BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama merupakan fenomena universal yang dapat kita temui disetiap
kehidupan manusia. Eksistensi agama telah ada sejak lama, bahkan sejak zaman
prasejarah. Pada zaman yunani kuno misalnya, sudah mulai mempertanyakan
penyebab terjadinya sesuatu. Taylor (1872) berpendapat bahwa, agama manusia
berkembang dari mulai animisme, totemisme, dan fetishisme. Animisme adalah
suatu kepercayaan bahwa roh ataupun jiwa memiliki eksistensi secara
independent. Totemisme merupakan kepercayaan yang menganggap binatang dan
tumbuhan mempunyai jiwa. Sedangkan fetishisme kepercayaan bahwa manusia
dapat mempengaruhi kekuatan supranatural sehingga berpihak untuk
kepentingannya.
Furseth dan Repstad pada tahun 2006 mendefinisikan secara substantif
mengenai agama, yaitu cenderung mengkhususkan objek kepercayaan masyarakat
meskipun objek tersebut dideskripsikan dengan berbagai bentuk. Kepercayaan
terhadap keberadaan Tuhan merupakan suatu kemungkinan. Definisi ini memiliki
kesamaan terhadap ide umum yang dimiliki masyarakat mengenai agama. Agama
tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Tuhan atau objek yang
disembah. Hal ini juga diungkapkan oleh seorang penganut agama Islam berikut
“Saya merupakan seorang muslim yang taat. Adanya pencipta alam semesta ini tidak bisa dikesampingkan. Allah-lah yang menciptakannya. Saya dan kamu sekarang ada karena Dia Yang Maha Pencipta.”
(komunikasi personal dengan penganut agama Islam, November 2015).
Pernyataan di atas menitikberatkan pada suatu konsep yang kuat, yaitu
agama tidak bisa terlepas dari konsep ketuhanan atau bisa dikatakan dalam sebuah
agama tidak terlepas dari adanya suatu objek yang disembah. Namun tidak semua
manusia mempercayai konsep ketuhanan ini. Banyak pula orang yang
beranggapan bahwa Tuhan hanyalah sebuah ide yang diciptakan manusia itu
sendiri untuk menjadi pembenaran atas setiap perbuatannya. Hal ini sejalan
dengan pernyataan seseorang penganut paham ateis yang dikutip dari website
globalmuslim.web.id berikut ini:
“Tuhan biasanya menjadi sandaran pa mungkas ketika seseorang sedang galau. Aku nyaman dengan keadaan seperti ini. Sampai sekarang tidak ada bukti yang buat aku percaya adanya Tuhan.”
Tuhan sering kali menjadi kambing hitam ketika seseorang dalam keadaan
terpuruk, tapi Tuhan juga justru menjadi tempat berlindung, padahal Tuhan tidak
pernah jelas keberadaannya. Bagi sebagian orang Tuhan hanyalah sebuah objek
rekayasa yang terbentuk atas dasar pemikiran manusia yang dangkal. Hal ini juga
diungkapkan oleh seorang penganut paham ateisme berikut ini:
“bagiku Tuhan itu placebo, obat yang bisa menenangkan pengikutnya, suatu pegangan yang dibutuhkan sebagai jawaban dari semua yang ada didunia ini.”
(komunikasi personal dengan penganut paham ateis, Desember 2015)
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari konsep ketuhanan yang cukup
kuat, hal ini dapat terlihat dari sila pertama dalam pancasila yang berbunyi
Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan
Kong Hu Cu. Namun hal ini bukan berarti tidak ada orang Indonesia yang tidak
percaya Tuhan, atau menganut paham ateism. Hal ini ditunjukkan oleh sebuah
survey yang dilakukan Lynn (2009) bahwa 1,5 persen warga Indonesia tidak
percaya Tuhan. Tidak sedikit orang yang berpendapat Tuhan itu tidak ada.
Banyak pula komunitas ateis di dunia maya yang mulai eksis dan menunjukkan
diri seperti komunitas facebook yang bernama ABAM (Anda Bertanya Ateis
Menjawab), ada pun komunitas ateis yang tenar di media sosial twiter yang
bernama Agamajinasi. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan penganut
paham ateis berikut ini:
“aku gabung untuk mencari teman yang satu pikiran denganku, mencari tau lebih lanjut tentang ateis, atau sarana edukasi tentang ateis”
(komunikasi personal dengan penganut paham ateis, Juni 2016)
Komunitas dunia maya ini menunjukkan tidak sedikit penganut paham ateis
di Indonesia. Bagi sebagian orang ini merasa Tuhan itu tidak bisa dibuktikan
kehadiran-Nya. Banyak perdebatan terjadi diantara orang yang percaya dengan
yang tidak percaya. Bagi orang-orang yang percaya, mereka beranggapan bahwa
seharusnya orang-orang yang tidak percaya Tuhan membuktikan bahwa Tuhan itu
tidak ada, tetapi justru orang-orang yang tidak percaya beranggapan bahwa justru
orang yang percayalah yang membuktikan bahwa Tuhan itu memang ada. Hal ini
sesuai dengan pernyataan berikut:
“kenapa aku yang mencari? Harusnya orang beragama yang membuktikan keberadaan-Nya biar gak ada lagi istilah mencari, tinggal menemukan saja, harusnya sih gitu, tapi yang ada malah orang yang gak percaya Tuhan pula yang disuruh cari dan buktikan Tuhan itu ada.”
