• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEDOMAN NASIONAL TES DAN KONSELING HIV DAN AIDS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEDOMAN NASIONAL TES DAN KONSELING HIV DAN AIDS"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

P

EDOMAN

N

ASIONAL

T

ES

DAN

K

ONSELING

HIV

DAN

AIDS

K

EMENTERIAN

K

ESEHATAN

R

EPUBLIK

I

NDONESIA

2013

(2)
(3)

KATA

PENGANTAR

HIV-AIDS di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Telah banyak kemajuan yang dicapai oleh program seperti perkembangan sarana layanan terkait HIV yang telah merambah ke wilayah yang lebih luas di Indonesia sejak tahun 2005.Namun demikian, jumlah kasus dan ODHA masih cenderung terus meningkat.

Penggunaan obat ARVakan meningkatkan dampak positif pada tingkat kesehatan individu maupun di tingkat masyarakat, yaitu meningkatnya kualitas hidup ODHA dan terjadinya penurunan penularan HIV di masyarakat.Maka semakin banyak ODHA yang diobati maka semakin besar pula dampak manfaatnya dan akanmenuju “3 zero”, yaitu zero infeksi baru, zero kematian terkait AIDS, zero stigma dan diskriminasi.

Untuk dapat meningkatkan jangkauan pengobatan HIV diperlukan upaya untuk meningkatkan jumlah ODHA yang mengetahui statusnya secara lebih cepat atau lebih dini.Untuk diagnosis dan menemukan ODHA tersebut, maka pada awal program telah disusun pedoman Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS) atauvoluntary

HIV counseling and testing (VCT)yang disusul kemudian dengan pedoman konseling

dan tes HIV atas inisiatifpemberi layanan kesehatan dan konseling (TIPK) atau

Provider Initiated Testing and Counseling (PITC).

Pemutakhiran selalu diperlukan berdasarkan perkembangan pengetahuan dan teknologiterkiniguna memberikan pedoman yang semakin mudah diikuti oleh penggunanya.Oleh Karena itu maka kedua pedoman tersebut pada saat ini telah mengalami pemutakhiran.

Penghargaan disampaikan kepada timpemutakhiran dan para kontributor yang telah memberikan sumbang saran sehinggapedoman ini dapat diterbitkan. Semoga pedoman ini dapat bermanfaat.

Direktur Jendral PP & PL

Prof. dr. Tjandra Y. Aditama,

SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE NIP 195509031980121001

(4)

DAFTAR

ISI

KATA PENGANTAR ... I TIM EDITOR DAN KONTRIBUTOR ... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. DAFTAR ISI ... II

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN... 3

C. SASARAN ... 3

D. PRINSIP DASAR TES DAN KONSELING HIV ... 3

E. PENGERTIAN ... 4

BAB II. LAYANAN TES DAN KONSELING HIV ... 9

A. TES DAN KOSELING HIV DI FASILITAS LAYANAN KESEHATAN ... 11

B. TES DAN KOSELING HIV(TKHIV)MANDIRI ... 12

C. TES DAN KOSELING HIVBERGERAK ... 13

D. LAYANAN TES DAN KONSELING DALAM TATANAN KHUSUS ... 14

D.1. Tes dan Konseling HIV di TNI &POLRI ... 14

D.2. Tes dan Konseling HIV di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan 15 D.3. Tes dan Konseling HIV di Lingkungan Kerja (Perusahaan Swasta Dan BUMN) ... 15

D.4. Tes dan Konseling HIV Pada Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) dan Tenaga Kerja Indonesia Purna (TKI Purna) ... 16

D.5. Tes dan Konseling HIV terkait dengan Unit Transfusi Darah ... Error! Bookmark not defined. BAB III. PELAKSANAAN TES DAN KONSELING HIV ... 18

A. INFORMASI SEBELUM TES (PRA-TES)HIV DAN PERSETUJUAN PASIEN ... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. A.1. Sesi Informasi Pra-Tes Secara Kelompok ... 19

A.2. Sesi Informasi Pra-Tes Individual ... 21

A.3. Pemberian Informasi Pra Tes Pada Kelompok Khusus ... 21

A.4. Persetujuan Tentang Tes HIV (Informed Consent) ... 24

A.5. Penolakan Untuk Menjalani Tes HIV ... 25

B. PEMERIKSAAN LABORATORIUM HIV ATAU TES HIV ... 25

C. KONSELING PASCA TES HIV ... 29

BAB IV. KONSELING... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. A. PERAN KONSELING DALAM TES DAN KONSELING HIV ... 30 B. BERBAGAI JENIS KONSELING PADA LAYANAN HIV ... ERROR!BOOKMARK NOT DEFINED. B.1. Konseling Pra-Tes ... Error! Bookmark not defined. B.2. Konseling Pasca Tes HIV ... Error! Bookmark not defined. B.3. Konseling Kepatuhan (Adherence) ... Error! Bookmark not defined. B.4. Komunikasi Perubahan Perilaku ... Error! Bookmark not defined. B.5. Konseling Pencegahan Positif ... Error! Bookmark not defined. B.6. Konseling Gay, Waria, Lesbian, Pekerja Seks . Error! Bookmark not defined. B.7. Konseling HIV Pada Pengguna Napza ... Error! Bookmark not defined. B.8. Konseling Pasangan ... Error! Bookmark not defined. B.9. Konseling Keluarga... Error! Bookmark not defined.

(5)

B.10. Konseling Pada Klien/ pasien Dengan Gangguan Jiwa ... Error! Bookmark

not defined.

B.11. Konseling Pada Warga Binaan Pemasyarakatan ... Error! Bookmark not

defined.

B.12. Konseling Penyingkapan Status ...Error! Bookmark not defined. B.13. Konseling Paliatif dan Duka Cita ...Error! Bookmark not defined. B.14. Konseling Gizi ...Error! Bookmark not defined. B.15. Isu Gender dalam Konseling ...Error! Bookmark not defined.

C. MASALAH ETIK LAIN ...ERROR!BOOKMARK NOT DEFINED. C.1. Ketidakmampuan Untuk Membuat Keputusan ... Error! Bookmark not

defined.

C.2. Kesesuaian dengan Budaya ...Error! Bookmark not defined. C.3. Konfidensialitas Bersama ...Error! Bookmark not defined. C.4. Pengendalian Infeksi ...Error! Bookmark not defined.

BAB V. RUJUKAN DAN TINDAK LANJUT PASCA TES HIV ... 48

A. RUJUKAN KE LAYANAN PDP DAN LAYANAN LAIN YANG DIBUTUHKAN ... 48

B. KELOMPOK DUKUNGAN ... 49

C. LAYANAN PSIKIATRIK ... 49

BAB VI. PENCATATAN DAN PELAPORAN ... 50

A. PENCATATAN ... 50

B. PELAPORAN ... 51

B.1. Sistem Informasi HIV-AIDS dan IMS ... 52

B.2. Alur Pelaporan ... 52

B.3. Proses Pelaporan ... 53

BAB VII. BIMBINGAN TEKNIS, PENINGKATAN MUTU DAN JAMINAN MUTU LAYANAN TES HIV DAN KONSELING ... 55

A. BIMBINGAN TEKNIS ... 55

B. PENINGKATAN MUTU DAN JAMINAN MUTU... 55

BAB VIII. JEJARING KONSELOR HIV ... 56

A. PELATIHAN,SERTIFIKASI DAN REGISTRASI ... 57

B. DUKUNGAN BAGI KONSELOR HIV ... 59

BAB IX. PENUTUP ... 61

LAMPIRAN ... 62

A. STRATEGI TES HIV ...ERROR!BOOKMARK NOT DEFINED. B. PANDUAN KOMUNIKASI ... 62

B.1. Penjelasan cara penularan HIV ... 62

B.2. Penawaran Tes HIV sebagai Diagnostik ... 62

B.3. Penawaran tes HIV secara rutin ... 63

B.4. Memberikan informasi penting HIV ... 64

B.5. Penjelasan prosedur untuk menjamin konfidensialitas ... 64

B.6. Meyakinkan kesediaan pasien untuk menjalani tes dan meminta persetujuan pasien (informed consent)... 64

B.7. Informasi Tambahan ... 65

B.8. Konseling Penyampaian Hasil ... 66

B.9. Pemberian edukasi dan konseling IMS ... 69

B.10. Pengurangan Dampak Buruk bagi PENASUN ... 70

C. TANDA KLINIS KEMUNGKINAN INFEKSI HIV ... 72

(6)

E. FORMULIR PENCATATAN DAN PELAPORAN ... 76

E.1. Formulir 1: Persetujuan Tes/Tes ... 77

E.2. Formulir 2: Catatan Kunjungan Harian Klien Konseling dan Tes HIV ... 78

E.3. Formulir 3: Formulir KTS ... 79

E.4. Formulir 4: Formulir TIPK ... 82

E.5. Formulir 4: Persetujuan Tes ... Error! Bookmark not defined. E.6. Formulir 5 A: Rujukkan Permintaan Tes Anti HIV ... 83

E.7. Formulir 5 B: Pengambilan Hasil Tes Anti HIV Melalui Konseling Pasca Tes HIV 84 E.8. Formulir 6: Laporan Tes HIV Anti Bodi ... 85

E.9. Formulir 7: FORM RUJUKAN UNTUK KLIEN ... 86

E.10. Formulir 8: Pelayanan TKHIV ... Error! Bookmark not defined. E.11. Formulir 9: Persetujuan Melepas Informasi . Error! Bookmark not defined. E.12. Formulir 10: Laporan Bulanan ... 88

(7)

BAB I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sampai dengan akhir tahun 2012 jumah kasus HIV yang dilaporkan menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Dari hasil kajian eksternal yang dilakukan telah terlaporkan banyak kemajuan program yang nyata seperti misalnya jumlah layanan tes HIV bertambah secara nyata. Demikian juga layanan perawatan, dukungan dan pengobatan HIV hingga saat ini berjumlah lebih dari 300 layanan yang tersebar di seluruh provinsi dan aktif melaporkan kegiatannya.

