• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PEMENUHAN REGULASI PELABELAN PRODUK OLAHAN DAGING DI BEBERAPA PASAR DI KOTA BOGOR AKHMAD FAHMI HIKMATIYAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PEMENUHAN REGULASI PELABELAN PRODUK OLAHAN DAGING DI BEBERAPA PASAR DI KOTA BOGOR AKHMAD FAHMI HIKMATIYAR"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

i

KAJIAN PEMENUHAN REGULASI PELABELAN

PRODUK OLAHAN DAGING

DI BEBERAPA PASAR DI KOTA BOGOR

AKHMAD FAHMI HIKMATIYAR

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kajian Pemenuhan Regulasi Pelabelan Produk Olahan Daging di Beberapa Pasar di Kota Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Akhmad Fahmi Hikmatiyar

(4)

ii

ABSTRAK

AKHMAD FAHMI HIKMATIYAR. Kajian Pemenuhan Regulasi Pelabelan Produk Olahan Daging di Beberapa Pasar di Kota Bogor. Dibimbing oleh JOKO HERMANIANTO.

Label merupakan bagian yang penting pada suatu produk pangan. Label menjadi instrumen paling sederhana bagi konsumen untuk mengetahui keterjaminan mutu pada produk olahan daging. Regulasi pelabelan yang diterapkan di Indonesia adalah PP 69 Tahun 1999. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat pemenuhan label produk olahan daging yang beredar di pasar di kota bogor terhadap aturan pelabelan tersebut (PP Nomor 69 Tahun 1999). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode yang digunakan adalah metode survei dan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Pengolahan data menggunakan tabulasi data serta pembuatan diagram dan histogram. Analisis terhadap 63 sampel produk olahan daging dari 12 lokasi pengambilan sampel memenuhi tingkat pemenuhan rata-rata aturan pelabelan mencapai 76.86% yang terdiri dari pemenuhan teknis pencantuman label 25.40%, pemenuhan terhadap teknis penulisan label 84.13%, pemenuhan teradap keterangan minimum label 90.16%, pemenuhan terhadap keterangan lain pada label 90.19%, serta pemenuhan terhadap keterangan yang dilarang dicantumkan pada label 94.44%.

Kata kunci: label pangan, PP Nomor 69 Tahun 1999, produk olahan daging, regulasi pelabelan

ABSTRACT

AKHMAD FAHMI HIKMATIYAR. The Assesement of Compliance with Mandatory Labelling for Meat Processed Products at The Market in Bogor City. Supervised by JOKO HERMANIANTO

Food labelling is important part of food product. Label becomes a simple instrument for consumer to know about quality assurances on meat products. Labelling regulation in Indonesia uses PP 69 Tahun 1999. This reaserch aims to measure how far the implementation of food labelling in the market around of Bogor according to PP Nomor 69 Tahun 1999. The kind of this research is descriptive research and methodology used in this experiment is survey method with purposive sampling. Data processing is using tabulation, diagram, and histogram. Analysis towards to 63 samples of meat product from 12 locations in Bogor shows that 76.86% samples fullfil the technical of food labelling regulation. The data consist of 25,40% samples that display correct label in accordance of the technical regulation of food labelling, 84,13% samples that correct format content, 90.16% that provide minimum information, 90.19% samples that provide other form of information, and then 94,44% samples that fullfil the technical regulation of food labelling on prohibition in displaying of some restricted information. Keywords: PP Nomor 69 Tahun 1999, food labelling, labelling regulation,

(5)

iii Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

KAJIAN PEMENUHAN REGULASI PELABELAN

PRODUK OLAHAN DAGING

DI BEBERAPA PASAR DI KOTA BOGOR

AKHMAD FAHMI HIKMATIYAR

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

v Judul Skripsi : Kajian Pemenuhan Regulasi Pelabelan Produk Olahan Daging

di Beberapa Pasar di Kota Bogor Nama : Akhmad Fahmi Hikmatiyar

NIM : F24090029 Disetujui oleh Dr Ir Joko Hermanianto Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Feri Kusnandar, MSc Ketua Departemen Tanggal Lulus:

(8)

vi

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga penyusunan skripsi dengan judul “Kajian Pemenuhan Regulasi Pelabelan Produk Olahan Daging di Beberapa Pasar di Kota Bogor” dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari 2013 sampai Juni 2013.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ayahanda Suparta, S.pd dan Ibunda Masnah, serta kakak dan adik tercinta, Venny Agustiani Mahardikawati, Desi Chitra Lestary, Zulfikar Hizbul Islami, Akhmad Bintang Dirgantara, terimakasih atas doa, kasih sayang, dan dukungannya.

2. Dr. Ir. Joko Hermanianto selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus pembimbing akademik yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc. dan Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP.,DEA selaku dosen penguji.

4. Prof. Dedi Fardiaz yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat bermanfaat bagi skripsi ini.

5. Ibu Fitri dari BPOM divisi Investigasi dan Sertifikasi Pangan yang telah banyak membantu dalam memperoleh informasi pendukung dalam pembuatan skripsi ini.

6. Sahabat yang membantu dalam penyusunan skripsi ini baik untuk tukar pendapat dan memberikan masukan yang sangat berarti, mereka adalah Gugi Yogaswara, M. Sigit Susanto, Fuad Mustafa Baharuddin, Jian Septian, dan Luthfan ‘Coy’ Setiawan.

7. Teman-teman ITP 46 serta semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat dijadikan acuan para pembaca untuk melakukan penelitian dalam bidang regulasi pangan selanjutnya.

.

Bogor, Juli 2013

(9)

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Daging 2 Regulasi Pelabelan 3 METODE 6

Waktu dan Tempat 6

Kerangka Pemikiran 6

Metode Penelitian 6

Tahapan Penelitian 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Contoh Produk Olahan Daging yang Diteliti 8

Teknis Pencantuman Label 10

Teknis Penulisan Label 10

Keterangan Minimum Label 11

Keterangan Lain pada Label 12

Keterangan yang Dilarang untuk Dicantumkan pada Label 16

Tingkat Pemenuhan Pelabelan Rata-rata 18

Pemenuhan Label Berdasarkan Jenis Produk 19

Pemenuhan Label Berdasarkan Jenis Pasar 19

Pemenuhan Label Berdasarkan Jenis Nomor Pendaftaran 21

SIMPULAN DAN SARAN 23

Simpulan 23

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 23

LAMPIRAN 26

(10)

viii

DAFTAR TABEL

1 Konsumsi daging rata-rata per kapita setahun di Indonesia 3 2 Rincian bab II Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999

tentang label pangan 4

3 Perbedaan keterangan kemasan pada beberapa peraturan pelabelan 5 4 Tempat dan lokasi pengambilan sampel produk olahan daging 7 5 Jumlah merek contoh produk olahan daging yang ditemukan

di setiap pasar di Kota Bogor 8

6 Pemenuhan kelompok keterangan minimum label

produk olahan daging di beberapa pasar di Kota Bogor 12 7 Pemenuhan kelompok keterangan lain pada label

produk olahan daging di beberapa pasar di Kota Bogor 13 8 Pemenuhan kelompok keterangan yang dilarang dicantumkan

pada label produk olahan daging di beberapa pasar di Kota Bogor 17 9 Tingkat pemenuhan rata-rata syarat label kemasan

produk olahan daging di beberapa pasar di Kota Bogor 18

DAFTAR GAMBAR

1 Jenis produk olahan daging yang diamati 9

2 Perbandingan logo halal MUI dan logo halal bukan MUI 14 3 Jenis nomor pendaftaran produk pangan yang diamati 15

4 Tingkat pemenuhan label berdasarkan jenis produk 19

5 Tingkat pemenuhan label berdasarkan jenis produk 20

6 Tingkat pemenuhan syarat unsur keterangan minimum label

berdasarkan jenis pasar 20

7 Tingkat pemenuhan label berdasarkan jenis

nomor pendaftaran pangan 21

8 Tingkat pemenuhan syarat unsur keterangan minimum label pangan

berdasarkan jenis nomor pendaftaran pangan 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kriteria pemenuhan syarat unsur label 27

2 Tingkat pemenuhan syarat unsur atau kelompok unsur label 32 3 Analisis pemenuhan syarat teknis pencantuman label 35

4 Analisis pemenuhan syarat teknis penulisan label 39

5 Analisis pemenuhan keterangan minimum pada label 43

6 Analisis pemenuhan tidak mencantumkan keterangan yang

dilarang dicantumkan pada label 47

7 Analisis pemenuhan keterangan lain pada label 51

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging merupakan salah satu komoditi pangan yang memiliki kategori pangan “high risk” baik ditinjau dari segi keamanan maupun kehalalan. Hal ini disebabkan produk daging memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap tumbuhnya mikroba karena kandungannya yang kaya akan protein dan senyawa-senyawa lain yang dibutuhkan mikroba untuk hidup. Kandungan air dan protein yang sangat tinggi menyebabkan daging mudah mengalami kerusakan sehingga dikenal pula dengan istilah bahan pangan perishable. Menurut Ayanwale et al (2007), Kandungan nutrisi yang tinggi pada daging menyebabkan daging mudah rusak akibat adanya aktivitas mikroorganisme. Selain itu, kontaminasi dari udara pada proses pengolahan pangan dapat menurunkan umur simpan pangan dan menyebabkan tumbuhnya mikroba patogen (Salustiano VC et al. 2004).

