Nasal Drug Delivery System
Nasal Drug Delivery System
Tugas Teknologi Sediaan Lepas Terkendali Tugas Teknologi Sediaan Lepas Terkendali
Disusun Oleh : Disusun Oleh :
Kelompok 4 Kelompok 4 Ayun
Ayun Erwina Erwina Arifianti Arifianti 08063277230806327723 Dian
Dian Rahma Rahma Bakti Bakti 08063211460806321146 Elphina
Elphina Rolanda Rolanda 08063277800806327780 Merrie
Merrie Natalia Natalia 08063278810806327881 Ester
Ester Junita Junita Sinaga Sinaga 08063981330806398133
Evelina 0806398146
Evelina 0806398146
Suci
Suci Syafitri Syafitri Utami Utami 08063987510806398751 Wenny
Wenny Silvia Silvia Marinda Marinda 08063988010806398801
DEPARTEMEN FARMASI DEPARTEMEN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK DEPOK 2011 2011
KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya makalah yang berjudul
rahmat-Nya makalah yang berjudul ““Nasal Drug Delivery SystemNasal Drug Delivery System”” ini dapat selesai dengan ini dapat selesai dengan tepat waktu. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah tepat waktu. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk pemenuhan tugas mata kuliah Teknologi Sediaan Lepas Makalah ini disusun untuk pemenuhan tugas mata kuliah Teknologi Sediaan Lepas Terkendali yang diberikan oleh Dosen Pembimbing Dr. Silvia Surini M.Pharm.Sc. Makalah Terkendali yang diberikan oleh Dosen Pembimbing Dr. Silvia Surini M.Pharm.Sc. Makalah ini dibuat
ini dibuat agar dapat agar dapat memberikan infomemberikan informasi yang rmasi yang jelas tentang sediaan jelas tentang sediaan dengan dengan ruterute pemberian nasal.
pemberian nasal.
Penulis berharap
Penulis berharap agar makalah agar makalah ini dapat ini dapat memberikan memberikan manfaat bagi manfaat bagi para pembaca.para pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca agar bisa lebih baik lagi pada pembuatan mengharapkan saran dan kritik dari pembaca agar bisa lebih baik lagi pada pembuatan makalah-makalah berikutnya. Terima Kasih.
makalah-makalah berikutnya. Terima Kasih.
..
Depok, 3 Oktober 2011 Depok, 3 Oktober 2011
Penyusun Penyusun
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
Kata
Kata Pengantar Pengantar …...…... ... 22 Daftar
Daftar Isi Isi ...………..………..3..3 BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN I.1
I.1 Latar Belakang………Latar Belakang………..……….………...5..5 I.2
I.2 Rumusan Masalah……….Rumusan Masalah………. .5.5 I.3
I.3 Tujuan Penulisan……….….Tujuan Penulisan……….…. ..6..6 I.4
I.4 Metode Penulisan………Metode Penulisan………..………...………...66 I.5
I.5 Sistematika Penulisan………Sistematika Penulisan………..………...………....6.6
BAB II ISI BAB II ISI
II.1
II.1 Anatomi Anatomi dan dan Fisiologi Fisiologi HidungHidung
...
...
...
...
...
88 II.1.1 Anatomi Hidung...II.1.1 Anatomi Hidung...
...
...
...
...
....8....8 II.1.2.II.1.2. Fisiologi Fisiologi Hidung...Hidung...10...10
II.2.
II.2. Sistem Mukosiliar...Sistem Mukosiliar...10..10 II.2.1.
II.2.1. Histologi Histologi Mukosa...Mukosa...10...10 II.2.2.
II.2.2. Epitel...Epitel...10.10 II.2.3.
II.2.3. Palut Palut Lendir...Lendir...11...11 II.2.4.
II.2.4. Membrana Membrana Basalis...Basalis...12...12 II.2.5.
II.2.5. Lamina Lamina Propria...Propria...12...12 II.3.
II.3. TransportasTransportasi Mukosiliar...i Mukosiliar...1...133 II.4.
II.4. Teknologi Sediaan Nasal...Teknologi Sediaan Nasal...14...14 II.5.
II.5. Teknologi TerbarTeknologi Terbaru dalam Sistem Pengu dalam Sistem Penghantaran Nasal...hantaran Nasal...19....19 II.6.
II.6. Keuntungan dan KerugKeuntungan dan Kerugian dari Penyampaian Obat Nasal...ian dari Penyampaian Obat Nasal...25...25 II.6.1.
II.6.1. Keuntungan...Keuntungan...2...255 II.6.2.
II.6.2. Kerugian...Kerugian...2...266
II.7.
II.7. Pengaruh Pengaruh Formulasi Formulasi terhadap terhadap Bioavailabilitas Bioavailabilitas Obat Obat Melalui Melalui Nasal...27Nasal...27 II.7.1.
II.7.1. Faktor Faktor Fisikokimia Fisikokimia yang yang Berhubungan Berhubungan dengan dengan Obat...Obat...27...27 II.7.2. Konsentrasi...28 II.7.2. Konsentrasi...28
II.7.3. Faktor Terkait dengan Bentuk Sediaan...28 II.7.4. Faktor Formulasi Lainnya...,,,,,...29
II.8. Contoh-contoh Sistem Penyampaian Obat secara Intranasal...31
BAB III PENUTUP
III.1 Kesimpulan………...……… .…38 III.2 Saran………...……….…..3 8 Daftar Pustaka………...……….……3 9
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Hidung mempunyai tugas menyaring udara dari segala macam debu yang masuk ke dalam melalui hidung. Tanpa penyaringan ini mungkin debu ini dapat mencapai paru- paru. Bagian depan dari rongga hidung terdapat rambut hidung yang berfungsi menahan butiran debu kasar, sedangkan debu halus dan bakteri menempel pada mukosa hidung.
Dalam rongga hidung udara dihangatkan sehingga terjadi kelembaban tertentu.
Mukosa hidung tertutup oleh suatu lapisan yang disebut epitel respirateris yang terdiri dari sel-sel rambut getar dan sel “leher”. Sel-sel rambut getar ini mengeluarkan lendir yang tersebar rata sehingga merupakan suatu lapisan tipis yang melapisi mukosa hidung dimana debu dan bakteri ditahan dan melekat. Debu dan bakteri melekat ini tiap kali dikeluarkan ke arah berlawanan dengan jurusan tenggorokan. Yang mendorong adalah rambut getar hidung dimana getarannya selalu mengarah keluar. Gerakannya speerti cambuk, jadi selalu mencambuk keluar, dengan demikian bagian yang lebih dalam dari lapisan bulu getar ini selalu bersih dan “steril”. Biasanya pada pagi hari hal ini dapat dicapai.
Obat yang digunakan pasien menghasilkan efek tertentu yang dihasilkan oleh interaksi obat dengan reseptor tertentu. Setiap bentuk sediaan obat mempunyai keuntungan dan kerugian masing-masing. Dengan penjelasan sepintas tersebut diatas dapat dengan mudah dipahami, bahwa segala sesuatu yang masuk (khusussnya obat) ke dalam hidung memiliki parameter-parameter yang harus dipenuhi.
I.2 Perumusan Masalah
1. Bagainana anatomi fisiologis dari hidung?
2. Apa saja yang termasuk dalam sistem mukosiliar? 3. Apa yang dimaksud dengan transportasi mukosiliar?
4. Bagaimana teknologi sediaan nasal baik pada saat ini maupun yang sedang dalam perkembangan?
5. Apa saja dalam faktor formulasi yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas obat melalui nasal?
I.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang anatomi fisiologis nasal, teknologi sediaan dengan rute pemberian nasal dan kelebihan serta kekurangan sediaan dengan rute pemberian nasal.