Indonesia sudah menjadi negara urutan ke 5 di Asia paling berisiko HIV-AIDS, sehingga tidak bisa dihindari lagi bagi Indonesia untuk menerapkan kesepakatan tingkat internasional yang diikuti kebijakan nasional. Tes HIV merupakan “pintu masuk” yang terpenting pada layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan. Setelah sekian lama ketersediaan tes antibodi HIV di Indonesia, dan dengan peningkatan cakupan tes HIV di Indonesia ternyata masih juga belum cukup menjangkau masyarakat untuk mengetahui status HIV mereka. Tes dan Konseling HIV (TKHIV) akan mendorong seseorang dan pasangan untuk mengambil langkah pencegahan penularan infeksi HIV. Selanjutnya tes HIV akan memberikan kesempatan untuk mendapatkan layanan pencegahan termasuk pencegahan penularan dari ibu ke anak dan merupakan komponen penting untuk intervensi pengobatan ARV sebagai salah satu upaya pencegahan seperti pengobatan dini pada pasangan serodiskordan, sehingga peningkatan cakupan tes HIV pada pasangan sangat diperlukan. Di tingkat komunitas perluasan jangkauan layanan TKHIV akan “menormalkan” tes HIV itu sendiri dan mengurangi stigma dan diskriminasi terkait dengan status HIV dan tes HIV.

Pengetahuan akan status HIV juga diperlukan untuk memulai pengobatan ARV, namun sampai saat ini masih terlihat kesenjangan yang tinggi antara estimasi jumlah orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) dengan ODHA yang pernah menjangkau layanan HIV. Masih banyak ODHA yang belum terdiagnosis atau mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV. Mereka datang ke layanan kesehatan setelah timbul gejala dan menjadi simtomatik.

(8)

Keterlambatan dalam mengakses layanan tersebut akan mengakibatkan kurang efektifnya pengobatan ARV yang akan diberikan untuk mengurangi kesakitan dan kematian dan keterlambatan dalam mencegah penularan HIV kepada pasangannya.

Meskipun seperti dinyatakan di atas bahwa layanan TKHIV di Indonesia telah meningkat dengan pesat dan pelatihan terus dilaksanakan, cakupan layanannya masih perlu terus ditingkatkan di masyarakat, terutama cakupan pada populasi kunci dan populasi rentan terinfeksi HIV seperti kelompok pengguna Napza suntik, kelompok pekerja seks, kelompok laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki serta pasangan seksualnya.

Tes HIV merupakan prasyarat penegakan diagnosis, menghubungkan ODHA dengan layanan pencegahan dan perawatan secara lebih dini. Dengan diagnosis yang telah ditegakkan, maka akses terapi dapat dimulai. Oleh karena itu layanan terapi ARV harus tersedia di semua Rumah Sakit rujukan tingkat provinsi dan kabupaten/kota agar dapat dengan mudah diakses oleh ODHA yang membutuhkan.

Mulai tahun 2006, model utama layanan tes HIV adalah atas inisiatif klien atau yang dikenal dengan konseling dan tes HIV sukarela atau KTS. Pendekatan tersebut semata mengandalkan keaktifan klien dalam mencari layanan tes HIV di fasilitas kesehatan ataupun layanan tes HIV berbasis masyarakat. Namun ternyata cakupan dari layanan KTS tersebut terbatas karena masih adanya ketakutan akan stigma dan diskriminasi serta kebanyakan orang tidak merasa dirinya berisiko tertular HIV meskipun di daerah atau di kelompok prevalensi tinggi. Di samping perlunya memperluas jangkauan KTS, perlu ada pendekatan lain untuk meningkatkan cakupan guna mencapai keterjangkauan universal (universal access) pada pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV. Pendekatan lain tersebut adalah melalui tes HIV atas inisiatif pemberi layanan kesehatan dan konseling (TIPK) atau provider-initiated HIV testing and counselling (PITC) yang menjadi pendekatan utama di layanan kesehatan dan akan dapat meningkatkan cakupan tes HIV, memperbaiki akses ODHA pada layanan kesehatan yang meningkatkan kesempatan untuk layanan pencegahan HIV.

(9)

B. TUJUAN

Tujuan dari penerbitan buku pedoman ini adalah menyediakan pedoman dasar layanan tes dan konseling HIV.

C. SASARAN

Buku pedoman ini dimaksudkan untuk dipergunakan oleh para petugas layanan kesehatan dan kalangan yang lebih luas, seperti para penyusun kebijakan, para perencana program pengendalian HIV, para penyelenggara layanan kesehatan, LSM terkait layanan HIV

D. PRINSIP DASAR TES DAN KONSELING HIV

Tes HIV dan konseling merupakan pintu masuk utama pada layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan. Seperti telah diketahui bahwa:

 Mengetahui status HIV positif secara dini akan memaksimalkan kesempatan ODHA menjangkau pengobatan, sehingga akan sangat mengurangi kejadian penyakit terkait HIV dan menjauhkan dari kematian, serta dapat mencegah terjadinya penularan kepada pasangan seksual atau dari ibu ke bayinya.

 Pengobatan yang efektif akan mengurangi hingga 96% kemungkinan seseorang dengan HIV akan menularkan kepada pasangan seksualnya.

 Bila status HIV negatif maka dapat mempertahankan diri agar tetap negatif melalui upaya pencegahan seperti: perilaku seksual yang aman, penggunaan kondom, sirkumsisi, perilaku menyuntik yang aman, mengurangi pasangan seksual.

Dalam kebijakan dan strategi nasional telah dicanangkan konsep akses universal untuk mengetahui status HIV, akses terhadap layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dengan visi getting to zero, yaitu zero infeksi baru, zero diskriminasi dan zero kematian oleh karena AIDS. Tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed consent, confidentiality, counseling, correct testing and connection/linkage to prevention, care, and

treatment services). Prinsip 5C tersebut harus diterapkan pada semua model

(10)

a. Sama seperti pemeriksaan laboratorium lainnya, orang yang diperiksa HIV harus dimintai persetujuannya untuk pemeriksaan laboratorium. Mereka harus diberikan informasi atau pemahaman tentang proses tes HIV, layanan yang tersedia sesuai dengan hasil pemeriksaannya, dan hak mereka untuk menolak tes HIV tanpa mengurangi kualitas layanan lain yang dibutuhkan. Tes HIV secara mandatori tidak pernah dianjurkan, meskipun dorongan datang dari petugas kesehatan, pasangan, keluarga atau lainnya.

b. Seperti pemeriksaan laboratorium lainnya, tes HIV harus diperlakukan secara konfidensial. Artinya bahwa semua isi diskusi antara klien dan petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan klien. Konfidensialitas dapat dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan yang akan menangani pasien untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai indikasi penyakit pasien.

c. Layanan tes HIV harus dilengkapi dengan informasi pra-tes dan konseling pasca-tes yang berkualitas baik.

d. Penyampaian hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti standar nasional yang berlaku. Hasil tes harus dikomunikasikan sesegera mungkin kepada klien secara pribadi oleh tenaga kesehatan yang memeriksa.

e. Klien harus dihubungkan atau dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau.

E. PENGERTIAN

1. Tes/Pemeriksaan dan Konseling HIV (TKHIV), adalah suatu layanan untuk mengetahui adanya infeksi HIV di tubuh seseorang yang dapat diselenggarakan di layanan kesehatan formal atau klinik yang berbasis komunitas.

2. Tes HIV atas inisiatif pemberi layanan kesehatan dan konseling

(TIPK) yaitu tes HIV yang dianjurkan atau ditawarkan oleh petugas

kesehatan kepada pasien pengguna layanan kesehatan sebagai komponen standar layanan kesehatan di fasilitas tersebut. Tujuan umum dari TIPK tersebut adalah untuk melakukan diagnosis HIV secara lebih dini dan memfasilitasi pasien untuk mendapatkan pengobatan lebih dini pula, juga untuk memfasilitasi pengambilan keputusan klinis atau medis terkait

(11)

pengobatan yang dibutuhkan dan yang tidak mungkin diambil tanpa mengetahui status HIV nya.

3. Konseling dan tes HIV atas insiatif klien atau konseling dan tes HIV sukarela (KTS) adalah layanan tes HIV secara pasif. Pada layanan tersebut klien datang sendiri untuk meminta dilakukan tes HIV atas berbagai alasan baik ke fasilitas kesehatan atau layanan tes HIV berbasis komunitas. Layanan ini menekankan penilaian dan pengelolaan risiko infeksi HIV dari klien yang dilakukan oleh seorang konselor, membahas perihal keinginan klien untuk menjalani tes HIV dan strategi untuk mengurangi risiko tertular HIV. KTS dilaksanakan di berbagai macam tatanan seperti fasilitas layanan kesehatan, layanan KTS mandiri di luar institusi kesehatan, layanan di komunitas, atau lainnya.

4. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala penyakit akibat penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.

