• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL. 4.1 Pengukuran dan analisis vegetasi mangrove. Tabel 3 Kerapatan jenis, INP dan produksi serasah mangrove di lokasi penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 HASIL. 4.1 Pengukuran dan analisis vegetasi mangrove. Tabel 3 Kerapatan jenis, INP dan produksi serasah mangrove di lokasi penelitian"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

4 HASIL

4.1 Pengukuran dan analisis vegetasi mangrove 4.1.1 Struktur Vegetasi

Hasil pengukuran kerapatan vegetasi mangrove memperlihatkan adanya perbedaan komposisi dan kerapatan jenis mangrove serta Indeks Nilai Penting (INP), baik di Muara Landipo maupun di Tanjung Tiram (Tabel 3). Indeks Nilai Penting jenis vegetasi di setiap stasiun pengamatan, disajikan pada Lampiran 1. Tabel 3 Kerapatan jenis, INP dan produksi serasah mangrove di lokasi penelitian

Jenis

Muara Landipo Tanjung Tiram Kerapatan (Individu/ha) INP Kerapatan (Individu/ha) INP Rhizophora apiculata 1 790 241 530 60.2 Avicenia marina 244 17 - - Sonneratia alba - - 1 220 172.1 Bruguiera gymnorhiza 530 25 550 67.7 Lumnitzera recemosa 240 17 - - Total 2 804 300 2 300 300 Produksi serasah (gram /m2/bulan) 55.76 36.68

Jenis Rhizophora apiculata dalam komunitas mangrove di Muara Landipo memiliki Indeks Nilai Penting tertinggi dari jenis lainnya, sedangkan pada daerah Tanjung Tiram di dominasi jenis Sonneratia alba. Kedudukan kedua jenis tersebut tergambarkan pada Indeks Nilai Pentingnya dalam komunitas mangrove di lokasi tersebut.

Kerapatan vegetasi yang tinggi di Muara Landipo, berkontribusi besar terhadap produksi serasah. Kondisi dan jenis mangrove yang dominan di lokasi penelitian (Muara Landipo dan Tanjung Tiram), disajikan pada Lampiran 2 dan 3. Produksi serasah setiap bulan pengamatan di Muara Landipo dan Tanjung Tiram, disajikan pada Lampiran 4.

(2)

4.1.2 Laju Dekomposisi Serasah

Laj u dekomposis i seras ah Rhiz ophora api culat a di Muara Landipo, l ebih cepat dari seras ah mangrove j enis Sonnerati a alba di Tanjung Ti ram seperti yang disajikan pada Gam bar 10. Data laju dekomposisi jenis m angrove disaji kan pada Lampi ran 5.

4.2 Produksi Detritus, Nutrien dan Fitoplankton

Rhizophora apiculata memiliki INP tertinggi di Muara Landipo, menghasilkan detritus sebanyak 53 kg/ha/bulan. Sonneratia alba dengan INP tertinggi di lokasi Tanjung Tiram, menghasilkan detritus sebanyak 35 kg/ha/bulan. Produksi detritus kedua jenis bakau tersebut berdampak pada kandungan nutrien dan kelimpahan fitoplankton di perairan tersebut, seperti disajikan pada Gambar 11 dan 12. Pertumbuhan fitoplankton akan terjadi ketika konsentrasi fosfat dan nitrat tinggi. Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi yang paling penting adalah nitrat dan fosfat (Nybakken 1992).

(3)

Gambar 11 Produksi detritus Rhizophora apiculata, kandungan nitrat, fosfat dan kelimpahan fitoplankton.

Gambar 12 Produksi detritus Sonneratia alba, kandungan nitrat, fosfat dan kelimpahan fitoplankton.

Nitrat Fosfat

(4)

4.3 Kualitas air dan sedimen

Kualitas air pada lingkungan perairan di ekosistem pesisir dan mangrove sangat mempengaruhi pertumbuhan dari biota perairan. Rendahnya kualitas perairan dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan biota perairan.

Pada dasarnya keberadaan mangrove sangat dipengaruhi oleh kualitas air pada ekosistem perairan, namun keberadaan mangrove juga dapat menentukan kualitas perairan yang terdapat di ekosistem. Parameter kualitas air di Muara Landipo dan Tanjung Tiram disajikan pada Lampiran 6.

4.4 Kelimpahan fitoplankton

Salah satu peranan mangrove adalah sebagai penghasil nutrien dengan mekanisme dekomposisi guguran daun. Nutrien yang dihasilkan dari proses dekomposisi, selanjutnya akan dimanfaatkan oleh fitoplankton. Fitoplankton sangat mempengaruhi kehidupan di perairan karena memegang peranan penting sebagai makanan berbagai organisme laut. Hasil pengukuran di lokasi penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan fitoplankton tertinggi di peroleh di daerah muara sungai Landopo yaitu 25 962,6 individu/l. Sedang di perairan Tanjung Tiram kelimpahan fitoplankton yaitu 19 481,2 individu/l (Tabel 4). Kelimpahan fitoplankton (Individu/liter), disajikan pada Lampiran 7.

Tabel 4 Kelimpahan fitoplankton (Individu/liter) di lokasi penelitian

Lokasi Stasiun rata rata

(individu/l) Muara Landipo ML1 26 845,6 ML2 27 461,2 ML3 23 581,0 Rata rata 25 962,6 Tanjung Tiram TT1 20 975,3 TT2 18 537,3 TT3 18 931,1 Rata rata 19 481,2

(5)

4.5 Aspek Biologi dan Pertumbuhan Ikan Belanak

4.5.1 Indeks Isi Lambung

Indeks isi lambung ikan belanak di lokasi penelitian, berdasarkan bulan pengambilan contoh yaitu bervariasi tiap bulan, terendah pada bulan September yaitu 4.37 ± 2.23 dan tertinggi pada bulan Mei yaitu 8.99 ± 2.78 di Muara Landipo. Di Tanjung Tiram Nilai indeks isi lambung terkecil pada bulan Juli 3.89 ± 3.32 dan tertinggi pada bulan September 6.57 ± 1.63 dan 3.89-6.57 (Tanjung Tiram) seperti yang ditampilkan pada Gambar 13. Jumlah sampel ikan dan kisaran ukuran ikan yang tertangkap setiap bulan di Muara Landipo dan Tanjung Tiram, disajikan pada Lampiran 8 dan 9.

8.99 2.78 5.34 3.04 5.98 1.08 5.26 ± 1.45 4.37 ± 2.23 5.08 1.21 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00

Mei Juni Juli Agst Sept Okt

N ilai IS C Bulan pengamatan Muara Landipo 5.72 0.43 4.83 2.53 3.89 3.32 5.47 0.99 6.57 1.63 5.65 3.03 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00

Mei Juni Juli Agst Sept Okt

N ilai IS C Bulan pengamatan Tanjung Tiram

(6)

4.5.2 Indeks Bagian Terbesar

Nilai Indeks bagian terbesar dalam isi lambung ikan belanak baik dari Muara Landipo maupun Tanjung Tiram adalah kelompok makanan detritus, yaitu 62.17% Muara Landipo dan 55.51% berasal dari Tanjung Tiram (Gambar 14). Komposisi isi lambung ikan belank (Liza subviridis) secara lengkap ditampilkan pada Lampiran 10.