I.4 Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis terapkan dalam pembuatan makalah ini adalah menggunakan metode pencarian informasi melalui studi putaka, yaitu dengan membaca buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan sediaan nasal. Selain itu kami juga
mencari informasi melalui media internet.
I.5 Sistematika Penulisan Kata Pengantar
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penulisan 1.4 Metode Penelitian 1.5 Sistematik penulisan Bab II Isi
II.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung II.1.1 Anatomi Hidung
II.1.2. Fisiologi Hidung II.2. Sistem Mukosiliar
II.2.1. Histologi Mukosa II.2.2. Epitel
II.2.3. Palut Lendir
II.2.4. Membrana Basalis II.2.5. Lamina Propria II.3. Transportasi Mukosiliar II.4. Teknologi Sediaan Nasal
II.5. Keuntungan dan Kerugian dari Sistem Pengantaran Nasal II.5.1. Keuntungan
II.6. Teknologi yang Ada Saat Ini pada Sistem Penghantaran Nasal II.7. Teknologi Terbaru dalam Sistem Penghantaran Nasal
II.8. Keuntungan dan Kerugian dari Penyampaian Obat Nasal II.8.1. Keuntungan
II.8.2. Kerugian
II.9. Contoh-contoh Sistem Penyampaian Obat secara Intranasal
II.10. Pengaruh Formulasi terhadap Bioavailabilitas Obat Melalui Nasal II.10.1. Faktor Fisikokimia yang Berhubungan dengan Obat
II.10.2. Konsentrasi
II.10.3. Faktor Terkait dengan Bentuk Sediaan II.10.4. Faktor Formulasi Lainnya
Bab III Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka
BAB II ISI
II.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung II.1.1. Anatomi Hidung
Segala sesuatu yang masuk (khususnya obat) ke dalam hidung secara sengaja tidak boleh menghalangi fungsi dari rambut getar. Harga pH lapisan lendir sekitar 5,5-5,6 pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak 5-6,7 pada pH kurang dari 6,5 biasanya tidak diketemukan bakteri dan bila lebih dari 6,5 mulai ada bakteri. Bila kedinginan pH lendir hidung akan cenderung naik, sebaliknya bila kepanasan cenderung pH menurun. Pada waktu flu, pH lendir alkalis, sehingga teori sebenarnya dapat disembuhkan dengan mudah dengan cara menurunkan pHnya, yaitu kearah asam. Jadi pemberian obat dengan tujuan mengembalikan kondisi normal dari rongga hidung akan menolong.
Rongga hidung dibagi septum menjadi 2 bagian yang simetris. Masing-masing bagian terdiri dari 4 daerah (nasal vestibule, atrium, respiratory region and olfactory region) yang dibedakan berdasarkan karakteristik anatomi dan histologi masing-masing.
1. Nasal vestibule
Nasal vestibule terdapat dibagian anterior dari rongga hidung, dan menyediakan area 0,6 cm2. Disini, terdapat rambut hidung yang disebut dengan vibrissae, yang menyaring partikel2 yang terhirup. Secara histologi, bagian ini dilapisi oleh stratified squamous dan epitel yang terkeratinisasi dengan adanya kelenjar sebacea . Karakteristik ini diperlukan untuk menghasilkan tahanan/proteksi yang kuat dalam melawan senyawa toksik yang berasal dari lingkungan, tetapi pada waktu yang bersamaan, absorpsi senyawa termasuk obat menjadi sangat sulit pada bagian ini.
2. Atrium
Merupakan daerah intermediet antara nasal vestibule dan daerah respiratori. Bagian anteriornya dilapisi oleh stratified squamous epithelium dan bagian posteriornya oleh pseudostratified columnar cells dengan adanya mikrovili.
3. Daerah Respiratory
Bagian ini disebut sebagai konkha, merupakan bagian yang terbesar dari rongga nasal, dan dibagi menjadi superior, middle, inferior. Struktur ini bertanggung jawab terhadap pengaturan suhu dan kelembaban udara yang masuk. Mukosa respiratori merupakan bagian yang penting dalam penghantaran obat intranasal secara sistemik, membran dasar dan lamina propia. Permukaan bagian ini terdapat mikrovili yang berperan memperluas daerah absorpsi . Mukus nasal punya beberapa fungsi fisiologis, seperti mengatur kelembaban dan menghangatkan udara yang masuk, serta berperan dalam melindungi nasal dari senyawa asing termasuk obat.
4. Daerah Olfactory
Bagian ini terletak pada langit-langit rongga hidung dan memberikan jalur yang pendek dibawah septum dan dinding lateral. Neuroepitel bagian ini adalah bagian satu-satunya dari CNS yang secara langsung terekspose ke lingkungan luar. Sama seperti epitel respiratori, epitelnya juga berupa pseudostratified tetapi mengandung sel reseptor olfaktori khusus yang penting untuk penciuman. Pada bagian ini terdapat juga small serous glands (glands of Bowman) yang memproduksi sekret yang bekerja sebagai pelarut untuk senyawa-senyawa odorous.
II.1.2. Fisiologi hidung
Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara.
Inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85 % -90% disaring didalam hidung.
Fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu : (1)Sebagai jalan nafas
(2) Alat pengatur kondisi udara (3) Penyaring udara
(4) Sebagai indra penghidu (5) Untuk resonansi suara
(6) Turut membantu proses bicara (7) Reflek nasal
II.2. Sistem Mukosiliar II.2.1. Histologi Mukosa
Luas permukaan kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan
lapisan kelenjar profunda.
II.2.2. Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel
kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia.
Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air.
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 µm dengan diameter 0,3 µm. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masingmasing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel. Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama. Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria.
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 µm dan diameternya 0,1 µm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding dengan sel
epitel gepeng.
II.2.3. Palut lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang
disebut lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisiliar dibawahnya. Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas
atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap .
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada l apisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali.
II.2.4. Membrana Basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas
kolagen dan fibril retikulin.
II.2.5. Lamina Propria
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat,
substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf.
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia,
bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi.
II.3. Transportasi Mukosiliar
Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal p ada mukosa hidung. Transportasi mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar. Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus.
Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia
dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti.
Transportasi mukosilia yang bergerak secara aktif sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus
dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium.
Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit. Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit. Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.
II.4. Teknologi Sediaan Nasal
Teknologi untuk penghantaran sediaan nasal terfokus pada :
1. Penghantaran obat lokal seperti dekongestan, antibiotik dan mukolitik, untuk perawatan rongga hidung.
2. Penghantaran sistemik obat dengan berat molekuler (<500 DA), termasuk peptida terapetik.
Beberapa obat yang dihantarkan secara intranasal menunjukkan absorpsi sistemik :
Kategori Obat
Analgesik Morfin, oksikodon
Antikolinesterase Neostigmin, tubokurarin
Antiemetik Metoklopramid
Antiinfektif Gentamisin, tobramisin, sepazolin, asiklovir
Antimigrain Sumatripan, dihidroergotamin
Antimuskarinik Hyosin (skopolamin), atropin, ipratropium
Obat kardiovaskular Propranolol, atenolol, timolol, trinitrogliserin, hidralazin, nifedipin,
verapamil
Obat dopaminergik Apomorfin, bromokriptin Hormon dan analog GH, ACTH, kalsitonin, oksitosin,
progesteron, insulin Macam-macam asam amino atau
peptida
Interferon, angiopeptin, glukagon
Sedatif Diazepam, midazolam
Vaksin Influenza, campak, polio
Jenis-jenis bentuk sediaan nasal : 1. Nasal Spray
Mekanisme Nasal Spray cenderung tersimpan pada daerah impaksi mereka di dalam anterior dan bagian yang tidak bersilia dari rongga hidung, di mana aliran udara ketika inspirasi yang tinggi dan klirens mukosiliar lambat. Sehingga menyimpan separuh obat di wilayah ini dan secara perlahan-lahan dibersihkan (klirens) dan diangkut ke area yang luas dalam perjalanan menuju faring. Hal ini mendukung absorpsi obat. Ukuran partikel pada nasal spray adalah sekitar 25-200 μm.
