• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN EKOLOGI DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK BERSCAFFOLDNG UNTUK MENGKONSTRUK PEMAHAMAN MAHASISWA CALON GURU 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBELAJARAN EKOLOGI DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK BERSCAFFOLDNG UNTUK MENGKONSTRUK PEMAHAMAN MAHASISWA CALON GURU 1"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

PEMBELAJARAN EKOLOGI DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK BERSCAFFOLDNG UNTUK MENGKONSTRUK PEMAHAMAN MAHASISWA

CALON GURU1

Oleh: Nur Wakhidah

Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah UIN Sunan Ampel Surabaya

Abstrak

Pembelajaran ekologi di perguruan tinggi belum menggali rasa ingin tahu mahasiswa. Dosen belum menampilkan suatu fenomena yang bersifat discrepant events yang dapat menghasilkan konflik kognitif sehingga mahasiswa bertanya dan memunculkan suatu pertanyaan penelitian atau percobaan atau pengamatan berdasarkan rasa ingin tahu mahasiswa. Pendekatan saintifik (scientific approach) menurut banyak ahli merupakan cara yang efektif untuk menemukan konsep berdasarkan rasa ingin tahu mahasiswa. Pengamatan atau percobaan yang dilakukan oleh mahasiswa berdasarkan apa yang diamatinya saat dosen menampilkan suatu fenomena saat awal pembelajaran. Pengamatan atau percobaan merupakan suatu cara untuk menjawab rasa ingin tahunya yang terwujud dalam pertanyaan penelitian yang diajukan. Hasil pengamatan selanjutnya diasosiasikan atau dianalisis dan selanjutnya diperoleh kesimpulan. Kesimpulan merupakan konsep yang ditemukan melalui konstruksi pengetahuan selama proses pembelajaran. Pendekatan saintifik merupakan hal yang cukup sulit untuk dilakukan meskipun bagi mahasiswa sehingga perlu adanya scaffolding untuk menerapkannya.

Scaffolding adalah suatu bantuan dari dosen untuk melakukan penerapan pendekatan saintifik dalam

pembelajaran. Artikel ini deskripsikan penggunaan bentuk-bentuk scaffolding dalam pembelajaran sehingga pembelajaran ekologi dengan pendekatan saintifik dapat berlangsung dengan baik.

Kata Kunci: Pembelajaran Ekologi, Pendekatan Saintifik, Scaffolding

Abstract

Ecology learning in higher education have not dug students' curiosity. Lecturers are not yet showing a phenomenon that is discrepant events that can produce cognitive conflicts so that students question and raises a question of research or experiments or observations based on students' curiosity. Scientific approach (scientific approach), according to many experts is an effective way to find a concept based on the students' curiosity. Observation or experiment conducted by students based on what was observed when the lecturer to show a phenomenon at the beginning of learning. Observation or experiment is a way to answer the curiosity that is embodied in the proposed research questions. Observations associated or analyzed further and further conclusion. The conclusion is a concept found through the construction of knowledge during the learning process. The scientific approach is quite difficult to do though for students so that the need for scaffolding to implement it. Scaffolding is a relief from the lecturer to the application of a scientific approach to learning. This article describes the use of other forms of scaffolding in learning so that learning ecology with a scientific approach can take place properly.

(2)

2

A. PENDAHULUAN

Ekologi merupakan ilmu yang tergolong muda jika dibandingkan dengan fisiologi maupun anatomi namun ekologi merupakan ilmu yang sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Pembelajaran ekologi selama ini disajikan dengan metode yang kurang menarik sehingga mahasiswa mengalami kejenuhan. Sugiyarto (2009) melaporkan bahwa pembelajaran ekologi cenderung mempunyai pola yang formalistic sehingga mahasiswa cenderung pasif. Pendekatan saintifik adalah pendekatan yang sangat cocok dalam mempelajari IPA termasuk materi ekologi. Mahasiswa tidak hanya diberikan materi dengan cara ceramah dan diskusi presentasi. Metode seperti itu kurang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mengembangkan rasa ingin tahunya dalam proses pembelajaran. Padahal pembelajaran IPA selayaknya memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menjawab rasa ingin tahu (Bruce, 2001).

