• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas Pelayanan Perizinan terpadu Satu Pintu Dan Faktor-Faktor Manajerial Yang Mempengaruhinya Di Kota Lhokseumawe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kualitas Pelayanan Perizinan terpadu Satu Pintu Dan Faktor-Faktor Manajerial Yang Mempengaruhinya Di Kota Lhokseumawe"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN TERPADU

SATU PINTU DAN FAKTOR-FAKTOR MANAJERIAL YANG

MEMPENGARUHINYA DI KOTA LHOKSEUMAWE

TESIS

Oleh

RIDHA FAHMI

067024039/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN TERPADU

SATU PINTU DAN FAKTOR-FAKTOR MANAJERIAL YANG

MEMPENGARUHINYA DI KOTA LHOKSEUMAWE

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Pembangunan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RIDHA FAHMI

067024039/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN TERPADU SATU PINTU DAN FAKTOR-FAKTOR MANAJERIAL YANG

MEMPENGARUHINYA DI KOTA LHOKSEUMAWE

Nama Mahasiswa : Ridha Fahmi Nomor Pokok : 067024039

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Erika Revida, MS) (Drs. Kariono, M, Si) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. M.Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

(4)

Tanggal 21 Juli 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Erika Revida, MS Anggota : 1. Drs. Kariono, M. Si

2. Drs. Burhanuddin Harahap, M. Si 3. Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M. Si 4. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA

(5)

KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN TERPADU SATU PINTU DAN FAKTOR-FAKTOR MANAJERIAL YANG

MEMPENGARUHINYA DI KOTA LHOKSEUMAWE

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2008

(6)

ABSTRAK

Pada paruh pertama Tahun 2007, Pemerintah Kota Lhokseumawe mulai menerapkan sistem pelayanan perizinan terpadu satu pintu. Dasar pemberlakuan sistem pelayanan perizinan ini adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembentukan Susunan Organisasi Tata Kerja Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Lhokseumawe.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas pelayanan perizinan terpadu satu pintu dan faktor-faktor manajerial yang mempengaruhinya di Kota Lhokseumawe.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang berusaha untuk memahami masalah berdasarkan fakta tentang kenyataan yang berada di lokasi penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah aparatur Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Lhokseumawe dan masyarakat yang melakukan pengurusan izin dengan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Lhokseumawe. Sampel dari aparatur berjumlah 10 orang dan dari masyarakat berjumlah 20 orang.

Untuk mengetahui kualitas pelayanan perizinan terpadu satu pintu Kota Lhokseumawe dalam penelitian ini menggunakan teori menurut zeitalm, at.all (1990) yaitu tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty. sedangkan faktor-faktor manajerial yang mempengaruhinya adalah sesuai pendapat Ratminto dan Winarsih (2005) yaitu kuatnya posisi tawar pengguna jasa, berfungsinya mekanisme voice, adanya birokrat yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat, terbangunnya kultur pelayanan, diterapkan sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan masyarakat.

Hasil analisis dapat kita ketahui bahwa Kualitas pelayanan perizinan di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Lhokseumawe sudah cukup baik. Dari dimensi tangibles masih kurang baik diakibatkan kondisi kantor yang sempit dan kurang nyaman, begitu juga sarana parkir yang tidak aman. Hal ini disebabkan kantor ini belum memiliki gedung permanen dan dalam status sewa. Sedangkan ada tiga faktor manajerial yang belum dilaksanakan secara maksimal yaitu kuatnya posisi tawar pengguna jasa, berfungsinya mekanisme voice, terbangunnya kultur pelayanan.

(7)

ABSTRACT

In the first half of 2007, the Lhokseumawe city local Government has put into place the one-door license service. This system is based on the Minister Of Home Affairs Regulation No. 24/2006 on the Guidelines to the one-door service an regional regulation (perda) no 1/2007 on forming of organizational formation of administration the office of One-door service in Lhokseumawe city.

Target of this research is to know the quality of Service Of Inwrought Permit One Door and factors of manajerial influencing in Town of Lhokseumawe.

Research type which is used in this research is descriptive research with out for inductive approach comprehend the problem of pursuant to fact about fact residing in research location. Population in this research is Officer Service Of Inwrought Permit One Door ( KPPTSP) Town of Lhokseumawe amounting to 21 society and people doing/conducting management of permit with Office Service Of Inwrought Permit One Door ( KPPTSP) Town of Lhokseumawe.

Research type which used in this research is descriptive research with out for approach qualitative comprehend the problem of pursuant to fact about fact residing in research location. Population in this research is Officer Service Of Inwrought Permit One Door Town of Lhokseumawe and society conducting management of permit with Office Service Of Inwrought Permit One Door ( KPPTSP) Town of Lhokseumawe. Sampel of officer amount to 10 people and from society amount to 20 people.

After being analized, we will know that the quality of One-door office’s service Town of Lhokseumawe can be told have is good enough. Than dimension of tangibles still unfavourable resulted by the condition of narrow, tight office and less balmy, so also medium park which is not peaceful. This matter is caused by this office not yet owned permanent building and in rent status. While there is three factor of manajerial uncommitted maximally that is its strength of position bargain service user, functioning of mechanism of voice, the awaking up of service culture.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan judul “Kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan Faktor-Faktor Manajerial yang Mempengaruhinya di Kota Lhokseumawe” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Studi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dengan segala keterbatasan yang dimiliki penulis. Pada kesempatan ini pula perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu memberikan sumbangan saran pemikiran baik secara langsung maupun tidak langsung khususnya kepada :

1. Bapak Walikota Lhokseumawe yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi.

2. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DSAK, DTMH selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Ir. Chairun Nisa, B. M.Sc selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Ketua Program Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Subhilhar, MA, Ph.D selaku Penasehat I Program Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

(9)

7. Ibu Prof. Dr. Erika Revida, MS selaku dosen Pembimbing I, yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

8. Bapak Drs. Kariono, M.Si selaku dosen Pembimbing II yang juga telah banyak memberikan arahan dan pemikiran kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

9. Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si dan Bapak Drs. Burhanuddin Harahap, M.Si selaku penguji dalam ujian tesis yang telah memberikan masukan dan koreksinya demi penyempurnaan penyusunan tesis ini.

10. Bapak/Ibu Dosen/Staf pengajar beserta pengelola Magister Studi Pembangunan USU-Medan yang telah banyak membantu baik dibidang Akademis maupun Administratif.

11. Bapak T. Adnan, SE selaku Kepala Kantor beserta seluruh jajaran aparatur Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Lhokseumawe yang telah banyak membantu dalam memberikan arahan dan data bagi penulis. 12. Seluruh rekan MSP-USU Medan, khususnya kelas Lhokseumawe yang yang

telah memberi semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

13. Ayahanda M. Isa Usman dan Ibunda Maryam, S.Pd serta seluruh anggota keluarga, teristimewa untuk Isteri tercinta Vera Nandalia, S.STP dan buah hati tercinta Muhammad Nabil Azzaky yang selalu memberikan dukungan dan do’a sehingga penulis dapat berhasil menyelesaikan pendidikan di Program Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

(10)

Akhirnya semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca, atas segala saran dan kritikan untuk penyempurnaan tesis ini penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Juli 2008

(11)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS DIRI

Nama : Ridha Fahmi

Tempat/Tgl.lahir : Rhing Mancang, 08 Agustus 1981

Alamat : Jl.Darussalam Gg.Perwira No.20 B Kampung Jawa Baru Kota Lhokseumawe

Pangkat/Golongan : Penata/IIIc

Instansi : Bagian Umum Sekretariat Daerah Kota Lhokseumawe Alamat Kantor : Jl.Merdeka No.2 Kota Lokseumawe

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SDN Rhing Kabupaten Pidie 1989 - 1994 2. SMP Negeri 9 Lhokseumawe, Aceh Utara 1994 - 1997 3. SMU Negeri 1 Kota Lhokseumawe 1997 - 2000 4. STPDN Jatinangor - Sumedang Jawa Barat 2000 - 2004

III. RIWAYAT PEKERJAAN

1. Calon Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Negeri Sipil Sekretariat Jenderal Depatemen Dalam Negeri tahun 2000 – 2004