5. Ante Natal Care (ANC) adalah pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan terhadap ibu hamil untuk menjaga kehamilannya dengan tujuan mempersiapkan ibu hamil agar dapat bersalin dengan selamat dan memperoleh bayi yang sehat; deteksi dan antisipasi dini kelainan kehamilan serta deteksi dan antisipasi dini kelainan janin.

6. Anti Retroviral Therapy atau Terapi antiretroviral (ART) adalah pengobatan untuk menghambat kecepatan replikasi virus dalam tubuh orang yang terinfeksi HIV.

7. CD4 = Cluster of Differentiation 4 adalah suatu limfosit (T helper cell) yang merupakan bagian penting dari sel sistem kekebalan/imun.

8. ELISA atau Enzym Linked Immunosorbent Assay, adalah suatu pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV. 9. Edukasi kesehatan untuk HIV-AIDS dalam kelompok adalah diskusi

antara konselor dengan beberapa orang dalam jumlah terbatas, bertujuan untuk menyiapkan mereka mengikuti tes HIV.

10. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, sektor swasta dan/atau masyarakat 11. Hasil tes diskordan adalah istilah laboratorium yang merujuk kepada

hasil tes yang positif pada satu tes, namun negatif pada tes lainnya.

12. Hasil tes indeterminan adalah hasil tes HIV yang belum jelas positif atau negatif.

(12)

13. Human Immuno-deficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan AIDS.

14. Integrasi adalah pendekatan pelayanan yang membuat petugas kesehatan menangani klien secara utuh, menilai kedatangan klien berkunjung ke fasilitas kesehatan atas dasar kebutuhan klien, dan disalurkan kepada layanan yang dibutuhkannya ke fasilitas rujukan jika diperlukan.

15. Informed Consent (Permenkes No 290/Menkes/per/3/2008) adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut

16. Informed consent pada tes HIV adalah persetujuan akan suatu tindakan termasuk pemeriksaan laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien atau wali/pengampu setelah mendapatkan penjelasan yang dimengerti tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien/klien tersebut.

17. Jaminan mutu konseling adalah proses memantau dan menguatkan kualitas konseling. Di dalam konseling, kendali kualitas dilakukan bersamaan dengan supervisi dan dukungan konselor.

18. Jaminan mutu tes HIV adalah proses memantau dan meningkatkan kualitas pemeriksaan laboratorium HIV.

19. Klien adalah seseorang yang mencari atau mendapatkan pelayanan konseling dan atau tes HIV.

20. Konselor adalah pemberi pelayanan konseling yang telah dilatih keterampilan konseling HIV-AIDS dan dinyatakan mampu.

21. Konseling adalah proses dialog antara konselor dengan klien bertujuan jelas memberikan pertolongan, waktu, perhatian dan keahliannya, untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. 22. Konseling pasangan adalah konseling yang dilakukan terhadap pasangan

seksual klien ataupun pasangan tetap klien.

23. Kelompok Minor adalah mereka yang belum dewasa, anak dan mereka yang masih terbatas kemampuan berpikir dan menimbang.

24. Kelompok Khusus terdiri dari narapidana, pekerja seks, penyalahguna narkoba suntik, kaum migran, orang yang mengalami gangguan psikiatrik, dan lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki.

25. Konseling dan Tes HIV adalah layanan konseling dan tes darah untuk diagnosis HIV. Terdapat dua pendekatan yaitu 1) secara sukarela disingkat degan KTS dan 2) atas inisiatif petugas kesehatan atau tes HIV

(13)

atas inisiatif pemberi layanan kesehatan dan konseling yang disingkat TIPK

26. Konseling pasca tes adalah diskusi antara konselor dengan klien, bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien serta membantu klien beradaptasi dengan hasil tesnya.

27. Konseling pra Tes adalah dialog antara klien dan konselor dalam kerangka KTS yang bertujuan menyiapkan klien menjalani tes HIV dan membantu klien memutuskan akan tes atau tidak.

28. Konseling pra tes kelompok adalah komunikasi, edukasi dan informasi atau diskusi antara konselor dengan beberapa klien, biasanya antara 5 sampai 10 orang, bertujuan untuk menyiapkan mereka menjalani tes HIV. 29. Konseling gizi adalah layanan konseling mengenai kebutuhan gizi pada

ODHA, sesuai dengan perjalanan penyakit.

30. Orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah orang yang tubuhnya telah terinfeksi HIV.

31. Pasangan diskordan adalah pasangan seksual yang salah satunya adalah ODHA

32. Perawatan dan dukungan adalah layanan komprehensif yang disediakan untuk ODHA dan keluarganya. Termasuk di dalamnya konseling lanjutan, perawatan, diagnosis, terapi dan pencegahan infeksi oportunistik, dukungan sosioekonomi dan perawatan di rumah.

33. Periode jendela adalah suatu periode atau masa sejak orang terinfeksi HIV sampai tubuh orang tersebut membentuk antibodi melawan HIV yang cukup untuk dapat dideteksi dengan tes antibody HIV

34. Persetujuan layanan adalah persetujuan yang dibuat secara sukarela oleh seseorang untuk mendapatkan layanan.

35. Petugas psikososial atau petugas non medis adalah orang yang memberikan layanan di bidang psikologis dan sosial terkait dengan HIV-AIDS.

36. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) yang biasa di sebut

pevention of mother-to-child transmission (PMTCT) adalah pencegahan

penularan HIV dari ibu ke anak selama dalam kandungan, persalinan, maupun menyusui. Layanan PPIA bertujuan mencegah penularan HIV dari ibu kepada anak.

37. Refusal Consent adalah penolakan yang dilakukan oleh pasien/klien secara tertulis untuk tidak dilakukan prosedur (tes HIV, operasi, tindakan medis lainnya) bagi dirinya atau atas spesimen yang berasal dari dirinya. Juga termasuk persetujuan memberikan informasi tentang dirinya untuk suatu keperluan penelitian

(14)

38. Sistem Rujukan adalah pengaturan dari institusi pemberi layanan yang memungkinkan petugasnya mengirimkan klien/pasien, sampel darah atau informasi, memberi petunjuk kepada institusi lain atas dasar kebutuhan klien/pasien untuk mendapatkan layanan yang lebih memadai.

39. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan

40. Tes HIV adalah pemeriksaan terhadap antibodi yang terbentuk akibat masuknya HIV kedalam tubuh, atau pemeriksaan antigen yang mendeteksi adanya virus itu sendiri atau komponennya.

41. Tes cepat HIV paralel adalah Tes HIV dengan reagen yang berbeda yang dikerjakan bersamaan yang hasilnya didapat kurang dari 2 jam.

42. Tes cepat HIV serial adalah suatu tes HIV dengan reagen yang berbeda dilakukan satu sesudah lainnya yang hasilnya didapat kurang dari 2 jam. 43. Tes Ulang adalah tes HIV pada orang yang pernah melakukan tes

sebelumnya dan memperoleh hasilnya.

44. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi oleh bakteri tuberkulosa. TB seringkali merupakan infeksi yang menumpang pada mereka yang telah terinfeksi HIV.

45. Western Blot (WB) adalah suatu metode tes antibodi HIV, hanya digunakan untuk konfirmasi atau penelitian.

(15)

BAB II.

LAYANAN

TES

DAN

KONSELING

HIV

Layanan Tes dan Konseling HIV (TKHIV), adalah suatu layanan untuk mengetahui adanya infeksi HIV di tubuh seseorang. Layanan ini dapat diselenggarakan di layanan kesehatan formal atau klinik yang berbasis komunitas. Tes dan Konseling HIV didahului dengan dialog antara klien/pasien dan konselor/petugas kesehatan dengan tujuan meberikan informasi tentang HIV-AIDS dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan berkaitan dengan tes HIV.

Alasan melakukan tes HIV:

 Orang atau pasangan yang ingin mengetahui status HIV nya

 Ibu hamil yang masuk dalam program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA)

 Penegakan diagnosis klinis demi keperluan pasien

 Survei, surveilans, penelitian dan sebagainya

 Penapisan darah donor transfusi atau organ tubuh

 Tatalaksana profilaksis pasca pajanan (PPP) setelah terjadinya tusukan pada kecelakaan kerja okupasional.

 Prosedur pemeriksaan dalam kasus perkosaan

 Perintah pengadilan dari terdakwa dalam kasus kejahatan seksual dan sebagainya

Namun pada dasarnya ada 3 (tiga) tujuan tes HIV, yaitu: 1. Penapisan darah donor

2. Survei, surveilans untuk kepentingan program 3. Penegakan diagnosis klinis

Strategi pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk ketiga tujuan tersebut berbeda satu sama lain. Pada uji penapisan darah donor hanya dilakukan dengan Strategi I, pada surveilans dilaksanakan dengan strategi II dan untuk diagnosis dilaksanakan dengan strategi II atau III tergantung pada tanda klinis dan prevalensi di wilayah atau tempat tinggal pasien atau klien.

