• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII EVALUASI PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KUBE DI KABUPATEN BOGOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VII EVALUASI PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KUBE DI KABUPATEN BOGOR"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VII

EVALUASI PELAKSANAAN

PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KUBE

DI KABUPATEN BOGOR

Kegiatan-kegiatan pelatihan keterampilan bagi PMKS merupakan salah satu bentuk kegiatan memberdayakan fakir miskin. Melalui kegiatan ini, output yang dihasilkan adalah terbentuknya KUBE PMKS yang akan menjalankan Usaha Ekonomis Produktif sesuai dengan keterampilan yang diajarkan. Melalui KUBE ini diharapkan PMKS dapat saling berinteraksi, lebih percaya diri, dan dapat meningkatkan pendapatan keluarganya sehingga bisa keluar dari kemiskinan. Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui mekanisme BLPS merupakan program bantuan Pemerintah Pusat dalam rangka penguatan modal KUBE-KUBE tersebut. Program ini selain menggunakan pendekatan pemberdayaan ekonomi dan sosial juga berpotensi meningkatkan status sosial masyarakat miskin karena melibatkan partisipasi masyarakat sekitarnya. Pada Bab ini akan dievaluasi kondisi KUBE yang ada di Kabupaten Bogor dan pelaksanaan BLPS mulai dari pelaksanaan program, kendala dan permasalahan, hingga potensi pengembangan program.

3.19. Potensi KUBE di Kabupaten Bogor

KUBE di Kabupaten Bogor umumnya dibentuk oleh instansi sosial pemerintah dari hasil bimbingan sosial dan pelatihan keterampilan bagi PMKS yang di dalamnya terdapat pemberian stimulan usaha. Berdasarkan data BPMKS (2008) dan Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor (2009)14, jumlah KUBE yang telah dibentuk dari hasil kegiatan-kegiatan pelatihan terhadap PMKS di seluruh wilayah Kabupaten Bogor selama periode tahun 2005-2009 adalah sebanyak 505 kelompok (Tabel 20). KUBE ini terbentuk dari kegiatan seperti: 1) Pembinaan Anak Jalanan; 2) Bimbingan Sosial dan Pelatihan Keterampilan Usaha Ekonomis Produktif (UEP) bagi Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE); 3) Rehabilitasi Penyandang Masalah Sosial Berbasis Masyarakat; 4) Bimbingan Sosial dan Pelatihan Keterampilan bagi Penyandang Cacat;

14 Dengan telah dilakukannya penataan kembali Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Bogor pada tahun 2008, Bidang Kesejahteraan Sosial BPMKS dipindahkan ke Disnakertrans Kabupaten Bogor. Pada tahun 2009, BPMKS berubah menjadi BPMPD dan Disnakertrans berubah menjadi Dinsosnakertrans.

(2)

5) Pelatihan Keterampilan Usaha Bersama bagi Fakir Miskin; serta 6) Bimbingan Sosial dan Pemulihan Tingkat Perekonomian Masyarakat Eks Korban Bencana.

Tabel 20. KUBE PMKS Hasil Pembentukan Kegiatan Pelatihan Keterampilan di Kabupaten Bogor Tahun 2005-2009.

Tahun Anggaran No Jenis PMKS

2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah

1 Anak Jalanan 8 24 24 8 8 72

2 WRSE 10 33 48 36 30 157

3 Anak Putus Sekolah - 14 32 16 14 76

4 Penyandang Cacat 6 6 10 6 6 34

5 Fakir Miskin - 8 54 12 15 89

6 Eks Korban Bencana Alam 12 8 36 12 9 77

Jumlah 36 93 204 90 82 505

Sumber: BPMKS (2005-2008) dan Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor, 2009

Jumlah KUBE terbentuk paling banyak adalah KUBE WRSE15 yaitu sebanyak 157 kelompok sedangkan yang paling sedikit adalah KUBE Penyandang Cacat yaitu sebanyak 34 kelompok. KUBE Fakir Miskin sendiri baru terbentuk sebanyak 89 kelompok, hal ini dikarenakan pelaksanaan kegiatan Pelatihan Keterampilan Usaha Bersama bagi Fakir Miskin baru dimulai sejak Tahun Anggaran 2006. Jika dilihat dari tahun pelaksanaan kegiatan, jumlah KUBE yang paling banyak dibentuk berasal dari hasil pelatihan keterampilan pada Tahun Anggaran 2007, hal ini seiring dengan kebijakan pada tahun tersebut yang memprioritaskan penanggulangan kemiskinan. Dampak dari kesungguhan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan pada tahun 2007 adalah dikucurkannya Anggaran Biaya Tambahan bagi program/kegiatan yang mendukung pengentasan kemiskinan.

Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 20, KUBE yang terbentuk dari hasil pelaksanaan Pelatihan Keterampilan bagi Fakir Miskin Tahun Anggaran 2007 menempati urutan terbanyak yaitu 54 kelompok disusul oleh KUBE WRSE sebanyak 32 Kelompok, dan KUBE Masyarakat Eks Korban Bencana sebanyak 36 kelompok. Sebagai pembinaan lebih lanjut, mulai Tahun Anggaran 2008, Instansi Sosial Kabupaten Bogor melaksanakan kegiatan Bimbingan Sosial dan Pelatihan Keterampilan Lanjutan bagi KUBE Keluarga Fakir Miskin sebanyak 10 KUBE di tiap tahun anggaran.

15 Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) adalah seorang wanita yang berperan sebagai pencari sumber nafkah utama keluarga (wanita kepala keluarga) atau pembantu pencari sumber nafkah keluarganya yang penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

(3)

Akan tetapi berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan narasumber, proses pemberdayaan melalui KUBE dari sumber dana APBD hanyalah sebatas pemberian pelatihan keterampilan. Tidak adanya pendampingan dan pengawasan terhadap kelanjutan penerapan hasil keterampilan menjadi usaha mengakibatkan proses pemberdayaan terhadap PMKS menjadi tidak maksimal. Pihak Instansi Sosial sendiri tidak sanggup mengalokasikan dana bagi proses pendampingan dan penguatan modal selanjutnya.

3.20. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui BLPS-KUBE

Menjelang akhir tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Bogor melalui BPMKS menerima dana BLPS dari Departemen Sosial RI yang diwujudkan dalam bentuk penguatan modal usaha bagi KUBE Produktif. Sejalan dengan PNPM yang telah dicanangkan pemerintah, maka BLPS dirancang sebagai program terpadu dalam PNPM yang melibatkan berbagai stakeholder (Depsos RI, 2007). Keberadaan program ini tentunya disambut baik oleh Pemerintah Kabupaten Bogor karena bertepatan dengan keseriusan upaya pengetasan kemiskinan dalam rangka terciptanya peluang dan kesempatan pelayanan kepada fakir miskin.