4.5.3 Energi Detritus dan Non detritus isi lambung

Hasil perhitungan nilai energi yang terkandung pada komponen makanan ikan belanak berdasarkan hasil analisis proksimat, ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6 Kandungan energi (kcal/g) detritus dan non detritus dalam isi lambung Komponen makanan Muara Landipo Tanjung Tiram Detritus (kcal/g) 1.03 ± 0.09 0.09 ± 0.03 Non Detritus (kcal/g) 2.70 ± 0.29 2.51 ± 0.12

0 10 20 30 40 50 60 70

Muara Landipo Tanjung Tiram

62.17 55.51 37.83 44.49 P er sen ( % )

IP Detritus dan Non Detritus Detritus

Non Detritus

Gambar 14 Persentase, detritus dan non detritus dalam isi lambung ikan belanak, Liza subviridis.

(7)

Total energi yang terdapat dalam komponen makanan (detritus dan non detritus) yang dikonsumsi ikan belanak di Muara Landipo dan Tanjung Tiram, mempengaruhi Faktor Kondisi (FK) dan Gonad Somatik Indeks (GSI), seperti yang ditampilkan pada Gambar 15 dan 16.

4.5.4 Pola Pertumbuhan

Parameter hubungan Panjang (L) bobot (W) (a, b) adalah penting dalam mempelajari stock assessment (Gonza´lez et al. 2004). Hubungan panjang-berat memberikan informasi pola kondisi dan pertumbuhan ikan (Abowei et al. 2009).

Hasil perhitungan pola pertumbuhan ikan belanak di lokasi penelitian, ditampilkan pada Tabel 5.

Pengamatan untuk konversi panjang ke dalam perkiraan berat untuk menyediakan beberapa pengukuran biomassa, sebagai perbandingan pertumbuhan spesies ikan antara wilayah, dan digunakan juga secara praktis untuk mengetahui indeks kondisi ikan (Gonza´lez et al. 2004).

Tabel 5 Nilai pola pertumbuhan ikan (Nilai b) setiap bulan pengamatan

No Bulan Nilai b

Muara Landipo Tanjung Tiram

1 Mei 0.1024 0.3531 2 Juni 0.3379 0.3559 3 Juli 0.1649 0.3161 4 Agustus 0.3612 0.3127 5 September 0.3616 0.3906 6 Oktober 0.1054 0.3285 4.5.5 Faktor Kondisi

Salah satu derivat penting dari pertumbuhan ialah faktor kondisi atau index preponderance dan sering disebut pula sebagai faktor K. Faktor Kondisi membandingkan kesehatan dari ikan dan didasarkan pada hipotesis bahwa ikan yang lebih berat dan panjang akan berada dalam kondisi yang lebih baik (Abowei et al. 2009). Rata rata nilai faktor kondisi untuk Muara Landipo lebih tinggi yaitu 4.153 ± 1.077 dibandingkan dengan Tanjung Tiram dengan nilai 1.690 ± 0.251.

(8)

Faktor Kondisi serta distribusi kisaran kelas panjang dan jumlah ikan sampel yang terkumpul selama penelitian, ditampilkan pada Lampiran 8 dan 9. Nilai faktor kondisi ikan belanak yang dikumpulkan selama penelitian, ditampilkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Rata rata faktor kondisi ikan belanak setiap bulan pengamatan di Muara Landipo dan Tanjung Tiram

Bulan Muara Landipo Tanjung Tiram

Mei 2.965 ± 0.946 1.248 ± 0.071 Juni 4.134 ± 1.867 1.542 ± 0.172 Juli 3.093 ± 0.796 1.303 ± 0.161 Agustus 7.374 ± 0.939 1.364 ± 0.081 September 3.854 ± 0.930 1.414 ± 0.116 Oktober 3.498 ± 0.983 3.270 ± 0.904

Gambar 16 Persentase detritus dan non detritus terhadap nilai FK dan Gonado Somatik Indeks (GSI) ikan belanak di Tanjung Tiram.

Gambar 15 Persentase detritus dan non detritus terhadap nilai FK dan Gonado Somatik Indeks (GSI) ikan belanak di Muara Landipo.

(9)

4.5.6 Gonado Somatik Indeks

Nilai Gonado Somatik Indeks (GSI) yaitu suatu nilai dalam persen sebagai hasil dari perbandingan antara berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dan dikalikan 100%. Perhitungan GSI dari 114 ekor ikan belanak di Muara Landipo dan 97 ekor dari Tanjung Tiram disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Rata rata nilai (%) Gonado Somatik Indeks di Muara Landipo dan Tanjung Tiram

Bulan Muara Landipo Tanjung Tiram

Mei 5.485 ± 2.327 4.237 ± 1.837 Juni 3.902 ± 1.674 3.038 ± 1.553 Juli 5.708 ± 1.539 4.804 ± 1.911 Agustus 5.100 ± 2.002 4.168 ± 2.105 September 4.960 ± 2.045 5.611 ± 1.722 Oktober 5.193 ± 1.831 4.420 ± 1.521

4.5.7 Hepato Somatik Indeks

Hepato Somatik Indeks (HSI) didefinisikan sebagai rasio berat hati terhadap berat badan. Nilai HSI dilokasi penelitian, ditampilkan pada Tabel 9. Tabel 9 Rata rata Hepato Somatik Indeks ikan belanak di Muara Landipo dan

Tanjung Tiram

Bulan Muara Landipo Tanjung Tiram

Mei 0.921 ± 0.323 0.826 ± 0.195 Juni 1.026 ± 0.317 0.887 ± 0.139 Juli 0.901 ± 0.280 0.606 ± 0.299 Agustus 0.835 ± 0.295 0.795 ± 0.201 September 0.869 ± 0.239 0.968 ± 0.235 Oktober 0.802 ± 0.302 0.694 ± 0.366

(10)

5 PEMBAHASAN

5.1 Struktur Vegetasi Mangrove

Tingkat kerapatan mangrove Muara Landipo sebesar 2 804 individu/ha, dimana jenis Rhizophora apiculata memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi yaitu 241 dari 3 jenis mangrove yang ditemukan di lokasi tersebut.

Tanjung Tiram memiliki kerapatan 2 300 individu/ha, dengan Indeks Nilai Penting tertinggi jenis Sonneratia alba yaitu 172.09, dibanding 2 jenis lainnya yang ditemukan di lokasi tersebut.

Tingginya kerapatan vegetasi di Muara Landipo, erat kaitannya dengan letaknya yang berada pada muara yang relatif terlindung, ada suplai air tawar secara periodik dengan tipe dasar perairannya berlumpur sehingga sangat mendukung pertumbuhan bakau. Bengen (2000) mengemukakan bahwa hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur, seperti pada Muara Landipo.

Kehadiran Rhizophora apiculata dengan INP 241 dari semua jenis mangrove di Muara Landipo, menjadi alasan yang kuat bahwa jenis Rhizophora apiculata memegang peran penting secara ekologis, seperti produksi detritus sebagai sumber makanan dan energi untuk ikan belanak peningkatan kesuburan perairan di ekosistem mangrove Muara Landipo. Sonneratia alba dengan indeks nilai penting sebesar 172.09, kontribusinya secara ekologis lebih dominan di perairan Tanjung Tiram.

