ISSN 2654-6191 (Print)
Carolus Journal of Nursing
Tersedia online pada http://ejournal.stik-sintcarolus.ac.id/
KEMAJUAN TEKNOLOGI DALAM MENENTUKAN TEST DIAGNOSTIC SERTA MONITORING TERJADINYA SLEEP APNEA: STUDI LITERATUR
1Meta Agil Ciptaan, 2Rr Tutik Sri Hariyati 1Mahasiswa Magister Keperawatan Medikal Bedah 2Staf Dosen Fakultas Imu Keperawatan Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
Email: [email protected]
ABSTRAK
Sleep apnea merupakan salah satu gangguan tidur yang dapat mengakibatkan keadaan
fatal. Sleep apnea ditandai dengan adanya fase berhenti bernapas ketika dalam keadaan tertidur. Lama fase berhenti bernapas dan frekuensi sleep apnea yang muncul dalam satu jam tergantung kepada keseriusan gangguan yang dialami pasien. Sleep apnea menyebabkan desaturasi oksigen yang menimbulkan penurunan kualitas hidup, penurunan konsentrasi, mengantuk berlebihan pada siang hari, gangguan jantung, hipertensi, stroke dan kematian. Prevalensi sleep apnea pada pria 10% dan 3% pada wanita yang berumur 30-49 tahun dan 17% pada pria dan 9% pada wanita yang berumur 50-70 tahun. Sleep apnea sendiri banyak yang belum terdiagnosa. Studi literature ini bertujuan untuk mereview alat yang digunakan untuk mendiagnosa dan memonitor terapi sleep apnea yang efektif dan efisien, berbasis komputer smartphone dan wireless sehingga data dapat terhubung langsung ke Electromic
Medical Record (EMR) pasien atau Cloud dan mudah diakses oleh dokter dan pasien. Hasil
penelitian ditelusuri dari PubMed, Proquest, Scopus, Wiley Online, dan Oxford Jurnal dari Januari 2013-September 2018 sehingga mendapatkan 6 jurnal yang revelan. Kesimpulannya penemuan alat-alat ini dapat dikembangkan lagi dalam membantu diagnose dan monitor sleep apnea.
Kata kunci: Aplikasi; Computer; Sleep Apnea; Smartphone; Teknologi dan Wireless
NURSING KNOWLEGDE: NEW TECHNOLOGY FOR DIAGNOSING AND MONITORING SLEEP APNEA; COMPUTERS, SMARTPHONES AND WIRELESS ABSTRACT
Sleep apnea is a sleep disorder that can result fatal condition. Sleep apnea is characterized by the phase of stopping breathing during sleeping. The duration of the cessation phase and the
frequency of sleep apnea that occur within one hour depends on the seriousness the disorder of the patient. Sleep apnea causes oxygen desaturation which results in decreased of quality of life, decreased concentration, excessive daytime sleepiness, heart problems, hypertension, stroke and death. The prevalence of sleep apnea in men is 10% and 3% in women aged 30-49 years and 17% in men and 9% in women aged 50-70 years. Sleep apnea itself many have not been diagnosed. This literature review study looks at study new tools to diagnose and monitor effective and efficient sleep apnea therapy, based on smartphones and wireless computers so that data can be connected directly to the patient’s Electromic Medical Record (EMR) or Cloud and it is easily accessible to doctors and patients. The research were traced from PubMed, Proquest, Scopus, Wiley Online, and Oxford Journals from January 2013 - September 2018. Then get 6 revelant journals. In conclusion, the discovery of these tools can be developed to help diagnose and monitor sleep apnea
Keywords: Applications; Computers; Sleep Apnea; Smartphone; Technology and Wireless
PENDAHULUAN
Tidur dan istirahat merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Tidur yang sesuai dengan irama sirkadian sangat penting bagi manusia untuk memulihkan kembali kondisi tubuh dan mengistirahatkan berbagai organ tubuh. Saat tidur tekanan darah manusia menjadi berfluktuasi, denyut jantung menjadi menurun, otot dan jaringan menjadi relaksasi dan memperbaiki dirinya sendiri dengan mengganti sel-sel tubuh yang rusak atau mati (Almazaydeh, 2013). Tidur dan istirahat menjadi sangat penting karena tanpa tidur dan istirahat dapat mengakibatkan tubuh manusia tidak berfungsi dengan baik. Timbulnya gangguan yang muncul ketika seseorang tidur ternyata dapat berakibat fatal bahkan sampai mengancam nyawa individu tersebut (Cho et al., 2018). Gangguan tersebut adalah sleep apnea.
