• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKTIVITAS SEKSUAL SETELAH BERANAK DARI KAMBING PERAH PERANAKAN ETAWAH DENGAN TINGKAT PRODUKSI SUSU YANG BERBEDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AKTIVITAS SEKSUAL SETELAH BERANAK DARI KAMBING PERAH PERANAKAN ETAWAH DENGAN TINGKAT PRODUKSI SUSU YANG BERBEDA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS SEKSUAL SETELAH BERANAK DARI KAMBING PERAH

PERANAKAN ETAWAH DENGAN TINGKAT PRODUKSI SUSU YANG

BERBEDA

I-KETUTSuTAmA,B. SETIADI,IGM.BUDIARSANAdan UmiADIATI BalaiPeneftian Ternak, P.O. Box 221, CiawiBogor 16002

Kata kunci :Kambing PE, reproduksi, beranak

SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1997

ABSTRAK

Suatu penelitian telah dilakukan di stasion perubahan Balai Penelitian Ternak, Ciawi untuk mengamati aktivitas reproduksi (birahi, ovulasi, kadar hormon progesteron dan konsepsi) setelah beranak dari kambing Peranakan Etawah (PE) yang mempunyai tingkat produksi susu rendah (Kelompok L), medium (Kelompok M) dan tinggi (Kelompok H), berdasarkan produksi susu pada laktasi pertama. Semua ternak mendapat pakan dan manajemen pemeliharaan yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan berat badan terendah terdapat pada Kelompok L dan tertinggi pada Kelompok H. Perbedaan berat badan seperti ini terus berlangsung dari awal hingga akhir penelitian. Akan tetapi birahi pertama setelah beranak terjadi sekitar 7-12 hari (P>0,05) lebih awal pada Kelompok L dibandingkan pada Kelompok M dan H. Beberapa ekor ternak menunjukkan birahi sangat dini sekitar 32 hari setelah beranak, dan beberapa ekor lagi sangat lambat yaitu sampai 103 hari setelah beranak . Birahi pertama setelah beranak pada semua ternak selalu diikuti dengan ovulasi dengan rataan- 1,2, 1,1 dan 1,1 masing-masing pada Kelompok L, M dan H. Pada birahi berikutnya, rataan tingkat ovulasi meningkat pada semua kelompok. Dilihat dari profil hormon progesteron selama siklus birahi pertama, terdapat indikasi adanya perkembangan corpus luteum yang kurang sempurna. Rataan kadar hormon progesteron maksimum (1,2 ng/ml) relatif rendah dan terjadi sekitar pertengahan siklus. Kadar hormon ini meningkat pada siklus birahi berikutnya . Interval siklus birahi beragam 17 - 35 hari, dan tidak ada perbedaan antara ketiga kelompok. Persentase kebuntingan setelah dikawinkan pads biralli ketiga adalah cukup tinggi masing-masing 85,7, 71,4 dan 78,6% pada Kelompok L, M dan H. Pada perkawinan berikutnya semua ternak jadi bunting. Dari basil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ternak dengan produksi susu lebih rendah cenderung menunjukkan aktivitas seksual setelah beranak lebih awal dengan kinerja yang relatif lebih baik dibandingkan dengan ternak pada kelompok dengan produksi susu lebih tinggi. Hal ini mungkin berhubungan dengan perbedaan genotipe dari ternak tersebut mengingat kambing PE yang dipakai dalam penelitian ini adalah kambing PE yang dibeli darn berbagai lokasi di Jawa Tengah dan tidak diketahui tingkat kemurniannya. Nanuln hal ini perlu pengamatan yang lebih rinci .

PENDAHULUAN

Aktivitas reproduksi ternak kambing lokal (Kacang dan Peranakan Etawah = PE) di Indonesia terjadi sepanjang tahun. Keragaman kinerja reproduksi yang terjadi pada kambing disamping karena variasi genetik diantara individu ternak, jugs akibat perubahan jumlah dan kualitas pakan yang tersedia karena pengaruh musim. Demikian pula, tatalaksana pemeliharaan,

(2)

Seminar Nasional Peternakan dan Yeteriner 1997:'

terutama tatalaksana perkawinan sangat besar pengaruhnya terhadap performan reproduksi kambing.