5.2 Produksi dan Kontribusi Serasah

Produksi serasah di Muara Landipo yaitu sebesar 55.76 gram/m2/bulan atau setara 6.70 ton/ha/tahun. Kontribusi terbesar adalah jenis Rhizophora apiculata, dengan indeks nilai penting sebesar 240.45. Hutan mangrove perairan Tanjung Tiram menghasilkan serasah sebesar 36.68 gram/m2/bulan atau setara dengan 4.40 ton/ha/tahun, dengan penyumbang serasah terbesar adalah jenis Sonneratia alba, dengan indeks nilai penting sebesar 172.09.

(11)

Dibandingkan dengan beberapa penelitian yang sama, pada beberapa lokasi yang berbeda, produksi serasah di pesisir Utara Konawe Selatan masih relatif lebih tinggi. Penelitian di ekosistem mangrove pantai Utara Kabupaten Subang sebesar 4 ton/ha/tahun dengan kerapatan 200-300 individu/ha (Kawaroe et al. 2001). Di hutan mangrove Teluk Sepi, Lombok didapatkan sebesar 9,9 ton/ha/tahun dengan kerapatan vegetasi 480 pohon/hektar. Komposisi jenis terdiri dari Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, Ceriops tagal, C. decandra, Bruguiera sp., Sonneratia alba dan Aegiceras corniculatum (Zamroni dan Rohyani 2008). Produksi serasah sangat tinggi dijumpai di kawasan sungai dan tambak di hutan payau Tritih Cilacap sebesar 16.44 ton/ha/tahun dan 13.37 ton/ha/tahun (Affandi 1996).

Perbedaan produksi serasah pada setiap lokasi berbeda, dapat disebabkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain lingkungan (iklim dan derajat lintang), kesuburan tanah, kelembaban tanah, kerapatan vegetasi (Soerojo 1986). Selain faktor tersebut di atas ketipisan tajuk dan Morfologi daun juga ikut menentukan besar kecilnya jumlah serasah yang dihasilkan.

Serasah daun sangat penting dalam menjaga rantai makanan yang berbasis detritus. Produksi serasah yang telah mengalami proses dekomposisi dapat dihubungkan dengan keberadaan ikan yang memanfaatkan kawasan mangrove. Serasah daun yang gugur dan berjatuhan ke dalam air merupakan sumbangan terpenting hutan mangrove terhadap ekosistem pesisir. Serasah daun mangrove merupakan sumber bahan organik yang penting dalam rantai makanan di kawasan pesisir yang dapat mencapai 7 sampai 8 ton/ha (Nontji 1993).

Bagian terbesar dari serasah merupakan bahan pokok tempat berkumpulnya bakteri dan fungi. Bagian partikel daun yang mengalami dekomposisi berlanjut sampai menjadi partikel-partikel yang berukuran sangat kecil (detritus) yang kaya akan protein dan akhirnya dimakan oleh hewan-hewan pemakan detritus, seperti moluska dan krustasea kecil. Selama perombakan ini substansi organik terlarut yang berasal dari serasah sebagian dilepas sebagai materi yang berguna bagi fitoplankton dan sebagian lagi diabsorbsi oleh partikel sedimen yang menyokong rantai makanan (Soeroyo 1988).

(12)

Hutan mangrove juga mampu menghasilkan bahan organik, salah satu penghasil bahan organik di kawasan mangrove adalah guguran serasah. Kontribusi serasah mangrove di daerah Muara Landipo sebesar 0.56 ton/ha/bulan atau 6.70 ton/ha/tahun, dengan tingkat kerapatan vegetasi 2 804 pohon/ha dimana kerapatan jenis tertinggi adalah R. apiculata. Hasil analisis serasah R. apiculata diperoleh kadar abu 14.48% dan kadar air 16.55%. Jika produksi serasah 55.76 gram/m2/bulan atau 0.56 ton/ha/bulan akan menghasilkan bahan organik sebanyak 0.40 ton/ha/bulan atau setara dengan 4.78 ton/ha/tahun.

Daerah Tanjung Tiram kerapatannya sebesar 2 300 pohon/ha, dimana jenis Sonneratia alba memiliki kerapatan jenis tertinggi, produksi serasah sebesar 36.68 gram/m2/bulan atau 0.36 ton/ha/bulan atau setara dengan 4.40 ton/ha/tahun. Dari hasil analisis serasah diperoleh kadar abu 10.92% dan kadar air 24.05%, maka dengan produksi serasah sebayak 0.24 ton/ha/bulan akan menghasilkan bahan organik sebanyak 0.24 ton/ha/bulan atau sama dengan 2.98 ton/ha/tahun. Mohammad et al. (2008) mengemukakan bahwa dari gugur serasah jenis Rhizophora sebanyak 1119.16 kg/ha menyumbangkan nutrien kedalam perairan sebesar 507.35 kg N per tahun, 21.90 kg P per tahun dan 25121.52 kg C per tahun. Namun demikian tidak semua bahan organik yang dihasilkan akan dimanfaatkan pada perairan mangrove itu sendiri tapi sebagian lagi akan di ekspor ke perairan sekitarnya.

Besarnya bahan organik diekspor dari kawasan mangrove tergantung pada proses geofisika: ukuran ekosistem mangrove, frekuensi dan durasi pasang, ukuran saluran pengeringan, frekuensi dan besarnya hujan, dan aliran air segar. Semua faktor ini bervariasi dari satu ekosistem mangrove dengan ekosistem mangrove lainnya (Alongi et al. 1993). Holguin et al. (2001) mengemukakan bahwa diperkirakan sampai dengan 46 persen produktivitas primer ekosistem mangrove diekspor ke perairan pesisir sebagai partikulat bahan organik.

(13)

5.3 Laju Dekomposisi Serasah dan produksi detritus

Rata-rata jumlah serasah (%) yang hilang dari kantong serasah selama 75 hari mengalami dekomposisi, memperlihatkan serasah R. apiculta di Muara Landipo mengalami proses dekomposisi lebih cepat dari serasah S. alba yang berasal dari vegetasi mangrove di perairan Tanjung Tiram.

Pada awal pengamatan di perairan Muara Landopo, setelah 15 hari perendaman serasah yang tersisa sebesar 67.28% kemudian menurun pada pengamatan kedua (30 hari) yaitu 41.49%; pada hari ke 45 tersisa 28.77% sedangkan pada hari ke 60 yaitu 16.54 % dan pada hari ke 75, serasah yang tersisa sebesar 1.62%. Nirwani (1999) mengemukakan bahwa serasah mangrove mengalami dekomposisi sempurna antara hari ke 60 sampai hari ke 75. Untuk perairan Tanjung Tiram laju dekomposisi pada 15 hari pertama sebesar 27.82%, pada hari ke 30 tersisa 52.17% sedang pada hari ke 45, hari ke 60 dan hari ke 70 berturut turut adalah 35.03%, 18.22%, dan 7.44%.

Tingginya laju penghancuran serasah pada tahap awal diduga berhubungan erat dengan kehilangan bahan-bahan anorganik dan organik yang mudah larut atau leaching. Perbedaan laju dekomposisi daun mangrove pada perairan Muara Landopo dan Tanjung Tiram sangat dipengaruhi oleh kondisi kualitas perairan. Kondisi salinitas Muara Landipo yang lebih rendah (< 30 ppt) memungkinkan proses perombakan lebih cepat melalui aktivitas mikroba decomposer (bakteri dan fungi) dengan populasi lebih banyak. Keberadaan mikroorganisme sangat berperan dalam perombakan beberapa zat yang dikandung oleh serasah daun mangrove. Chale (1993) mengemukakan bahwa di dalam proses dekomposisi serasah daun mangrove di perairan, kehadiran bakteri dan fungi juga menyebabkan proses pencucian berlangsung cepat.