Tabel 1. Penggunaan Strategi Tes HIV berdasarkan Tujuan dan Prevalensi Setempat

Tujuan Tes Kondisi Klinis Prevalensi Setempat Strategi

Donor darah & transplantasi Semua prevalensi I

Surveilans >10% I

<10% II

Diagosis Simtomatik >10% II

(16)

Proses TKHIV dapat dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan, yaitu:

1. Tes HIV atas inisiatif pemberi layanan kesehatan dan konseling yang disingkat dengan TIPK

2. Konseling dan tes HIV secara sukarela yang disingkat dengan KTS Buku ini akan membahas tes HIV untuk keperluan diagnosis dengan pendekatan kesehatan masyarakat guna meningkatkan cakupan pengobatan ARV baik sebagai pencegahan maupun pengobatan dalam kerangka perawatan HIV yang berkesinambungan. Bahasan mencakup model layanan KTS, TIPK, juga model lain yang dikembangkan di Indonesia untuk memperluas layanan tes HIV. Perlu ditekankan bahwa TKHIV merupakan

“pintu rujukan” terpenting pada layanan pencegahan, perawatan,

dukungan, dan pengobatan dan menjadi salah satu mata rantai dalam jejaring Layanan HIV dan IMS Komprehensif Berkesinambungan yang terus dikembangkan.

Di Indonesia perlu dikembangkan model layanan TKHIV yang mampu menjangkau sasaran yang lebih luas dengan lebih cepat. Dengan menggunakan paduan model pendekatan tersebut, tempat layanan yang dikembangkan dengan lebih luas diharapkan mampu menjangkau populasi kunci dan memfasilitasi diagnosis HIV sebanyak mungkin dan sedini mungkin untuk dapat dilanjutkan dengan pengobatan ARV.

Berdasarkan tempat layanannya maka tes HIV dapat diselenggarakan di berbagai tempat, seperti:

1. Terintegrasi di fasilitas layanan kesehatan di mana pendekatan TIPK lebih dominan, baik yang menetap maupun yang bergerak.

2. Di suatu klinik mandiri yang terletak di komunitas dengan layanan kesehatan yang sangat terbatas yang cenderung dengan pendekatan KTS.

3. Layanan tes HIV untuk kelompok tatanan khusus yang diatur dengan pertaturan tertentu seperti: di kalangan TNI/POLRI; layanan bagi WBP di lapas/ rutan; layanan di tempat kerja; layanan bagi tenaga kerja migran.

(17)

Apapun model dan pendekatan yang diterapkan tes HIV selalu mengikuti alur atau algoritma yang sudah ditentukan dan harus disertai dengan sistem jaminan dan perbaikan mutu yang tidak hanya diterapkan pada pemeriksaan laboratorium saja tetapi juga perlu untuk proses konselingnya.

A. TES DAN KONSELING HIV DI FASILITAS LAYANAN KESEHATAN

HIV merupakan penyakit kronis dengan berbagai bentuk tampilan klinis sesuai dengan stadiumnya sehingga penawaran tes HIV di fasilitas kesehatan sebaiknya dilakukan sebagai standar pelayanan rutin di daerah epidemi meluas seperti Tanah Papua, Klinik TB, Klinik Bersalin, Klinik IMS, klinik yang melayani PS, penasun, waria dan populasi kunci lainnya.

Indonesia saat ini lebih menekankan penawaran tes HIV di fasilitas layanan kesehatan sebagai pendekatan yang rutin. Dengan demikian upaya untuk menjamin klien mendapatkan manfaat diagnosis dan intervensi dini dapat diperoleh, terutama untuk populasi kunci atau untuk penduduk di wilayah epidemi yang menyeluruh.

Penawaran tes HIV secara rutin di layanan kesehatan akan menormalkan (destigmatisasi) tes HIV dan tidak hanya mengandalkan motivasi individu dalam mencari layanan tes tersebut karena motivasi masyarakat untuk mencari layanan mungkin rendah mengingat masih adanya ketakutan akan stigma dan diskriminasi. Meskipun demikian, penting untuk ditekankan bahwa sekalipun berdasarkan inisiatif petugas, tes HIV tidak boleh dikembangkan menjadi tes mandatori atau memeriksa klien tanpa menginformasikannya.

Perubahan paradigma tersebut perlu terus didorong perluasan pelaksanaannya, terutama di layanan kesehatan yang banyak melayani pasien dengan masalah TB, IMS, layanan PTRM, LASS bagi penasun, layanan bagi populasi kunci lain (seperti PS, LSL, Waria) dan di KIA, karena pasien-pasien tersebut memiliki risiko tinggi untuk tertular HIV.

Pada situasi/wilayah tertentu, seringkali TIPK tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, misalnya klien tidak mengetahui adanya layanan atau klien enggan datang ke layanan kesehatan. Dalam situasi seperti tersebut, perlu dikembangkan upaya yang dapat memperluas cakupan seperti melalui kegiatan mobile clinic/klinik bergerak serta penjangkauan yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat atau komponen masyarakat lainnya.

(18)

Layanan TIPK di fasilitas layanan kesehatan meliputi penawaran tes HIV bagi ibu hamil, pasien TB, pasien IMS, pasien PTRM, klien LASS, di kesehatan anak dan tatanan klinik lain serta layanan kesehatan bagi populasi kunci. TIPK bagi ibu hamil merupakan strategi penting untuk pencegahan penularan dari ibu ke anak (PPIA). Di samping itu tes diagnostik HIV secara rutin sangat dianjurkan bagi semua pasien yang terdiagnosis atau suspek TB, mengingat TB masih menjadi penyebab kematian terbanyak pada ODHA sehingga mendorong pemberian ARV kepada pasien HIV dengan TB sedini mungkin.

Secara teknis, kotak berikut ini penjelasan penerapan TIPK di fasilitas layanan kesehatan, didasarkan atas tingkat epideminya.

Di tingkat epidemi meluas maka TIPK diterapkan pada semua pasien (dewasa, remaja dan anak) pengunjung fasilitas kesehatan, termasuk di layanan medis dan bedah; IMS; layanan untuk hepatitis; TB; baik di fasyankes pemerintah maupun swasta; rawat jalan dan rawat inap; layanan medis bergerak atau melalui penjangkauan; layanan antenatal; KB; kesehatan anak; layanan bagi populasi kunci; kesehatan reproduksi

Di tingkat epidemi terkonsentrasi maka TIPK diterapkan pada

 dewasa, remaja, dan anak pengunjung semua fasilitas layanan kesehatan dengan tanda dan gejala atau kondisi klinis/medis yang diduga terkait dengan infeksi HIV, termasuk TB;

 anak yang terpajan oleh HIV, atau anak yang terlahir dari ibu terinfeksi HIV serta bayi dan anak yang simtomatis.

 pasien IMS; hepatitis; TB; ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan di antenatal care dan populasi kunci (LSL, waria, PS dan penasun)

B. TES/PEMERIKSAAN DAN KOSELING HIV(TKHIV)MANDIRI

TKHIV dengan pendekatan sukarela (KTS) secara mandiri biasanya merupakan layanan tes HIV berbasis klinik yang terletak di tingkat komunitas sehingga lebih dekat menjangkau masyarakat yang membutuhkannya. Contoh layanan ini adalah klinik gereja di tempat terpencil, klinik TKHIV yang ada di lembaga swadaya masyarakat, pustu, polindes, dll.

Model KTS mandiri merupakan model yang dominan untuk mengetahui status HIV seseorang pada awal penerapan program HIV di Indonesia yang

(19)

pada saat tersebut layanan pengobatan ARV masih sangat terbatas. Selanjutnya model tersebut dikembangkan juga melekat di tatanan klinis. Model layanan tersebut menekankan kesukarelaan klien untuk datang mencari layanan dengan persetujuan (informed consent).

Strategi layanan terdiri beberapa komponen:

 konseling pra-tes dan pasca-tes,

persetujuan (informed consent) tertulis dan

 jaminan konfidensialitas.

 terhubung dengan layanan pengobatan

C. TES DAN KONSELING HIVBERGERAK

Layanan TKHIV dapat diberikan di berbagai tatanan di komunitas, baik dengan cara menjangkau klien potensial dan mendorong mereka datang ke layanan, atau dengan menyelenggarakan layanan ke tempat mereka berada (bergerak/mobile). Model layanan bergerak ini dapat bersifat sementara/temporer tetapi dilaksanakan secara berkala/reguler di tempat komunitas berada, seperti di tempat hiburan, bar, karaoke, sekolah, tempat kerja, di lokasi pekerja seks atau tempat “nongkrong” populasi kunci. Dapat pula diselenggarakan terkait dengan suatu perayaan atau pertunjukan. Model ini perlu dukungan dan berkoordinasi secara kuat dengan layanan penjangkauan (outreach) dan pendukung sebaya (peer educator - PE). Model tersebut harus pula terkait di dalam Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) yang dikembangkan di Indonesia.

Sangat dianjurkan untuk menyelenggarakan layanan TKHIV bergerak mengikuti sistem penjangkauan yang ada, misalnya mengikuti jadwal posyandu, jadwal pemeriksaan terhadap para polulasi kunci yang jauh dari layanan kesehatan dengan tim yang terdiri dari petugas kesehatan, konselor, teknisi laboratorium, tenaga administrasi dan pembantu umum. Tes HIV dilakukan dengan tes cepat setelah sesi informasi atau konseling pra-tes dan persetujuan klien. Hasilnya dikomunikasikan segera kepada klien/pasien diikuti dengan rujukan ke layanan HIV. Jika kegiatan ini dilakukan oleh puskesmas seperti puskesmas keliling maka pemberian ARV dapat diinisiasi setelah ada penegakan tes diagnostik dengan hasil tes positif.

(20)

Layanan TKHIV dengan penjangkauan diterapkan bagi komunitas di tempat yang sulit dijangkau atau komunitas yang termarginalisasi atau populasi kunci yang kurang mendapat akses layanan kesehatan formal.