2. Staf Bagian Kepegawaian Setdako Lhokseumawe tahun 2004 – 2005

3. Sekretaris Lurah Kelurahan Kampung Jawa Lhokseumawe tahun 2005– 2006 4. Kasubbag. Administrasi dan Umum pada Bagian Umum dan Perlengkapan

Sekretariat Daerah Kota Lhokseumawe tahun 2006 – 2007

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 9

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 12

2.1. Kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu ... 12

2.1.1. Kualitas... 36

2.1.2. Pelayanan... 36

2.2. Faktor-faktor Manajerial yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Perizinan ... 43

2.2.1. Penguatan Posisi Tawar Pengguna Jasa Pelayanan ... 45

2.2.2. Maksimalisasi Mekanisme Voice ... 45

2.2.3. Pembentukan Birokrat yang Berorientasi Pelayanan... 45

(13)

2.2.5. Pembangunan Sistem Pelayanan yang

4.1 Deskripsi Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Lhokseumawe... 62

4.1.1 Visi dan Misi... 62

4.1.2 Pencapaian Tujuan dan Sasaran... 62

4.1.3 Struktur Organisasi dan Kepegawaian... 63

4.1.4 Penyelenggaraan Pelayanan Publik ... 69

4.2. Kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu ... 71

4.2.1. Tangibles (Ketampakan Fisik) ... 71

4.2.2. Reliability (Reabilitas) ... 74

4.2.3. Responsiveness (Responsivitas atau Daya Tanggap) .. 81

4.2.4. Assurance (Kepastian) ... 83

4.2.5. Emphaty (Pelakuan)... 87

4.3. Faktor-faktor Manajerial Penentu Kualitas Pelayanan Perizinan. ... 90

4.3.1. Penguatan Posisi Tawar Pengguna Jasa Pelayanan ... 90

(14)

4.3.3. Pembentukan Birokrat yang Berorientasi Pelayanan... 93

4.3.4. Pengembangan Kultur Pelayanan ... 99

4.3.5. Pembangunan Sistem Pelayanan yang Mengutamakan Kepentingan Masyarakat... 100

BAB V PENUTUP ... 104

5.1. Kesimpulan... 104

5.2. Saran ……….. 104

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1. Kualitas Pelayanan Perizinan dan Faktor-Faktor Manajerial

yang Mempengaruhinya ... 56

5. Tanggapan Responden terhadap Ketampakan Fisik (Tangibles) pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota

Lhokseumawe ... 72 6. Tanggapan Responden terhadap Reliabilitas pada Kantor Pelayanan

Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Lhokseumawe... 75

7. Tanggapan Responden terhadap Ketepatan Waktu pelayanan pada Kantor

Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Lhokseumawe ... 77

10. Tanggapan Responden terhadap Assurance pada Kantor Pelayanan

Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Lhokseumawe ... 84

11. Besarnya Biaya Pelayanan ... 86

12. Tanggapan Responden terhadap Perlakuan pelayanan pada Kantor Pelayanan

Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Lhokseumawe... 87

13. Tanggapan Responden terhadap Keadilan Pelayanan pada Kantor

Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Lhokseumawe .... 89

(16)
(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1. Struktur Organisasi ... 64 2. Bagan Alur Pelayanan Perizinan ... 65

3. Mekanisme Pelayanan Perizinan pada Kantor Pelayanan Perizinan

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pelayanan menjadi suatu hal yang sangat penting untuk kita telusuri perkembangannya mengingat dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Berlakunya peraturan tersebut akan mengakibatkan interaksi antara aparat Daerah dan masyarakat menjadi lebih intens. Hal ini ditambah dengan semakin kuatnya tuntutan demokratisasi dan pengakuan akan hak-hak asasi manusia akan melahirkan tuntutan terhadap manajemen pelayanan yang berkualitas.

(20)

Ruang lingkup pelayanan dan jasa-jasa publik (public services) meliputi aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas. Pelayanan dan jasa publik bahkan dimulai sejak seseorang dalam kandungan ketika diperiksa oleh dokter pemerintah atau dokter yang dididik di universitas negeri, mengurus akta kelahiran, menempuh pendidikan di universitas negeri, menikmati bahan makanan yang pasarnya dikelola oleh pemerintah, menempati rumah yang disubsidi pemerintah, memperoleh macam-macam perijinan yang berkaitan dengan dunia usaha yang digelutinya hingga seseorang meninggal dan memerlukan surat pengantar dan surat kematian untuk mendapatkan kapling di tempat pemakaman umum (TPU).

(21)

Sebagai bagian dari sistem kenegaraan dengan konstitusi yang pekat dengan norma keadilan, ekonomi Indonesia dicirikan oleh ruang lingkup pelayanan yang sangat luas. Sayangnya, pelayanan yang menyentuh hampir setiap sudut kehidupan masyarakat tidak ditopang oleh mekanisme pengambilan keputusan yang terbuka serta proses politik yang demokratis. Karena itu tidak mengherankan jika pelayanan publik di Indonesia memiliki ciri yang cenderung korup, apalagi yang berkaitan dengan pengadaan produk-produk pelayanan yang bersifat perizinan dan lain-lain.

Kendati mungkin fenomena korupsi yang berkaitan dengan jenis-jenis produk tadi hanya melibatkan biaya transaksi (antara sektor publik dengan individu masyarakat) yang relatif kecil (pretty corruption), tetapi biaya-biaya transaksi tersebut melibatkan porsi populasi yang sangat besar. Karena itu pola korupsi dengan menggunakan instrumen produk-produk pelayanan tersebut bisa jadi memiliki dampak yang sangat luas.

Masalahnya kemudian adalah bagaimana meminimalkan biaya-biaya transaksi tersebut? Teramat sulit tentunya menjawab pertanyaan ini, kendati jawabannya merupakan bagian terpenting dari strategi pemberantasan korupsi di sektor publik. Karena itu kajian mengenai mekanisme pelayanan perizinan, berikut biaya-biaya transaksinya menjadi elemen penting dari strategi pemberantasan korupsi.

(22)

government, mengandung pengertian bahwa aparatur pemerintah harus bertindak

sebagai katalisator dan bukannya penghambat dari kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya mempercepat pelayanan masyarakat. Dalam konteks ini, fungsi pemerintah lebih dititikberatkan sebagai regulator dibanding implementator atau aktor pelayanan. Sebagai imbangannya, pemerintah perlu memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat sendiri sebagai penyedia atau pelaksanaan jasa pelayanan umum. Dengan kata lain, tugas pemerintah adalah membantu masyarakat agar mampu membantu dirinya sendiri (helping people to help themselves). Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan prinsip self-help atau steering rather than

rowing.

Pembentukan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) sebagai institusi yang khusus bertugas memberikan pelayanan perizinan langsung kepada masyarakat, pada dasarnya dapat dikatakan sebagai terobosan baru atau inovasi manajemen pemerintahan di Daerah khususnya di Kota Lhokseumawe. Artinya, pembentukan organisasi ini hendaknya memberikan hasil berupa peningkatan produktivitas pelayanan umum. Pembentukan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) ini telah menghayati makna teori

Reinventing Government.

(23)

dikembangkan dalam hal ini adalah penyediaan jasa-jasa pelayanan kedalam beberapa alternatif kualitas. Jenis pelayanan yang secara kualitatif lebih baik dapat dikenakan biaya yang agak mahal, sementara jasa pelayanan standar dikenakan biaya atau tarif yang standar pula. Pemasukan dari jenis pelayanan yang relatif mahal, akan dapat dipergunakan untuk membiayai pelayanan yang lebih murah, melalui mekanisme subsidi silang (cross subsidi). Dengan cara demikian, diharapkan institusi dapat membiayai sendiri kebutuhan operasionalnya, dengan tidak mengorbankan fungsi pelayanan yang menjadi tugas utamanya.

Selain itu, fenomena di atas juga menunjukkan bahwa masyarakat yang belum terlayani masih lebih besar dibandingkan masyarakat yang sudah terlayani. Kenyataan tersebut disebabkan selain karena faktor geografis juga oleh lemahnya pelayanan oleh petugas baik secara administratif maupun teknis. Untuk itu Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) sebagai organisasi pelaksana harus meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan, karena pada hakikatnya kualitas ditentukan hanya oleh pelanggan (Coupet dalam Osborne dan Gaebler, 1992).