Secara biologis kambing PE adalah cukup prolifik (OBST et al., 1980; BASUKI et al., 1982; SOESILo et al., 1989) dan mempunyai potensi tinggi untuk mengliasilkan susu walaupun tingkat

produksinva masih sangat beragam sekitar 0,45 - 2,2 1/hari pada kambing PE dewasa (OBSTdan

NAPITUPULU, 1984) dan 0,3 - 0,8 kg1hari pada kambing PE muda (SUrAMA et al., 1995).

Keragaman tingkat produksi susu ini memberi peluang yang cukup tinggi untuk meningkatkan produksi susu kambing PE melalui seleksi yang tepat dan terarah.

Rataan ovulasi kambing PE (1,5) lebih rendah dibandingkan pada kambing Kacang (1,68) dan jumlah anak yang lahir masing-masing adalah 1,43 dan 1,56. Laju ovulasi meningkat dengan bertambahnva umur dan laju ovnfasi- menipakan faktor pembatas utama dari jumlah anak yang dilahirkan. Setiap peningkatan satu unit ovulasi meningkatkan jumlah anak yang dilahirkan sebanvak 0,76(SUBANDRIYo et al., 1986). Namun proliftkasi ini erat kaitannya dengan tingginya

tingkat kematian pra-sapili, yang bisa mencapai 12-50%(NGADIYONOet al., 1984; LINGGODJIWO,

1994, ANGGRAENI et al., 1995) . Perbaikan tatalaksana pemeliharaan anak pra-sapih seperti

pemberian creep .needing terbukti dapat menekan tingkat kematian dan meningkatkan pertumbuhan pra-sapih (MARTAWIDJAYAet al., 1995).

Birahi pertama setelah beranak menipakan faktor penting yang mempengaruhi efisiensi reproduksi pada kambing. Makin pendek selang birahi pertama setelah beranak, makin pendek selang beranak dan sebaliknya. Pada ternak domba tingkat kebuntingan pada birahi pertama setelah beranak lebili rendali dibandingkan pada waktu perkawinan berikutnya (SUTAMA, 1992).

Hal ini kemungkinan disebabkan proses involusi utenis belum selesai sepenuhnya dan/atau karena laju ovulasi pada birahi pertama setelah beranak relatif rendah. Hal yang sama mungkin terjadi pada kambing. Selang beranak sangat besar dipengaruhi oleh tatalaksana perkawinan yang diberikan pada ternak. Akibatnva beberapa hasil penelitian di lapangan menunjukkan waktu selang beranak pada kambing bervariasi cukup besar yaitu 7 - 12 bulan(SANDHI et al., 1989; SARWONO et

al., 1993 ; DJOHARJANI el al., 1993). Kambing PE beranak tiga mempunyai selang beranak lebih

pendek (315 hari) dari induk dengan anak tunggal (347 hari) atau kembar dua (347 hari)(SANDHI

et al., 1989). Pada penelitian ini diamati aktivitas seksual setelah beranak dari ternak kambing PE dengan tingkat produksi susu yang berbeda.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di stasiun perobaan Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor. Penelitian ini menggunakan 36 ekor kambing PE dewasa, masing-masing 12 ekor dengan tingkat produksi susu rendah {< 319,7 mUhari (Rataan - SD = Kelompok L), sedang {391 - 533,6 ml/hari (Rataan ±0,5SD) = Kelompok M) dan tinggi {> 604,9 ml/hari (Rataan + SD = Kelompok H)} berdasarkan produksi susu laktasi pertama. Ternak ini dipilih dari 130 ekor induk kambing PE di Balitnak Ciawi, Bogor. Rataan produksi susu selama 13 minggu laktasi pertama adalah 462,3 +_ 142,6 mUhari .