Semakin tinggi tingkat salinitas maka semakin sedikit mikroorganisme yang mampu beradaptasi dan dapat bertahan hidup, dengan demikian proses penyusutan serasahnya lambat, seperti di Tanjung Tiram. Nga et al. (2006) mengemukakan bahwa tingkat dekomposisi dan pelepasan bahan organik lebih

(14)

tinggi pada salinitas rendah (15-30 ppt) dibandingkan dengan air tawar (0 ppt) atau pada salinitas tinggi (30- 35 ppt).

Keefektifan bakteri, fungi dan hewan tanah lainnya dalam proses dekomposisi ditentukan dari cepat atau lambatnya penyusutan bobot serasah yang telah terdekomposisi. Proses dekomposisi serasah di pesisir Utara Konawe Selatan tidak berbeda jauh dengan basil penelitian dari Sediadi dan Pamudji (1986) di Teluk Ambon mengalami penghancuran serasah sempuma (100%) selama 182 hari tetapi dengan jumlah berat kering serasah yang berbeda (20 gram/kantong).

Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran yang dilakukan oleh makrobentos menjadi ukuran yang lebih kecil. Kemudian dilanjutkan dengan proses biologi yang dilakukan oleh bakeri dan fungi untuk menguraikan partkel-partikel organik. Proses dekomposisi oleh bakteri dan fungi sebagai dekomposer mengeluarkan enzim yang dapat menguraikan bahan organik menjadi protein dan karbohidrat. Affandi (1996) mengemukakan bahwa 50% karbon hilang dari serasah daun Rhizophora dalam waktu 6 - 15 minggu di lapangan dan sebanding dengan studi mikrokosmos di laboratorium. Kehadiran fungi pada tahap awal proses mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehilangan bahan-bahan organik dan anorganik secara leaching.

Seras ah yang j atuh akan mengal ami proses dekomposisi oleh mikroorganisme menjadi detritus. Hasil pengamatan mikroskopis pada daun mangrove yang terdekomposisi, mengungkapkan sebuah komunitas kompleks yang terdiri dari jamur, bakteri, protozoa, dan mikroalga (Odum and Heald 1975). Semakin banyak serasah yang dihasilkan dalam suatu kawasan mangrove maka semakin banyak pula detritus yang dihasilkan. Detritus inilah yang menjadi sumber makanan bernutrisi tinggi untuk berbagai jenis organisme perairan (khususnya detritifor) yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh organisme tingkat tinggi dalam jaring jaring makanan.

Lugo & Snedaker (1974) dan Ridd et al. (1990) mengemukakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove memiliki peranan dan memegang kunci dalam perputaran nutrien, sehingga eksistensinya dapat berperan sebagi habitat biota laut, apabila lingkungannya relatif stabil, kondusif dan tidak terlalu berfluktuatif.

(15)

5.4 Produksi Detritus, kandungan Nutrien dan kelimpahan Fitoplankton.

Berdasarkan hasil pengukuran laju dekomposisi yang dilakukan selama kurang lebih 75 hari proses perendaman maka didapatkan rendemen dari serasah sebesar 9.50% dari total serasah yang didekomposisi. Rahana (2005) mengemukakan bahwa laju dekomposisi serasah sebesar 0.013 g/hari menghasilkan rendemen sebanyak 9.52% dari total serasah yang didekomposisi.

Muara Landipo dengan produksi serasah bahan kering sebanyak 53 gram /m2/bulan atau 0.56 ton/ha/bulan atau sebanyak 6.70 ton/ha/tahun. Dari hasil dekomposisi diperoleh rendemen serasah sebesar 9.50 %, sehingga menghasilkan detritus sebanyak 5.30 gram/m2/bulan atau sama dengan 636 kg/ha/tahun. Kontribusi detritus di Muara Landipo berasal dari hutan mangrove dengan kerapatan 2.804 tegakan/ha, 63.84 % didominasi oleh jenis R. apiculata. Dari produksi yang diperoleh, dapat dikatakan bahwa di Muara Landipo peranan mangrove jenis R. apiculata sebagai penghasil detritus untuk makanan potensial ikan belanak sangat nyata.

Hutan mangrove Tanjung Tiram menghasilkan serasah bahan kering sebanyak 35 gram/m2/bulan atau 0.36 ton/ha/bulan. Dari hasil dekomposisi serasah didapatkan rendemen sebesar 9.50 %, sehingga dihasilkan detritus sebanyak 3.50 gram/m2/bulan atau 420 kg/ha/tahun. Kontribusi detritus di kawasan Tanjung Tiram didapatkan dari hutan mangrove dengan kerapatan 2.300 tegakan/ha yang didominasi oleh mangrove jenis sonneratia. Detritus yang dihasilkan merupakan sumber makanan dan energi oleh beberapa organisme di ekosistem mangrove termasuk ikan belanak, Liza subviridis.

Produksi detritus dari kedua lokasi tersebut bila dikaitkan dengan kandungan nutrien berupa nitrogen dan fosfat, yang merupakan sumber kebutuhan bagi mikro-organisme laut dan salah satu indikator kesuburan perairan. Kandungan fosfat di Perairam Muara Landipo berkisar antara 0.037 mg/l dan nitrat 0.0046 mg/l . Di perairan Tanjung Tiram kandungan fosfat sebesar 0.031 mg/l dan nitrat sebesar 0.0034 mg/l. Nitrat yang merupakan unsur nutrien diperairan sering kali menjadi faktor pembatas produktivitas primer. Nitrogen dan fosfor merupakan dua unsur yang paling sering membatasi pertumbuhan produsen primer (Ahmad et al. 2005).

(16)

Tingginya kandungan nutrien di Muara Landipo, sangat menunjang kelimpahn fitoplankton yaitu 25 962,6 individu/liter, sedang pada perairan Tanjung Tiram sebesar 19 481,2 individu/liter. Zat hara fosfat dan nitrat merupakan salah satu mata rantai makanan yang dibutuhkan dan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme di laut. Fitoplankton merupakan salah satu parameter biologi yang erat hubungannya dengan kandungan zat hara. Tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton tergantung kepada kandungan zat hara di perairan tersebut (Nybakken 1992).

Kontribusi produksi detritus jenis R. apiculata di Muara Landipo dan Sonneratia alba di Tanjung Tiram memperlihatkan hubungan yang signifikan terhadap kandungan nutrien (nitrat dan fosfat) dan kelimpahan fitoplankton. Konsentrasi kandungan nitrat dan fosfat yang tinggi sangat menunjang pertumbuhan fitoplankton. Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi yang paling penting adalah nitrat dan fosfat (Nybakken 1992).

Mohammad et al. ( 2008) mengemukakan bahwa pada dasarnya, serasah yang dihasilkan hutan mangrove antara lain mengandung N, P dan karbon (C) yang tinggi dan akan terlarut dalam air sehingga dapat menunjang proses pertumbuhan fitoplankton. Selanjutnya dikemukakan bahwa di hutan mangrove jenis Rhizophora mucronata dengan luas 57.1 ha, menghasilkan prodiksi serasah daun 1 119,16 kg/ha dapat menyumbangkan nutrien ke perairan sebesar 507.35 kg N per tahun, 21.90 kg P per tahun dan 25 121 kg C per tahun.

