• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Proses, Faktor Penyebab, Serta Tantangan Penganut Paham Ateisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Proses, Faktor Penyebab, Serta Tantangan Penganut Paham Ateisme"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

Karen Amstrong dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Tuhan” (2001),

menjelaskan bahwa pada mulanya manusia memunculkan satu Tuhan yang

merupakan penyebab pertama bagi segala sesuatu dan penguasa langit dan bumi.

Dia tidak terwakili oleh gambaran apa pun dan tidak memiliki kuil atau pendeta

yang mengabdi kepadanya. Dia terlalu luhur untuk ibadah manusia yang tidak

memadai. Namun seiring perkembangan zaman yang terus berubah, kehadiran

Tuhan mulai muncul dalam bentuk yang berbeda-beda, serta mulai terwakili oleh

kehadiran agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Namun, perkembangan

zaman pula yang mulai membuat sosok Tuhan mulai hilang dan pudar bagi

manusia. Banyak orang yang bertanya, kemana perginya Tuhan? Dimana sosok

Tuhan? Bahkan tidak sedikit pula yang meragukan kehadiran Tuhan dan

beranggapan Tuhan memang tidak ada. Orang-orang yang tidak percaya dengan

kehadiran inilah yang disebut dengan atheis.

Lantas bagaimana seseorang bisa menjadi tidak percaya Tuhan? Apakah

mereka mencari Tuhan dan tidak menemukanNya, atau mereka secara empiris

membuktikan bahwa Tuhan itu memang tidak ada? Pada BAB ini peneliti

berusaha menjelaskan konsep ateis, proses menuju ateis, apa saja yang

menyebabkan seseorang menjadi seorang ateis serta apa saja yang dihadapinya

(2)

A. Definisi Ateis

Pengertian ateis menurut Cliteur adalah seseorang yang menolak apa yang

teis coba untuk buktikan. Teis adalah sebutan bagi mereka yang percaya pada

tuhan (Cliteur,2009). Le Poidevin (dalam Cliteur, 2009) mengatakan bahwa Ateis

adalah orang yang menolak keberadaan pencipta semesta, bukan semata-mata

hanya hidup tanpa mengacu pada pencipta tetapi juga memilik kesadaran dan

posisi yang tegas. Mereka mengangap bahwa kepercayaan pada Tuhan adalah

irasional sehingga harus ditolak. Gora (1979) menyatakan bahwa Ateis menganut

paham Ateisme yang mengutamakan kebebasan individu, memahami realita

dengan membedakan iman dan kenyataan. Ateis menggunakan imajinasi dengan

bebas untuk mendapatkan pengetahuan tidak langsung, membentuk opini,

memformulasi teori, tetapi tetap membuka pikiran seluas-luasnya.

Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan sebelumnya, ateis adalah

individu yang tidak memiliki kepercayaan terhadap Tuhan dalam bentuk apapun

sehingga memahami realita berdasarkan akal mereka, melalui kenyataan yang

terjadi, bukan berdasarkan iman kepada Tuhan dalam bentuk apapun.

B. Penyebab Seseorang Menjadi Ateis

Terdapat beberapa penyebab yang membuat seseorang beralih dari percaya

menjadi tidak percaya (Ateis). Thompson (2014) dalam bukunya yang berjudul

The Many Faces, Causes of Unbelief mengungkapkan beberapa penyebab

(3)

1. Orangtua dan Cara Asuh

Individu tentu banyak berinteraksi secara sosial dengan orang

lain, namun yang paling mempengaruhinya adalah melalui orangtua.

Di masa kanak-kanak, pikiran anak merupakan sesuatu yang dapat

menyerap apa saja yang diberikan oleh orangtuanya. Bila sedari dini

anak diberikan disiplin, contoh panutan yang baik serta instruksi

dalam hal keagamaan yang dapat menumbuhkan iman anak, tentu hal

tersebut akan melekat pada diri anak dan ia akan melakukan dan

mengimani agamanya dengan baik, sesuai ajaran orangtuanya.

Namun, bila yang didapatkan anak adalah kurang diterapkannya

kedisiplinan, kurangnya instruksi dan lemahnya contoh panutan dalam

beragama, hingga rasa kecewa terhadap orangtua, hal tersebut dapat

melemahkan iman anak sehingga anak menjadi tidak percaya, skeptis

maupun menolak Tuhan.