Nasal Spray tersedia dalam bentuk botol tekan yang digunakan agar tidak memberikan dosis ulang. Nasal Spray juga tersedia dalam Metered Dose Spray yang dapat memberikan dosis yang lebih diulang dan digerakkan secara mekanik untuk memberikan volume yang telah ditentukan kepada pasien. Sehingga dosis obat yang diterima oleh pasien akan bergantung pada
konsentrasi obat dalam formulasi.
Seperti yang telah dibahas diatas, Nasal Spray cenderung tersimpan pada daerah impaksi mereka di dalam anterior dan bagian yang tidak bersilia dari rongga hidung, di mana aliran udara ketika inspirasi yang tinggi dan klirens mukosiliar lambat serta tidak menentu. Sehingga menyimpan separuh obat di wilayah ini dan secara perlahan-lahan dibersihkan dan diangkut ke area yang luas dalam perjalanan menuju faring. Hal ini mendukung absorpsi obat.
Untuk penggunaan sistemik nasal spray ditambahkan enhancer untuk meningkatkan absorpsi dan bioavailabilitas zat aktif, misalnya siklodekstrin pada obat semprot estrogen, Aerodiol®.
2. Nasal Drops
Nasal Drops bergantung pada tetesan dari satu atau lebih tetes larutan obat, baik dari pipet dengan fleksibel (karet) dot, atau langsung dari wadah plastik dapat diperas ke dalam rongga hidung.
Seperti penjelasan di atas tetes hidung jika diaplikasikan dengan benar, obat tersimpan dalam seluruh rongga hidung, obat bentuk semprot dapat memberikan area efektif yang lebih besar untuk penyerapan segera. Namun hal ini juga berarti bahwa beberapa obat tersimpan pada daerah mukosa bersilia sehingga tersedia untuk klirens. Sebagai dosis tersimpan pada nasofaring di mana kemungkinan akan segera tertelan sehingga tidak tersedia untuk absorpsi hidung.
Nasal spray dan nasal drop sekitar 40% dari dosis dibersihkan (clearance) dengan cepat dalam waktu 20 menit kemudian diikuti fase kedua dengan klirens yang lebih lambat. Dalam fase kedua yang lambat, klirens nasal drop jauh lebih cepat daripada klirens nasal spray, karena sebagian dari spray tersimpan daerah tidak bersilia. Karena ini nasal drop memiliki klirens lebih cepat lebih cocok untuk gugus obat yang cepat diserap.
Penggunaan nasal drop juga perlu penambahan mukoadhesive agar absorbsi kedalam saluran sistemik dapat ditingkatkan.
3. Nasal Powder Nasal Powder digunakan pada obat yang lebih stabil dalam bentuk padat (contoh : peptida dan vaksin) dengan sistem pengantaran aktif dan pasif. Sistem pengantaran pasif membutuhkan inspirasi pasien untuk aerosolisasi serbuk karena tidak memiliki sumber energi internal. Sedangkan sistem pengantaran aktif memiliki sumber energi untuk aerosolisasi baik dengan pegas penekan udara atau energi dari baterai.
Alat Pengantaran Nasal Powder Aktif dan Pasif : - Premetered unit-dose
- Premetered multiple-dose - Reservoir multi-dose
Untuk penggunaan sistemik nasal powder ditambahkan bioadhesif untuk menurunkan laju klirens contohnya aminated gelatin microsphere (AGMS), enhancer contohnya DM- -CD meningkatkan absorpsi dengan mempengaruhi struktur epitalium untuk masuknya zat-zat polar. Contoh zat aktif apomorfin
untuk penderita Parkinson. Memiliki keuntungan yaitu tidak adanya pengawet dan stabilitas formulasi yang baik.
4. Nasal gel
Nasal Gels berupa larutan kental dengan viskositas tinggi atau suspensi. Sediaan ini tidak banyak digemari, tetapi memiliki beberapa keuntungan :
- Pengurangan post-nasal drip karena viskositas tinggi - Pengurangan dampak rasa karena menelan berkurang - Pengurangan kebocoran anterior formulasi
- Pengurangan iritasi dengan menggunakan emolien eksipient - Untuk penyerapan pada mukosa yang lebih baik
Untuk meningkatkan absorbsi obat diperlukan penambahan mukoadhesive seperti kitosan, alginat, dan derivate selulosa. Carbakol 934 P dan polycarbhopil adalah polimer mukoadhesive yang menghambat enzim tripsin proteolitik oleh karena itu dapat digunakan juga untuk meningkatkan stabilitas dari obat-obat peptida. Natrium alginat merupakan polimer polisakarida larut air yang biasa digunakan sebagai pembawa dikarenakan sifatnya yang non toksik, biokompatibel dan juga pembentuk gel yang stabil.
Contoh penggunaan nasal gel untuk obat sistemik ialah lidokain HCl yang secara umum digunakan dalam pengobatan seperti migraine, sakit kepala, neuralgia. Dalam penggunaannya dengan larutan intranasal efisiensinya dipengaruhi pada clearance mukosiliar maka untuk memperpanjang waktu tinggal dan meningkatkan penyerapannya lidokain dikembangkan menggunakan hidroksi propel metal selulosa (HPMC) sebagai bahan dasar nasal gel. Dibandingkan
dengan nasal spray, nasal gel untuk lidokain ini lebih baik karena tidak menimbulkan toksik di mukosilia dan juga penyerapan terhadap system saraf pusat juga lebih cepat.
II.5. Teknologi Terbaru dalam Sistem Penghantaran Nasal
Banyak obat konvensional yang telah ditemukan dengan menggunakan sistem penghantaran melalui nasal untuk penggunaan sistemik, dan semua molekul ini
relative mempunyai berat molekul yang rendah (kurang dari 500 Da). Sedangkan, banyak peptide-peptida dan protein-protein secara umum mempunyai berat molekul yang besar, lebih dari 1000 Da, tentunya hal ini akan sulit diabsorpsi melalui mukosa nasal tanpa adanya intervensi secara farmasetika. Untuk itulah, teknologi terbaru dari nasal ini sangat memperhatikan hal tersebut dengan meningkatkan berbagai macam strategi untuk meningkatkan absorpsi obat. Strategi ini digambarkan secara detail, sebagai berikut:
1. Meningkatkan permeabilitas dari epitel nasal
Berbagai macam molekul telah dipelajari untuk meningkatkan permeabilitas dari epitel nasal ini tanpa menimbulkan efek yang membahayakan. Mekanisme absorpsi ditujukan untuk berbagai macam senyawa yang berbeda dalam jumlah banyak dan lebih dari satu mekanisme yang terlibat di dalamnya:
- Memodifikasi lapisan mucus
Agen yang dapat mengurangi viskoelastisitas dari mucus adalah surfaktan anionic dan kationik, serta garam empedu, yang bisa meningkatkan absorpsi. - Memodifikasi tight junctions
Senyawa yang dapat mengambil ion-ion kalsium ekstraseluler, di mana dibutuhkan untuk mempertahankan integritas dari tight junction ini, misalnya EDTA, garam empedu, akan menyebabkan terbukanya ikatan tight junction. Kemudian, rute paraseluler menjadi bocor, dan senyawa akan ditingkatkan absorpsinya melalui rute ini.