Konsep ketidakpercayaan kepada Tuhan disebut dengan ateis. Baggini dan
Mackie mengatakan bahwa ateis dikarakteristikkan dengan penolakkan atas
kehadiran Tuhan (dalam Streib dan Klein, 2013). Tidak sedikit orang memutuskan
untuk menjadi seorang ateis. Ateis merupakan sebuah jalan atau jawaban dari
pertanyaan mengenai kehadiran Tuhan. Tuhan hanyalah pandangan semu yang
tidak bisa dibuktikan hanya dengan nalar dan akal sehat. Hal ini juga dinyatakan
seorang penganut paham ateis:
“aku seorang ateis, aku memilih menjadi ateis. Tidak ada cukup bukti untuk mengatakan Tuhan itu ada.”
(komunikasi personal dengan penganut paham ateis, Desember 2015)
Jika mengacu pada pernyataan di atas, akan timbul pertanyaan dari benak
setiap orang, bagaimana seseorang bisa menjadi tidak beragama dan tidak percaya
Tuhan? Apa yang menyebabkan seseorang menjadi tidak beragama dan tidak
percaya Tuhan? Bagaimana dia bertahan di lingkungan yang mayoritasnya
memeluk berbagai macam agama?
Seseorang yang memutuskan menjadi seorang ateis bukan tanpa alasan.
Seorang ateis menilai terlebih dahulu mengenai ajaran agama yang dia anut
sebelumnya, ketika ia merasa hal yang diajarkan agama tidak sesuai dengan apa
yang seharusnya, dia mulai mempertanyakan eksistensi agama dan Tuhan.
Keraguan akan timbul di dalam dirinya, dan akan membuat ia mulai memutuskan
untuk meninggalkan ajaran agama dan Tuhan tersebut. Ateis bukanlah
pemahaman yang ada dan muncul secara tiba-tiba dari seseorang. Berawal dari
mempertanyakan sebuah konsep ketuhanan, memberi penilaian, mencari bukti
merupakan subuah proses seseorang sebelum dia menyatakan diri sebagai seorang
ateis. Hal ini diungkapkan pula oleh seorang penganut paham ateisme berikut:
“aku sering membaca literatur mengenai agamaku dulu, bahkan aku juga membaca berbagai macam literatur banyak agama. Memang menurutku agama mengajarkan kebaikan pada intinya. Tetapi tidak semua sesuai dengan apa yang seharusnya. Banyak hal yang bisa dipertanyakan dari konsep ketuhanan. Tidak perlu terlalu dalam, kita lihat saja ajaran dasarnya terpaku pada kitab suci. Harusnya kitab suci itu rajin direvisi, beda tahun, beda abad, kebudayaan dan masya rakat akan berbeda. Kitab suci tidak mampu lagi membimbing. Sudah ketinggalan zaman.”
(komunikasi personal dengan penganut paham ateis, Desember 2015)
Kebanyakan seorang ateis berasal dari kaum beragama, baik itu Islam,
Kristen, serta agama lainnya. Dia dibesarkan dilingkungan yang menganut agama.
Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya, seorang ateis mengalami konflik dalam
dirinya mengenai ajaran agama yang dianut sebelumnya. Dia merasa tidak
sependapat dengan ajaran yang didapat dari agama. Bagi kebanyakan ateis,
agama, terutama Tuhan tidak jelas kebenarannya karena tidak bisa dibuktikan.
Pada mulanya dia mempelajari dan berusaha memahami agama, akan tetapi,
agama tidak memberikan jawaban dan bukti yang empiris mengenai keberadaan
Tuhan dan mulai menimbulkan keraguan. Pada akhirnya dia memutuskan untuk
tidak percaya apapun yang diajarkan agama. Dia tidak percaya adanya keberadaan
Tuhan, dan akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang ateis. Hal ini sejalan
dengan pernyataan penganut paham ateis berikut ini:
“aku ragu dengan apa yang diajarkan di agamaku dulu, aku merasa tidak ada cukup bukti kuat yang mendukung agama dan keberadaan Tuhan. La ma kelamaan aku jadi tidak percaya lagi sama agamaku yang dulu.”
