BAB
2
DISAIN PIPA BAWAH LAUT
2.1 Pendahuluan
Seperti umumnya pada sebuah proyek konstruksi dalam konstruksi pipa bawah laut juga mencakup tiga langkah disain, yaitu: Conceptual Engineering, Preliminary Engineering, dan Detail Engineering.
Conceptual engineering adalah langkah yang membahas mengenai batasan dan kelayakan teknis disain dan konstruksi yang akan dilakukan. Dalam langkah ini juga akan dipertimbangkan mengenai penjadwalan (scheduling) dan perkiraan biaya secara kasar, hasil pada langkah disain ini akan menjadi acuan untuk langkah selanjutnya. Dalam Preliminary engineering dilakukan pendefinisian konsep (ukuran pipeline dan grade/klas), mempersiapkan aplikasi otoritas, dan menyediakan detail disain sehingga cukup untuk melakukan pemesanan pipa. Sedangkan pada detail engineering dilaksanakan proses disain secara lengkap untuk menggambarkan masukan teknis untuk proses pengadaan dan tender konstruksi.
Dalam proses disain pipa bawah laut dilakukan serangkaian proses yang sistematis, tahapan tersebut tentunya harus disesuaikan dengan standar internasional yang umum digunakan seperti DNV, API, ASME dan lain-lain. Gambar 2.1 merupakan flow cart dari langkah-langkah disain yang umum dilakukan.
Perinsip utama dalam proses mendisain pipa bawah laut adalah agar sistem pipa yang akan dibangun dapat kuat dan aman baik pada saat proses instalasi, hydrotest dan selama masa layan/oprasional yang direncanakan. Berdasarkan standar DNV OS F101 Submarine Pipeline Systems 2000, kemanan dari sebuah sistem pipa dapat dipastikan dengan menggunakan safety class methodology. Dalam metodologi ini sebuah sistem pipa bawah laut dapat dikategorikan kedalam satu klas atau lebih berdasarkan pada konsekuensi kegagalan yang dapat ditimbulkan, umumnya suatu sistem pipa bawah laut diklasifikasikan bedasarkan sifat fluida yang dialirkan dan lokasi pemasangan.
Gambar 2. 1 Flow chart langkah disain pipa bawah laut.
Bedasarkan Load and Resistance Factor Design (LRFD), sebuah sistem pipa bawah laut dapat diklasifikasikan menjadi :
Jenis fluida yang dialirkan dalam sebuah pipa bawah laut bermacam jenisnya, dalam hal ini jenis fluida yang dialirkan dikatagorikan menjadi lima seperti yang terdapat dalam Tabel 2.1.
Tabel 2. 1 Klasifikasi Keamanan Sistem Pipa Bawah Laut Berdasarkan Fluida Yang Dialirkan Kategori Fluida Keterangan
A Fluida tidak terbakar, fluida yang berbasis air B Fluida yang dapat terbakar dan beracun yang
berbentuk cair pada kamar dan kondisi tekanan atmosfir.
C Fluida yang terbakar dan tidak beracun pada suhu kamar dan kondisi tekanan atmosfir.
D Gas berfasa satu, tidak beracun
E Fluida yang dapat terbakar dan beracun yang berbentuk gas pada suhu kamar dan kondisi tekanan atmosfer.
2.1.2 Klasifikasi Sistem Pipa Bawah Laut Berdasarkan Lokasi Pipa
Sistem pipa bawah laut dibagi menjadi dua klas berdasarkan lokasi pipa pemasangan tersebut, dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2. 2 Klasifikasi Sistem Pipa Bawah Laut Berdasarkan Lokasi Pipa
Klasifikasi lokasi pipa Keterangan
1 Lokasi dimana tidak terjadi akitifitas manusia yang rutin sepanjang jalur pipa 2 Bagian dari pipa yang dekat dengan
platform dengan aktifitas manusia yang banyak , luas dari lokasi ini harus berdasakan analisis resiko, atau dapat asumsikan sebagai area yang berjarak 500 meter dari platform bila data yang diperlukan untuk analisis resiko tidak ada.
Dalam mendisain system pipa bawah laut harus berdasarkan pada konsekuensi kegagalan yang dapat terjadi, klasifikasi berdasarkan tingkat kemanan pipa dapat dibagi menjadi tiga seperti pada Tabel 2.3.
Tabel 2. 3 Klasifikasi Sistem Pipa Bawah Laut Berdasarkan Tingkat Keamanan
Kelas Kemanan Keterangan
Rendah Dimana kegagalan yang mungkin terjadi menyebabkan resiko yang sangat kecil terhadap manusia dan lingkungan, klasifikasi ini diterapkan pada saat instalasi.
Normal Dimana kegagalan yang mungkin terjadi menyebabkan resiko yang cukup besar terhadap manusia dan lingkungan, juga bidang politik dan ekonomi. Klasifikasi ini biasanya diterapkan untuk keadaan oprasi pipa yang jauh dari platform
Tinggi Dimana kegagalan yang mungkin terjadi dapat menyebabkan resiko yang sangat besar terhadap manusia, lingkungan, ekonomi dan politik. Klasifikasi ini biasanya diterapkan untuk keadaan oprasi dilokasi dekat dengan platform.
Klasifikasi keamanan pipa bawah laut mungkin akan berbeda-beda untuk fase konstruksi dan lokasi yang berbeda. Dalam keadaan normal, DNV 2000 mengklasifikasi system pipa bawah laut berdasarkan tingkat kemanan menjadi dua fase keadaan pipa seperti pada Tabel 2.4.
Tabel 2. 4 Klasifikasi Sistem Pipa Bawah Laut Tingkat Keamanan Untuk Kondisi Normal.
Kategori fluida A,C Kategori fluida B,D dan E Fase
Kelas Lokasi Kelas Lokasi
1 2 1 2
Temporer Rendah Rendah Rendah Rendah Oprasional Rendah Normal Normal Tinggi
Fase temporer merupakan fase dari proses instalasi sampai dengan pre-commissioning yaitu tahap sampai dengan dilakukan proses hydrotest.
Dalam melakukan pemilihan jalur pipa harus memperhatikan adanya kepentingan umum dan perseorangan, perlindungan terhadap lingkungan, dan kemungkinan adanya kerusakan dari pipa atau fasilitas yang lain. Beberapa faktor yang harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan lokasi jalur pipa yaitu:
• Lalulintas kapal dan aktifitas nelayan. • Struktur lepas pantai.
• Kondisi existing pipa dan kabel.
• Keadaan dasar laut dan aktifitas gempa (seismic). • Aktifitas pertambangan dan militer.
• Situs arkeologi, dll.