2.2.1. Gambaran Umum Lokasi

Menurut Bappeda Kabupaten Bogor, P2FM-BLPS diluncurkan pertamakali di Kabupaten Bogor karena adanya permintaan dari tokoh masyarakat dari Kecamatan Pamijahan yang peduli akan kemiskinan di wilayahnya. Kecamatan Pamijahan merupakan wilayah di Kabupaten Bogor yang tergolong memiliki jumlah penduduk miskin paling banyak yaitu 64.651 jiwa atau atau 5,59 persen dari total penduduk Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, wilayah yang merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Cibungbulang ini sering sekali menerima program-program penanggulangan kemiskinan dari pemerintah seperti: Imbal Swadaya, Raksa Desa, PNPM Mandiri, Sarana Air Bersih, dan lain-lain. Sekalipun jumlah penduduk miskinnya paling banyak, Kecamatan Pamijahan tidak termasuk dalam wilayah yang mendapatkan Program Keluarga Harapan (PKH) bagi keluarga miskinnya.

(4)

Menanggapi permintaan dari tokoh masyarakat Kecamatan Pamijahan agar ada program yang langsung mengarah pada sasaran meningkatkan taraf hidup fakir miskin, Pemerintah Kabupaten Bogor mengajukan usulan kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen Sosial RI untuk menindaklanjutinya dengan P2FM-BLPS yang baru saja dicanangkan di beberapa wilayah di Indonesia. Depsos RI menyetujui permintaan ini dengan menetapkan wilayah tetangga Kecamatan Pamijahan yaitu Kecamatan Tenjolaya untuk turut serta menerima program ini. Gambaran administratif kedua kecamatan dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Posisi Administratif Kecamatan Penerima P2FM-BLPS.

Sekalipun bukan merupakan wilayah dengan jumlah penduduk miskin paling tinggi diantara wilayah terdekatnya (Kecamatan Pamijahan, Leuwiliang, Dramaga, dan Cibungbulang), Kecamatan Tenjolaya dinilai memiliki kondisi kemiskinan lebih parah karena posisinya cukup terisolir dan seluruh penduduk miskinnya tidak bermatapencaharian. Hal ini cukup ironis karena pendidikan kepala keluarga miskinnya justru lebih baik dibandingkan pendidikan kepala keluarga miskin pada wilayah di sekitarnya. Berbeda dengan Kecamatan Pamijahan, wilayah pemekaran baru dari Kecamatan Ciampea pada tahun 2003 ini termasuk dalam wilayah yang menerima Program Keluarga Harapan (PKH) bagi keluarga miskinnya. Gambaran umum Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Tenjolaya dapat dilihat pada Tabel 21.

(5)

Tabel 21. Gambaran Umum Kondisi Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya. Kecamatan

No Uraian Pamijahan Tenjolaya

1. Tahun Terbentuk 1995 2003

2. Wilayah Asal Pemekaran Kecamatan Cibungbulang Kecamatan Ciampea

3. Luas wilayah (hektar) 8.088,29 2.368,00

4. Jumlah Desa 15 Desa 6 Desa

5. Klasifikasi Desa • 13 Desa Swakarya • 6 Desa Swakarya

• 2 Desa Swasembada

6. Pengembangan Kawasan*: Hutan rakyat, perkebunan teh, kawasan wisata, budidaya perikanan kolam, budidaya padi, budidaya ubi jalar, peternakan kambing, domba, ayam buras

Budidaya perikanan kolam, budidaya padi, budidaya ubi jalar, peternakan kambing, domba, ayam buras

7. Kependudukan (Tahun 2007)

- Jumlah Penduduk 135.807 jiwa 50.674 jiwa

- Jenis Kelamin • 70.008 orang laki-laki • 26.397 orang laki-laki • 65.799 orang perempuan • 24.277 orang perempuan - Jumlah Rumah Tangga 30.822 KK 12.364 KK

8. Mata Pencaharian Penduduk

- Pertanian 45,83% 100%

- Perdagangan 25% 0%

- Jasa 25% 0%

- Industri 4,17% 0%

- Lainnya 0% 0%

9. Kondisi Kemiskinan (Tahun 2006)

- Jumlah 64.651 jiwa 24.359 jiwa

- Jumlah RTM 13.382 KK 5.081 KK

10. Mata Pencaharian Penduduk Miskin

- Jasa-Jasa 8,33 % 0 % - Perdagangan 4,81 % 0 % - Transportasi 0,36 % 0 % - Tidak Bekerja 56,14 % 100 % - Lainnya 30,36 % 0 %

Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2007.

* Data pada Rencana Revitalisasi Pembangunan Pertanian dan Pembangunan Pedesaan di Kabupaten Bogor, PSP3-IPB

2.2.2. Stakehoder Pengelola Program

Para pihak yang terlibat (stakeholders) dalam BLPS terdiri dari pemerintah, perbankan, dan masyarakat itu sendiri. Semua pihak menjalankan peran dan tanggungjawabnya dengan tujuan untuk memberdayakan KUBE dalam mengembangkan usahanya secara berkelanjutan. Hal ini dimaksudkan agar mempercepat proses penyaluran dana penguatan modal usaha kepada anggota

(6)

KUBE yang tepat sasaran dan tepat waktu. Adapun bidang tugas dari para pihak yang terlibat adalah:

a. Pemerintah Pusat

Pemerintah Pusat dalam hal ini diwakili oleh Depsos RI bertugas menetapkan kabupaten/kota lokasi penerima program berdasarkan proposal yang disampaikan sesuai kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

b. Perbankan

Pihak perbankan yang ditunjuk adalah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. Melalui BRI, pemerintah menyalurkan dana BLPS lewat rekening tabungan di Unit Cabang BRI terdekat dengan lokasi penerima BLPS yang sudah ditetapkan. Berikutnya pihak Unit Cabang BRI menerima permohonan kredit dari KUBE, memeriksa dan menilai, serta menetapkan keputusan kredit mengacu pada ketentuan dalam perjanjian kerjasama antara Depsos RI dengan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk.

c. Pemerintah Daerah

Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Di Tingkat Propinsi, Gubernur melalui Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat memfasilitasi kelancaran pelaksanaan BLPS serta melakukan pemantauan dan evaluasi dalam lingkup propinsi atau antar kabupaten/kota. Di Tingkat Kabupaten, Bupati Bogor melalui BPMKS Kabupaten Bogor menyiapkan data calon KUBE Produktif dengan sistem by name,

by adress, by needs16. Pihak BPMKS juga menyiapkan calon pendamping yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan KUBE. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor juga bertanggung jawab atas penyediaan dana pendampingan dari APBD.

2.2.3. Persiapan Pelaksanaan Program

Sasaran utama program ini adalah KUBE Fakir Miskin. Agar pelaksanaan program tepat sasaran maka tahapan persiapan pelaksanaan BLPS ditetapkan sebagai berikut:

16 KUBE Produktif adalah KUBE yang memiliki anggota usia antara 15-55 Tahun, telah melakukan kegiatan usaha ekonomi produktif, memiliki prospek baik untuk berkembang lebih maju dan bukan KUBE bentukan baru.