Ternak diberi pakan nrmput Raja (Pennisetum purpureophoides) dan konsentrat 400-500 g/ekor/hari). Air tersedia ad libitum. Ternak ditimbang setiap dua minggu. Penyapihan anak dilakukan pada umur 4 bulan . Dua minggu setelah beranak, seekor pejantan vasektomi ditempatkan disetiap kelompok ternak untuk mendeteksi "onset" birahi . Pada birahi yang ketiga 402

(3)

setelah beranak, ternak dikawinkan dengan pejantan dewasa "fertil". Tingkat kebuntingan dan performan beranak diamati. Selama tiga kali siklus birahi, tingkat ovulasi dari masing-masing ternak birahi diamati dengan teknik laparoskopi yang dilakukan pada hari ke 3-5 setelah "onset" birahi. Sedangkan, sampel darah (10 ml) diambil setiap 5 hari dari 5 ekor ternak dari masing-masing kelompok yang dipilih secara random untuk analisis kadar hormon progesteron dengan metode radio immunoassay (RIA).

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, dan beds antar perlakuan diuji dengan uji wilayah berganda Duncan(STEELdanTORRIE, 1981).

Perubahan berat badan

Perubahan best badan induk selama kebuntingan dan laktasi ditunjukkan pada Gambar l . Pada awal penelitian ternak pada Kelompok L mempunyai berat badan yang lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan Kelompok M dan H. Perbedaan ini terns berlanjut hingga akhir masa kebuntingan . Pada mass laktasi sermia ternak mengalami penurunan berat badan secara mencolok pada bulan pertama dan kedua mass laktasi, kemudian cenderung meningkat hingga penyapihan anak. Ternak pada Kelompok H terlihat mengalami penurunan berat badan paling tinggi, sedangkan Kelompok L mengalami penurunan berat badan paling kecil.

Berat lahir anak kambing PE pada penelitian ini tidak berbeda nyata antar kelompok yaitu berkisar 3 - 4,5 kg/ekor dengan rataan 3,6 kg (Tabel 1). Ternak pada Kelompok L dan M cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan pada ternak dari Kelompok H. Rataan berat sapih pada Kelompok L, M dan H masing-masing adalah 13,1, 12,4 dan 12,9 kg/ekor. Anak kambing jantan dan betina tumbuh dengan kecepatan yang hampir sama (74,8 vs 72,7 g/hari) . Kematian

anak pra-sapih adalah tinggi 35,7 - 70,6%.

4s 40 0 Y `~ 35c 1~ 9 n

a

30 2s 20

Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997

HASIL r-KOlomooK L K&IOmpOK M '` K " IORPoIc N R O 4 8 12 16 20 24 26 32 36 46

(4)

Tabel 1. Pertumbuhan pre-sapih anak kambing Peranakan Etawah (rataan+SD)

Kematian pra-sapih ('/o) 35,71 40,0 70,59

Siklus birahi

Birahi pertama terjadi antara 32-103 hari setelah beranak, den tidak ada perbedaan antara kelompok, walaupun terlihat kecenderungan temak pada Kelompok L menunjukkan birahi lebih awal dari Kelompok M den H (Tabel 2). Rataan panjangnya siklus birahi hampir sama (19 - 24 hari) pada ketiga kelompok temak tersebut.

Tabel 2. Kinerja reproduksi setelah beranak kambing Peranakan Etawah dengan tingkat produksi susu yang berbeda (n=12, rataan + SD)

404

SeminarNasionalPeternakan den Veteriner1997

Rataan tingkat ovulasi pads birahi pertama setelah beranak pada Kelompok L, M den H masing.masing 1,2, 1,1 den 1,1. Tingkat ovulasi ini cenderung meningkat sedikit pada birahi kedua den ketiga pads ketiga kelompok temak. Akan tetapi perbedaan tingkat ovulasi antar

kelompok secara statistik tidak nyata (Tabel 2). Parameter Interval (hari): Perankuan M - Beranak - birahi 1 47,2+8,6 54,3+20,3 59,2+18,6 - Birahi 1-2 22,0+4,3 20,7+ 3,8 22,7+5,5 - Birahi 2 - 3 19,2+1,3 19,8+ 1,7 20,1+1,7

