EVALUASI PENGELOLAAN PRASARANA LINGKUNGAN
RUMAH SUSUN DI SURABAYA
(STUDI KASUS : RUSUNAWA URIP SUMOHARJO)
Diah Kusumaningrum1 dan IDAA Warmadewanthi2 1
Mahasiswa Program Magister Teknik Prasarana Lingkungan Permukiman, Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, email:diny_mybaby@yahoo.com
2
Dosen Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, email:D9406801@mail.ntust.edu.tw
A B S T R A K
Rusunawa Urip Sumoharjo merupakan rusun pertama di Kota Surabaya, berada di pusat kota, di tepi jalan provinsi, dikelilingi permukiman padat, daerah komersial, dan mempunyai lahan terbatas ± 3.064 m2. Saat ini kepadatan penghuninya mencapai ± 2.017 jiwa/ha. Permasalahan utamanya adalah terjadi pencemaran air minum rusunawa dan air sumur warga yang terdekat karena sistem pengolahan air limbah kurang optimal, serta banyak sampah yang masuk ke saluran lingkungan dan belum dilakukannya 3R. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas prasarana lingkungan dan merekomendasikan sistem pengelolaan yang ideal sesuai standar yang berlaku.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan lapangan, wawancara dengan pengelola dan perhimpunan penghuni, dan penyebaran kuisioner kepada 153 responden. Pengambilan sampel air limbah, air minum, dan air sumur untuk diuji di laboratorium dilakukan untuk mengetahui konsentrasi pencemaran yang terjadi dan dipakai sebagai dasar untuk merencanakan sistem pengelolaan air limbah yang lebih optimal. Pengukuran timbulan, komposisi dan recovery factor sampah dilakukan untuk mengetahui potensi reduksi sampah rusunawa dan merencanakan sistem pengelolaan sampah yang lebih optimal. Data sekunder yang dipakai, antara lain dokumen as built drawing rusunawa.
Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas prasarana lingkungan, antara lain letak tangki septik tidak memenuhi syarat, grey water dibuang tanpa pengolahan, dan pewadahan sampah kurang memadai. Analisis aspek teknik bidang air limbah menunjukkan bahwa efluen grey water tidak memenuhi baku mutu. Bangunan pengolahan diusulkan berupa ABR sebanyak 1 buah. Kapasitasnya sebesar 36,53 m3. Analisis aspek teknik bidang persampahan menunjukkan bahwa potensi reduksi sampah sebesar 84,55%, sehingga dapat dilakukan efisiensi frekuensi pembuangan sampah dari setiap hari menjadi 4 kali dalam seminggu. Selain itu, perlu disediakan bak sampah komunal berkapasitas 250 liter untuk sampah basah sebanyak 1 buah, untuk sampah kering sebanyak 2 buah, dan komposter komunal pada lahan seluas 24,70 m2.
Kata kunci : evaluasi, pengelolaan prasarana lingkungan, rumah susun sederhana sewa (rusunawa). 1. PENDAHULUAN
Pemerintah Kota Surabaya terus berupaya memenuhi kebutuhan rumah yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah, salah satunya dengan pembangunan rusun. Hal ini terkait dengan semakin mahalnya harga lahan di perkotaan, sedangkan rusun hanya membutuhkan lebih sedikit lahan. Rusunawa Urip Sumoharjo merupakan rusun yang pertama dibangun di Kota Surabaya, berada di pusat kota, dan lokasinya sangat strategis karena berada di tepi jalan provinsi, dikelilingi pertokoan dan perkantoran. Namun, memiliki lahan terbatas dan berada sangat dekat dengan permukiman sekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian Mahmudah (2007), dan mengacu pada pasal 14 PP RI Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum dan Misi ke-5 RPJMD Kota Surabaya Tahun 2006 – 2010, yaitu untuk mewujudkan penataan lingkungan kota yang bersih, sehat, hijau dan nyaman, maka evaluasi pengelolaan prasarana lingkungan rusunawa mengambil fokus pada bidang air limbah dan persampahan. Permasalahan utamanya adalah terjadi pencemaran air minum rusunawa dan air sumur warga yang terdekat karena sistem pengolahan air limbah kurang optimal, serta banyak sampah yang masuk ke saluran lingkungan dan belum dilakukannya 3R. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas prasarana lingkungan rusun di lahan terbatas dan merekomendasikan sistem pengelolaan yang ideal agar fungsi prasarana lingkungan rusun lebih optimal sesuai standar yang berlaku.
2. METODOLOGI PENELITIAN
Proses penelitian dilakukan sesuai dengan sistematika yang disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Penelitian a. Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data
Proses pengumpulan, pengolahan dan analisis data bidang air limbah dilakukan sesuai bagan alir pada Gambar 2.
Gambar 2. Bagan Alir Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data Bidang Air Limbah
Pengumpulan Data Primer - Sekunder Pengolahan & Analisis Rekomendasi
Cek kapasitas dan perhitungan kebutuhan prasarana penyaluran dan pengolahan Kuantitas Kualitas Pengambilan sampel air limbah (grey water) dari pipa penyaluran air limbah di tiap-tiap blok, dan yang masuk ke Sal. Kalimir, , masing-masing sebanyak 1 liter. Pengambilan sampel dilakukan 2 kali. Pengambilan data pemakaian air rata-rata per orang per hari
yang dilihat dari pencatatan rekening pembayaran air bulanan selama 3 bulan, untuk menghitung debit air limbah yang dihasilkan oleh ± 618 jiwa
Kualitas dan Kapasitas Tidak Memadai
dilakukan pengolahan lanjutan untuk pemanfaatannya dengan
teknologi yang ramah lingkungan dan hemat biaya; dilakukan pemeliharaan berkala
sesuai SOP
Kualitas dan Kapasitas Memadai tetap
dilakukan pengolahan lanjutan untuk pemanfaatannya dengan
teknologi ramah lingkungan dan hemat
biaya; dilakukan pemeliharaan berkala
sesuai SOP
Pengumpulan Data Primer - Sekunder Pengolahan & Analisis Rekomendasi
Cek kapasitas dan perhitungan kebutuhan prasarana penyaluran dan pengolahan Kuantitas Kualitas Pengambilan sampel air limbah (grey water) dari pipa penyaluran air limbah di tiap-tiap blok, dan yang masuk ke Sal. Kalimir, , masing-masing sebanyak 1 liter. Pengambilan sampel dilakukan 2 kali. Pengambilan data pemakaian air rata-rata per orang per hari
yang dilihat dari pencatatan rekening pembayaran air bulanan selama 3 bulan, untuk menghitung debit air limbah yang dihasilkan oleh ± 618 jiwa
Kualitas dan Kapasitas Tidak Memadai
dilakukan pengolahan lanjutan untuk pemanfaatannya dengan
teknologi yang ramah lingkungan dan hemat biaya; dilakukan pemeliharaan berkala
sesuai SOP
Kualitas dan Kapasitas Memadai tetap
dilakukan pengolahan lanjutan untuk pemanfaatannya dengan
teknologi ramah lingkungan dan hemat
biaya; dilakukan pemeliharaan berkala
sesuai SOP
PENGOLAHAN DATA KAJIAN PUSTAKA
PENGUMPULAN DATA (KEGIATAN SURVEI LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
PERUMUSAN MASALAH TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
RUANG LINGKUP PENELITIAN
KESIMPULAN DAN SARAN (REKOMENDASI) ANALISIS SWOT
ANALISIS&PEMBAHASAN
Sedangkan proses pengumpulan, pengolahan dan analisis data bidang persampahan dilakukan sesuai bagan alir pada Gambar 3.
Gambar 3. Bagan Alir Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data Bidang Persampahan 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
BIDANG AIR LIMBAH
a. Kelengkapan dan Kondisi Prasarana Lingkungan Bidang Air Limbah
Tabel 1 menyajikan matriks hasil analisis kelengkapan prasarana lingkungan bidang air limbah. Tabel 1 Analisis Kelengkapan Prasarana Lingkungan Bidang Air Limbah
NO. ACUAN STANDAR EKSISTING
1. SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan
Lingkungan
Perumahan di
Perkotaan
Jarak tangki septik ke sumber air bersih ≥ 10 m, ke bangunan 1,5 m.
Ada bidang resapan dan jaringan pemipaan air limbah.
Jarak tangki septik ke tandon air bawah 0 m (berhimpit), ke sumur warga ± 10 m.
Bidang resapan tidak diketahui. Ada jaringan pemipaan air limbah. 2. Permen PU Nomor
60/PRT/1992 tentang Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun, pasal 25
Saluran grey water dilengkapi pipa udara dan bak kontrol dan dihubungkan ke saluran pembuangan air limbah lingkungan.
Saluran pemipaan grey water dilengkapi dengan pipa udara. Pembuangan grey water tidak
dilengkapi bak kontrol, langsung dibuang ke saluran lingkungan. Saluran pembuangan air limbah
tertutup harus dipergunakan untuk semua jenis saluran pembuangan air limbah yang berada di dalam atau pada bangunan rumah susun.
Pembuangan black water berupa saluran tertutup sampai ke tangki septik.
Pembuangan grey water berupa saluran tertutup sebelum masuk ke drainase rusun (saluran terbuka).
Sal. air limbah ditempatkan pada ruangan atau jalur khusus, harus dilengkapi dengan saringan sampah.
