• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARADIGMA PEMBANGUNAN EKONOMI (Analisis Indikator Penunjang Pembangunan) Danu Wangsa (Dosen STEI Bina Cipta Madani Karawang) ABSTRAKSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PARADIGMA PEMBANGUNAN EKONOMI (Analisis Indikator Penunjang Pembangunan) Danu Wangsa (Dosen STEI Bina Cipta Madani Karawang) ABSTRAKSI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PARADIGMA PEMBANGUNAN EKONOMI (Analisis Indikator Penunjang Pembangunan)

Danu Wangsa

(Dosen STEI Bina Cipta Madani Karawang) ABSTRAKSI

Masalah pembangunan ekonomi tidak semata-mata diukur melalui volume atau nilai produksi barang dan jasa, namun proses pembangunan harus dilihat secara multidimensional, yakni tidak hanya mengandalkan faktor-faktor ekonomi an sich, melainkan dibarengi dengan pembangunan dalam bidang-bidang non ekonomi. Pergeseran paradigma pertumbuhan ekonomi (growth economic) menuju pertumbuhan melalui pemerataan (growth via equity) adalah upaya untuk senantiasa memihak pada kepentingan masyarakat yang miskin dan lemah, agar masyarakat memperoleh peluang untuk berusaha secara produktif, pada gilirannya mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Tulisan ini selanjutnya membahas indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi.

(2)

Pendahuluan

Dalam mendefenisikan pembangunan, tidak cukup hanya dilihat dari satu atau dua aspek saja. Pembangunan juga tidak pernah akan dapat didefenisikan secara memuaskan bagi setiap negara di dunia, karena ia sangat tergantung pada ruang lingkup dan kondisi pada masing-masing negara. Namun secara umum, tujuan pembangunan adalah adanya pengharapan akan kemajuan dalam arti sosial dan ekonomi. Apa yang diharapkan itu berdasarkan pandangan atau nilai yang dianut, dan pada setiap negara “nilai” tersebut akan berbeda-beda.

Upaya untuk mencapai tujuan pembangunan pada hakekatnya adalah dalam rangka memenuhi dan meningkatkan kualitas hidup, salah satu caranya adalah perbaikan dalam bidang ekonomi. Agaknya bidang ekonomi dalam proses pembangunan ini dianggap sebagai “pembuka jalan” bagi upaya peningkatan kualitas hidup manusia secara menyeluruh (yakni melingkupi aspek politik, agama, sosial, pendidikan, kebudayaan dan sebagainya). Tulisan ini selanjutnya memfokuskan pembahasan mengenai indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi ditinjau dari aspek kebijakan yang berlangsung di negara-negara Dunia Ketiga.

Paradigma Pembangunan Ekonomi

Pembangunan merupakan proses terjadinya perubahan sosial, ekonomi dan institusional untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Sebagai suatu proses, pembangunan akan dapat bergerak maju melalui kekuatan self sustaining process, bukan hanya mengandalkan peran pemerintah saja, melainkan tergantung pada “innerwill” yakni proses emansipasi diri dari seluruh komponen masyarakat pada suatu negara.

Defenisi pembangunan agaknya paling sulit untuk dirumuskan, mengingat perbedaan konteks dan pemahaman pada pihak yang menggunakannya. Dari sekian banyak defenisi pembangunan yang dikemukakan oleh para ahli, satu di antaranya dimaknai sebagai suatu proses perencanaan sosial yang dilakukan oleh birokrat perencana pembangunan untuk membuat perubahan sosial yang pada

(3)

akhirnya akan dapat mendatangkan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakatnya.1

Pembangunan ekonomi (development economics) merupakan ilmu khusus mengenai Dunia Ketiga yang pada umumnya masih miskin dan terbelakang, yang memiliki aneka orientasi ideologi, latar belakang budaya, serta masalah-masalah ekonomi yang kompleks yang menuntut pemikiran dan pendekatan baru. Namun development economis tidak bisa secara universal diterapkan pada semua negara di Dunia Ketiga, karena heterogenitas negara Dunia Ketiga, sehingga ia harus bersifat elektis yaitu mengkombinasi berbagai konsep dan teori dari analisis ilmu ekonomi tradisional dengan model-model baru dan pendekatan yang multidisipliner dan tajam dari berbagai kajian-kajian sejarah dan pengalaman pembangunan di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Tujuan dari ilmu ekonomi pembangunan adalah untuk memahami perekonomian negara-negara Dunia Ketiga guna memudahkan upaya perbaikan standar kehidupan masyarakat yang berjumlah sekitar tiga perempat dari penghuni bumi.