Daging tidak hanya berpotensi tumbuh mikroba pembusuk saja tetapi juga berpotensi tumbuhnya mikroba patogen yang berbahaya bagi kesehatan. Menurut Rahayu WP dan Nurwitri CC (2012) mikroba utama yang berpotensi tumbuh pada daging adalah Pseudomonas, Acinetobacter/Moraxella, Alteromonas putrefaciens,

Brochotrix thermospacta, Enterobacter, dan Lactobacillus. Mikroba tersebut

membutuhkan asam amino sebagai substrat untuk dapat tumbuh pada kondisi aerob maupun anaerob. Kandungan asam amino yang cukup tinggi pada daging menyebabkan daging sangat berpotensi untuk media tumbuhnya mikroba-mikroba tersebut. Oleh karena itu, daging yang beredar di pasaran harus memenuhi persyaratan pengolahan yang baik dan harus terjamin keamanannya sebagai bentuk perlindungan terhadap hak konsumen.

Dalam rangka pengawasan terhadap pangan yang beredar pemerintah memberlakukan adanya regulasi pelabelan produk pangan. Regulasi pelabelan produk pangan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Pelabelan dan Iklan Pangan. Selain itu, untuk mengawasi peredaran obat dan makanan pemerintah membentuk lembaga non departemen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden yang bernama BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Badan ini melakukan fungsi pengawasan terhadap bahan pangan dan obat-obatan agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk salah satu fungsinya adalah mengawasi label produk pangan yang beredar.

Produk olahan daging yang saat ini beredar seringkali masih belum memenuhi kriteria regulasi pelabelan. Dalam laporan tahunan Badan POM RI tahun 2011 dinyatakan bahwa dari 6.604 label produk pangan yang dipantau ditemukan sejumlah 2.346 (35.52%) tidak memenuhi ketentuan, antara lain karena tidak mencantumkan nomor persetujuan pendaftaran, kode produksi, tanggal kadaluwarsa, netto (berat bersih), komposisi serta nama dan alamat produsen. Mengingat status produk olahan daging sebagai produk jenis “high risk”, hal ini layak mendapat perhatian khusus dan kajian lebih lanjut mengenai pelabelan pada produk olahan daging yang beredar di pasaran serta persentase pemenuhan persyaratan terhadap regulasi pelabelan yang dilakukan para produsen daging olahan. Hal ini sebagai upaya perlindungan terhadap konsumen terlebih konsumen di Indonesia terdiri dari mayoritas beragama Islam. Berdasarkan hasil sensus

(12)

2

penduduk oleh Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk beragama Islam pada tahun 2010 adalah 207.176.162 orang. Semua penduduk Islam di Indonesia tersebut berhak mendapatkan perlindungan untuk mengkonsumsi produk pangan yang halal.

Pengetahuan konsumen saat ini terhadap pelabelan produk pangan masih sangat minim (Rahayu WP 2011). Masyarakat perlu mengetahui adanya regulasi pelabelan yang dipersyaratkan pada produk olahan daging. Hal ini sebagai langkah preventif agar masyarakat terlindungi haknya serta produk yang dikonsumsi terjamin keamanannya serta kehalalannya.

Oleh karena itu, perlu diketahui sejauh mana tingkat pemenuhan aspek pelabelan produk olahan daging yang telah memenuhi syarat label pangan untuk mengetahaui keterjaminan keamanan dan kehalalan produk daging olahan bagi konsumen serta melihat efektivitas penerapan peraturan pemerintah sebagai bahan masukan terhadap penerapan dan perbaikan regulasi pelabelan yang ada saat ini.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat pemenuhan label produk olahan daging yang beredar di pasar Kota Bogor berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

TINJAUAN PUSTAKA

Daging

Definisi daging menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 3932:2008) tentang Mutu Karkas dan Daging Sapi yang dimaksud daging adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia. Soeparno (2005) mendefinisikan daging sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Komposisi daging terdiri atas air 75%, protein 19%, lemak 2.5%, dan substansi nonprotein 3.5% (Lawrie 2003). Substansi nonprotein yang yang larut terdiri dari karbohidrat, vitamin, dan mineral dalam daging (Rahmawati 2012).

Menurut Yalcin S et al. (2003) proses pengolahan daging memiliki banyak

critical control point yang dapat menyebabkan daging dapat terkontaminasi

mikroba diantaranya adalah penyembelihan, pelepasan kulit, pencucian daging, serta pendinginan (chilling). Dengan demikian proses pengolahan produk daging memiliki resiko keamanan pangan yang tinggi sehingga diperlukan adanya regulasi dan pengawasan yang ketat terhadap produk-produk daging olahan yang beredar dipasaran sehingga mutu dan keamanannya dapat terjamin dengan baik.

Tingkat konsumsi daging di Indonesia senantiasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Terutama produk daging yang beredar di pasaran seperti daging sapi dan daging ayam boiler. Berikut Tabel yang menunjukkan konsumsi daging di Indonesia.

(13)

3 Tabel 1 Konsumsi daging rata-rata per kapita setahun di Indonesia, 2007-2011

No Jenis Daging Tahun (dalam Kg)

Rata-rata Pertumbuhan (%)

2007 2008 2009 2010 2011

1 Daging sapi 0,417 0,365 0,313 0,365 0,469 4,61 2 Daging ayam ras

(boiler meat) 3,441 3,233 3,076 3,546 4,328 6,60

3 Daging ayam

kampung 0,678 0,574 0,521 0,626 0,626 -1,12

Sumber: Survei Sosial-Ekonomi Nasional, 2007-2011 (www.bps.go.id)

Tabel di atas menunjukkan bahwa konsumsi daging di Indonesia semakin meningkat. Hal ini perlu adanya regulasi yang lebih tegas agar persaingan diantara produsen daging tidak menyebabkan menurunnya kualitas daging sehingga konsumen yang dirugikan. Aturan pelabelan pada produk daging olahan pun harus dikontrol dengan baik sehingga menjadi indikator mutu dan perlindungan konsumen bagi konsumen yang membeli produk daging tersebut.

Regulasi Pelabelan

Menurut CAC (Codex Alimentarius Comission) (2012), label pada kemasan pangan mempunyai fungsi untuk menjamin kesehatan dan keselamatan konsumen serta menciptakan perdagangan pangan yang adil dan jujur. Berdasarkan PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk Gambar, tulisan, kombinsai keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan sedangkan pangan halal menurut PP Nomor 69 Tahun 1999 adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu, dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam.

Saat ini, regulasi pelabelan yang berlaku di Indoneia adalah PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Peraturan Pemerintah ini terdiri dari 8 bab. Aturan pelabelan tercantum pada Bab II sedangkan pengawasan dan tindakan administratif tercantum pada Bab III dan Bab IV. Bab II terdiri dari 15 bagian dan 42 pasal (pasal 2 hingga pasal 43). Tabel rincian Bab II tentang Label Pangan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

(14)

4

Tabel 2 Rincian Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang label pangan

Bagian Perihal Jumlah Pasal

1 Umum 10 (pasal 2-11)

2 Bagian utama label 3 (pasal 12-14)

3 Tulisan pada label 2 (pasal 15-16)

4 Nama produk pangan 2 (pasal 17-18)

5 Keterangan tentang bahan yang dignakan 4 (pasal 19-22) 6 Keterangan tentang berat bersih atau isi bersih 3 (pasal 23-25) 7 Keterangan tentang nama dan alamat produsen 1 (pasal 26)

8 Tanggal kadaluwarsa 3 (pasal 27-29)

9 Nomor pendaftaran pangan 1 (pasal 30)

10 Keterangan tentang kode produksi pangan 1 (pasal 31)

11 Keterangan tentang kandungan gizi 2 (pasal 32-33)

12 Keterangan tentang iradiasi pangan dan rekayasa

genetika 2 (pasal 34-35)

13 Keterangan tentang bahan pangan yang dibuat dari

bahan baku alami 2 (pasal 36-37)

14 Keterangan lain pada label tentang pangan olahan

tertentu 5 (pasal 38-42)

15 Keterangan tentang bahan tambahan pangan 1 (pasal 43)

Jumlah 42 pasal

Label pangan merupakan kesepakatan tidak langsung antara konsumen, produsen, dan pemerintah. Pemerintah sebagai pembuat regulasi menjadi acuan utama untuk dapat memenuhi hak konsumen serta tidak menyulitkan produsen. Konsumen secara mayoritas tidak memiliki tuntutan khusus terhadap konten pelabelan hanya saja konsumen mengharapakan label pangan dapat menyediakan informasi kepada konsumen dalam memilih produk yang akan dibeli dan dikonsumsi (Blanchfield 2000). Produsen menggunakan label pangan sebagai media promosi dan iklan untuk meningkatkan minat konsumen dalam memilih produknya. Setiap kepentingan ini harus dapat diakomodir oleh pemerintah sebagai pembuat regulasi. Regulasi yang dibuat merupakan titik temu antara kepentingan produsen dan kepentingan konsumen (hak konsumen).