Kriteria dasar dalam memilih jalur pipa terkait dengan kondisi dasar lautnya meliputi hal-hal berikut:
• Hindari halangan-halangan didasar laut atau bentangan menggantung pipa yang mungkin terjadi disepanjang jalur yang direncanakan.
• Hindari persilangan dengan jalur pipa yang lain jika memungkinkan. • Hindari daerah-daerah dimana kapal banyak membuang jangkarnya.
• Hindari bentang pipa dari tanah yang tidak stabil dan pasang pipa di daerah yang relatif lebih stabil, jika hal ini dapat diindentifikasikan.
• Hindari gundukan-gundukan tanah atau cekungan yang dapat menyebabkan timbulnya daerah menggantung disepanjang jalur pipa.
• Khusus untuk daerah yang terdapat aliran lumpur, perkecil resiko terjadinya kerusakan terhadap pipa akibat pergerakan tanah dengan memilih jalur pipa tegak lurus terhadap kontur kedalaman.
2.3 Pembebanan Pada Pipa
Berdasarkan pada strandar DNV OS F101 Submarine Pipeline Systems 2000 pembebanan pada pipa dibagi menjadi 2 yaitu beban fungsional dan beban lingkungan, dimana beban-beban tersebut akan ditentukan terlebih dahulu sebelum proses disain dimulai.
i) Beban Fungsional
Beban fungsional merupakan beban yang berasal dari keberadaan fisik pipa dan hal tersebut sangat menentukan integritas dari sistem pipa baik selama proses instalasi, hydrotest, maupun keadanan oprasional. Dantara yang termasuk kedalam beban fungsional adalah sebagai berikut:
• Gaya Berat
Yang termasuk kedalam beban ini adalah berat pipa secara keseluruhan, berat isi yang ditransportasikan baik pada saat kondisi oprasi dan hydrotest, serta gaya angkat.
• Tekanan
Beban tekanan yang dimaksud adalah tekanan yang terjadi pada pipa yang terdiri tekanan internal, tekanan eksternal dan tekanan tanah untuk pipa yang dikubur.
• Thermal ekspansion dan contraction
Beban ini biasanya diakibatkan oleh temperature dari isi yang ditrasportasikan dalam pipa.
• Pre- stressing
Beban yang termasuk kedalam beban pre-stressing biasanya adalah tekanan yang diakibatkan oleh aktifitas pada saat instalasi pipa.
ii) Beban Lingkungan
Beban lingkungan adalah beban yang bekerja pada pipa yang diakibatkan oleh lingkungan sekitar dan bukan merupakan beban fungsional atau beban accidental. Beban lingkungan yang bekerja pada pipa biasanya terdiri atas beban angin, gelombang, arus, beban hidrodinamik dan fenomena lingkungan lainya.
Selain beban fungsional dan lingkungan diatas dalam disain pipa juga dikenal adanya beban accidental yaitu beban yang diakibatkan oleh keadaan yang tidak direncanakan, yang termasuk beban ini adalah diantaranya vessel impact, benda jatuh, pergerakan tanah, gesekan jangkar dan lain lain.
Perancangan pipa melibatkan pemilihan diameter pipa, ketebalan dan material yang digunakan. Diameter pipa harus dipilih berdasarkan pertimbangan kapasitas aliran yang diinginkan untuk mengangkut hasil produksi fluida dari sumur-sumur minyak atau gas. Hal ini membutuhkan suatu analisis menyeluruh dengan asumsi untuk keadaan kondisi operasi terburuk sepanjang masa layan dari pipa yang direncanakan.
Setelah itu, disain dilanjutkan untuk memilih jenis bahan pipa yang akan dipakai, apakah akan menggunakan pipa dari baja, komposit, atau jenis fleksibel yang kemudian membuat keputusan detail mengenai komposisi dan spesifikasi dari material yang digunakan. Pertimbangan pemilihan material pipa harus didasarkan pada jenis fluida yang akan ditransportasikan, beban, temperature, dan mode kerusakan yang mungkin selama proses instalasi dan oprasi. Pemilihan material pipa harus dicocokan dengan semua komponen dalam sistem pipa bawah laut. Pipa yang dipilih harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
• Sifat mekanik bahan. • Kekakuan material.
• Ketahanan terhadap retak/fraktur. • Ketahanan terhadap fatigue. • Weldability.
• Ketahanan terhadap korosi.
Sifat dari karakteristik material pipa akan digunakan dalam menghitung ketahanan pipa yang akan didisain. Dalam DNV 2000 nilai dari faktor kekuatan material (material strength factor) dapat dilihat pada Tabel 2.5 sedangkan nilai dari karakteristik kekuatan material dirumuskan seperti pada Tabel 2.6.
Tabel 2. 5 Faktor Kekuatan Material Faktor
Kekuatan Material
Normal Supplementary Requirement U
U
α
0.96 1.00Property Nilai Karakteristik yield stress fy =(SMTS − fy,temp)
α
U Karakteristik tensile stress fu =(SMTS − fu,temp)α
U.α
A Dimana :fy,temp = pengurangan nilai yield stress akibat temperature
fu,temp = pengurangan nilai tensile stress akibat temperature
A
α
= anisotropy factor ( 0.95 untuk arah aksial dan 1.0 untuk kasus yang lain)Perbedaan klas material pada pipa mengacu pada sifat material pada kondisi temperature kamar. Temperatur berpengaruh terhadap sifat material, apabila tidak ada informasi mengenai pengaruh temperature tehadap sifat material maka dapat digunakan grafik berikut untuk menentukan penurunan stress akibat temperature.
Gambar 2. 2 Grafik temperatur Vs Stress derating
Dalam pemilihan material pipa biasanya digunakan material grade X-60 atau X-65 (414 atau 448 Mpa) untuk pipa dengan tekanan tinggi atau pipa untuk perairan dalam sedangkan untuk perairan dangkal yang memiliki tekanan rendah digunakan pipa dengan material grade X-42, X-52 atau X-56. Sedangkan jenis pipa sendiri dapat dibagi menjadi
empat jenis yaitu :Seamless, Submerged arc welded (SAW or DSAW), Electric resistance welded (ERW), dan Spiral weld.
Dari kempat jenis pipa diatas jenis Seamless dan SAW adalah yang sering digunakan dibandingkan jenis lainya. Tabel 2.7 berikut menyatakan grade material berdasarkan American Petroleum Institute (API).