Alasan mengapa pembangunan pada negara Dunia Ketiga lebih difokuskan pada pembangunan ekonomi melalui usaha pertumbuhan ekonomi, disebabkan karena salah satu bentuk keterbelakangan negara Duina Ketiga adalah pada bidang pertumbuhan ekonomi, sehingga perlu didorong perubahan dan pembaruan dalam bidang tersebut.2 Namun harus dicatat bahwa pembangunan

ekonomi bukanlah satu-satunya cara untuk membangunan masyarakat, namun sinergitas pembangunan ekonomi dengan melibatkan aspek-aspek lain perlu dilakukan agar pembangunan yang stabil dan kontiniu dapat tercapai.

Pembangunan ekonomi didefenisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan peningkatan taraf hidup masyarakat umumnya. Secara lebih spesifik pembangunan ekonomi

1Agus Salim, Perubahan sosial, Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi

Kasus Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 264.

2Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaya, Teori Strategi

(4)

merupakan proses yang dapat menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu negara meningkat dalam jangka panjang.3

Pengertian di atas menunjukkan bahwa salah satu indikator dalam mengukur pembangunan ekonomi suatu masyarakat adalah dengan melihat pertambahan pendapatan nasional dan pendapatan perkapita dari waktu ke waktu. Sebagaimana dikemukakan oleh Michael P. Todaro, bahwa secara tradisional pengertian development merupakan kapasitas dari sebuah perekonomian nasional untuk menciptakan dan mempertahankan income perkapita atau GNP (Gross National Product).4

Indeks ini pada dasarnya mengukur kemampuan dari suatu negara untuk memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan penduduknya. Berdasarkan tolok ukur tersebut, maka akan dapat dilihat seberapa besar barang dan jasa-jasa ril yang tersedia bagi rata-rata penduduk untuk melakukan kegiatan konsumsi dan investasi. Selain itu pembangunan ekonomi sering diukur berdasarkan tingkat kemajuan struktur produksi dan penyerapan sumber daya (employment) yang diupayakan secara terencana.

Secara umum pada era sebelum tahun 1970-an, pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi an sich. Tingkat kemajuan pembangunan pada suatu negara biasanya hanya diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan GNP, baik secara agregat maupun perkapita, yang berdasarkan teori “efek penetesan ke bawah” (trickle down effect).5 Dengan

demikian tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan unsur yang paling

3Lincolin Arsyad, Ekonomi Pembangunan (Yogyakarta: YKPN, 1992),

hlm. 14.

4Michael P. Todaro, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga,

diterjemahkan oleh Haris Munandar, Jakarta: Erlangga, 1998), Edisi Keenam, hlm. 16.

5Trickle Down Effect memproyeksikan suatu kemajuan yang diperoleh

oleh sekelompok masyarakat dengan sendirinya akan menetes ke bawah sehingga menciptakan lapangan kerja dan berbagai peluang ekonomi yang pada akhirnya akan menumbuhkan berbagai kondisi demi terciptanya distribusi hasil-hasil pertumbuhan ekonomi dan sosial secara lebih merata.

(5)

diprioritaskan sehingga masalah-masalah lain seperti kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan distribusi pendapatan seringkali diabaikan.

Akibat dari penerapan paradigma pertumbuhan ekonomi melalui konsep trickle down effect di atas, utamanya pada negara Dunia Ketiga pada era tahun 1950-an sampai 1960-an, tidak membuahkan hasil bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara maksimal. Kenyataannya, paradigma pembangunan itu telah menyebabkan terjadinya kemiskinan dan pengangguran yang merajalela, serta terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan.6 Oleh karenanya negara-negara

Dunia Ketiga menyadari kesalahan tersebut dengan merubah paradigma pembangunan negaranya dengan mengoptimalkan upaya pengentasan kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan serta penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang.