Label pangan merupakan bagian penting dari perdagangan pangan. Tanggung jawab mengenai label pangan melibatkan konsumen, produsen, dan pemerintah sebagai pembuat regulasi. Menurut Blanchfield (2000), konsumen tidak memiliki tuntutan khusus pada label pangan, tetapi konsumen mengharapkan label pangan dapat menyediakan informasi yang menjadi bahan pertimbangan konsumen dalam memilih produk. Syarat unsur label berdasarkan PP Nomor 69 Tahun 1999 dapat dilihat pada Lampiran 1.

Setiap negara memiliki aturan yang berbeda dalam regulasi kemasan. Sebagai contoh di Amerika Serikat regulasi tentang aturan pelabelan disebut Food Labelling

(15)

5 Australia, serta Euro Council 2000/13/EC yang berlaku di Uni Eropa yang merupakan revisi dari Euro Council 79/112/EC sedangkan peraturan yang dikeluarkan CAC (Codex Allimentarius Comission) adalah codex stan 1-1985. Berikut Tabel 3 yang menjelaskan beberapa perbedaan peraturan pelabelan yang berlaku di dunia.

Tabel 3 Perbedaan keterangan kemasan pada beberapa peraturan pelabelan

No Keterangan label PP 69 th 1999 CAC (codex stan 1-1985) EC 2000/13 FDA ‘Food Labelling Guide’ Australia ‘Labelling of Package Food’ 1 Nama produk √ √ √ √ √ 2 Berat bersih √ √ √ √ √

3 Nama dan alamat

produsen √ √ √ √ √ 4 Daftar bahan √ √ √ √ √ 5 Tanggal kadaluwarsa √ √ √ - √ 6 Informasi gizi - - - √ √ 7 Kode produksi - √ - - √ 8 Country of origin - √ √ - - 9 Informasi allergen - - - - √ 10 Cara penyimpanan - √ √ - √ 11 Petunjuk penggunaan - √ √ - √ Jumlah 5 9 8 5 10

Keterangan: √ : Diatur Sumber: Maradhika (2012)

- : Tidak diatur

Tabel 3 menunjukkan bahwa regulasi pangan di setiap negara berbeda satu dengan yang lain. Dilihat dari Tabel 3, Australia memiliki aturan pelabelan yang paling banyak mengenai aturan minimum label dibandingkan negara lain. Sanksi terhadap pelanggaran pelabelan di setiap negara berbeda-beda. Seperti contoh, pelanggaran pelabelan di Singapura mendapat hukuman berupa denda sebesar lima ribu hingga sepuluh ribu dollar Singapura dan atau kurungan penjara selama tiga bulan. Hukuman pelanggaran pelabelan di Malaysia adalah denda dan atau penjara selama tiga tahun. Pelanggaran pelabelan di Indonesia dikenakan tindakan administratif. Tindakan administratif yang dikenakan tercantum dalam pasal 61 PP Nomor 69 Tahun 1999. Tindakan tersebut beruapa peringatan tertulis, larangan peredaran produk untuk sementara waktu maupun penarikan produk, pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia, penghentian produksi, pengenaan denda (paling tinggi lima puluh juta rupiah), dan pencabutan izin produksi atau usaha.

(16)

6

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan dari bulan Februari sampai dengan Juni 2013, bulan pertama melakukan studi pustaka dan membuat instrumen penelitian. Pada bulan kedua dan ketiga melakukan pengambilan data primer di dua belas pasar di Kota Bogor serta pada bulan keempat dan kelima (mei dan juni) menyusun laporan penelitian.

Kerangka Pemikiran

Penelitian ini dilakukan dengan metode survei yang termasuk dalam penelitian deskriptif. Metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah. Menurut Kerlinger dan Lee (2000), penelitian survei mengkaji populasi (universe) yang besar dengan menyeleksi serta mengkaji sampel yang dipilih dari polpulasi tersebut.

Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan objek dalam penelitian dapat berupa orang, lembaga, masyarakat dan yang lainnya pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau apa adanya (Zulnaidi 2007). Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Menurut Nazir M (2003) penelitian deskriptif secara lebih umum dikenal dengan istilah metode survei walaupun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa metode yang dapat digunakan tidak hanya dengan metode survei.

Metode Penelitian

Metode penelitian menggunakan metode survei dengan teknik purposive

sampling dan pengambilan data primer menggunakan check sheet sebagai alat

pengumpul data serta teknik content analysis (analisis isi). Tipe penelitian ini tergolong ke dalam penelitian deskriptif (descriptive research) karena peneliti bertujuan untuk mengukur tingkat pemenuhan label kemasan terhadap regulasi yang berlaku sehingga diperoleh gambaran terhadap tingkat pemenuhan tersebut (Singarimbun dan Effendi 2008).

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dua tahap. Tahap pertama pengumpulan data dan tahap kedua adalah analisis data. Berikut ini penjelasan mengenai tahapan penelitian yang digunakan pada penelitian ini.

(17)

7 a). Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei menggunakan pengumpulan data primer. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan atau percobaan di laboratorium (Nasution 2007). Data label kemasan produk olahan daging dikumpulkan dari masing-masing minimarket (empat buah), supermarket (empat buah), dan hypermart (dua buah) yang berada di kota Bogor. Tempat dan lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Tempat dan lokasi pengambilan sampel produk olahan daging

Jenis Tempat Jumlah lokasi pengambilan sampel

Hypermart 2 lokasi pasar

Supermarket 4 lokasi pasar

Minimarket 3 lokasi pasar

Pasar Tradisional 3 lokasi pasar

Pada prinsipnya, seluruh produk olahan daging yang terdapat di pasar tradisional, hypermart, supermarket, dan minimarket yang dipilih akan diamati. Berbagai jenis pasar yang dipilih bersifat saling melengkapi.

b). Analisis Data

Analisis data hasil pengamatan informasi label produk olahan daging dilakukan dengan content analysis (analisis isi). Analisis isi dengan membandingkan kesesuain konten label produk dengan ketentuan regulasi yang berlaku saat ini yang dikenal dengan istilah Legal Analysis Research (Whitney dalam Gunanta 2007). Pada penelitian ini, label produk olahan daging akan dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Unsur-unsur label yang diamati dapat dilihat pada Lampiran 1.

Menurut Gunanta (2007) untuk menghitung tingkat pemenuhan persyaratan label rata-rata untuk setiap unsur atau kelompok unsur dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

TPP = ∑ 𝑈𝑖 𝑚 𝑛 𝑖=1 𝑥 100% 𝑛 Keterangan:

TPP : tingkat pemenuhan kriteria rata-rata unsur atau kelompok unsur Ui : jumlah merek yang memenuhi persyaratan unsur label ke-i m : jumlah seluruh merek produk olahan daging

n : jumlah unsur label

Disamping itu, dilakukan juga analisis sebaran tingkat pemenuhan persyaratan unsur label dengan menggunakan histogram. Penelitian ini didasarkan pada tahapan penelitian yang sesuai dengan validitas metodologi penelitian survei (Singarimbun dan Effendi 2008).

(18)

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Contoh Produk Olahan Daging yang Diteliti

Jumlah merek produk olahan daging yang diperoleh dari hasil pengumpulan contoh yang berasal dari 12 pasar (empat jenis pasar) di Kota Bogor ini berjumlah 63 merek. Beberapa pasar yang dijadikan tempat pengambilan sampel adalah 2

hypermart, 4 supermarket, 3 minimarket, serta 3 pasar tradisional yang berlokasi di

Kota Bogor, Jawa Barat. Produk olahan daging yang diteliti adalah jenis produk olahan daging yang dikemas dan dilabeli yang meliputi sosis, naget, bakso, jenis lain (chicken wing, karage, kornet, dan rolade). Merek yang memiliki banyak varian produk, hanya diambil satu contoh untuk diteliti pelabelannya karena diasumsikan untuk produk yang memiliki merek yang sama, pemenuhan terhadap pelabelannya juga sama. Merek yang terdapat di beberapa pasar tempat pengambilan contoh, hanya satu merek contoh yang diambil untuk mewakili. Sebaran merek yang diteliti beserta pasar yang menjual merek tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah merek contoh produk olahan daging yang ditemukan di setiap pasar di Kota Bogor

Jenis tempat Tempat pengambilan contoh

(Inisial) Jumlah merek yang didapat

Hypermart GB HB 29 9 Supermarket FE SI YJ RB 17 22 28 26 Minimarket Alf Ind Ala 11 2 6 Pasar Tradisional PB PA PG 9 9 1

Total jumlah merek yang diteliti 63 merek

Dari Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa produk olahan daging terbanyak dapat ditemui di pasar GB dan paling sedikit ditemukan di pasar tradisional PG. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan konsumen untuk membeli produk olahan daging pada lokasi pasar tertentu. Semakin banyak jumlah merek yang ditemukan pada suatu pasar mengindikasikan semakin banyak konsmen di pasar tersebut yang membeli produk olahan daging. Dilihat dari segi kategori jenis pasar, paling banyak ditemukan varian merek produk olahan daging adalah pada kategori jenis pasar supermarket sedangkan paling sedikit ditemukan jumlah varian merek adalah pada kategori jenis pasar minimarket.