Sleep apnea merupakan gangguan pernapasan yang dapat muncul ditandai dengan
adanya fase berhenti bernapas ketika dalam keadaan tertidur yang dapat mengakibatkan
deoxygenasi. Ada juga istilah lain untuk sleep apnea yaitu sleep-relating breathing disorders
(SRBDs) yang didefenisikan sebagai interupsi pernapasan ketika tidur yang mengakibatkan
hypoxia (Janbakhshi & Shamsollahi, 2018). Sleep apnea ini dapat terjadi 30 kali dalam satu
jam (Yeh et al., 2017) dan setiap kondisi apnea ini dapat terjadi lebih kurang 10 detik (Talebi, Tabatabaye, & Vahedi, 2018); sedangkan penelitian lain (T. & C., 2018) menjelaskan bahwa lama waktu apnea dapat bervariasi, ada yang 20-30 detik bahkan ada yang lebih dari 120 detik. Hal ini dapat mengakibatkan kondisi yang serius berupa penyakit kardiovaskuler, stroke dan diabetes (Roebuck et al., 2014). Bahkan yang paling fatal adalah kematian (Panzel & Schobul, 2018).
Angka kejadian Sleep apnea ini meningkat selama dua dekade terakhir dan perlu mendapat perhatian. SRBDs dilaporkan terjadi 4% pada pria dan 2% pada tahun 1993 kemudian pada saat ini meningkat pada pria menjadi 10% dan 3% pada wanita dengan rentang umur 30-49 tahun. Pada kategori umur 50-0 tahun terjadi peningkatan menjadi 17% pada pria dan 9% pada wanita (Penzel & Schobel 2018). Penelitian lain menyebutkan bahwa lebih 15% penduduk Amerika mengalami gangguan pernapasan yang berhubungan dengan tidur (Yeh et al., 2017).
Apnea pada saat tidur ini akan menghalangi jalan napas sehingga mengakibatkan penurunan otot napas dari saluran napas atas ketika tidur (Brodie et al., 2015). Sleep apnea ditandai dengan berhentinya seseorang bernapas ketika tidur. Penyebabnya sleep apnea ini dapat dibedakan menjadi 3 yaitu obstructive sleep apnea, central sleep apnea dan gabungan keduanya. (1) Obstrucsive sleep apnea (OSA) merupakan kejadian yang terbanyak hampir 80% (Yeh et al., 2017). OSA didiagnosa jika seseorang mengalami apnea-hypopnea index (AHI= jumlah apnea atau hypopnea yang dapat terjadi dalam satu jam ketika tidur) lebih dari 5 kali dan menunjukkan tanda dan gejala mengantuk pada siang hari. Hypopnea terjadi jika aliran udara pernapasan menurun tetapi tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Sleep Apnea (OSA). Kejadian OSA dapat terjadi 2 x lebih sering pada individu yang mengalami obesitas dibandingkan dengan individu yang normal. OSA terjadi karena otot tenggorokan relaks dan menutup jalan napas ketika tidur (Yeh et al., 2017). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan berat badan 10% akan meningkatkan apnea-hypopnea index menjadi 32% (Cho et al., 2018).
