semiologi atau struktural, di mana muncul hubungan searah dari petanda (konsep) ke penanda (materi). Ketika dua hubungan tersebut diantarai oleh kekuasaan (pada

(6)

6 Foucault), hubungan justru arah hubungannya dibalik (pada Derrida), maka muncullah pemikiran pascastruktural. Ketika penanda dinafikan, dan seluruhnya dinilai sebagai petanda, muncullah pemikiran pascamodern seperti simulakra.

Dalam FPDA, ciri Barthes masih tampak dalam hubungan searah petanda (konotatif, CDA) kepada penanda (denotatif, CA). Yang ditelaah ialah wicara lisan (yang dtranskripsikan), bukan terutama yang tertulis (seperti dilakukan Derrida). Saya kira posisi kekuasaan tidak diletakkan di antara level konotatif dan level denotatif, namun semata-mata pada level konotatif.

Meskipun dibalut kritik, FPDA tetap berguna untuk menggoncang pemikiran dominan, terutama yang berasal dari kelompok borjuis (menurut Barthes). Dalam konteks Indonesia menjadi relevan, karena tanpa kritik diskursif maka yang terdominasi tidak pernah menyadarinya. Yang terdominasi justru mendukung kekerasan simbolik ini, dan secara produktif kekuasaan yang tersalurkan lewat kekerasan simbolik dinilai positif (Haryatmoko, 2010). FPDA mestinya bisa membongkar kekerasan simbolik tersebut.

Daftar Pustaka

Agusta, I. 2009. Percobaan Pembangunan Partisipatif dalam Otonomi Daerah, dalam Sodality Tahun 3 Nomor 2.

Barthes, R. 2004. Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Baxter, J. 2003. Positioning Gender in Discourse: A Feminist Methodology. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Bourdieu, P. 2010. Dominasi Maskulin. Yogyakarta: Jalasutra.

Foucault, M. 2002a. Menggugat Sejarah Ide. Terjemahan The Archaeology of Knowledge oleh I.R. Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD.

Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: Gramedia

Hoed, B.H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.

Jorgensen, MW, LJ Phillips. 2007. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Leeuwen, Tv. 2009. Critical Discourse Analysis, dalam J. Renkema, ed. Discourse, of Course: An Overview of Research in Discourse Studies. Amsterdam, The Netherland: John Benjamin

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan kepada pihak rumah sakit tentang pentingnya penerapan TQM, dimana dalam penelitian ini sistem

Dalam lingkup SSB, pengurus setiap SSB masih ada yang belum mengerti pentingnya pelatih bagi usia dini, dari hasil penelitian dengan wawancara dan observasi,

Penulisan skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akademik dalam mata kuliah Skripsi Program Studi Akuntansi jenjang strata satu S1 pada Fakultas Ekonomi

Form ini memberikan akses sistem untuk mengelola UPT bagi admin untuk menambah UPT yang baru.Tampilan halaman kelola UPT tambah baru sistem dan keterangan

Adapun kreativitas yang dapat dilihat dalam proses pembelajaran adalah guru dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran secara bervariasi diantaranya: guru memutar

Bentuk penanaman pendidikan agama Islam berbasis multikultur yang terjadi pada pendidikan anak usia dini pada prinsipnya merupakan sebuah jalan baik untuk dapat

Secara umum kesimpulan dalam penelitian ini adalah Peningkatan kreativitas anak usia dini dapat meningkat melalui bermain balok khususnya pada kelompok A Usia 4 -5 Tahun

Pengelolaan anggaran dalam keuangan publik atau keuangan negara bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kepentingan umum melalui