(24)

Kita semua menyadari pelayanan perizinan selama ini sangat sulit untuk memahami pelayanan yang diselenggarakan oleh birokrasi publik. Masyarakat pengguna jasa sering dihadapkan pada begitu banyak ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan birokrasi. Amat sulit memperkirakan kapan pelayanan itu bisa diperolehnya. Begitu pula dengan harga pelayanan. Harga bisa berbeda-beda tergantung pada banyak faktor yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh para pengguna jasa. Baik harga ataupun waktu seringkali tidak bisa terjangkau oleh masyarakat sehingga banyak orang yang kemudian malas berurusan dengan birokrasi publik.

Dari uraian diatas telah disebutkan bahwa keberadaan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) secara empirik telah berhasil mendongkrak efisiensi dan produktivitas pelayanan perizinan. Namun perlu digarisbawahi pula bahwa fungsi Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) sesungguhnya tidak lebih sebagai penyelenggara pelayanan perizinan. Pada dasarnya penulisan tentang kualitas pelayanan perizinan ini penting untuk dilakukan, dikarenakan masyarakat sebagai customer service belum merasa puas baik dari segi waktu, biaya dan mutu pelayanan yang selama ini diberikan. Untuk itu penulisan ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan perizinan di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Lhokseumawe.

(25)

tanggal 26 Maret 2007 yang ditetapkan dengan Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 01 Tahun 2007 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Lhokseumawe.

Tatalaksana pelayanan publik yang dilaksanakan di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Lhokseumawe meliputi:

1. Surat Izin Tempat Usaha (SITU) 2. Izin Gangguan (HO)

3. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) 4. Tanda Daftar Perusahaan (TDP) 5. Tanda Daftar Gudang (TDG) 6. Tanda Daftar Industri (TDI)

7. Izin Perluasan Usaha Industri (IPUI) 8. Izin Usaha Industri (IUI)

9. Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) 10. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) 11. Izin Penyelenggaraan Reklame

12. Izin Usaha Pertambangan Bahan Galian C 13. Izin Penyelenggaraan Wisata

14. Izin Apotek 15. Izin Toko Obat 16. Izin Bidan/Perawat 17. Izin Praktek Fisioterapi

18. Pendaftaran Pengobatan Tradisional/ Alternatif 19. Pendaftaran Pabrik Obat Tradisional

20. Izin Pusat Kebugaran

(26)

23. Izin Praktek Tukang Gigi 24. Izin Optik

25. Izin Penangkapan Ikan 26. Izin Pembudidayaan Ikan

27. Izin Penyimpanan/Penampungan/Pengolahan/Pengawetan Ikan 28. Izin Pengangkutan dan Pemasaran Ikan

29. Izin Penggunaan Kapal Perikanan 30. Izin Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum 31. Izin Usaha Salon Kecantikan

32. Izin Usaha Hotel

33. Izin Rumah Potong Hewan.

Total jenis izin yang ditangani adalah 33 (tiga puluh tiga) jenis pelayanan yang telah dikoordinasikan di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Lhokseumawe ini, pelaksanaannya tetap dikoordinasikan dengan unit kerja pengelolanya masing-masing. Hal yang berkaitan dengan persyaratan, mekanisme dan tata cara, jangka waktu penyelesaian dan biaya yang diperlukan, telah diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kota Lhokseumawe.

(27)

Namun, dalam perjalanannya masih banyak dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Berbagai cerita atau pengalaman dari masyarakat sebagai pengguna dari pelayanan perizinan yang mengeluhkan terhadap pelayanan yang telah diberikan oleh Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Lhokseumawe tersebut. Sudah sejak lama masyarakat mengeluh terhadap penyelenggaraan pelayanan perizinan yang dirasakannya amat jauh dari harapannya. Tetapi sejauh ini ternyata tidak ada perbaikan yang berarti dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan. Bahkan, harapan masyarakat bahwa pergantian rezim akan membawa perbaikan terhadap penyelenggaraan pelayanan perizinan ternyata masih jauh dari kenyataan.

1.2. Perumusan Masalah

(28)

Model perizinan terpadu (perdu) merupakan pengembangan dari pendekatan satu atap (sintap). Perdu pada dasarnya merupakan suatu model sintap yang dikembangkan terutama dari aspek cara memproses perizinan bersama-sama dengan lain, tergantung garis kewenangan dan kebutuhan tiap-tiap daerah adalah tanggung jawab bersama semua instansi yang berkaitan dengan perizinan. Instansi penyedia layanan haruslah ditentukan terlebih dahulu dan dilaksanakan secara konsisten. Sebaiknya, keputusan tentang pembentukan perdu ini tidak dibuat oleh instansi penyedia layanan. Tetapi haruslah diambil oleh Kepala Daerah dan atau persetujuan DPRK. Hal ini sangat penting untuk mencegah adanya konflik diantara penyedia layanan. Kecendrungan seperti ini pada akhirnya akan menimbulkan biaya tinggi dalam proses perizinan. Namun proses panjang dan costly ini tidak berarti bahwa model perdu ini tidak efektif. Efektivitas model ini tergantung pada kualitas pelayanan yang diberikan dan sinergi diantara perdu dengan instansi penyedia pelayanan terkait lainnya.

(29)

manajemen publiknya menjadi relevan untuk segera diketahui. Adapun perumusan masalah yaitu Bagaimana Kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan faktor-faktor manajerial yang mempengaruhinya di Kota Lhokseumawe ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah diuraikan diatas, penulis dalam melaksanakan penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan faktor-faktor manajerial yang mempengaruhinya di Kota Lhokseumawe.

Sedangkan Manfaat penelitian adalah:

1. Secara teoritis penulisan ini diharapkan mampu meningkatkan penguasaan teori-teori yang relevan dan pemahaman atas sejauhmana permasalahan yang diteliti serta penguasaan konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan topik yang di teliti yaitu pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Lhokseumawe dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan perizinan pada kantor tersebut.

(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu

Banyak faktor yang berperan dan dapat mempengaruhi pelayanan yang berkualitas, baik bila ditinjau dari aspek responsivitas, akuntabilitas, efisiensi dan organisasi pelayanan, keterbukaan, wewenang dan tanggungjawab serta moral dan etika menurut Supranto (2001) paling tidak ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam memberikan pelayanan yaitu:

1. Karyawan harus memberikan pelayanan dengan cepat 2. Karyawan harus berada di tempat kerja sewaktu dibutuhkan

3. Perilaku karyawan dalam memberikan pelayanan harus menyenangkan

Berkenaan dengan pendapat tersebut maka untuk meningkatkan kualitas pelayanan, persepsi masyarakat merupakan dasar utama dalam usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Budaya pelayanan yang merupakan faktor penghambat kualitas pelayanan menurut Yamit (2001) adalah sebagai berikut:

1. Petugas yang tidak ada di tempat pada waktu jam kerja sehingga sulit dihubungi 2. Banyak interest pribadi

3. Budaya tips

(31)

Kualitas yang dimaksudkan disini sesuai dengan arti Kamus Bahasa Indonesia (1991) yaitu tingkat buruknya sesuatu, dan derajat atau taraf (kepandaian, kecakapan, kemauan dan sebagainya). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas sumber daya manusia pelayanan mengacu kepada manusia selaku objek yang dinilai.

Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/2003, bahwa terdapat 10 (sepuluh) kreteria pelayanan masyarakat yang baik, diantaranya adalah:

1. Kesederhanaan yang meliputi prosedur pelayanan yang tidak berbelit belit dan mudah dilaksanakan.

2. Kejelasan, yang meliputi:

a. Persyaratan teknis dan administratif publik

b. Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab

c. Dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan sengketa dalam pelayanan publik dan tatacara pembayaran

d. Rincian biaya pelayanan publik dan tatacara pembayaran

3. Kepastian, pelaksanaan pelayanan pablik harus dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah diselesaikan.

4. Akurasi, produk pelayanan Publik dapat di tarima dengan benar, tepat dan sah. 5. Keamanan, proses dan pelayanan publik memberi rasa aman dan kepastian

hukum

(32)

7. Kelengkapan sarana dan perasarana, tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja, dan pendukung lainya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi, telekomunikasi dan informatika.

8. Kemudahan Akses, tempat dan lokasi serta pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan teknologi informatika.