(7)

a. Penetapan KUBE Produktif

Setelah ditetapkan dua kecamatan sebagai lokasi penerima program, Pemerintah Kabupaten Bogor melalui BPMKS berwenang melakukan seleksi calon KUBE yang akan menerima penguatan modal melalui BLPS. Jumlah KUBE yang terpilih adalah sebanyak 25 KUBE yang berdomisili di 11 desa pada dua kecamatan tersebut. KUBE terpilih kemudian ditetapkan dalam Surat Keputusan Bupati Bogor agar memiliki landasan hukum.

b. Seleksi dan Rekruitmen Pendamping Sosial

BPMKS mengusulkan pula Calon Pendamping Sosial kepada Depsos RI. Calon Pendamping Sosial baik di tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa masing-masing berjumlah satu orang. Dengan demikian jumlah Pendamping Sosial dari Kabupaten Bogor adalah 14 orang terdiri dari 1 orang Pendamping Kabupaten, 2 orang Pendamping Kecamatan, dan 11 orang Pendamping Desa. c. Pelatihan Pendamping Sosial

Seluruh Calon Pendamping Sosial tersebut kemudian diwajibkan mengikuti Pelatihan Pendampingan Sosial yang dilaksanakan oleh Depsos RI. Untuk para Calon Pendamping Sosial Kabupaten Bogor, kegiatan pelatihan dilaksanakan di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Lembang-Bandung selama dua minggu.

d. Penjajakan Lokasi dan Pemetaan Kebutuhan

Kegiatan ini dilakukan oleh Depsos RI didampingi oleh BPMKS untuk melihat potensi pengembangan usaha KUBE pada wilayah calon penerima program berikut kesiapannya dalam menunjang pelaksanaan program.

e. Sosialisasi Program

Sosialisasi program merupakan upaya memperkenalkan atau menyebarluaskan informasi mengenai P2FM kepada masyarakat miskin sebagai penerima program, kelompok masyarakat secara umum, para pelaku yang terlibat, serta instansi atau lembaga pendukung P2FM-BLPS di semua tingkatan. Oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, kegiatan ini diwujudkan bersamaan dengan kegiatan Peluncuran P2FM-BLPS pada tanggal 18 Desember 2007 yang bertempat di Kecamatan Tenjolaya.

(8)

f. Usulan Kegiatan UEP17

Kegiatan ini dilakukan berdasarkan musyawarah kelompok (internal KUBE) sehingga dihasilkan perencanaan dan pemanfaatan modal sesuai kebutuhan. Setiap KUBE kemudian membuat proposal kegiatan UEP yang akan dikembangkan untuk diajukan kepada Bank BRI agar mendapatkan dana yang dibutuhkan.

2.2.4. Penyesuaian dalam Program

BLPS-KUBE merupakan salah satu program Pemerintah Pusat yang menggunakan pendekatan Top-Down, oleh karenanya tidak semua aspek dari program relevan dengan kondisi di lokasi penerima program. Dalam pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor, ditemukan beberapa penyesuaian yang dilakukan pemerintah setempat yaitu dalam hal pembentukan kelompok, jenis UEP yang diusahakan, pembentukan lembaga pengaman perguliran dana, dan penetapan aturan perguliran dana yang sesuai kondisi usaha. Diantara penyesuaian-penyesuaian dalam program ini ditemukan adanya indikasi penyelewengan terhadap aturan yang tercantum dalam Petunjuk Operasional P2FM-BLPS.

Berdasarkan data BPMKS tahun 2007, potensi KUBE PMKS atau fakir miskin yang ada dan terbentuk di Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya selama periode tahun 2005-2007 hanyalah KUBE WRSE yang terbentuk di Kecamatan Pamijahan pada tahun 2005 sebanyak 5 kelompok. Namun jika berdasarkan data tahun 2002, Kecamatan Pamijahan pernah memiliki potensi KUBE Fakir Miskin sebanyak 31 kelompok sedangkan Kecamatan Tenjolaya yang pada tahun tersebut masih merupakan bagian dari Kecamatan Ciampea memiliki potensi 50 kelompok. Lamanya rentang terbentuknya KUBE dan lemahnya pengawasan hasil pelatihan keterampilan oleh aparat pemerintah mengakibatkan KUBE-KUBE tersebut tidak berjalan secara berkelanjutan. Sehubungan dengan tidak tercukupinya jumlah KUBE Produktif yang dibutuhkan sebagai penerima BLPS, BPMKS akhirnya menerima KUBE bentukan baru sebagai calon penerima BLPS. Padahal syarat utama KUBE penerima BLPS adalah KUBE yang sudah produktif menjalankan usahanya.

17 Usaha Ekonomi Produktif (UEP) adalah serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengakses sumberdaya ekonomi, meingkatkan kemampuan usaha ekonomi, meningkatkan produktivitas kerja, meningkatkan penghasilan, tabungan, dan menciptakan kemitraan usaha yang saling menguntungkan (Depsos RI, 2007).

(9)

Dalam definisi umum, selayaknya KUBE dibentuk oleh sekumpulan orang yang melakukan suatu jenis UEP secara bersama-sama. Namun pada kasus pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor terlihat seolah KUBE hanyalah sebuah lembaga himpunan fakir miskin penerima bantuan modal usaha sementara anggota KUBE tidak terikat melakukan suatu usaha secara kolektif/bersama-sama. Dalam Lampiran 6 terlihat bahwa dari 25 kelompok hanya 6 kelompok yang melakukan UEP secara kolektif. Pihak Pendamping Sosial Kecamatan menjelaskan alasannya sebagai berikut:

“Keadaan ini sudah dikonsultasikan pada saat Pelatihan Pendampingan Sosial dan mendapat persetujuan Pihak Depsos RI mengingat mata pencaharian sebagian besar fakir miskin di Kecamatan Tenjolaya dan Pamijahan adalah tidak bekerja, buruh tani, dan bekerja serabutan yang beralih-alih profesi sehingga usaha yang mereka kembangkan tidak bisa tergantung pada satu jenis usaha dan bagi usaha pertanian pun sangat dipengaruhi kondisi alam”

Berdasarkan aturan BLPS, dana yang telah dicairkan bersifat dana hibah bersyarat dimana dana wajib dikembalikan untuk digulirkan kepada anggota lain atau bahkan kepada KUBE Produktif lain yang membutuhkan. Adanya sifat dana ini membuat Pengelola Program beranggapan seandainya perguliran dana ini diserahkan begitu saja kepada masyarakat (fakir miskin anggota KUBE) tentunya akan besar kemungkinan terjadi kredit macet dalam perguliran dana. Dilatarbelakangi kemungkinan ancaman tersebut dan mengingat tanggung jawab mengelola bantuan yang sedemikian besar, para Pendamping Sosial melalui persetujuan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor berinisiatif membentuk Koperasi yang bertujuan mewadahi dan mengendalikan proses perguliran dana BLPS di Kecamatan Tenjolaya dan Pamijahan.

Koperasi ini dibentuk pada tanggal 3 Januari 2008 dan ditetapkan melalui Akta Notaris dengan nama ‘Koperasi Usaha Bersama’ yang berkedudukan di wilayah Kecamatan Tenjolaya. Kepengurusan koperasi ini adalah himpunan dari para Pendamping Sosial yang terlibat dalam pelaksanaan BLPS sedangkan anggotanya adalah anggota KUBE penerima BLPS. Berdasarkan maksud dan tujuan didirikannya Koperasi Usaha Bersama dalam Akta Notarisnya, koperasi ini akan mewakili perwujudan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang memberikan akses dana penguatan modal kepada KUBE melalui pengaturan hasil perguliran dana dari BLPS.