- Membalikkan formasi misel
Berbagai macam tipe dari garam empedu berhubungan terhadap kapasitas mereka untuk mempenetrasi dan membalikkan formasi misel pada membrane. Permukaan hidrofilik molekul akan menghadap ke dalam dan permukaan hidrofobiknya akan menghadap keluar dari lingkungan lipid. Formasi ini akan
menciptakan suatu bentuk pori (aqueous pore), di mana sebagian obat bisa melewatinya.
- Ekstraksi oleh co-micellization
Solubilisasi dari sel membrane lipid, contohnya penghilangan kolesterol oleh surfaktan, seperti garam empedu dan polyoxyethylene ether.
- Erosi permukaan mukosa
Erosi seluler, pemisahan sel-sel, kehilangan silia dan formasi mucus yang menurun untuk melindungi atas respon dari bahaya asing bisa disebabkan oleh surfaktan, seperti garam empedu. Bagaimanapun, kekurangan serius dari penggunaan peningkat penetrasi dapat berefek pada penghilangan jaringan epitel, secara langsung dapat mengganggu struktur sel vital, dan secara tidak langsung dapat mempermeabilisasi epitel sehingga memudahkan penetrasi senyawa toksik dan organisme. Contohnya, secara umum senyawa aktif permukaan hanya meningkatkan penetrasi ketika membran absorbsi dalam kondisi tererosi. Pasien akan merasakan perasaan tersengat dan lakrimasi akibat dari STDHF ketika digunakan sebagai enhancer penetrasi dengan konsentrasi 0.8% b/v.
Hal ini menghambat pengembangan secara klinik dari penggunaan senyawa-senyawa tersebut. Untuk itu, ditambahkan siklodekstrin atau phosphatidylcoline, yang telah dilaporkan dapat mengurangi toksisitas dari beberapa surfaktan.
Selain itu, untuk menekan efek pada epitel, enhancer penetrasi juga membuat sistem penghantaran berdasarkan efek kelarutan. Contohnya, siklodekstrin digunakan untuk melarutkan obat dan meningkatkan konsentrasi difusi obat pada tempat absorpsi, keuntungan tambahannya, kita dapat mendapatkan konsentrasi obat yang lebih tinggi pada dosis yang sama di dalam volume larutan yang lebih kecil. Contohnya, penambahan β-siklodekstrin ke dalam dihidroergotamin dapat meningkatkan konsentrasi obat dari 4 mg/mL ke 10 mg/mL. Sehingga, biasanya obat diberikan dalam volume 0.5 mL,dapat dikurangi. Siklodekstrin juga dapat mendisosiasikan insulin hexamer ke dalam agregat-agregat yang lebih kecil yang dapat membantu mekanisme dari
absorpsi. Enhancer penetrasi juga sebaiknya dapat meningkatkan penghantaran melalui peningkatan stabilitas, karena enhancer bisa menurunkan aktivitas enzim yang mana dapat mendegradasi obat.
2. Meningkatkan waktu kontak pada tempat absorpsi
Memperpanjang waktu kontak antara obat dan tempat absorpsinya pada dasarnya adalah untuk meningkatkan bioavailibilitas dari obat itu. Secara obat mungkin saja bisa terbuang oleh klirens dari mucociliary, tertelan atau karena metabolism.
Hal-hal ini harus dihindari untuk meningkatkan absorpsi, disusunlah berbagai strategi, seperti:
- Memodifikasi tempat berkumpulnya obat
Obat yang terdeposit pada wilayah anterior dari rongga hidung merupakan wilayah yang agak lama dalam klirens mucociliary, serta yang paling besar kemungkinannya diabsorpsi di sini. Hal ini yang menjadi prinsip dasar dibuatnya nasal sprays, lebih meningkatkan bioavailibilitas dibandingkan dengan nasal drops, di mana obat terdeposit melalui hidung.
Caranya dapat dengan meningkatkan viskositas larutan yang masuk ke rongga hidung, contohnya seperti bahan metilselulosa, hyalurinan, dsb. Semakin tinggi viskositas larutan, maka akan semakin terlokalisasi pada bagian anterior dari hidung. Viskositas juga mempengaruhi ukuran partikel droplet. Volume dari larutan obat juga mempunyai pengaruh dalam bioavailibilitas.
Volume larutan obat yang masuk ke hidung juga berpengaruh terhadap efek bioavailibilitasnya. contohnya, bioavailibilitas dari desmopressin yang
diberikan sebanyak 50µl secara dua kali berturut-turut lebih tinggi dua kali lipat daripada diberikan sebanyak 100µl sekaligus.
- Menggunakan bahan bioadhesive
Bioadhesive (terkadang dikenal juga dengan mukoadhesive) melekat pada substrat biologis, seperti mucus dan jaringan. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan bioavailibilitas dari obat itu dengan:
a. Mengurangi laju klirens dari tempat absorpsi, dengan itu dapat meningkatkan waktu yang tersedia untuk absorpsi
b. Meningkatkan konsentrasi lokal obat pada tempat absorpsinya
c. Melindungi obat dari dilusi dan kemungkinan degradasi oleh hasil sekresi-sekresi nasal
Beberapa formulasi bioadhesive yang memunginkan terdiri dari: 1. Larutan atau suspensi bioadhesive
Banyak senyawa peningkat viskositas yang bisa dijadikan sebagai bahan bioadhesive dan gel bioadhesive polimer, termasuk kedalamnya adalah, methylcellulose, sodium carboxymethylcellulose, chitosan, Carbopol 934P (salah satu dari carbomer), dan Pluronic F127, telah menunjukkan penurunan laju klirens mukosiliari pada tikus sebanyak 7-57%. Dengan mengurangi atau menghilangkan motilitas dari ciliary, laju klirens obat dari rongga hidung juga dapat dikurangi.
Formulasi larutan nasal dari kitosan, menunjukkan kurang toksik bagi epitel silia dibanding STDHF dan menghasilkan absolout bioavailibiliti dari 31% untuk analgesik, morphine-6-glucoronide. Sebagai tambahan, kitosan juga bisa meningkatkan absorpsi nasal dari insulin (berat molekul 5.8 kDa) pada tikus dan domba. Beberapa bioadhesive, seperti karbomer, juga menunjukkan kompleksitas dengan mukus, meningkatkan
viskoelastisitas, dan mengurangi klirensnya.
Beberapa polimer yang bisa membentuk “thermogelling”, seperti ethyl(hydroxyethyl)cellulose dan Pluronic F127 (Poloxamer 407). Dalam bentuk larutan aqueous dari bahan-bahan di atas, sistem berupa larutan pada temperatur ruang dan di bawah itu, tapi pada temperatur fisiologis (32-37ºC), viskositas larutan meningkat. Ketika dalam rongga hidung, viskositas larutannya meningkat, karena meningkatnya temperatur, akan menyebabkan waktu kontak antara obat dan membran absorbsi meningkat dibandingkan dengan larutan yang biasa.
2. Dry powder bioadhesive
Untuk sistem penghantaran zat aktif obat dalam sistem pembawa dry powder, digunakan microcrystalline cellulose, hydroxyethyl starch, cross-link dextran, microcrystalline chitosan, carbomer, pectin, atau asam alginat. Polimer mengabsorbsi air selama kontak dengan mukosa hidung dan mengembang menjadi gel yang viskos. Beberapa sistem ini dapat bertahan di dalam rongga hidung hingga selama 6 jam.
Sebagai contoh pada tikus, bioavailibilitas dari analog somastatin, octreotide, menunjukkan dapat ditingkatkan dengan penambahan asam alginat dan cross-linked dextran, sebagai dry powder.