9. Kedisiplinan, Kesopanan dan keramahan pemberian pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santón, ramah serta memberikan pelayanan dengan iklas. 10.Kenyamanan Lingkungan hidup harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu

yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi fasilitas pendukung pelayanan seperti parkir, toilet,tempat ibadah, dan lain lain.

(33)

Toha (1998) berpendapat bahwa untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, organisasi publik (birokrasi publik) harus merubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan layanan publik, dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan berubah menjadi suka mendorong menuju kearah yang sesuai, kolabiratis dan dialogis dan dari cara-cara sloganis menuju cara kerja realistik pragmatik.

Dimata masyarakat, kualitas pelayanan ini meliputi ukuran sebagai berikut, (Brown, 1992):

1. Realibility, yaitu kemampuan untuk memproduksi jasa sesuai yang diinginkan. 2. Responsiveness, yaitu kemampuan untuk membantu pelanggan dan pemberian

pelayanan yang tepat.

3. Tangible, yaitu penyediaan fasilitas fisik dan perlengkapan serta penampilan pribadi.

Sesuai yang diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik disebutkan bahwa transparansi pelayanan publik merupakan penyelenggaraan pelayanan publik dimana pelaksanaan tugas dan kegiatan bersifat terbuka bagi masyarakat, mulai dari proses kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/pengendaliannya serta mudah diakses oleh semua pihak yang membutuhkan informasi.

(34)

kualitas sendiri mengandung banyak pengertian, beberapa contoh pengertian kualitas menurut Tjiptono (2002) adalah :

1. Kesesuaian dengan persyaratan; 2. Kecocokan untuk pemakaian; 3. Perbaikan berkelanjutan; 4. Bebas dari kerusakan/cacat;

5. Pemenuhan kebutuhan pelangggan sejak awal dan setiap saat; 6. Melakukan segala sesuatu secara benar;

7. Sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan.

Pada prinsipnya pengertian-pengertian tersebut diatas dapat diterima. Yang menjadi pertanyaan adalah ciri-ciri atau atribut-atribut apakah yang ikut menentukan kualitas pelayanan publik tersebut. Ciri-ciri atau atribut-atribut tersebut yaitu antara lain :

1. Ketepatan waktu pelayanan, yang meliputi waktu tunggu dan waktu proses; 2. Akurasi pelayanan, yang meliputi bebas dari kesalahan;

3. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan;

4. Kemudahan mendapatkan pelayanan, misalnya banyaknya petugas yang melayani dan banyaknya fasilitas pendukung seperti komputer;

5. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruang tempat pelayanan, tempat parkir, ketersediaan informasi dan lain-lain;

6. Atribut pendukung pelayanan lainnya seperti ruang tunggu ber-AC, kebersihan dan lain-lain.

(35)

sejauhmana publik berharap apa yang akhirnya diterima mereka. Dengan demikian dilakukan penilaian tentang sama tidaknya antara harapan dengan kenyataan, apabila tidak sama maka pemerintah diharapkan dapat mengoreksi keadaan agar lebih teliti untuk peningkatan kualitas pelayanan publik.

Selanjutnya dipertanyakan apakah terhadap kehendak masyarakat, seperti ketentuan biaya yang tepat, waktu yang diperhitungkan dan mutu yang dituntut masyarakat telah dapat terpenuhi. Andaikata tidak terpenuhi, pemerintah diharapkan mengkoreksi keadaan, sedangkan apabila terpenuhi dilanjutkan pada pertanyaan berikutnya, tentang berbagai informasi yang diterima masyarakat berkenaan dengan situasi dan kondisi, serta aturan yang melengkapinya.

Memang pada dasarnya ada 3 (tiga) ketentuan pokok dalam melihat tinggi rendahnya suatu kualitas pelayanan publik (Warsito Utomo, 1997), perlu diperhatikan adanya keseimbangan antara:

1. Bagian antar pribadi yang melaksanakan (Inter Personal Component);

2. Bagian proses dan lingkungan yang mempengaruhi (Process and Environment

Component);

3. Bagian profesional dan teknik yang dipergunakan (Professional and Technical

Component).

(36)

Zeithaml, et.al (1990) mengutarakan bahwa kualitas pelayanan merupakan sesuatu yang kompleks, sehingga untuk menentukan sejauh mana kualitas dari pelayanan, dapat dilihat dari lima dimensi yaitu :

1. Tangibles atau ketampakan fisik, artinya petampakan fasilitas fisik seperti

gedung, peralatan atau perlengkapan, pegawai dan fasilitas- fasilitas lainnya yang menunjang pelayanan.

2. Reability atau reabilitas adalah kemampuan untuk menyelenggarakan pelayanan

yang dijanjikan secara akurat;

3. Responsiveness atau responsivitas adalah kerelaan untuk untuk menolong

customers dan menyelenggarakan pelayanan secara iklas;

4. Assurance atau kepastian adalah pengetahuan dan kesopanan para pekerja dan

kemampuan mereka dalam memberikan kepercayaan kepada customers.

5. Emphaty adalah perlakuan atau perhatian pribadi yang diberikan oleh providers

kepada customers;

Menurut Garvin dikutip Tjiptono ( 2002 ) ada lima macam perspektif kualitas yang berkembang, kelima macam perspektif inilah yang bisa menjelaskan mengapa kualitas bisa diartikan secara beraneka ragam oleh orang yang berbeda dalam situasi yang berlainan meliputi :

1. Transcendental approach

(37)

dioperasionalisasikan. Sudut pandang ini biasanya diterapkan dalam dunia seni, meskipun demikian suatu perusahaan dapat mempromosikan produknya melalui pernyataan-pernyataan maupun pesan-pesan komunikasi seperti tempat berbelanja yang menyenangkan.

2. Produc based approach

Pendekatan ini menganggap bahwa kualitas merupakan karakteristik atau atribut yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas mencerminkan perbedaan dalam jumlah beberapa unsur atau atribut yang dimiliki produk, karena pandangan ini sangat obyektif maka tidak dapat menjelaskan perbedaan , kebutuhan dan preperensi individual.

3. Used based approach

Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung kepada orang yang memandangnya, sehingga produk yang berkualitas paling tinggi. Perspektif yang subyektif dan demand oriented ini juga menyatakan bahwa pelanggan yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda pula sehingga kualitas bagi seseorang adalah sama dengan kepuasan maksimum yang dilaksanakannya.

4. Manufacturing based approach

(38)

spesipikasi yang dikembangkan secara internal, yang seringkali didorong oleh tujuan peningkatan produktivitas dan penekanan biaya jadi yang menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, bukan konsumen yang menggunakannya.

5. Value base approach

Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga dengan mempertimbangkan trade off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan sebagai affordable excellence, kualitas dalam perspektif ini bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai; akan tetapi yang paling bernilai adalah barang atau jasa yang paling tepat dibeli.

Menurut Wolkins et al dikutip Tjiptono ( 2002 ) bahwa untuk menciptakan suatu gaya manajemen dan lingkungan yang kondusif bagi perusahaan jasa untuk memperbaiki kualitas, perusahaan harus mampu memenuhi enam prinsip utama yang berlaku. Keenam prinsip tersebut sangat bermanfaat dalam membentuk dan mempertahankan lingkungan yang tepat untuk melaksanakan penyempurnaan kualitas secara berkesinambungan dengan didukung oleh pemasok, karyawan dan pelanggan yaitu :

(39)

puncak, maka usaha untuk meningkatkan kualitas hanya berdampak kecil terhadap perusahaan.

2. Pendidikan, semua personil perusahaan dari manajer puncak sampai karyawan operasional, harus memperoleh pendidikan mengenai kualitas. Aspek-aspek yang perlu mendapatkan penekanan dalam pendidikan meliputi konsep kualitas sebagai strategi bisnis, alat dan teknik implementasi strategi kualitas dan peranan eksekutif .

3. Perencanaan, harus mencakup pengukuran dan tujuan kualitas yang dipergunakan dalam mengarahkan perusahaan untuk mencapai visinya.

4. Review merupakan satu-satunya alat yang paling efektif bagi manajemen untuk mengubah perilaku organisasional, proses ini merupakan suatu mekanisme yang menjamin adanya perhatian yang konstan dan terus menerus untuk mencapai tujuan kualitas.