Hal ini sesuai juga pada penelitian tentang “Obstructive sleep apnea and risks of all
cause” bahwa obesitas, umur dan peningkatan Body Mass Index berpengaruh pada peningkatan
kejadian OSA (Pan, Xie, Liu, Ren, & Guo, 2016). (2) Central sleep apnea (CSA) hilangnya pernapasan selama 10 detik atau lebih diikuti dengan hilangnya usaha untuk bernapas, jeda berhentinya pernapasan ini bisa bervariasi tergantung beratnya gangguan yang dialami. Pada CSA, hilangnya pernapasan yang berulang-ulang saat tidur dikarenakan hilangnya usaha atau dorongan untuk bernapas. Penyebab dari CSA secara primer masih sulit dipahami. Prevalensi CSA lebih tinggi pada orang dewasa yang lebih tua dan memiliki komorbiditas terkait kondisi seperti penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular. CSA jarang terjadi pada anak di atas satu tahun dan data masih terbatas. Penyebab didominasi oleh gangguan bedah
saraf (Popescu et al., 2018). Penelitian lain menyebutkan CSA muncul karena ketidakstabilan mekanisme feedback dan kontrol pernapasan (Yang et al., 2018). (3) Mixed Sleep Apnea merupakan gabungan antara OSA dan CSA (Roebuck et al., 2014). Obesitas merupakan salah satu penyebab yang paling sering pada Obstructive. Sedangkan pada MSA hilangnya ventilasi karena gabungan OSA dan CSA tetapi implikasi klinisnya sebelumnya belum dimengerti (Yang et al., 2018).
Sleep apnea yang tidak teratasi dapat menyebabkan desaturasi oksigen yaitu turunnya
jumlah suplai oksigen ke dalam tubuh. Penurunan desaturasi oksigen dapat dinilai dengan
Oxygen Desaturation Index (ODI). ODI akan turun 3-4% setiap kali kejadian apnea. Turunnya
saturasi oksigen akan mengakibatkan hypoxia dan mengaktifkan sistem saraf otonom. Aktivasi ini akan meningkatkan denyut jantung, vasokontriksi perifer dan peningkatan tekanan darah sehingga akan meningkatkan resiko gangguan perifer seperti hipertensi, infark miokard, aritmia jantung dan stroke (Panzel & Schobel, 2018). Akibat lain yang dapat ditimbulkan seperti mengantuk di siang hari yang berpengaruh pada kualitas hidup seseorang serta meningkatkan resiko kecelakaan ketika berkendara (Yeh et al., 2017).
Salah satu upaya pasien untuk mengatasi permasalahan yang ada adalah dengan melakukan pemeriksaan di laboratorium tidur atau di Rumah sakit. Nyatanya dari beberapa penelitian dinyatakan tidak efektif selain itu juga pemeriksaan yang dilakukan saat ini seperti pemeriksaan Polysomnograhy (PSG) ternyata dinilai kurang efektif (Uçar, Bozkurt, Bilgin, & Polat, 2016).
Tujuan dari studi literature ini adalah untuk mengetahui macam teknologi yang digunakan dalam menentukan test diagnost sleep apnea serta meningkatkan pengetahuan perawat dalam melihat atau menentukan informasi berkelanjutan tentang test diagnostic yang berkembang dan menginisiasi pengembangan pemeriksaan sleep apnea berbasis teknologi ke depannya dari perspektif perawat.
METODE PENELITIAN
Studi literature ini diperoleh dari artikel penelitian ilmiah dari rentang tahun 2013 – 2018 dengan menggunakan database dari PubMed (MedLine dan Non MedLine), Proquest,
Scopus, Wiley Online, dan Oxford Jurnal. Dengan memasukkan kata kunci applications, technology, sleep apnea, dan smartphone. Jurnal yang tidak berbahasa Inggris penulis
HASIL PENELITIAN
Alur diagram pencarian literatur dilakukan pada database:
6 artikel yang relevan setelah direduksi:
153 artikel Penulusuran awal
352 artikel
direduksi yang tidak sesuai judul 199 artikel
direduksi berdasarkan isi jurnal, dikeluarkan 147
artikel
Diagram 1. Alur pencarian artikel
Prevalensi sleep apnea cenderung selalu meningkat dari tahun ke tahun semakin meningkatkan perkembangan alat untuk diagnosa dan memonitor sleep apnea. Keadaan sleep
apnea yang kronik membutuhkan terapi kontinu dan pantauan kesuksesan terapi. Berikut
beberapa perkembangan alat untuk mendiagnosa dan monitoring terapi yang dilakukan di rumah untuk pasien sleep apneu yang didapatkan dari 4 jurnal dengan metode eksperimen dan 2 jurnal literature review. Berdasarkan hasil pencarian literatur, didapatkan 6 artikel. Artikel tersebut mengidentifikasi teknologi yang digunakan untuk menentukan test diagnostic serta monitoring terjadinya sleep apnea.