Tabel 5 hanya menunjukkan jumlah merek yang ditemukan di lokasi pasar tersebut tanpa menampilkan irisan penemuan merek di setiap pasar, sedangkan

(19)

9 untuk mengetahui sebaran merek dan irisan penemuan merek di setiap lokasi pasar dapat dilihat di Lampiran 8. Pengambilan sampel merek produk olahan daging berdasarkan perbedaan lokasi pasar diharapkan dapat melengkapi perolehan sampel merek karena beberapa merek tertentu hanya dapat ditemukan di kategori jenis pasar tertentu pula. Hal ini berkaitan dengan segmentasi pasar dan konsumen. Selain itu, pengambilan sampel berdasarkan kategori jenis pasar dapat memberikan informasi apakah semakin besar kategori pasar semakin selektif terhadap produk yang dipasarkan dan mempertimbangkan label produk yang dipasarkan sesuai degan regulasi yang ada atau tidak, sehingga ini dapat menjadi masukan bagi BPOM juga pengelola pasar yang terkait. Olehkarena itu, pada pembahasan dibahas mengenai pemenuhan label berdasarkan kategori pasar.

Beberapa merek tertentu dapat ditemukan lebih dari di satu pasar sehingga setiap pasar memiliki irisan dengan pasar lainnya untuk keberadaan merek produk olahan daging yang dijual. Total merek yang diambil menjadi contoh untuk diteliti adalah sebanyak 63 merek. Pengambilan contoh di 12 pasar yang berbeda tersebut bersifat saling melengkapi. Semua merek yang didapatkan dari tiap pasar tersebut diamati. Apabila di tempat pengambilan contoh selanjutnya terdapat merek yang telah diamati di tempat sebelumnya, maka merek tersebut tidak diamati kembali.

Terdapat empat kelompok jenis produk olahan daging yang diamati antara lain adalah sosis, bakso, naget, serta jenis produk lain-lain. Sosis merupakan produk yang paling banyak ditemukan yakni 23 merek (37%), bakso 19 merek (30%), naget 11 merek (17%), dan jenis produk lain yang meliputi kornet, rolade, chikcken wing, ayam cincang, dan karage ditemukan 10 merek (16%) (Gambar 1). Perbedaan jumlah jenis produk menunjukkan tingkat peredaran jenis produk olahan daging yang beredar di pasar di Kota Bogor. Sosis merupakan produk olahan daging yang banyak diminati oleh konsumen di Indonesia (Mujiono 2009) sedangkan menurut Situmorang (2013) bakso merupakan produk olahan daging yang paling popoler di Indonesia. Selain itu, semua bakso yang ditemukan merupakan bakso sapi karena bakso sapi merupakan bakso yang paling disukai oleh konsumen (Suradi 2007). Oleh karena itu, kedua jenis produk ini yang mendominasi produk olahan daging yang beredar di pasar di Kota Bogor. Jenis produk lain-lain digabungkan menjadi satu kelompok karena memiliki jumlah yang sedikit/kecil sehingga akan lebih mudah memahami data sebaran jenis produk yang diamati. Berikut Gambar 1 yang menunjukkan persentase produk olahan daging yang ditemukan dari total 63 merek.

Gambar 1 Jenis produk olahan daging yang diamati

37% 30% 17% 16% Sosis Bakso Naget

(20)

10

Berdasarkan PP Nomor 69 Tahun 1999 dan SK Kepala BPOM (KBPOM RI Nomor HK.03.1.23.11.11.09909 Tahun 2011 tentang Pengawasan Klaim Dalam Label dan Iklan Pangan Olahan) bahwa pemenuhan aturan pelabelan dibahas dalam lima kelompok unsur pelabelan yang meliputi teknis pencantuman label, teknis penulisan label, keterangan minimum, keterangan lain pada label, serta keterangan yang dilarang untuk dicantumkan pada label.

Teknis Pencantuman Label

Label produk olahan daging umumnya dicantumkan pada bagian luar kemasan. Regulasi yang mengatur tentang teknis pencantuman label adalah PP 69 Tahun 1999 pasal 2 ayat 2 yang berbunyi “Pencantuman label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca “. Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa label kemasan pada produk harus tidak mudah lepas, tidak mudah luntur atau rusak, serta diletakkan pada tempat yang mudah dilihat.

Hasil pengamatan pada contoh produk olahan daging berlabel berdasarkan analisis teknis pencantuman label dapat dilihat di Lampiran 3. Hasil pengamatan menunjukkan bawa tingkat pemenuhan unsur teknis pencantuman label adalah sebanyak 25.40% dari 63 merek yang diamati atau dengan kata lain 47 merek dari 63 merek belum memenuhi teknis pencantuman label dengan benar. Pemenuhan ini merupakan yang paling rendah apabila dibandingkan dengan kelompok unsur label yang lain pada kemasan produk olahan daging yang diteliti. Berdasarkan pengamatan teknis pencantuman label pada produk olahan daging, kesalahan yang seringkali dilakukan adalah penulisan kode produksi dan tanggal kadaluwarsa yang mudah hilang dengan cara digosok dengan menggunakan jari sehingga menyalahi aturan pencantuman label. Selain itu pencantuman label yang menggunakan stiker yang ditempel pada kemasan (tidak tercetak pada kemasan) sehingga mudah dikelupas atau dicopot. Hal ini juga menyalahi aturan pelabelan yang berlaku. Kemasan yang benar adalah tercetak langsung pada kemasan sehingga tidak mudah luntur atau rusak.

Teknis Penulisan Label

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap label produk daging olahan (Lampiran 2) dapat dilihat bahwa pemenuhan terhadap aturan penulisan label produk olahan daging yang beredar di pasar di Kota Bogor adalah sebanyak 84.13% atau dengan kata lain 10 merek dari 63 merek yang diamati belum memenuhi aturan penulisan label yang sesuai dengan PP 69 Tahun 1999 pasal 13 ayat 1 dan 2 serta pasal 15 sebagai berikut:

a. Pasal 13 ayat 1: “Bagian utama Label sekurang-kurangnya memuat tulisan tentang keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dengan teratur, tidak berdesak-desakan, jelas dan dapat mudah dibaca.

(21)

11 b. Pasal 13 ayat 2: “Dilarang menggunakan latar belakang, baik berupa Gambar, warna maupun hiasan lainnya, yang dapat mengaburkan tulisan pada bagian utama Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

c. Pasal 15: “Keterangan pada Label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin.”

Berdasarkan pada dua pasal tersebut maka penulisan label pada kemasan harus mudah dibaca, menggunakan warna tulisan yang berlawanan dengan warna latar kemasan sehingga mudah dibaca, tidak berdesak-desakan, tidak menggunakan huruf dan bahasa asing (untuk yang memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia) dan jelas sehingga mudah dibaca. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 15.87% (10 merek dari 63 merek yang diamati) yang beredar di pasar di Kota Bogor masih belum sesuai dengan aturan teknis pencantuman label. Teknis penulisan label merupakan pemenuhan terhadap aturan pelabelan urutan kedua terendah setelah teknis pencantuman label untuk produk olahan daging yang beredar di pasar di Kota Bogor. Kesalahan yang ditemukan dari hasil pengamatan untuk teknis penulisan label adalah menggunakan bahasa asing dan menggunakan warna tulisan yang mirip dengan latar kemasan sehingga tulisan sulit untuk dibaca. Berdasarkan hasil pengamatan pada penelitian ini, bahasa asing yang sering digunakan adalah bahasa Inggris, bahasa Jepang dan bahasa Jerman. Bahasa asing biasanya digunakan untuk menuliskan nama produk (chicken wing, karage, dan bruchwurst), unsur tanggal kadaluwarsa (best before), dan unsur keterangan promosi (I like it!). Data analisis teknis penulisan label terdapat pada Lampiran 4.

Keterangan Minimum Label

Pemenuhan keterangan minimum label diatur oleh PP 69 Tahun 1999 pada pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 sebagai berikut:

a. Pasal 3 ayat (1) Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan.

b. Pasal 3 ayat (2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang kurangnya memuat:

1. nama produk;

2. daftar bahan yang digunakan; 3. berat bersih atau isi bersih;

4. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia;

5. tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa.

Berdasarkan pasal tersebut maka kemasan produk olahan daging harus memuat 5 keterangan minimal yang disebutkan di atas. Hasil pengamatan terhadap 63 merek contoh menunjukkan 90.16% (57 merek) sudah memenuhi ketentuan ini. Data lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.