5. Komunikasi, implementasi strategis kualitas dalam organisasi dipengaruhi oleh proses komunikasi dalam perusahaan, komunikasi harus dilakukan dengan karyawan, pelanggan dan stake holder perusahaan lainnya.

(40)

memberikan kontribusi besar bagi perusahaan dan bagi pelanggan yang dilayaninya.

Menurut Tjiptono ( 2002 ) faktor-faktor penyebab kualitas yang buruk meliputi:

1. Produksi dan konsumsi yang terjadi secara simultan adalah merupakan karakteristik jasa yang penting artinya jasa diproduksi dan dikomsumsi pada saat bersamaan, dengan kata lain dalam memberikan jasa dibutuhkan kehadiran dan partisipasi pelanggan akibatnya timbul masalah-masalah sehubungan dengan interaksi produsen dan konsumen jasa. Beberapa kekurangan yang mungkin ada pada karyawan pemberi jasa dan dapat berpengaruh terhadap persepsi pelanggan pada kualitas misalnya : tidak terampil dalam melayani pelanggan, cara berpakaian tidak sesuai, tutur katanya kurang sopan atau bahkan menyebalkan, bau badannya mengganggu dan selalu cemberut atau pasang tampang angker. 2. Intensitas tenaga kerja yang tinggi, keterlibatan tenaga kerja yang intensif dalam

penyempaian jasa dapat pula menimbulkan masalah pada kualitas, yaitu tingkat variabilitas yang tinggi.

(41)

4. Kesenjangan komunikasi, merupakan faktor yang sangat esensial dalam kontak dengan pelanggan. Bila terjadi kesenjangan dalam komunikasi, maka akan timbul penilaian negatif terhadap kualitas jasa.

5. Memperlakukan semua pelanggan dengan cara yang sama, dalam hal ini interaksi dengan pemberi jasa tidak semua pelanggan bersedia menerima pelayanan yang seragam, sering terjadi ada pelanggan yang menginginkan atau bahkan menuntut jasa yang bersifat personal dan berbeda dengan pelanggan lain.

6. Perluasan atau pengembangan jasa secara berlebihan, disatu sisi memperkenalkan jasa baru atau memperkaya jasa lama dapat meniningkatkan peluang pemasaran dan menghindari terjadinya pelayanan yang buruk.

7. Visi bisnis jangka pendek, bisa merusak kualitas jasa yang sedang dibentuk untuk jangka panjang, misalnya : kebijakan suatu bank untuk menekan biaya dengan cara mengurangu jumlah kasir menyebabkan semakin panjangnya antrian di Bank.

Menurut Tjiptono (2002) strategi meningkatkan kualitas jasa tidaklah semudah yang dibayangkan. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, upaya tersebut berdampak luas yaitu terhadap budaya organisasi secara keseluruhan. Di antara berbagai faktor yang perlu mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut :

(42)

sasaran terhadap perusahaan dan pesaing berdasarkan determinan-determinan tersebut. Dengan demikian dapat diketahui posisi relatif perusahaan di mata pelanggan dibandingkan pesaing, sehingga perusahaan dapat memfokuskan supaya peningkatan kualitasnya.

2. Mengelola harapan pelanggan, semakin banyak janji yang diberikan maka semakin besar pula harapan pelanggan (bahkan bisa menjurus menjadi tidak realistis) yang pada gilirannya akan menambah peluang tidak dapat terpenuhinya harapan pelanggan oleh perusahaan.

3. Mengelola bukti kualitas jasa, bertujuan untuk memperkuat persepsi pelanggan selama dan sesudah jasa diberikan. Oleh karena jasa merupakan kinerja dan tidak dapat dirasakan sebagaimana halnya barang, maka pelanggan cenderung memperhatikan fakta-fakta tangibles yang berkaitan dengan jasa sebagai bukti kualitas.

4. Mendidik konsumen tentang jasa, membantu pelanggan dalam memahami suatu jasa merupakan upaya yang sangat positif dalam rangka menyampaikan kualitas jasa, pelanggan yang lebih terdidik akan dapat mengambil keputusan secara lebih baik.

(43)

Ada beberapa faktor yang dapat memperlancar dan sekaligus dapat pula menghambat pengembangan jasa yang berkualitas, yaitu:

a) Manusia, misalnya deskripsi kerja, seleksi, pelatihan.

b) Organisasi/struktur, meliputi integrasi/koordinasi fungsi-fungsi dan struktur pelaporan.

c) Pengukuran, yaitu evaluasi kinerja dan pemantauan keluhan dan kepuasan pelanggan.

d) Pendukung sistem, yakni faktor tehnis, komputer.

e) Pelayanan, meliputi nilai tambah, rentang dan kualitas, standar kinerja, pemuasan kebutuhan dan harapan.

f) Program, meliputi pengelolaan keluhan, alat-alat penjualan/promosi, alat-alat manajemen.

g) Komunikasi internal terdiri dari prosedur dan kebijaksanaan umpan balik dalam organisasi.

h) Komunikasi eksternal yakni pendidikan pelanggan, penciptaan harapan, citra perusahaan.

6. Menciptakan automating quality dapat mengatasi variabilitas kualitas jasa yang disebabkan kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki, perusahaan perlu melakukan penelitian secara seksama untuk menentukan bagian yang membutuhkan sentuhan manusia dan bagian yang memerlukan otomatisasi. 7. Menidak lanjuti jasa dapat membantu memisahkan aspek-aspek-aspek jasa yang

(44)

8. Mengembangkan sistem informasi kualitas jasa merupakan suatu sistem yang menggunakan berbagai macam pendekatan riset secara sistematis untuk mengumpulkan, menyebarluaskan informasi kualitas jasa guna mendukung pengambilan keputusan. Informasi yang dibutuhkan mencakup segala aspek, yaitu data saat ini dan masa lalu, kuantitatif dan kualitatif, internal dan eksternal, serta informasi mengenai perusahaan dan pelanggan.

Dengan demikian baik tidaknya kualitas pelayanan tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten. Kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang pelanggan.

(45)

Adapun dasar untuk menilai suatu kualitas pelayanan selalu berubah dan berbeda. Apa yang dianggap sebagai suatu pelayanan yang berkualitas saat ini tidak mustahil dianggap sebagai sesuatu yang tidak berkualitas pada saat yang lain. Maka kesepakatan terhadap kualitas sangat sulit untuk dicapai. Dalam hal ini yang dijadikan pertimbangan adalah kesulitan atau kemudahan konsumen dan produsen di dalam menilai kualitas pelayanan.

Transparansi penyelenggaraan pelayanan publik tersebut meliputi:

1. Manajemen dan penyelenggaraan pelayanan publik meliputi kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/pengendaliannya oleh masyarakat. Kegiatan ini harus diinformasikan dan mudah diakses oleh masyarakat.

2. Prosedur pelayanan yang merupakan rangkaian proses atau tata kerja yang menunjukkan adanya tahapan yang jelan dan pasti, sederhana, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan serta diwujudkan dalam bagan alur. 3. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan harus diinformasikan secara jelas

dan relevan dengan jenis pelayanan serta diletakkan di dekat loket pelayanan. 4. Rincian biaya pelayanan harus diinformasikan secara jelas dan diletakkan di dekat

loket pelayanan dan dapat dibaca serta pungutan yang ditarik dari masyarakat harus disertai dengan tanda bukti resmi sesuai dengan jumlah yang dibayarkan. 5. Waktu penyelesaian pelayanan dan kurun waktu penyelesaian pelayanan publik

(46)

6. Pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab memberikan pelayanan dan atau menyelesaikan keluhan/persoalan/sengketa harus ditetapkan dengan memperhatikan persyaratan/persyaratan yang dibutuhkan.

7. Lokasi pelayanan mudah dijangkau dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang cukup memadai.

8. Janji pelayanan yang merupakan komitmen tertulis unit kerja dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat harus tertulis jelas, singkat, dan mudah dimengerti yang menyangkut hal-hal yang esensial dan informasi yang akurat termasuk didalamnya standar kualitas pelayanan.

9. Standar pelayanan publik wajib disusun sesuai dengan tugas dan kewenangan dan dipublikasikan kepada masyarakat sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan.

10.Informasi pelayanan mengenai prosedur, persyaratan, biaya, waktu, standar, janji/motto pelayanan, lokasi serta pajabat/petugas yang berwenang dan bertanggungjawab wajib dipublikasikan kepada masyarakat melalui media cetak, gambar atau penyukuhan langsung kepada masyarakat.