Pembelajaran ekologi yang selama ini dilakukan dengan melempar melempar kuadran ke lapangan dan mencatat makhluk hidup dan benda-benda yang ada di dalamnya. Dosen kurang mendorong rasa ingin tahu dan kurang menginspirasi mengapa makhluk hidup dalam suatu kuadran berbeda dengan kuadran yang lain. Rasa ingin tahu mahasiswa selalu ada, namun rasa ingin tahu tersebut harus ditumbuhkembangkan. Tugas dosen adalah menginspirasi dan membantu mahasiswasiswa selalu ada, namun rasa ingin tahu tersebut harus ditumbuhkembangkan. Tugas dosen adalah menginspirasi dan membantu mahasiswa bertanya dan menjawab pertanyannya sendiri.

Pembelajaran IPA yang berupaya untuk menjawab pertanyaan tentang fenomena alam dikenal dengan metode ilmiah. Metode ilmiah dapat diadopsi dalam pembelajaran menjadi suatu pendekatan yaitu suatu cara pandang bahwa dalam proses pembelajaran mahasiswa bisa menjadi ilmuwan kecil yang menjawab pertanyaannya dengan metode yang sistematis untuk menemukan suatu pengetahuan yang dikenal dengan pendekatan saintifik. Langkah-langkah pendekatan saintifik

(3)

3

dimulai dari proses mengamati, mengajukan pertanyaan dan merumuskan masalah, mengadakan proses untuk mencari jawab atas pertanyaannya baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis dapat melalui penggalian informasi lewat internet, buku , jurnal dan sumber terkait. Proses menjawab permasalahan secara praktis melalui pengamatan atau eksperimen. Proses ini merupakan keterampilan yang perlu dilatihkan dosen kepada mahasiswa yang dikenal dengan keterampilan proses sains.

Langkah-langkah pendekatan saintifik dalam Kurikulum 2013 memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan rasa ingin tahunya. Pada saat mengamati peserta didik seharusnya mempunyai rasa ingin tahu sehingga mampu menanya. Wieman (2007) menyatakan bahwa pendekatan saintifik yang digunakan dalam proses pembelajaran dapat mengajarkan bagaimana mahasiswa mengamati suatu fenomena sampai menemukan suatu konsep.

B. PEMBAHASAN

1. Konstrukstivisme dalam Pembelajaran Ekologi

Manusia berbeda dengan makhluk lain karena manusia mampu belajar lebih banyak. Belajar menurut Piaget (1988) adalah suatu aktivitas yang menghubungkan pengetahuan yang telah ada dan menghubungkan dengan informasi baru sehingga terbentuk pengetahuan baru. Pengetahuan baru diperoleh dari suatu tindakan untuk menciptakan struktur kognitif setelah berinteraksi dengan lingkungan. Mahasiswa telah mendapatkan materi ekologi atau tentang lingkungan mulai dari Sekolah Dasar. Mahasiswa harus diberi kesempatan mengonstruks pengalaman atau pengetahuan yang telah dimilikinya, selanjutnya mahasiswa diberi kesempatan menemukan ide atau mengaplikasikannya pada situasi lain. Pendapat ini sesuai dengan teori konstruktivis (Slavin, 2006). Penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran memberi kesempatan mahasiswa mengkonstruk pemahaman dan pengalaman yang telah dimiliki dengan menghubungkan pengetahuan awal dengan tampilan fenomena yang

(4)

4

diberikan pada tahap pengamatan. Penampilan fenomena yang cocok dengan pembelajaran sangat penting. Menurut Chin (2001) yang mengatakan bahwa pembelajaran seyogyanya menggabungkan pengetahuan sebelumnya dan informasi baru dalam rangka membentuk konsep baru.

Pembelajaran ekologi yang lazim terjadi adalah mengajarkan ekologi mulai dari pengertian ekologi, komponen biotic dan abiotik, simbiosis, rantai makanan, piramida ekologi yang diajarkan secara terpisah-pisah. Mahasiswa akan mempunyai pemahaman yang lebih konstruktif dengan menghadirkan suatu fenomena sehingga dapat mengajarkan materi-materi tersebut secara komprehensif. Pembelajaran yang seperti itu diharapkan lebih memberi makna dan meningkatkan retensi pemahaman. Tampilan fenomena saat mengamati harusnya bersifat kontekstual dan berhubungan dengan kehidupan mahasiswa. Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) dapat menjembatani pembelajaran konsep baru (Smith, 2010)

2. Discrepant events dalam Pembelajaran Ekologi

Proses pembelajaran selayaknya mendorong mahasiswa untuk bertanya. Bertanya merupakan suatu tanda bahwa mahasiswa mempunyai rasa ingin tahu. Pertanyaan mahasiswa juga merupakan indicator bahwa mahasiswa berpikir. Dosen selayaknya mengarahkan pertanyaan mahasiswa untuk berpikir tingkat tinggi yaitu dengan berpikir kritis dan kreatif. Dosen mempunyai tugas untuk membantu mahasiswa merumuskan pertanyaan menjadi pertanyaan penelitian. Paling tidak mahasiswa selanjutnya digiring untuk melakukan proses pengamatan untuk menjawab rasa ingin tahunya.