Tingkat ovulasi pada:

- Birahi pertama 1,2+0,4 1,1+0,3 1,1+0,3 - Birahi kedua 1,2+0,4 1,3+0,5 1,3+0,4 - Birahi ketiga 1,5+0,5 1,3+0,3 1,4+0,5 Fertilitas (%) 85,7 71,4 78,6 Tingkat ovulasi Parameter Jumlah anak L 14 Perinkuan M 15 H 11 Berat lahir (kg) 3,67 ±0,80 3,48±0,78 3,71+0,52 Berat sapih (kg) 13,11+0,28 12,43 ± 0,96 12,87 + 3,09

Pertambahan beret Wan harian (g) 85,76+ 13,89 72,57 + 18,92 63,74+ 35,98

- Jantan 91,48 + 15,71 72,29 + 18,92 60,56 + 49,47

(5)

Fertilitas

- L '4 M .W . H

Profil hormon progesteron

SeminarNasional PeternakandanYeteriner 1997

walctu eeteiam Giran1 CnariD

Gambar 2. Perubahan hormon progesteron pada siklus birahi setelah beranak

Setelah dikawinkan pads birahi yang ketiga setelah beranak, 71-8G% ternak menjadi bunting, namun pada perkawinan berikutnya semua ternak bunting (Tabel 2).

Dari Gambar 2 terlihat bahwa ketiga kelompok ternak menunjukkan kadar dan pola perubahan kadar hormon progesteron yang hampir sama selama pengamatan. Kadar homon progesteron pada siklus pertama setelah beranak sedikit lebih rendah dibandingkan pada siklus berikutnya.

PEMBAHASAN

Hasil pengamatan menunjukkan adanya kecenderungan ternak kambing PE dengan produksi susu rendah (Kelompok L) juga mempunyai berat badan yang rendah dan sebaliknya. Sedangkan ternak dengan produksi susu sedang (Kelompk M) mempunyai berat badan diantara ternak dengan produksi susu rendah (Kelompok L) dan tinggi (Kelompok H). Hal ini dapat dimengerti mengingat kambing PE ini adalah merupakan keturunan kawin silang antara kambing Etawah yang mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar dengan kambing Kacang yang relatif kecil (UTovo, 1979). Perbedaan berat badan ini akan berhubungan dengan perbedaan konsumsi pakan dan akhirnya berpengaruh terhadap produksi susu.

(6)

SeminarNasional Peternakan don Veteriner 1997

dalam memperoleh pakan mungkin saja terjadi, terutama pakan konsentrat yang diberikan dalam jumlah yang terbatas (400 - 500 g/ekor/hari) . Ternak dengan hirarki yang lebih tinggi (lebih dominan) dalam satu kelompok akan selalu berusaha mengalahkan ternak lainnya. Keadaan seperti ini akan berpengaruh terhadap kinerja ternak tersebut terutama pada kondisi luas kandang yang relatif sempit.

Perbedaan berat badan dari awal penelitian terus berlangsung hingga akhir kebuntingan (Gambar 1). Selama kebuntingan semua ternak masih menunjukkan penambahan berat badan (diluar berat fetus) masing-masing 5,2, 4,6 clan 5,5 kg untuk Kelompok L, M clan H. Hal ini membuktikan bahwa pakan yang diberikan dapat memenuhi kebutuhan hidup untuk produksi clan reproduksi . Akan tetapi selama 6-8 minggu pertama masa laktasi semua ternak pada ketiga kelompok mengalami penurunan berat badan, sebelum akhirnya mengalami peningkatan hingga penyapihan anak pads umur 16 minggu. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan energi yang negatif pada ternak, sebagaimana dijelaskan oleh EGAN (1984). Kebutuhan nutrisi pada ternak