Ada ruangan khusus untuk pipa air limbah.
Tidak diketahui adanya saringan sampah.
Perhitungan timbulan dan komposisi
sampah; Cek kapasitas dan
perhitungan kebutuhan prasarana
sampah; Potensi reduksi Pengambilan sampel dilakukan
dengan membagi 2 kantong plastik kepada 120 KK; Pengambilan sampel dilakukan selama 7 hari berturut-turut sesuai standar SNI 19-3864-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan
Timbulan dan Komposisi Sampah
Sampah yang terkumpul ditimbang (=berat total), berat tiap jenis sampah ditimbang dan dipersentase terhadap berat total
Pengumpulan Data Primer - Sekunder Pengolahan & Analisis Rekomendasi
Kapasitas Memadai
dilakukan pengelolaan dan pemeliharaan secara berkala sesuai SOP; Model pengelolaan
sampah yang berbasis masyarakat
Kapasitas kurang memadai dilakukan
penambahan prasarana sampah (bak sampah, dll) dan pemeliharaan
sesuai SOP; Model pengelolaan sampah yang berbasis masyarakat Perhitungan timbulan dan komposisi sampah; Cek kapasitas dan
perhitungan kebutuhan prasarana
sampah; Potensi reduksi Pengambilan sampel dilakukan
dengan membagi 2 kantong plastik kepada 120 KK; Pengambilan sampel dilakukan selama 7 hari berturut-turut sesuai standar SNI 19-3864-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan
Timbulan dan Komposisi Sampah
Sampah yang terkumpul ditimbang (=berat total), berat tiap jenis sampah ditimbang dan dipersentase terhadap berat total
Pengumpulan Data Primer - Sekunder Pengolahan & Analisis Rekomendasi
Kapasitas Memadai
dilakukan pengelolaan dan pemeliharaan secara berkala sesuai SOP; Model pengelolaan
sampah yang berbasis masyarakat
Kapasitas kurang memadai dilakukan
penambahan prasarana sampah (bak sampah, dll) dan pemeliharaan
sesuai SOP; Model pengelolaan sampah
yang berbasis masyarakat
Lanjutan Tabel 1 Analisis Kelengkapan Prasarana Lingkungan Bidang Air Limbah
NO. ACUAN STANDAR EKSISTING
2. Permen PU Nomor 60/PRT/1992 tentang Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun, pasal 25
Sal. air limbah lantai terbawah harus tersendiri ke arah sal. air limbah lingkungan/tangki septik.
Pembuangan air limbah lantai terbawah menyatu dengan lantai atas, tidak dibuat tersendiri. Sal. air limbah mendatar harus
mempunyai kemiringan cukup, dilengkapi lubang pemeriksa pada tiap perubahan arah dan sal. yang lurus sekurang-kurangnya tiap 50 m.
Kemiringan pipa air limbah lantai atas cenderung datar
Sal. drainase sebagai sal. air limbah tidak dilengkapi bak kontrol.
Sumber : Hasil Analisis (2010)
Tabel 2 Analisis Kondisi Pengelolaan Prasarana Lingkungan Bidang Air Limbah No. Elemen
yang Ditinjau
Kondisi Eksisting Permasalahan Alternatif Penanganan
1. Jaringan pemipaan air limbah - 58% responden mengatakan kondisi pipa penyaluran baik, 69% mengatakan pembuangan grey water berjalan lancar dan 83% mengatakan pembuangan black water berjalan lancar.
- 46% responden merasakan timbul bau dari
pembuangan grey water, dan 37% merasakannya dari pembuangan black water. Berdasarkan pengamatan, sumber bau berasal dari saluran.
- Pemeliharaan rutin terhadap jaringan pemipaan, berupa kontrol kebocoran, penggelontoran sedimen. 2. Tangki septik
- Kondisi tangki septik tidak dapat diamati secara langsung karena berada di bawah lantai dasar unit hunian, namun menurut 66% responden kondisinya baik.
- Hasil wawancara dengan badan pengelola, ketua RW, dan 5 orang penghuni (5,4% responden), pada pertengahan tahun 2009 (antara Bulan Maret – April) terjadi retakan pada tangki septik di Blok A. Hal ini menyebabkan black water merembes ke tandon air bawah dan mencemari sumber air bersih/minum rusun.
- Dilakukan uji laboratorium terhadap kualitas air bersih/minum di rusun, pengecekan kapasitas tangki septik eksisting, dan pemeliharaan rutin.
3. Saluran - Berdasarkan hasil pengamatan, secara umum kondisi saluran baik. Namun pada beberapa lokasi terdapat genangan, sampah, dan sedimen yang cukup tebal.
-
-
Timbul bau pada saluran pembuangan grey water karena adanya genangan, sampah dan sedimen, sesuai dengan pendapat 46% responden. Grey water dibuang ke saluran lingkungan/kota (Saluran Kalimir) tanpa pengolahan, sedangkan kondisi Saluran Kalimir sudah sangat
memprihatinkan dan arah aliran menuju ke
perumahan padat di sekitar rusun. - - Pemeliharaan rutin terhadap saluran, berupa pembersihan saluran dari sedimen dan sampah. Dilakukan uji laboratorium terhadap efluen grey water yang masuk ke saluran lingkungan untuk mengetahui apakah sudah memenuhi baku mutu air limbah domestik. Sumber : Hasil Analisis (2010)
b. Pengecekan Kualitas Air Bersih/Minum dan Efluen Air Limbah
Kualitas air minum rusun berfluktuasi, namun secara umum masih memenuhi baku mutu yang disyaratkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Sementara efluen grey water rusun yang dibuang ke saluran lingkungan/kota secara umum tidak memenuhi baku mutu yang disyaratkan oleh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu terhadap grey water yang dibuang dari rusun agar aman untuk dibuang ke saluran lingkungan/kota.
Tabel 3 Rata-rata Hasil Uji Laboratorium Sampel Efluen Grey Water Rusunawa Urip Sumoharjo
No. Parameter Satuan Baku Mutu Hasil
Analisa Keterangan Derajat Kekuatan 1. 2. 3. 4. 5. pH TSS BOD
Minyak & Lemak Deterjen - mg/L mg/L O2 mg/L mg/L LAS 6-9 100 100 10 - 6,65 188 123 122 11,92 Memenuhi Tidak memenuhi Tidak memenuhi Tidak memenuhi Tidak memenuhi - Sedang Sedang Sedang - Sumber : Laboratorium Kualitas Lingkungan ITS Surabaya (2009-2010)
c. Pengecekan Kapasitas Tangki Septik
Secara umum kapasitas tangki septik masih memenuhi untuk mengolah black water yang dihasilkan oleh penghuni rusun, dan disarankan untuk tidak memanfaatkan ruang lumpur pada tangki septik yang berhimpitan dengan tandon air bawah, serta melakukan pemeliharaan rutin.
d. Estimasi Dimensi Bangunan Pengolahan Grey Water
Estimasi dimensi bangunan pengolahan grey water disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Sistem pengolahan grey water yang disarankan adalah sesuai Gambar 5 (Alternatif 2).
Gambar 4 Estimasi Dimensi Bangunan Pengolahan Grey Water (Alternatif 1) (Hasil Analisis, 2010)
25 m ALT. 1 : PENGOLAHAN AIR LIMBAH TIDAK DIMANFAATKAN berfungsi sebagai bak kontrol dan penyaring sampah
Debit =73,06 m3/hari Debit =73,06 m3/hari
25 m ALT. 1 : PENGOLAHAN AIR LIMBAH TIDAK DIMANFAATKAN berfungsi sebagai bak kontrol dan penyaring sampah
Komposisi Sampah di Rumah Susun 75,68 0,18 1,41 0,44 5,21 0,67 15,25 0,36 0,80
Sisa makanan dan daun-daunan Kertas Kayu Kain/tekstil Karet/Kulit Plastik Logam Gelas/Kaca Lain-lain
Gambar 5 Estimasi Dimensi Bangunan Pengolahan Grey Water (Alternatif 2) (Hasil Analisis, 2010) BIDANG PERSAMPAHAN
a. Timbulan dan Komposisi Sampah
Rata-rata berat timbulan sampah rumah susun adalah 0,21 kg/orang.hari. Densitas sampah rata-rata sebesar 165,95 kg/m3. Hasil ini masih memenuhi kriteria NSPM Kimpraswil (2003), dimana densitas sampah di sumber adalah sebesar 150 – 200 kg/m3. Berdasarkan berat dan densitas sampah dapat diketahui bahwa rata-rata volume timbulan sampah rumah susun adalah 1,29 liter/orang.hari. Berdasarkan hasil pengukuran, komposisi sampah rumah susun dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Komposisi Sampah Rumah Susun (Hasil Analisis, 2010)
ALT. 2 : PENGOLAHAN AIR LIMBAH DIMANFAATKAN Debit =73,06 m3/hari Debit =73,06 m3/hari Debit =146,12 m3/hari berfungsi sebagai bak kontrol dan penyaring sampah
ALT. 2 : PENGOLAHAN AIR LIMBAH DIMANFAATKAN Debit =73,06 m3/hari Debit =73,06 m3/hari Debit =146,12 m3/hari berfungsi sebagai bak kontrol dan penyaring sampah
Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa komposisi sampah rumah susun, terdiri dari 75,68% sisa makanan dan daun-daunan, 5,21% kertas, 0,36% kayu, 0,67% kain/tekstil, 0,44% karet/kulit, 15,25% plastik, 0,80% logam, 1,41% gelas/kaca, dan 0,18% lain-lain.