Tabel 1. Hasil Penelitian Terkait
Hasil Penelitian
No Studi Tahun Alat Design Hasil
1 Ucar et al 2016 PPG dan
learning machine techniques
eksperimen Keakuratan 97,7% untuk MLFFN dan 32 dari 34 data hasinya signifikan sama dengan pemeriksaan PSG 2 Wang et al 2017 Ballistocardiogram eksperimen Keakuratan 97,57%,
sensitifitas 98,01%, Specifity 91,44%
Hasil Penelitian
No Studi Tahun Alat Design Hasil
3 Yeh et al 2017 Smart oral, sensitivity array
eksperimen Sensitifitas tinggi, akurat memantau pergerakan lidah, merekam setiap 4 detik. 4 Thomas et al 2018 HSAT (Home Sleeping Apnea Testing) A review study
Fokus kepada tidur dan bangun, usaha napas dan posisi badan.Akurat spesifikasi
5 Daly et al 2014 SleepCare App Eksperimen Pada 1007 responden
ODI 85,6% akurat. Sensitifitas alat 85,6% dan spesifikasi 92,6%
6 Rimler, rose
2016 Somnoware dan
Sleepyhead
Review Lebih dari 100 pengguna PAP
register terhadap web dan aplikasi ini setiap hari
PEMBAHASAN
Tabel 1 menunjukkan enam artikel mengenai alat/teknologi baru yang digunakan untuk menentukan diagnose sleep apnea. Berdasarkan hasil penelitian di Turki menunjukkan bahwa PPG (Phonopletysmography) merupakan salah satu alternatif dari Polysomnograhy (PSG) untuk deteksi atau pemeriksaan sleep apnea yang dapat dilakukan di rumah. PPG ini merupakan salah satu dasar dari alat pemeriksaan portable sleep apneu yang dapat dilakukan di rumah sehingga pasien menjadi lebih nyaman. PPG merupakan pemeriksaan yang non
invasive yang memberikan informasi tentang aliran darah dari tubuh terhadap kulit yang
diperiksa. Sehingga gelombang yang dihasilkan oleh PPG berkaitan dengan gelombang pernapasan sehingga kita dapat melihat fase-fase pernapasan apnea pada pasien dengan melihat perubahan gelombang PPG seiring meningkatnya ODI pada fase apnea (Uçar, Bozkurt, Bilgin, & Polat, 2016). PPG lebih membuat pasien nyaman dari pemeriksaan PSG karena tidak perlu memakai banyak elektroda. Penelitian Ucar, Bozkurt, Bilgin & Polat (2016) hasil PPG ini hampir sama dengan hasil pemeriksaan PSG serta tidak memerlukan pendampingan dalam perekaman data, hal ini telah diuji dengan berbagai pendekatan. Sayangnya dalam penelitian ini hasil PPG memang dapat ditransmisikan ke komputer tetapi belum disebutkan dapat terintegrasi dengan rekam medis atau dikonsulkan secara online kepada dokter.
Pemeriksaan Balistocardiogram (BCG) dasarnya hampir sama dengan PPG yang menginterpretasikan sleep apnea dari HR dan pernapasan. Bedanya yaitu balistocardiogram didapatkan dari perekaman data dengan sensor yang diletakkan di tempat tidur atau matras, kemudian sensor tersebut akan membaca pergerakan denyut jantung, pergerakan dada, pergerakan tubuh. Rekaman gelombang tersebut akan di transmisikan oleh AD converter ke dalam komputer sehingga akan muncul gelombang BCG yang dapat dianalisis HR pasien dan interval Respiratory Ratenya. Perbandingan respiratory rate tersebut dapat melihat fase apnea yang dialami pasien ketika tidur (Wang, Zhou, Zhao, Liu, Ni, & Yu, 2017). Balistocardiogram ini juga sudah dapat menggolongkan sleep apnea menurut tingkat keparahannya dibandingkan dengan PPG yaitu menjadi ringan, sedang dan berat.