laktasi meningkat sangat tajam. Kambing dengan produksi susu 1, liter/hari dengan kandungan lemak 4% memerlukan energi 2,6 kali clan protein 2,4 kali lebih banyak dari kebutuhan hidup pokok (TILLMAN et al., 1986), clan ternak akan menggunakan cadangan energi clan protein tubuh untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Penurunan berat badan selama beberapa minggu sekitar bulan ketiga masa laktasi pada penelitian disebabkan karena terjadinya kelcurangan suplai pakan hijauan. Penurunan berat badan selama laktasi lebih tinggi terjadi pada kelompok H (3,7 kg) dibandingkan pads kelompok L (2,2 kg) clan M (2,9 kg) . Hal .ini dapat dimengerti mengingat ternak dengan tingkat produksi susu yang lebih tinggi akan memerlukan nutrisi yang lebih tinggi pula, sedang jumlah pakan yang diberikan hampir sama pada semua ternak, sehingga ternak pada kelompok dengan produksi susu tinggi akan menggunakan simpanan energi tubuhnya lebih banyak jumlahnya untuk produksi susu. Hasil penelitian ini menunjukkan perlu adanya perbedaan pemberian pakan (kuantitas clan kualitas) pads ternak yang laktasi sesuai dengan tingkat produksinya.

Kondisi ternak sebelum clan sesudah beranak berpengaruh terhadap aktivitas seksual setelah beranak (SUTAMA et al., 1993). Nampaknya mempertahankan berat baclan atau paling tidak memperkecil penurunan berat baclan selama laktasi adalah sangat penting untuk mempercepat tedadinya proses reproduksi setelah beranak. Pada penelitian ini, ternak pada kelompok L yang mengalami penurunan berat badan paling sedikit (2,2 kg) menunjukkan aktivitas seksual 7 -12 hari lebih awal dari kelompok M clan H (47,2vs54,3 vs 59,2 hari), walaupun perbedaannya tidak nyata. Beberapa ternak menunjukkan "onset" birahi yang relatif cepat (32 had setelah beranak) clan beberapa ekor lagi agak lambat (99 - 103 hari). Kecepatan munculnya aktivitas seksual setelah beranak bervariasi diantara bangsa kambing, clan dipengaruhi oleh panjang laktasi clan kondisi pakan yang dikonsumsi. RIERA(1982, 1984) melaporkan bahwa terdapat variasi yang cukup besar

terhadap birahi pertama setelah beranak yaitu 5 - 27 minggu pada kambing di daerah sub-tropis. Interval yang begitu extrem seperti hasil temuan tersebut tidak terjadi pada kambing PE pada penelitian ini, kecuali pada beberapa ekor ternak yang menunjukkan birahi pertama sekitar 3 bulan setelah beranak. Hal ini masih dalam katagori normal mengingat jika kambing tersebut dikawinkan kemungkinan beranak setiap 8 bulan atau 3 kali beranak dalam dua tahun masih clapat terjadi, clan ini umum terjadi pada ternak yang kambing/dombayangaktivitas reproduksinya tidak dipengaruhi oleh musim.

Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kambing PE mempunyai kemampuan untuk bereproduksi kembali dalam keadaan laktasi atau sebelum anaknya disapih, clan birahi 406

(7)

Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1997

tersebut diikuti dengan ovulasi. Akan tetapi rataan tingkat ovulasi pada birahi pertama-setelak beranak adalah rendah (1,1) pada ketiga kelompok. Tingkat ovulasi tersebut meningkat pada birahi berikutnya hingga 1,4 - 1,5, namun tetap tidak ada perubahan antar kelompok. Laju ovulasi kambing PE pada penelitian ini sebanding dengan hasil (1,5) yang dilaporkan oleh SUBANDRIYOet

al. (1986) dan SETIADi et al. (1987). Makin besar proporsi darah kambing Kacang kemungkinan

kambing tersebut makin prolifik, mengingat kambing Kacang adalah lebih prolifik dari kambing Etawah (SUBANDRIYoet al., 1986). Hal ini tercermin pada penelitian ini dimana tingkat ovulasi

pada kelompok ternak dengan produksi susu rendah (Kelompok L) lebih tinggi dari pada kelompok M dan H.