(10)

Dengan adanya koperasi, dana hasil keuntungan KUBE wajib dikembalikan kepada koperasi untuk digulirkan kembali kepada anggota lain atau KUBE penerima berikutnya. Namun demikian, keberadaan koperasi akhirnya jutru menimbulkan banyak pertentangan di masyarakat karena peran lembaga ini seharusnya tidak ada sebagaimana yang tercantum dalam Petunjuk Operasional P2FM-BLPS. Sebagaimana informasi yang disosialisasikan oleh Pihak Depsos RI sebelumnya, perguliran modal dan usaha dalam P2FM-BLPS ini diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Keberadaan Koperasi ini juga yang menyebabkan pencairan dana menjadi terpusat kepada rekening Koperasi, bukan kepada rekening masing-masing KUBE.

Sebagai dampak keberadaan Koperasi adalah adanya penyesuaian dalam hal pengembalian dana. Anggota KUBE diharuskan mengembalikan dana jika usaha yang dikembangkan sudah memperoleh keuntungan dengan cara mencicil secara periodik ke Koperasi. Hal ini dimaksudkan agar proses perguliran dana dapat berjalan sesuai harapan. Sehubungan dengan beragamnya jenis UEP yang dikembangkan, Pengelola Program menerapkan dua metode pengembalian, yaitu dengan mencicil setiap sebulan sekali bagi usaha-usaha produksi, jasa, dan perdagangan, sementara bagi usaha-usaha budidaya, baik itu pertanian, perikanan, dan peternakan, pengembalian dana dilakukan dengan cara mencicil berdasarkan siklus panen.

2.2.5. Kondisi Pencairan Dana

Total dana BLPS yang rencananya akan dikucurkan dalam rangka penguatan modal KUBE di Kabupaten Bogor adalah sebesar Rp 1,5 miliar yang diberikan kepada 25 kelompok, dengan demikian setiap kelompok berhak memperoleh dana maksimal Rp 60 juta. Akan tetapi dana terserap pada awal peluncurannya hanyalah sebesar Rp 981.907.000,- atau hanya 65,46 persen dari selayaknya. Rincian jumlah dana yang dicairkan dapat dilihat pada Tabel 22. Menurut Pendamping Sosial Kecamatan, hal ini disebabkan terjadi proses efisiensi dalam pelaksanaan seleksi ajuan dana karena masih terdapat usulan usaha KUBE yang belum memenuhi syarat kualifikasi, baik dari segi kemampuan pengelolaan maupun kelayakan usahanya, sebagaimana dijelaskan berikut:

“Masih ada komponen dalam ajuan dana yang tidak perlu dibantu melalui dana BLPS, seperti sewa lahan atau peralatan untuk usaha, dikarenakan fakir miskin sendiri juga masih memiliki lahan atau peralatan

(11)

yang cukup memadai bagi pelaksanaan usahanya. Adapun sisa dana yang belum dicairkan akan ditahan hingga ada usulan usaha KUBE yang layak berikutnya”

Tabel 22. Realisasi Pencairan Dana BLPS bagi KUBE di Kabupaten Bogor Tahun 2008.

No Kecamatan Desa Nama KUBE Pencairan Dana Dana Belum Dicairkan

1. Pamijahan 1. Pamijahan 1. Sumber Rejeki 50.620.000 9.380.000

2. Sugih Mukti 51.800.000 8.200.000

2. Pasaraean 3. Pasarean I 40.770.000 19.230.000

4. Pasarean II 56.000.000 4.000.000

5. Pasarean III 47.000.000 13.000.000

6. Intan Walagri 55.000.000 5.000.000

3. Gunung Menyan 7. Silih Asih 49.040.000 10.960.000

8. Sablon 35.614.000 24.386.000

9. Serbaguna 49.439.500 10.560.500

4. Gunung Picung 10. Tani Mukti 36.435.000 23.565.000

11. Subur Tani 31.100.000 28.900.000

5. Gunung Bunder 12. Botaniah 39.380.000 20.620.000 6. Gunung Sari 13. Mitra Sari II 58.000.000 2.000.000 2. Tenjolaya 7. Situ Daun 14. Tunas Mekar I 39.565.000 20.435.000 15. Tunas Mekar II 31.120.000 28.880.000 8. Tapos I 16. Karya Bersama 30.000.000 30.000.000

17. Harapan Jaya 30.888.500 29.111.500

18. Mutiara Hati 28.956.000 31.044.000

19. Bersama Jaya 28.100.000 31.900.000

9. Tapos II 20. Tegar I 21.469.000 38.531.000

21. Tegar II 44.000.000 16.000.000

10. Gunung Malang 22. Mekar Jaya 30.000.000 30.000.000

23. Maju Jaya 30.000.000 30.000.000

11. Cibitung Tengah 24. Karya Mandiri II 33.510.000 26.490.000

25. Langkah Tani 34.100.000 25.900.000

Jumlah 981.907.000 518.093.000

Sumber: Koperasi Usaha Bersama Kabupaten Bogor, 2009

Untuk mengamankan sisa dana tersebut, oleh Pengelola Program, dana dikembalikan ke dalam rekening dana BLPS KUBE di Bank BRI untuk pemanfaatan berikutnya. Namun demikian, akibat belum adanya usulan UEP yang memenuhi syarat, dana tersebut mengendap di rekening BRI.

2.2.6. Keragaan Keanggotaan KUBE

Jumlah penerima dana BLPS tahun 2008 adalah 268 orang Kepala Keluarga dengan total jumlah anggota keluarga sebanyak 1.317 jiwa, dengan demikian rata-rata besar keluarga tiap RTM penerima dana adalah hampir 5 orang per RTM. Jumlah

(12)

anggota tiap KUBE pun cukup bervariasi dimana terdapat lebih dari separuh KUBE yang beranggotakan 10 orang lebih (Tabel 23). Adapula KUBE yang beranggota cukup banyak yaitu mencapai 16 orang, dan hanya terdapat satu KUBE saja yang memiliki anggota di bawah 10 orang.

Tabel 23. Kondisi Keanggotaan dan Jenis Usaha KUBE Penerima Dana BLPS di Kabupaten Bogor Tahun 2008.

Jenis Kelamin Jenis Usaha

No Nama KUBE Jumlah Anggota

Laki-Laki Perem-puan BudidayaPertanianPeternakanBudidaya PerikananBudidaya Produksi Usaha Dagang/Jual Beli Usaha Jasa

1 Sumber Rejeki 10 10 0 10 0 0 0 0 0 2 Sugih Mukti 11 11 0 3 0 0 1 7 0 3 Pasarean I 10 8 2 1 2 0 0 6 1 4 Pasarean II 16 14 2 2 0 2 1 5 6 5 Pasarean III 13 11 2 6 5 1 0 1 0 6 Intan Walagri 11 10 1 11 0 0 0 0 0 7 Silih Asih 11 9 2 6 0 3 1 0 1 8 Sablon 8 8 0 1 0 1 0 6 0 9 Serbaguna 11 9 2 9 0 2 0 0 0 10 Tani Mukti 13 12 1 8 1 0 0 4 0 11 Subur Tani 10 10 0 10 0 0 0 0 0 12 Botaniah 10 10 0 8 1 0 0 1 0 13 Mitra Sari II 10 8 2 3 0 0 0 7 0 14 Tunas Mekar I 11 10 1 5 0 5 0 1 0 15 Tunas Mekar II 10 9 1 5 1 4 0 0 0 16 Karya Bersama 10 10 0 9 0 1 0 0 0 17 Harapan Jaya 11 9 2 9 0 0 0 2 0 18 Mutiara Hati 11 11 0 5 0 0 0 4 2 19 Bersama Jaya 10 10 0 10 0 0 0 0 0 20 Tegar I 10 9 1 9 0 1 0 0 0 21 Tegar II 11 11 0 9 0 1 0 1 0 22 Mekar Jaya 10 10 0 5 5 0 0 0 0 23 Maju Jaya 10 10 0 10 0 0 0 0 0 24 Karya Mandiri II 10 7 3 3 1 2 0 1 3 25 Langkah Tani 10 8 2 4 1 2 0 2 1 Jumlah 268 244 24 161 17 25 3 48 14 Proporsi 100% 91,04% 8,96% 60,07% 6,34% 9,33% 1,12% 17,91% 5,22%