(komunikasi personal dengan penganut paham ateis, Desember 2015)
Menjadi seorang ateis bukan berarti menjadi seorang yang tidak tertata
kehidupannya. Seorang ateis bukan berarti seorang yang tidak memiliki
studi yang memiliki hasil bahwa ateisme secara positif berhubungan dengan
kesejahteraan sosial. Ateisme berkorelasi positif dengan pendidikan tinggi dan
kemampuan verbal yang baik, rendahnya prasangka (prejudice), etnosentrisme,
rasisme, homofobia, tingginya dukungan terhadap kesetaraan gender, dan
pengasuhan anak yang mempromosikan pemikiran yang bebas bukan melalui
hukuman fisik. Studi ini menunjukkan bahwa seorang ateis bukanlah seorang
yang bodoh dan tidak bermoral. Tetapi hal ini tidak bisa diterima secara baik oleh
masyarakat pada umumnya, apalagi masyarakat dengan mayoritas beragama.
Seringkali muncul pandangan buruk, prasangka, bahkan diskriminasi terhadap
penganut paham ateisme.
Prasangka buruk terhadap penganut paham ateisme ini seringkali muncul
dari kelompok beragama . Hal ini juga didukung dengan pernyataan dari seorang
yang menganut paham ateisme berikut ini:
“Aku tidak percaya tuhan, jadi kalau tidak punya Tuhan aku ini makan orang? Bunuh orang? Merampok? Tidak bermoral? Kan tidak seperti itu. Orang-orang yang sepaham dengan saya belum tentu orang jahat, bisa saja kami lebih baik dari orang-orang yang percaya Tuhan. Banyak juga orang yang mengaku punya Tuhan tapi perilakunya biadab”
(komunikasi personal dengan penganut paham ateis, September 2015).
Seseorang yang memilih untuk menjadi seorang yang menganut paham
ateisme akan mengalami konflik baik dari faktor internal maupun faktor
eksternal. Akan sangat sulit bagi seorang ateis mempertahankan pahamnya di
lingkungan yang mayoritnya beragama khususnya di Indonesia. Tidak hanya
untuk cakupan yang cukup luas, bahkan di lingkungan keluarga saja belum tentu
seorang ateis dapat diterima dan diakui. Banyak seorang ateis memilih paham
diketahui oleh masyarakat, khususnya keluarga. Karena jika dia menyatakan
pahamnya secara terang-terangan, bukan tidak mungkin dia akan menerima
tindakan diskriminasi. Hal ini disampaikan oleh penganut paham ateisme berikut:
“Aku dibesarkan oleh keluarga yang cukup kuat soal agama. Keluargaku menganut agama Islam. Pada mulanya a ku juga. Tapi aku menjadi ragu dan tidak percaya dengan agama itu. Tentu saja keluargaku tidak tau apa yang aku anut sekarang. Aku seorang ateis. Jangan sampai mereka tahu, karena itu akan membebani mereka. Kalau sampai ketahuan, aku akan mengikuti dan menerima konsekuensi yang diberikan keluargaku. Karena itu memang sudah seharusnya terjadi. Dan aku akan tetap menjadi seorang ateis. Agama dan kepercayaan bukan untuk dipaksakan.”
(komunikasi personal dengan penganut paham ateis, Desember 2015)
Menjadi seorang ateis di negara yang kuat agamanya seperti Indonesia
memang tidak mudah. Akan tetapi tetap saja paham ateis semakin populer dan
semakin berkembang. Bahkan tidak sedikit pula seorang ateis mulai berani
terbuka meskipun tidak secara langsung. Tidak setiap penganut paham ateisme
memiliki hambatan dalam menjalani hidupnya. Salah seorang ateis yang memiliki
background agama Budha menjelaskan bahwasannya dia sama sekali tidak
mengalami kesulitan dan hambatan apapun mengenai pahamnya.
“aku tidak merasa ada yang susah jadi ateis. Ya mungkin karena background aku Budha kali ya. Beda kayak Islam atau Kristen yang harus selalu sholat dan berdoa, agama Budha buatku tidak seperti itu. Aku memilih ateis karena memang ateis dan ajaran Budha itu hampir sama dan sejalan. Didalam ajaran Sidharta Gautama tidak ada menjelaskan ada sosok yang disembah. Sidharta juga tidak mengatakan kepada pengikutnya harus menyembah dirinya. Itu ajaran Budha yang sesungguhnya. Kalau yang sekarang ajaran Budha sudah mulai melenceng.”
(komunikasi personal dengan penganut paham ateis april 2016)
Dia memilih paham ateisme karena ateis memberikan
pandangan-pandangan cara hidup yang duniawi, Budhapun demikian. Tetapi bukan berarti
setiap penganut agama Budha merupakan seorang ateis, hanya pandangan
sesama manusia, menjalankan hidup dengan cara baik tanpa merugikan orang
lain, seperti itulah pandangan ateis dan Budha yang sejalan.