b. Potensi Reduksi
Berdasarkan hasil pengukuran, rata-rata recovery factor sampah rumah susun adalah 87,56% untuk sampah sisa makanan dan daun-daunan, 71,70% untuk sampah kertas, 85,71% untuk sampah kain/tekstil, 74,29% untuk sampah plastik, 100,00% untuk sampah karet/kulit, logam dan gelas/kaca, dan 0,00% untuk sampah kayu dan lain-lain. Analisis kesetimbangan massa berdasarkan rata-rata perhitungan recovery factor sampah rumah susun dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Analisis Kesetimbangan Massa Sampah Rumah Susun (Hasil Analisis, 2010)
Berdasarkan analisis kesetimbangan massa dapat diketahui bahwa potensi reduksi, reuse, dan recycling (3R) sampah rumah susun adalah 109,73 kg/hari dari total sampah 129,78 kg/hari atau sebesar 84,55%.
c. Kelengkapan dan Kondisi Prasarana Lingkungan Bidang Persampahan
Tabel 4 menyajikan matriks hasil analisis kelengkapan prasarana lingkungan bidang persampahan. Tabel 4 Analisis Kelengkapan Prasarana Lingkungan Bidang Persampahan
NO. ACUAN STANDAR EKSISTING
1. Permen PU Nomor 60/PRT/1992 tentang Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun, pasal 26
Pewadahan sampah dapat terdiri dari pewadahan sampah di tiap satuan rusun dan/atau saluran sampah.
Rusun tidak memiliki saluran sampah.
Hanya 72% unit hunian memiliki tempat sampah. Pewadahan sampah di tiap satuan
rusun dapat dibuat dari bahan permanen atau semi permanen.
Jenis tempat sampah di unit hunian rusun bersifat semi permanen berupa keranjang plastik (60%), dll.
Sampah yang dibuang ke TPS harus dibungkus dengan alat pembungkus yang kedap bau dan air.
Penghuni membungkus sampah dengan kantong plastik/kresek sebelum dibuang ke dalam gerobak sampah (70%).
INFLOW
Timbulan Sampah Rusun
(100%)
Recovery Factor (Sampah yang dapat
dimanfaatkan kembali) :
Sisa Makanan dan daun-daunan = 66,26% Kertas, Kayu, Kain/Tekstil, Karet/Kulit, Plastik, Logam, Gelas/Kaca, dll = 18,29% Total yang dapat direcovery = 84,55%
OUTFLOW OUTFLOW Produk : * Kompos = 66,26% * Dimanfaatkan kembali/ Daur ulang/Dijual = 18,29% Total produk = 84,55%
Residu (Sampah yang tidak dapat dimanfaatkan kembali) :
Sisa Makanan dan daun-daunan = 9,42% Kertas, Kayu, Kain/Tekstil, Karet/Kulit, Plastik, Logam, Gelas/Kaca, dll = 6,03% Total residu = 15,45%
Lanjutan Tabel 4 Analisis Kelengkapan Prasarana Lingkungan Bidang Persampahan
NO. ACUAN STANDAR EKSISTING
1. Permen PU Nomor 60/PRT/1992 tentang Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun, pasal 26
Sal. sampah dipakai bahan kedap bau dan air, tahan karat. Ukuran sisi/diameter penampang terkecil sekurang-kurangnya 50 cm.
Rumah susun tidak memiliki saluran sampah, sesuai dengan pendapat 79% responden. Sistem pembuangan sampah pada
satuan rusun dan bangunan rusun harus terkoordinasikan dengan sistem jaringan pembuangan sampah pada lingkungan yang tersedia.
Berdasarkan pengamatan lapangan, pembuangan sampah dilakukan oleh petugas sampah setiap hari ke TPS di Jalan Pandegiling atau Jalan Kedondong yang jaraknya ± 1 km dari rusun. Waktu pembuangan sampah ± 7-9 jam/hari. 2. Permen PU Nomor 60/PRT/1992 tentang Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun, pasal 60
Bak sampah dibuat dari bahan kedap bau dan air, dan tidak mudah berkarat.
Bak sampah penghuni rusun rata-rata berupa keranjang plastik (60%).
Dilengkapi gerobak sampah dari bahan yang tidak mudah berkarat dan mudah dipelihara.
Rusun memiliki 1 buah gerobak sampah ukuran ± 1,5 m3, terbuat dari kayu dan tidak bertutup. Kondisinya baik menurut pendapat 46,74% responden Dilengkapi TPS dan diletakkan
terpisah dari rusun, serta dapat dijangkau oleh truk sampah.
Rusun memiliki TPS, jaraknya ± 8,5 m dari unit hunian yang terdekat, cukup mudah dijangkau oleh truk sampah. Luas TPS ± 35,48 m2. Namun, TPS ini sudah tidak dimanfaatkan lagi. Dilengkapi truk sampah yang dapat
menjangkau sekurang-kurangnya ke TPS dan dapat mengangkut sampah dari TPS ke TPA.
Rumah susun tidak dilengkapi dengan truk sampah.
3. SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan
Sarana pelengkap persampahan di tingkat RW dengan jumlah jiwa maks. 2.500 orang adalah gerobak sampah 2 m3 dan bak sampah kecil 6 m3 yang dapat berfungsi sebagai TPS; Jarak bebas TPS dengan lingkungan hunian adalah min. 30 m; Gerobak sampah mengangkut sampah 3x seminggu.
Ada gerobak sampah ukuran ± 1,5 m3.
Tidak ada bak sampah komunal. Ada TPS, jarak ± 8,5 m dari unit
hunian terdekat, sudah tidak dimanfaatkan lagi.
Gerobak sampah mengangkut sampah rusun ke TPS lingkungan setiap hari.
Sarana pelengkap persampahan di tiap rumah dengan jumlah jiwa rata-rata 5 orang adalah tong sampah pribadi.
Berdasarkan data kuisioner, hanya 72% unit hunian rumah susun yang memiliki bak sampah pribadi.
Sumber : Hasil Analisis, 2010
d. Analisis Kebutuhan Prasarana Persampahan
Berdasarkan hasil analisis kelengkapan prasarana bidang persampahan, timbulan sampah rusun, komposisi sampah rusun, potensi reduksi sampah rusun, maka alternatif penanganan pengelolaan sampah rusun seperti disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Pemilihan Alternatif Penanganan Pengelolaan Sampah Rumah Susun No. Pengelolaan
Sampah
Alternatif Penanganan Keterangan
Kondisi Eksisting Kondisi Rencana 1. Pewadahan Individu : Sampah basah : 15 ltr, 1 buah Sampah kering : 20 ltr, 1 buah Komunal : Sampah basah : 200 ltr, 2 buah Sampah kering : 250 ltr, 2 buah Individu :
Sampah basah : 5 ltr, 1 buah Sampah kering : 5 ltr, 1 buah Komunal : Sampah basah : 250 ltr, 1 buah Sampah kering : 250 ltr, 2 buah Sesuai amanah UU No. 18/2008 pasal 19, pasal 20 ayat 1, dan pasal 22 ayat 1, serta Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 273 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Sistem Pengumpulan Sampah secara Terpisah antara Sampah Basah dan Sampah Kering dalam Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya pasal 3, maka dipilih alternatif
penanganan sesuai kondisi rencana 2. Pengumpulan Pola Komunal Tidak
Langsung
Pola Komunal Langsung 3. Alat
Pengumpul
Gerobak Sampah Bak Sampah Komunal 4. Frekuensi
Pembuangan
Sampah basah : 2 hari sekali
Sampah kering : 1 minggu sekali
Sampah basah : 2 hari sekali Sampah kering : 1 minggu sekali
Sumber : Hasil Analisis (2010) s
REKOMENDASI SISTEM PENGELOLAAN PRASARANA LINGKUNGAN RUMAH SUSUN Berdasarkan hasil analisis, maka sistem pengelolaan prasarana lingkungan bidang air limbah dan persampahan Rusunawa Urip Sumoharjo yang lebih optimal, sesuai dengan standar yang berlaku dan ketersediaan lahannya, direkomendasikan seperti pada Tabel 6 dan Gambar 8.
Tabel 6 Rekomendasi Perbaikan/Peningkatan Sistem Pengelolaan Prasarana Lingkungan Rusunawa Urip Sumoharjo
No. Elemen yang Ditinjau Rekomendasi
1. Hasil analisis bidang air limbah dan persampahan
-
- -
-
Membangun unit pengolahan air limbah, terdiri dari :
Bak penampung berdimensi 2,7x2,3x1,5 m3, sebanyak 2 buah; ABR berdimensi 9,2x2x2 m3 sebanyak 1 buah; dan
Reservoir berdimensi 8,7x3,5x2 m3 sebanyak 1 buah.
Tidak memanfaatkan ruang lumpur dari tangki septik yang berhimpit dengan tandon air dan pemeliharaan rutin.
Memfasilitasi 3R, terdiri dari :
Bak sampah komunal berkapasitas 250 liter untuk sampah basah sebanyak 1 buah dan sampah kering sebanyak 2 buah;
Komposter komunal pada lahan seluas 24,7 m2;
Ruang penampung sampah kering yang akan dimanfaatkan seluas 35,48 m2;
Lokasi pemilahan sampah pada lahan seluas 250 m2; dan Lokasi budidaya tanaman pangan pada lahan seluas 18 m2. Melakukan pemeliharaan rutin.