Bertanya bukan hal yang mudah untuk dilakukan oleh semua orang. Suatu fenomena yang sama akan ditanyakan berbeda oleh orang yang berbeda. Dalam proses pembelajaran seringkali dosen menanyakan kepada mahasiswa, apakah ada materi atau hal-hal yang masih belum dipahami saat pembelajaran akan

(5)

5

berakhir. Pertanyaan mahasiswa biasanya hanya memperjelas pemahamannya bukan berlandaskan rasa ingin tahu untuk mengetahui sesuatu. Pertanyaan yang diajukan mahasiswa terkadang dianggap “aneh” oleh dosen. Tugas dosen mengarahkan pertanyaan mahasiswa sesuai dengan tujuan pertanyaan.

Mahasiswa akan bertanya jika dalam dirinya terjadi suatu hal-hal berikut: a) tertarik pada sesuatu, b) mempunyai kepentingan dengan sesuatu (membutuhkan), dan c) belum memahami sesuatu. Mahasiswa dan dosen selama ini hanya memperhatikan hal nomer c, yaitu belum memahami sesuatu konsep. Jarang sekali mahasiswa dalam pembelajaran bertanya karena tertarik karena mempunyai kepentingan tertentu.

Penampilan suatu fenomena pada materi ekologi pada awal pembelajaran tentang ekosistem kolam belum cukup membuat mahasiswa untuk bertanya, terutama pertanyaan tingkat tinggi. Penampilan fenomena oleh dosen saat awal pembelajaran sangat penting untuk mendorong rasa ingin tahu. Dosen yang gagal menampilkan fenomena yang menarik saat awal pembelajaran akan menyebabkan mahasiswa tidak akan bertanya pada fase menanya.

Fenomena tersebut tidak harus sesuatu hal yang benar. Fenomena yang ditampilkan oleh dosen saat mengamati seharusnya fenomena yang bersifat

Discrepant events, yaitu fenomena yang terkadang membuat mahasiswa bingung

dengan apa yang telah dipelajari sebelumnya atau pengalaman yang dimilikinya. Fenomena yang baik untuk ditampilakn adalah fenomena yang menimbulkan konflik kognitif dalam diri mahasiswa. Fenomena yang disajikan dapat berupa gambar, video, atau bahkan hanya bersifat informasi. Fenomena tersebut jika mungkin sesuatu yang sedang menjadi pembicaraan hangat. Berkaitan dengan materi ekologi dapat mengkaitkan kebakaran hutan dengan komponen biotic yang ada di dalam hutan. Jumlah fenomena yang disajikan dapat bersifat tunggal atau lebih dari satu. Fenomena yang disajikan lebih dari satu akan lebih membantu

(6)

6

mahasiswa dalam menghubungkan fenomena satu dengan yang lain sehingga akan lebih mudah untuk merumuskan pertanyaan.

Penampilan fenomena hutan gundul dan hutan hujan tropis yang lebat di awal pembelajaran akan membantu mahasiswa untuk membuat hipotesis tentang keragaman komponen biotic apa yang ada pada kedua ekosistem tersebut. Dosen selayaknya memberikan bantuan dalam mengarahkan mahasiswa dalam pembelajaran sesuai dengan tujuan pembelajarannya. Bantuan yang diberikan dosen dikenal dengan scaffolding (Vygotsky, 1978).

3. Scaffolding dalam Pembelajaran

Scaffolding yang diberikan oleh orang tua atau pelatih saat mengajarkan

sepeda kepada anaknya antara lain menunjukkan bagian-bagian dari sepeda. Jika anak telah mengetahui bagian-bagian dari sepeda selanjutnya orang tua akan menjelaskan fungsi masing-masing bagian. Orangtua pada awalnya akan mencontohkan bagaimana mengayuh sepeda. Selanjutnya anak diberi kesempatan untuk mencoba dan orangtua memegangi sepeda dari belakang. Apabila dirasa cukup mampu untuk melakukan keseimbangan maka orangtua akan melepas pelan-pelan, sampai anak benar-benar mampu menaiki sepeda tanpa harus dipegangi lagi.