Alat deteksi sleep apnea lainnya yang dikembangkan melalui aplikasi di smartphone berdasarkan PPG yaitu SleepCare App. Aplikasi SleepCare ini selain untuk deteksi sleep apnea juga bisa menjadi alat untuk monitoring sleep apnea terutama bagi yang menggunakan alat bantu CPAP. Kelebihan SleepCare ini merekam PPG dari HR digabungkan dengan saturasi oksigen dari oksimetri, kemudian accelerometer akan mengukur pergerakan, posisi, nasal kanul untuk mengukur airflow dan microphone pada nasal kanul untuk memantau bunyi dengkuran (Roebuck et al., 2014). Data saturasi dari oksimetri dapat terinput ke smartphone
via Bluetooth, bisa juga menggunakan smartphones yang sudah ada sensor oksimetrinya
tetapi biayanya mahal. Data lain diukur dengan portable home sleep study device kemudian data di input ke smartphone melalui aplikasi SleepCare akan terhubung ke EMR pasien di pelayanan kesehatan. Data tersebut dapat diakses oleh dokter dan didiagnosa kemudian dokter akan memberikan terapi sesuai keadaan pasien. Perawat pun dapat lebih mudah dalam memonitor keadaan pasien sehingga evaluasi perkembangan pasien lebih efektif dan efisien.
Yeh et al (2017) juga mengembangkan alat untuk mendeteksi adanya sleep apnea. Berbeda dengan alat sebelumnya, alat yang bernama smart oral dengan sensitivity array ini langsung diletakkan di dalam mulut dan ukurannya pun telah disesuaikan dengan rongga mulut manusia. Alat ini akan merekam setiap 4 detik pergerakan mulut terutama lidah sehingga dapat mendeteksi apakah lidah penyebab sumbatan pada sleep apnea pasien. Rekaman ini akan disimpan pada chip EPPROM alat kemudian ditransmisikan ke komputer via bluetooth, sehingga dapat tersimpan pada cloud ataupun rekam medis pasien (Yeh et al., 2017). Alat ini disebut lebih mudah, aman dibandingkan dengan yang lain untuk digunakan karena tidak memerlukan sadapan elektroda selain memiliki sensitifitas yang tinggi dan biaya murah.
Hanya alat ini mempunyai keterbatasan baterai yang hanya dapat bertahan setiap 8 jam dan harus di cas lagi untuk penggunaan berikutnya selain itu hanya dapat mendeteksi OSA saja.
Hasil review dari Thomas et al (2018) juga menjelaskan tentang HSAT (Home Sleeping
Apnea Testing). Pemeriksaan HSAT ini mirip dengan pemeriksaan PSG yang dilakukan
di rumah, tetapi kabel-kabel dan elektrodanya tidak sebanyak pemeriksaan PSG. Alat ini akan merekam kedalaman tidur, HR, RR, saturasi oksigen, airflow, bunyi dengkuran tidur. Kelebihan alat-alat pada HSAT ini yaitu setiap komponennya mempunyai bluetooth sehingga setiap hasil rekaman akan langsung ditransmisikan ke smartphone atau komputer yang mempunyai kapasitas memori lebih besar dan akan tersimpan juga di Cloud/EMR pasien sehingga dokter akan dapat langsung mengakses data pasien (T. & C., 2018). Dengan adanya alat ini pasien tidak perlu melakukan pemeriksaan di laboratorium sehingga pasien dapat tidur dengan natural dan hasil pengukuran lebih reliable. Pemeriksaan pun lebih mudah dan klien tidak perlu menemui dokter ke rumah sakit. Konsul dapat dilakukan secara online atau email, dan dokter akan memberikan arahan sesuai keadaan pasien. Alat ini hampir sama dengan SleepCare yang telah ada sebelumnya pada tahun 2014. Bedanya alat ini dapat mendeteksi sleep apnea yang dialami pasien berupa OSA, CSA atau mix sedangkan alat-alat sebelumnya hanya dapat mendeteksi OSA saja. Hanya kekurangan pemeriksaan ini yaitu jaminan keamanan data di cloud belum ada.