(22)

12

Tabel 6 Pemenuhan kelompok keterangan minimum label produk olahan daging di beberapa pasar di Kota Bogor (dari total 63 merek)

Unsur label Jumlah merek yang memenuhi

aturan (dari total 63 merek)

TPP (%)

Nama produk pangan 61 96.83%

Daftar bahan 61 96.83%

Berat bersih 46 73.02%

Nama dan alamat produsen 56 88.89%

Tanggal kadaluwarsa 60 95.24%

Rata-rata 90.16%

Keterangan: TPP: Tingkat Persentase Pemenuhan

Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa pemenuhan yang paling tinggi untuk keterangan minimum adalah pencantuman nama produk dan daftar bahan yang memenuhi 96.83% (61 merek) diikuti pencantuman tanggal kadaluwarsa 95.24% (60 merek) kemudian pencantuman alamat produsen yang memenuhi sebanyak 88.89% (56 merek) serta yang paling rendah adalah pemenuhan terhadap pencantuman berat bersih sebesar 73.02% (46 merek). Kesalahan yang ditemukan bedasarkan hasil pengamatan adalah tidak mencantumkan keterangan minimal tersebut pada kemasan. Selain itu, untuk berat bersih tidak dicantumkan dalam satuan gram/kilogram namun dicantumkan dalam satuan pcs (pieces) atau “buah”. Hal ini menyalahi aturan pada pasal 23 PP 69 Tahun 1999 sebagi berikut:

Pasal 23 Berat bersih atau isi bersih harus dicantumkan dalam satuan metrik: a. dengan ukuran isi untuk makanan cair;

b. dengan ukuran ukuran berat untuk makanan padat;

c. dengan ukuran isi atau berat untuk makanan semi padat atau kental. Berdasarkan data hasil pengamatan tersebut pemenuhan terhadap keterangan minimum label tergolong tinggi (90.16% atau 57 dari 63 ), sehingga produk olahan daging yang beredar di Kota Bogor sebagian besar telah memenuhi aturan pencantuman keterangan minimum pada label kemasan.

Keterangan Lain pada Label

Keterangan lain pada label pada dasarnya tidak wajib untuk dicantumkan, namun dapat menjadi wajib dicantumkan karena alasan atau sebab-sebab tertentu. Landasan hukum untuk hal ini terdapat pada PP 69 Tahun 1999 pasal 10 serta pasal 38 hingga pasal 43. Sebagai contoh pembahasan maka akan dibahas pasal 10 dan pasal 40 tentang metode penyimpanan. Pasal 10 ayat (1) menyatakan setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label sedangkan pada ayat (2) menyatakan pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label.

Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa keterangan halal dapat menjadi wajib untuk dicantumkan apabila produsen mengklaim bahwa produk yang dihasilkannya

(23)

13 adalah halal. Keterangan halal ini wajib dicantumkan pada kemasan produk pangan tesebut walaupun aturan dasar mencantumkan logo halal pada kemasan adalah bersifat volunteery (sukarela/tidak diwajibkan). Namun, menjadi wajib mencantumkan logo halal apabila produsen mengklaim produknya adalah halal.

Pasal 40 PP 69 Tahun 1999 menyebutkan dalam hal mutu suatu pangan tergantung pada cara penyimpanan atau memerlukan cara penyimpanan khusus, maka petunjuk tentang cara penyimpanan harus dicantumkan pada label.

Berdasarkan pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa mencantumkan metode penyimpanan adalah tidak wajib dicantumkan, namun apabila produk yang dihasilkan akan mengalami perubahan mutu tertentu ketika tidak disimpan dengan metode penyimpanan tertentu maka petunjuk tentang tata cara penyimpanan menjadi wajib untuk dicantumkan pada kemasan. Sebagai contoh, ketika suatu produsen memproduksi kerupuk udang maka metode penyimpanan tidak wajib untuk dicantumkan karena kerupuk udang tidak akan berubah ketika disimpan pada suhu dan kondisi ruang biasa. Berbeda ketika produsen yang memproduksi produk olahan daging yang akan rusak mutunya bahkan akan beresiko terhadap keamanannya ketika dikonsumsi (seperti contoh yang diamati pada penelitian ini) maka produsen wajib mencantumkan metode penyimpanan yang sesuai dengan produk olahan daging tersebut yakni disimpan pada kondisi dingin ((-15)°C - 0°C). Pada penelitian ini ada 11 jenis keterangan lain yang diamati berdasarkan PP 69 Tahun 1999 terhadap produk olahan daging. Berikut Tabel 7 menjelaskan pemenuhan terhadap keterangan lain pada produk olahan daging.

Tabel 7 Pemenuhan kelompok keterangan lain pada label produk olahan daging di beberapa pasar di Kota Bogor (dari total 63 merek)

No Unsur label

Jumlah merek yang memenuhi aturan (dari total 63 merek)

TPP (%)

1 Manfaat pangan bagi kesehatan 63 100%

2 Pernyataan halal 51 80.95%

3 Nomor pendaftaran pangan 61 96.83%

4 Kode produksi 50 79.37%

5 Keterangan kandungan gizi (nutrition

facts)

63 100%

6 Iradiasi pangan 63 100%

7 Produk pangan rekayasa genetik 63 100%

8 Produk sintesis dari bahan baku alamiah

63 100%

9 Produk pangan olahan tertentu 63 100%

10 Keterangan Bahan Tambahan Pangan 42 66.67%

11 Keterangan mengenai metode

penyimpanan

43 68.25%

Rata-rata 90.19%

Keterangan: TPP: Tingkat Persentase Pemenuhan

Pada Tabel 7 dapat kita lihat bahwa pemenuhan paling tinggi untuk kelompok keterangan lain pada label adalah pemenuhan terhadap unsur label manfaat pangan bagi kesehatan, keterangan kandungan gizi (nutrition facts),

(24)

14

iradiasi pangan, produk pangan rekayasa genetik, produk sintesis dari bahan baku alamiah, dan produk pangan olahan tertentu yang masing-masing mencapai pemenuhan maksimal 100%. Hal ini disebabkan unsur ini tidak dicantumkan dan tidak ada sebab-sebab yang mewajibkan unsur ini dicantumkan sehingga pemenuhannya mencapai 100%. Pemenuhan keterangan bahan tambahan pangan (BTP) merupakan pemenuhan terendah yakni mencapai 66.67% (42 merek) yang memenuhi. Beberapa kesalahan pencantuman BTP pada kemasan adalah tidak menuliskan golongan BTP, tidak menjelaskan mengandung BTP sesuai aturan, dan hanya menyebutkan bahan tambahan saja. Berdasarkan PP 69 Tahun 1999 tentang tata cara penulisan BTP diatur pada pasal 43 ayat 1.

Pasal 43 ayat (1) menyatakan Selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), pada Label untuk Bahan Tambahan Pangan wajib dicantumkan:

a. tulisan Bahan Tambahan Pangan;

b. nama golongan Bahan Tambahan Pangan;

c. nama Bahan Tambahan Pangan, dan atau nomor kode internasional yang dimilikinya.

Berdasarkan pasal tersebut maka kesalahan-kesalahan yang telah disebutkan di atas menjadi pelanggaran sehingga belum dikatakan memenuhi aturan pelabelan ketika hanya mencantumkan “monosodium glutamate (msg)” seharusnya mencantumkan secara lengkap yakni “penguat rasa monosodium

glutamate (msg)”.

Pernyataan halal memenuhi sebesar 80.19% (51 merek mencantumkan logo halal dengan benar). Hasil pengamatan menunjukkan beberapa kesalahan yang ditemukan adalah menggunakan logo halal tidak tersertifikasi MUI (bukan logo halal MUI) dan atau tidak ada nomor registrasi halal MUI. Beberapa merek ditemukan masih menggunakan logo halal umum (tulisan halal dalam huruf arab). Berikut contoh Gambar logo halal yang digunakan pada kemasan.

Gambar 2 Contoh perbandingan logo halal MUI (kiri) dan logo halal bukan MUI (kanan)

Gambar 2 sebelah kiri merupakan contoh gambar logo yang benar untuk dapat digunakan pada kemasan sedangkan sebelah kanan merupakan contoh gambar logo halal salah sehingga tidak boleh digunakan. Produk yang menggunakan logo halal yang tidak sesuai dengan contoh gambar logo halal yang benar (Gambar 2 sebelah kanan) seperti di atas dikategorikan sebagai produk yang belum/tidak memenuhi pencantuman pernyataan halal. Logo halal merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap konsumen yang beragama Islam. Selain itu, menurut Falah (2004) label halal pada produk olahan daging sapi menjadi hal yang paling diutamakan oleh konsumen yang memiliki pendapatan yang tinggi.

(25)

15 Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beragama Islam sehingga bagi umat Islam mengkonsumsi makanan halal merupakan suatu kewajiban (seperti sholat dan puasa). Pencantuman logo halal yang belum memenuhi sebagian besar disebabkan oleh produsen kecil dan menengah. Selain itu, pengawasan terhadap label halal yang telah ada di pasaran belum optimal dilakukan dan produsen pangan olahan terutama industri menengah dan industri kecil seringkali tidak memenuhi aturan yang berlaku (Utami 2004). Hal ini menjadi evaluasi bagi pemerintah dan lembaga yang terkait untuk melakukan tindakan pengawasan yang lebih ketat terhadap produk yang memiliki resiko keharaman agar dapat mencantumkan logo halal yang benar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Pemenuhan terhadap nomor pendaftaran pangan cukup baik yakni mencapai 96.83% (61 merek) atau dengan kata lain hanya 2 yang tidak mencantumkan nomor pendaftaran pangan. Sebagian besar produk yang diamati pada penelitian ini memiliki jenis nomor pendaftaran MD. Berikut ini data mengenai jenis pangan berdasarkan nomor pendaftaran pangan yang diteliti.