Pembangunan ekonomi tidak semata-mata diukur melalui kenaikan besar dalam volume atau nilai produksi barang dan jasa yang secara otomatis akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun untuk mengukur kesejahteraan masyarakat harus dilakukan melalui proses pembangunan yang multidimensional, yakni tidak hanya mengandalkan faktor-faktor ekonomi saja melainkan harus dibarengi dengan pembangunan dalam bidang-bidang lain (adanya faktor-faktor non ekonomi). Menurut Todaro, pembangunan dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.7 Inti pembangunan mencakup perubahan

masyarakat secara keseluruhan untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang lebih baik secara material maupun spritual.

Pembangunan ekonomi dengan demikian bukan hanya membicarakan variabel ekonomi an sich, tetapi perlu juga mengintrodusir variabel-variabel nonekonomi dalam konsep pembangunan. Pergeseran paradigma yang hanya tertumpu pada aspek pertumbuhan ekonomi (growth economic) menuju

6Michael P. Todoro, op.cit., hlm. 17. 7Ibid., hlm. 19.

(6)

pertumbuhan melalui pemerataan (growth via equity) adalah upaya yang perlu ditekankan untuk senantiasa memihak pada kepentingan masyarakat yang miskin dan lemah, agar masyarakat yang miskin dan lemah tersebut memperoleh peluang untuk berusaha secara produktif, yang pada gilirannya akan membantu mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional pada negara-negara di Dunia Ketiga.8

Proses pembangunan akan sama dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan apabila tiga asumsi dasar terpenuhi, yaitu: Pertama, Full employment atau partisipasi, artinya semua faktor produksi dan faktor ekonomi ikut serta dalam kegiatan ekonomi. Kedua, homogenitas, artinya semua pelaku ekonomi memiliki faktor produksi, kesempatan berusaha dan kemampuan menghasilkan yang sama. Ketiga, bekerjanya mekanisme pasar atau efisiensi, artinya interaksi antarpelaku ekonomi terjadi dalam suatu keseimbangan (equilibrium).9

Asumsi itu bersifat normatif dan tidak selalu – bahkan sulit – dipenuhi. Artinya, proses pembangunan tidak melibatkan semua pelaku ekonomi, dan peningkatan pendapatan sebagai hasil dari proses pembangunan tersebut tidak dinikmati oleh seluruh penduduk. Oleh karenanya kebijakan pembangunan harus mengutamakan pemerataan, yang termuat dalam tiga hal. Pertama, upaya itu harus terarah, inilah yang disebut dengan keberpihakan. Kedua, program itu harus mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat atau kelompok yang menjadi sasaran. Ketiga, pendekatan kelompok merupakan hal yang efektif, termasuk juga dari segi penggunaan sumber daya, bisa lebih efisien.10

Pertumbuhan yang diupayakan haruslah beriringan dan terencana, mengupayakan pembagian hasil pembangunan dengan lebih merata. Hanya dengan demikian, maka mereka yang miskin, tertinggal, dan tidak produktif akan menjadi produktif dan akhirnya akan mempercepat pertumbuhan itu sendiri. Inilah

8Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi (Yogyakarta: BPFE, 2000), hlm.

23-24.

9Gunawan Sumodiningrat, Membangun Perekonomian Rakyat

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm.25.

(7)

yang disebut dengan strategi redistribution with growth, yang diyakini lebih menjamin keberlanjutan pembangunan.11

Uraian di atas menjelaskan bahwa konseptualisasi pembangunan merupakan proses perbaikan yang berkesinambungan pada suatu masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih sejahtera, sehingga terdapat beberapa cara untuk menentukan tingkat kesejahteraan pada suatu negara. Tolok ukur pembangunan bukan hanya pendapatan perkapita an sich, namun lebih dari itu harus disertai oleh membaiknya distribusi pendapatan, berkurangnya kemiskinan dan mengecilnya tingkat pengangguran. Argumentasinya bahwa pertumbuhan ekonomi haruslah diiringi dengan pemerataan hasil-hasil pertumbuhan untuk dapat dianggap sebagai pembangunan ekonomi.