PROGRAM PASCASARJANA
TEKNIK PRASARANA LINGKUNGAN PERMUKIMAN JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER 2010
Judul Tesis :
EVALUASI PENGELOLAAN PRASARANA LINGKUNGAN RUMAH SUSUN DI SURABAYA (STUDI KASUS :
RUSUNAWA URIP SUMOHARJO) DIAH KUSUMANINGRUM
3308 202 011
REKOMENDASI PERBAIKAN SISTEM PENGELOLAAN PRASARANA LINGKUNGAN BIDANG AIR LIMBAH DAN PERSAMPAHAN RUSUNAWA URIP SUMOHARJO
Sumber : Hasil Analisis (2010)
Sementara itu, dengan memperhatikan kasus/permasalahan yang terjadi dan hasil analisis sistem pengelolaan prasarana lingkungan bidang air limbah dan persampahan pada Rusunawa Urip Sumoharjo, maka dapat disusun tipikal kebutuhan lahan untuk sistem pengelolaan prasarana lingkungan rusun dengan luas lahan yang sama seperti disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Tipikal Kebutuhan Lahan untuk Peningkatan Pengelolaan Prasarana Lingkungan Bidang Air Limbah dan Persampahan Rumah Susun
No. Elemen yang Ditinjau Satuan
Kondisi Eksisting di Rusunawa Urip Sumoharjo Kondisi menurut Standar 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Luas lahan
Luas hunian minimum
Kebutuhan udara segar minimum orang dewasa per jam
Kebutuhan udara segar minimum anak-anak per jam
Jumlah penghuni dalam 1 unit hunian Pemakaian air
Jumlah unit hunian Jumlah total penghuni
Debit air limbah total (70% dari pemakaian air)
Debit grey water (74% dari debit air limbah total)
Faktor Puncak
Faktor Infiltrasi Puncak untuk saluran lama Debit puncak total (debit rencana) untuk saluran lama
Kriteria desain ABR : - HRT = 6 – 24 jam - BOD/COD = 0,3 – 0,8 - Tipikal konsentrasi COD = 264 – 906 mg/L - Tipikal COD loading rate = 2,2
- Persentase COD removal = 90% Konsentrasi BOD
Kebutuhan lahan untuk pengolahan grey water : - Bak Penampung/bak kontrol/saringan sampah (kedalaman = 1,5 m) - ABR (kedalaman = 2 m) - Reservoir (kedalaman = 2 m)
Volume timbulan sampah Komposisi sampah : - Sampah basah - Sampah kering
Sampah yang dapat dimanfaatkan (recovery): - Sampah basah - Sampah kering Residu sampah : - Sampah basah - Sampah kering m2 m2 m3 m3 orang liter/orang.hari unit orang liter/hari liter/hari - m3/ha.hari m3/hari jam - mg/L kg/m3.hari % mg/L m2 m2 m2 liter/orang.hari % % % % % % 3.064 21 - - ± 5 117 120 ± 618 50.614,20 37.454,51 3,50 48,50 146,12 6 0,50 346 2,2 90 173 6,21 18,40 30,45 1,29 75,68 24,32 66,26 18,29 9,42 6,03 - 21 16 8 ≤ 4 - - ± 480 39.312 29.090,88 3,50 48,50 116,86 6 0,50 - 2,2 90 - 5 – 10 15 25 2,50 -- - - - -
Lanjutan Tabel 7 Tipikal Kebutuhan Lahan untuk Peningkatan Pengelolaan Prasarana Lingkungan Bidang Air Limbah dan Persampahan Rumah Susun
No. Elemen yang Ditinjau Satuan
Kondisi Eksisting di Rusunawa Urip Sumoharjo Kondisi menurut Standar 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Kebutuhan komposter komunal (KRT PU) : - Jumlah komposter
- Luas lahan
Kebutuhan luas ruangan penyimpan sampah kering yang akan dimanfaatkan (tinggi manfaat 1,5 m dan lama penyimpanan 13 bulan)
Kebutuhan lahan untuk melakukan pemilahan sampah kering
KDB gedung 4 lantai Luas total lantai dasar KLB gedung 4 lantai Luas total lantai bangunan
Ruang terbuka hijau (60% dari luas total lantai bangunan) unit m2 m2 m2 % m2 - m2 m2 104 24,70 35,48 memanfaatkan lapangan olah raga
(±250 m2) 34,11 1.045 1,36 (> 1,105) 4.180 2.019 (48,30%) 80 19 57,20 memanfaatkan ruang terbuka yang ada 34 1.042 1,105 3.385 2.031 (60%) Sumber : Hasil Analisis (2010)
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Faktor yang mempengaruhi kualitas prasarana lingkungan rusun antara lain seperti disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Prasarana Lingkungan Rumah Susun
Bidang Air Limbah Bidang Persampahan
Letak tangki septik yang tidak memenuhi syarat SNI 03-2398-2002, kurang dari 1,5 m (= 0 m) ke tandon air dan bangunan;
Belum dilakukannya pengolahan grey water yang memadai.
Kurang memadainya pewadahan sampah, sehingga masih terjadi penumpukan sampah, tercecer di saluran, dibuang sembarang tempat.
Pemeliharaan dan pemeriksaan kondisi belum dilakukan secara rutin.
Pemeliharaan dan pemeriksaan kondisi belum dilakukan secara rutin.
2. Peningkatan/perbaikan sistem pengelolaan prasarana lingkungan yang dapat diaplikasikasikan untuk mengoptimalkan kualitas lingkungan rumah susun dan sekitarnya, antara lain :
Melakukan pengolahan grey water agar air limbah yang dibuang ke saluran lingkungan/kota memenuhi baku mutu air limbah domestik.
Melengkapi rumah susun dengan bak sampah komunal.
Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan 3R melalui kegiatan sosialisasi, pelatihan, pendampingan, dan penyediaan fasilitas pewadahan sampah dan komposting.
Saran yang direkomendasikan untuk menyempurnakan hasil penelitian ini, antara lain :
1. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai detail desain bangunan pengolahan air limbah sesuai hasil analisis penelitian ini.
2. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai potensi pemanfaatan kompos untuk budidaya tanaman pangan di rumah susun dengan jenis tanaman yang berbeda.
3. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai potensi pemasaran produk kerajinan tangan sebagai hasil daur ulang sampah kering.
5. DAFTAR PUSTAKA
Anonim (2008), Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Jakarta.
Anonim (2007), Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 14/Permen/M/2007 tentang Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa.
Anonim (1992), Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 60/PRT/1992 tentang Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun. Jakarta.
Anonim (1990), Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air, Jakarta.
Anonim (2002), Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum, Jakarta.
Anonim (1991), Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 273 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Sistem Pengumpulan Sampah secara Terpisah antara Sampah Basah dan Sampah Kering dalam Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya, Surabaya.
Anonim (1992), SNI 03-2846-1992 tentang Tata Cara Perencanaan Kepadatan Bangunan Lingkungan Rumah Susun Hunian.
Anonim (1994), SNI 19-3864-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan.
Anonim (2002), SNI 03-2398-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Tangki Septik dengan Sistem Resapan. Anonim (2004), SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan. Freeman, L. dan Botein, H. (2002), “Subsidized Housing and Neighborhood Impact”, Journal Of Planning
Literature, Sage Publication, Volume 16 Nomor 3, New York.
Indartoyo (2007), “Dampak Kehadiran Rusunawa bagi Penataan Bangunan dan Infrastruktur di Daerah Sekitar Kawasan Terbangun”, Makalah Seminar Nasional Arsitektur “Perencanaan Perumahan dan Pemukiman yang Berkelanjutan”, Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Jakarta Selatan. Kusjuliadi, D. (2007), Septictank, Penebar Swadaya, Depok.
Mahmudah, S. (2008), “Evaluasi Fasilitas dan Lokasi Rumah Susun di Surabaya”, Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sipil “Torsi”, Volume 28, Nomor 1, halaman 45 – 53, http://puslit2.petra.ac.id.
Metcalf & Eddy, Inc. (2003), Wastewater Engineering, Treatment and Reuse, McGraw-Hill, Inc., 4th edition, New York.
Metcalf & Eddy, Inc. (1991), Wastewater Engineering, Treatment, Disposal and Reuse, McGraw-Hill, Inc., 3th edition, Singapore.
Noerbambang, S.M. dan Morimura, T. (2000), Perancangan dan Pemeliharaan Sistem Plambing, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Sujaritpong, S. dan Nitivattananon, V. (2009), “Factors Influencing Wastewater Management Performance: Case Study of Housing Estates in Suburban Bangkok, Thailand”, Journal of Environmental Management, Volume 90, Nomor 45, halaman 455 – 465, www.sciencedirect.com.
Vesilind, P.A., Worrell, W. dan Reinhart, D. (2002), Solid Waste Engineering, Brooks/Cole, United States of America.