(47)

pelayanan, dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka, pemberian kompensasi, penilaian oleh masyarakat secara berkala sesuai mekanisme dan mekanisme pertanggungjawaban bila terjadi kerugian dalam pelayanan atau jika pengaduan masyarakat tidak ditanggapi.

Akuntabilitas biaya pelayanan publik yang meliputi biaya pelayanan yang dipungut harus sesuai dengan ketentuan perundangan yang ditetapkan dan pengaduan masyarakat terhadap penyimpangan biaya pelayanan publik harus ditangani oleh petugas yang ditunjuk berdasarkan penugasan dari pejabat yang berwenang.

Akuntabilitas produk pelayanan publik yang menyakut persyaratan teknis dan administratif harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi kualitas dan keabsahan produk pelayanan, prosedur dan mekanisme kerja harus sederhana dan dilaksanakan sesuai ketentuan yang ditetapkan serta produk pelayanan diterima dengan benar, tepat, dan sah.

(48)

nonperizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen dilakukan pada satu tempat. Perizinan Terpadu Satu Pintu merupakan salah satu pola pelayanan yang diselenggarakan satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan, memiliki keterkaitan proses dan dilayani pada satu pintu.

Beberapa pengertian tentang berbagai jenis perizinan menurut Pemerintah Kota Lhokseumawe (2007) antara lain:

1. Izin adalah izin usaha atau surat keterangan yang dipersamakan dengan itu yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang dan diberikan kepada pengusaha untuk menjalankan kegiatan usahanya.

2. Surat Izin Tempat Usaha (SITU) adalah izin yang diberikan untuk mendirikan dan atau menggunakan tempat-tempat, ruang-ruang tempat bekerja dan jasa yang untuk mendirikannya tidak memerlukan rUndang-Undang gangguan (Hinder Ordonantie)

3. Izin Gangguan (HO) adalah izin gangguan yang diberikan kepada orang pribadi atau badan dilokasi tertentu yang menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan, tidak termasuk tempat usaha yang lokasinya telah ditunjuk oleh pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah.

(49)

dimaksudkan agar disain, pelaksanaan pembangunan, dan bangunan sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku.

Model perizinan terpadu (perdu) merupakan pengembangan dari pendekatan satu atap (sintap). Perdu pada dasarnya merupakan suatu model sintap yang dikembangkan terutama dari aspek cara memproses perizinan bersama-sama dengan lain, tergantung garis kewenangan dan kebutuhan tiap-tiap daerah adalah tanggung jawab bersama semua instansi yang berkaitan dengan perizinan. Instansi penyedia layanan haruslah ditentukan terlebih dahulu dan dilaksanakan secara konsisten. Sebaiknya, keputusan tentang pembentukan perdu ini tidak dibuat oleh instansi penyedia layanan. Tetapi haruslah diambil oleh Kepala Daerah dan atau persetujuan DPRK. Hal ini sangat penting untuk mencegah adanya konflik diantara penyedia layanan. Kecendrungan seperti ini pada akhirnya akan menimbulkan biaya tinggi dalam proses perizinan.

(50)

terhadap perdu akan menentukan penilaian terhadap perizinan mana yang akan dikeluarkan lewat saluran tertentu. Mungkin, indikator akses yang penting dalam pengambilan keputusan tersebut adalah luasnya wilayah, jumlah, serta kepadatan penduduk.

Kompleksitas sistem perizinan dan model-model sistem perizinan usaha terpadu (perdu) yang ada tentu saja memiliki beberapa kelemahan yang melekat di dalamnya. Hal ini tidak dapat dihindari karena tidak ada sistem yang 100% sempurna. Dengan mengetahui kelemahan-kelemahan potensial sistem ini, yang perlu dilakukan adalah mengembangkan strategi untuk menghindari kelemahan tersebut dalam implementasi sistem perdu. Strategi yang tepat menurut Wibawa (2007) adalah dengan menerapkan sistem yang mempermudah bukan mempersulit, memperpendek bukan memperpanjang, lebih murah bukan makin mahal, dan menarik bukan membosankan.

a. Mempermudah bukan mempersulit

Prosedur yang panjang dan berbelit-belit merupakan stigma lama sistem perizinan yang kita kenal selama ini. Oleh karena itu, perdu semestinya memberi perhatian besar pada tantangan mengubah anggapan perizinan yang selama ini sulit dan tidak bersahabat menjadi suatu kegiatan yang mudah dan menyenangkan.

(51)

citra baru bahwa prosedur pengurusan izin sederhana, mudah dan menyenangkan. Misalnya pelanggan yang sebelumnya harus pergi ke beberapa kantor dinas untuk mengurus satu perizinan, sekarang ia cukup pergi ke satu tempat yaitu perdu. Namun dalam realitanya bisa saja proses perizinan ternyata lebih panjang dari sebelumnya meskipun maksudnya bukan begitu. Hal itu dapat terjadi karena secara tidak sengaja lebih banyak prosedur yang ditambahkan ke dalam sistem perdu itu dengan biaya dan waktu yang sama atau bahkan lebih.

b. Memperpendek, bukan memperpanjang

Kelemahan lain yang mungkin terjadi dalam sistem perdu adalah jika implementasi perdu menjadikan pelanggan harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk dapat mengakses pelayanan yang sama dibandingkan waktu sebelumnya. Sebagai ilustrasi, pelayanan pengurusan IMB sebelumnya dilaksanakan di kantor camat namun setelah dilaksanakannya perdu pelanggan harus mengajukan aplikasi perizinan yang sama ke perdu yang terletak di ibukota kabupaten/ kota. Jarak adalah hal yang sangat penting di sebagian besar daerah, khusus untuk daerah yang wilayah sangat luas dan berpenduduk jarang.

c. Lebih murah bukan lebih makin mahal

(52)

administrasi untuk mendokumentasikan berkas yang dibutuhkan dari pelanggan. Biaya tidak langsung dapat berupa ongkos transportasi dan biaya lain yang terkait mendapat izin.

d. Menarik bukan membosankan

Implementasi perdu yang menyebabkan berkurangnya minat masyarakat untuk memperoleh izin dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, persepsi masyarakat bahwa perdu yang baru lebih baik atau bahkan lebih buruk dari prosedur perizinan sebelumnya. Yang kedua, lokasi perdu terlalu jauh dari tempat tinggal sebagian besar dari masyarakat sehingga akses ke perdupun menjadi tidak praktis dan sulit bagi mereka.

(53)

cepat dan mungkin juga dengan menawarkan biaya perizinan yang lebih murah jika dimungkinkan.

Dari beberapa asumsi tersebut, maka ditarik kesimpulan bahwa kualitas pelayanan adalah merupakan usaha sadar yang dilakukan organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggungjawabnya untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Dalam penelitian ini dimensi yang digunakan untuk mengetahui bagaimana kualitas pelayanan perizinan terpadu satu pintu di Kota Lhokseumawe dipergunakan teori menurut pendapat Zeithaml, et.al (1990) yaitu:

1. Tangibles atau ketampakan fisik, artinya penampakan fasilitas fisik seperti

gedung, peralatan atau perlengkapan, pegawai dan fasilitas- fasilitas lainnya yang menunjang pelayanan.

2. Reliability atau reabilitas adalah kemampuan untuk menyelenggarakan pelayanan

yang dijanjikan secara akurat;

3. Responsiveness atau responsivitas adalah kerelaan untuk untuk menolong

customers dan menyelenggarakan pelayanan secara iklas;

4. Assurance atau kepastian adalah pengetahuan dan kesopanan para pekerja dan

kemampuan mereka dalam memberikan kepercayaan kepada customers.

5. Emphaty adalah perlakuan atau perhatian pribadi yang diberikan oleh providers

(54)

2.1.1. Kualitas

Pengertian kualitas mengandung banyak penafsiran dan arti. Supranto (2000) mendefinisikan bahwa kualitas adalah sebuah kata yang bagi penyedia jasa merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik. Sejalan dengan hal tersebut Goetsch dan Davis (dalam Tjiptono dan Diana, 2001) mendefinisikan bahwa kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi dan melebihi harapan.