Tabel 2. 7 Grade Material Berdasarkan Standar API
Pada proses fabrikasi pipa dimana dikenalkan adanya perubahan suhu akan memberikan perbedaan antara tekanan dan tegangan, nilai dari faktor fabrikasi (
α
fab ) akan diberikan, namun kalau tidak tiketahui faktor tersebut maka nilainya diberikan seperti dalam Tabel 2.6.Tabel 2. 8 Nilai Maksimum Faktor Fabrikasi
Jenis Pipa Seamless UO&TRB* UOE*
fab
α
1.00 0.93 0.85*. Seamless = jenis pipa tanpa las
UO = proses fabrikasi pipa dari pipa yang dilas
UOE = proses fabikasi pipa dari pipa yang dilas dan dimuaikan TRB = three roll bending
Penentuan tebal pipa adalah satu pekerjaan yang sangat penting dan mendasar dalam mendisain sistem pipa bawah laut. Dalam penentuan tebal pipa didasarkan pada kiteria disain yang disebabkan adanya tekanan internal dan atau tekanan eksternal hidrostatik yang bekerja pada pipa. Dalam DNV OS F101 Submarine Pipeline Systems 2000 diterangkan mengenai kriteria disain untuk penentuan tebal pipa sebagai berikut.
2.5.1 Karakteristik Wall Thickness
Nilai dari tebal dinding pipa untuk perhitungan tahanan terhadap pressure containment dan tahanan lain dihitung dalam beberapa kondisi seperti diterangkan pada persamaan 2.1 s.d. 2.4 .
• Untuk kondisi Hidro- test and system pressure test
fab
s t
t
t1 = − (2. 1)
• Untuk kondisi oprasional
corr fab
s t t
t
t1 = − − (2. 2)
• Untuk konsdisi konstruksi instalasi
s
t
t2 = (2. 3)
• Untuk kondisi lain
corr
s t
t
t2 = − (2. 4)
Dimana:
tfab = tebal toleransi fabrikasi
tcorr = tebal corrosion allowance
ts = tebal dinding pipa
2.5.2 Kriteria Pressure Containment
Ketentuan pertama dari perhitungan tebal dinding pipa adalah menentukan kriteria pressure containment. Dalam konsep lama pressure containment dituliskan sebagai fungsi allowable hoop stress. Dalam kriteria tersebut, tekanan hoop stress yang
merupakan perbedaan antara tekanan internal dan eksternal nilainya tidak boleh melebihi nilai yang diijinkan.
) ( 2 ) ( , 1 1 temp y e i h SMYS f t t D P P − − ≤ − =
η
σ
(2. 5) Dimana : hσ
= hoop stress i P = tekanan internal e P = tekanan eksternal D = diameter pipa 1t = tebal dinding pipa
SMYS = spesified minimum yield strength
temp y
f − = pengurangan nilai yield stress akibat temperatur yang bekerja pada pipa
η
= usage factorMenurut DNV 2000 nilai dari Usage factor dapat dirumuskan seperti pada persamaan 2.6
inc SC m U
γ
γ
γ
α
η
. . . 3 . 2 = (2. 6) Dimana : Uα
= faktor kekuatan materialm
γ
= faktor daya tahan material (material resistance factor)sc
γ
= safety class factorinc
γ
= incidental to design pressure ratioTabel 2. 9 Usage Factor untuk Pressure Containmet Safety Class
U
α
Rendah Normal Tinggi
Pressure Test
1.00 0.847 0.802 0.698 0.96 0.96 0.813 0.77 0.672 0.96
Sedangkan dalam konsep load and resistance factor design (LRFD) kiteria pressure containment dituliskan sebagai berikut.
m sc b e li t P P P
γ
γ
. ) ( ≤ − atau m sc b d t P Pγ
γ
. ) ( ≤ (2. 7) Dimana : liP = tekanan lokal insidental
) (t
Pb = pressure containment pada tebal dinding pipa (t)
Beberapa definisi tekanan yang digunakan dalam proses perhitungan tebal dinding pipa dejelaskan sebagai berikut:
a. Tekanan Lokal (Local Pressure)
Tekanan lokal adalah beban dimana perbedaan nilainya dengan tekanan referensi merupakan berat kolom dari isi pipa, nilai tekanan lokal secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut:
h g P
Plocal,ref = ref +
ρ
cont. . (2. 8)Untuk tekanan lokal secara spesifik dituliskan sebagai berikut: h g P Pld = d +
ρ
cont. . (2. 9) h g P h g PPli = inc +
ρ
cont. . = d.γ
inc +ρ
cont. . (2. 10) h g P Plt = t +ρ
cont. . (2. 11) Dimana : inc P = tekanan insidentalt
P = 1.05.Pinc ( normal and hight safety class)
=1.03. Pinc (low and hight safety class)
cont
P = tekanan isi pipa
t
ρ
= densitas fluida test g = percepatan grafitasih = jarak antara titik referensi dengan permukaan air laut
b. Tekanan eksternal (Pe)
Nilai dari tekanan eksternal dapat dirumuskan menjadi: h g Pe =
ρ
sw. . (2. 12) Dimana : e P = tekanan eksternal swρ
= densitas air laut d = kedalaman airNilai dari pressure containment diambil dari nilai terendah (minimum), yang ditentukan dengan persamaan :
[
( ); ( )]
) (t MinP, x P, x Pb = bs bu (2. 13) 3 2 . . . 2 ) ( ,s y b f x d x t P − = (2. 14) 3 2 . 15 . 1 . . 2 ) ( ,u u b f x d x t P − = (2. 15) Dimana : ) (tPb = tahanan pressure containment pada tebal pipa t
) (
, t
) (
, t
Pbu = tahanan pressure containment pada batasan tarik
y
f = tegangan leleh desain
u
f = tegangan tarik desain
t = tebal dinding pipa ( t1atau t2)
2.5.3 Kriteria Buckling
Buckling merupakan keadaan dimana pipa sudah tidak bundar atau mengalami perubahan bentuk akibat tekanan hidrostatis yang besar pada kedalaman tertentu, kedalaman tersebut merupakan kedalaman mulai terjadinya buckle atau initiation buckle. Buckling dapat dibagi menjadi 2 yaitu local buckling dan global buckling. Berdasarkan DNV 2000 local buckling harus dicek terhadap beberapa kriteria, yaitu:
1. Kriteria System collapse. 2. Kriteria Combained loading. 3. Kriteria Propagating buckling.
1. Kriteria System Collapse
Kriteria ini menunjukan bahwa pipa akan mampu bertahan dari deformasi bentuk pipa selama masa layannya. Kiteria ini sangat dipengaruhi oleh kapasitas plastis, kapasitas elastis, dan ovalitas dari baja. Nilai dari tekanan collapse dalam DNV 2000 dirumuskan sebagai berikut: t D f P P P P P P Pc el).( c pl ) c. el. pl. o. ( − 2− 2 = (2. 16) • Tekanan elastik (Pel) 3 2 2 2 1 2 ) ( v D t E t Pel − = (2. 17)
Dimana :
E = modulus elastisitas
2
t = tebal didinding pipa untuk system collapse
• Tekanan plastis (Ppl) D t f t Ppl( 2)=2. y.