Beberapa pembawa yang dapat memperpanjang waktu terapetik plasma konsentrasi dari obat, secara efektif bisa dijadikan sebagai sustained release. Hal ini bisa terjadi, disebabkan dari laju dan perpanjangan penyerapan air telah dimodifikasi melalui formulasi ini. Sebagai polimer hidrat dengan menarik air dari sekresi pada epitel nasal, terjadi perubahan pada klirens mukosiliari, disebabkan karena adanya hidrasi dari polimer
dan disebabkan juga oleh perubahan pada viskoelastisitas dari mukus gel. 3. Colloidal bioadhesive.
Bioadhesive mikrosfer terdiri dari berbagai macam material, seperti starch, carbomer, hyaluronan ester, dextran, yang digunakan untuk memperpanjang waktu retensi obat di dalam rongga hidung. Waktu paruh dari klirens mikrosfer bisa menjadi 3-4 jam, di mana pada larutan normal hanya 15 menit. Peningkatan bioavailibilitas ini ditunjukkan oleh gentamicin, insulin, dan desmopressin.
Dengan adanya kehadiran starch mikrosfer, dapat meningkatkan laju absorpsi dari obat, insulin. Hal ini dijelaskan, bahwa dry starch mikrosfer menyerap air dari sel-sel yang menyebabkan mereka terdehidrasi dan mengkerut menghasilkan pemisahan dari ikatan intercelluler. Dalam kasus ini, diperlihatkan absorpsi paraseluler dari insulin.
Liposome juga digunakan pada enkapsulasi obat yang ada pada nasal mukosa dengan tujuan untuk sustained release pada obat yang cepat terabsorpsi, contohnya propranolol.
- Mengurangi laju klirens mucociliary
Hal ini dapat dicapai melalui penambahan eksipien pada formulasi dengan efek reversible ciliostatic, seperti beberapa bahan yang mempunyai sifat pelindung. Bagaimanapun, penting untuk memilih strategi yang sifatnya tidak permanen dalam hal klirens mucociliary ini, karena akan mempengaruhi jalur udara homeostasis dan pertahanannya. Contohnya, seperti STDHF (0.3%), laureth 9 (0.3%), sodium deoxycholate (0.3%), dsb.
3. Menginhibisi degradasi enzim
Mekanisme klirens lainnya yaitu berupa degradasi enzim terhadap zat aktif obat melalui senyawa sekresi nasal dan mukosa. Dalam hal ini menggunakan berbagai macam variasi dari protease inhibitor, seperti bestatin, diprotinin A, dan aprotinin, yang menghambat leucin aminopeptidase, dipeptidyl peptidase, dan trypsin. Beberapa inhibitor aktif menghambat lebih dari satu macam peptide, pemilihan inhibitor tergantung pada peptidanya. Menariknya, senyawa yang sudah diinvestigasi untuk meningkatkan penetrasinya dalam absorpsi membran, juga menunjukkan penurunan metabolism dari beberapa peptide.
4. Metode lainnya dalam meningkatkan absorpsi
- Memodifikasi tekanan osmosis (tonisitas) dari formulasi
Penurunan dari isotonisitas menunjukkan dapat meningkatkan absorpsi dari salmon calcitonin (berat molekul 4.5 kDa). Bagaimanapun, menugbah tonisitas dari formulasi tidak memberikan efek dalam pengabsorpsian granulocyte koloni-stimulating faktor pada manusia (berat molekul 19 kDa). Dalam studi tertentu, menurunkan pH dari formulasi dapat meningkatkan absorpsi. Merubah tekanan osmosis dan pH melebihi batas mungkin dapat membahayakan epithelium namun dapat meningkatkan permeabilitasnya terhadap zat xenobiotics.
- Menghantarkan obat sebagai dry powder
Pendekatan selanjutnya dalam perkembangan sistem penghantaran obat yaitu membuat bentuk obat tersebut ke dalam serbuk (tapi tanpa bioadhesive sebagai carrier). Contohnya, freeze-dried insulin, hal ini telah menunjukkan absorpsi yang lebih baik dalam bentuk serbuk daripada dalam bentuk larutannya.
Kesimpulan dari pembahasan teknologi ini adalah, bahwa rute pemberian obat melalui intra nasal mempunyai banyak manfaat dalam sistem penghantaran sistemik dari obat-obatan.Bagaimanapun, pastinya akan tetap ada kendala, untuk itu diperlukan solusinya dengan meneliti dan mengembangkan promoter atau pembawa yang dapat meningkatkan absorpsi
II.6. Keuntungan dan Kerugian dari Penyampaian Obat Nasal1 II.6.1. Keuntungan :
Luas permukaan yang besar
Rongga nasal memiliki luas permukaan yang relatif besar (kira-kira 160 cm2) untuk absorpsi obat.
Kaya akan suplai darah
Permukaan vaskular yang besar dari mukosa nasal menjamin absorpsi dan onset yang cepat.
Aktivitas metabolik yang rendah
Aktivitas metabolik dari rongga nasal terhadap peptida dan protein lebih kurang daripada saluran pencernaan sehingga rute ini merupakan alternatif yang menarik untuk penyampaian oral. Perbandingan dengan rute oral, rute ini menghindari degradasi pada dinding intestinal atau hati, terutama untuk obat yang bersikulasi sistemik.
Kemudahan akses
Rongga nasal memiliki permukaan akses yang siap digunakan untuk penyampaian obat, menghindari perlunya sistem penyampaian atau sistem alat yang kompleks
1
Hillery, Anya M., Andrew w. Lloyd, dan James Swarbrick. Drug Delivery and Targetting for Pharmacists and Pharmaceutical Scientists. London: Taylor and Francis, 2001.
untuk memungkinkan obat sampai pada tempat atau sisi absorpsinya. Jadi alat atau sistem penyampaian nasal lebih sederhana dalam desain daripada yang diharapkan untuk penyampaian obat, sebagai contoh alveoli paru-paru memerlukan penetes (drops) atau penyemprot ( sprays) yang sederhana.
Kemudahan pemberian
Alat-alat nasal, seperti penyemprot nasal dosis terukur (metered-dose nasal sprays), sederhana bagi pasien dalam penggunaanya dan kemungkinan lebih
diterima oleh pasien daripada penggunaan suppositoria untuk penyampaian ke rektal.
Alternatif intestinal
Rute nasal mungkin dapat menjadi rute alternatif ke intestinal untuk absorpsi obat pada kondisi di mana rute saluran pencernaan tidak dapat dilakukan. Misalnya pasien dengan kondisi mual dan muntah, pasien dengan kesulitan menelan atau anak-anak, obat-obat yang tidak stabil dalam saluran pencernaan, dan obat-obat yang mengalami metabolisme tingkat pertama dalam jumlah besar di dinding usus atau hati.
II.6.2 Kerugian
Klirens mukosilia
Klirens mukosilia mengurangi waktu retensi obat dalam rongga nasal dan kesempatan untuk absorpsi. Untuk obat-obat yang cepat diabsorpsi, klirens mukosilia mungkin memiliki pengaruh atau akibat yang kecil, tetapi untuk obat-obat absorpsinya lambat efek dari klirens ini mungkin menjadi sangat besar.
Mukus sebagai barier
Difusi obat terbatas karena adanya pelidung fisik dari lapisan mukus dan ikatan obat pada musin.
Aktivitas metabolik
Ketika aktivitas metabolik rongga nasal terhadap peptida dan protein lebih kurang daripada saluran pencernaan, diakui mukosa dan sekresi nasal memiliki kemampuan untuk mendegradasi obat.