Rendahnya tingkat ovulasi pada birahi pertama terkait dengan rendahnya kadar hormon progesteron pada plasma darah (Gambar 2). Pada kambing corpus luteum merupakan satu-satunya sumber hormon progesteron untuk mempertahankan kebuntingan MERA, 1984). Dari profil

hormon progesteron pads siklus pertama setelah beranak tersebut terlihat adanya indikasi pada beberapa ekor ternak yang mempunyai perkembangan corpus luteum tidak sempurna. Walaupun demikian, adanya birahi dan ovulasi pads waktu birahi pertama menunjukkan adanya potensi untuk terjadinya fertilisasi/kebuntingan. lika hal ini terjadi, interval beranak 7 - 8 bulan pada kambing PE ini bisa dicapai atau paling tidak 3 kali kelahiran dalam 2 tahun. Kadar hormon progesteron ini meningkat pada birahi berikutnya dan ini jugs karena terjadi ovulasi yang lebih tinggi. SUTAMAet al. (1988) melaporkan bahwa ternak domba dengan ovulasi tunggal mempunyai

kadar hormon progesteron yang lebih rendah dari ternak dengan ovulasi ganda.

Salah satu sumber kerugian yang cukup besar terjadi pada kambing PE ini adalah tingginya kematian anak pra-sapih (36 - 71%). Kematian yang lebih tinggi (71%) justru terjadi pada ternak Kelompok H, dan ini berhubungan dengan lebih banyaknya ternak dengan anak kembar pada kelompok tersebut. Upaya untuk mengurangi tingkat kematian anak sangat diperlukan. Manajemen pemeliharaan sekitar waktu beranak adalah sangat penting mengingat sebagian besar kematian anak terjadi segera setelah lahir. Keterlambatan anak mendapat susu kolostrum sangat berpengaruh terhadap kemampuan hidup anak selanjutnya (LEBLANc, 1992) . Tingkat kematian

anak pra-sapih pada penelitian ini jauh lebih tinggi dari hasil (12%) yang dilaporkan pada kondisi pedesaan (ANGGRAENI et al., 1995). Nampaknya ternak kambing memang lebih sulit dipelihara

dalam kondisi pemeliharaan intensif dalam kelompok besar. Kambing sangat rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan, balk perubahan pakan dan pemeliharaan lainnya. Walaupun demikian usaha perbaikan kearah peningkatan kinerja produksi kambing dalam kondisi pemeliharaan intensif dengan sistem cut and carry sangat dibutuhkan mengingat semakin berkurangnya lahan penggembalaan terutama di daerah yang padat penduduk dimana populasi kambing yang tinggi umumnya terdapat. Seleksi terhadap ternak yang lebih toleran terhadap perubahan lingkungan atau stress merupakan bidang penelitian yang perlu dilakukan, yang dalam hal ini tingkah laku ternak (animal behaviour) akan menjadi sangat penting.

KESIMPULAN

(8)

SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1997

menunjukkan aktivitas seksual lebih awal dari pada kambing PE dengan produksi susu sedang dan tinggi . Tingginya kematian anak pra-sapih pada ketiga kelompok ternak pada penelitian ini merupakan sumber kegagalan reproduksi yang perlu diatasi.

SARAN

Evaluasi kinerja produksi dan reproduksi ketiga kelompok kambing PE berdasarkan potensi produksi susu perlu dilanjutkan lebih mendalam, sebelum mengambil kesimpulan ke arah mana kambing PE ini dikembangkan (daging, susu atau dwiguna), termasuk kajian ekonomi dari usaha pemeliharaan kambing PE secara komersial. Disamping itu penelitian kearah pemahaman tingkah laku ternak kambing, kaitannya dengan perubahan kondisi lingkungan yang diberikan dan tingkat produksi yang diharapkan akan sangat membantu dalam program pengembangan ternak kambing di Indonesia.