Oleh karenanya, diduga terdapat hubungan yang erat antara N dan P serasah dengan N dan P yang terdapat dalam air, produktivitas perairan dan jumlah individu fitoplankton. Kelimpahan fitoplankton dipengaruhi oleh kualitas fisik maupun kimia perairan berupa sedimentasi, fluktuasi ketinggian air, unsur hara, logam berat, temperatur, pH, dan kandungan oksigen (James 1979). Ketersediaan fitoplankton dalam suatu perairan memegang peranan penting dalam rantai makanan.

(17)

5.5 Karakteristik Fisika - Kimia Perairan

S u h u

Pengukuran parameter suhu di Muara Landipo adalah antara 27 – 29 oC, sedang pada perairan Tanjung Tiram antara 28 – 31 oC. Rendahnya kisaran suhu di perairan Muara Landipo diduga karena Muara Landipo lebih banyak dipengaruhi oleh aliran air sungai sehingga suhu air cenderung relatif lebih rendah dari pada daerah Tanjung Tiram yang tidak dipengaruhi oleh sungai. Mintardjo et al. (1985) mengemukakan bahwa Suhu atau temperatur perairan yang baik bagi kehidupan ikan berkisar antara 15 - 32 0C, maka kisaran suhu pada kedua lokasi tersebut masih dianggap baik untuk kehidupan ikan. Rendahnya nilai suhu di Muara Landipo berdampak pada tingginya kelarutan O2 di perairan. Kelarutan berbagai gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh suhu perairan.

Muatan Padatan Tersuspensi (MPT)

Muatan padatan tersuspensi adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan inorganik. Bahan-bahan organik yang merupakan zat tersuspensi terdiri dari berbagai jenis senyawa seperti selulosa, lemak, protein yang melayang-layang dalam air atau dapat juga berupa mikroorganisme seperti bakteri, algae, dan sebagainya. Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) di lokasi penelitian adalah 35.181 mg/l pada Muara Landipo dan 17.778 mg/l pada perairan Tanjung Tiram.

Tingginya padatan tersuspensi pada daerah muara sungai Landopo berkaitan erat dengan struktur vegetasi yang didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata dimana sistem perakarannya dapat menjebak sedimen, aliran sungai juga yang secara rutin akan membawa material material halus baik dari sungai maupun dari laut melalui gerakan pasang surut, termasuk sumbangsih dari darat melalui limpasan air ketika hujan.

(18)

Salinitas

Salinitas pada saat pengukuran di lokasi penelitian memiliki variabilitas antara muara Landopo dan Tanjung Tiram. Muara Landipo berkisar 23.0 – 28.0 ppt Tanjung Tiram berkisar 30.0 – 33.0 ppt. Rendahnya tingkat salinitas pada muara sungai Landopo, lebih dipengaruhi oleh pemasukan air tawar yang teratur dari aliran sungai yang bermuara ke perairan tersebut. Dahuri et al. (2002) mengemukakan bahwa pada daerah yang terdapat aliran sungai akan terjadi percampuran dua atau lebih massa air yang berbeda sifatnya. Hal inilah yang menyebabkan penurunan slinitas air laut sebagai efek masuknya air tawar ke perairan. Bila diperhatikan dari parameter salinitas, maka kisaran salinitas antara 26–31 ppt masih mendukung pertumbuhan mangrove pada dua lokasi tersebut. Bahan Organik sedimen

Kandungan bahan organik yang terdapat dalam sedimen berhubungan erat dengan jenis sedimen. Kandungan bahan organik yang tinggi dijumpai pada muara sungai Landipo (2.7 – 3.4 persen), sedang Tanjung Tiram berkisar 1.3 -1.5 persen). Perbedaan ini memberikan gambaran bahwa tinggi rendahnya kandungan bahan organik ini dipengaruhi secara langsung oleh perbedaan volume serasah daun mangrove yang kemudian jatuh ke sedimen dan akhirnya terdekomposisi hingga menjadi bahan organik.

Sukardjo (1994) mengemukakan bahwa hutan mangrove merupakan penyumbang unsur hara bagi organisme yang hidup di dalam dan sekitarnya dimana besarnya biomasssa serasah lantai hutan merupakan petunjuk pentingnya hutan mangrove sebagai sumber bahan organik. Kebanyakan massa detritus akan tertahan oleh akar mangrove dan terdekomposisi sehingga mendorong akumulasi bahan organik pada lantai hutan mangrove. Detritus membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan alga, yang kemudian menjadi sumber makanan penting bagi binatang pemakan suspensi dan detritus.

(19)

Oksigen Terlarut

Hasil pengukuran oksigen terlarut di Muara landipo selama penelitian adalah 6.6 – 7.1 mg/l sedang perairan Tanjung Tiram yaitu 5.1 – 6.1 mg/l. Kelarutan oksigen lebih tinggi di Muara Landipo, hal ini berkaitan dengan adanya aliran air yang keluar masuk di sungai, memberi proses pengadukan sehingga memperkaya nilai oksigen, selain itu sumber oksigen dalam perairan dapat diperoleh dari hasil proses fotosintesis fitoplankton atau tumbuhan hijau dan proses difusi dari udara, serta hasil proses kimiawi dari reaksi-reaksi oksidasi.

Hasil pengukuran oksigen terlarut di wilayah perairan lokasi penelitian ini masih bagus dan bersifat alami. Apabila oksigen terlarut lebih rendah dari 4 mg/l dapat diindikasikan perairan tersebut mengalami gangguan (kekurangan oksigen) akibat kenaikan suhu pada siang hari dan pada malam hari akibat respirasi organisme air atau adanya lapisan minyak di atas permukaan air laut dan masuknya limbah organik yang mudah terlarut. Standar Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut yang diperbolehkan > 4 mg/l (Kepmen LH 2004b).

Konsentrasi Ion Hidrogen (pH)

Hasil pengukuran pH selama penelitin berkisar 7.1-7.2 di Muara

Landipo dan 7.4 – 7.5 di perairan Tanjung Tiram. Nilai tersebut

menunjukkan pada kisaran yang dapat ditoleransi oleh biota laut.

Derajat keasaman ini berperan penting dalam menjaga kelangsungan hidup biota perairan. Derajat keasaman juga dapat mempengaruhi kecepatan dan bentuk reaksi kimia dan interaksi biologis air. Sebagian besar biota perairan sensitif terhadap perubahan nilai pH dan hidup optimal pada pH sekitar 7 - 8.5. Perubahan nilai pH secara mendadak pada kisaran tertentu dapat menyebabkan kematian biota perairan. Senyawa kimia toksik dapat dihasilkan oleh perubahan reaksi potensial redoks akibat perubahan nilai pH.

Bengen et al. (1994) mengemukakan bahwa konsentrasi pH perairan laut selalu dalam keseimbangan, karena ekosistem laut mempunyai kapasitas penyangga untuk mempertahankan kisaran nilai pH. Kisaran pH yang masih

(20)

5.6 Anakisis Kualitas Lingkungan Perairan

5.6.1 Indeks Kualitas Lingkungan

Hasil pengukuran parameter fisika-kimia dan biologi selama penelitian (Lampiran 11), diperoleh Indeks kualitas lingkungan untuk perairan Muara Lanipo (95.05 ) dan Tanjung Tiram (68.80) (Lampiran 12). Jika merujuk pada skala indeks kualitas lingkungan oleh Ramakrishnaiah et al. (2009), maka perairan pesisir Utara Konawe Selatan memiliki kriteria kualitas habitat yang baik untuk ikan belanak.