Sumber: Koperasi Usaha Bersama Kabupaten Bogor (2009), data diolah

Di dalam setiap KUBE ini terdapat kepengurusan yang terdiri dari Ketua, Sekretaris, dan Bendahara yang bertanggung jawab terhadap kinerja keberhasilan usaha anggotanya dan menyelesaikan permasalah yang timbul. Kepengurusan inilah yang memfasilitasi terjadinya proses pemberdayaan fakir miskin seperti pertemuan sesama anggota KUBE maupun pertemuan dengan para Pendamping Sosial dan pemecahan masalah atas kendala yang dihadapi anggota KUBE-nya. Pada Tabel 23 terlihat bahwa proporsi anggota KUBE berjenis kelamin laki-laki lebih banyak (91,04 persen) daripada anggota KUBE berjenis kelamin perempuan (8,96 persen). Hal ini

(13)

berarti peran kepala keluarga fakir miskin di kedua kecamatan penerima dana BLPS masih didominasi oleh pria.

2.2.7. Jenis Usaha KUBE

Berdasarkan Tabel 23, kegiatan KUBE yang diusahakan oleh fakir miskin di dua kecamatan tersebut dapat dikategorikan dalam 6 jenis usaha, yaitu: budidaya pertanian, peternakan, perikanan, usaha produksi, jual beli/perdagangan, dan usaha jasa. Kategori yang paling banyak usahakan adalah usaha pertanian sebanyak 60,07 persen, disusul perdagangan (17,91%), perikanan (9,33%), peternakan (6,34%), jasa (5,22%), dan usaha produksi (1,12%).

Kegiatan usaha pertanian meliputi: budidaya ubi jalar, padi, rumput gajah, jagung manis, jamur tiram, terung, pepaya, cabai, kacang panjang, katuk, buncis, dan mentimun. Adapun jenis usaha yang paling variatif adalah usaha perdagangan/jual beli diantaranya meliputi: penjualan sembako, hewan, makanan, sayuran, pakaian, kayu, barang bekas, mainan, batu alam, suku cadang sepeda motor, hingga pulsa telepon/aksesoris telepon seluler. Jenis usaha perikanan yang dikembangkan meliputi: budidaya ikan mas, lele, bawal, nila, dan gurame. Jenis usaha peternakan meliputi ternak domba, ayam, dan kelinci. Usaha bidang jasa meliputi: menjahit, perbengkelan, jasa perkreditan barang, dan pertukangan. Sedangkan jenis usaha produktif meliputi: pembuatan ikan pindang, penggergajian kayu, dan kerajinan sendal.

2.2.8. Pendampingan Sosial

KUBE Fakir Miskin sebagai kelompok dari keluarga-keluarga fakir miskin membutuhkan pendampingan dari orang yang lebih tahu dan lebih terampil daripada mereka. Untuk itu dalam program ini disiapkan Pendamping Sosial yang berasal dari masyarakat di lokasi penerima program agar memahami potensi dan permasalahan yang akan dihadapi di lokasi pelaksanaan BLPS. Pendamping Sosial ini berupa perorangan, kelompok, atau lembaga yang memiliki kompetensi di bidang usaha kesejahteraan sosial dan UEP.

Komposisi Pendamping Sosial dalam pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor berasal dari unsur tokoh masyarakat setempat, unsur pengajar, wirausaha,

(14)

organisasi sosial, Penyuluh Pertanian Swadaya, dan Pekerja Sosial Masyarakat. Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kegiatan pendampingan sosial, para pendamping ini menjalankan berbagai peranan diantaranya sebagai perencana, pembimbing, pemberi informasi, motivator, penghubung, fasilitator, dan evaluator. Selama pelaksanaan program, para pendamping tersebut mendapatkan honorarium pendampingan yang bersumber dana dari APBN. Pada tujuan akhirnya, pendampingan ini akan berfungsi dalam meningkatkan kemampuan berusaha para anggota KUBE sehingga usahanya berkembang dan layak mendapatkan modal usaha dalam bentuk Kredit Usaha Mikro dan Kecil yang disediakan oleh BRI.

3.21. Kinerja KUBE Penerima Dana BLPS

Langkah pertama yang harus dilakukan oleh KUBE Penerima Dana BLPS adalah mengalokasikan dana tersebut untuk kegiatan usaha sebagaimana yang sudah dirinci dalam Proposal Permohonan Bantuan Dana UEP masing-masing. Pemanfaatan dana ini dimonitor oleh para Pendamping Sosial agar tidak terjadi penyelewengan dalam penggunaannya. Berdasarkan wawancara dengan Pendamping Sosial, pada tahap awal umumnya para anggota KUBE melakukan pengalokasian dana secara wajar sesuai dengan kegiatan di proposalnya masing-masing, akan tetapi setelah sekian lama program berlangsung, terdapat KUBE-KUBE yang kesulitan mengelola kelanjutan usahanya karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Menurut Pendamping Sosial Kecamatan, hal ini disebabkan UEP yang dijalankan anggotanya gagal/bangkrut karena kegagalan panen dan tidak dapat melanjutkan usaha karena modal habis.

Selain disebabkan oleh faktor alamiah (seperti kegagalan panen pada usaha pertanian, peternakan, dan perikanan), umumnya modal habis karena Anggota KUBE belum bisa memisahkan sistem keuangan UEP dengan keuangan rumah tangga. Hasilnya, sedikit demi sedikit uang keuntungan hasil usaha dipakai untuk keperluan rumah tangga. Sudah seharusnya para Pendamping Sosial mengantisipasi hal ini dengan melakukan pendampingan yang intensif terhadap pelaksanaan UEP. Namun akibat beragamnya jumlah UEP yang dijalankan dalam setiap KUBE, kondisi ini menjadi di luar kendali Pendamping Sosial. Semakin banyak UEP maka semakin luas cakupan pendampingan oleh mereka. Kelembagaan KUBE yang seharusnya juga

(15)

bertanggung jawab atas kondisi ini ternyata belum bisa diandalkan dalam menangani permasalahan anggotanya karena kurangnya pemahaman Pengurus KUBE akan program. Kondisi ini diperburuk pula oleh adanya kendala dan permasalahan eksternal yang timbul sehingga mengganggu jalannya proses pemberdayaan yang diharapkan. Berdasarkan Laporan Koperasi Usaha Bersama, hingga saat ini belum ada laporan perkembangan usaha oleh masing-masing KUBE dan perguliran dana dari hasil keuntungan UEP yang dijalankan.