Gambar 3 Jenis nomor pendaftaran produk pangan yang diamati

Dapat dilihat pada Gambar 3 di atas bahwa produk yang diteliti sebanyak 86% (54 merek) memiliki jenis MD (diproduksi di dalam negeri dengan izin BPOM) dan IRT-P atau PIRT (dirpoduksi oleh perusahaan rumah tangga dengan izin dinas kesehatan) sebanyak 14% (9 merek). Nomor pendaftaran pangan adalah nomor yang diberikan untuk satu jenis produk pangan yang diproduksi di suatu perusahaan (Gunanta 2007). Selain itu menurut Keputusan Kepala BPOM nomor 00/05.1.2569 nomor pendaftaran pangan sebagai syarat produk menjadi legal untuk dipasarkan (izin edar). Nomor pendaftaran MD diperuntukkan bagi perusahaan yang bermodal besar yang diproduksi di dalam negeri serta ML untuk produk-produk impor (diproduk-produksi di luar negeri). Produk olahan daging yang ditemukan di pasar di Kota Bogor tidak ada yang memiliki jenis nomor pendaftaran pangan ML. Sebagian besar produk yang diamati memiliki jenis pendaftaran MD (terdaftar di BPOM) namun masih memiliki kesalahan/kekurangan pada pemenuhan label padahal ketika mendaftarkan produknya, produsen pangan harus melampirkan contoh label yang digunakan. Hal ini menjadi catatan penting bagi BPOM untuk memeriksa kelengkapan pemenuhan label pangan produk pada saat produsen

IRT-P 14% MD

(26)

16

mendaftarkan produknya. Selain itu, perlu diadakan investigasi lapangan untuk memastikan kesesuaian label produk yang beredar dengan aturan yang berlaku.

Pemenuhan terhadap pencantuman kode produksi dan metode penyimpanan tergolong rendah. Pemenuhannya mencapai 79.37% untuk kode produksi dan 68.25% untuk pencantuman metode penyimpanan. Tidak mencantumkan kode produksi dan metode penyimpanan merupakan pelanggaran terhadap aturan pelabelan. Walaupun tidak semua produk pangan wajib mencantumkan metode penyimpanan pada label, tetapi untuk produk olahan daging hal ini menjadi wajib karena produk olahan daging akan berubah mutu dan karakteristik produknya apabila tidak disimpan berdasarkan metode penyimpanan yang tepat bahkan berpotensi menyebabkan kerusakan produk dan bahaya untuk dikonsumi. Hal ini disbabkan karena produk olahan daging termasuk kategori pangan perishable (mudah rusak). Bahaya kerusakan yang disebabkan oleh mikroba (bakteri) mudah sekali terjadi pada produk olahan daging. Pemenuhan pencantuman metode penyimpanan merupakan pemenuhan terendah kedua setelah pencantuman BTP pada kelompok keterangan lain.

Keterangan yang Dilarang untuk Dicantumkan pada Label

Peraturan Pemerintan Nomor 69 Tahun 1999 juga menjelaskan beberapa keterangan yang dilarang untuk dicantumkan pada label pangan. Hal ini berkaitan erat dengan kebenaran informasai yang disampaikan melalui label. Beberapa keterangan yang dilarang menurut PP 69 Tahun 1999 antara lain adalah keterangan yang tidak benar dan menyesatkan berupa gambar maupun tulisan, pangan dapat berfungsi obat, mencantumkan nama dan lembaga yang menganalisis produk pangan, keterangan bahwa pangan mengandung zat gizi lebih unggul dari produk pangan lain, keterangan pangan terbuat dari bahan baku alamiah padahal hanya sebagian atau tanpa bahan baku alamiah dalam proses pembuatannya, keterangan pangan terbuat dari bahan segar apabila terbuat dari bahan jadi/setengah jadi.

Pemenuhan tidak mencantumkan keterangan yang dilarang pada label mencapai 100% kecuali untuk pemenuhan tidak mencantumkan keterangan yang tidak benar dan menyesatkan (79.37%), tidak mencantumkan keterangan lembaga analisis (98.41%), serta tidak mencantumkan keterangan terbuat dari bahan segar (88.89%). Berdasarkan penjelasan PP Nomor 69 Tahun 1999 pasal 5 mengenai keterangan yang tidak benar dan menyesatkan menyebutkan keterangan yang tidak benar yang dimaksud merupakan suatu keterangan yang isinya bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya atau tidak memuat keterangan yang diperlukan agar keterangan tersebut dapat memberikan gambaran atau kesan yang sebenarnya tentang pangan. Berikut Tabel 8 menampilkan data mengenai pemenuhan tidak mencantumkan kelompok keterangan yang dilarang dicantumkan pada label.

(27)

17 Tabel 8 Pemenuhan tidak mencantumkan kelompok keterangan yang dilarang pada

label produk olahan daging di Beberapa Pasar di Kota Bogor

No Unsur label

Jumlah merek yang memenuhi aturan (dari total 63 merek)

TPP (%) 1 Keterangan yang tidak benar dan

menyesatkan 50 79.37%

2 Pangan dapat berfungsi sebagai obat 63 100%

3 Mencantumkan nama dan lembaga

yang menganalisis produk pangan 62 98.41%

4 Keterangan bahwa pangan

mengandung zat gizi lebih unggul dari produk lain

63 100%

5 Keterangan bahwa pangan terbuat dari bahan baku alamiah apabila hanya sebagaian bahan baku alamiah dalam pembuatannya

63 100%

6 Keterangan pangan terbuat dari bahan segar apabila hanya terbuat dari bahan setengah jadi/bahan jadi

56 88.89%

Rata-rata 94.44%

Keterangan: TPP: Tingkat Persentase Pemenuhan

Pada Tabel 8 juga dapat dilihat bahwa pemenuhan tidak mencantumkan keterangan yang tidak benar adalah yang paling rendah yakni sebesar 79.37% atau dengan kata lain, 13 merek dari 63 merek yang diamati masih mencantumkan keterangan yang tidak benar dan menyesatkan. Berdasarkan hasil pengamatan pelanggaran yang dilakukan antara lain adalah menuliskan kata-kata "super" atau "pilihan" pada label, menuliskan bakso rasa sosis, kaya rasa dan gizi tanpa ada

nutrition fact dan landasan ilmiah, mencantumkan gambar mini burger tapi produk

di dalamnya adalah sosis, serta mencantumkan gambar tokoh kartun (Kenshin Himura/Samurai X pada produk sosis). Pemenuhan terendah kedua pada kelompok keterangan yang dilarang dicantumkan ini adalah tidak mencantumkan keterangan terbuat bahan segar padahal produk olahan daging dibuat melalu serangkaian proses sehingga tidak dapat lagi diklaim sebagai daging segar. Hal ini sesuai dengan aturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.11.11.09909 Tahun 2011 tentang Klaim Pangan Olahan. Pemenuhan aturan tidak mencantukan keterangan terbuat dari bahan segar adalah 88.89% atau dengan kata lain 7 merek dari 63 merek masih mencantumkan terbuat dari bahan segar. Pelanggaran yang dilakukan berdasarkan hasil pengamatan adalah mencantumkan daging sapi segar pada kemasan. Merek yang mencantumkan lembaga analisis pada label kemasan hanya dilakukan oleh 1 merek dari 63 merek sehingga pemenuhan terhadap regulasi tidak mencantumkan lembaga analisis mencapai 98.41%. Kemungkinan alasan pencantuman lembaga analisis pada label kemasan adalah sebagai sarana promosi dan untuk meningkatkan kredibilitas produk.

(28)

18

Tingkat Pemenuhan Pelabelan Rata-rata

Sebaran rata-rata tingkat pemenuhan dapat dilihat pada Tabel 9. Pada Tabel tersebut terlihat bahwa pemenuhan syarat unsur pelabelan rata-rata dari terendah hingga tertinggi yaitu teknis pencantuman label (25.40%), tulisan pada label (84.13%), keterangan lain pada label (90.19%), keterangan minimum label (90.16%), dan keterangan yang dilarang dicantumkan (94.44%). Berdasarkan hasil penelitian ini, rata-rata pemenuhan terhadap aturan pelabelan produk olahan daging di pasar di Kota Bogor adalah 76.86%. Berikut Tabel 9 menunjukkan data mengenai pemenuhan rata-rata produk olahan daging terhadap peraturan pelabelan.