α
fab. 2 (2. 18) Dimana : yf = tegangan leleh desain, psi
fab
α
= factor pabrikasi (lihat Tabel 2.6) D = diameter luar pipa• Ovalitas baja D D D fo max min − = (2. 19)
Persamaan 2.16 tekanan collapse (Pc) merupakan persamaan polinomial derajat tiga, untuk itu dilakukan pendekatan nilai Pc dengan persamaan 2.20-2.27:
b
y
P
c3
1
−
=
(2. 20) dimana : elP
b
=
−
(2. 21)
Φ
+
−
−
=
180
60
3
cos
2
u
π
y
(2. 22)
+
−
=
2 0 2t
D
f
P
P
P
c
p p el (2. 23) 2 p elP
P
d
=
(2. 24) − + =
b
c
u
2 3 1 3 1 (2. 25) − + =b
bc
d
v
3 1 27 2 2 1 3 (2. 26) − − = Φ − 3 1 cos u v (2. 27)Dalam DNV 2000 kriteria collapse mensyaratkan agar tekanan collapse dapat menahan tekanan eksternal yang bekerja pada pipa, atau dengan kata lain nilai tekanan eksternal tidak boleh melebihi nilai tekanan collapse (Pc), kriteria collapse dapat dituliskan sebagai berikut: sc P P m c e
γ
γ
. . 1 , 1 ≤ (2. 28) Dimana : e P = tekanan eksternal c P = tekanan collapse2. Kriteria Kombinasi Pembebanan (Combined Loading)
Kriteria ini adalah menunjukan kekuatan dari pipa baja yang akan diletakan di dasar laut terhadap semua gaya dan tekanan yang akan terjadi pada pipa. Dalam kriteria ini pipa dikenai beberapa pembebanan secara langsung, dalam hal ini pipa dikenai kombinasi pembebanan terhadap momen tekuk (bending moment), gaya aksial efektif, tekanan internal berlebih (internal over pressure) dan kombinasi pembebanan terhadap momen tekuk, gaya aksial efektif, tekanan internal berlebih dan tekanan eksternal berlebih (external over pressure). Berdasarkan standar DNV 2000 kriteria combined loading akan di cek terhadap dua kondisi yaitu:
• Load Crontolled Condition.
• Combined Loading - Load Contolled Condition
Kriteria kombinasi pembebanan ini, pipa didisain untuk dapat menahan pembebananan seperti dijelaskan sebelumnya. Kondisi ini secara umum dibedakan lagi mejadi kriteria untuk tekanan internal dan eksternal berlebih persamaanya berlaku untuk rasio D/t<=45.
¾ Kondisi tekanan internal berlebih (Pi>Pe)
1 ) ( . ) ( . 1 . . . . . . 2 2 2 2 2 ≤ ∆ + ∆ − + t P P t P P M M sc S S sc b c d b c d p c d m p c d m
α
γ
γ
α
α
α
γ
γ
(2. 29) Dimana : C A A E E C F F d M M M M =γ
γ
+γ
+γ
γ
(2. 30) C A A E E C F F d S S S S =γ
γ
+γ
+γ
γ
(2. 31)(
)
2 2 2 .t t D f Mp = y − (2. 32)(
D t2)
.t2 f Sp = yπ
− (2. 33)(
ld e)
p d P P P = − ∆γ
(2. 34)(
)
y u C f fβ
β
α
= 1− + (nilai maksimum 1.20) (2. 35)(
)(
)
> ≤ ≤ − + < + = 60 / 0 60 / 15 45 / / 60 4 . 0 15 / 4 . 0 2 2 2 2 t D untuk t D untuk t D q t D untuk q h hβ
(2. 36)(
)
( )
≤ > − = e ld e ld b e ld h P P untuk P P untuk t P P P q 0 3 2 . 2 (2. 37)¾ Kondisi tekanan eksternal berlebih (Pe>Pi)
1 . . . . . . . . 2 2 2 2 ≤ + + e c m p c d m p c d m P P sc S S sc M M sc
γ
γ
α
γ
γ
α
γ
γ
(2. 38)Keterangan:
d
M = momen tekuk disain
d
S = gaya aksial efektif disain
p
M = statis momen
d
P
∆ = perbedaan tekanan disain
p
S = gaya aksial statis
) (t2
Pb = burst pressure
c
α
= parameter flow stressTabel 2. 10 Load Effect Factor dan Load Combination Functional
Load Enviromental Load Acidental Load Pressure Load Load Cobination F
γ
γ
Eγ
Aγ
P a 1.2 0.7 - 1.05 SLS & ULS* b 1.1 1.3 - 1.05 FLS* 1.0 1.0 - 1.0 ALS* 1.0 1.0 1.0 1.0*. SLS = serviceability limit state ULS = ultimate limit state FLS = fatigue limit state ALS = accidental limit state
• Combined Loading – Displacement Contolled Condition
Hampir sama dengan kriteria kombinasi sebelumnya, kriteria kombinasi pembebanan untuk kondisi ini, pipa didisain untuk dapat menahan pembebananan terhadap kombinasi tegangan longitudinal compressive (momen lentur dan gaya aksial) . Kondisi ini secara umum dibedakan lagi mejadi kriteria untuk tekanan internal dan eksternal berlebih.