3.22. Hambatan dan Permasalahan yang Timbul

Berdasarkan hasil wawancara dengan Pendamping Sosial dan instansi yang terlibat, kegiatan perguliran dana BLPS hasil dari pemberdayaan fakir miskin pada tahun 2008 ternyata tidak berjalan sesuai harapan. Selain permasalahan internal KUBE, penyebab lainnya adalah adanya kendala eksternal di lapangan yang menimbulkan berbagai permasalahan dan secara langsung mengganggu kinerja KUBE serta proses pemberdayaan itu sendiri. Berdasarkan pihak yang terlibat, kendala tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Kendala dari sisi masyarakat penerima program

• Jumlah penerima program tidak sebanding dengan yang tidak menerima, yaitu hanya mengakomodir 3,4 persen RTM di dua kecamatan sehingga banyak masyarakat miskin yang belum beruntung berharap difasilitasi. Di sisi lain, karena rendahnya pendidikan dan pengetahuan masyarakat miskin, lebih dari ratusan proposal UEP yang diusulkan tidak lolos kualifikasi sebagai penerima dana BLPS.

• Tidak terserapnya seluruh dana program menimbulkan kecurigaan bagi sebagian masyarakat akan adanya penyelewengan penggunaan dana, apalagi sisa dana terkesan dibiarkan mengendap dan lama tidak dicairkan. Hal ini kemudian menimbulkan konflik kepercayaan antara masyarakat dan pengelola.

• Adanya kesalahan persepsi pada masyarakat dalam mengartikan bantuan program. Sebagian mereka masih mengartikan pemberian dana bagi penguatan modal KUBE dalam P2FM adalah sebuah proyek dimana setiap pemberian pemerintah selalu diartikan sebagai hibah murni. Hal ini ternyata disuarakan pula oleh tokoh formal maupun non formal di sekitar fakir miskin, sehingga

(16)

memperkuat keyakinan mereka untuk tidak mengembalikan dana yang diterimanya.

2. Kendala dari sisi peran Koperasi

• Koperasi Usaha Bersama yang dibentuk dalam rangka ”mengamankan” perguliran dana program, dianggap menyediakan jalan bagi penyalahgunaan dana program. Apalagi dana BLPS diturunkan dari Depsos RI melalui rekening BRI atas nama Koperasi Usaha Bersama. Kendala ini menimbulkan ketidakpercayaan penerima program terhadap peran Koperasi sehingga pengembalian dana (hasil pencairan tahap awal) ke Koperasi tidak terjadi.

• Adanya aduan masyarakat tentang dugaan adanya dana yang tidak terserap dan peran koperasi dalam penyalahgunaan dana kepada pihak Depsos RI, ditindaklanjuti dengan inspeksi oleh pihak Depsos RI terhadap Koperasi dan KUBE penerima program. Namun hal ini tidak dapat dibuktikan dan justru memperuncing konflik antara Koperasi/Pendamping Sosial dan masyarakat/KUBE penerima program.

3. Kendala dari sisi Pendamping Sosial

• Terdapat beberapa Pendamping Sosial di Kecamatan Tenjolaya yang kurang aktif dikarenakan kurangnya pengalaman dan keterampilan pekerjaan sosial. Kendala ini menimbulkan fungsi perencanaan, pembimbingan, dan pemberi motivasi terhadap usaha KUBE di Kecamatan Tenjolaya menjadi sangat lemah. • Permasalahan yang terjadi pada Koperasi yang juga mewakili wadah para Pendamping Sosial menimbulkan konflik antara penerima program, masyarakat, dan Pendamping sehingga proses pendampingan tidak berjalan sesuai harapan.

• Habisnya masa pembayaran honor pendampingan dari Pemerintah Pusat dan tidak adanya tindak lanjut dari Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan dana pendampingan menimbulkan proses pendampingan sosial terhenti.

4. Kendala dari sisi Pemerintah

• Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor belum menepati kesepakatan dalam hal penyediaan anggaran pendampingan/pendukung program serta penghimpunan dana-dana masyarakat dan dunia usaha di wilayah Kabupaten Bogor. Kendala

(17)

ini mengakibatkan tidak terfasilitasinya dana dukungan bagi program, seperti honor pendampingan sosial serta dana monitoring dan evaluasi18.

• Jauhnya lokasi pelaksanaan program dengan lokasi pusat Pemerintahan Kabupaten Bogor menjadikan kendala rendahnya intensitas pengawasan oleh aparat BPMKS. Keberadaan Koperasi yang lebih dekat dengan lokasi program akhirnya dijadikan andalan dalam mengelola progam secara keseluruhan, dan hal ini tentunya kurang baik bagi keberlangsungan program.

• Kurang jelasnya fungsi dan peran Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat dalam struktur organisasi P2FM sehingga ada kesan mereka ditinggalkan. Hal ini juga yang menyebabkan lemahnya pengawasan di daerah karena tidak jelasnya pengusung program.

• Akibat tidak jelasnya pengusung program dan tidak ada langkah lanjut dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul, hingga kini permasalahan kredit macet, koperasi, dan kelanjutan proses pendampingan tidak pernah diselesaikan oleh pihak pemerintah baik pusat, propinsi maupun daerah.

3.23. P2FM-BLPS Fase II sebagai Kelanjutan Program

Sekalipun terjadi kegagalan di tahun 2008, Pengelola Program tetap melanjutkan pencairan sisa dana yang belum terserap dengan masih menetapkan KUBE-KUBE bentukan baru sebagai penerima BLPS Fase II namun dengan seleksi yang lebih ketat. Langkah ini diambil untuk mengurangi resiko terjadinya kegagalan kembali. KUBE yang lolos seleksi pada Fase II ini pada awal pencairan terdiri dari 7 kelompok (78 Kepala Keluarga). Berikutnya pada tahun 2009 terjadi penambahan 1 kelompok sehingga jumlah KUBE penerima dana BLPS Fase II menjadi 8 kelompok. Selain jumlah kelompoknya bertambah karena lolosnya satu KUBE baru, jumlah anggota KUBE juga bertambah secara bertahap seiring dari keberhasilan masing-masing KUBE. Hingga akhir tahun 2009, jumlah anggota kedelapan KUBE tersebut mencapai 95 Kepala Keluarga. Kondisi KUBE penerima dana BLPS Fase II dapat dilihat di Lampiran 7.

18 Honor Pendampingan Sosial hanya diberikan selama 6 bulan di tahun pertama pelaksanaan program, selanjutnya adalah kebijakan Pemenerintah Daerah untuk menfasilitasi kelanjutan pendampingan dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi sesuai dengan MoU yang sudah disepakati antara Depsos RI dan Pemerintah Daerah.

(18)

7.5.1. Kondisi Umum KUBE Penerima BLPS Fase II

Dibandingkan pada tahap awal peluncuran program, proporsi keterlibatan perempuan dalam KUBE di Fase II lebih banyak yaitu mencapai 39,80 persen atau 39 orang (Tabel 24). Tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya, UEP yang dijalankan juga masih merupakan usaha individu atau bukan usaha kolektif kelompok. Adapun jenis usaha Anggota KUBE pada fase ini hanya terdiri dari 5 jenis usaha dengan proporsi paling tinggi pada usaha perdagangan/jual beli (78,57%), disusul usaha jasa (9,18%), dan budidaya pertanian (8,16%). Dari sisi tingkat partisipasi anggota, proporsi anggota yang aktif masih lebih banyak dibandingkan anggota yang tidak aktif dengan perbandingan 80:20. Berdasarkan wawancara dengan Pendamping Sosial, ketidakaktifan anggota umumnya terjadi karena kegagalan usaha dan adanya alih profesi sehingga usaha terhenti dan pengembalian dana mengalami kemacetan.