Layanan bergerak juga dapat dilaksanakan pada saat peristiwa atau kegiatan penting seperti peringatan hari-hari penting, pertunjukan musik, kegiatan olah-raga dan sebagainya. Layanan bergerak berinduk pada layanan kesehatan wilayah setempat, sehingga tindaklanjut tes dapat dilakukan, seperti akses ke pengobatan sesuai indikasi.

D. LAYANAN TES DAN KONSELING HIV DALAM TATANAN KHUSUS

Kelompok masyarakat khusus memiliki risiko relatif lebih besar untuk tertular HIV, mengingat pekerjaan ataupun keberadaan kelompok tersebut, seperti kalangan TNI/POLRI; lingkungan kerja tertentu; warga binaan pemasarakatan di Lapas atau Rutan; tenaga kerja migran. Di samping itu kelompok khusus ini perlu mendapat perhatian dan tindak lanjut meskipun tidak terkait dengan faktor risiko yang disandangnya. Layanan yang disediakan lebih kepada penyediaan akses tindak lanjut pasca tes seperti bagi donor darah yang tersaring reaktif pada uji saring pengamanan darah donor di Unit Transfusi Darah (UTD).

D.1. TES DAN KONSELING-HIV DI LINGKUNGAN TNI&POLRI

Layanan kesehatan TNI dan POLRI mengikuti peraturan di instansi tersebut. Namun bagi keluarga dan masyarakat sekitar yang berobat ke layanan kesehatan TNI atau POLRI, mengikuti tatacara layanan pasien/klien umum. TKHIV di lingkungan TNI dan Polri dilaksanakan dengan menggunakan berbagai pendekatan meliputi KTS, TIPK, TKHIV atas perintah dinas (mandatory testing & counseling) serta penawaran rutin setiap kali melaksanakan pemeriksaan kesehatan/uji badan.

Tes HIV di TNI dan Polri dilakukan saat:

Penerimaan anggota TNI (recruitment),

 Pra dan purna tugas operasi,

 Pendidikan & pelatihan berkesinambungan,

(21)

Alur pelaporan, monitoring dan evaluasi di lingkungan TNI secara khusus mengacu pada Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/64/IX/2010 tanggal 15 September 2010 tentang Buku Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan HIV-AIDS di Lingkungan TNI.

D.2. TES DAN KONSELING HIV DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH

TAHANAN

Pendekatan TKHIV di Lapas dan Rutan dapat dilakukan dengan inisiatif klien atau inisiatif petugas kesehatan. Bagi Lapas dan Rutan yang belum memiliki sarana tes atau petugas belum terlatih, maka tes darah dirujuk ke fasyankes terdekat.

Layanan TKHIV di Lapas dan Rutan mengikuti alur layanan yang berlaku di fasilitas kesehatan dan ditawarkan pada waktu berikut ini:

a. Pada saat pemeriksaan kesehatan warga binaan pemasyarakatan (WBP) baru. Perhatian khusus diberikan bagi WBP dan tahanan yang dinilai memiliki risiko tinggi.

b. Saat edukasi HIV-AIDS kelompok yang dilakukan secara rutin di dalam Lapas/Rutan. WBP yang berminat untuk konseling dianjurkan untuk mendatangi klinik kesehatan Lapas/Rutan. c. Saat WBP datang ke klinik di lapas/rutan untuk berbagai

keluhan medis.

d. Pada saat 1-3 bulan sebelum WBP bebas. Pada tahap ini konseling untuk WBP adalah prosedur yang wajib dilakukan. e. Pada saat WBP mendapatkan Pembebasan Bersyarat (PB) dalam

pembinaan di Balai Pemasyarakatan (BAPAS).

D.3. TES DAN KONSELING HIV DI LINGKUNGAN KERJA (PERUSAHAAN

SWASTA DAN BUMN)

Layanan TKHIV di tempat kerja diselaraskan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Kepmennakertrans No.Kep.68/MEN/IV/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS di Tempat Kerja. dan mengacu pada pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan berdasarkan SK.MENKES RI No.1507 tahun 2005.

Pelaksanaan layanan TKHIV di tempat kerja sangat dipengaruhi oleh fasilitas dan sumber daya yang tersedia di masing-masing tempat kerja. Pada tempat kerja yang telah memiliki fasilitas layanan

(22)

konseling dan konselor terlatih, layanan konseling dilakukan di fasilitas tersebut. Pelayanan bersifat sukarela dengan menggunakan prinsip 5C dan tes HIV tidak boleh dilakukan sebagai syarat rekrutmen dan promosi pekerja.

D.4. TES DAN KONSELING HIVPADA CALON TENAGA KERJA INDONESIA

(CTKI) DAN TENAGA KERJA INDONESIA PURNA (TKIPURNA)

TKHIV bagi CTKI dilakukan oleh sarana kesehatan yang ditunjuk, berdasarkan permintaan negara tujuan. Dalam hal sarana kesehatan tersebut belum memiliki sumber daya yang dimaksud, maka harus dilakukan jejaring dengan fasilitas layanan kesehatan yang sudah menjalankan.

Calon TKI yang diketahui terinfeksi HIV pada saat pemeriksaan kesehatan umum (medical check up) dinyatakan tidak sehat (unfit) dan harus dirujuk ke layanan HIV untuk penanganan selanjutnya. Model layanan TKHIV untuk TKI dilaksanakan dengan mengikuti pedoman yang berlaku.

D.5. TES DAN KONSELING HIV TERKAIT DENGAN UNIT TRANSFUSI DARAH UTD berfungsi untuk melaksanakan uji saring darah donor terhadap Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD), yang salah satunya adalah HIV. Donor darah dengan hasil uji saring HIV reaktif perlu dirujuk ke RS untuk mendapatkan konseling dan tes diagnostik dan pengobatan lanjutan. Dalam hal ini, rujukan dapat dilakukan sebagai bagian dari jejaring layanan ke tes HIV. Bila hasil tes konfirmasi positif HIV maka pendonor perlu mendapat akses layanan pencegahan dan perawatan, dukungan dan pengobatan serta konseling untuk tidak lagi menjadi donor darah. Bagi yang sudah konfirmasi negatif perlu dipastikan bahwa yang bersangkutan tidak berperilaku berisiko dan tidak dalam masa jendela. Pendonor dapat kembali mendonorkan darahnya dengan surat rujukan tertulis dari RS ke UTD. Penjelasan lengkap tentang hal ini dapat dilihat pada Pedoman Tatalaksana Donor Darah Reaktif, terbitan Kementerian Kesehatan RI, Tahun 2013.

(23)
(24)

BAB III. PELAKSANAAN

TES

DAN

KONSELING

HIV

Dalam pedoman ini maka alur dari tes HIV berlaku baik untuk TIPK maupun KTS. Proses TKHIV tersebut di fasilitas layanan kesehatan tergambar pada Bagan 1 di bawah.

(25)

Edukasi tentang kesehatan terkait HIV dapat diberikan kepada pengunjung layanan kesehatan di ruang tunggu dengan menggunakan alat audiovisual seperti yang dilakukan pada Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) atau Puskesmas

Langkah dalam melaksanakan TIPK di Layanan Kesehatan

1. Pasien datang dengan keluhan sakitnya diperiksa oleh petugas kesehatan sesuai dengan tatalaksana medis, baik di layanan kesehatan rawat jalan maupun di rawat inap

2. Pada pemeriksaan, jika ditemukan tanda ataupun gejala terkait HIV, maka pasien mendapatkan edukasi dan informasi keterkaitan penyakitnya dengan infeksi HIV. Edukasi dimaksud agar pasien mampu menimbang keputusan untuk tes HIV

3. Petugas kesehatan kemudian menawarkan tes HIV, guna memudahkan pengambilan keputusan terapi yang lebih tepat ketika diagnosis dapat ditegakkan

4. Penawaran tes dikuatkan dengan informed consent ketika pasien menyetujui tes.

5. Jika pasien tidak menyetujui tes, tenaga kesehatan tetap memberikan layanan sesuai penyakit pasien

6. Hasil tes HIV disampaikan langsung oleh petugas kesehatan kepada pasien

7. Pasien mendapat layanan sesuai dengan indikasi setelah memperoleh hasil tes HIV

8. Pasien dapat memperoleh dukungan psikologik dari konselor sesuai kondisi dan kebutuhan pasien

Tes HIV seringkali juga diminta klien dengan berbagai alasan seperti memenuhi syarat untuk mengunjungi atau bekerja ke negara lain dan permintaan pihak ketiga.

A. INFORMASISEBELUMTES(PRA-TES)HIVDAN PERSETUJUANPASIEN

A.1. SESI INFORMASI PRA-TES SECARA KELOMPOK

Sesi ini dapat dilaksanakan sebagai pilihan bila sarana memungkinkan. Semua pasien atau klien yang datang ke layanan kesehatan terutama di layanan TB, IMS, PTRM, LASS, KIA, KB,

(26)

layanan untuk populasi kunci (pekerja seks, waria, LSL, penasun) ataupun dapat juga klien yang datang ke layanan KTS untuk mencari layanan Tes HIV secara sukarela, dapat diberikan KIE secara kelompok di ruang tunggu sebelum bertatap muka dengan petugas yang bersangkutan sambil menunggu gilirannya dilayani. KIE tersebut hendaklah diselenggarakan secara rutin dan berkala sesuai kondisi tempat layanan dengan topik kesehatan secara umum dan masalah yang berkaitan dengan HIV-AIDS. Metode penyampaiannya dapat berupa edukasi dengan alat audio-visual (AVA) seperti TV, video atau bahan KIE lain seperti poster maupun brosur atau lembar balik oleh petugas yang ditunjuk sesuai dengan kondisi setempat. Informasi kelompok hendaknya meliputi komponen penting yang dibutuhkan pasien atau klien seperti:

 Informasi dasar HIV, tentang cara penularannya

 Upaya pencegahan yang efektif, termasuk penggunaan kondom secara konsisten, mengurangi jumlah pasangan seksual dan lainnya.