¾ Kondisi tekanan internal berlebih E c d
γ
ε
ε
≤ (2. 39)¾ Kondisi tekanan eksternal berlebih
1 . . . 8 . 0 ≤ + m SC c c c d P Pe
γ
γ
γ
ε
ε
(2. 40 ) Keterangan : dε
= design compressive strain=
ε
F.γ
F.γ
c +ε
E.γ
E +ε
A.γ
A.γ
A (2. 41) gw h y h c D f tσ
σ
α
ε
0.78 2 0.01 1 5 −1.5 + − = (2. 42) hσ
= hoop stress gwα
= girth weld factorE
γ
= resistance strain factor (table 2.8) − ∆ = 2 2 2 . t t D Pd hσ
(2. 43)(
ld e)
p P P d P = − ∆γ
. (2. 44) 3. Propagation BucklingPropagation buckling dapat digambarkan sebagai suatu situasi dimana buckle yang terjadi pada pipa berubah menjadi buckle yang memanjang sepanjang pipa. Perambatan ini tidak bias mulai atau menjalar kebagian lain jika tekanan eksternal masih dibawah tekanan propagasi (Ppr). Propagating Buckling pada pipa akan terjadi jika memenuhi syarat tekanan sebagai berikut:
pr init
e P P
Untuk mengecek terjadinya propagating buckling digunakan persamaan: sc P P m pr e ≤
γ
.γ
(2. 46) 5 . 2 2 . . . 35 = D t f Ppr yα
fab (2. 47) Dimana : init P = tekanan inisiasi= merupakan tekanan yang dibutuhkan untuk memulai proses propagation buckling
pr
P = tekanan propagasi
= adalah tekanan untuk melanjutkan proses propagation buckling
Selain kriteria buckling juga disain pipa dicek terhadap proses ovalisasi, dimana kriterianya dapat dituliskan sebagai berikut:
D D D fo max min − = < 3% (2. 48)
2.6 On-Bottom Stability
Pipa bawah laut dewasa ini telah berkembang sebagai suatu infrastruktur yang penting dalam usaha pendistribusian minyak, gas maupun fluida lainya. Oleh karena perananya yang penting maka pipa harus didisain untuk dapat menahan beban dan gaya-gaya lingkungan yang bekerja padanya sehingga dapat kuat dan stabil baik pada waktu instalasi, hydrotest maupun selama masa oprasionalnya.
Dalam teknologi pipa bawah laut telah dikenal beberapa cara/metode yang digunakan untuk menjadikan pipa bawah laut stabil, metode yang umum digunakan antara lain :
• Menambahkan selimut beton pada pipa yang berfungsi sebagai pelindung dan pemberat pada pipa agar tetap stabil.
• Mengubur pipa didalam seabed tujuan dari cara ini adalah untuk mengurangi gaya-gaya hidrostatik yang bekerja kalau pipa berada diatas seabed.
• Membuat tanggul batu (rock beam) yang berfungsi sebagai pemberat pada pipa. Sebelum melakukan analisis terhadap kestabilan pipa di bawah laut maka ada beberapa data kondisi dasar yang harus diketahui, yaitu:
• Kondisi lingkungan. • Kondisi geoteknik dasar laut.
• Kondisi topografi dasar laut (kondisi kemiringan pantai, batuan, dll). • Bathymetry (kontur kedalam laut).
• Data properties pipa. • Lokasi pipeline restraint.
2.6.1 Kondisi Lingkungan
Dalam proses disain pipa bawah laut data lingkungan yang dipakai adalah data gelombang dan data arus laut. Data kondisi lingkungan yang digunakan harus merupakan data yang berasal dari tempat disain analisis dilakukan. Data biasanya merupakan hasil pengukuran, hasi pemodelan hindcasting, maupun hasil dari pengamatan langsung di tempat. Data-data yang masih acak ini akan mengalami analisis statistik untuk mendapatkan nilai dari tinggi gelombang significant (HS), periode puncak gelombang (TP),
dan kesesuaian waktu ulang.
Hasil analisis statistik Hs, Tp, dan periode ulang adalah data lingkungan yang akan digunakan pada disain stabilitas pipa yang akan dibahas kemudian.
Gelombang yang bergerak pada permukaan air akan memberikan percepatan pada patikel air yang dilaluinya. Pergerakan partikel air yang terjadi akan membentuk orbit, selama penjalaran gelombang dari laut dalam menuju laut dangkal, orbit partikel ini akan mengalami perubahan bentuk seperti pada Gambar 2.3. Orbit perpindahan patikel berbentuk lingkaran pada seluruh kedalaman pada laut dalam sedangkan di laut transisi dan dangkal lintasan partikel akan mengalami perubahan bentuk menjadi elips, semakin dangkal kedalamannya bentuk elips ini semakin pipih dan di dasar gerak partikel adalah horizontal.
Laut dangkal Laut transisi Laut dalam y= L/2
Gambar 2. 3 Sketsa orbit partikel gelombang.
Gelombang menjalar dari laut dalam menuju laut dangkal, hal ini akan mempengaruhi kecepatan dan panjang gelombang. Berdasarkan kedalaman relatif, yaitu perbandingan antara kedalaman air (d) dan panjang gelombang (L), gelombang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Gelombang di laut dangkal, jika d/L≤1/20. 2. Gelombang di laut intermedet, jika 1/20<d/L≤1/2. 3. Gelombang di laut dalam, jika d/L≥1/2.
Terjadinya gelombang seperti yang telah dijelaskan akan mempengaruhi kecepatan dan percepatan partikel air, oleh karena itu perhitungan panjang gelombang, kecepatan dan percepatan juga didekati dengan sesuai jenis perairannya. Dengan mengetahui panjang gelombang pada perairan dalam, maka dapat dihitung panjang gelombang untuk perairan dengan kedalaman yang lain. Persamaan untuk menghitung karakteristik panjang gelombang, percepatan dan kecepatan partikel dapat dilihatpada bab 3.
2.6.2 Periode Ulang (Return Periode)
Nilai periode ulang menurut DNV RP E305 On-bottom Stability Design of Submaine Pipeline kondisi pembebanan yang digunakan untuk perhitungan disain stabilitas pipa bawah laut adalah kondisi instalasi dan kondisi oprasional.
Pada kondisi instalasi data yang digunakan umumnya adalah data dengan periode ulang 1 tahun sedangkan untuk kondisi pembebanan oprasional data yang digunakan adalah data untuk periode ulang 100 tahun. Namun jika data probabilitas gabungan antara
gelombang dan arus tidak lengkap maka digunakan aturan berikut untuk kondisi oprasional:
• Jika gaya gelombang yang dominan, maka digunakan perioda ulang 100 tahun untuk gaya gelombang dan perioda ulang 10 tahun untuk arus.
• Jika gaya arus yang dominan, maka digunakan perioda ulang 10 tahun untuk gaya gelombang dan perioda ulang 100 tahun untuk arus.
2.6.3 Gaya-Gaya Yang Bekerja Pada Analisa Stabiltas Pipa Bawah Laut Kestabilan pipa bawah laut meliputi kestabilan dalam dua arah yaitu arah vertikal dan horizontal/lateral. Kestabilan ini diperhitungkan terhadap gaya-gaya lingkungan yang bekerja pada pipa, gaya-gaya tersebut adalah gaya inesia, gaya seret (drag force) dan gaya angkat (lift force). Sedangkan resistensi permukaan dasar laut merupakan gaya gesek antara pipa dengan permukaan tanah laut/seabed.