UCAPAN TERMAKASM

Penelitian ini dibiayai dari Anggaran Pembangunan Belanja Nasional Tahun Anggaran 1995/1996 dengan Nomer Protokol : B/B/2/2/APBN9596. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada semua staf teknisi Ruminansia Kecil Balitnak Ciawi, Bogor atas bantuan pelaksanaan penelitian ini, serta kepada staf RIA dalam analisa hormon.

DAFTAR PUSTAKA

ANGGRAENI, D., R.S.G . SIANTURI, E. HANDIwnzAwAN dan B. SETIADI. 1995. Dampak perbaikan tatalaksana pemeliharaan terhadap produktivitas induk kambing dan domba di pedesaan. Pros. Seminar Nasional Sains dan Telrnologi Peternakan, Ciawi-Bogor pp. : 374 - 379.

BASUKI, P, W. HARDIOSUBROTO, KUSTONO dan N. NGADIYONO . 1982. Performans produksi dan reproduksl kambing Peranakan Etawah (PE) dan Bligon. Pros. Seminar Penelitian Peternakan, Cisarua 8-11 Februari 1982, pp. : 104-108 .

D10HARjAm, T., NURYADI, B. HARTONo, M. NASICH dan HERMANTO. 1993. Potensi dan sistem produksi ternak kambing : Studi kasus integrasi kambing dan kebun kopi di Jawa Timur. Pros. Lokakarya Potensi don Pengembangan Ternak Kambing di Wilayah Indonesia Bagian Timur. Surabaya 28-29 Juli 1992, pp. : 85-93 .

EGAN, A.R. 1984. Nutrition for reproduction . In Reproduction in Sheep. Eds. D.R. Lindsay and D.T. Pearce. Aust. Academ y of Science, Canberra, pp.: 262-268.

LEBLANC. 1992 . Passive transfer of immunity in kids. Proc. 15 th Florida Dairy Goat Prod. Conf., Univ. of Florida, pp.: 31-53.

LINGGODIIWO, A.L. TOLENG and EFFENDI. 1994. Goat production in South Sulawesi Indonesia. Proc. 7th AAAP Anim. Sci. Congr., Bali, Indonesia, pp. : 263-264.

MARTAWmJAYA, M., S.S . SITORUs, B. SETIADI dan A. SUPARYANTO. 1995. Penelitian anak kambing pra-sapih. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak 1995.

(9)

SeminarNasionalPeternakan danVetenner1997

NGADIYoNo, N., P. BAsuKI dan G. MuRDJrro. 1984 . Beberapa data performans Tenak kambing yang dipelihara secara tradisional di pedesaan sejak lahir sampai dengan umur disapih. Pros. Domba dan Kambing di Indonesia, Puslitbangnak, Badan Litbang, Departemen Pertanian, Bogor pp. : 122-125 . OBST, J. M., T. BoyEs and T.D. CHANIAGo . 1980. Reproductive performance of Indonesian sheep and goats.

Proc. Aust Soc. Anim. Prod. 13: 321-324.

OBST,J.M. and Z. NAPrnipuLU. 1984. Milk yields of Indonesian goats. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 15 : 501-504.

R ERA, G.S. 1982. Reproductive efficiency and management in goats. Proc. 3rd Int. Conf. on Goat Production andDesease. Tuscon, Arizona.

RIERA, G.S. 1984. Some similarities dan differences in female sheep and goat reproduction. Proc. 10th Itn. Congr. Anim. Reprod. Urbana, Champaign.

SANDin, G.N, G.G. MAYuN, dan D. DARmADJA. 1989. Beberapa performans reproduksi dan produksi kambing PE. Laporan HasilPenelition. Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

SARWONO, B.D., I.B.G. Dw1PA, IG. L. MEDIA, and H. POERWOTO. 1993 . Goat production in rice-based farming systems in Lombok. In Advances in Small Ruminant Research in Indonesia. Eds. SUBANDRIYO and R.M. GATENBY. SR-CRSP, Univ. California Davis, USA, pp. : 65-79.