Scaffolding dalam pembelajaran berarti suatu strategi atau cara yang

dapat mempermudah dalam proses pembelajaran sehingga mahasiswa dapat mengerjakan tugasnya dengan baik di kelas maupun di luar kelas. Menurut Lajoie (2005). Scaffolding dapat berupa orang (tutor, dosen/guru, orang tua, teman sebaya), alat, metode atau cara. Gaskins et al (1997) menyatakan bahwa

scaffolding dapat berbentuk pengarahan dalam mengembangkan keterampilan

baru atau mempelajari konsep baru.

Alber (2014) menawarkan teknik scaffolding dalam pembelajaran antara lain tampilkan dan katakan (Show and Tell). Pada pembelajaran ekologi

(7)

7

penampilan fenomena di atas supaya mahasiswa mampu menghubungkan antara gambar satu dengan gambar lainnya perlu diberikan suatu penjelasan yang sifatnya memandu mahasiswa menyusun hipotesis. Sebelumnya mahasiswa juga diarahkan ke pengetahuan sebelumnya.

4. Scaffolding dalam Menerapkan Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran Ekologi Langkah-langkah pendekatan saintifik adalah mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan. Langkah-langkah tersebut merupakan keterampilan yaitu merupakan bagian dari keterampilan proses sain yang dapat dilatihkan. Pengalaman dosen selama ini terjadi kesulitan dalam penerapannya sehingga diperlukan cara agar setiap langkah dapat terlaksana dengan baik. Strategi atau cara tersebut antara lain bantuan dari dosen dalam mengarahkan agar 5M dapat terlaksana dalam pembelajaran. Wakhidah (2015) menawarkan strategi scaffolding IMWR untuk melaksanakan pendekatan saintifik, dimana mahasiswa pada setiap tahap pendekatan saintifik diinspirasi setelah itu dimodelkan, diberi kesempatan untuk menuliskan keterampilan yang telah dimodelkan dan selanjutnya diberi kesempatan untuk melaporkan.

Mengamati merupakan langkah penting dalam langkah pendekatan saintifik. Gagalnya proses pengamatan akan menyebabkan mahasiswa tidak mampu mengajukan pertanyaan. Kurang adanya persiapan dosen dalam merancang scenario pembelajaran sehingga mulai dari proses pengamatan sampai dengan tahap mengomunikasikan saling berhubungan dan berdasarkan fenomena yang ditampilkan.

Penampilan fenomena yang disajikan saat mengamati berupa gambar hutan yang gundul dan hutan belantara di Brazilia merupakan gambar yang dapat digunakan untuk memancing mahasiswa untuk bertanya, jika dosen menginspirasi dengan menanyakan “apakah perbedaan komponen biotic yang ada di bawah kanopi pohon yang berada pada kedua gambar tersebut?”. Scaffolding dari dosen

(8)

8

tersebut akan membuat mahasiswa berpikir untuk menanyakan, “apa yang membuat komponen biotic pada kedua tempat tersebut berbeda?. Selanjutnya diharapkan mahasiswa menanyakan kembali, “apakah fenomena tersebut dapat diterapkan pada kondisi yang berbeda?, misalnya antara area yang terkena sinar matahari dan lapangan yang terkena matahari secara langsung?.

Contoh dari scenario di atas dalam pembelajaran selanjutnya dapat dilanjutnya pada fase/langkah bertanya, mahasiswa pada fase ini diharapkan dapat merumuskan hipotesis, jika....maka... Setelah hipotesis tersusun mahasiswa didorong untuk menjawab masalah atau membuktikan hipotesis yang telah dibuat.

Scaffolding yang diberikan pada fase mencoba dapat berupa lembar kegiatan

mahasiswa (LKM) sebagai semi soft scaffolding. Kegiatan yang dilakukan mahasiswa selanjutnya seperti pembelajaran ekologi selama ini mengamati dan mengidentifikasi kompoenen biotic dan abiotik yang ada dalam kuadran pada lokasi yang berbeda, yaitu pada lapangan yang terkena sinar matahari secara langsung dan di tempat teduh.

Hasil pengamatan selanjutnya dianalisis dalam rangka menjawab hipotesis yang telah dirumuskan. Pada tahap ini dosen menscaffolding mahasiswa dalam menghubungkan antara hasil pengamatan dengan pengaruh komponen abiotik tertentu (misalnya sinar matahari) dengan komponen biotiknya. Dosen hendaknya mengarahkan mahasiswa untuk membuat simbiosis yang mungkin terjadi pada lokasi area pengamatan. Materi rantai makanan dapat juga ditemukan saat mahasiswa menganalisis bagaimana hubungan makan terjadi pada daerah pengamatan. Pada akhir pembelajaran dosen dapat menscaffolding mahasiswa dalam membuat piramida ekologi berdasarkan hasil analisis data. Piramida ekologi merupakan hasil karya mahasiswa fase menomunikasikan. Di akhir pembelajaran dosen bersama mahasiswa menyimpulkan pembelajaran sesuai dengan tujuan dengan runtut.