Dari definisi tersebut ada beberapa kesamaan yaitu:

1. Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggannya. 2. Kualitas merupakan kondisi yang setiap saat mengalami perubahan. 3. Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan.

4. Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang memenuhi atau melebihi harapan.

Perbedaan harapan dan persepsi masyarakat yang dilayani birokrasi pemerintah selaku pemberi layanan merupakan permasalahan krusial yang mengakibatkan terjadinya pelayanan tidak berkualitas, tidak efektif dan tidak efisien.

2.1.2. Pelayanan

(55)

sudah sesuai dengan keinginan dan harapan pelanggan (Supranto, 2001).

Sejalan dengan uraian tersebut, maka pengertian pelayanan menurut Munir (2000) adalah serangkaian kegiatan karena itu ia merupakan proses, sebagai proses pelayanan langsung secara rutin dan berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan orang dalam masyarakat. Dari definisi yang telah diuraikan, maka ditarik kesimpulan bahwa pelayanan merupakan serangkaian proses meliputi kebutuhan masyarakat yang

dilayani secara berkesinambungan.

Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998). Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional.

(56)

pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pelayanan dengan demikian dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.

Sementara itu, kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat (Thoha dalam Widodo, 2001). Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintahnya.

(57)

arti menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan krativitasnya untuk mengatur dan menentukan

masa depannya sendiri.

Pelayanan publik yang berkualitas, artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis di atas, birokrasi publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha dalam Widodo, 2001). Dengan revitalitas birokrasi publik (terutama aparatur pemerintah daerah) ini, pelayanan publik yang lebih baik dan profesional dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewenagan yang diberikan kepadanya dapat

terwujud.

Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat (public

service function), fungsi pembangunan (development function) dan fungsi

perlindungan (protection function).

(58)

(pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien dan akuntabel kepada seluruh masyarakat yang membutuhkannya. Selain itu, pemerintah dituntut untuk menerapkan prinsip

equity dalam menjalankan fungsi-fungsi tadi. Artinya pelayanan pemerintah tidak

boleh diberikan secara diskriminatif. Pelayanan diberikan tanpa memandang status, pangkat, golongan dari masyarakat dan semua warga masyarakat mempunyai hak yang sama atas pelayanan-pelayanan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Meskipun pemerintah mempunyai fungsi-fungsi sebagaimana di atas, namun tidak berarti bahwa pemerintah harus berperan sebagai monopolist dalam pelaksanaan seluruh fungsi-fungsi tadi. Beberapa bagian dari fungsi tadi bisa menjadi bidang tugas yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pihak swasta ataupun dengan menggunakan pola kemitraan (partnership), antara pemerintah dengan swasta untuk mengadakannya. Pola kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam memberikan berbagai pelayanan kepada masyarakat tersebut sejalan dengan gagasan

reinventing government yang dikembangkan Osborne dan Gaebler (1992).

(59)

tidak adil (unfair rule). Karena itu peran pemerintah yang akan tetap melekat di sepanjang keberadaannya adalah sebagai penyedia barang publik murni yang

bernama aturan.

Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai pelayan masyarakat. Karena itu, kedudukan aparatur pemerintah dalam pelayanan umum (public services) sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauhmana pemerintah mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, yang dengan demikian akan menentukan sejauhmana negara telah menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tujuan pendiriannya.

Dipandang dari sudut ekonomi, pelayanan merupakan salah satu alat pemuas kebutuhan manusia sebagaimana halnya dengan barang. Namun pelayanan memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dari barang. Salah satu yang membedakannya dengan barang, sebagaimana dikemukakan oleh Gasperz (1994), adalah outputnya yang tidak berbentuk (intangible output), tidak standar, serta tidak dapat disimpan dalam inventori melainkan langsung dapat dikonsumsi pada saat produksi.

(60)

Produk akhir pelayanan sangat tergantung dari proses interaksi yang terjadi antara

layanan dengan konsumen.

Dalam konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa pelayanan umum adalah mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik (publik=umum). Senada dengan itu, Moenir (1992) mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.

Dalam buku Delivering Quality Services karangan Zeithaml, et.al ( 1990),

yang membahas tentang bagaimana tanggapan dan harapan masyarakat pelanggan terhadap pelayanan yang mereka terima, baik berupa barang maupun jasa. Dalam hal ini memang yang menjadi tujuan pelayanan publik pada umumnya adalah bagaimana mempersiapkan pelayanan publik tersebut yang dikehendaki atau dibutuhkan oleh publik, dan bagaimana menyatakan dengan tepat kepada publik mengenai pilihannya dan cara mengaksesnya yang direncanakan dan disediakan oleh pemerintah.

Kemudian, untuk tujuan tersebut diperinci sebagai berikut :

1. Menentukan pelayanan publik yang disediakan, apa saja macamnya; 2. Memperlakukan pengguna pelayanan, sebagai customers;

3. Berusaha memuaskan pengguna pelayanan, sesuai dengan yang diinginkan mereka;

(61)

5. Menyediakan cara-cara, bila pengguna pelayanan tidak ada pilihan lain.

2.2. Faktor-Faktor Manajerial yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Perizinan

Berdasarkan analisis data dari beberapa pakar dan observasi diketahui bahwa hal yang paling essensial dalam peningkatan kualitas pelayanan adalah adanya kesetaraan hubungan antara masyarakat pengguna jasa dengan aparat yang bertugas memberikan jasa pelayanan. Pelayanan Publik hanya akan menjadi baik atau berkualitas apabila masyarakat yang mengurus sesuatu jenis pelayanan tertentu mempunyai posisi tawar yang sebanding dengan posisi tawar petugas pemberi pelayanan.

Pentingnya kesetaraan posisi tawar antara petugas dan instansi pemberi pelayanan di satu sisi dengan masyarakat pengguna jasa disisi lainnya adalah mutlak untuk mewujudkan pelayanan perizinan yang berkualitas. Dengan demikian masyarakat harus diberdayakan dan pelayanan harus dikontrol. Kontrol ini harus dilakukan kepada semua pihak baik pemerintah, swasta maupun LSM. Biasanya hanya instansi pemerintah saja yang ditengarai melakukan penyimpangan, padahal pihak lainpun akan melakukan penyimpangan apabila kontrol terhadap mereka lemah.

(62)

perizinan tidak dimungkinkan, maka harus ada mekanisme ‘voice’. Mekanisme ‘voice’ ini artinya pengguna jasa dapat menyampaikan ketidakpuasannya terhadap pelayanan yang diberikan oleh instansi penyelenggara pelayanan perizinan. Jadi untuk mewujudkan kesetaraan hubungan agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan perizinan, yang harus dilakukan adalah : (a) memperkuat posisi tawar pengguna jasa pelayanan; dan (b) memfungsikan mekanisme ‘voice’. Sedangkan faktor-faktor manajerial yang menjadi penentu kualitas pelayanan perizinan adalah: (a) adanya birokrasi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa; (b) terbangunnya kultur pelayanan dalam organisasi pemerintah yang bertugas untuk memberikan pelayanan perizinan, dan (c) diterapkannya sistem pelayanan yang mengutamakan masyarakat, khususnya pengguna jasa pelayanan.

Hal ini sesuai dengan pendapat Ratminto & Winarsih (2005) yang mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan perizinan yang antara lain disebabkan oleh :

1. Kuatnya posisi tawar pengguna jasa pelayanan; 2. Maksimalisasi mekanisme voice;

3. Adanya birokrat yang berorientasi pada kepentingan masyarakat;

4. Terbangunnya kultur pelayanan dalam organisasi pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan perizinan;

(63)

2.2.1. Penguatan Posisi Tawar Pengguna Jasa Pelayanan

Pelayanan perizinan dan juga pelayanan umum atau pelayanan publik yang berkualitas mensyaratkan adanya kesetaraan hubungan atau kesetaraan posisi tawar antara pemberi pelayanan dan pengguna atau penerima jasa pelayanan. Oleh karena itu posisi tawar pengguna jasa, yang selama ini sangat lemah harus diperkuat. Penguatan posisi tawar pengguna jasa pelayanan ini dapat dilakukan antara lain dengan memberitahukan dan mensosialisasikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik pemberi maupun pengguna jasa pelayanan. Hal semacam ini dikonsepkan sebagai citizen’s charter yang dirumuskan pertama kali Ingris. Di Indonesia citizen’s

charter belum begitu dikenal dan dikembangkan.