 Keuntungan dan pentingnya tes HIV sedini mungkin.

 Informasi tentang proses pemeriksaan laboratorium HIV

 Membahas konfidensialitas, dan konfidensialitas bersama

 Membahas pilihan untuk tidak menjalani tes HIV

 Tawaran untuk menjalani tes pada masa mendatang bila klien belum siap

 Pentingnya pemeriksaan gejala dan tanda penyakit TB selama konseling para dan pasca-tes

 Rujukan ke layanan yang terkait dengan HIV, seperti misalnya konsultasi gizi, pemeriksaan dan pengobatan TB, pemeriksaan IMS, pemeriksaan CD4, tatalaksana infeksi oportunistik dan stadium klinis.

Persetujuan untuk menjalani tes HIV (informed consent) harus selalu diberikan secara individual dengan kesaksian petugas kesehatan. Undang-undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004, secara jelas memuat hal tersebut dalam Pasal 45 mengenai Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi diberikan setelah pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap

(27)

A.2. SESI INFORMASI PRA-TES INDIVIDUAL

Pada sesi individual, klien mendapatkan informasi edukasi dari konselor tentang HIV untuk menguatkan pemahaman klien atas HIV dan implikasinya agar ia mampu menimbang perlunya pemeriksaan. Edukasi meliputi :

1. Informasi dasar tentang HIV dan AIDS 2. Penularan dan pencegahan

3. Tes HIV dan konfidensialitas 4. Alasan permintaan tes HIV

5. Ketersediaan pengobatan pada layanan kesehatan yang dapat diakses

6. Keuntungan membuka status kepada pasangan dan atau orang dekatnya

7. Arti tes dan penyesuaian diri atas status baru

8. Mempertahankan dan melindungi diri serta pasangan/keluarga agar tetap sehat

Edukasi juga disertai dengan diskusi, artinya tersedia kesempatan klien bertanya dan mendalami pemahamannya tentang HIV dan status HIV. Konselor juga memberi dukungan atas keadaan psikologik klien. Sesudah edukasi dan menimbang suasana mental emosional, klien dimintai persetujuan untuk tes HIV (informed consent) dan dilanjutkan pemeriksaan laboratorium darah. yang diperlukan secara “option out”.

Informasi di atas akan memudahkan pasien menimbang dan memutuskan menjalani tes serta memberikan persetujuannya untuk tes HIV (informed

consent) yang harus dicatat oleh petugas kesehatan. Dengan demikian

penerapan tes HIV memenuhi prinsip 5C (informed consent, confidentiality,

counseling, correct testing and connection to care, treatment and prevention services). Pada umumnya dengan komunikasi verbal sudah cukup memadai

untuk memberikan informasi dan mendapatkan informed-consent pelaksanaan tes-HIV.

A.3. PEMBERIAN INFORMASI PRA TES PADA KELOMPOK KHUSUS

Ada beberapa kelompok masyarakat yang lebih rentan terhadap dampak buruk seperti diskriminasi, pengucilan, tindak kekerasan, atau penahanan. Dalam hal tersebut maka perlu diberi informasi lebih dari yang minimal di atas, untuk meyakinkan informed-consent nya.

(28)

Fokus pemberian informasi pra tes bagi perempuan hamil meliputi:

 Risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya

 Pengurangan risiko penularan HIV dari ibu dengan HIV positif kepada janin yang dikandungnya antara lain terapi antiretroviral, persalinan aman dan pemberian makanan bayi.

 Manfaat diagnosis HIV dini bagi bayi yang akan dilahirkan.

 Perencanaan kehamilan berikutnya dan metode KB yang digunakan.

2. Bayi, Anak dan Remaja

Pemberian informasi dalam penawaran tes HIV pada anak perlu dilakukan bersama dengan orangtua atau wali/pengampunya. Perlu ada pertimbangan khusus bagi anak dan remaja di bawah umur secara hukum (pada umumnya <18 tahun). Sebagai individu di bawah umur yang belum punya hak untuk membuat/memberikan informed-consent, mereka punya hak untuk terlibat dalam semua keputusan yang menyangkut kehidupannya dan mengemukakan pandangannya sesuai tingkat perkembangan umurnya. Dalam hal ini diperlukan

informed-consent dari orang tua atau wali/pengampu.

Fokus informasi pada anak dan remaja meliputi:

 Informasi dasar HIV-AIDS secara singkat

 Informasi tentang pencegahan, pengobatan dan perawatan

 Masalah penyingkapan status HIV kepada anak pada saatnya

 Masalah stigma dan diskriminasi di lingkungan keluarga dan masyarakat setempat

3. Individu dalam kondisi khusus

Individu dalam kondisi khusus adalah individu yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental dan individu yang akibat keadaan tertentu mengalami kekerasan, penelantaran, perdagangan manusia dan individu yang berhadapan dengan hukum. Individu yang mengalami hambatan mental perlu terapi mental emosionalnya lebih dahulu sebelum pemberian edukasi dan menjalankan tes. Seringkali diperlukan pengampuan pada mereka yang tidak dapat mengambil keputusan sehat.

(29)

 Informasi dasar HIV-AIDS

 Informasi tentang pencegahan, pengobatan dan perawatan

 Bila perlu dilakukan konseling oleh konselor yang memahami persoalan kebutuhan khusus tersebut.

4. Pasien dengan kondisi kritis

Sekalipun pasien dalam kondisi kritis (adanya penurunan kesadaran), tidak dibenarkan dilakukan tes HIV tanpa persetujuan yang bersangkutan. Pemberian informasi pra tes pada pasien tersebut dilakukan setelah kondisi kritis teratasi.

5. Pasien TB

Banyak pasien TB tidak menyadari kemungkinan komorbiditas dengan HIV, sehingga petugas kesehatan perlu memberikan informasi tentang keterkaitan HIV dengan TB yang dilanjutkan dengan penawaran tes. Bila pasien menolak untuk menjalani tes HIV perlu dilakukan konseling dengan proses rujukan.

6. Kelompok berisiko (penasun, pekerja seks, , waria, LSL)

Informasi pra tes pada kelompok ini dapat didahului dengan penyuluhan kelompok oleh penjangkau.

Materi bahasan dalam penyuluhan kelompok:

 Informasi dasar tentang HIV-AIDS.

 Informasi dasar tentang cara penularan dan mengurangi risiko HIV.

 Demonstrasi dan diskusi tentang penggunaan kondom atau jarum suntik steril.

 Keuntungan dan isu potensial berkaitan dengan konseling.

 Prosedur tes HIV dan penyampaian hasil tes HIV.

 Informasi rujukan dan dukungan.

Peserta penyuluhan kelompok yang tertarik untuk tes HIV diarahkan untuk mendapatkan konseling individual.

(30)

A.4. PERSETUJUAN TENTANG TES HIV(INFORMED CONSENT)

Informed consent bersifat universal yang berlaku pada semua pasien

apapun penyakitnya karena semua tindakan medis pada dasarnya membutuhkan persetujuan pasien. Informed consent di fasilitas layanan kesehatan dapat diberikan secara lisan tidak perlu secara tertulis. Aspek penting di dalam persetujuan adalah sebagai berikut:

 Klien telah memahami tentang maksud dan tujuan tes, serta risiko dan dampaknya.

 Informasi bahwa jika hasil tes positif, akan dirujuk ke layanan HIV termasuk pengobatan ARV dan penatalaksanaan lainnya

 Bagi mereka yang menolak tes HIV dicatat dalam catatan medik untuk dilakukan penawaran tes dan atau konseling ulang ketika kunjungan berikutnya.

 Persetujuan untuk anak dan remaja di bawah umur diperoleh dari orangtua atau wali/pengampu.

 Pada pasien dengan gangguan jiwa berat atau hendaya kognitif yang tidak mampu membuat keputusan dan secara nyata berperilaku berisiko, dapat dimintakan kepada isteri/suami atau ibu/ayah kandung atau anak kandung/saudara kandung atau pengampunya.

Konfidensialitas

Konfidensialitas berlaku secara umum. Semua informasi pasien apapun penyakitnya, yang berdasarkan undang-undang bersifat konfidensial tidak diberikan pada pihak yang tidak berkepentingan. Pada saat memberikan konseling pra tes maka konselor perlu meyakinkan klien bahwa tes HIV tersebut dilaksanakan secara konfidensial, yang berarti seorang konselor tidak diperkenankan menyampaikan hasil kepada siapapun di luar kepentingan kesehatan klien tanpa seijin klien, kecuali:

a. Klien membahayakan diri sendiri atau orang lain

b. Tidak mampu bertanggungjawab atas keputusan/tindakannya dan

(31)

Konfidensialitas tidak bersifat mutlak. Dalam hal ini konselor atau petugas kesehatan dapat berbagi hasil tes HIV pasien pada mereka yang berkompeten dan berhubungan secara langsung menangani kesehatan klien/pasien, misalnya jika pasien membutuhkan dokter penyakit paru, dokter kebidanan, bidan yang akan memberikan layanan kesehatan kepadanya, rujukan pada tenaga kesehatan lainnya yang diperlukan pasien dan Pengawas Minum Obat atau kelompok dukungan sebaya).