Terbatasnya molekul yang berpotensi
Untuk obat-obat yang memiliki BM besar (di mana sulit atau buruk diabsorpsi), rute ini hanya terbatas untuk molekul-molekul obat yang berpotensi; cirinya rentang konsentrasi plasma efektif dalam ng/mL (rendah).
Kurangnya kemampuan menghasilkan
Masalah utama yang berhubungan dengan penyampaian obat secara intranasal adalah pertanyaan apakah rute ini dapat menyediakan absorpsi yang dapat dipercaya. Penyakit-penyakit seperti pilek dan alergi debu atau serbuk sari dapat mengubah kondisi dari hidung, baik meningkatkan atau menurunkan klirens mukosilia, atau mengubah permeabilitas absorpsi mukosa. Hal ini mengakibatkan absorpsi obat akan meningkat atau menurun daripada kondisi normal. Untuk obat-obat dengan indeks terapetik kecil, variasi tidak dapat diterima.
Reaksi samping
Obat-obat yang dapat mengakibatkan iritasi lokal harus diperhatikan apabila menggunakan rute ini. Epitel nasal dan bagian dari silia sangat sensitif dan rapuh. Hal ini berlawanan dengan epitel buccal di mana lebih kuat dan lebih sedikit kecenderungan untuk iritasi. Fragilitas (kerapuhan) dari jaringan juga dapat mengakibatkan rute ini sensitif terhadap efek samping dari peningkat penetrasi. Kerusakan epitel dapat terjadi akibat penyakit pernafasan.
II.7. Pengaruh Formulasi terhadap Bioavailabilitas Obat Melalui Nasal
II.7.1. Faktor Fisikokimia yang Berhubungan dengan Obat
Sifat fisikokimia dari suatu molekul yang mempengaruhi absorpsi melewati epitelium nasal secara luas sama seperti absorpsi melewati transepithelial. Hal ini yang menjadi faktor yang mempengaruhi mekanisme dan laju absorpsi melalui epitelium nasal.
Untuk penghantaran obat nasal, hal tersebut dapat dikategorikan menjadi dua mekanisme absorpsi berdasarkan sifat fisikokimia dari obat :
Laju cepat, yang mana bergantung pada lipofilisitas dari obat. Laju lebih lambat yang bergantung pada berat molekul.
Demikian untuk obat yang bersifat lipofilik seperti propanolol, progesteron, 17β -estradiol, naloxon, dan testosteron diabsorbsi dengan cepat dan sempurna dengan aktivitas nasal (Hillery, Lloyd, & James, 2001).
Laju absorpsi yang lebih lambat (mungkin melalui rute paracellular dan juga melalui rute transcellular) digunakan untuk memberikan absorpsi yang adequat dari senyawa polar dengan berat molekul yang rendah oleh klirens mukosiliari (kira-kira 10-20 menit). Berat molekul diatas 1000 Da, absorpsi senyawa secara nasal dapat
berkurang. Demikian absorpsi obat hidrofilik lebih bervariasi daripada senyawa lipofilik dan tentunya pula garam. Contohnya sodium cromoglycat diabsorbsi dengan cepat melewati mukosa nasal, sedangkan absorpsi dari peptida dan protein berbeda-beda dimana 100 % untuk pentapeptida, metkephamid (berat molekul 660 Da), dan 1 % untuk gonadorelin (GnRH, berat molekul 1.300 Da). Beberapa cara telah dilakukan untuk meningkatkan absorpsi di mukosa hidung terutama untuk obat yang bersifat hidrofilik yaitu dengan penggunaan enhancer, inhibitor enzym proteolitik, dan dengan mendesain suatu formulasi yang sesuai seperti mukoadhesif dan dengan sistem penghantaran dengan serbuk kering (Wang, Tabata, & Morimoto, 2006).
II.7.2. Konsentrasi
Sebagian besar absorpsi dari obat yang menarik yang melewati mukosa nasal adalah yang melalui difusi pasif (paracellular atau transcellular). Kecepatan absorpsi akan dipengaruhi oleh konsentrasi obat dalam larutan pada membran absorbsi. Konsentrasi obat lebih tinggi serta gradient konsentrasi yang lebih curam mendorong proses absorpsi sehingga obat semakin cepat terabsorbsi Bagaimanapun, jika obat diformulasikan dalam larutan, konsentrasi yang tinggi mungkin akan dipilih karena akurat dan keterulangan dosis nya baik. Bagaimanapun, beberapa hal perlu diperhatikan, obat lokal dengan konsentrasi tinggi selama periode waktu mungkin juga dapat menyebabkan lokal iritan atau reaksi terhadap jaringan (Hillery, Lloyd, &
James, 2001).
II.7.3. Faktor Terkait dengan Bentuk Sediaan
Obat yang diadministrasikan ke rongga hidung umumnya diformulasi sebagai tetes hidung, yang terdeposit sebagai lapisan dari larutan obat, atau nasal spray yang terdeposit partikel aerosol, tetesan atau partikel yang tersuspensi dalam tetesan. Untuk absorpsi dari formula aerosol, penempatan dari aerosol harus diukur berdasarkan disolusi dari partikel padat jika diterapkan.
Tingkat dan lokasi dari endapan aerosol pada spray nasal bergantung pada :
Aerodinamik diameter dari partikel (mencakup ukuran tetesan, bentuk dan densitas)
Ukuran partikel tetesan yang dihasilkan tergantung pada bentuk dan ukuran peralatan yang digunakan. Jika ukuran partikel yang dihasilkan <10 µm, maka
partikel akan terdeposit di saluran pernapasan bagian atas, sedangkan jika ukuran partikel <0,5 µm maka akan dihembuskan. Partikel atau tetesan dengan ukuran antara 5-7 µm akan dipertahankan dalam rongga hidung dan kemudian diserap.
Muatan partikel ( yang juga bergantung pada obat, formulasi eksipien, dan metode dari aerosolisasi)
Kecepatan dimana partikel bergerak (yang bergantung pada pola pernafasan).
Mekanisme deposisi dalam hidung mencakup inertial impaction, sedimentasi, difusi, atraksi penangkapan dan elektrostatik. Struktur dan fisiologi dari saluran pernafasan, dengan bagian perlintasan kecil untuk aliran udara dan lekukan tajam, mengisyaratkan inertial impaction merupakan mekanisme yang penting dalam deposisi obat di saluran pernafasan.
Penelitian menggunakan tetes hidung dan spray yang dilabel radioaktif menunjukan :
Tetes hidung mendispersikan larutan obat disepanjang rongga hidung dari atrium ke nasofaring, menawarkan area yang relatif besar untuk absropsi langsung.
Spray hidung lebih terdeposisi pada bagian depan dari saluran pernafasan dengan dosis kecil yang mencapai turbinates.