Tabel 24. Kondisi Keanggotaan, Jenis Usaha, dan Status Anggota KUBE Penerima Dana BLPS Fase II di Kabupaten Bogor

Jenis Kelamin Jenis Usaha Anggota Status No Nama KUBE Jumlah Anggota

L P Pertanian Peternakan Perikanan Jual Beli Jasa Aktif Pasif

1 Kananga I 10 8 2 0 0 0 10 0 10 0 2 Kananga II 11 5 5 0 0 0 11 0 10 1 3 Kananga III 15 9 6 0 1 0 14 0 15 0 4 Kananga IV 14 8 6 0 0 0 12 2 6 8 5 Tani Mukti II 12 8 6 0 0 0 12 2 11 3 6 Sugih Mukti II 9 6 3 1 1 0 3 2 6 3 7 Puspa 7 5 2 1 1 0 3 2 7 0 8 Melati 17 8 9 1 0 1 11 4 13 4 Total 98 59 39 8 3 1 77 9 76 19 Proporsi 100% 60,20% 39,80% 8,16% 3,06% 1,02% 78,57% 9,18% 80% 20%

Sumber: Koperasi Usaha Bersama Kabupaten Bogor (2009), data diolah

7.6.1. Proses Pencairan Dana dan Pemanfaatan

Tidak berbeda dengan fase sebelumnya, proses pencairan dana BLPS Fase II juga melalui tahapan pengajuan proposal oleh KUBE. Begitu usulan UEP disetujui, Pengelola Program mencairkan dana bantuan yang berasal dari sisa pencairan tahap awal (tahun 2008) kepada masing-masing KUBE untuk dialokasikan kepada UEP masing-masing anggotanya. Oleh Anggota KUBE, dana yang diterima segera digunakan sesuai dengan rincian yang diajukan dalam proposal.

(19)

Selama pemanfaatan, Pendamping Sosial terus memantau proses penggunaan dana hingga UEP terwujud dan siap dijalankan. Menurut Pendamping Sosial, adanya jumlah KUBE dan UEP yang lebih sedikit pada BLPS Fase II ini cukup mempengaruhi kinerja dan fokus pendampingan terhadap pelaksanaan UEP Anggota KUBE. Hal ini juga berdampak kepada keberhasilan usaha dan adanya proses pengembalian modal.

7.5.2. Kinerja Pengembalian Modal

Berdasarkan keberhasilan kinerja usaha dan pengembalian modal, menjelang akhir tahun 2008, Pengelola Program kemudian menggulirkan kembali dana penguatan pada mereka sebanyak Rp 230,165 juta yang diantaranya diperuntukkan bagi satu kelompok bentukan baru yaitu KUBE Tani Mukti II (Tabel 25). Hingga akhir tahun 2009, rata-rata tingkat pengembalian dana oleh KUBE Penerima BLPS Fase II mencapai setengah dari pinjaman. Kinerja KUBE Tani Mukti II yang baru berdiri teryata yang paling baik dibandingkan KUBE-KUBE pendahulunya dengan tingkat pengembalian dana mencapai 75,22 persen. Tingkat pengembalian dana KUBE yang paling buruk terdapat pada KUBE Kananga IV, dimana hanya mencapai 9,76 persen dari pinjaman. Hal ini dipengaruhi oleh sebagian besar usaha anggota KUBE pada tahun 2009 mengalami kegagalan. Sekalipun tingkat pengembalian dana hanya mencapai 49,07 persen, Pengelola Program cukup optimis dapat melanjutkan P2FM-BLPS dengan sisa dana yang dimiliki menuju pada tahapan pemberdayaan sosial-ekonomi yang diharapkan.

Tabel 25. Kondisi Perguliran Dana Penguatan Modal KUBE Fase II di Kabupaten Bogor Tahun 2009

Pengembalian Sisa No Nama KUBE Pinjaman Sisa

2008 (Rp)

Pencairan Anggota

(Rp) Jumlah (Rp) Persentase(%) Jumlah (Rp) Persentase(%)

1 Kananga I 6.496.700 25.000.000 16.265.000 51,64 15.231.700 48,36 2 Kananga II 9.996.500 27.500.000 20.296.300 54,13 17.200.200 45,87 3 Kananga III 14.830.700 28.500.000 22.715.100 52,42 20.615.600 47,58 4 Kananga IV 2.499.600 44.500.000 4.586.700 9,76 42.412.900 90,24 5 Tani Mukti II 0 21.165.000 15.920.600 75,22 5.244.400 24,78 6 Sugih Mukti II 16.082.200 20.000.000 17.351.500 48,09 18.730.700 51,91 7 Puspa 19.874.500 25.500.000 22.043.400 48,58 23.331.100 51,42 8 Melati 41.664.900 38.000.000 42.012.600 52,74 37.652.300 47,26 Total 111.445.100 230.165.000 161.191.200 49,07 180.418.900 50,93

(20)

3.24. Evaluasi Pelaksanaan P2FM-BLPS Fase II

Untuk melihat bagaimana kondisi pelaksanaan P2FM-BLPS dari sisi masyarakat, dilakukan wawancara terhadap Anggota KUBE Penerima BLPS sehingga didapat keragaan bentuk pemberdayaan yang terjadi di masyarakat miskin berikut hambatan dan permasalahan yang timbul. Sehubungan dengan KUBE Penerima BLPS tahap awal yang mengalami kegagalan, maka penentuan responden diarahkan pada Anggota KUBE Penerima BLPS Fase II.

7.6.2. Karakteristik Responden

Jumlah responden yang terpilih adalah sebanyak 10 orang dari populasi 95 orang dalam 8 KUBE Penerima BLPS Fase II (Lampiran 8). Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan, kondisi responden secara umum tergolong miskin. Usia rata-rata responden adalah 38 tahun dimana sebagian besar responden adalah laki-laki. Secara umum pendidikan responden cukup baik dimana sebagian besar telah menamatkan jenjang pendidikan SMA (Tabel 26).

Tabel 26. Karakteristik Rata-Rata Responden KUBE Penerima Dana BLPS Fase II di Kabupaten Bogor Tahun 2009.

No. Uraian Rata-Rata

1. Usia Rata-Rata 38 tahun

2. Jenis Kelamin • Laki-Laki 60% • Perempuan 40% 3. Pendidikan • Tidak Sekolah 10% • Tamatan SD 30% • Tamatan SMP 0% • Tamatan SMA 60% 4. Pekerjaan Sebelumnya • Bekerja 30% • Tidak Bekerja 70%

5. Rata-Rata Pengeluaran Keluarga Sebelumnya Rp 755.000 6. Rata-Rata Pendapatan dari Hasil UEP Rp 1.678.000 Sumber: Data Primer, diolah

Sebelum menerima BLPS, sebanyak 70 persen responden sebelumnya tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumah tangga, sisanya adalah bekerja sebagai buruh tani. Berdasarkan hasil wawancara, umumnya responden belum pernah mendapatkan

(21)

bantuan apapun dari pemerintah selain BLPS. Responden pun belum pernah mengajukan pinjaman modal kepada pihak perbankan untuk mengembangkan usaha. Penambahan modal umumnya didapat melalui pengajuan kepada Koperasi.

7.6.3. Kondisi KUBE dan Pelaksanaan UEP Responden

Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden yang mewakili KUBE-nya, secara umum KUBE yang mewadahi mereka masih aktif dari segi kelembagaan. Secara periodik, anggota KUBE melakukan pertemuan sekali atau dua kali setiap bulan untuk membahas permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan UEP-nya. Pihak Pendamping Sosial juga selalu dihadirkan dalam setiap pertemuan-pertemuan anggota di 8 KUBE tersebut. Menurut para Pendamping Sosial, adanya pertemuan rutin ini cukup memperkuat formasi kelembagaan KUBE sehingga memudahkan koordinasi Pendamping Sosial dengan KUBE.

Dari 10 orang responden, 8 orang menjalankan UEP-nya sejak pertengahan tahun 2008 dan 2 orang sisanya menjalankan UEP sejak awal tahun 2009 dan mengalami perkembangan yang cukup baik. Hingga akhir tahun 2008, kedelapan responden dapat mengembalikan pinjaman modal dengan cara menyisihkan dari keuntungan yang didapat. Besaran pengembalian pinjaman yang dilakukan responden berkisar antara 3-10 persen per bulan dari total pinjaman tahun tersebut. Dengan demikian rata-rata pengembalian pinjaman pada akhir tahun mencapai 39,94 persen (Tabel 27).

Tabel 27. Kondisi Permodalan UEP Responden Penerima Dana BLPS Fase II di Kabupaten Bogor Tahun 2008 -2009

Pengembalian

Pinjaman Sisa Pinjaman Pengembalian Pinjaman Sisa Pinjaman Respon-den Pencairan Modal Thn 2008 (Rp) Rp % Rp % Pencairan Modal Thn 2009 (Rp) Jumlah Pinjaman Rp % Rp % 1 1.000.000 583.800 58,38 416.200 41,62 1.000.000 1.416.200 999.300 70,56 416.900 29,44 2 1.000.000 583.800 58,38 416.200 41,62 1.500.000 1.916.200 1.291.200 67,38 625.000 32,62 3 3.000.000 1.666.800 55,56 1.333.200 44,44 3.000.000 4.333.200 2.083.200 48,08 2.250.000 51,92 4 2.000.000 1.166.800 58,34 833.200 41,66 2.000.000 2.833.200 999.900 35,29 1.833.300 64,71 5 - - - 749.800 749.800 499.900 66,67 249.900 33,33 6 - - - 1.499.900 1.499.900 999.800 66,66 500.100 33,34 7 3.000.000 1.166.700 38,89 1.833.300 61,11 3.000.000 4.833.300 2.083.300 43,10 2.750.000 56,90 8 3.000.000 750.000 25,00 2.250.000 75,00 3.000.000 5.250.000 2.250.000 42,86 3.000.000 57,14 9 3.000.000 500.000 16,67 2.500.000 83,33 0 2.500.000 1.000.000 40,00 1.500.000 60,00 10 5.000.000 416.700 8,33 4.583.300 91,67 5.000.000 9.583.300 4.999.600 52,17 4.583.700 47,83 Rata-Rata 2.625.000 854.325 39,94 1.770.675 60,06 2.074.970 3.491.510 1.720.620 53,28 1.770.890 46,72

(22)

Sekalipun masih menyisakan pinjaman modal di tahun 2008, tahun berikutnya tujuh dari kedelapan responden mengajukan penambahan modal untuk mengembangkan usahanya. Dengan demikian terdapat 9 responden yang memperoleh pinjaman modal pada tahun 2009, dua diantaranya berasal dari KUBE bentukan tahun 2009. Hingga akhir tahun 2009, rata-rata jumlah pinjaman yang dikembalikan responden adalah sebanyak 53,28 persen dari total pinjaman pada tahun 2009.

7.6.4. Hasil Proses Pemberdayaan

Dengan adanya bantuan modal bagi usaha yang dijalankan fakir miskin, umumnya para responden menyambut baik P2FM-BLPS. Berdasarkan wawancara, keuntungan yang dirasakan responden dari program ini adalah adanya peningkatan status ekonomi melalui peningkatan pendapatan keluarga yang mereka dapat dari usaha ekonomi yang mereka jalankan. Pendapatan dari hasil UEP sebagai sumber penghasilan yang baru dinilai telah cukup membantu memenuhi kebutuhan keluarga responden. Pendapatan hasil UEP ini sudah termasuk keuntungan dan biaya jasa tenaga kerja bagi mereka sendiri sehingga para responden selain dapat untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga dapat menyisihkan sisa keuntungan untuk menabung atau mencicil pinjaman.

Keuntungan sosial yang responden rasakan adalah adanya wadah untuk berinteraksi dan menyalurkan aspirasi mereka melalui kelembagaan KUBE. Selain itu status sosial mereka juga meningkat dari hanya seseorang yang tidak mempunyai pekerjaan atau bekerja serabutan menjadi seseorang yang memiliki pekerjaan tetap dan cukup menghasilkan. Dengan adanya peningkatan status sosial dan ekonomi ini, mereka memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan dapat berupaya keluar dari kemiskinannya.

Gambar

Gambar 18.  Posisi Administratif Kecamatan Penerima P2FM-BLPS.
Tabel 21.  Gambaran Umum Kondisi Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya.
Tabel 22.  Realisasi Pencairan Dana BLPS bagi KUBE di Kabupaten  Bogor Tahun 2008.
Tabel 23.  Kondisi Keanggotaan dan Jenis Usaha KUBE Penerima  Dana BLPS di Kabupaten Bogor Tahun 2008

Referensi

Dokumen terkait

Pada Implementasi Kebijakan Program Pemberdayaan Fakir Miskin (PPFM) di Kabupaten Hulu Sungai Utara meliputi mekanisme prosedur pelaksanaan dilapangan dari awal sampai akhir

hubungan yang positif antara kinerja tim pengelola askeskin, efektifitas dana pendamping askeskin, dan kinerja tim pengelola dana pendamping askeskin secara

Berdasarkan hasil penelitian mengenai “Peran Pendamping dalam pemberdayaan Masyarakat Miskin melalui Program Keluarga Harapan di Kecamatan Semarang Tengah” yang

Dengan adanya pengelolaan dana infaq untuk program pemberdayaan ekonomi fakir miskin dan orang-orang yang sudah mempunyai usaha akan dapat pengahasilan tetap dan dapat meningkatkan

Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM) yang dilaksa- nakan di Kota Banjarmasin secara indeks komposit (ga- bungan dari derajat dan basis keberdayaan) juga belum

Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial dan Penanganan Fakir Miskin, bahwa seluruh stakeholder terkait baik itu Operator SIKS-NG, Pendamping PKH itu sudah konsisten

Dari sekian banyaknya program penanganan fakir miskin yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Aceh Utara masih belum menunjukan

Hal ini diperkuat dalam hasil wawancara yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kabupaten Bekasi mengenai hak-hak fakir miskin yaitu dengan memberikan program-program yang dijalankan oleh