2. Perkembangan Sains

Pada saat ini manusia hidup di era perkembangan sains dan ilmu

pengetahuan yang semakin maju, mulai dari perkembangan sains dan

ilmu pengetahuan yang semakin maju, mulai dari perkembangan alat

komunikasi hingga transportasi. Penelitian-penelitian dalam

kesehatan, pendidikan juga meningkat dengan pesat. Namun

sayangnya, karena kemajuan yang begitu pesat, sains sangat dipuja

dan dianggap sakral bagi sebagian orang sehingga menganggap bahwa

hal baik yang mereka nikmati, seperti obat penyakit, transportasi

(4)

dikarenakan mereka mendapat sensasi kekuasaan, merasa bangga pada

diri sendiri karena telah memiliki pengetahuan dan kemampuan yang

semakin canggih yang berasal dari pikiran dan kerja keras mereka

sehingga menolak pengajaran agama yang menekankan bahwa

kebenaran mutlak adalah milik Tuhan.

3. Intimidasi Secara Intelektual

Saat ini banyak individu yang dulunya mengetahui apa yang

mereka percaya dan memahami alasan mereka mempercayai hal

tersebut, mulai bingung dan melemah imannya karena terintimidasi

secara intelektual. Hal tersebut dikarenakan mereka mengalami

disonansi kognitif ketika dihadapkan pada informasi baru yang

berlawanan dengan keyakinan yang mereka anggap benar, misalnya

karena bertemu dengan orang yang tidak percaya pada Tuhan disertai

dengan berbagai alasan, seperti argumen bahwa kebenaran tidak

ditentukan oleh mayoritas, yang berarti meskipun lebih banyak orang

yang percaya pada agama daripada yang tidak, bukan berarti

mayoritas tersebutlah yang yakin pada agamanya menganggap bahwa

informasi baru tersebut lebih masuk akal sehingga mempengaruhi

kegoyahan iman bahkan keputusan untuk tidak percaya lagi.

4. Kejahatan, Rasa Sakit dan Penderitaan

Seseorang dapat meninggalkan imannya ketika mengalami

kejahatan, rasa sakit dan penderitaan dalam hidupnya sendiri maupun

orang-orang terdekatnya. Hal ini dikarenakan mereka menganggap

(5)

mereka alami dalam hidup juga berasal dari Tuhan serta jika semua

rencana indah telah dirancang oleh Tuhan kepada umatnya, berati

yang merancang penderitaan hebat dalam hidup juga Tuhan. Mereka

meragukan kekuasaan Tuhan selalu dikatakan baik dan berkuasa,

namun tidak menunjukkan kebaikan-Nya. Ketika umatnya mendapat

penderitaan. Meskipun mereka pada awalnya, mencoba

mempertahankan iman, namun rasa sakit dan kecewa dapat membuat

seseorang kehilangan imannya.

5. Kemunafikan, Ketidakadilan dan Tindakan Buruk oleh Orang

Beragama

Walaupun sulit dipercaya, namun, kesalahan tindakan yang dilakukan

oleh umat beragama dapat mendorong orang lain untuk beralih menjadi

tidak percaya akan agama. Banyak hal-hal buruk seperti korupsi,

pemerkosaan, pembunuhan yang dilakukan oleh orang beragama bahkan

orang yang duduk di sebuah instansi agama. Banyak juga orang yang demi

melakukan hal yang menurutnya dapat menyenangkan hati Tuhan, malah

menimbulkan ketidakadilan, misalnya, perang antar agama dan bom bunuh

diri. Padahal seharusnya, orang-orang beragama hidup dalam kebaikan

sesuai dengan golden rule yang terdapat pada setiap agama. Hal tersebut

dapat membuat seseorang menjadi ragu akan sistem sebuah agama bahkan

Tuhan yang berada di balik sistem tersebut menganggap bahwa umat

beragama adalah munafik sehingga ketidakpercayaan akan agama dan

(6)

C. Tahap Menjadi Seorang Ateis

Krueger (2013) mengungkapkan terdapat 5 tahapan seseorang menjadi

seorang ateis, yaitu:

1. Detachment

Pada fase ini, individu mengalami dua gejala, pertama dan yang paling

penting, secara emosional, individu tidak menanamkan ide agama manapun.

Yang kedua dia tidak bisa memberikan alasan mengenai keraguannya atau

mengidentifikasi keraguan terhadap suatu kepercayaan.