(9)

9

C. PENUTUP

Pembelajaran akan bermakna manakala mahasiswa mampu mengkonstruk pemahaman sendiri dan menerapkannya pada situasi lain. Pembelajaran ekologi dapat bermakna manakala dosen menampilkan fenomena yang kontekstual, selanjutnya dari fenomena tersebut mahasiswa dapat merumuskan hipotesis dan mampu menerapkannya pada situasi yang lain dan mahasiswa didorong untuk mencari jawaban atas atas pertanyaan dan membuktikan hipotesisnya. Selanjutnya mahasiswa diarahkan untuk mempelajari konsep lain yang terkait dengan hasil pengamatan, bukan hanya diajarkan konsep-konsep tersecara terpisah-pisah sehingga pemahaman mahasiswa lebih konprehensif.

DAFTAR PUSTAKA

Alber, R. (2014). Scaffolding Strategies to Use With Your Students. USA: George Lucas Educational Foundation.

Bruce, P. (2001). “Curiosity: The Fuel of Development.” Early Childhood Today. New York: Scholastic.

Chin, C. (2001). Learning in Science: What Do Students’ Questions Tell Us About Their Thinking? Education Journal Vol. 29, No. 2.

Gaskins, I.Q., Rauch, S., Gensemer, E., Councilli, E., O’Hara, C., Six, L., and Scott. (1997). Scaffolding the development of intelligence among children who are delayed in learning to read in K. Hogan and M. Pressly (Eds), scaffolding students learning. Instructional Aproaches and Issues p.43-73

Lajoie, S.P. (2005). Extending the scaffolding metaphor. Instructional Science 33 p. 541-557

Slavin, R.E. (2006). Educational Psycology.Theory and Practice. New Jersey: Pearson Educations Inc.

(10)

10

Smith, B.P. (2010). Instructional strategies in family and consumer sciences: implementing the contextual teaching and learning pedagogical model.

Journal of Family & Consumer Sciences Education, 28(1).

Sugiyarto. 2009. Peningkatan Kualitas Penrbelajaran Melalui Active Learning Menuju Profesionalisme Guru. Surakarta: Jurusan Prodi Sains UNS.

Wakhidah, N. 2015. Strategi Scaffolding Inspiring-Modelling-Writing-Reporting (IMWR) Dalam Menerapkan Pendekatan Saintifik Untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Dan Penguasaan Konsep Mahasiswa. Surabaya: Buku Strategi (Disertasi)

Wieman, C. (2007). A Scientific Approach to Science Education? Colorado: University of British Columbia.

Referensi

Dokumen terkait

Pada contoh di atas, walaupun nilai variabel i lebih besar dari 5 (yang berarti kondisi loop bernilai false), tapi program tetap akan mengeksekusi statement di dalam blok

Umumnya telur yang dikonsumsi berasal dari jenis- jenis burung, seperti ayam, bebek, dan angsa, akan tetapi telur-telur yang lebih kecil seperti telur ikan kadang juga

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas yang dilakukan guru pada siklus ke I dan siklus ke II dapat dijelaskan bahwa pada pertemuan pertama siklus pertama aktivitas

Jawaban: pola aliran sungai rectangular adalah pola aliran yang terdapat pada daerah yang mempunyai struktur patahan, baik patahan sesungguhnya atau joint

Keandalan kemampuan untuk menanggulangi kedaruratan nuklir membutuhkan perencanaan kesiapan yang saling mendukung dan terintegrasi pada semua tingkatan serta diprogramkan dalam

Respon masyakarat terhadap program acara ini juga sangat baik, banyak sekali yang telepon untuk berbicara dengan pemain ludruk tersebut, tidak hanya itu saja, pendengar

Berdasarkan Surat Penetapan Penyedia Barang / Jasa Pengadaan Langsung Nomor : 44 /BA/PPBJ- II/APBD/BKP/VII/2014, tanggal 17 Juli 2014, tentang Penetapan Penyedia Barang / Jasa

Sedangkan mekanisme transmisi moneter syariah melalui jalur harga aset dalam mengendalikan inflasi dengan uji IRF (model 2), variabel-variabel syariah yaitu