Lain halnya dengan seorang penganut paham ateisme dengan background
agama Kristen Protestan berikut ini. Menurutnya, dia sama sekali tidak kesulitan
dalam menganut paham ateisme. Bahkan dia sudah mulai terbuka dengan keluarga
meskipun belum terbuka kepada orang tuanya.
“abang kakak, saudaraku sudah banyak yang tahu kalau aku ateis. Dan mereka tidak mempermasalahkan soal itu. Orang tua belum tahu, tapi kemungkinan besar akan aku kasih tahu.”
(kemounikasi personal dengan penganut paham ateis, mei 2016)
Walaupun demikian, tetapi dia tetap belum terbuka ketika berada di
lingkungan masyarakat pada umumnya. Menurutnya tidak semua orang memiliki
pemikiran yang terbuka dan mau menerima paham ateisme. Indonesia merupakan
mayoritas beragama, bagaiamana mungkin ateisme secara mudah diterima di
negara ini. Hal ini sesuai dengan ungkapannya berikut
“kalau di kampus aku pura-pura jadi Kristen. Tidak mungkinlah aku bilang aku ini ateis. Tapi kawan-kawan dekat sudah banyak yang tahu soal aku. Mereka tidak masalah kok. Toh kami percaya dengan apa yang masing-masing kami yakini. Tapi kalau orang-orang umum tidak tahu aku. Aku juga tidak pernah ke gereja lagi, kecuali keadaan memaksa ha rus ke gereja hahaha.”
(kemounikasi personal dengan penganut paham ateis, mei 2016)
Lain halnya dengan kedua penganut paham ateisme sebelumnya, seorang
penganut paham ateisme yang memiliki background agama Islam berikut ini
merasa bahwa dia memiliki hambatan dan kesulitan dalam menjalankan hidupnya.
Dia mengaku seringkali merasa canggung dan tidak nyaman ketika berada di
lingkungan umum. Apalagi ketika memasuki waktu ibadah untuk agama Islam,
dia sering kali merasa tidak nyaman. Hal ini diungkapkannya dalam wawancara
“kadang suka canggung saja kalau misalnya ditanya kenapa tidak solat, kenapa tidak puasa, sebisa mungkin menghidar, kalau tidak bisa menghindar, bilang saja sudah, atau ja wab-jawab sambil bercanda saja lah”
Meskipun kerapkali merasa tidak nyaman, akan tetapi dia tetap teguh pada
pendiriannya sebagai seorang ateis. Padahal untuk menjadi seorang ateis di negara
mayoritas beragama sangatlah sulit.
Dari penjelasan diatas, peneliti ingin mengetahui lebih dalam mengenai
gambaran proses, faktor penyebab serta tantangan yang dihadapi penganut paham
ateisme.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan beberapa
pertanyaan penelitian yang akan dijawab melalui penelitian ini. Dalam hal ini
pertanyaan utama dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran proses seseorang menjadi penganut paham
ateisme
2. Faktor apa saja yang menyebabkan seseorang menganut paham
ateisme
3. Apa saja yang menjadi tantangan untuk menjadi penganut paham
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti
menetapkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat melihat
gambaran proses dan, faktor-faktor penyebab serta tantangan menjadi seorang
ateis.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1. Memberikan sumbangan teoritis bagi disiplin ilmu Psikologi,
terutama Psikologi sosial mengenai proses, faktor penyebab
serta tantangan yang dihadapi penganut paham ateisme.
2. Memberikan informasi mengenai konsep ketuhanan, agama, dan
paham ateis dalam kehidupan sosial.
b. Manfaat Praktis
1. Memberikan informasi kepada penganut paham ateis serta teis
mengenai proses, faktor penyebab serta tantangan yang dihadapi
penganut paham ateisme.
2. Memberikan sebuah sudut pandang berbeda mengenai ateis, dalam
hal ini dapat memberikan pemahaman kepada keluarga dan
masyarakat mengenai apa saja yang menjadi penyebab
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan berisikan inti sari dari :
Bab I : Pendahuluan
Berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teoritis
Berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam menjelaskan
permasalahan penelitian, terdiri dari teori-teori mengenai proses menuju
paham ateis, faktor-faktor penyebab serta tantangan yang dihadapi penganut
paham ateisme
Bab III : Metode Penelitian
Berisi mengenai pendekatan penelitian yang digunakan, subjek penelitian,
metode pengumpulan data, alat pengumpulan data, dan prosedur penelitian.
Bab IV: Deskripsi Data dan Pembahasan
Berisi mengenai deskripsi data subjek dan pembahasan menggunakan teori
yang berkaitan
Bab V: Kesimpulan dan Saran
Berisi kesimpulan dari hasil penelitian, saran praktis serta metodologis dari