5.6.2 Sebaran spasial karakteristik lingkungan perairan

Variabel karakteristik lingkungan perairan yang digunakan dalam Analisis Komponen Utama untuk melihat sebarannya berdasar stasiun penelitian disajikan dalam Lampiran 13. Hasil Analisis Komponen Utama yang dilakukan pada matriks korelasi (Lampiran 13A) menunjukkan bahwa informasi penting menggambarkan korelasi antar variabel yang terkait pada struktur spasial (stasiun) terpusat pada dua sumbu utama (F1 dan F2). Kualitas informasi pada kedua sumbu ini ditunjukan oleh besarnya akar ciri, dimana masing masing sumbu menjelaskan 90.28 % dan 6.66 % dari ragam total (Lampiran 13B).

Pada sumbu 1 (F1) terlihat adanya korelasi negatif antara variabel suhu, salinitas dan pH. Sedang variabel nitrat, fosfat, O2, BO, muatan partikel terlarut, kelimpahan fitoplankton, jumlah serasah dan produksi detritus memperlihatkan adnya korelasi positif (Gambar 17A). Dalam grafik sebaran stasiun pada sumbu 1 dan 2 (F1xF2) (Gambar 17 B) terlihat bahwa Tanjung Tiram (TT)1, TT2 dan TT3 yang mencirikan sumbu 1 (negatif) dicirikan oleh suhu, pH dan salinitas yang tinggi. Sebaliknya mengarah pada sumbu 1 (positif) stasiun Muara Landipo (ML)1, ML2 dan ML3 dicirikan oleh kandungan nitrat, fosfat, O2, Bahan Organik, muatan partikel terlarut, kelimpahan fitoplankton, jumlah serasah dan produksi detritus yang tinggi.

Stasiun stasiun yang terletak di sekitar muara dengan dominasi jenis mangrove Rhizophora apiculata mempunyai Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 240 445 menyumbangkan produksi detritus sebesar 53 kg/ha/bulan.

(21)

Stasiun yang terletak disekitar Tanjung Tiram, didominasi jenis mangrove Sonneratia alba memiliki Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 172.087 memberi kontribusi detritus sebesar 35 kg/ha/bulan.

(A)

(B)

Gambar 17 Grafik Analisis Komponen Utama karakteristik lingkungan perairan di lokasi penelitian. (A) Korelasi antar variabel pada sumbu 1 dan 2 (F1xF2); (B) Sebaran stasiun penelitian pada sumbu 1 dan 2 (F1xF2).

(22)

Suhu pH Salinitas O2 Nitrat Fosfat BO MPT Fitoplankton KM Serasah Detritus ML1 ML2 ML3 TT1 TT2 TT3 -0.1 0 0.1 0.2 -0.3 -0.2 -0.1 0 0.1 0.2 0.3 F2 (9.02 %) F1 (9 0 .5 5 % )

5.6.3 Produksi detritus berdasarkan karakteristik lingkungan perairan

Hasil Analisis FaktorialKoresponden terhadap produksi detritus yang menyebar pada 6 stasiun pengamatan berdasarkan karakteristik lingkungan. Dari dua sumbu utama yang ditampilkan, sumbu factorial 1 dan 2 (F1xF2) menunjukkan bahwa informasi utama terpusat pada sumbu 1 (F1), dimana menjelaskan 90.55% dari ragam total dan sumbu 2 (F2) hanya menjelaskan 9.02% dari ragam total. seperti yang ditampilkan pada Gambar 18 dan Lampiran 14.

Representasi grafik pada sumbu 1 dan 2 (F1 x F2) memperlihatkan 2 kelompok asosiasi produksi detritus-stasiun pengamatan. Kelompok pertama yang terbentuk terdiri dari Kerapatan mangrove (KM) produksi serasah dan produksi detritus yang tinggi yang berdampak pada tingginya kandungan fosfat dan nitrat. Variavel variabel ini berasosisi pada stasiun ML1, ML2 dan ML3. Stasiun ini terdapat di sekitar daerah muara sungai Landipo. Stasiun stasiun tersebut, di dominasi oleh mangrove jenis Rhizophora apiculata.

Gambar 18 Grafik Analisis Koresponden antara variabel karkteristik perairan pada sumbu 1 dan 2 (F1xF2).

(23)

Kelompok kedua terbentuk dari asosiasi variabel suhu, pH dan salinitas yang tinggi. Variavel variabel ini berasosiasi dengan stasiun TT1, TT2 dan TT3 yang terletak dosekitar perairan Tanjung Tiram. Stasiun stasiun tersebut di dominasi oleh mangrove jenis Sonneratia alba.

5.7 Produksi Detritus di pesisir Utara Konawe Selatan

Di pesisir kabupaten Konawe Selatan, hutan mangrove seluas 15 963,65 hektar yang tersebar di 9 Kecamatan. Pesisir utara Konawe Selatan, ditumbuhi hutan mangrove seluas 417 ha (Lukman et al. 2006). Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, untuk lokasi Muara Landipo dengan kerapatan vegetasi 2 804 individu/ha, dimana 63.84% didominasi jenis Rhizophora apiculata, memproduksi detrirus sebanyak 53 kg/ha/bulan atau sama dengan 636 kg/ha/tahun. Tanjung Tiram dengan kerapatan vegetasi 2 300 individu/ha, jenis sonneratia alba memiliki dominansi tertinggi yaitu 40.72 % menghasilkan detritus sebanyak 35 kg/ha/bulan atau sama dengan 420 kg/ha/tahun.

Bila produksi detritus yang dihasilkan di Muara Landipo dan Tanjung Tiram dirata ratakan, maka detritus yang dapat dihasilkan di pesisir Utara Konawe Selatan sebanyak 44 kg/bulan/ha atau sama dengan 528 kg/ha/tahun.

Hutan mangrove di pesisir Utara Konawe Selatan 417 ha (Lukman et al. 2006), maka potensi detritus yang dapat dihasilkan di kawasan tersebut adalah sebanyak 18 348 ton/bulan atau sama dengan 220 176 ton/tahun. Jumlah inilah yang menjadi sumber makanan potensial untuk ikan belanak (Liza subviridis) di perairan pesisir Utara Konawe Selatan. Detritus sebagai sumber nutrisi yang berpotensi memperkaya pesisir utara Konawe Selatan serta mendukung sumberdaya perikanan pantai, khususnya untuk ikan pemakan detritus.

Dengan demikian, kehilangan hutan mangrove sebagi penghasil detritus akan menyebabkan terputusnya awal rantai makanan yang berdampak pada penurunan populasi ikan. Diketahuinya kontribusi ekosistem mangrove sebagai penyedia detritus sebagai makanan dan sumber energi, akan meningkatkan kesadaran akan pentingnya arti ekosistem mangrove dalam menunjang perikanan pantai di pesisir Utara Konawe Selatan.