Bentuk sediaan tetes hidung merupakan yang paling sederhana tetapi jumlah tepat obat yang disampaikan tidak dapat dengan mudah diukur dan dapat menyebabkan overdosis. Untuk sediaan spray yang berupa larutan lebih disukai daripada spray dalam bentuk serbuk karena spray dalam bentuk serbuk dapat menyebabkan iritasi mukosa
II.7.4. Faktor Formulasi Lainnya
Faktor formulasi tambahan yang berpengaruh terhadap penyampaian obat nasal mencakup :
Densitas dari pembawa
Viskositas dari pembawa
Formulasi dengan viskositas yang tinggi akan meningkatkan waktu kontak antara obat dan mukosa hidung sehingga meningkatkan pula waktu untuk permeasi. Namun bila formulasi yang digunakan viskositasnya terlalu tinggi
dapat mengganggu fungsi normal dari permukaan silia atau clearance mukosiliar dan dapat mengubah permeabilitas obat (Arora, Sharma, & Garg, 2002)
Volume yang diperbolehkan masuk melalui hidung berkisar 0,05-0,15 ml dimana telah mengandung solubilizer, gelling agent dan agen viskositas. Penggunaan solubilizer mampu meningkatkan kelarutan senyawa yang tidak larut pada larutan aqueous dan juga meningkatkan absorpsi obat secara nasal. Sedangkan gelling agen mengurangi tingkat kekeringan dan meningkatkan waktu retensi obat untuk kontak dengan membran mukus.
pH dari sediaan obat
pH formulasi dapat mempengaruhi permeasi obat. Untuk menghindari terjadinya iritasi hidung, pH formulasi harus disesuaikan antara 4,5-6,5. Tujuan lain mengatur pH formulasi adalah untuk memperoleh permeasi obat yang efisien dan mencegah pertumbuhan bakteri. Pada pH formulasi yang sesuai akan dihasilkan larutan yang isotonis. (Arora, Sharma, & Garg, 2002)
Penelitian mengenai efek pH dari larutan perfusi pada absorpsi nasal telah dilakukan dengan menggunakan senyawa terionisasi yang larut dalam air seperti asam benzoat (pKa = 4,2) dalam range pH 2.0-7.1. Hasil menunjukkan bahwa tingkat absorpsi bergantung pada pH, dimana hasil lebih besar didapatkan pada pH yang lebih rendah dari pKa dan menurun ketika pH meningkat melebihi pKa. Laju absorpsi nasal menurun ketika pH meningkat menyebabkan ionisasi
dari molekul yang berpenetrasi.
Tonisitas dari sediaan
Adanya bahan tambahan seperti penetrasi enhancer, inhibitor enzim, bioadhesif, dan lain-lain.
Faktor formulasi dengan adanya bahan tambahan dapat memodulasi penyerapan obat dengan mengoptimalkan proses distribusi, waktu retensi dan pelepasan obat serta disolusi obat pada rongga hidung. Sebagian besar peningkat penetrasi seperti surfaktan dan garam empedu terbatas untuk penggunaan klinis karena bersifat ireversibel untuk mukosa hidung. Oleh karena itu, pengembangan baru peningkat penetrasi tanpa menimbulkan efek samping merupakan pencapaian yang paling penting bagi pengiriman obat peptida melalui mukosa nasal (Wang, Tabata, & Morimoto, 2006).
Enzim proteolitik dapat mencegah hidrolisis dari peptida dan protein dalam rongga hidung, dan sehingga meningkatkan stabilitas obat di daerah penyerapan. Namun, enzim proteolitik tidak dapat memfasilitasi penetrasi obat melintasi
membran epitel, dan karena itu umumnya tidak mampu secara signifikan meningkatkan bioavailabilitas dalam proses penyerapan (Wang, Tabata, & Morimoto, 2006).
Mukoadhesif telah dikembangkan untuk meningkatkan penyerapan obat untuk bisa memperpanjang waktu kontak pada mukosa dengan melekat pada permukaan lapisan mukus. Namun, umumnya sulit untuk mencapai efek yang memuaskan untuk pada obat makromolekul. Oleh karena itu, pemanfaatan gabungan peningkat penetrasi dan mucoadhesion harus menjadi sarana yang efektif untuk mempromosikan penyerapan obat makromolekul melalui hidung seperti peptida dan protein.
II.8. Contoh-contoh Sistem Penyampaian Obat secara Intranasal2
Su et al. melaporkan pembelajaran absorpsi nasal dengan campuran, seperti klofilium tosilat, analog enkefalin, dan dobutamin hidroklorida. Mereka mendemonstrasikan bahwa campuran dengan waktu paruh pendek dapat didesain untuk meniru pemasukan intravena dengan dipraktekkan pada formulasi lepas terkendali intranasal.
Kumar et al. melaporkan bahwa pemberian intranasal progesteron dan noretisteron dapat mencegah ovulasi pada monyet. Steroid-steroid ini diberikan pada 15 hewan untuk menentukan absorpsi sistemiknya melalui mukosa nasal dan untuk mengevaluasi keadaan jalur spesifik dari mata dan hidung ke cairan serebrospinal.
Lindsay melaporkan penelitiannya dengan 93 pasien pembedahan nasal di mana pendarahannya dikontrol oleh aerosol nasal yang disebut tobispray. Tobispray
merupakan aerosol nasal dosis terukur, kering, mengandung vasokonstriktor (tramazolin), steroid (deksametason isonikotinat), dan antibiotik (neomisin sulfat). Pengobatan ini tingkat kesuksesannya 94,6%.
Xylometazoline merupakan dekongestan topikal nasal kerja panjang yang digunakan untuk sesak atau alergi rhinitis. Hamilton mengevaluasi kemampuan penyemprot ( spray) nasal xylometazoline dalam mengurangi sesak pada orang
normal yang terinfeksi saluran pernafasan bagian atas.
Hyde et al melaporkan pemberian sublingual skopolamin, yang terbatas pada rute pemberian intranasal dan subkutan.
Atropin sulfat diberikan secara intranasal menggunakan atomizer kepada pasien dengan rhinorrhea yang disebabkan oleh alergi rhinitis dan virus rhinitis. Satu dari 31 pasien menunjukkan pengurangan dalam sekresi. Tidak ada satu pun pasien yang yang dilaporkan mengalami efek samping umum, seperti mulut
kering dan gangguan penglihatan.
Ipratropium merupakan obat parasimpatolitik dengan aktivitas topikal dan ketika disediakan dalam aerosol dapat digunakan sebagai bronkodilator untuk pengobatan penyakit broncho-constructive. Borum dan Mygind mengembangkan tes sederhana untuk mengukur reaktivitas nasal pada orang sehat dan pasien dengan rhinitis perennial (bertahun-tahun).
Dyke et al membuat pembelajaran perbandingan efikasi kokain dengan pemberian secara oral dan intranasal. Hasilnya menunjukkan bahwa pada pemberian intranasal, kokain terdeteksi pada plasma dalam waktu 15 menit dan konsentrasi puncak pada 60 sampai 120 menit, kemudian menurun perlahan-lahan pada 2-3 jam berikutnya. Pada pemberian oral, kokain terdeteksi pada plasma dalam waktu 30 menit dan kemudian menurun secara cepat pada 30
menit berikutnya.
Sulbenicillin, sefasetril, dan sefazolin diabsorpsi buruk pada saluran pencernaan karena kelarutannya dalam air yang terlalu besar dan kurangnya sifat lipofilisitasnya. Hirai et al melakukan percobaan absorpsi in vivo pada tikus untuk membandingkan bioavailabilitas antibiotik-antibiotik ini melalui pemberian intranasal, oral, dan intramuskular. Setelah pemberian oral, ketiga obat mengalami absorpsi buruk. Setelah pemberian intranasal, persentase yang dikeluarkan melalui urin satu setengah daripada injeksi i ntramuskular.
Absorpsi aminoglikosida dari saluran cerna dapat ditingkatkan dengan surfaktan nonionik. Rubinstein et al melaporkan penelitian peningkatan absorpsi gentamisin dari nasal pada orang sehat. Adanya surfaktan, seperti glikokolat diperlukan untuk mencapai konsentrasi signifikan gentamisin dalam sirkulasi.
Ketika obat-obat antiviral diberikan secara tetes nasal pada hewan yang terinfeksi virus pada saluran pernafasan atasnya, aktivitas antiviralnya selalu ditemukan lebih rendah daripada yang diharapkan. Bucknall mempelajari faktor -faktor yang bertanggung jawab mengurangi efektifitas obat-obat antiviral yang diberikan secara intranasal.