Gaya seret dan gaya inersia adalah gaya yang secara bersama-sama bekerja dalam arah horizontal/lateral pada pipa, sedangkan gaya angkat bekerja secara vertikal, gaya angkat ini adalah gaya yang mengurangi berat pipa dalam air yang mempengaruhi kestabilan pipa. Gambar 2.4 berikut adalah gambaran gaya-gaya dalam analisis perhitungan stabilitas pipa bawah laut.
A. Berat Tenggelam Pipa
Berat total pipa dihitung dengan mempertimbangkan berat bajanya, lapisan pelindung korosi, dan juga lapisan pelindung sambungan (field joint coating). Gambar 2.5 memperlihatkan potongan melintang dari sebuah pipa.
tnom ID Dst Dt tcor tcc Dcor Lapisan beton
Lapisan pelindung korosi Pipa baja
Gambar 2. 5 Potongan melintang pipa beserta lapisan pelindungnya.
Berikut adalah propertis pipa yag harus diperhatikan: DS = diameter luar pipa baja
Di = diameter dalam pipa baja
DW = diameter luar lapisan anti korosi (corrosion wrap)
Dtherm = diameter luar lapiasan thermal insulation
DC = diameter luar selimut beton
tS = tebal pipa baja
ttherm = tebal pipa thermal insulation
tC = tebal selimut beton
WSt = berat pipa baja
WCorr = berat lapisan anti korosi di udara
Wtherm = berat lapiasn thermal insulation
WC = berat selimut beton
WCont = berat isi pipa (containt)
B = gaya apung
ρ
St = densitas baja (submerge weight)ρ
Corr = densitas lapisan anti korosi di udaraρ
therm = densitas lapisan thermal insulationρ
C = densitas selimut betonρ
SW = densitas air lautρ
Cont = densitas fluida isi pipaDalam menentukan berat tenggelam pipa dilakukan langkah perhitungan sebagai berikut: 1. Diameter total pipa.
C Therm Corr S Tot D t t t D = +2 +2 +2 (2. 49) 2. Berat baja.
(
D D)
g WSt . S i . St. 4 2 2ρ
µ
− = (2. 50)3. Berat lapisan anti korosi.
(
)
[
D t D]
gWCorr . S 2 corr S . Corr.
4
2
2
ρ
µ
+ −= (2. 51)
4. Berat lapisan thermal insulation.
(
) (
)
[
D t t D t]
gWtherm . S 2 corr 2 therm S 2 Corr . therm.
4
2
2
ρ
µ
+ + − −= (2. 52)
5. Berat lapisan selimut beton.
(
)
[
D D t t]
g Wcc . S 2 Corr 2 therm . C. 4 2 2ρ
µ
− + + = (2. 53)6. Berat isi pipa.
g D WCont . i . Cont. 4 2
ρ
µ
= (2. 54)7. Gaya apung. = = 4 . . . . . 2 D g V g B SW SW
π
ρ
ρ
(2. 55)8. Berat pipa di udara.
Cont CC therm Corr St U W W W W W W = + + + + (2. 56)
9. Berat terendam pipa.
B W W W W W
WS = St + Corr + therm + C + Cont − (2. 57)
Persamaan yang mejadi parameter kestabilan arah vertikal adalah :
[
]
1 . 1 ≥ + B B WS (2. 58) B. Gaya HidrodinamikaGaya-gaya hidrodinamika yang terjadi pada pipa didasar laut akan dihitung dengan menggunakan persamaan Morisson. Persamaan ini berlaku untuk pipa yang mempunya perbandingan diameternya dan panjang gelombang adalah DL≤0.2 dimana D merupakan nominal diameter pipa dan L adalah panjang gelombang yang terjadi. Pada kondisi ini, gelombang tidak terpengaruh oleh adanya pipa di dasar laut sehingga mengakibatkan terjadinya dua gaya utama yang bekerja pada pipa yaitu gaya seret dan gaya inersia.
• Penentuan Koefisien Hidrodinamik (CD,CM,dan CL)
Sebelum melakukan perhitungan gaya-gaya hidrodinamika maka terlebih dahulu menentukan nilai dari koefisien-koefisien hidrodinamik, Mousselli menyatakatakan bahwa nilai dari suatu koefisien hidrodinamika bergantung pada nilai bilangan Reynould, kekasaran pipa (pipe roughness) dan Bilangan Kaulegan-Carpenter.
- Persamaan bilangan Reynould:
v D Uc Us Re ). ( + = (2. 59)
- Persamaan koefisien kekasaran pipa:
D e
k= (2. 60)
- Persamaan bilangan Keulegan-Carpenter:
D T Us KC . = (2. 61) Keterangan :
Us = kecepatan arus signifikan
Uc = kecepatan partikel pada kedalaman referensi diatas seabed
=
[
]
Ur z D D z z zr/ o 1) 1 / ln o 1 1 * ln( 1 0 − + + + (2. 62)D = diameter luar pipa v = viskositas kinematik e = hight of roughness
zo = parameter kekasaran seabed zr = kedalaman referensi arus Ur = kecepatan arus referensi T = periode gelombang
Nilai dari koefisien hidrodinamika drag (CD) dan Lift (CL) dapat ditentukan dengan melihat
grafik pada Gambar 2.6 (a)-(c). sedangkan untuk nilai koefisien inersia (CM) Mousselli
Gambar 2. 6 Grafik Koefisien Drag Vs Raynold Number.
• Gaya Seret (Drag Force)
Gaya seret terjadi karena adanya gesekan antara fluida dengan dinding pipa atau yang dikenal sebagai skin friction dan adanya vortex yang terjadi dibelakang pipa (form drag), sketsa terjadinya gaya friksi pada pipa dapat dilihat pada Gambar 2.8
Gambar 2. 8 Sketsa terjadinya gaya gesek pada pipa.
Terjadinya gaya seret sangat terpengaruh oleh kecepatan aliran, nilai dari gaya seret dapat dirumuskan sebagai berikut:
) cos . ( ). cos . .( . . . 2 1 Uc Us Uc Us D C FD = D
ρ
θ
+θ
+ (2. 63) Dimana : D F = gaya seret CD = koefisien seretρ
= masa jenis fluida D = diameter pipaUs = kecepatan siginifikan akibat gelombang
Uc = arus laut
• Gaya Inersia
Gaya inersia menunjukan adanya gaya dari masa fluida yang dipindahkan oleh pipa, nilainya dipengaruhi oleh percepatan partikel air. Nilai dari gaya inersia dapat dirumuskan seperti berikut:
θ
π
ρ
C D AsSin FI M . . 4 . . . 2 = (2. 64) Dimana:FI = gaya inersia persatuan panjang
CM = koefisien hidrodinamik inersia
As = percepatan partikel air horizontal efektif
Gaya total hidrodinamika arah horizontal yang bekerja pada pipa merupakan penjumlahan dari gaya seret dan gaya inersia.