Perkembangan teknologi lain yang dapat memudahkan monitoring atau perawatan pasien yang menderita sleep apnea yaitu Somnoware dan Sleepyhead dan Life styles
modification application on obesity with sleep apnea. Pasien sleep apnea yang menggunakan
mesin CPAP di rumah atau mesin PAP dapat menggunakan aplikasi ini di smartphone atau di web tersebut untuk memantau keadaannya setiap hari. Dari mesin CPAP atau PAP yang digunakan pasien, rekaman datanya dapat di upload ke web atau ke aplikasi somnoware atau sleepyhead yang sudah pasien daftar. Data yang di uload tersebut akan mendapat umpan balik tentang kesehatan pasien dan terapi yang perlu dijalankan oleh pasien. Dari data yang terkirim tersebut klien akan mendapatkan notifikasi, sms, email atau video call untuk konsultasi apakah pasien perlu menggunakan mesin PAP saat tidur hari itu atau tidak. Hal ini sangat memudahkan monitoring bagi pasien sleep apnea yang menggunakan mesin pernapasan saat tidur dan dapat menjadi panduan bagi pasien (Rimley, 2016)
untuk menurunkan berat badan. Pasien yang sudah terdiagnosa sleep apnea baik yang menggunakan bantuan CPAP ataupun tidak, tetapi mempunyai masalah obesitas dapat menggunakan aplikasi ini. Aplikasi ini bertujuan membantu memonitor pasien sleep apnea sekaligus membantu mengurangi kejadian sleep apnea pada pasien dengan mengatasi faktor utama yaitu obesitas. Hasil penelitian dengan desain Random Control Trial menemukan bahwa penurunan berat badan pada kelompok kontrol dan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Akan tetapi penurunan berat badan pasien berpengaruh terhadap penurunan kejadian sleep apnea pada saat tidur (Cho et al., 2018). Jadi aplikasi ini dapat menjadi motivasi bagi pasien untuk mengubah gaya hidupnya menjadi lebih sehat dengan pengaturan diit dan aktivitas sekaligus memonitor terapi sleep apnea yang dijalani pasien. Pasien akan mendapatkan feedback dari dokter karena aplikasi ini akan terhubung langsung kepada EMR pasien. Selain itu, perawat pun dapat lebih mudah dalam melakukan evaluasi keadaan pasien terhadap asuhan keperawatan yang diberikan.
SIMPULAN
Sleep apnea dapat berakibat mengganggu kualitas hidup penderitanya sampai berujung
kematian. Untuk itu dibutuhkan suatu teknologi baru yang dapat mengidentifikasi atau mendiagnosa dan memonitor sleep apnea ini. Oleh sebab itu mulailah berkembang teknologi-teknologi baru yang dapat memudahkan untuk pemeriksaan dan monitoring sleep apnea di rumah. Hal ini bertujuan hasil pemeriksaan lebih reliable, murah dan nyaman bagi pasien. Alat dan aplikasi berbasis smartphone tersebut seperti PPG dan learning machine techniques, Balistocardiogram, smart oral sensitivity array, sleepcare app, HSAT, Somnoware, sleepyhead, dan lifestyles modification application on obesity with OSA. Teknologi ini bahkan sudah ada yang menyimpan data di cloud atau terhubung ke EMR sehingga memudahkan dalam mendiagnosa dan memonitor sehingga pasien lebih mudah konsultasi dan memantau terapi. Alat pengkajian dan terapi sleep apnea semakin canggih tersebut dapat dikembangkan lebih baik dari segi keperawatan untuk melihat kebutuhan pasien dalam meningkatkan perawatan klien dengan sleep apnea, seperti diagnosa dan monitoring yang lebih sederhana tanpa menggunakan banyak kabel-kabel sehingga pelayanan perawatan pada pasien sleep
apnea dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Perawat dapat mengembangkan aplikasi
ini dari sudut pandang keperawatan untuk dapat digunakan kapanpun dan dimanapun klien berada sehingga dapat mempermudah klien mempunyai akses jauh dari pelayanan kesehatan dalam perawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Almazaydeh, L. (2013). interactive, real-time, high precision and portable monitoring system of obstructive sleep apnea, 83. Diakses dari https://remote-lib.ui.ac.id:2076/docvie w/1426182559?accountid=17242.