2. Doubt

Pada tahap kedua, individu menentukan apa yang membuat mereka

tidak nyaman atau tidak puas terhadap agama. Ketika keraguan mereka

sebelumnya yang tidak pasti, sekarang mereka dapat dengan jelas

mengidentifikasikan dan mampu mengeluarkan pikirannya mengapa

mereka skeptis (ragu-ragu). Individu juga dapat menunjukkan kejadian yang

spesifik dalam hidup mereka atau informasi yang akurat untuk menjelaskan

keraguan mereka. Pada tahap ini kebanyakan berfokus pada logika dan

alasan tanpa mengutamakan emosi. Akhir pada fase ini, individu dapat

memposisikan diri mereka dan memperkuat semua keraguannya.

Ketidakpuasan pada fase detachment digantikan dengan kepercayaan bahwa

(7)

3. Dissociation

Pada tahap ini individu memisahkan diri dari agama yang dianut

sebelumnya. Mereka menolak kepercayaan dan kebiasaan yang dilakukan

agama itu.

4. Transition

Pada tahap ini individu mencoba untuk mencari identitas alternatif

yang menjembatani jarak antara identitas agama dan yang tidak. Fase

transisi dapat membantu individu untuk mendapatkan identitas barunya.

Pada akhir tahap ini, individu akan menyadari identitas mana yang sesuai

dengan dirinya.

5. Declaration

Pada akhirnya individu tidak lagi mempercayai bentuk atau kebiasaan

agama manapun. Mereka meninggalkan kepercayaannya untuk mejalankan

hidup dengan cara pandang duniawi. Akhirnya mereka mengenali bahwa

mereka tidak lagi percaya pada yang kuasa. Mereka menemukan identitas

yang sesuai yang dapat menggambarkan kepercayaan mereka.

D. Tantangan yang Dihadapi Penganut Paham Ateis

Dalam sebuah tayangan wawancara seorang reporter BBC News – leaving

Islam terhadap penganut paham ateis yang diupload pada sebuah media sosial

Youtube, 2 orang itee yang bernama Shiek (nama samaran) dan Imitaz Shams

menjelaskan mengenai hambatan menjadi seorang ateis. Keduanya sama-sama

menjelaskan bahwa yang menjadi hambatan ketika manjadi seorang ateis adalah

ditinggalkan oleh orang yang disayangi. Shiek sudah mengungkapkan kepada

(8)

namun, Imitaz menjelaskan bahwa hal yang paling ditakuti sebelum mengaku

sebagai seorang ateis adalah penolakan dari orang-orang yang disayang, teman,

dan masyarakat.

Sara seorang penganut paham ateis menjelaskan bahwa akan sangat sulit

seseorang untuk meninggalkan agamanya dan menjadi seorang ateis. Hal tersebut

dikarenakan dapat menimbulkan stigma dan ancaman dari pihak lain yang

mempercayai agama (BBC NEWS, 2015. www.bbc.cu.uk).

Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa, hambatan yang

paling utama dalam menjadi seorang ateis adalah perlakuan diskriminasi oleh

orang-orang terdekat seperti keluarga dan orang-orang yang disayangi.

(9)

Referensi

Dokumen terkait

Walaupun banyak hambatan untuk bisa menjadi seorang wirausahawan, dan dengan berbagai resiko yang ada, namun masih banyak orang yang mau dan ingin memilih jalan untuk menjadi

pendapatannya sendiri, serta dapat menghibur orang- orang lain ketika melihat informan menari. Dampak positif ketika coming out juga dirasakan oleh seorang

Adapun teori atribusi yang dijelaskan oleh (Robbins & Jugde, 2017) teori atribusi adalah teori yang menjelaskan bahwa ketika individu mengamati sikap seorang,

Fakta bahwa wanita memiliki sifat maskulin yang lebih sedikit daripada pria berarti bahwa ketika seorang ibu orang tua tunggal merawat seorang anak laki-laki yang

Berdasarakan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap ke 3 orang informan atau 3 pasangan yang menikah di usia muda yaitu tampak bahwa faktor yang paling

Beberapa Kepala Keluarga yang melakukan konversi agama mengakui bahwa mereka menjadi Kristen tidak terlepas dari pengajaran dan pelayanan yang dilakukan oleh orang- orang

Hampir seabad yang lalu, Machen sebenarnya telah mengingatkan orang- orang Kristen bahwa Liberalisme adalah sebuah sistem agama yang sama sekali berbeda dari Kekristenan; ia

Permasalahannya adalah ketika orangtua tersebut tidak memahami pembelajaran yang akan disampaikan terhadap anak-anaknya dan itu akan menjadi suatu hambatan selain itu juga hambatan yang