I D
H F F
F = + (2. 65)
Persamaan Morrison diatas menggunakan beberapa asumsi yang digunakan yaitu:
- Kecepatan dan percepatan yang digunakan harus didapat dari perhitungan dengan menggunakan teori gelombang linier/Airy, stokes orde 5, solitary, dan sebagainya.
- Persamaan morisson menganggap bahwa struktur tidak bergetar atau berespons dinamis akibat gelombang, oleh sebab itu kecepatan dan percepatan benda relatif terhadap kecepatan dan percepatan partikel.
• Gaya Angkat (Lift Force)
Gaya angkat adalah gaya hidrodinamik dalam arah vertikal, gaya ini terjadi apabila terdapat konsentrasi streamline pada pipa.
Konsentrasi steramline terjadi diatas silinder pipa yang mengakibatkan gaya angkat keatas. Jika terjadi celah sempit antara silinder dan seabed, konsentrasi steamline dibawah silinder pipa akan mengakibatkan gaya angkat negatif kearah bawah. Gambar 2.9 menunjukan sketsa terjadinya gaya angkat pada pipa.
Gambar 2. 9 Sketsa terjadinya gaya angkat pada pipa.
Besarnya gaya angkat ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
2 ) cos . .( . . . 2 1 C D Us Uc FD = L
ρ
θ
+ (2. 66) Dimana :FL = gaya angkat (lift force)
CL = adalah koefisien gaya angkat
C. Gaya Gesek Tanah –Pipa
Gaya horizontal yang mempengaruhi kestabilan pipa selain gaya yang diakibatkan gelombang diatas adalah gaya gesek. Gaya gesek ini sangat dipengaruhi oleh besarnya koefisien gesek antara permukan pipa dengan tanah/seabed, nilai dari koefisien ini bergantung pada jenis tanah dan permukaan pipa. Gaya gesek yang bekerja pada pipa dapat dirumuskan sebagai berikut.
N
Fr =
µ
. (2. 67)Dimana:
Fr = gaya gesek pipa-tanah
µ
= koefisien friksi pipa-tanah N = gaya normal yang terjadiNilai dari koefisien gesek tegantung pada jenis tanah dasar periaran laut /seabed, menurut DNV 2000 koefisien dibagi menjadi jenis tanah clay dan sand, berikut adalah nilai koefisien untuk clay dan sand:
Tabel 2. 11 Nilai Koefisien Gesek Berdasarkan Jenis Tanah Jenis Tanah Koefisien Gesekan
Sand 0.7
Clay Dapat dilihat pada Gambar 2.10
Gambar 2. 10 Grafik nilai koefisien gesek untuk jenis tanah clay.
2.6.4 Analisis Disain Stabilitas Pipa Bawah Laut
Desain stabilitas dari pipa merupakan interaksi yang kompleks antara pergerakan arus air melalui pipa, baik arus yang dibangkitkan oleh gelombang maupun arus yang dibangkitkan oleh pasut yang menimbulkan terjadinya gaya-gaya hidrodinamika pada pipa, dan kombinasi antara total berat tenggelam pipa dengan koefisien gesek antara permukaan pipa dengan tanah.
Analisa sederhana dari stabilitas pipa di dasar laut dapat dilakukan dengan berdasar pada keseimbangan statis antara penerapan gaya-gaya hidrodinamika dengan kombinasi gaya penahan tanah . Gaya penahan tanah sebenarnya merupakan gaya gesek yang terdapat
pada pertemuan permukaan pipa dengan tanah. Berikut ini adalah gaya-gaya yang terlibat dalam stabilitas:
• Berat isi dan berat tenggelam pipa. • Kombinasi gaya drag.
• Kombinasi gaya angkat. • Gaya inersia.
• Gaya friksi penahan antara permukaan pipa dengan dasar laut.
Gambar 2.11 adalah sketsa dari gaya-gaya yang mempengaruhi kestabilan pipa dibwah laut.
Gambar 2. 11 Gaya-gaya hidrodinamika pada pipa (Mousseli, 1981).
Dalam DNV RP E305 On-bootom Stability Design of Submarine Pipeline, bisa digunakan tiga jenis metode analisis, yaitu:
• Analisis dinamik. • Analisis kestabilan umum.
• Analisis kestabilan statis sederhana.
Pemilihan jenis analisa diatas bergantung pada drajat ketelitian dari analisis disain yang ingin dihasilkan.
Pada Tugas Akhir ini yang digunakan metode analisis kestabilan statis sederhana, dimana pada metode ini didasarkan pada keseimbangan statis dari gaya-gaya yang bekerja pada pipa, namun telah dikalibrasikan dengan hasil dari analisis kestabilan sederhana. Metode ini dapat dipakai dalam mayoritas perhitungan kestabilan, dimana berat terendam merupakan parameter yang mejadi perhatian. Metode ini didasarkan pada model yang disederhanakan, sehingga sebagai konsekuensinya dalam metode dianjurkan untuk tidak melakukan modifikasi apapun tanpa pertimbangan menyeluruh pada semua faktor, misalnya dengan melakukan pengecekan dengan satu dari metode analisis kestabilan yang lain.
Agar pipa tetap stabil di atas seabed, kesetimbangan gaya-gaya yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
- Kestabilan arah horizontal/lateral
0
sin
.
=
−
−
+
I r sθ
DF
F
W
F
(2. 68)- Kestabilan arah vertikal 0 cos . = − +FL Ws
θ
N (2. 69)Kombinasi dari dua persamaan diatas adalah:
(
θ
)
θ
µ
L s.cos s.sin I D F F W W F + + − = (2. 70) Atau, W L I D s F F F F W ⋅ + + + =θ
θ
µ
µ
sin cos . . (2. 71)Persamaan diatas merupakan persamaan yang dijadikan sebagai parameter kestabilan arah horizontal pipa . Dimana Fw adalah nilai factor kalibrasi yang besarnya ditentukan dengan grafik pada Gambar 2.12
Gambar 2. 12 Grafik nilai factor kalibrasi (Fw).
2.6.5 Penetrasi Pipa
Ketika pipa berada di atas seabed ada kemungkinan bahwa pipa tersebut terpendam akibat dari daya dukung tanah dibawah seabed lebih kecil dari tekanan efektif akibat berat pipa diatasnya (Ws). Untuk menentukan terjadinya besar penetrasi pipa ketanah digunakan teori bearing capacity dari tanah.