ANALISA PENENTUAN PRIORITAS PENATAAN
LAMPU PENERANGAN JALAN UMUM
WILAYAH KABUPATEN PONOROGO
Kristiyono1, Dr. Ir. Ria A. A. Soemitro, M.Eng.2, Agung Karyadi, S.T. M.T.3 1Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Aset, FTSP, ITS
2Dosen Jurusan Teknik Sipil, FTSP, ITS 3PNS Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya
ABSTRAK
Jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam distribusi barang dan jasa, peningkatan perekonomian, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Untuk mendukung kinerja jalan diperlukan bangunan pelengkap jalan, diantaranya adalah lampu penerangan jalan. Menurut SNI 7391-2008, lampu Penerangan Jalan adalah bangunan pelengkap jalan yang diletakkan / dipasang di kiri atau kanan jalan dan atau ditengah (di bagian median jalan). Memiliki fungsi untuk menerangi jalan maupun lingkungan di sekitar jalan yang diperlukan.
Ruas jalan yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 20 ruas jalan. Ruas jalan tersebut adalah Batas Kab. Madiun – Ponorogo, Kotalama – Jenangan, Jetis – Mantup – Diwet – Bungkal, Ponorogo – Somoroto, Somoroto – Badegan, Badegan – Biting, Dengok – Bibis, Bibis – Sawoo, Sawoo – Batas Kab. Trenggalek, Dengok – Balong, Balong – Slahung, Slahung – Batas Kab. Pacitan, Ponorogo – Siman, Bulu – Mlarak – Brahu, Dengok – Nongkodono – Jambon, Bangunsari – Lembah – Jarakan – Kalibengin, Bungkal – Ngrayun, Somoroto Ngambaan – Sampung, Jeruksing – Pulung dan Pulung – Sooko.
Hasil observasi didapatkan jumlah titik lampu penerangan jalan pada seluruh ruas jalan sebanyak 812 titik lampu. Jenis sumber cahaya yang terpasang adalah HPL-N sebanyak 58%, tabung fluorecent sebanyak 12,68%, SON sebanyak 9,24%, solar cell sebanyak 0,37% dan jenis lampu lain sebanyak 19,70%. Kualitas sumber cahaya yang digunakan, 78 titik lampu dengan kualitas baik, 471 titik lampu dengan kualitas sedang dan 263 titik lampu dengan kualitas kurang. Bangunan lampu penerangan jalan yang digunakan sebanyak 454 titik lampu secara katenasi, 282 titik lampu dengan tiang yang tidak standar SNI dan 78 titik lampu dengan tiang yang sudah sesuai dengan standar.
Penentuan prioritas dilakukan dengan metoda analytical hierarchy process. Prioritas pertama terdapat pada ruas jalan Batas Kabupaten Madiun – Ponorogo dengan bobot 0,119. Ruas jalan Batas Kabupaten Madiun – Ponorogo memiliki prioritas tertinggi pada kriteria gambaran jalan, rencana pengembangan wilayah, dan finansial.
Kata kunci : lampu penerangan jalan, analytic hierarchy process
1. PENDAHULUAN
Jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam distribusi barang dan jasa, peningkatan perekonomian, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Untuk mendukung kinerja jalan diperlukan bangunan pelengkap jalan, diantaranya adalah lampu penerangan jalan. Lampu penerangan jalan dapat digunakan untuk mengurangi jumlah kecelakaan pada malam hari terutama untuk jalan yang dilalui oleh kendaraan roda dua, jalan yang bersinggungan dengan lingkungan penduduk di sekitar jalan, dan jalan dalam kondisi buruk.
Menurut SNI 7391-2008 mengenai Spesifikasi Penerangan Jalan di Kawasan Perkotaan, pengertian lampu Penerangan Jalan adalah bangunan pelengkap jalan yang dapat diletakkan / dipasang di kiri atau kanan jalan dan atau ditengah (di bagian median jalan). Memiliki fungsi untuk menerangi jalan maupun lingkungan di sekitar jalan yang diperlukan. Sebagai alat bantu aktivitas pada malam hari, lampu PJU memberikan penerangan jalan bagi pengguna jalan baik pejalan kaki maupun pengguna kendaraan.
Pada tahun 1999 hingga 2000 terdapat 270 permohonan ijin lokasi pemasangan lampu penerangan jalan untuk 20 kecamatan di Kabupaten Ponorogo. Permohonan ijin tersebut karena lokasi rawan kecelakaan lalu lintas dan di persimpangan jalan sebanyak 91 lokasi, lokasi rawan kecelakaan lalu lintas sebanyak 43 lokasi, lokasi di persimpangan jalan sebanyak 12 lokasi, lokasi fasilitas sosial sebanyak 12 lokasi, lokasi untuk meningkatkan keamanan sebanyak 55 lokasi, dan lokasi lain sebanyak 57 lokasi.
Sedangkan data yang diambil dari Kepolisian Resort Kabupaten Ponorogo, pada tahun 2008 tercatat sebanyak 70 kejadian kecelakaan dari 549 kejadian kecelakaan yang terjadi diperkirakan karena kondisi jalan yang gelap. Dari 70 kejadian tersebut sebanyak 53 kejadian diperkirakan tidak tersedia lampu penerangan jalan. Akibat dari kejadian tersebut dicatat sebanyak 8 korban meninggal dunia, 7 korban luka berat dan 112 korban luka ringan.
Terkait dengan penyediaan lampu penerangan jalan harus memperhatikan kemampuan produksi PT. PLN dalam menyediakan daya listrik dan kemampuan Pemerintah Kabupaten Ponorogo dalam menyediakan dana. Pasokan daya PT. PLN mencapai 19.980 MW dengan rata-rata beban puncak mencapai 19.389 MW. Dari data tersebut terlihat daya tersisa mencapai 591 MW. Untuk mengantisipasi kenaikan kebutuhan listrik yang terus meningkat, PT. PLN melakukan proyek percepatan 10.000 MW melalui pembangunan pembangkit-pembangkit listrik yang baru.
Sistem penagihan rekening listrik lampu penerangan jalan yang ditetapkan oleh PLN dibagi dalam dua kategori. Lampu penerangan jalan yang telah termeterisasi tagihan rekening disesuaikan dengan jumlah daya yang dikonsumsi. Sedangkan lampu penerangan jalan yang belum termeterisasi berdasarkan daya kontrak pelanggan (taksasi).
Dengan pertimbangan tersebut dirasa perlu untuk melakukan penelitian dalam penentuan prioritas penataan lampu penerangan jalan di Kabupaten Ponorogo. Identifikasi dan inventarisasi lampu penerangan jalan diperlukan untuk mengetahui kondisi eksisting lampu penerangan jalan di ruas jalan tersebut. Kondisi eksisting tersebut berkaitan dengan standar SNI 7391-2008 terutama dasar-dasar perencanaan pemasangan lampu penerangan jalan.
Hasil dari identifikasi, inventarisasi dan kriteria pemasangan lampu penerangan jalan digunakan untuk menentukan prioritas penataan lampu penerangan jalan. Hal tersebut harus memperhitungkan kriteria-kriteria dan sub-sub kriteria-kriteria yang didapatkan dari literatur dan expert yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan lampu penerangan jalan di wilayah di Kabupaten Ponorogo.
2. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Infrastruktur
Menurut Kodoatie (2003), infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan gedung dan fasilitas publik. Infrastruktur dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi.
Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sistem infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan, instalasi yang dibangun dan dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat. Definisi teknik juga memberikan spesifikasi sistem infrastuktur yaitu aset fisik yang dirancang dalam sistem sehingga memberikan pelayanan publik yang penting.
2.2. Lampu Penerangan Jalan
Menurut Guo (2008), tujuan dari penerangan jalan adalah untuk meningkatkan kemanan, kecepatan dan kenyamanan pengguna jalan. Luminansi permukaan jalan digunakan sebagai parameter kinerja lampu penerangan jalan. Monitoring luminansi permukaan jalan merupakan hal yang sulit dalam praktek karena banyak faktor yang mempengaruhi pengukuran luminansi, seperti perubahan kondisi cuaca, gangguan kondisi jalan dan kendaraan yang lewat.
Menurut SNI 7391-2008 mengenai Spesifikasi Penerangan Jalan di Kawasan Perkotaan, pengertian lampu penerangan jalan adalah bagian dari bangunan pelengkap jalan yang dapat diletakkan atau dipasang di kiri atau kanan jalan dan atau ditengah (di bagian median jalan) yang berfungsi untuk menerangi jalan maupun lingkungan di sekitar jalan yang diperlukan termasuk persimpangan jalan (intersection), jalan layang (interchange, overpass, fly over), jembatan dan jalan di bawah tanah (underpass, terowongan).
Lampu penerangan jalan yang dimaksud adalah suatu unit lengkap yang terdiri dari sumber cahaya, elemen optik, elemen elektrik dan struktur penopang serta pondasi tiang lampu.