SETiAD1, B., P. SIToRus, dan SuBANDRIYo. 1987. Produktivitas Ternak kambing pada staslun percobaan Cilebut, Bogor. Ilmu dan Peternakan 3 : 5 .

SoEsmo, F.X., H. PRABOWO, S . CHOTiAH dan S. ASTuTI. 1989. Penyidikan penyakit dan cara pemeliharaan kambing Peranakan Etawali di Kabupaten Lampung Selatan. Proc. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Cisarua, Bogor 2: 129-134.

STEEL, R.G.D. and J.H. ToRRIE. 1981 . Principles and Procedures ofStatistics, McGraw-Hill, New York. Sui3ANDRJYo, B. SETIADI and P. SITORUS. 1986. Ovulation rate and litter size of Indonesian goats. Proc. 5th

Int. Conf. Livestock Production andDeseases in The Tropic. Kuala Lumpur, Malaysia pp. : 53-54 SuTAMA, I-K. 1992. Post-partum reproductive performance of Javanese Fat-tailed ewes. Proc. Int. Seminar on

Livestock and Feed Development in The Tropics. Univ. Brawijaya, Malang, pp.: 269-272.

SuTAMA, I-K., I.G. PuTu and M. WODzicKA-TomAszEwsKA. 1993. Improvement in small ruminant productivity through more efficient reproduction. In Small Ruminant Production in The Humid Tropics. Eds. M. Wodzicka-Tomaszewska, S. Gardiner, A. Djajanegara, I.M. Mastika and T.R. Wiradarya. Sebelas Maret University Press, pp. 191- 266.

SuTAMA, I-K., IGM. BUDIARSANA, H. SETIANTO and A. PRiYANTI. 1995 . Productive and reproductive performances ofyoung Peranakan Etawah does. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1 : 81-85.

TIILmAN, A.D., H.E. RIDENOuR and W.R. GETz. 1986. A Guide to the Feeding and Nutrition ofRuminants in the Tropics. Winrock International Institute for Agricultural Development.

UToro, R.P. 1979. Domba dan Kambing. Proyek Sumberdaya Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indionesia. Diteijemahkan dari Merkens, J. dan A. Syarif (1932). Bijdgrade to the kennis van de geitenfokkerij in Nederlandsch Oost Indie (Sumbangan Pengetahuan Tentang Peternakan Kambing di Indonesia). Ned. Ind. Bladen v. Diergeneesk 44: 436-466.

Gambar

Tabel 2. Kinerja reproduksi setelah beranak kambing Peranakan Etawah dengan tingkat produksi susu yang berbeda (n=12, rataan + SD)
Gambar 2. Perubahan hormon progesteron pada siklus birahi setelah beranak

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian, Altman (1968) mengembangkan model tersebut dengan mengemukakan bahwa perusahaan dapat dikelompokkan menjadi perusahaan bangkrut dan perusahaan tidak

Jumlah seluruh bobot harus sama dengan 1,0 berapapun jumlah faktor yang dibobot dalam EFAS d.Pada kolom 4 Weight Score/Nilai Tetimbang, mengalikan bobot pada kolom 2 dengan

Kegagalan material SA-210C ini dianalisa akibat tekanan internal maksimum fluida yang melewati pipa pada lokasi 1 melebihi perhitungan yang diizinkan, dengan penyebab

Demikian pula dengan hipotesis kedua, bahwa “Jaringan relasional yang terdiri atas jaringan relasional vertikal dan jaringan relasional horisontas berpengaruh secara

Dr. Made Gede Wirakusuma, SE., Msi., Ak. Ida Bagus Dharmadiaksa, MSi., Ak.. Judul : Analisis harga pokok produksi makanan dan pengaruhnya terhadap laba kotor departemen

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pokok dalam penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh gaya kepemimpinan kepala madrasah dan

Untuk memastikan analisis pemeringkatan dengan metode kombinasi Bayesian dan Regression memiliki kelebihan dalam memperhitungkan perubahan keselamatan lalulintas yang disebabkan

(2) Pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pegawai negeri sipil yang bersangkutan mengajukan nama calon yang telah memenuhi