Pada saat pipa digelar di dasar laut maka pada tanah akan bekerja tekanan efektif/effective bearing pressure yang diakibatkan oleh berat pipa dalam air (Ws), ketika pipa tenggelam bearing area (L) bertambah sedangkan tekanan efektifnya bertambah sampai dengan pipa tenggelam 1.5 diameter pipa, pada keadaan ini tekanan efektif sampai pada nilai minimumnya. Akan tetapi, effective bearing capacity (qu) akan
bertambah seiring bertambanya kedalaman pipa tenggelam sampai mencukupi untuk menahan beban pipa, persamaan baring capacity tanah secara umum dapat diberikan pada persamaan 2.72 : γ
γ
N L cN qN qu = q + c +0.5 ' (2. 72)Dimana :
γ
N N
Nq, c, = faktor bearing capacity
c = nilai kohesi tanah di bawah pipa
'
γ
= berat jenis saturasi tanahL = lebar pipa yang menyentuh tanah
) (
2 z D z
L= − untuk B≤D (2. 73)
L=D untuk B > D (2. 74)
Pada suku ke3 dari persamaan diatas terdapat nilai L yang merupakan fungsi dari kedalaman penetrasi pipa ke tanah (z), yang nilainya akan diiterasi agar mendapatkan nilai keseimbangan antara nilai bearing capacity dengan tekanan efektif.
L Ws qu = (2. 75) z D=L Sea bottom z Sea bottom L qu Ws Ws qu
Gambar 2. 13 Bentuk sttlement pada pipa.
Pada kasus perhitungan kesetabilan pipa yang mengalami penetrasi baik sebagian maupun seluruhnya, perhitungan stabilitas pipa dilakukan hampir sama dengan
perhitungan stabilitas untuk pipa tepat di atas seabed. Namun, yang membedakan adalah adanya reduksi terhadap nilai koefisien hidrodinamika akibat terpendamnya pipa.
2.6.6 Jetting dan Trenching
Kebutuhan akan pembuatan parit (trenching) adalah ditentukan berdasarkan dua alasan yaitu karena peraturan dan karena adanya kecepatan arus yang besar didasar laut. Di Indonesia, berdasarkan SK Mentamben No. 300.K/38/M.PE/1997 yaitu untuk pemasangan pipa dengan kedalaman 13 meter wajib untuk melakukan penguburan dengan kedalaman 2 meter di atas diameter luar pipa (top of pipe). Ada dua metode yang umum digunakan untuk mengubur pipa yaitu dengan metode jetting dan metode plowing/trenching.
A. Jetting
Pada teorinya, metode jetting yaitu mehancurkan/mancairkan tanah dengan menyemprotkan air dengan tekanan sangat tinggi di sekitar pipa sehingga pipa masuk ke dalam tanah, metode ini umumnya digunakan untuk tanah jenis pasir dan lempung sedangkan untuk tanah keras tidak bisa digunakan. Pada Gambar 2.15 dan 2.16 dapat dilihat alat dan proses jetting yang dilakukan untuk mengubur pipa.
Gambar 2. 15 Diverless jet sled (DJS) 10 untuk pipa 60 inc (Saipem)
B. Plowing/Trenching
Pada metode ini digunakan alat mekanik untuk membuat parit di bawah pipa. Metode ini dibagi menjadi dua yaitu Pre-trenching dan Post-trenching. Pre-trenching merupakan metode dimana parit/trench untuk mengubur pipa dibuat terlebih dahulu sebelum pipa digelar, namun metode dianggap tidak efektif karena parit yang di buat harus lebar dan membutuhkan akurasi yang tinggi pada saat instalasi. Sedangkan, metode post-trenching parit dibuat setelah pipa digelar di dasar laut, pada metode ini pipa yang telah dipasang diangkat, kemudian dilakukan proses trenching setelah selesai pipa diletakan kembali pada parit yang telah dibuat. Untuk daerah perairan dangkal yang umumnya mempunyai jenis tanah keras biasa digunakan metode post-trenching.
Elevasi dasar laut semula Elevasi dasar laut yang baru
A D
C B
A = Kedalaman parit
B = Kedalaman penurunan pipa
C = Kedalaman timbunan D = Kedalaman material penutup
2.6.7 Reduksi Pembebanan Pada Pipa
Akibat adanya interaksi antara pipa dengan tanah pada suatu sistem pipeline mengakibatkan adanya reduksi gaya-gaya yang bekerja di sekitar pipa. Gaya-gaya hidrodinamika dapat tereduksi karena adanya:
• Sifat permeable dari dasar perairan . • Penetrasi pipa ke tanah.
• Trenching.
a. Reduksi Gaya Akibat Sifat Permeable Dasar Perairan
Pada dasar perairan yang bersifat permeable akan mengizinkan terjadinya aliran arus di bawah pipa yang menyebabkan terjadinya reduksi terhadap beban vertikal. Bila gaya hidrodinamik arah vertikal yang digunakan dalam analisis didasakan pada koefisien pembebanan yang diperoleh dari asumsi non –permeable seabed, maka dapat digunakan faktor reduksi :
7 . 0 ,z = perm r (2. 76)
b. Reduksi Gaya Akibat Terjadinya Penetrasi Pipa Ke Tanah
Seperti dijelaskan sebelumnya pipa akan terpendam/terkubur apabila daya dukung tanah di mana pipa dipasang tidak dapat menahan gaya yang terjadi. Faktor reduksi gaya yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Faktor reduksi gaya arah horizontal.
D z
rpen,y =1−1.4 p (2. 77) - Faktor reduksi gaya arah vetikal.
− − =1 1.3 1 , D z r p z pen (2. 78)
Gambar 2. 17 Sketsa pipa yang terpendam ditanah.
c. Reduksi gaya akibat trenching
Pipa yang terdapat dalam parit dengan tinggi parit yang diambil relatif terhadap seabed, dan mempunyai lebar parit tidak lebih dari 3 kali diameter pipa akan mengalami reduksi gaya hidodinamik, dimana faktor reduksinya dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Faktor reduksi gaya arah horizontal.
(
5)
5 45 8 . 0 1 42 . 0 25 . 0 , ≤ ≤ − − =θ
θ
D z r t y tr (2. 79)- Faktor reduksi gaya arah vetikal.
(
5)
5 45 14 . 0 1 46 . 0 43 . 0 , ≤ ≤ − − =θ
θ
D z r t z tr (2. 80)Gambar 2. 18 Sktetsa pipa dalam parit.
Total dari reduksi yang terjadi adalah:
i tr i pen i perm i tot r r r r , = , . ,. , (2. 81)
Dimana subscrip ”i” pada persamaan diatas menyatakan arah gaya.
Zp
D
θ
ZtD <3D