Pembangunan ekonomi dengan demikian mengandung pengertian bahwa bukan hanya terjadi pendapatan perkapita yang meningkat, tetapi seiring dengan itu meningkat pula kapabilitas rakyat yang ditunjukkan oleh meluasnya pemilikan harta atau sumber-sumber ekonomi di kalangan rakyat. Jadi tujuan pembangunan ekonomi di samping untuk menaikkan pendapatan nasional ril, juga untuk meningkatkan produktivitas. Namun perlu dicatat bahwa apa yang disebut sebagai “kehidupan yang lebih baik” itu sangat relatif, sehingga ilmu ekonomi juga harus melibatkan nilai-nilai (values) dan pengukuran nilai-nilai (value judgment). Sehingga dalam terminologi pembangunan terdapat pengukuran nilai tentang apa yang baik (pembangunan) dan apa yang buruk (keterbelakangan). Tetapi perlu juga dicatat sebagaimana diuraikan di awal tulisan ini, pemaknaan istilah “pembangunan” itu sendiri tidak sama bagi setiap orang.

Aspek-aspek Pengukuran Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi tidak hanya menggambarkan jalannya perkembangan ekonomi saja, tetapi juga menganalisis hubungan sebab akibat dari faktor-faktor perkembangan tersebut. Dengan kata lain pembangunan ekonomi tidak cukup secara deskriptif tetapi juga mencari jawaban atas pertanyaan

11Irma Adelman dan Chyntia Taft Morris, Economic Growth in Developing

(8)

“mengapa” perkembangan ekonomi itu terjadi. Masalah selanjutnya adalah bagaimana pembangunan ekonomi itu dilaksanakan. Masalah ini menyangkut bidang kebijakan yang berbeda-beda tergantung pada waktu dan tempat. Konsekuensinya, kebijakan pembangunan ekonomi bagi suatu negara belum tentu dapat diterapkan bagi pembangunan ekonomi di negara lain.

Dengan adanya pembangunan ekonomi maka output atau kekayaan suatu masyarakat atau perekonomian akan bertambah. Dorongan kuat untuk perkembangan ekonomi ialah kehendak untuk menjadi makmur, atau lebih makmur demi mendapat kebahagiaan yang lebih tinggi. Kebahagiaan penduduk akan bertambah karena pembangunan ekonomi membuka kesempatan untuk mengadakan pilihan yang lebih luas. Memang sangat sukar menghubungkan antara kemakmuran dengan kebahagiaan. Namun bila disederhanakan kebahagiaan adalah “posession” (hak milik) dibagi dengan “desire” (keinginan). Setiap kali ada pertambahan keinginan biasanya diikuti oleh usaha-usaha untuk menaikkan hak milik.12

Dorongan pembangunan ekonomi merupakan bagian penting untuk merubah sikap hidup subsisten, oleh sebab itu dibutuhkan berbagai kebijakan (policies). Menurut Robert E. Baldwin dan Gerald M. Meier, terdapat enam faktor agar perkembangan ekonomi dapat berjalan sebagaimana diharapkan, yaitu: kekuatan dari dalam (indegenous forces) untuk berkembang, mobilitas faktor-faktor produksi, akumulasi kapital, kriteria atau arah investasi yang sesuai dengan kebutuhan, penyerapan kapital dan stabilitas, nilai dari lembaga-lembaga yang ada.13

Tantangan utama pembangunan adalah untuk memperbaiki kehidupan. Kualitas kehidupan yang lebih baik memang mensyaratkan adanya pendapatan yang tinggi. Namun kiranya pendapatan bukanlah satu-satunya ukuran kesejahteraan. Banyak hal lain yang tidak kalah pentingnya yang harus diperjuangkan, mulai dari pendidikan, peningkatan standar kesehatan dan nutrisi,

12Irawan dan M. Suparmoko, Ekonomika Pembangunan, (Yogyakarta:

BPFE, 2002), Edisi Keenam, hlm. 256.

13Robert E. Baldwin dan Gerald M. Meier, Economic Development,

(9)

pemberantasan kemiskinan, perbaikan kondisi lingkungan hidup, pemerataan kesempatan, pemerataan kebebasan individual dan penyegaran kehidupan budaya. Jhingan mengatakan untuk menentukan optimasi pembangunan, dapat dilihat dari distribusi pendapatan, komposisi output, selera, biaya nyata dan perubahan tertentu lainnya yang berkaitan dengan pendapatan tersebut. Oleh sebab itu untuk menghindari kerancuan pengukuran, ukuran pendapatan nasional ril perkapita dapat digunakan sebagai ukuran dalam pembangunan ekonomi.14

Arief Budiman sebagaimana dikutip oleh Agus Salim mengatakan, bahwa ukuran pembangunan harus mencapai lima unsur yang dapat dilihat secara objektif:

1. Pembangunan dilihat sebagai kerangka pertumbuhan ekonomi masyarakat di suatu negara. Pembangunan dalam konteks pertama ini akan berhasil dengan melihat indikator pertumbuhan ekonomi masyarakat yang cukup tinggi, diukur dari produktivitas masyarakat dan negara pada setiap tahun. Secara teknis ekonomis, produktivitas diukur melalui Product National Bruto (PNB), atau Gross National Product (GNP), dan Product Domestic Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP).

2. Tercapainya pemerataan di suatu masyarakat dalam suatu negara. Ukuran yang dilakukan adalah memakai perhitungan indeks gini, yang dapat mengukur adanya ketimpangan pembagian pendapatan masyarakat. Negara yang berhasil pembangunannya dengan demikian adalah negara yang produktivitasnya tinggi, penduduknya makmur dan sejahtera secara relatif. 3. Kualitas kehidupan yang diukur dari tingkat kesejahteraan penduduk di suatu

negara dengan menggunakan tolok ukur PQLI (Physical Quality of Life Index) yang berasal dari tiga indikator meliputi angka rata-rata harapan hidup bayi setelah satu tahun, angka rata-rata jumlah kematian bayi dan angka rata-rata persentasi buta dan melek huruf.

4. Kerusakan lingkungan hidup harus pula diperhitungkan. Negara yang tinggi produktivitasnya dapat berada pada sebuah proses pemiskinan penduduk. Hal

14M.L. Jhingan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, terjemahan D.

(10)

itu bisa terjadi karena produktivitas yang tinggi tidak memperdulikan dampak terhadap lingkungan. Lingkungan hidup semakin rusak, sumber daya terkuras hebat, padahal kecepatan alam untuk merehabilitasi dirinya lebih lambat dibandingkan dengan proses perusakan lingkungan. Pabrik-pabrik memang berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, tetapi mereka juga menghasilkan limbah kimia yang merusak alam sekitarnya. Pembangunan ternyata tidak memiliki daya kelestarian yang memadai, akibatnya pembangunan tidak berkelanjutan atau tidak sustainable.

5. Pembangunan harus dapat menciptakan keadilan sosial dan kesinambungan. Pembangunan yang sedang berlangsung seringkali menghasilkan kondisi ketimpangan yang sangat mencolok bagi masyarakatnya. Pembangunan membuat orang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin terpuruk, kondisi ini jelas akan mendatangkan kerawanan sosial. Oleh karena itu konfigurasi kekuatan sosial di suatu masyarakat akan mengarah kepada kemungkinan pertentangan yang semakin tajam.15

Selain indikator-indikator di atas, Goulet mengemukakan ada dua nilai inti kemanusiaan (corevalues of human development) yang harus terakomodir dalam pembangunan ekonomi, yakni harga diri dan kebebasan. Selain harga diri dan kebebasan, Todaro menambahkan harus terdapat unsur kecukupan (sustenance).16

Ketiga hal inilah yang merupakan tujuan pokok yang harus dicapai oleh setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan. Ketiganya berkaitan secara langsung dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang paling mendasar, yang terwujud dalam berbagai macam manifestasi (bentuk) di hampir semua masyarakat dan budaya sepanjang zaman. Dengan demikian, pembangunan sebagai suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin – melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi dan institusional – demi mencapai kehidupan yang serba lebih baik itu, mengisyaratkan komponen spesifik atas “kehidupan yang serba lebih baik”.

15Agus Salim, op.cit., hlm. 2-8.

(11)

Adapun komponen tersebut bertolak dari tiga nilai pokok: Pertama, peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok – seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan. Kedua, peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pandangan tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan material, melainkan juga menumbuhkan jati diri pribadi dan bangsa yang bersangkutan. Ketiga, perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara-bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.

Penutup

Kendatipun beberapa bentuk tolok ukur pembangunan yang dikemukan di atas mencoba untuk mengakomodasikan kebutuhan dasar manusia dan keadilan sosial dalam pengukuran prestasi pembangunan, namun bentuk-bentuk tolok ukur di atas belum dapat dianggap mampu untuk mencakup keseluruhan dimensi keberhasilan pembangunan secara menyeluruh. Ini mengandung makna bahwa tercakup banyak komponen dalam aspek-aspek pembangunan manusia sebagai subjek pembangunan. Artinya, peranan seluruh rakyat tanpa kecuali harus diubah dari objek menjadi subjek pembangunan atau aktor pembangunan yang bebas, merdeka, dan berdaulat untuk melindungi kepentingan-kepentingannya sebagai langkah awal mencapai kesempatan untuk berkreasi dan berinovasi menuju kehidupan yang lebih baik dan sejahtera.

* Penulis adalah Dosen Fakultas Dakwah IAIN SU Medan, menyelesaikan Program Pascasarjana pada jurusan Perencanaan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Universitas Sumatera Utara Medan.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Adelman, Irma dan Chyntia Taft Morris, Economic Growth in Developing Countries, (Stanford: Stanford University Press, 1973).

Arsyad, Lincolin. Ekonomi Pembangunan (Yogyakarta: YKPN, 1992).

Baldwin, Robert E. dan Gerald M. Meier, Economic Development, Theory, History and Policy (New York: John Willey & Sons, 1957).

Irawan dan M. Suparmoko, Ekonomika Pembangunan, Edisi Keenam (Yogyakarta: BPFE, 2002).

Jhingan, M.L. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, terjemahan D. Guritno (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999).

Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi (Yogyakarta: BPFE, 2000).

Salim, Agus. Perubahan sosial, Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002).

Sumodiningrat, Gunawan. Membangun Perekonomian Rakyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).

Tjokroamidjojo, Bintoro dan Mustopadidjaya, Teori Strategi Pembangunan Nasional (Jakarta: Gunung Agung, 1980).

Todaro, Michael P. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Keenam, diterjemahkan oleh Haris Munandar, Jakarta: Erlangga, 1998)

Referensi

Dokumen terkait

Kebiasaan Konsumsi Natrium Dan Kalium Sebagai Faktor Risiko Kejadian Hipertensi Pada Wanita Lanjut Usia..

Apabila sesuai, barang lalu dikirim serta diserahkan ke pelanggan dan meminta pelanggan untuk menandatangani surat jalan rangkap empat sebagai bahan bukti bahwa barang telah

Wajib retribusi dapat mengajukan permohonan kepada Walikota melalui Kepala OPD yang diberikan kewenangan pengelolaan Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah sebagaimana

Label kedua dan ketiga diberi kode warna untuk menghubungkan dengan huruf II dan II pada unit pertama dari nama yang disimpand. Semua label mudah dibaca dan setiap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa akumulasi krom di bagian perakaran tanaman lebih besar dibandingkan di bagian tajuk tanaman untuk kedua jenis sawi baik pada umur panen 3

The scope of the research is focused on the vowel sounds are difficult to be pronounced and what factors make the students difficult to pronounce the English Vowels at the third

Daging yang berkualitas baik merupakan sumber makanan mikroorganisme perusak daging sehingga penggunaan substrat antimikroba dari kultur

Sejalan dengan penelitian Elkington (2006) tersebut, Ntim dan Soobaroyen (2013) menyatakan bahwa keputusan untuk terlibat dalam kegiatan tanggung jawab sosial