(24)

5.8 Aspek Biologi dan Pertumbuhan Ikan Belanak

5.8.1 Indeks Isi Lambung

Nilai Indeks Isi Lambung menunjukkan tingkat keaktifan ikan dalam melakukan aktivitas mencari makan dan kondisi ketersediaan makanan yang ada di habitatnya. Berdasarkan pengamatan terhadap Indeks Isi Lambung ikan belanak, Liza subviridis baik yang di Muara Landipo maupun Tanjung Tiram, nilainya berfluktuasi setiap bulan pengamatan. Ikan belanak yang tertangkap di lokasi penelitian dan kondisi isi lambung saat pembedahan, disajikan pada Lampiran 15 dan 16.

Indeks Isi Lambung di Muara Landipo yaitu antara 4.27 – 8.99 dan Tanjung Tiram antara 3.89 – 6.57, dapat dikatakan bahwa tingkat keaktivan makan ikan belanak pada Muara Landipo erat kaitannya dengan ketersediaan detritus sebagai sumber makanan ikan belanak. Hal lain adalah disebabkan adanya perbedaan kondisi lingkungan perairan. Krebs (1989) mengemukakan bahwa keadaan umum fisika kimia perairan membatasi penyebaran jenis-jenis organisme, dan penyebaran dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas makanan.

Jumlah dan kualitas makanan di daerah Muara Landipo yang tinggi diindikasikan dengan tingginya nilai ISC di daerah tersebut. Hal ini disebabkan kerapatan mangrove yang lebih tinggi pada daerah Muara Landipo yaitu 2 804 individu/ha dengan jenis Rhizophora apiculata yang dominan, sedangkan Tanjung Tiram, 2 300 individu/ha yang didominasi dengan jenis Sonneratia alba. Kerapatan vegetasi yang tinggi akan berdampak pada produksi detritus yang dihasilkan. Kulitas makanan lebih baik pada Muara Landipo sangat didukung dengan kualitas air, khususnya nilai salinitas berkisar 23 - 29 ppt dan Tanjung Tiram berkisar 30 -33 ppt. Nilai salinitas yang lebih kecil dari 30 ppt sangat mendukung aktivitas mikroba dekomposer dalam peoses dekomposisi, demikian pula dengan jumlah dekomposernya akan jauh lebih banyak. Hal ini didukung oleh penelitian Nga et al. (2006) mengemukakan bahwa tingkat dekomposisi dan pelepasan bahan organik lebih tinggi pada salinitas rendah (15-30 ppt) dibandingkan dengan air tawar (0 ppt) atau pada salinitas tinggi (30- 35 ppt).

(25)

Populasi dekomposer yang lebih banyak menjadikan detritus memiliki nilai gizi yang lebih tinggi. Proses tersebut merupakan kemampuan daya dukung ekosistem mangrove di Muara Landipo untuk berkontribusi sebagai pemasok makanan dan sumber energi untuk ikan belanak, Liza subviridis.

5.8.2 Indeks Bagian Terbesar

Umumnya ikan memperlihatkan tingkat kesukaan makannya terhadap jenis makanan tertentu dan hal ini terlihat dalam jenis makanan yang dominan dalam lambungnya (Weatherly dan Gill 1987 diacu dalam Effendie 1997). Makanan ikan dapat dibedakan dalam tiga golongan yaitu, makanan utama dengan nilai IP (Index of Preponderance) > 40%, makanan pelengkap dengan nilai IP antara 4-40% dan makanan tambahan dengan nilai IP antara < 4%.

Untuk mengetahui kebiasaan makanan ikan belanak (Liza subviridis), maka salah satu cara yang dilakukan adalah memeriksa kandungan isi lambungnya. Hasil pemeriksaan isi lambung ikan belanak, dikelompokkan kedalam 2 kelompok besar yaitu kelompok detritus dan non detritus. Rata rata Indeks bagian terbesar makanan ikan belanak daerah Muara Landipo dan Tanjung Tiram adalah kelompok detritus. Persentase jenis detritus pada isi lambung ikan belanak di Muara Landipo sebesar 62.17% dan Tanjung Tiram sebesar 55.51%.

Besarnya jumlah komponen detritus dalam isi lambung, mengindikasikan secara meyakinkan bahwa ikan belanak, Liza subviridis adalah detritivora. Didukung oleh Penelitian Prapaporn et al. (1998) menemukan persentase tertinggi dari isi lambung Liza subviridis yang terdapat di perairan mangrove Thachin, Thailand adalah komponen detritus sebesar 72 persen. Patricia (2002) mengemukakan bahwa pada ikan belanak dewasa makanannya adalah detritus, partikel sedimen anorganik 'termasuk makroalga dan diatom. Ikan belanak makan dengan menyedot lumpur, pasir atau scraping permukaan batu dan tanaman. Pada saat menyedot lumpur detritus yang memiliki kandungan tertinggi ikut termakan (Odum 1970). Ikan belanak dalam hal makanan dapat beradaptasi ke tingkat trofik yang berbeda (Patricia 2002).

Ikan belanak (Liza subviridis) saat memakan detritus juga ikut menelan pasir ( ± 30 %). Hal ini karena detritus dari tumbuhan (bakau) mengandung bahan selulosa yang tinggi sehingga sulit terurai dan dicerna. Pasir dalam

(26)

lambung membantu menggiling selulosa tersebut agar mudah diserap oleh usus. Pasir bertindak sebagai “gigi” untuk memotong dan menggiling makanan membantu pencernaan.

Untuk memudahkan pencernaan, lambung ikan belanak bermodifikasi menjadi alat penggiling, yang disebut gizzard, bagian pylorus dan lambung membesar (menggelembung) dan menebal akibat terjadi penebalan otot melingkarnya dan pada bagian epitelumnya sering terdapat lapisan yang mengeras seperti zat tanduk. Proses penggiligan makanan dalam gizzard menggunakan pasir, sehingga gizzard benar benar berfungsi untuk menggerus makanan atau pencernaan secara fisik (Affandi et al. 2009).

5.8.3 Pola Pertumbuhan

Berdasarkan hasil pengukuran dan anlisis hubungan panjang dan bobot ikan belanak pada dua lokasi yang berbeda (muara Landipo dan Tanjung Tiram) memperlihatkan pola pertumbuhan allometrik. yaitu perubahan sebagian kecil beberapa bagian tubuh ikan dan hanya bersifat sementara, misalnya perubahan yang berhubungan dengan kematangan gonad.

Nilai b yang diperoleh dari hubungan panjang berat adalah kurang dari tiga. Hal ini menunjukan bahwa ikan belanak di perairn muara Landipo dan tanjung Tiram bersifat allometrik negatif. Nilai pola pertumbuhan ikan belanak di Muara Landipo masih lebih tinggi dari di tanjung Tiram, hal ini disebabkan ketersediaan detritus sebagai sumber makanan dan energi lebih banyak, karena tingkat kerapatannya yang lebih tinggi dengan jenis mangrove Rhizophora apiculata yang memiliki Indeks Nilai Penting tertinggi.

Perbedaan ini berhubungan dengan ketersediaan makanan di perairan tersebut yang dijadikan sumber energi oleh ikan belanak. Mengingat muara sungai Landipo merupakan perairan estuari, dimana estuaria merupakan ekosistem perairan yang produktif dan dinamis.

Effendie (1997) mengemukakan bahwa hubungan panjang berat

menunjukkan pertumbuhan yang bersifat relatif artinya dapat berubah

menurut wakt u. Apabila t erj adi perubahan terhadap lingkungan dan

(27)

mangrove di Muara Landipo memberikan kontribusi besar terhadap detritus organik yang sangat penting sebagai sumber energi bagi ikan belanak.