A.5. PENOLAKAN UNTUK MENJALANI TES HIV

Penolakan untuk menjalani tes HIV tidak boleh mengurangi kualitas layanan lain yang tidak terkait dengan status HIVnya.

Pasien yang menolak menjalani tes perlu ditawari kembali pada kunjungan berikutnya atau ditawarkan untuk menjalani sesi konseling di Klinik KTS oleh seorang konselor terlatih di masa yang akan datang jika memungkinkan. Penolakan tersebut harus dicatat di lembar catatan medisnya agar diskusi dan tes HIV diprakarsai kembali pada kunjungan yang akan datang.

B. PEMERIKSAAN LABORATORIUM HIV ATAU TES HIV

Tes HIV dilakukan di laboratorium yang tersedia di fasilitas layanan kesehatan. Jika layanan tes tidak tersedia di fasilitas tersebut, maka tes dapat dilakukan di laboratorium rujukan. Metode tes HIV yang digunakan sesuai dengan Pedoman Pemeriksaan Laboratorium HIV Kementerian Kesehatan. Sebaiknya tes HIV menggunakan tes cepat HIV yang sudah dievaluasi oleh Kementerian Kesehatan. Tes cepat yang sesuai prosedur sangat layak dilakukan dan memungkinkan untuk mendapatkan hasil secara cepat serta meningkatkan jumlah orang yang mengambil hasil, meningkatkan kepercayaan akan hasilnya serta terhindar dari kesalahan pencatatan atau tertukarnya hasil antar pasien. Tes cepat dapat dilakukan di luar sarana laboratorium, tidak memerlukan peralatan khusus dan dapat dilaksanakan di sarana kesehatan primer.

Tes dengan reagen ELISA biasanya dilakukan di fasilitas layanan kesehatan dengan sarana laboratorium yang lengkap dan tenaga yang terlatih dengan

(32)

jumlah pasien yang lebih banyak dan tidak perlu hasil tes segera (misalnya untuk pasien rawat inap di rumah sakit) dan laboratorium rujukan.

Pemilihan antara menggunakan tes cepat HIV atau tes ELISA harus mempertimbangkan faktor tatanan tempat pelaksanaan tes HIV, biaya dan ketersediaan perangkat tes, reagen dan peralatan; pengambilan sampel, transportasi, SDM serta kesediaan pasien untuk kembali mengambil hasil. Dalam melaksakan tes HIV, perlu merujuk pada alur Tes sesuai dengan pedoman nasional pemeriksaan yang berlaku dan dianjurkan menggunakan alur serial.

Tes HIV secara serial adalah apabila tes yang pertama memberi hasil

non-reaktif atau negatif, maka tes antibodi akan dilaporkan negatif. Apabila hasil tes pertama menunjukkan reaktif, maka perlu dilakukan tes HIV kedua pada sampel yang sama dengan menggunakan antigen dan/atau dasar tes yang berbeda dari yang pertama. Perangkat tes yang persis sama namun dijual dengan nama yang berbeda tidak boleh digunakan untuk kombinasi tersebut. Hasil tes kedua yang menunjukkan reaktif kembali maka di daerah atau di kelompok populasi dengan prevalensi HIV 10% atau lebih dapat dianggap sebagai hasil yang positif. Di daerah atau kelompok prevalensi rendah yang cenderung memberikan hasil positif palsu, maka perlu dilanjutkan dengan tes HIV ketiga. WHO, UNAIDS dan Pedoman Nasional menganjurkan untuk selalu menggunakan alur serial tersebut karena lebih murah dan tes kedua hanya diperlukan bila tes pertama memberi hasil reaktif saja.

Indonesia dengan prevalensi HIV dibawah 10% menggunakan strategi III dengan tiga jenis reagen yang berbeda sensitifitas dan spesifitas-nya. Dalam melakukan tes HIV dari alur tersebut direkomendasikan untuk menggunakan reagen tes HIV sbb:

 Reagen pertama memiliki sensitifitas minimal 99%

 Reagen kedua memiliki spesifisitas minimal 98%.

 Reagen ketiga memiliki spesifisitas minimal 99%.

Kombinasi tes HIV tersebut perlu dievaluasi secara nasional sebelum digunakan secara luas.

Tes HIV harus disertai dengan adanya sistem jaminan mutu dan program perbaikannya untuk meminimalkan hasil positif palsu dan negatif palsu. Jika

(33)

tidak maka klien/pasien akan menerima hasil yang tidak benar dengan akibat serius yang panjang. Jaminan mutu juga diperlukan untuk kualitas konseling.

Bagan 2. Alur Tes Laboratorium HIV Strategi III

A1 (Tes I) A1 + A1 - Laporkan Negatif A2 (Tes II) A1 + A2 + A1 + A2 - Ulangi A1 dan A2 A1 + A2 + A1 + A2 - A1 - A2 - Laporkan Negatif A3 (Tes III)

A1+ A2+ A3+ A1+ A2+ A3 - A1+ A2- A3+ A1+ A2 A3-

Laporkan Positif Indeterminate Risiko Risiko Tinggi Rendah

Indeterminate Negatif

Keterangan:

(34)

1) Spesimen darah yang tidak Reaktif sesudah tes cepat pertama dikatakan sebagai sero negatif, dan kepada klien disampaikan bahwa hasilnya negatif. Tidak dibutuhkan tes ulang.

2) Spesimen darah yang sero-Reaktif pada tes cepat pertama membutuhkan tes ulang dengan tes kedua yang mempunyai prinsip dan metode reagen yang berbeda.

3) Bila hasil tes pertama Reaktif dan hasil tes kedua Reaktif maka dikatakan hasilnya positif. perlu dilanjutkan dengan testing cepat ketiga.

4) Apabila ketiganya Reaktif maka dikatakan positif.

5) Apabila dari ketiga tes cepat salah satu hasilnya non Reaktif maka dikatakan tidak dapat ditentukan/indeterminate.

6) Bila setelah tes kedua salah satunya non Reaktif dan dilanjutkan dengan tes ketiga hasilnya juga non Reaktif maka dikatakan hasilnya tidak dapat ditentukan/indeterminate.

7) Hasil yang dikatakan positif tidak diperlukan tes konfirmasi pada laboratorium rujukan.

8) Hasil yang tidak dapat ditentukan/indeterminate perlu dilakukan konfirmasi dengan WB (Western Blot).

9) Bila tetap indeterminate setelah dua belas bulan maka dapat dikatakan hasilnya negatif.

Tes virologi yang lebih canggih dan mahal hanya dianjurkan untuk diagnosis anak umur kurang dari 18 bulan dan perempuan HIV positif yang merencanakan kehamilan. Tes HIV untuk anak umur kurang dari 18 bulan dari ibu HIV-positif tidak dibenarkan dengan tes antibodi, karena akan memberikan hasil positif palsu. Tes darah dengan tujuan untuk diagnosis HIV harus memperhatikan gejala atau tanda klinis serta prevalensi HIV di wilayah tempat tinggal atau kelompok , seperti terpapar pada Tabel 1 di halaman 9.

(35)

C. KONSELING PASCA TES

Semua klien/pasien yang menjalani tes HIV perlu menerima konseling pasca tes tanpa memandang apapun hasilnya. Hasil tes HIV tersebut disampaikan kepada klien/pasien sesegara mungkin secara individual dengan informasi singkat, jelas dan terkait dengan pengobatan dan perawatan selanjutnya. Konseling pasca tes membantu klien/pasien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil tes. Hal-hal berikut dilakukan oleh petugas atau konselor pada saat konseling pasca tes:

a. Membacakan hasil tes

b. Menjelaskan makna hasil tes c. Memberikan informasi selanjutnya

d. Mendiskusikan strategi untuk menurunkan penularan HIV dan rencanakan pengobatan

e. Merujuk klien/pasien ke fasilitas layanan kesehatan dan layanan lainnya

Petugas yang memberikan konseling pasca-tes sebaiknya orang yang sama dengan orang yang memberikan konseling atau informasi pra tes. Dalam hal konseling tidak dapat diberikan oleh orang yang sama maka dapat ditawarkan petugas pengganti.

Hal penting dalam menyampaikan hasil Tes:

a. Periksa ulang seluruh hasil tes klien/pasien dalam data klien/catatan medik. Lakukan hal ini sebelum bertemu klien/pasien untuk memastikan kebenarannya.

b. Hasil tes tertulis tidak diberikan kepada klien/pasien. Jika klien/pasien memerlukannya, dapat diberikan salinan hasil tes HIV dan dikeluarkan dengan tandatangan dokter penanggungjawab, mengikuti format penulisan dalam formulir hasil tes antibodi HIV. Cara dan alur pemberian konseling pasca tes dapat dilihat pada lampiran.

(36)

Pedoman Konseling dan Tes HIV 30

BAB.IV

KONSELING

Konseling merupakan komponen penting pada pemeriksaan dan layanan HIV. Konseling dilaksanakan bagi klien baik sebelum, sesudah tes dan selama perawatan HIV yang dilaksanakan oleh tenaga yang terlatih. Kualitas konseling perlu dipantau dengan mentoring dan pembinaan yang teratur. Konseling diutamankan bagi mereka yang berisiko dan menolak tes, klien dengan kebutuhan khusus, serta konseling pasca tes dan konseling lanjutan bagi ODHA.