Absorpsi nasal dari CsCl, SrCl2, BaCl2, dan CeCl3 dipelajari pada hamster Syrian dan dibandingkan dengan absorpsi saluran cerna. Hasilnya menunjukkan bahwa lebih dari 50% radioaktif Cs, Sr, dan Ba terdeposit pada membran nasal yang diabsorpsi secara langsung ke dalam sirkulasi, tetapi kurang dari 4% Ce diabsorpsi. Untuk semua isotop, bioavailabilitas nasal kira-kira sama atau lebih besar daripada bioavailabilitas oral pada 4 jam pertama setelah pemberian. Data ini menunjukkan nasofaring mungkin merupakan sisi absorpsi penting untuk aerosol dengan ukuran diameter lebih besar dari 5 mikron.
Pengobatan secara nasal dapat menjadi efektif pada pengobatan migrain. Pemberian propranolol secara nasal lebih efektif daripada oral, kerja cepat, dan mencegah perkembangan migrain.
Penelitian pada Universitas Nottingham, UK , dan Norvo-Nordisk A/S , Gentofte, Denmark, menemukan pemberian larutan insulin secara intranasal dalam kombinasi dengan peningkat menghasilkan penurunan level glukosa darah 65%. Mereka juga menemukan bahwa komponen palmitoil dan stearil dari lisofosfatidilkolin dalam konsentrasi 0,5% menghasilkan efek yang mirip dengan yang dihasilkan oleh campuran induk. Hal ini menunjukkan bahwa lisofosfolipid merupakan peningkat absorpsi yang berpotensi ketika digunakan dalam penyampaian nasal.
Czeniawska menginvestigasi kemungkinan penetrasi radioaktif koloidal Au dari membran mukosa bagian penciuman (olfaktori) ke cairan serebrospinal bagian anterior. Hasilnya menunjukkan radioisotop Au berpenetrasi dari
membran mukosa nasal bagian penciuman ke cairan serebrospinal anterior.
Penelitian pada Universitas Nottingham, United Kingdom, menemukan bahwa nanopartikel dari kitosan tidak meningkatkan absorpsi insulin dengan
pemberian nasal. Selain itu, serbuk kitosan merupakan formulasi paling efektif untuk pemberian nasal insulin pada domba.3
Contoh-contoh Sediaan a. Lokal
Afrin Sinus 12 Hour Relief Nasal Spray 4
-Pabrik pembuat:
SCHERING-PLOUGH HEALTHCARE -Indikasi:
Afrin Sinus 12 Hour Relief Nasal Spray secara sementara dapat menyembuhkan penyumbatan hidung akibat flu biasa, hay fever , alergi saluran pernapasan atas, sinusitis. Obat ini dapat mengecilkan membran nasal sehingga pasien dapat bernapas lebih lega
-Komposisi :
Zat Aktif : Oxymetazoline Hydrochloride (0. 05 - Nasal Decongestant).
Zat Tambahan : Benzalkonium Klorida, Benzil Alkohol, Camphora, Edetate Disodium, Eucalyptol , Mentol, Polisorbat 80, Propilen Glikol, Sodium Phosphate Dibasic, Sodium Phosphate Monobasic, Air.
-Penggunaan :
Dewasa dan anak-anak 6-12 tahun (dengan pengawasan orang dewasa) : 2 atau 3 spray pada tiap nostril, tidak boleh lebih sering dari setiap 10-12 jam. Tidak boleh melebihi 2 dosis pada periode 24 jam.
-Gambar Sediaan :
3AM, Dyer et al . 2002. Nasal Delivery of Insulin using Novel Chitosan based Formulations: A Comparative
Study in Two Animal Models between Simple Chitosan Formulations and Chitosan Nanoparticles . United Kingdom : Pharm Res. Didapat dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12180553
Otrivine Adul Nasal Drops5
-Indikasi:
Digunakan untuk menyembuhkan penyumbatan hidung (termasuk akibat flu), hay fever , dan sinusitis
-Komposisi:
Oxymetazoline Hydrochloride BP 0.1% w/v, Natrium klorida, Sodium Phosphate, Sodium Acid Phosphate, Disodium Edetate , Benzalkonium klorida dan air.
-Dosis:
Dewasa 2 atau 3 tetes pada setiap nostril, 2-3 kali sehari. Tidak digunakan untuk anak-anak.
-Gambar Sediaan :
Fenox Nasal Drops6
-Indikasi:
Untuk menyembuhkan penyumbatan hidung pada flu, radang selaput lendir pada hidung, sinusitis dan hay fever
-Komposisi:
Fenilefrin hidroklorida BP 0.5% w/v -Dosis:
Dewasa 4-5 tetes pada tiap nostril malam dan pagi selama 4 jam sekali jika diperlukan. Anak-anak 5-12 tahun 2 tetes pada tiap nostril malam dan pagi dan tiap 4 jam jika dibutuhkan. Tidak dianjurkan untuk anak dibawah 5 tahun kecuali degan anjuran dokter.
5 http://www.chemistdirect.co.uk/otrivine-nasal-drops_1_2334.html
Gambar Sediaan :
b. Sistemik
Zomig Nasal Spray7
-Indikasi:
Digunakan untuk menyembuhkan migrain, sakit kepala, nyeri dan gejala-gejala migrain termasuk mual, muntah dan sensitif terhadap cahaya/suara. Obat ini tidak digunakan untuk mencegah atau mengurangi frekuensi terjadinya migrain.
-Komposisi:
Zolmitriptan 5 mg -Dosis:
Biasanya digunakan 1 spray pada 1 nostril pada gejala awal migrain seperti anjuran dokter.
-Gambar Sediaan :
Sinol M All Natural Nasal Spray For Fast Headache Relief - 15 Ml
-Indikasi: Digunakan untuk menyembuhkan gejala sakit kepala secara cepat (dibandingkan pemberian oral), migrain, dan sakit kepala saat pre-menstruasi -Komposisi : ekstrak capsaicin, air murni, ekstrak Aloe barbadensis, minyak
eucalyptus, ekstrak rosemary, garam laut (NaCl), asam askorbat -Dosis :
Dewasa dan anak-anak umur 12 tahun ke atas 2-3 kali spray pada tiap nostril, tidak boleh lebih sering dari setiap 10-12 jam. Umur dibawah 12 tahun sesuai anjuran dokter. Anak dibawah 2 tahun tidak boleh menggunakan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN III.1. Kesimpulan
Teknologi untuk penghantaran sediaan nasal terfokus pada penghantaran obat lokal seperti dekongestan, antibiotik dan mukolitik, untuk perawatan rongga hidung dan penghantaran sistemik obat dengan berat molekuler (<500 DA), termasuk peptida
terapetik. Sediaan nasal dapat berupa nasal spray, nasal drop, nasal powder dan nasal gels. Keuntungan dari rute pemberian nasal adalah luas permukaan yang besar, kaya
akan suplai darah, aktivitas metabolik yang rendah, kemudahan akses, kemudahan pemberian, rute alternatif menuju intestinal. Sedangkan kekurangan dari rute pemberian nasal ialah adanya klirens mukosilia, mukus sebagai barier, aktivitas metabolik, terbatasnya molekul yang berpotensi, kurangnya kemampuan menghasilkan dan kemungkinan besar untuk terjadinya reaksi samping. Bioavailabilitas sediaan nasal dipengaruhi oleh sifat fisikokimia sediaan, bentuk sediaan dan formulasi sediaan.
III.2. Saran
Diadakan penelitian lebih lanjut untuk mengembangkan teknologi formulasi sediaan utnuk rute pemberian nasal agar dapat memenuhi parameter sediaan ideal.