Tabel 9 Tingkat pemenuhan rata-rata syarat label kemasan produk olahan daging di beberapa pasar di Kota Bogor (total 63 )

Kelompok unsur label TPP (%)

Teknis pencantuman label 25.40%

Tulisan pada label 84.13%

Keterangan minimum label 90.16%

Keterangan lain pada label 90.19%

Tidak mencantumkan keterangan yang dilarang dicantumkan 94.44%

Rata-rata 76.86%

Keterangan: TPP: Tingkat Persentase Pemenuhan

Hasil analisis dari 63 merek produk olahan daging yang disajikan pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa teknis pencantuman label memiliki pemenuhan rata-rata yang paling rendah serta memiliki jarak pemenuhan yang sangat jauh dibandingkan dengan kelompok unsur lainnya. Tingkat pemenuhan teknis pencantuman label tergolong rendah disebabkan oleh banyaknya produk yang menggunakan cap yang mudah hilang untuk mencantumkan tanggal kadaluwarsa. Produk dengan jenis MD sebanyak 40 merek dari 54 merek masih menggunakan cap untuk pencantuman tanggal kadaluwarsa sedangkan jenis PIRT sebanyak 7 merek dari 9 merek yang diamati masih menggunakan cap yang mudah hilang untuk mencantumkan tanggal kadaluwarsa. Olehkarena itu, hal ini menjadi masukan bagi BPOM untuk dapat melakukan sosialisasi dan pengawasan terkait teknis pencantuman label. Fenomena ini menunjukkan bahwa produsen belum memperhatikan dengan baik pelabelan dari aspek regulasi, sebagian besar hanya memperhatikan dari aspek promosi dan informasi. Analisis terhadap pemenuhan tiap kelompok unsur label pada Tabel 9 dapat dilihat di Lampiran 3, Lampiran 4, Lampiran 5, Lampiran 6 dan Lampiran 7.

(29)

19

Pemenuhan Label Berdasarkan Jenis Produk

Jenis produk yang diamati meliputi naget, sosis, bakso, dan jenis produk lain (kornet, spicy wing, ayam cincang, rolade, dan karage). Pemenuhan berdasarkan jenis produk yang diamati dapat dilihat pada Gambar 4. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa pemenuhan label yang paling rendah adalah produk bakso yakni sebesar 73.41% , yang palin tinggi adala jenis produk lain-lain (kornet,

spicy wing, ayam cincang, rolade, dan karage) disusul pemenuhan naget 78.35%,

dan diurutan ketiga pemenuhan jenis produk sosis sebesar 75.39%. Jumlah yang diteliti untuk tiap jenis produk berbeda jumlahnya. Produk sosis yang damati sebanyak 23 merek, naget sebanyak 11 merek, bakso sebanyak 19 merek serta jenis produk lain sebanyak 10 merek. Gambar 4 menjelaskan pemenuhan label berdasarkan jenis produk.

Gambar 4 Tingkat pemenuhan label berdasarkan jenis produk

Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa jenis produk tidak berpengaruh besar terhadap pemenuhan regulasi pelabelan. Namun jenis produk yang paling rendah pemenuhan pelabelannya adalah jenis produk bakso. Hal ini dikarenakan bakso banyak diproduksi oleh industri rumah tangga (PIRT). Menurut Utami (2004) produsen pangan olahan terutama industri menengah dan industri kecil seringkali tidak memenuhi aturan pelabelan yang berlaku.

Pemenuhan Label Berdasarkan Jenis Pasar

Pasar sebagai tempat pengambilan sampel yang diamati memiliki empat jenis utama yakni pasar tradisional, minimarket, supermarket, dan hypermarket. Pada metode penelitian telah dijelaskan empat jenis pasar tempat pengambilan sampel tersebut. Setiap setiap jenis pasar diambil dua hingga empat pasar sebagai

75.39% 78.35% 73.41% 78.68% 70.00% 72.00% 74.00% 76.00% 78.00% 80.00% Sosis (23 merek) Naget (11 merek) Bakso (19 merek) Jenis produk lain (10 merek)

(30)

20

lokasi pengambilan sampel. Pemenuhan label berdasarkan jenis pasar dapat dilihat pada Gambar 5 berikut.

Gambar 5 Tingkat pemenuhan label berdasarkan jenis pasar

Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa pemenuhan paling tinggi berdasarkan jenis pasar adalah hypermarket dan minimarket yakni mencapai 78.20%, kemudian pasar tradisional 77.56%, sedangkan yang terendah adalah supermarket sebesar 74.30%. Gambar 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi kategori pasar tidak menentukan pemenuhan terhadap pelabelan semakin baik. Terlihat bahwa pemenuhan pasar jenis supermarket merupakkan pemenuhan terendah. Supermarket tidak begitu selektif terhadap produk yang dijual memenuhi regulasi pelabelan atau tidak. Hal ini dapat menjadi masukan bagi pihak pengelola supermarket untuk dapat mempertimbangkan pemenuhan regulasi pelabelan produk menjadi salah satu syarat untuk produk tersebut dapat dijual di supermarket. Selain itu, hal ini menjadi informasi untuk BPOM bahwa kategori pasar yang lebih tinggi atau lebih profesional tidak menentukan pemenuhan regulasi pelabalen lebih baik.

Tingkat pemenuhan syarat unsur keterangan minimum label untuk produk olahan daging berdasarkan jenis pasar dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.

Gambar 6 Tingkat pemenuhan syarat unsur keterangan minimum label berdasarkan jenis pasar

77.56% 78.20% 74.30% 78.20% 72.00% 73.00% 74.00% 75.00% 76.00% 77.00% 78.00% 79.00% Pasar tradisional

Minimarket Supermarket Hypermarket

Ting k a t pe rse nt a se pe m enuha n Jenis pasar 0 5 10 15 20 25 30 35 1 2 3 4 5 Ju mlah me re k

Jumlah unsur keterangan minimum yang dipenuhi

(31)

21 Pada Gambar 6, dapat dilihat bahwa pemenuhan terhadap keterangan minimum pada label yang paling banyak adalah pasar jenis supermarket dan

hypermarket berada di urutan kedua. Pasar tradisional memiliki jumlah merek yang

paling rendah untuk pemenuhan keterangan minimal label sedangkan untuk prouduk olahan daging yang berada di pasar jenis minimarket seluruh produk yang dijual telah memenuhi keterangan minimal (pemenuhan 100%). Hal ini menunjukkan data yang berkebalikan dengan pemenuhan rata-rata. Pemenuhan rata-rata jenis pasar supermarket memiliki persentase pemenuhan yang paling rendah namun untuk keterangan minimum memiliki jumlah merek yang paling banyak memenuhi keseluruhan unsur keterangan minimum. Hal ini disebabkan jumlah produk yang terdapat di supermarket memiliki jumlah paling banyak diantara jumlah merek di jenis pasar lainnya (lihat Tabel 5) sehingga hal inilah yang menyebabkan persentase pemenuhan rata-rata yang rendah karena memiliki pembagi yang besar.

Pemenuhan Label Berdasarkan Jenis Nomor Pendaftaran (MD/PIRT)

Produk yang diamati pada penelitian ini terdiri dari dua jenis nomor pendaftaran pangan yakni jenis MD dan PIRT. Tidak ditemukan produk olahan daging yang beredar di pasar Kota Bogor dengan berjenis pendaftaran ML. Jumlah dengan jenis PIRT sebanyak 9 merek sedangkan dengan jenis MD sebanyak 54 merek. Hasil pengamatan menunjukkan pemenuhan teradap label kemasan produk olahan daging dengan jenis MD lebih tinggi daripada jenis PIRT.

Gambar 7 Tingkat pemenuhan label berdasarkan jenis nomor pendaftaran pangan 76.63% 71.77% 69.00% 70.00% 71.00% 72.00% 73.00% 74.00% 75.00% 76.00% 77.00% MD PIRT P er sent a se pem enuh a n

(32)

22

Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa pemenuhan label berdasarkan jenis nomor pendaftaran pangan. Nomor pendaftaran pangan berjenis MD mencapai pemenuhan rata-rata 76.63% sedangkan untuk jenis PIRT mencapai tingkat pemenuhan 71.77%. Jenis Pendaftaran MD memiliki pemenuhan lebih tinggi daripada PIRT. Namun pada produk olahan daging seharusnya tidak diperbolehkan menggunakan jenis pendaftaran PIRT Karen produk olahan daging merupakan produk high risk terhadap resiko keamanan pangan seperti halnya produk susu dan olahannya serta produk AMDK (Air Minum dalam Kemasan). Pemenuhan regulasi pelabelan untuk jenis MD masih dibawah 80% hal ini menjadi masukan untuk BPOM agar melakukan pengawasan pra dan pasca pemberian perizinan MD. Masih adanya pelanggaran terhadap regulasi pelabelan dengan jenis pendaftaran MD dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya pemeriksaan label sebelum pengeluaran nomor perizinan dan perubahan label tanpa adanya konfirmasi ke pihak BPOM setelah perizinan didapatkan perusahaan. Hal ini diperlukan adanya pemeriksaan sebelum pengeluaran perizinan serta pengawasan di pasaran setelah produk mendaptkna nomor perizinan. Selain itu, adanya sanksi yang tegas bagi pelanggaran terhadap aturan pelabelan serta perubahan desain label tanpa adanya konfirmasi ke pihak BPOM dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi terjadinya pelanggaran semacam ini. Pemenuhan keterangan minimum berdasarkan jenis nomor pendaftaran pangan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Tingkat pemenuhan syarat unsur keterangan minimum label berdasarkan jenis nomor pendaftaran pangan

Berdasarkan Gambar 8 dapat kita lihat bahwa jenis nomor pendaftaran MD (54 merek yang diamati) sebagian besar (40 merek) telah memenuhi aturan label keterangan minimum secara lengkap sedangkan untuk jenis nomor pendaftaran PIRT baru 2 merek (dari total 9 merek yang diamati) yang memenuhi secara penuh untuk keterangan minimum label. Pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi label terutama keterangan minimum label terhadap produsen PIRT. Selain itu, diperlukan pengawasan yang ketat dan berkelanjutan untuk pangan yang beredar terutama yang telah memiliki nomor pendaftaran pangan serta pemberian sanksi yang tegas terhadap label yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan pelabelan yang berlaku.