Brodie, F. L., Charlson, E. S., Aleman, T. S., Salvo, R. T., Gewaily, D. Y., Lau, M. K., … Brucker, A. J. (2015). Obstructive sleep apnea and central serous chorioretinopathy. Retina, 35(2), 238–243. Diakses dari https://doi.org/10.1097/IAE.0000000000000326. Cho, S.A, et al (2018). Effect of lifestyle modification using a smartphone application on
obesity with obstructive sleep apnea: A short-term, randomized controlled study. Clinical and Experimental Otorhinolaryngology, 11 (3), 192-198. Diakses dari https://doi.org/10.21053/ceo.2017.01284.
Janbakhshi, P., & Shamsollahi, M. B. (2018). Sleep Apnea Detection from Single-Lead ECG Using Features Based on ECG-Derived Respiration (EDR) Signals. Irbm, 39(3), 206–218. Diakses dari https://doi.org/10.1016/j.irbm.2018.03.002.
Pan, L., Xie, X., Liu, D., Ren, D., & Guo, Y. (2016). Obstructive sleep apnoea and risks of all-cause mortality: preliminary evidence from prospective cohort studies. Sleep and Breathing, 20(1), 345–353. Diakses dari https://doi.org/10.1007/s11325-015-1295-7. Popescu, N. A, et al (2018). Central Sleep Apnea – a Rare Cause for Acute Respiratory
Insufficiency in Children. Case Report. MAEDICA – a Journal of Clinical Medicine, 13(1), 66–70. Diakses dari https://doi.org/10.26574/maedica.2018.13.1.66.
Roebuck, A., Gilfriche, P., Behar, J., Morys, M., Palmius, N., Clifford, G. D., & Daly, J. (2014). SleepCare: obstructive sleep apnoea screening using mobile health technology. Appropriate Healthcare Technologies for Low Resource Settings (AHT 2014), 5–5. Diakses dari https://doi.org/10.1049/cp.2014.0765.
Panzel, T., & Schobel, C. (2018). New technology to assess sleep apnea: Wearables, smartphones, and accessories. F1000Research, 7(0), 413. Diakses dari https://doi. org/10.12688/f1000research.13010.1.
Talebi, M., Tabatabaye, K. R., & Vahedi, E. (2018). Application of cognitive-behavioral therapy in obstructive sleep apnea: Comparison of combined treatment, and CPAP therapy on executive functions of the brain. Sleep and Hypnosis, 20(3), 148–159. Diakses dari https://doi.org/10.5350/Sleep.Hypn.2017.19.0147.
Uçar, M. K., Bozkurt, M. R., Bilgin, C., & Polat, K. (2016). Automatic detection of respiratory arrests in OSA patients using PPG and machine learning techniques. Neural Computing and Applications, 28(10), 2931–2945. Diakses dari https://doi. org/10.1007/s00521-016-2617-9.
Uçar, M. K., Bozkurt, M. R., Bilgin, C., & Polat, K. (2018). Automatic sleep staging in obstructive sleep apnea patients using photoplethysmography, heart rate variability signal and machine learning techniques. Neural Computing and Applications, 29(8). Diaskes dari https://doi.org/10.1007/s00521-016-2365-x.
Wang, Z., Zhou, X., Zhao, W., Liu, F., Ni, H., & Yu, Z. (2017). Assessing the severity of sleep apnea syndrome based on ballistocardiogram. PLoS ONE, 12(4), 1–25. Diakses dari https://doi.org/10.1371/journal.pone.0175351.
Yang, X., Xiao, Y., Han, B., Lin, K., Niu, X., & Chen, X. (2019). Implication of mixed sleep apnea events in adult patients with obstructive sleep apnea-hypopnea syndrome. Sleep and Breathing, 23(2), 559–565. Diakses dari https://doi.org/10.1007/s11325-018-1745-0.
Yeh, K. Y et al (2017). A wireless monitoring system using a tunneling sensor array in a smart oral appliance for sleep apnea treatment. Sensors (Switzerland), 17(10). Diaskes dari https://doi.org/10.3390/s17102358.