2.2.2. Maksimalisasi Mekanisme Voice

Hal lain yang dapat dilakukan untuk menyeimbangkan hubungan antara pemberi jasa pelayanan dan penerima jasa pelayanan adalah dengan menciptakan dan memaksimalkan mekanisme voice. Artinya pengguna jasa pelayanan harus memberi kesempatan untuk mengungkapkan ekspresi ketidakpuasannya atas pelayanan yang diterimanya. Apabila saluran ini dapat berfungsi secara efektif, maka posisi tawar pengguna jasa akan menjadi sama dengan posisi tawar penyelenggara jasa pelayanan sehingga kualitas jasa pelayanan dapat ditingkatkan.

2.2.3. Pembentukan Birokrat yang Berorientasi Pelayanan

(64)

yang bertugas memberi pelayanan. Dari aparat negara dan atau aparatur pemerintah, diharapkan atau dituntut adanya kemampuan baik berupa pengetahuan, keterampilan serta sikap perilaku yang memadai, sesuai dengan tuntutan pelayanan dan pembangunan sekarang ini (Handayaningrat, 1986). Sementara itu, konsep lain mendefinisikan kemampuan atau ability sebagai sifat yang dibawa lahir atau dipelajari yang memungkinkan seseorang melakukan sesuatu yang bersifat mental atau fisik (Bibson, 1991), sedangkan skill atau keterampilan adalah kecakapan yang berhubungan dengan tugas (Soetopo, 1999).

Berkaitan dalam hal kualitas pelayanan publik, maka kemampuan aparat sangat berperan penting dalam hal ikut menentukan kualitas pelayanan publik tersebut. Untuk itu indikator-indikator dalam kemampuan aparat adalah sebagai berikut :

1. Tingkat pendidikan aparat;

2. Kemampuan penyelesaian pekerjaan sesuai jadwal; 3. Kemampuan melakukan kerja sama;

4. Kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang dialami organisasi; 5. Kemampuan dalam menyusun rencana kegiatan;

6. Kecepatan dalam melaksanakan tugas;

7. Tingkat kreativitas mencari tata kerja yang terbaik;

8. Tingkat kemampuan dalam memberikan pertanggungjawaban kepada atasan; 9. Tingkat keikutsertaan dalam pelatihan/kursus yang berhubungan dengan bidang

(65)

Kemampuan birokrat juga dipengaruhi oleh stuktur organisasi. Menurut Anderson (1972), struktur adalah susunan berupa kerangka yang memberikan bentuk dan wujud, dengan demikian akan terlihat prosedur kerjanya. Dalam organisasi pemerintahan, prosedur merupakan sesuatu rangkaian tindakan yang ditetapkan lebih dulu, yang harus dilalui untuk mengerjakan sesuatu tugas.

Sementara itu dalam konsep lain dikatakan bahwa struktur organisasi juga dapat diartikan sebagai suatu hubungan karakteristik-karakteristik, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi di dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial atau nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijaksanaan (Van Meter dan Van Horn dalam Winarno 1997). Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Robbins (1995) bahwa struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa, mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaaksi yang akan diikuti.

Lebih jauh Robbins mengatakan bahwa struktur organisasi mempunyai tiga komponen, yaitu: kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi. Kompleksitas berarti dalam struktur orgaisasi mempertimbangkan tingkat differensiasi yang ada dalam organisasi termasuk di dalamnya tingkat spesialisasi atau pembagian kerja, jumlah tingkatan dalam organisasi serta tingkat sejauh mana unit-unit organisasi tersebar secara geografis. Formalisasi berarti dalam struktur organisasi memuat tentang tata cara atau prosedur bagaimana suatu kegiatan itu dilaksanakan (Standard Operating

(66)

struktur organisasi memuat tentang kewenangan pengambilan keputusan, apakah disentralisasi atau didesentralisasi.

Berdasarkan pengertian dan fungsi struktur organisasi tersebut menunjukkan bahwa struktur organisasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam suatu organisasi, sehingga dengan demikian struktur organisasi juga sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan.

Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas, apabila komponen-komponen struktur organisasi yang mendukung disusun dengan baik antara pembagian kerja atau spesialisasi disusun sesuai dengan kebutuhan, dapat saling menunjang, jelas wewenang tugas dan tanggung jawabnya, tidak tumpang tindih, sebaran dan tingkatan dalam organisasi memungkinkan dilakukannya pengawasan yang efektif, struktur organisasi desentralisasi memungkinkan untuk diadakannya penyesesuaian atau fleksibel, letak pengambilan keputusan disusun dengan mempertimbangkan untuk rugi dari sistem sentralisasi dan desentralisasi, antara lain sentralisasi yang berlebihan bisa menimbulkan ketidakluwesan dan mengurangi semangat pelaksana dalam pelaksanaan kegiatan. Sedangkan desentralisasi yang berlebihan bisa menyulitkan dalam kegiatan pengawasan dan koordinasi.

(67)

yang komitmen, struktur yang cocok dengan situasi dan kondisi dan apakah ada sumberdaya yang mapan.

Dalam pengendalian pelayanan perlu prosedur yang runtut yaitu antara lain penentuan ukuran, identifikasi, pemeliharaan catatan untuk inspeksi dan peralatan uji, penilaian, penjaminan dan perlindungan (Gaspersz, 1994).

Oleh karena itu struktur organisasi yang demikian akan berpengaruh positif terhadap pencapaian kualitas pelayanan. Akan tetapi, apabila struktur organisasi tidak disusun dengan baik maka akan dapat menghambat kualitas pelayanan publik yang baik.

2.2.4. Pengembangan Kultur Pelayanan

Hal lain yang juga sangat krusial dalam peningkatan kualitas pelayanan perizinan adalah berkembangnya kultur pelayanan dalam diri birokrat atau aparatur pelayanan. Seberapapun hebatnya sumber daya manusia jika tidak didukung oleh kultur pelayanan maka kehebatan itu justru akan dipakai untuk membodohi masyarakat pengguna jasa yang berkepentingan terhadap salah satu organisasi.

Kultur pelayanan berawal dari budaya organisasi yang diterapkan dalam sebuah organisasi. Menurut Sethia dan Glinow (dalam Collins dan Mc Laughlin, 1996) membedakan ada empat macam budaya organisasi, yaitu :

a. Apathetic Culture

Gambar

Tabel 1. Kualitas Pelayanan Perizinan dan Faktor-Faktor Manajerial  yang Mempengaruhinya
Gambar 1. Stuktur Organisasi
Gambar 3.   Mekanisme  Pelayanan Perizinan pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Lhokseumawe
Tabel 3. Jumlah Pegawai Menurut Jenjang Jabatan Sruktural
+7

Referensi

Dokumen terkait

Namun tentu saja, prestasi tersebut juga tak lepas dari komitmen kita semua dalam memegang amanah, baik amanah yang datang dari luar (pihak eksternal) maupun amanah kita

Dalam  Rencana  Kerja  Pemerintah  (RKP)  tahun  2009,  pembangunan  pertanian  dilaksanakan  melalui  beberapa  program  antara  lain  Program  Peningkatan 

BDE’nin akademik başarı üzerindeki etkisini incelemek amacıyla öncelikle 43 çalışma meta-analiz sürecine dâhil edilmiş, meta- analize dâhil edilen tüm

Hasil yang dicapai adalah dengan menggunakan load balancer beban permintaan dari klien merata ke semua server, dengan teknik failover maka bila load balancer

Sensor MLX90614 merupakan sensor yang digunakan untuk mengukur suhu dengan memanfaatkan radiasi gelombang infra merah.. Sensor ini didesain khusus untuk mendeteksi

Proses selanjutnya adalah pemeriksaan saksi, dengan hadirnya terdakwa pada hari, tanggal yang telah ditentukan dilanjutkan dengan pemeriksaan identitas terdakwa,

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Putri & Suryantini (2017) CAR tidak signifikan terhadap Likuiditas karena adanya masalah dalam penyaluran pembiayaan yang dapat

teridentifikasi bahwa terdapat beberapa perbedaan yang terkait dengan korelasi antara nilai kelimpahan ikan dengan tingkat kecerahan perairan pada bagian sungai yang