0 1 4 8 40 0 1 3 3 2 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 1 2 3 4 5 Ju m lah m ere k

Jumlah unsur keterangan minimum yang dipenuhi

MD PIRT

(33)

23

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Analisis label dari 63 merek produk olahan daging yang diambil dari 12 pasar di Kota Bogor memiliki pemenuhan rata-rata 76.86%. Ada 5 kelompok unsur label yang diamati yaitu teknis pencantuman label, teknis penulisan label, keterangan minimum label, keterangan lain pada label, dan keterangan yang dilarang dicantumkan. Pemenuhan rata-rata kelompok unsur label dari 63 merek yang diamati tersebut secara berurutan adalah sebesar 25.40%, 84.13%, 90.16%, 90.19%, 94.44%. Pemenuhan rata-rata berdasarkan empat jenis pasar adalah pasar tradisional 77.56%, mimimarket 78.20%, supermarket 74.30%, dan hypermarket 78.20% sedangkan untuk jumlah merek yang memenuhi seluruh unsur keterangan minimum paling banyak terdapat di supermarket yaitu 33 merek dan paling sedikit terdapat di pasar tradisonal yaitu sebanyak 10 merek.

Saran

Perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti terhadap pemenuhan syarat label bagi produk yang didaftarakan kepada lembaga yang berwenang sehingga ketika produk telah memiliki nomor pendaftaran pangan telah sesuai dan memenuhi aturan pelabelan yang berlaku. Selain itu, diperlukan pengawasan yang lebih ketat dan berkelanjutan terhadap label produk yang beredar di pasaran sebagai upaya perlindungan konsumen khususnya untuk produk yang high risk dari segi keamanan serta kehalalanya. Diperlukan pula analisis untuk produk pangan lainnya sehingga didapatkan gambaran menyeluruh mengenai pemenuhan terhadap aturan pelabelan untuk produk-produk yang beredar di pasaran.

DAFTAR PUSTAKA

Ayanwale BA, Ocheme OB, Oloyede OO. 2007. The effect of sun-drying and oven

drying on the nutritive value of weat pieces in hot humid environment.

Pakistan Journal of Nutrition. 6(4): 370-374

Blanchfield. 2000. Food Labelling. Cambridge (US): Woodhead Publishing Limited.

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan (ID). 2001. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan nomor 00./05.1.2569 tentang Kriteria dan Tata Laksana Penilaian Produk Pangan. Badan Pengawas Obat dan Makanan

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan (ID). 2011. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan nomor HK.03.1.23.11.11.09909 tentang Klaim Pangan Olahan. Badan Pengawas Obat dan Makanan

(34)

24

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan (ID). 2012. Laporan Tahunan Badan POM RI Tahun 2011. http://www.pom.go.id/ppid/rar/LAPTAH 2011.pdf (diakses pada tanggal 6 Februari 2013)

[BPS] Badan Pusat Statistik (ID). 2012. Survei Sosial-Ekonomi Nasional,

2007-2011 BPS. http://www.bps.go.id (diakses pada tanggal 6 Februari

2013)

[BSN] Badan Standarisasi Nasional (ID). 2008. SNI 3932:2008 tentang mutu karkas dan daging sapi.

http://blog.ub.ac.id/cdrhprimasanti90/files/2012/10687_SNI-3932 2008-Mutu-Karkas-dan-Daging-Sapi.pdf. (diakses pada tanggal 6 Juni 2013) [CAC] Codex Alimentarius Comission. 2012. Codex stan 1-1985.

http://www.codexalimentarius.org/standards/list-of-standards/en (diakses pada tanggal 6 Juni 2013)

Falah AM. 2004. Tingkat Kepentingan Label Halal Bagi Konsumen Muslim dalam Mengkonsumsi Produk Olahan Daging Sapi di Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Gunanta P. 2007. Mempelajari Pemenuhan Syarat Label dari Beras Berlabel di Beberapa Swalayan di Jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

[Kementan] Kementrian Pertanian. Konsumsi Daging Rata-rata.. http://www.deptan.go.id/Indikator/tabe-15b-konsumsi-rata.pdf (diakses pada tanggal 1 Februari 2013)

Kerlinger FN, Lee HB. 2000. Foundations of Behavioral Reasearch. 4th Edition. Orlando (USA): Harcourt College Publishers

Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan A Parakassi. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press

Maradhika V. 2012. Kajian Pemenuhan Syarat Label Minuman Sari Buah (Kemasaan Siap Minum) di Beberapa Pasar Swalayan di Kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

[MUI] Majelis Ulama Indonesia. 2011. Logo halal MUI.

http://allfreelogo.blogspot.com//2011/05/logo-halal-mui.html&docid=L5k5zlWUdbE3cM&imgurl=http://4.bp.blogspot.com (diakses pada tanggal 24 Mei 2013)

Mujiono. 2009. Studi Pengawetan Sosis Menggunakan Asam Asetat-Ekstrak Lengkuas (Alpinia galangal L) dan Analisis Kelayakan Finansial [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Nasution S. 2007. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta (ID): Bumi Aksara Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta (ID): Penerbit Ghalia Indonesia

Rahayu WP. 2011. Keamanan Pangan Peduli Kita Bersama. Bogor (ID): PT Penerbit IPB Press, Kampus IPB Taman Kencana Bogor

Rahayu WP, Nurwitri CC. 2012. Mikrobiologi Pangan. Bogor (ID): PT Penerbit IPB Press, Kampus IPB Taman Kencana Bogor

Rahmawati Y. 2012. Karakteristik Warna dan Mikrobiologis serta Palatabilitas Sapi yang Diberikan Perlakuan Metode Curing Berbeda [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Salustiano VC, Andrade NJD, Brandao SCC, Junior WM, Nacife GP. 2004. An

Assesment of Chemical Sanitizers on the Microbiological Profile of Air in a Milk Processing Plant. Journal of Food Safety. 24(3): 159-167

(35)

25 Singarimbun M dan S Effendi. 2008. Metode Penelitian Survai. Jakarta Barat (ID):

Penerbit Pustaka LP3ES.

Situmorang. 2013. Memperpanjang Umur Simpan Bakso dengan Pelapisan Tapioka dan Pati Sagu [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada

University Press.s

Suradi K. 2007. Tingkat Kesukaan Bakso dari Berbagai Jenis Melalui Beberapa Pendekatan Statistik. Jurnal Ilmu Ternak. 7(1): 52-57

Utami RB. 2002. Kajian terhadap Metode Inspeksi Produk Berlabel Halal di Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, Badan POM, Jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Yalcin S, Nizamlioglu M, Gurbuz U. 2004. Microbiological Conditions of Sheep

Carcasses During the Slaughtering Process. Journal of Food Safety. 24(2):

87-93

(36)

26

Gambar

Tabel di atas menunjukkan bahwa konsumsi daging di Indonesia semakin  meningkat. Hal ini perlu adanya regulasi yang lebih tegas agar persaingan diantara  produsen  daging  tidak  menyebabkan  menurunnya  kualitas  daging  sehingga  konsumen yang dirugikan
Tabel 2  Rincian Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999   tentang label pangan
Tabel 3  Perbedaan keterangan kemasan pada beberapa peraturan pelabelan
Tabel 4  Tempat dan lokasi pengambilan sampel produk olahan daging
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil uji F, maka dapat diketahui bahwa variabel bebas yang terdiri dari materi pelatihan (X1), pelatih (X2), dan metode pelatihan (X3) secara

Supply chain merupakan kumpulan dari rantai-rantai yang dilalui suatu barang (produk) mulai dari bahan baku sampai menjadi produk yang akan dijual kepada konsumen

4.3.4 Tuliskan data aktivitas mengajar dosen tetap yang bidang keahliannya sesuai dengan PS, dalam satu tahun akademik terakhir di PS ini dengan mengikuti format tabel

Sebanyak 50 isolat Phytophthora koleksi Balittro yang diperoleh dari berbagai lokasi pertanaman lada di Indonesia digunakan dalam penelitian ini (Tabel 1). Tanaman inang yang diuji

Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa penggunaan lada hibrida tahan BPB memiliki potensi yang cukup besar untuk digunakan oleh petani yang selalu dihadapkan pada risiko

Dilihat dari kepribadiannya Misbah memang ulama yang sangat tegas. Jika ada suatu masalah dan menurutnya kurang sesuai dengan ajaran Islam ia pasti tidak akan tinggal

Hasil perhitungan Balok kantilever yang didapatkan sudah memenuhi standar-standar keamanan perencanaan suatu struktur beton prategang, adapun nilai yang

Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan media animasi hukum Newton II tentang gerak pada bidang miring dan katrol, mendeskripsikan kelayakan media animasi hukum Newton II yang