Dalam SNI 7391-2008 dijelaskan fungsi-fungsi penerangan jalan untuk menghasilkan kekontrasan antara obyek dan permukaan jalan, sebagai alat bantu navigasi pengguna jalan, meningkatkan keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan, khususnya pada malam hari, mendukung keamanan lingkungan, memberikan keindahan lingkungan jalan. Sedangkan dasar perencanaan penerangan jalan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. volume lalu lintas, baik kendaraan maupun lingkungan yang bersinggungan seperti pejalan kaki, pengayuh sepeda, dan lain-lain
b. tipikal potongan melintang jalan, situasi (lay out) jalan dan persimpangan jalan c. geometri jalan, seperti alinyemen horisontal, alinyemen vertikal
d. tekstur perkerasan dan jenis perkerasan yang mempengaruhi pantulan cahaya lampu penerangan e. pemilihan jenis dan kualitas sumber cahaya/lampu, data fotometrik lampu dan lokasi sumber listrik f. tingkat kebutuhan, biaya operasi, biaya pemeliharaan, agar perencanaan sistem lampu penerangan
efektif dan ekonomis
g. rencana jangka panjang pengembangan jalan dan pengembangan daerah sekitarnya h. data kecelakaan dan kerawanan di lokasi
Adapun beberapa tempat yang memerlukan perhatian khusus dalam perencanaan penerangan jalan antara lain sebagai berikut :
a. lebar ruang milik jalan yang bervariasi dalam satu ruas jalan b. tempat-tempat dimana kondisi lengkung horisontal (tikungan) tajam c. tempat yang luas seperti persimpangan, interchange, tempat parkir d. jalan-jalan berpohon
e. jalan dengan lebar median yang sempit , terutama untuk pemasangan lampu di bagian median f. jembatan sempit/panjang, jalan layang dan jalan bawah tanah (terowongan)
g. tempat-tempat lain dimana lingkungan jalan banyak berinterferensi dengan jalannya
Penempatan lampu penerangan jalan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kemerataan pencahayaan, keselamatan dan keamanan bagi pengguna jalan, pencahayaan yang lebih tinggi di area tikungan atau persimpangan dibandingkan pada bagian jalan yang lurus dan petunjuk (guide) yang jelas bagi pengguna jalan dan pejalan kaki. Sehingga dikenal sistem penempatan parsial dan menerus. Lampu penerangan jalan harus memberikan adaptasi yang baik bagi penglihatan pengendara, sehingga efek kesilauan dan ketidaknyamanan penglihatan dapat dikurangi.
2.3. Proses Hirarki Analitik
Menurut Kosasi (2002), sumber kerumitan masalah keputusan bukan hanya dikarenakan faktor ketidakpastian atau ketidaksempurnaan informasi saja. Namun masih terdapat penyebab lainnya seperti banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap pilihan-pilihan yang ada. Dengan beragamnya kriteria pemilihan dan jika pembuatan keputusan yang lebih dari satu merupakan suatu bentuk penyelesaian masalah yang sangat kompleks. Adapun metode yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan multikriteria tersebut dikenal dengan metoda proses hirarki analitik (Analytic Hierarchy Process - AHP).
Pada dasarnya metode AHP merupakan suatu teori umum tentang suatu konsep pengukuran. Metode ini digunakan untuk menemukan suatu skala rasio baik dari perbandingan pasangan yang bersifat diskrit maupun kontinu. Perbandingan-perbandingan ini dapat diambil dari ukuran aktual atau dari suatu skala dasar yang mencerminkan kekuatan perasaan dan prefensi relatif.
Metode AHP memiliki perhatian khusus tentang penyimpangan dari konsistensi, pengukuran dan unsur kebergantungan di dalam dan di antara kelompok elemen strukturnya. Melalui sistem hirarki ini suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dapat didekomposisikan atau diformulasikan kedalam kelompok-kelompok atau bagian-bagian yang lebih sempit. Kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki.
Suatu tujuan yang bersifat umum dapat dijabarkan dalam beberapa sub tujuan yang lebih terperinci dan dapat menjelaskan maksud tujuan umum. Penjabaran ini dapat dilakukan terus hingga akhirnya diperoleh tujuan yang bersifat operasional. Pada hirarki terendah inilah dilakukan proses evaluasi atas alternatif-alternatif yang merupakan ukuran dari pencapaian tujuan utama dan pada hirarki terendah ini dapat ditetapkan dalam satuan apa suatu kriteria diukur.
Metode AHP yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty dapat memecahkan masalah yang kompleks, dimana kriteria yang diambil cukup banyak, struktur masalah yang belum jelas, ketidakpastian persepsi pembuat keputusan serta ketidakpastian tersedianya data statistik yang akurat. Adakalanya timbul masalah keputusan yang sulit untuk diukur secara kuantitatif dan perlu diputuskan secepatnya dan sering disertai dengan variasi yang beragam dan rumit sehingga data tersebut tidak mungkin dapat dicatat secara numerik karena data kualitatif saja yang dapat diukur yaitu berdasakan pada persepsi, preferensi, pengalaman dan intuisi.
Penentuan prioritas yang merupakan unsur penting dan merupakan bagian penting dari penggunaan metode AHP adalah :
a. Decomposition
Setelah persoalan didefinisikan, maka perlu dilakukan decomposition yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut. Terdapat dua jenis hirarki yaitu lengkap dan tidak lengkap. Dalam suatu hirarki lengkap, semua elemen yang ada pada
suatu tingkat memiliki semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya dan jika yang terjadi adalah sebaliknya maka merupakan hirarki tidak lengkap.
b. Comparative judgment
Prinsip ini memberikan penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. Hasil dari penilaian ini akan disajikan dalam bentuk matriks yang selanjutnya dinamakan matriks pairwise comparison.
c. Synthesis of priority
Dari setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari eigenvectornya untuk mendapatkan local priority. Hal ini karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesa diantara local priority. Prosedur melakukan sintesa berbeda menurut bentuk hirarki. Pengurutan elemen-elemennya menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa dinamakan priority setting.
d. Logical consistency
Konsistensi memiliki dua makna. Pertama, pada obyek-obyek serupa yang dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi
3. METODOLOGI 3.1. Jenis Penelitian
Penelitian dengan topik ”Analisa Penentuan Prioritas Penataan Lampu Penerangan Jalan Umum di Wilayah Kabupaten Ponorogo” ini bertujuan untuk mengetahui kondisi eksisting aset penerangan jalan berdasarkan acuan standar penerangan jalan. Selanjutnya membuat prioritas penataan penerangan jalan berdasarkan kriteria-kriteria dalam penetapan prioritasnya. Penelitian meliputi penyelidikan dan penjelasan keadaan masa lalu, melalui pengumpulan data sekunder dan primer, analisis, serta interpretasi sesuai kriteria pada masing-masing permasalahan yang ditetapkan dalam penelitian.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada aset lampu penerangan jalan Kabupaten Ponorogo yang dikelola oleh Bidang Kebersihan dan Pertamanan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Ponorogo. Lokasi penelitian dilaksanakan di wilayah Kabupaten Ponorogo Propinsi Jawa Timur.
3.3. Fokus Penelitian
Penelitian ini berdasarkan permasalahan dan tujuan yang ada, peneliti memandang perlu menggunakan fokus penelitian untuk membatasi area atau bidang penelitian. Penelitian ini dimulai dengan melakukan pengumpulan literatur/referensi (studi literatur) yang berhubungan dengan permasalahan yang diambil dalam penelitian ini. Kemudian dilakukan proses pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini yang berupa data sekunder dan data primer.
Tahap selanjutnya melakukan penyusunan kriteria dalam penentuan prioritas penataan lampu penerangan jalan di wilayah Kabupaten Ponorogo. Penataan lampu penerangan jalan lebih ditekankan pada pemasangan lampu penerangan jalan. Adapun analisis multi kriteria adalah analisa yang dipakai untuk menentukan pilihan dengan menggunakan metoda penilaian dan pembobotan terhadap beberapa kriteria yang mempengaruhi pengambil keputusan dalam membuat keputusan. Salah satu analisa multikriteria yang dipakai adalah Analitical Hierarchy Process (AHP).
3.4. Lokasi Penelitian
Berdasarkan data kecelakaan lalu lintas yang diperoleh dari Kepolisian Resort Ponorogo, terdapat beberapa ruas jalan yang perlu lampu penerangan jalan. Ruas-ruas jalan tersebut dapat dilihat pada tabel 1 ntuk menentukan alternatif prioritas penataan lampu penerangan jalan.
Tabel 1. Pemilihan ruas jalan meliputi panjang, lebar, jumlah kecelakaan dan kelas jalan.
No Ruas Jalan Panjang (km) Lebar (m) Kecelakaan Kelas Jalan
1 Batas Kab. Madiun – Ponorogo 5,23 8,00 9 IIIA
2 Kotalama – Jenangan 7,70 6,00 7 IIIC
3 Jetis – Bungkal 8,80 4,50 6 IIIC
4 Ponorogo – Somoroto 4,44 7,00 5 IIIB
No Ruas Jalan Panjang (km) Lebar (m) Kecelakaan Kelas Jalan
6 Badegan – Biting 4,40 6,00 1 IIIB
7 Dengok – Bibis 7,29 6,00 4 IIIB
8 Bibis – Sawoo 10,24 6,00 3 IIIB
9 Sawoo – Batas Kab. Trenggalek 10,54 4,50 1 IIIB
10 Dengok – Balong 7,50 6,00 4 IIIB
11 Balong – Slahung 10,25 6,00 2 IIIB
12 Slahung – Batas Kab. Pacitan 6,63 6,00 1 IIIB
13 Ponorogo – Siman 7,50 6,00 8 IIIC
14 Bulu – Mlarak – Brahu 10,50 3,50 3 IIIC
15 Menang – Jambon 4,50 4,00 2 IIIC
16 Bangunsari – Kalibening 12,50 4,50 4 IIIC
17 Bungkal – Ngrayun 10,10 4,00 2 IIIC
18 Somoroto - Sampung 9,50 4,50 1 IIIC
19 Jeruksing – Pulung 14,50 4,50 3 IIIC
20 Pulung – Sooko 9,80 4,50 1 IIIC
Sumber : Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Ponorogo, Kepolisian Resort Kabupaten Ponorogo 3.5. Penyusunan Model Hirarki
Penyusunan model hirarki dibuat berdasarkan literatur, kuesioner dan wawancara yang terdiri dari 3 level dimana tujuan utama penelitian pada level 1. Level 2 adalah kriteria penataan lampu penerangan jalan, level 3 adalah sub kriteria dan level 4 adalah alternatif penataan lampu penerangan jalan. Gambar 1 menunjukkan model hirarki prioritas penataan lampu penerangan jalan.
