• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUALITAS PELAYANAN DI SATUAN PELAYANAN SATU ATAP PEMERINTAH KOTA BEKASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KUALITAS PELAYANAN DI SATUAN PELAYANAN SATU ATAP PEMERINTAH KOTA BEKASI"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

RUANG UTAMA

Pendahuluan

Isu kualitas pelayanan mencuat sejak awal 90-an namun masih menggambarkan birokrasi yang tidak efisien. Patrick Dunleavy (1991: 147) menyebutkan fenomena ini sungguh birokratis. Menurutnya, banyak peng-alaman birokratis ini dirasakan oleh masyarakat karena birokrasi pada waktu itu bercirikan: (1) organisasi yang ekspansionis, dan (2) organisasi tersebut tak henti-hentinya mencari alasan untuk menambah ukuran, staf, keuangan dan lingkup operasinya. Hal seperti ini bahkan terjadi di negara demokrasi sekalipun, ketika masyarakatnya dapat menuntut pelayanan publik yang memuaskan (biasanya melalui akses ke parlemen). Akhirnya hukum lebih bersifat mengatur daripada menanyakan kepada masyarakat apakah mereka puas atau tidak

dengan pelayanan tersebut (Eliassen dan Kooiman, 1993).

Hal senada diungkapkan oleh Al Gore (1997: 7) bahwa pemerintah telah cukup lama mendapatkan lebih besar dan semakin lebih besar (bigger and bigger) kekuasaan, hu-kum dan peraturan dilipatgandakan, dan departemen-departemen kecil menjadi birokratis yang rumit. Pendapat ini diperkuat lagi oleh Richardson (dalam Eliassen dan Kooiman, 1993: 127) bahwa pada umumnya konsentrasi pemerintah hanya meliputi regulasi seperti pada kontrak, harga, profit, atau rate of return, tapi jarang pada quality of service maupun kualitas customer. Pujian yang dialamatkan pada sektor publik (pemerintah) umumnya datang untuk aktivitasnya pada equity dan distribution of income, tapi tidak pada masalah-masalah efisiensi (Musgrave dan Musgrave, 1991: 1-6).

KUALITAS PELAYANAN DI SATUAN PELAYANAN SATU

ATAP PEMERINTAH KOTA BEKASI

Yayan Rudianto

Abstract

This paper talks about the quality of service at Satuan Pelayanan Satu Atap (SPSA) Kota Bekasi. The aim of this study is want to know the quality of service that customers feel at SPSA Kota Bekasi and use Gronroos indicators: professionalism and skills, attitudes and behavior, accessibility and flexibility, reliability and trustworthiness, recovery, reputation and credibility. The result indicates that the quality of service at SPSA Kota Bekasi still poor.

(2)

2 Hal-hal seperti di atas berbeda dengan sektor privat yang terlihat lebih fokus pada customer. Terkait dengan kenyataan ini, Al Gore (1997: 7) menjelaskan bahwa untuk men-capai sukses perusahaan harus: (1) menawarkan kepada customer be-ragam kualitas, menyediakan ke-butuhan hidup yang menyenangkan, dan pelayanan dengan kualitas yang baik sekali, (2) mendengarkan cus-tomer, memberdayakan karyawan, mengontrol biaya-biaya, dan meng-gunakan teknologi informasi.

Pada sektor privat pelayanan bercirikan, antara lain, pertama, di dalam pelayanan terdapat dua “hukum” tentang customer yang benar-benar menjadi pedoman dalam memberikan pelayanan kepada customer yakni: (1) the customer is always, (2) if the customer is wrong, see rule number one. Konse-kuensinya jelas bahwa terdapat tun-tutan untuk terus-menerus mem-perhatikan secara serius terhadap kepentingan customer. Kedua, pengembangan pelayanan tetap berpusat pada manusia-manusia pelaku bisnis pada semua tingkatan (happy employee yield happier customers). Untuk itu membangun manusia sendiri (employees) sebagai langkah awal untuk mencapai kepuasan customer (happier customer) relevan pandangan yang mengatakan bahwa: “service comes from people not companies”. Jadi membangun pelayanan yang ber-kualitas (prima) harus dimulai dengan pembangunan manusia-manusia yang bertugas untuk melayani. Ketiga, dikaitkan dengan masalah kepemimpinan sering diungkapkan bahwa: excellence starts at the top leadership by example. Pemimpin

seharusnya mampu dan mau melayani customer secara berkualitas melebihi apa yang diperlihatkan oleh anak buahnya dalam melayani (Hardjosoekarto, 1994: 20).

Sektor swasta juga menem-patkan customer dan competitors sebagai bagian terpenting dalam lingkungan bisnisnya. Namun tidak demikian pada sektor publik sebab di sana terdapat banyak pemangku kepentingan (para politisi, para pembayar pajak, para pemilih, para birokrat atau masyarakat pada umumnya) yang semuanya memiliki pengaruh penting pada organisasi sektor publik (Flynn, 1988: 3).