A. PERAN KONSELING DALAM TES HIV

Layanan konseling pada tes HIV dilakukan berdasarkan kepentingan klien/pasien baik kepada mereka yang HIV positif maupun negatif. Layanan ini dilanjutkan dengan dukungan psikologis dan akses untuk terapi. KTHIV harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi yang efektif. Konselor terlatih membantu klien/pasien dalam menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mempelajari status dirinya dan mengerti tanggung jawab untuk mengurangi perilaku berisiko serta mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain serta untuk mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.

Bagan 3. Peran Konseling dan Tes HIV

Memfasilitasi rujukan PPIA, akses kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual Peningkatan kualitas hidup dan perencanaan masa depan: pengasuhan anak Penerimaan status, Perawatan diri, Komunikasi

perubahan perilaku, dan pencegahan positif

(37)

B. BERBAGAI JENIS KONSELING PADA LAYANAN HIV B.1. KONSELING PRA-TES

Konseling Pra-tes dilaksanakan pada klien/pasien yang belum mantap atau pasien yang menolak untuk menjalani tes HIV setelah diberikan informasi pra-tes yang cukup.

Dalam konseling pra-tes harus seimbang antara pemberian informasi, penilaian risiko dan merespon kebutuhan emosi klien. Masalah emosi yang menonjol adalah rasa takut melakukan tes HIV karena berbagai alasan termasuk ketidaksiapan menerima hasil tes, perlakuan diskriminasi, stigmatisasi masyarakat dan keluarga. Ruang lingkup konseling pra-tes pada KTS adalah:

a. Alasan kunjungan, informasi dasar tentang HIV dan klarifikasi tentang fakta dan mitos tentang HIV.

b. Penilaian risiko untuk membantu klien memahami faktor risiko. c. Menyiapkan klien untuk pemeriksaan HIV.

d. Memberikan pengetahuan tentang implikasi terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi cara menyesuaikan diri dengan status HIV. e. Melakukan penilaian sistem dukungan termasuk penilaian

kondisi kejiwaan jika diperlukan.

f. Meminta informed consent sebelum dilakukan tes HIV.

g. Menjelaskan pentingnya menyingkap status untuk kepentingan pencegahan, pengobatan dan perawatan.

(38)

Pemberian informasi dasar terkait HIV bertujuan agar klien:

 Memahami cara pencegahan, penularan HIV, perilaku berisiko.

 Memahami pentingnya tes HIV

 Mengurangi rasa khawatir dalam tes HIV

Konselor perlu mengetahui latar belakang kedatangan klien untuk mengikuti konseling HIV dan memfasilitasi kebutuhan agar proses tes HIV dapat memberikan penguatan untuk menjalani hidup lebih sehat dan produktif.

B.2. KONSELING PASCA TES HIV

C. SEPERTI TELAH DIURAIKAN SECARA RINCI PADA BAB SEBELUMNYA

PEMERIKSAAN LABORATORIUM HIV ATAU TES HIV

Tes HIV dilakukan di laboratorium yang tersedia di fasilitas layanan kesehatan. Jika layanan tes tidak tersedia di fasilitas tersebut, maka tes dapat dilakukan di laboratorium rujukan. Metode tes HIV yang digunakan sesuai dengan Pedoman Pemeriksaan Laboratorium HIV Kementerian Kesehatan. Sebaiknya tes HIV menggunakan tes cepat HIV yang sudah dievaluasi oleh Kementerian Kesehatan. Tes cepat yang sesuai prosedur sangat layak dilakukan dan memungkinkan untuk mendapatkan hasil secara cepat serta meningkatkan jumlah orang yang mengambil hasil, meningkatkan kepercayaan akan hasilnya serta terhindar dari kesalahan pencatatan atau tertukarnya hasil antar pasien. Tes cepat dapat dilakukan di luar sarana laboratorium, tidak memerlukan peralatan khusus dan dapat dilaksanakan di sarana kesehatan primer.

Tes dengan reagen ELISA biasanya dilakukan di fasilitas layanan kesehatan dengan sarana laboratorium yang lengkap dan tenaga yang terlatih dengan jumlah pasien yang lebih banyak dan tidak perlu hasil tes segera (misalnya untuk pasien rawat inap di rumah sakit) dan laboratorium rujukan.

Pemilihan antara menggunakan tes cepat HIV atau tes ELISA harus mempertimbangkan faktor tatanan tempat pelaksanaan tes HIV, biaya dan ketersediaan perangkat tes, reagen dan peralatan; pengambilan sampel, transportasi, SDM serta kesediaan pasien untuk kembali mengambil hasil.

(39)

Dalam melaksakan tes HIV, perlu merujuk pada alur Tes sesuai dengan pedoman nasional pemeriksaan yang berlaku dan dianjurkan menggunakan alur serial.

Tes HIV secara serial adalah apabila tes yang pertama memberi hasil

non-reaktif atau negatif, maka tes antibodi akan dilaporkan negatif. Apabila hasil tes pertama menunjukkan reaktif, maka perlu dilakukan tes HIV kedua pada sampel yang sama dengan menggunakan antigen dan/atau dasar tes yang berbeda dari yang pertama. Perangkat tes yang persis sama namun dijual dengan nama yang berbeda tidak boleh digunakan untuk kombinasi tersebut. Hasil tes kedua yang menunjukkan reaktif kembali maka di daerah atau di kelompok populasi dengan prevalensi HIV 10% atau lebih dapat dianggap sebagai hasil yang positif. Di daerah atau kelompok prevalensi rendah yang cenderung memberikan hasil positif palsu, maka perlu dilanjutkan dengan tes HIV ketiga. WHO, UNAIDS dan Pedoman Nasional menganjurkan untuk selalu menggunakan alur serial tersebut karena lebih murah dan tes kedua hanya diperlukan bila tes pertama memberi hasil reaktif saja.

Indonesia dengan prevalensi HIV dibawah 10% menggunakan strategi III dengan tiga jenis reagen yang berbeda sensitifitas dan spesifitas-nya. Dalam melakukan tes HIV dari alur tersebut direkomendasikan untuk menggunakan reagen tes HIV sbb:

 Reagen pertama memiliki sensitifitas minimal 99%

 Reagen kedua memiliki spesifisitas minimal 98%.

 Reagen ketiga memiliki spesifisitas minimal 99%.

Kombinasi tes HIV tersebut perlu dievaluasi secara nasional sebelum digunakan secara luas.

Tes HIV harus disertai dengan adanya sistem jaminan mutu dan program perbaikannya untuk meminimalkan hasil positif palsu dan negatif palsu. Jika tidak maka klien/pasien akan menerima hasil yang tidak benar dengan akibat serius yang panjang. Jaminan mutu juga diperlukan untuk kualitas konseling.

(40)

Bagan 2. Alur Tes Laboratorium HIV Strategi III A1 (Tes I) A1 + A1 - Laporkan Negatif A2 (Tes II) A1 + A2 + A1 + A2 - Ulangi A1 dan A2 A1 + A2 + A1 + A2 - A1 - A2 - Laporkan Negatif A3 (Tes III)

A1+ A2+ A3+ A1+ A2+ A3 - A1+ A2- A3+ A1+ A2 A3-

Laporkan Positif Indeterminate Risiko Risiko Tinggi Rendah

Indeterminate Negatif

Keterangan:

A1, A2 dan A3 merupakan tiga jenis tes antibodi HIV yang berbeda.

10) Spesimen darah yang tidak Reaktif sesudah tes cepat pertama dikatakan

sebagai sero negatif, dan kepada klien disampaikan bahwa hasilnya negatif. Tidak dibutuhkan tes ulang.

Gambar

Tabel 1.  Penggunaan Strategi Tes HIV berdasarkan Tujuan dan  Prevalensi Setempat
Gambar  2. Gambaran foto toraks TB paru pada ODHA  (perhatikan infiltrat tidak khas seperti pada pasien non HIV)
Gambar  4. Ulkus intraoral akibat infeksi sitomegalovirus/CMV
Gambar  6. Kandidiasis dengan kheilitis angularis

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah kunjungan wisatawan pada bulan Juni adalah sebanyak 76 orang pada awal operasi Nusantara diving center resort, bulan Juli sebanyak 84 orang, bulan Agustus jumlah

Juga betapa pentingnya nilai toleransi beragama yang harus dimiliki oleh setiap orang yang hidup berdampingan dengan keberbedaan agama.” Bapak Choiri juga memberikan pernyataan bahwa:

Kehancuran kerajaan Islam terakhir, Dinasti Ahmar di Granada, Spanyol yang terjadi tahun 1492 M, disebabkan oleh penyerahan kekuasan Islam kepada kerajaan

Gaharu adalah salah satu hasil hutan non kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, memiliki kandungan kadar damar wangi dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

Ulama NU Kudus memberikan alasan mengenai adanya hukuman kebiri sesuai dari hasil Tanya jawab pitulasan ramadhan mengatakan hukuman kebiri diperbolehkan karena

1) Untuk mengetahui faktor atau atribut pelayanan mana saja yang dalam pelaksanaannya harus dipertahankan, ditingkatkan atau tidak perlu dilakukan perbaikan, maka

Demonstrasi merupakan salah satu wahana untuk memberikan pengalaman belajar agar peserta didik dapat menguasai materi pelajaran dengan baik, karena demonstrasi

(1) Susunan Organisasi Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah Kabupaten Banyuasin, terdiri dari :.. Sub bagian Perlengkapan dan Perencanaan;