5.8.4 Kontribusi Detritus terhadap FK dan GSI

Kontribusi detritus yang dihasilkan di hutan mangrove Muara Landipo dan Tanjung Tiram yang dijadikan sumber makanan untuk ikan belanak dapat di ketahui dengan menghitung persentase detritus pada isi lambung ikan.

Kondisi lingkungan perairan, termasuk ketersediaan makanan akan memperlihatkan hubungan terhadap faktor kondisi ikan dan perkembangan gonad ikan. Secara umum, faktor kondisi ikan belanak rata rata tertinggi dijumpai di daerah Muara Landipo, yaitu sebesar 4.15 ± 1.08 dan nilai GSI sebesar 5.05 ± 0.97. Pada daerah Tanjung Tiram nilai faktor kondisi sebesar 1.69 ± 0.35 dan nilai GSI sebesar 4.37 ± 1.72. Tingginya nilai faktor kondisi dan gonad somatic indeks di Muara Landipo, mengindikasikan bahwa detritus di Muara Landipo berkontribusi secara kuantitatif maupun kualitatif terhadap factor kondisi dan GSI ikan belanak.

Besarnya nilai Faktor kondisi dan GSI pada Muara Landipo berhubungan erat dengan ketesediaan makanan yang lebih banyak. Analisis proksimat, menunjukan tingginya kandungan protein, lemak dan karbohidrat detritus yang dimakan ikan belanak maupun pada daun bakau yang telah mengalami dekomposisi di Muara Landipo (Lampiran 12). Kemungkinan lain disebabkan karena ikan belanak sedang mengalami pertumbuhan atau mengalami perkembangan gonad, sedang mengisi gonad dengan kantong telur sampai menjelang berpijah.

Realitas ini menunjukkan bahwa ketersediaan makanan di perairan muara sungai Landipo lebih baik. Abowei et al. (2009) mengemukakan bahwa Faktor kondisi merupakan indeks pertumbuhan dan intensitas makan dan faktor kondisi akan menurun dengan peningkatan panjang dan juga mempengaruhi siklus reproduksi pada ikan. Dari sudut pandang gizi makanan, ada akumulasi pembangunan lemak dan gonad. Faktor kondisi pada daerah Tanjung Tiram lebih kecil disebabkan antara lain karena ketersediaan kualitas makanan (detritus) yang tidak mendukung. Kondisi lingkungan perairan di Tanjung

(28)

Tiram, seperti salinitas yang relatif tinggi (lebih besar 30 ppt) kurang mendukung aktivitas mikroba dalam proses dekomposisi daun mangrove. Dekomposisi akan berlangsung dengan baik bila salinitas tidak terlalu tinggi (kurang dari 30 ppt), seperti di Muara Landipo sehingga p opulasi mikroorganisme akan lebih banyak. Besarnya populasi mikroorganisme akan meningkatkan nilai gizi detritus sebagai makanan ikan. Hal tersebut dibuktikan dengan besarnya nilai FK, indeks gonado somatik dan indeks hepatosomatik ikan belanak di Muara Landipo.

Faktor kondisi akan mengalami penurunan sejalan dengan pertambahan panjang (Tanti dan Djamali 2005). Abowei (2009) mengemukakan bahwa nilai-nilai dari faktor kondisi bervariasi menurut musim dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Adanya variasi faktor kondisi rata rata setiap bulan pengamatan di Muara Landipo 4.15 ± 1.08 dan Tanjung Tiram 1.69 ± 0.35. Nilai diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa ikan belanak pada kedua lokasi penelitian tersebut dalam kondisi baik. Effendi (2002) mengemukakan bahwa nilai faktor kondisi berfluktuasi dengan ukuran ikan. Ikan berukuran kecil mempunyai kondisi relatif yang tinggi dan menurun ketika ikan bertambah besar hal ini berhubungan dengan perubahan makanan ikan tersebut.

Perbedaan nilai GSI di kedua lokasi diduga kuat berhubungan dengan ketersediaan makanan yang cukup memadai sehingga kualitas gonad ikan pada daerah muara sungai Landipo lebih baik dibanding gonad ikan belanak Tanjung Tiram. Perkembangan gonad mempengaruhi nilai indeks gonado somatik.

5.8.5 Kontribusi energi isi lambung terhadap Hepato Somatik Indeks

Hasil analisis proksimat kandungan makronutrien (protein, lemak dan karbohidrat) detritus dalam isi lambung ikan belanak yang tertangkap di perairan Muara Landipo memiliki persentase dan total energi yang lebih besar dibandingkan daerah Tanjung Tiram. Boonruang (1984) mengemukakan bahwa detritus melalui beberapa tahapan dekomposisi dapat menghasilkan energi potensial bagi kehidupan konsumer.

(29)

Jumlah energi detritus dalam isi lambung tertinggi di Muara Landipo yaitu 1.03 kcal/g, sedang di Tanjung Tiram sebesar 0.99 kcal/g. Kandungan energi non detritus di Muara Landipo 2.70 kcal/g dan Tanjung Tiram sebesar 2.51 kcal/g.

Tingginya total energi pada isi lambung ikan belanak Muara Landipo, sangat erat hubungannyan kontribusi detritus hutan mangrove di kawasan Muara Landipo yang terkait dengan kerapatannya yang tinggi. Dari aspek proses dekomposisi serasah, di Muara Landipo jauh lebih cepat prosesnya dari Tanjung Tiram, hal ini karena nilai salinitas yang lebi rendah (< 30 ppt) dan Tanjung Tiram (> 30 ppt). Nga et al. (2006) mengemukakan bahwa tingkat dekomposisi dan pelepasan bahan organik lebih tinggi pada salinitas rendah (15-30 ppt) dibandingkan dengan air tawar (0 ppt) atau pada salinitas tinggi (30- 35 ppt).

Rendahnya salinitas ini mendukung populasi decomposer dalam proses penguraian serasah mangrove, sehingga detritus pada Muara Landipo mengandung lebih banyak mikroorganisme yang tentunya akan meningkatkan nilai gizi dari detritus tersebut yang menjadi makanan ikan belanak .

Hasil pengukuran Hepato Somatik Indeks (HSI) ikan belanak muara sungai Landipo yaitu sebesar 0.88 persen, di Tanjung Tiram sebesar 0.81 persen. Kontribusi detritus yang dimakan oleh ikan sebagai sumber energi akan berpengaruh terhadap kualitas HSI ikan belanak.

Ini memberikan indikasi status cadangan energi ikan belanak di muara Landipo lebih memadai dibandingkan ikan belanak di tanjung Tiram yang HSI lebih kecil. Hal ini berkaitan dengan lingkungan perairan yang miskin atau kurang hara makanan, ikan biasanya memiliki hati yang lebih kecil (dengan energi yang lebih sedikit dicadangkan dalam hati).

Gambar

Tabel 3  Kerapatan jenis, INP dan produksi serasah  mangrove di lokasi penelitian
Gambar 11  Produksi detritus Rhizophora apiculata,   kandungan  nitrat, fosfat dan kelimpahan fitoplankton
Gambar 13  Indeks isi lambung ikan belanak di lokasi penelitian.
Tabel 6  Kandungan energi (kcal/g) detritus dan non detritus dalam isi lambung
+5

Referensi

Dokumen terkait