Gambar 1. Model Hirarki Prioritas Penataan Lampu Penerangan Jalan di Wilayah Kabupaten Ponorogo 3.6. Pembobotan Tingkat Kepentingan
Pembobotan tingkat kepentingan dengan analisa multikriteria adalah analisa yang dipakai untuk menentukan pilihan dengan menggunakan metode penilaian dan pembobotan terhadap beberapa kriteria yang mempengaruhi pengambil keputusan dalam membuat keputusan.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat matriks berpasangan, yaitu elemen-elemen dibandingkan berpasangan terhadap kriteria yang telah ditentukan. Dalam mengisi matriks berpasangan digunakan skala banding untuk menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen di atas yang lainnya.
Untuk memperoleh prioritas menyeluruh bagi suatu persoalan keputusan maka matriks perbandingan berpasangan harus disatukan atau disintesa dengan melakukan pembobotan dan penjumlahan untuk menghasilkan bilangan tunggal yang menunjukkan prioritas setiap elemen. Selanjutnya di dalam pengambilan keputusan, perlu didasarkan atas pertimbangan tingkat konsistensi yang wajar, dimana nilai rasio konsistensi yang wajar harus digunakan pada proses analisa multikriteria ini adalah < 0,10. Apabila lebih dari 0,10 maka perlu dilakukan kuesioner ulang dan menentukan matriks perbandingan berpasangan.
4. HASIL DAN DISKUSI
Berdasarkan metode pengambilan keputusan secara berkelompok, pengambilan penilaian kuisioner melalui cara diskusi kelompok. Expert Judgment dalam pengambilan keputusan merundingkan setiap penilaian perbandingan berpasangan. Perbedaan pendapat dimungkinkan, namun langkah pencapaian konsensus bersama lebih diutamakan berdasarkan pada pemahaman yang memiliki persamaan, sehingga expert akan menghasilkan sebuah nilai untuk sebuah penilaian perbandingan. Persamaan pemahaman mengalami kesulitan pada saat pengambilan keputusan yang menyajikan data kecamatan dan bukan data ruas jalan. Data disajikan untuk setiap kecamatan dikarenakan tidak dapat dipisahkan menurut ruas jalan. Sehingga pengambilan kuisioner dilakukan secara berulang karena tidak dihasilkan tingkat konsistensi yang sesuai. Expert judgment yang digunakan merupakan pegawai Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Ponorogo, sehingga memiliki pemahaman yang cukup dalam pengambilan keputusan. Expert tersebut antara lain Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Ponorogo, Kepala Bagian Sekretariat Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Ponorogo, Kepala Bidang Kebersihan & Pertamanan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Ponorogo, Kepala Seksi Penerangan Jalan Umum Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Ponorogo dan Staf Seksi Penerangan Jalan Umum Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Ponorogo.
Pengukuran tingkat kepentingan kriteria ini berdasarkan skala penilaian yang diperoleh dari jawaban responden pada lembar kuisioner yang telah disebarkan. Matriks perbandingan berpasangan merupakan langkah pertama dalam menetapkan prioritas elemen-elemen pada suatu persoalan pengambilan keputusan, dimana setiap elemen dibandingkan secara berpasangan terhadap kriteria yang telah ditentukan. Pengisian matriks perbandingan berpasangan menggunakan skala penilaian untuk menggambarkan tingkat relatif kepentingan suatu elemen terhadap elemen lainnya. Skala penilaian/perbandingan bernilai 1 sampai dengan 9 yang ditetapkan sebagai pertimbangan dalam perbandingan pasangan elemen-elemen yang sejenis untuk setiap tingkat hirarki terhadap suatu kriteria yang berada setingkat di atasnya.
Perhitungan matriks perbandingan berpasangan disusun berdasarkan kriteria-kriteria : gambaran jalan, rencana pengembangan wilayah, kecelakaan lalu lintas, wilayah administrasi, teknis lampu penerangan jalan dan kriteria finansial. Tahap-tahap yang dilakukan mulai dari pembuatan matriks perbandingan berpasangan sampai dengan penentuan bobot prioritas kriteria dan penentuan nilai konsistensi.
Berdasarkan hasil perhitungan dapat dilihat bahwa kriteria gambaran jalan menduduki rangking pertama dengan bobot kepentingan yang paling tinggi yaitu sebesar 0,348. Urutan kedua adalah kriteria rencana pengembangan wilayah dengan bobot kepentingan 0,246. Selanjutnya adalah kriteria finansial dengan bobot kepentingan 0,198, kecelakaan lalu lintas dengan bobot kriteria 0,110, teknis lampu penerangan jalan dengan bobot kepentingan 0,058. Sedangkan rangking terakhir merupakan kriteria wilayah administrasi dengan bobot kepentingan 0,040.
Tabel 2. Matriks Normalisasi Perbandingan Berpasangan
TUJUAN GJ RPW LALIN WA TL FINAN Bobot Ranking
GJ 0,382 0,467 0,345 0,261 0,286 0,346 0,348 1 RPW 0,191 0,233 0,259 0,217 0,229 0,346 0,246 2 LALIN 0,096 0,078 0,086 0,174 0,171 0,058 0,110 4 WA 0,064 0,047 0,022 0,043 0,029 0,035 0,040 6 TL 0,076 0,058 0,029 0,087 0,057 0,043 0,058 5 FINAN 0,191 0,117 0,259 0,217 0,229 0,173 0,198 3
Sumber : Pengolahan data
Keterangan : GJ : Gambaran Jalan
RPW : Rencana Pengembangan Wilayah LALIN : Kecelakaan Lalu Lintas
WA : Wilayah Administrasi TL : Teknis Lampu Penerangan FINAN : Finansial
Kriteria gambaran jalan menghasilkan prioritas untuk setiap sub kriteria seperti dapat dilihat pada tabel 3. Bobot tertinggi dimiliki oleh sub kriteria Kelas Jalan sebesar 0,450.
Tabel 3. Matriks Bobot Kriteria Gambaran Jalan GJ JP PMJ KJ KlsJ JJ Bobot Ranking JP 1,000 3,000 0,250 0,333 5,000 0,143 3 PMJ 0,333 1,000 0,143 0,167 3,000 0,068 4 KJ 4,000 7,000 1,000 2,000 8,000 0,450 1 KlsJ 3,000 6,000 0,500 1,000 7,000 0,302 2 JJ 0,200 0,333 0,125 0,143 1,000 0,037 5 Jumlah 8,533 17,333 2,018 3,643 24,000 Sumber : Pengolahan data
Keterangan : JP : Jenis Perkerasan
PMJ : Potongan Melintang Jalan KJ : Kelas Jalan
KlsJ : Klasifikasi Jalan JJ : Jumlah Jembatan
Demikian pula untuk kriteria pengembangan wilayah didapatkan hasil seperti terlihat pada tabel 4. Sub kriteria pada kriteria ini meliputi potensi ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk. Bobot tertinggi sebesar 0,633 dimiliki oleh potensi ekonomi.
Tabel 4. Matriks Bobot Kriteria Rencana Pengembangan Wilayah
RPW PE PertE JPen Bobot Ranking
PE 1,000 3,000 5,000 0,633 1
PertE 0,333 1,000 3,000 0,260 2
JP 0,200 0,333 1,000 0,106 3
Jumlah 1,533 4,333 9,000 Sumber : Pengolahan data
Keterangan : PE : Potensi Ekonomi PertE : Pertumbuhan Ekonomi JPen : Jumlah Penduduk
Kriteria kecelakaan lalu lintas terdiri dari sub kriteria jumlah kecelakaan dan lokasi rawan kecelakaan. Bobot tertinggi dimiliki oleh lokasi rawan kecelakaan sebesar 0,833.
Tabel 5. Matriks Bobot Kriteria Kecelakaan Lalu Lintas
LALIN JK LRK Bobot Ranking
JK 1,000 0,200 0,167 2
LRK 5,000 1,000 0,833 1
Jumlah 6,000 1,200 Sumber : Pengolahan data
Keterangan : JK : Jumlah kecelakaan LRK : Lokasi rawan kecelakaan
Kriteria wilayah administrasi juga memiliki dua sub kriteria yaitu sub kriteria lokasi pelayanan publik dan perbatasan wilayah. Lokasi pelayanan publik antara lain kantor-kantor pemerintah, sekolah dan tempat-tempat pelayanan umum yang memungkinkan keramaian di malam hari. Perbatasan wilayah antara lain perbatasan antar kecamatan, kelurahan atau desa, kabupaten dan propinsi. Bobot tertinggi dimiliki oleh sub kriteria lokasi pelayanan publik sebesar 0,833.