Terdapat penilaian yang negatif terhadap sektor publik khususnya pada pemerintah, tetapi mengapa pemerintah tetap ikut terlibat dalam memberikan pelayanan yang berku-alitas? Pertanyaan ini sulit dijawab karena terdapat cerita lama (old chestnuts) tentang pelayanan publik, antara lain, terhadap adanya keputusan masyarakat tentang kontrak pada pemberian pelayanan, dan bukannya pada penerapan langsung program-program hukum dan otoritatif lainnya, baru berupa harapan masyarakat. Padahal pelayanan dengan cara seperti ini cenderung membuat masyarakat tidak senang (unhappy). Alasannya, karena banyak pelayanan pemerintah yang tidak memperlakukan siapapun untuk mendapatkan pelayanan seperti halnya pada sektor privat (Al Gore: 1997: 7).

Secara konseptual jawaban atas dikotomi kualitas pelayanan menurut sektor publik dan sektor privat ini disampaikan oleh Al Gore (1997: 9). Bahwa pemerintah juga mem-butuhkan apa yang dilakukan oleh

(3)

3 sektor privat dalam mengusahakan bagaimana bertindak ramah kepada customer. Tetapi yang pertama kali harus dilakukan dan segera harus terwujud adalah sembuh dari dongeng (myth) bahwa pemerintah dan swasta berbeda, yakni keduanya tidak memiliki sesuatu untuk saling dibelajarkan satu sama lain; yang benar adalah hampir sama dalam alat dan teknik yang mampu menolong perusahaan-perusahaan kembali ke dalam kemampuannya sendiri sehingga cara inipun dapat diadaptasi oleh pemerintah agar bekerja lebih baik.

Pendapat Al Gore ini sebagai titik balik bagi pemerintah-pembelajar untuk mau belajar pada sektor swasta sebagaimana dilakukan oleh Bill Clinton terhadap para CEO sukses (Southern Airline, General Motor, dan lain-lain) ketika melakukan reformasi birokrasi. Ciri utama reformasi ala Clinton ini adalah yang semula pemerintah fokus pada peraturan sebagai faktor penggerak utama dalam menjalankan tugas dan fungsi, sekarang bergeser pada pelayanan berbasis customer (customer-driven).

Catherine De Vrye (1994: 127) menjelaskan tentang pendekatan ini bahwa di dalam beberapa hal customer-driven menyebabkan ke-dudukan organisasi pemerintah men-jadi lebih kreatif, terutama sekali di dalam area yang meliputi rumusan customer di dalam produk dan pe-layanan. Kemitraan dengan masya-rakat dan pemberdayaan mereka di dalam membuat keputusan adalah unsur-unsur esensial di dalam pelayanan terhadap customer bagi banyak pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.

Kemitraan dan pemberdayaan masyarakat ini mendorong pemerin-tah fokus pada pelayanan yang berbasis kebutuhan customer. Per-ubahan fokus ini dapat terwujud dalam bentuk pelayanan yang berkualitas, yaitu pelayanan yang ditandai oleh adanya titik temu (meet) di antara harapan-harapan atau kebutuhan-kebutuhan customer (Taylor, 1992: 140).

Bagaimana pemerintah men-capai kualitas pelayanan tersebut berhubungan dengan kebijak an sebagai dasar pelaksanaannya?

Menurut Bromley (dalam

Hardjosoekarto, 1994) salah satu level dari proses kebijakan adalah organizational level yang meng-hasilkan institutional arrangement yang tingkatannya lebih rendah dari undang-undang. Pada level ini kualitas pelayanan dapat diukur dari apakah peraturan pelaksanaan di bawah undang-undang tersebut sesuai dengan kriteria kualitas pelayanan yang dirasakan baik.

Pada level pemerintahan daerah institutional arrangement ini bentuknya berupa surat keputusan kepala daerah yang berfungsi sebagai pedoman teknis dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Surat keputusan ini dalam perumusannya berpedoman pada kebijakan daerah di atasnya (perda) sehingga dapat dikategorikan sebagai produk kebijakan daerah yang taat asas. Surat keputus an kepala daerah ini kemudian dijadikan

pedoman dalam membentuk

organisasi pelayanan publik di daerah. Tugas utamanya adalah menyelenggarakan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan/ kebutuhan masyarakat di daerah

(4)

4 melalui penerapan Standard Operating Procedures (SOPs) yang berbasis customer-driven.

Upaya penerapan SOPs ini diharapkan mampu mendorong organisasi pelayanan publik untuk berperilaku sesuai dengan harapan customer, misalnya ramah, tidak berbelit-belit, murah, tepat waktu, lokasi mudah dijangkau, dan lain-lain. Begitu pun SOPs yang diterapkan SPSA diharapkan mampu mem-bentuk pola perilaku (pattern of behavior) para pegawainya sesuai harapan masyarakat?

Pokok Masalah

Pemerintah Kota Bekasi mem-bentuk organisasi khusus yang diberi tugas menangani pelayanan masyarakat berbasis kualitas yakni Unit Pelayanan Satu Atap (UPSA) pada tahun 1999. Kemudian berubah nama menjadi Satuan Pelayanan Satu Atap (SPSA). Perubahan ini menunjukkan adanya peningkatan, baik volume, maupun intensitas pelayanan. Namun tidak semua dinas menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana SK Walikota tersebut. Hanya beberapa dinas yang menjalankan tugas dan fungsinya di Kantor UPSA yaitu Dinas Tata Kota dan Permukiman (Izin Mendirikan Bangunan) dan Dinas Pekerjaan Umum (Izin Pemasangan Reklame), sedangkan dinas lain masih me-nempati kantornya masing-masing.

Jenis pelayanan yang efektif berjalan adalah 17 jenis dari 19 jenis pelayanan yang terdapat dalam SK Walikota. Dua jenis pelayanan yang belum dapat direalisasikan adalah Izin Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat, dan Izin

Pengelolaan Rumah Sewa. Ruang pelayanan telah dibangun di lokasi yang strategis. Layout ruang pe-layanan jelas bagi customer. Skema pelayanan dibuat menggunakan sis-tem loket agar customer merasa mudah melakukannya. Semua jenis pelayanan telah memenuhi standar waktu pelayanan maksimal 12 hari kerja.

Namun di balik keberhasilan tersebut masih terdapat beberapa permasalahan, yaitu:

1. Status UPSA/SPSA sebagai organisasi fungsional di bawah Badan Keuangan dan Kekayaan Daerah menurut para pegawai mempersempit ruang gerak mereka dalam melayani dengan cara-cara yang berkualitas karena kewenangan mencapai standar pelayanan masih berada pada dinas-dinas terkait.

2. Terdapat kesulitan merubah batas waktu maksimal pelayanan menjadi di bawah 12 hari kerja, padahal untuk perizinan tertentu dapat diselesaikan kurang dari 12 hari kerja, seperti pembuatan Akte Kelahiran rata-rata 4 hari kerja, IMB perpanjangan antara 4 hingga 9 hari kerja, IMB baru antara 7 hingga 9 hari kerja. 3. Keterlambatan dalam

menye-lesaikan perizinan disebabkan oleh petugas harus bolak-balik antara Kantor SPSA dan Kantor dinas masing-masing padahal jaraknya cukup jauh, sehingga ketepatan waktu penyelesaian tidak bisa dicapai.

Berdasarkan permasalahan ter-sebut di atas, penulis merumuskan pokok masalah sebagai berukut: Bagaimana Kualitas Pelayanan di

(5)

5 Satuan Pelayanan Satu Atap Pe-merintah Kota Bekasi?

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui kualitas pelayanan yang dirasakan baik oleh para pemohon perizinan di SPSA. Signifikansi penelitian adalah:

a. Memberikan sumbangan pemikir-an mengenai penerappemikir-an konsep-konsep pelayanan publik oleh birokrasi pemerintah, khususnya Pemerintah Kota Bekasi.

b. Memberikan sumbangan bagi kajian empirik mengenai kualitas pelayanan publik, terutama dalam hal mengukur gap antara kinerja pegawai SPSA dan pelayanan yang dirasakan para pemohon perizinan.

c. Sebagai bahan masukan bagi SPSA mengenai kriteria mana yang telah dianggap baik, dan kriteria mana yang belum, sehingga SPSA memiliki infor-masi yang tepat untuk perbaikan SOPs berikutnya.

Kerangka Teori

Pengertian Pelayanan yang Berkualitas

a. Buzzel dan Gale (1987) me-ngatakan bahwa: “…kualitas ada-lah apapun yang customer katakan tentang kualitas, dan kualitas dari produk atau khususnya jasa adalah apapun yang dirasakan customer tentang jasa.

b. Garvin (1987: 104) mengatakan tentang hal kualitas: “Manajer harus merinci kata kualitas ke

dalam bagian-bagian yang dapat dikelola.

c. Taylor (1992: 140) memberikan pengertian kualitas adalah sama dengan titik temu di antara kebutuhan-kebutuhan dan harap-an-harapan customer.

d. Sementara Steven Cohen dan Ronald Brand (1993: xii) me-ngatakan kualitas diartikan se-bagai tercapainya dan terlam-pauinya harapan-harapan cus-tomer.

Kriteria Pelayanan yang Berkua-litas Baik

Untuk mencapai pelayanan yang berkualitas baik , menurut Christian Gronroos (1990: 46) dapat ditentukan 6 kriteria berikut ini.

a. Professionalism and skills. Customer menyadari bahwa pemberi pelayanan yakni kar-yawan, sistem operasi, sumber-sumber fiskal memiliki pe-ngetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk meng-atasi problem mereka dengan cara professional (kriteria ini dikaitkan dengan outcome). b. Attitude and Behavior. Customer

merasa karyawan yang melayani (contact person) concern kepada mereka dan berkeinginan untuk mengatasi problem mereka dengan bersahabat dan cara yang sopan (kriteria dikaitkan dengan proses)

c. Accessibility and Flexibility. Customer merasa bahwa pem-beri pelayanan yakni lokasi, waktu operasi, para karyawan, dan sistem operasi didisain dan beroperasi dengan mudah dalam mengakses pelayanan dan agar mereka siap mengatur

(6)

permin-6 taan dan keinginan customer de-ngan fleksibel (kriteria dikaitkan dengan proses).

d. Reliability and Trustworthiness. Customer tahu bahwa siapapun yang menerima atau setuju dengan pelayanan mereka dapat mempercayakan kepada pemberi pelayanan yakni para karyawan dan sistem untuk membuat janji dan melaksanakan keinginan terbaik guna meraih simpati customer (kriteria dikaitkan de-ngan proses).

e. Recovery. Customer menyadari bahwa apapun kesalahan atau kejadian yang tidak terduga-duga yang tidak dapat diprediksi, pemberi pelayanan dengan sege-ra dan secasege-ra aktif bertindak untuk mengatasinya untuk mengontrol situasi dan mencari hal yang baru yang dapat diterima customer (kriteria dikaitkan dengan proses). f. Reputation and credibility.

Customer percaya bahwa layan-an provider dapat dipercaya dlayan-an menerima cukup uang, dan bahwa hal ini ada untuk kinerja yang baik dan nilai-nilai yang demikian dapat diterima ber-sama-sama oleh customer dan provider (kriteria dikaitkan dengan citra).

Pengertian Kepuasan

Kepuasan adalah tingkat perasa-an seseorperasa-ang setelah membperasa-anding- membanding-kan kinerja/hasil yang dirasakan dengan harapan (Oliver, 1980) dalam Suprianto (1997: 233). Jadi tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan.

Dengan kata lain dapat di-jelasakan bahwa apabila kinerja di bawah harapan, maka customer akan kecewa atau tidak puas. Bila kinerja sesuai dengan harapan, maka customer akan puas. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan, customer akan sangat puas.

Harapan customer dapat diben-tuk oleh pengalaman masa lalu, komentar dari customer lain serta janji dan informasi provider. Customer yang puas akan setia lebih lama kepada provider, misalnya dalam bentuk selalu memenuhi prosedur/ mekanisme pelayanan, kurang sen -sitif terhadap biaya pelayanan dan memberi komentar yang baik tentang institusi yang melayaninya.

Untuk menciptakan kepuasan customer, institusi pelayanan harus mencipakan dan mengelola suatu sistem untuk memperoleh customer yang lebih banyak dan kemampuan untuk mempertahankan customer-nya. Bentuk mempertahankan customer tersebut, antara lain: de-ngan membuat standar pelayanan yang selalu mengikuti harapan cus-tomer.

Kerangka Pemikiran

Secara khusus penelitian ini ingin melihat kinerja SPSA dalam melayani para pemohon perizinan. Apakah mampu bekerja sesuai kriteria pelayanan yang berkualitas baik atau tidak. Apakah kinerja mereka mampu memenuhi kebutuhan para pemohon tersebut.

Pada tingkat yang lebih luas, service-based, mendefinisikan kua-litas sama dengan kepuasan customer sebagaimana ditegaskan

(7)

7 melalui formula berikut ini (Lovelock, 1994: 111).

Perceived Service Satisfaction = ---Expected Service

Misalnya mengukur keramahan petugas pelayanan di loket-loket pelayanan. Jika menurut pengalaman para pemohon perizinan, pegawai tersebut ramah-ramah, maka para pemohon merasa puas. Hal ini menunjukkan bahwa SPSA mampu mewujudkan pelayanan yang ber-kualitas baik (good quality).

Untuk mengukur bagaimana kualitas pelayanan yang baik di-rasakan oleh para pemohon per-izinan, penulis menggunakan pemikir-an Christipemikir-an Gronroos (1990: 46) tentang Kriteria Kualitas Pelayanan yang Dirasakan Baik, meliputi: professionalism and skills, attitudes and behavior, accessibility and fle-xibility, reliability and trustworthiness, recovery, reputation and credibility. Operasionalisasi Konsep

Operasionalisasi konsep tentang kualitas pelayanan yang dirasakan baik adalah kesesuaian antara harapan para pemohon perizinan dan kinerja SPSA dalam pengurusan perizinan dilihat dari kriteria pelayanan yang dirasakan baik, yaitu: a. Professionalism and skills

1) Pengetahuan dan keteram-pilan pegawai SPSA dalam membuat izin yang pro-fesional;

2) Mekanisme pengurusan izin di SPSA berfungsi secara profesional;

3) Sumber-sumber fisikal se-perti gedung, alat tulis kantor, dan lain-lain berguna bagi pengurusan izin. b. Attitudes and behavior

1) Pegawai SPSA melayani para pemohon dengan penuh perhatian;

2) Pegawai SPSA berkeinginan untuk menyelesaikan surat izin dengan cara yang bersahabat;

3) Pegawai SPSA berkeinginan untuk menyelesaikan surat izin dengan cara yang sopan.

c. Accessibility and flexibility 1) Lokasi SPSA mudah diakses

oleh para pemohon;

2) Waktu pengurusan izin selama 12 hari kerja mudah diakses oleh para pemohon;

3) Para pegawai SPSA

mengikuti pelatihan tentang kepuasan customer dan manfaatnya dirasakan para pemohon;

4) Mekanisme pengurusan izin mudah dipahami para pemohon;

5) SPSA memiliki kesiapan dalam mengatur permintaan dan keinginan para pemohon dengan fleksibel. d. Reliability and trustworthiness

1) Pemohon percaya bahwa pegawai SPSA mampu me-nyelesaikan surat izin mak-simal 12 hari kerja;

2) Pemohon percaya bahwa pegawai SPSA mampu menyenangkan hati dalam proses pembuatan surat izin; 3) Pemohon percaya bahwa mekanisme pembuatan surat izin berfungsi baik bila surat

(8)

8 izin dapat diselesaikan maksimal 12 hari kerja; 4) Pemohon percaya bahwa

mekanisme pembuatan surat izin mampu menyenangkan hati bila surat izin selesai maksimal 12 hari kerja. e. Recovery

1) Mengontrol dan segera mengatasinya atas keterlam-batan pembuatan surat izin; 2) Mengontrol dan aktif

meng-atasinya atas keterlambatan pembuatan surat izin; 3) SPSA segera mencari

cara-cara baru dalam mengatasi keterlambatan pembuatan surat izin;

4) SPSA aktif mencari cara-cara baru dalam mengatasi keterlambatan pembuatan surat izin.

f. Reputation and credibility 1) SPSA dapat dipercaya

ka-rena mampu membuat surat izin tepat waktu dan menghasilkan uang atas kinerja terbaiknya;

2) SPSA dapat dipercaya ka-rena memenuhi harapan para pemohon.

Metode Penelitian

Metode penelitian menggunakan metode survey sesuai dengan tujuan penelitian yakni memperoleh fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan seca-ra faktual dari suatu keadaan. Metode ini juga digunakan untuk membedah dan menguliti serta mengenal masalah-masalah serta mendapat pembenaran terhadap keadaan dan praktek-praktek yang sedang berlang-sung.

Populasi dalam penelitian ini adalah para pemohon perizinan yang mengurus secara langsung ke Kantor SPSA, yakni mereka yang sedang mengurus perizinan mulai dari Loket Informasi sampai dengan Loket Pengambilan Surat Izin. Sampel penelitian berjumlah 100 orang yang terdaftar sebagai pemohon perizinan berdasarkan daftar pemohon Tahun 2002. Teknik ini berkaitan dengan cara pengambilan sampel sistematis (systematic random sampling) karena lebih mengandalkan pada akurasi daftar pemohon.

Metode Analisis Data

Metode yang dipakai adalah metode kualitatif. Untuk menjawab pertanyaan penelitian digunakan model analisis gap yang biasa digunakan dalam mengukur kualitas pelayanan, yakni dengan cara mem-bandingkan antara tingkat kepen-tingan/harapan para pemohon per-izinan dengan kinerja SPSA Kota Bekasi.

Operasionalisasi metode ini terlebih dahulu dilakukan pem-bobotan atas setiap item pertanyaan yang tercantum dalam kuesioner dengan menggunakan skala Likert (skala 5 tingkat) yang terdiri dari: sangat penting dengan bobot 5, penting dengan bobot 4, cukup penting dengan bobot 3, kurang penting dengan bobot 2, dan tidak penting dengan bobot 1. Kemudian dilakukan langkah pembobotan yang sama untuk kinerja SPSA yaitu: jawaban sangat baik diberi bobot 5 berarti pemohon sangat puas, jawaban baik diberi bobot 4 berarti pemohon puas, jawaban cukup baik diberi bobot 3 berarti pemohon cukup

(9)

9 puas, jawaban kurang baik diberi bobot 2 berarti pemohon kurang puas, dan jawaban tidak baik diberi bobot 1 berarti pemohon tidak puas.

Berikutnya data hasil pembobot-an dipembobot-analisis dengpembobot-an metode pembobot-analisis gap. Langkah-langkahnya sebagai berikut:

1. Menjumlahkan total skor kinerja SPSA (X) dan harapan pemohon (Y) untuk masing-masing sub-indikator;

2. Menghitung gap setiap sub-indikator dengan mengurangkan total skor X dengan total skor Y dibagi 100 responden, (X-Y): 100;

3. Menghitung skor rata-rata setiap indikator dengan rumus sebagai berikut:

(Xn – Yn) ∑ =

n Subindikator

4. Setelah diperoleh skor rata-rata setiap indikator, cara mengukur kualitas pelayanan di SPSA ini mengacu pada pendapat Lovelock (1994: 111) dan Taylor (1992: 140) sebagai berikut: a. Jika pelayanan yang

di-rasakan lebih baik daripada yang diharapkan, maka me-reka akan merasa senang (if customers perceive the actual delivery of service as better than expected, they’ll be happy) atau X > Y = kualitas baik (indicated good quality);

b. Jika pelayanan yang di-rasakan di bawah harapan, maka mereka akan merasa tidak senang (if it’s below expectations, they’ll be mad)

atau X < Y = kualitas buruk (indicated poor quality ); c. Jika pelayanan yang

di-rasakan sama dengan ha-rapan, maka mereka meng-indikasikan sebagai pelayan-an ypelayan-ang berkualitas.

d. Secara matematis indikasi kualitas pelayanan menurut kedua pakar tersebut dalam bentuk rumus adalah se-bagai berikut:

1) Skor gap 0,00 = pe-layanan SPSA berku-alitas (quality service); 2) Skor gap > 0,00 (+) =

pelayanan SPSA berku-alitas baik (good quality service);

3) Skor gap < 0,00 (-) = pelayanan SPSA berku-alitas buruk (poor quality service).

Pembahasan Hasil Penelitian 1. Professionalism and Skill.

Berdasarkan jawaban respon-den atas pernyataan: (1) Pegawai SPSA memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengurus perizinan dengan cara yang profesional, (2) Mekanisme pengurusan perizinan berfungsi profesional, (3) Gedung pelayanan, ATK, dan sumber-sumber fisikal lainnya dapat digunakan untuk mengurus perizinan, diperoleh total skor kinerja SPSA (X) sebesar 1225, dan total skor harapan pemohon (Y) sebesar 1303, sehingga terdapat skor gap sebesar -0,26. Artinya kinerja SPSA dalam bentuk professional and skill tidak sesuai dengan harapan pemohon perizinan. Dalam kaitan ini Lovelock mengatakan bahwa jika

(10)

10 persepsi customer tidak mencukupi harapan customer, maka perusahaan mendapat skor minus. Lebih besar nilai minus, maka kualitas pelayanan perusahaan tersebut lebih buruk.

Kontribusi skor negatif terbesar atas total skor negatif dari indikator professional and skill berasal dari jawaban responden atas pernyataan: Pegawai SPSA memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengurus perizinan dengan cara yang profesional. Artinya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki pegawai SPSA tidak digunakan untuk memenuhi harapan pemohon perizinan tetapi digunakan untuk hal-hal yang lain, misalnya melayani dengan segenap penge-tahuan dan keterampilan bagi pe-mohon yang ada hubungan meminta penanganan khusus, karena kedekat-an hubungkedekat-an personal, jkedekat-anji memberi tips, janji memberi biaya lebih besar dari biaya resmi, dan lain-lain. 2. Attitude and Behavior

Jawaban responden atas per-nyataan: 1) Pegawai SPSA melayani para pemohon dengan penuh per-hatian; 2) Pegawai SPSA bekeingin-an untuk menyelesaikbekeingin-an surat izin dengan cara yang bersahabat; 3) SPSA berkeinginan untuk me-nyelesaikan surat izin dengan cara yang sopan, diperoleh total skor kinerja SPSA (X) sebesar 1232, dan total skor harapan pemohon (Y) sebesar 1252, sehingga terdapat skor gap sebesar -0,07. Artinya kinerja SPSA dalam bentuk attitude and behavior tidak sesuai dengan harapan pemohon perizinan.

Dilihat dari tiga subindikator yang termasuk ke dalam indikator ini, kontribusi skor negatif terbesar atas

total skor negatif dari indikator attitude and behavior berasal dari jawaban responden atas pernyataan: Pegawai SPSA bekeinginan untuk menyelesaikan surat izin dengan cara yang ber -sahabat. Artinya sikap dan perilaku yang belum bersahabat dari pegawai SPSA itu memberikan sumbangan terbesar atas belum dirasakannya pelayanan perizinan yang penuh dengan keakraban dan kehangatan layaknya hubungan antara dua orang sahabat. Hal ini bukan berarti masing-masing mengembangkan ke-sepakatan untuk memberi pemak-luman atas kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi selama proses pengurusan perizinan berlangsung. 3. Accessibility and Flexibility

Dilihat dari jawaban responden atas pernyataan: 1) Lokasi SPSA mudah diakses oleh para pemohon; 2) Waktu pengurusan izin selama 12 hari kerja mudah diakses oleh para pemohon; 3) Para pegawai SPSA mengikuti pelatihan tentang kepuasan customer yang manfaatnya dirasakan para pemohon; 4) Mekanisme peng-urusan izin mudah dipahami para pemohon; 5) SPSA memiliki kesiapan dalam mengatur permintaan dan keinginan para pemohon dengan fleksibel, terdapat total skor kinerja SPSA (X) sebesar 1997, dan total skor harapan pemohon (Y) sebesar 2014, sehingga terdapat skor gap sebesar -0,03. Artinya kinerja SPSA berupa accessibility and flexibility tidak sesuai dengan harapan pemohon perizinan.

Dalam hubungannya dengan pendapat Lovelock di atas, terlihat bahwa indikator accessibility and flexibility ini berada dalam kategori minus atau kualitas pelayanan SPSA

(11)

11 masih buruk. Walaupun derajat buruknya masih di bawah dua in-dikator sebelumnya. Terutama untuk subindikator waktu pengurusan per-izinan yang seharusnya 12 hari kerja, menurut pemohon masih belum se-penuhnya dapat ditepati oleh pegawai SPSA. Hal ini menggambarkan bah-wa sebenarnya masih ada pelayanan perizinan dan nonperizinan di SPSA yang tepat waktu bahkan lebih cepat dari 12 hari kerja, yaitu pembuatan Akte Kelahiran, Izin Reklame. Namun karena menurut prosedur harus diselesaikan dalam 12 hari kerja, maka pegawai mentaatinya.

4. Reliability and Trustworthiness Berdasarkan jawaban respon-den atas pernyataan: 1) Pemohon percaya bahwa pegawai SPSA mam-pu penyelesaian surat izin maksimal 12 hari kerja; 2) Pemohon percaya bahwa pegawai SPSA mampu me-nyenangkan hati dalam proses pembuatan surat izin; 3) Pemohon percaya bahwa mekanisme pem-buatan surat izin berfungsi baik bila surat izin dapat diselesaikan mak-simal 12 hari kerja; 4) Pemohon percaya bahwa mekanisme pem-buatan surat izin mampu me-nyenangkan hati bila surat izin selesai maksimal 12 hari kerja, diperoleh total skor kinerja SPSA (X) sebesar 1556, dan total skor harapan pemohon (Y) sebesar 1629, sehingga terdapat skor gap sebesar -0,18. Angka ini meng-indikasikan bahwa kinerja SPSA dalam bentuk reliability and trust-worthiness tidak sesuai dengan harapan pemohon perizinan.

Subindikator yang memberikan kontribusi skor negatif terbesar atas total skor negatif berasal dari jawaban responden tentang tingkat

kepercaya-an mereka terhadap mekanisme pengurusan izin yang sesuai prosedur sehingga menimbulkan perasaaan senang. Artinya pemohon masih cu-riga kepada pegawai SPSA apakah mereka bekerja sesuai prosedur atau tidak. Hal ini dipicu oleh kenyataan bahwa masih ada pemohon yang mendapat pelayanan tanpa mengikuti prosedur yang telah ditetapkan, misalnya ada sedikit kekurangan da -lam persyaratan, tidak dipermasalah-kan oleh pegawai, bahdipermasalah-kan diproses terus hingga selesai.

5. Recovery

Dilihat dari jawaban responden atas pernyataan: 1) Mengontrol dan segera mengatasinya atas keter-lambatan pembuatan surat izin; 2) Mengontrol dan aktif mengatasinya atas keterlambatan pembuatan surat izin; 3) SPSA segera mencari cara-cara baru dalam mengatasi keterlambatan pembuatan surat izin; 4) SPSA aktif mencari cara-cara baru dalam meng-atasi keterlambatan pembuatan surat izin, diketahui bahwa total skor kinerja SPSA (X) sebesar 1568, dan total skor harapan pemohon (Y) sebesar 1623, sehingga diperoleh skor gap sebesar -0,14. Artinya kinerja SPSA berupa recovery tidak sesuai dengan harapan pemohon perizinan.

Terdapat dua subindikator yang memiliki skor gap terbesar, yaitu SPSA mengontrol keterlambatan pengurusan perizinan untuk kemudi-an segera mengatasinya (-0,18) dkemudi-an SPSA aktif mencari cara baru dalam mengatasi masalah pemohon (-0,18). Segera mengatasi masalah dan mencari cara baru dalam mengatasi masalah adalah dua hal yang sulit dilakukan oleh SPSA. Hal ini terkait

(12)

12 posisi tawar antara pegawai SPSA dengan pemohon yang masih timpang atau berat sebelah yakni lebih kuat dari sisi pegawai SPSA (pemerintah daerah).

6. Reputation and Credibility Berdasarkan jawaban respon-den atas pernyataan berikut ini: 1) SPSA dapat dipercaya karena mam-pu membuat surat izin tepat waktu dan menghasilkan uang atas kinerja terbaiknya; 2) SPSA dapat dipercaya karena memenuhi harapan para pe-mohon, diperoleh total skor kinerja SPSA (X) sebesar 754, dan total skor harapan pemohon (Y) sebesar 727, sehingga diperoleh rata-rata skor gap sebesar 0,14.

Hasil penelitian mengenai indi-kator ini menunjukkan hasil positif. Artinya pelayanan SPSA termasuk dalam ketegori berkualitas baik (good quality service) karena persepsi customer terhadap pelayanan per-izinan di SPSA melebihi harapan pe-mohon. Persepsi pemohon lebih be-sar dari harapan ini terlihat dalam hal kemampuan pegawai SPSA dalam menyelesaikan perizinan tepat waktu telah atas dasar kinerja terbaiknya, dan kepercayaan pemohon pada SPSA atas pemenuhan harapan mereka.

Penutup

Mengacu pada pendapat Lovelock dan Taylor, yakni: 1) Skor gap 0,00 = pelayanan SPSA berkualitas (quality service); 2) Skor gap > 0,00 (+) = pelayanan SPSA berkualitas baik (good quality ser-vice); dan 3) Skor gap < 0,00 (-) = pelayanan SPSA berkualitas buruk

(poor quality service), hasil penelitian menunjukkan bahwa:

1. Tidak ada indikator penelitian yang memiliki rata-rata skor gap = 0,00. Artinya kualitas pelayan-an perizinpelayan-an di SPSA Kota Be-kasi belum termasuk ke dalam kategori pelayanan berkualitas. 2. Terdapat satu indikator penelitian

yang memiliki rata-rata skor gap > 0,00 (+) yakni indikator reputation and credibility. Artinya kualitas pelayanan perizinan di SPSA Kota Bekasi termasuk ke dalam kategori berkualitas baik (good quality service).

3. Terdapat lima indikator penelitian yang memiliki rata-rata skor gap < 0,00 (-) yakni indikator professionalism and skill, attitude and behavior, accessibility and flexibility reliability and trustworthiness, dan recovery. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pelayanan perizinan di SPSA Kota Bekasi termasuk ke dalam kategori pelayanan yang berkualitas buruk (poor quality service).

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Lance A., and Martin J.Sikora (et.al). 1994. The Change Management Handbook, Chicago: Irwin Professional Publishing.

Cohen, Steven and Ronald Band. 1933. Total Quality in Government: A Practical Guide for the Real World. San Fransisco: Jossey-Bass, Publisher.

(13)

13 Gore, Al. 1997. Business like

Government. National Performance Review. October. Dunleavy, Patrick. 1991. Democracy,

Bureaucracy, & Public Choice. Hemel Hempstead: Simon & Schuster International Group. Gronroos, Christian. 1990. Service

Management and Marketing. Lexington, Massachusetts/ Toronto: D.C. Heath and Company.

Hardjosoekarto, Sudarsono. 1994. Beberapa Perspektif Pelayan-an Prima. Bisnis & Birokrasi. No.3/Vol.II/September.

---. 1994. Debirokratisasi: Relevansi dan Masalahnya. Bisnis & Birokrasi. No.3/ Vol.II/September.

Lovelock, Christopher H. 1998. Managing Service: Marketing, Operations and Human Resources. USA: A Simon and Schuster Company.

---. 1994. Product Plus: How Product+Service = Competitive Advantage. Singapore: Mc. Graw-Hill Books Co.

Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Rahayu, Amy Y.S. 1997. Fenomena

Sektor Publik dan Era Service Quality (Serqual). Bisnis & Birokrasi. No. 1/Vol.III/April. Sugiyono. 1997. Metode Penelitian

Administrasi. Bandung: Alfa-beta.

Supranto, J. 1997. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan. Jakarta: Rineka Cipta.

Taylor, Linda King. 1992. Quality: Total Customer Service. London: Century Business. Zeithamy, Valarie, A., Parasuraman,

dan Leonard L. Berry. 1990. Delivering Quality Service: Balancing Customer Per-ceptions and Expectations. New York: The Free Press A Division of Macmillan, Inc. Dokumen-dokumen:

Undang-undang. 1999. Nomor 22. Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia.

Instruksi Presiden. 1995. Nomor 1. Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah. Republik Indonesia.

Keputusan Menpan. 1993. Nomor 81. Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum. Republik Indonesia.

Keputusan Walikota Bekasi. 2001. Nomor 9. Pembentukan Satuan Pelayanan Satu Atap dan Satuan Penindakan pada Lembaga Teknis Daerah Pemerintah Kota Bekasi. Republik Indonesia.

Kota Bekasi Dalam Angka (Bekasi Municipality in Figure) 2000. 2001. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kota Bekasi dan Bapeda Kota Bekasi.

Referensi

Dokumen terkait