Tabel 6. Matriks Bobot Kriteria Wilayah Administrasi
WA PP PW Bobot Ranking
PP 1,000 5,000 0,833 1
PW 0,200 1,000 0,167 2
Jumlah 1,200 6,000 Keterangan : PP : Pelayanan Publik
Untuk kriteria teknis lampu penerangan jalan terdiri dari sub kriteria jenis sumber cahaya, kualitas sumber cahaya, fotometrik lampu dan bangunan lampu penerangan jalan. Bobot tertinggi dimiliki oleh sub kriteria kualitas sumber cahaya sebesar 0,582.
Tabel 7. Matriks Bobot Kriteria Teknis Lampu Penerangan Jalan
TL JSC KSC FL BLP Bobot Ranking JSC 1,000 0,333 3,000 5,000 0,253 2 KSC 3,000 1,000 6,000 8,000 0,582 1 FL 0,333 0,167 1,000 3,000 0,112 3 BLP 0,200 0,125 0,333 1,000 0,053 4 Jumlah 4,533 1,625 10,333 17,000 Sumber : Pengolahan data
Keterangan : JSC : Jenis Sumber Cahaya KSC : Kualitas Sumber Cahaya FL : Fotometrik Lampu
BLP : Bangunan Lampu Penerangan
Kriteria finansial terdiri dari sub kriteria penerimaan pajak penerangan jalan, biaya pemasangan lampu dan biaya rekening listrik. Bobot tertinggi dimiliki oleh sub kriteria penerimaan pajak penerangan jalan.
Tabel 8. Matriks Bobot Kriteria Finansial
FINAN PPJ BPL BRL Bobot Ranking
PPJ 1,000 5,000 3,000 0,633 1
BPL 0,200 1,000 0,333 0,106 3
BRL 0,333 3,000 1,000 0,260 2
Jumlah 1,533 9,000 4,333
Sumber : Pengolahan data
Keterangan : PPJ : Penerimaan PPJ
BPL : Biaya Pemasangan Lampu BRL : Biaya Rekening Listrik
Hasil perhitungan setiap matriks kriteria kemudian dilanjutkan dengan perhitungan untuk setiap sub kriteria. Sehingga dihasilkan perhitungan matriks dari kriteria, sub kriteria hingga alternatif ruas jalan, kemudian diperoleh bobot untuk setiap ruas jalan. Bobot tersebut mencerminkan prioritas penataan lampu penerangan jalan seperti terlihat pada tabel 9.
Tabel 9. Hasil perhitungan urutan prioritas No Urut
Jalan GJ RPW LALIN WA TL FINAN Bobot Prioritas
1 0.04119 0.04207 0.00631 0.00107 0.00582 0.02242 0.11889 1 2 0.00912 0.02872 0.00477 0.00492 0.00190 0.01707 0.06651 3 3 0.00912 0.01410 0.00397 0.00314 0.00289 0.00646 0.03968 14 4 0.02513 0.01324 0.00245 0.00071 0.00725 0.01457 0.06336 4 5 0.02376 0.00295 0.00273 0.00062 0.00260 0.00573 0.03840 15 6 0.01371 0.00197 0.00098 0.00038 0.00106 0.00965 0.02775 20 7 0.02411 0.00559 0.00895 0.00188 0.01106 0.00576 0.05733 6 8 0.02684 0.01156 0.00528 0.00169 0.00581 0.00478 0.05596 7 9 0.01776 0.01033 0.00514 0.00138 0.00143 0.00892 0.04495 12 10 0.02292 0.01065 0.00400 0.00053 0.00129 0.00720 0.04659 9 11 0.02617 0.02418 0.01888 0.00263 0.00203 0.00707 0.08095 2
12 0.01599 0.00375 0.00301 0.00102 0.00058 0.00760 0.03195 16 13 0.00940 0.00544 0.01174 0.00582 0.00084 0.01486 0.04810 8 14 0.01007 0.01329 0.00293 0.00503 0.00105 0.01145 0.04383 13 15 0.01054 0.00425 0.00185 0.00147 0.00272 0.00810 0.02893 18 16 0.01374 0.01315 0.00276 0.00153 0.00066 0.01347 0.04530 10 17 0.01047 0.01201 0.00749 0.00153 0.00429 0.00933 0.04512 11 18 0.01110 0.00733 0.00375 0.00238 0.00159 0.00457 0.03071 17 19 0.01628 0.01769 0.01187 0.00049 0.00126 0.01030 0.05790 5 20 0.01037 0.00363 0.00157 0.00154 0.00236 0.00831 0.02779 19 5. KESIMPULAN
Hasil dari observasi lapangan,Jumlah titik lampu penerangan jalan pada seluruh ruas jalan sebanyak 812 titik lampu. Jenis sumber cahaya yang terpasang pada ruas jalan dalam penelitian ini terdiri dari :
o HPL-N sebanyak 58%,
o tabung fluorecent sebanyak 12,68%, o SON sebanyak 9,24%,
o solar cell sebanyak 0,37%,
o lampu selain standar sebanyak 19,70%.
Ditinjau dari kualitas sumber cahaya yang digunakan terdapat : o 78 titik lampu memiliki kualitas sumber cahaya baik, o 471 titik lampu memiliki kualitas sumber cahaya sedang, o 263 titik lampu memiliki kualitas sumber cahaya kurang. Hasil observasi di lokasi penelitian terdapat :
o 454 titik lampu atau sekitar 55,77% menggunakan pemasangan lampu secara katenasi, o 282 titik lampu atau sekitar 34,64% menggunakan tiang yang tidak standar (tiang non SNI), o 78 titik lampu atau sekitar 9,58% menggunakan tiang yang sudah sesuai dengan standar.
Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan prioritas-prioritas penataan lampu penerangan jalan untuk ruas jalan dalam penelitian seperti terlihat dalam tabel 2.
Tabel 2. Urutan prioritas ruas jalan penelitian.
Prioritas Ruas Jalan Bobot
1 Batas Kab. Madiun – Ponorogo 0.11889
2 Balong – Slahung 0.08095 3 Kotalama – Jenangan 0.06651 4 Ponorogo – Somoroto 0.06336 5 Jeruksing – Pulung 0.05790 6 Dengok – Bibis 0.05733 7 Bibis – Sawoo 0.05596 8 Ponorogo – Siman 0.04810 9 Dengok – Balong 0.04659 10 Bangunsari – Kalibengin 0.04530 11 Bungkal – Ngrayun 0.04512
12 Sawoo – Batas Kab. Trenggalek 0.04495
13 Bulu – Mlarak – Brahu 0.04383
14 Jetis – Bungkal 0.03968
15 Somoroto – Badegan 0.03840
16 Slahung – Batas Kab. Pacitan 0.03195
17 Somoroto - Sampung 0.03071
18 Menang – Jambon 0.02893
19 Pulung – Sooko 0.02779
20 Badegan – Biting 0.02775
6. REFERENSI
Dinas PU Kabupaten Ponorogo (2006), “Data Base PJU Tahap I”, CV. Cahaya Mandiri, Surabaya Dinas PU Kabupaten Ponorogo (2007), “Data Base PJU Tahap II”, CV. Cahaya Mandiri, Surabaya
Guo, Liping (2008),”Intelegent Road Lighting Control System – Experiences, Measurement, and Lighting Control Strategies”, Helsinki University of Technology, Finland.
Hadi, Abdul, Pabla, A S, (1991), ”Sistem Distribusi Daya Listrik”, Cetakan Kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta Haryono, “Materi Kuliah Statistika Terapan”, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
Kadir, Abdul, (2005), “Distribusi dan Utilisasi Tenaga Listrik”, Cetakan Pertama, Universitas Indonesia Press, Jakarta
Kodoatie, Robert J., (2003),”Pengantar Manajemen Infrastruktur”, 1st edition, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Kosasi, Sandi, (2002),”Sistem Penunjang Keputusan (Decision Support System)”, 1st edition, Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta
Leong, KC, (2004), “The Essence of Asset Management”, 1st edition, UNDP-TUGI, Kuala Lumpur
Moertiadi, (1988), “Penerangan Jalan Raya”, Majalah Pekerjaan Umum No. 6/Th. XXII / September / 1988, hal. 7-12
NN, “Road Lighting in Developing Countries”, The Institution of Lighting Engineers, England
NN, “Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor : 2682 K/21/MEM/2008 tentang Rencana Umum Kelistrikan Nasional 2008 s.d. 2027”, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta Pujawan, I Nyoman (2009), “Ekonomi Teknik”, 2nd edition, Guna Widya, Surabaya
Ryer, Alexander D (1997), “Light Measurement Handbook”, International Light Inc., Newburyport
Saaty, Thomas L., (1993), ”Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin”, 2nd edition, PT. Gramedia, Jakarta
Saodang, Hamirhan, (2004), “Konstruksi Jalan Raya Buku 1 Geometrik Jalan”, 1st edition, Penerbit Nova, Bandung
Saodang, Hamirhan, (2005), “Konstruksi Jalan Raya Buku 2 Perancangan Perkerasan Jalan Raya”, 1st edition, Penerbit Nova, Bandung
Standar Nasional Indonesia (2006), “Spesifikasi Penerangan Jalan di Kawasan Perkotaan”, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta